Bab i Selesai

30
BAB I PENDAHULUAN Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Diduga penyebab pterigium adalah exposure atau sorotan berlebihan dari sinar matahari yang diterima oleh mata. Ultraviolet, baik UVA ataupun UVB, berperan penting dalam hal ini. Selain itu dapat pula dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti zat alergen, kimia, dan pengiritasi lainnya. Secara geografis, pterigium paling banyak ditemukan di negara beriklim tropis. Karena Indonesia beriklim tropis, penduduknya memiliki risiko tinggi mengalami pterigium. Dari hasil penelitian G Gazzard dari Singapore National Eye Center, yang melakukan penelitian di daerah Riau, didapatkan bahwa prevalensi pterigium pada usia di atas 21 tahun adalah 10% sedangkan di atas 40 tahun adalah 16,8%. 1,2,3 Pterigium masih menjadi permasalahan yang sulit karena tingginya frekuensi pterigium rekuren. Recurrence rate pascaoperasi pterigium di Indonesia adalah 35–52%. Dari hasil penelitian di RS Cipto 1

Transcript of Bab i Selesai

BAB IPENDAHULUAN

Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Diduga penyebab pterigium adalah exposure atau sorotan berlebihan dari sinar matahari yang diterima oleh mata. Ultraviolet, baik UVA ataupun UVB, berperan penting dalam hal ini. Selain itu dapat pula dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti zat alergen, kimia, dan pengiritasi lainnya. Secara geografis, pterigium paling banyak ditemukan di negara beriklim tropis. Karena Indonesia beriklim tropis, penduduknya memiliki risiko tinggi mengalami pterigium. Dari hasil penelitian G Gazzard dari Singapore National Eye Center, yang melakukan penelitian di daerah Riau, didapatkan bahwa prevalensi pterigium pada usia di atas 21 tahun adalah 10% sedangkan di atas 40 tahun adalah 16,8%.1,2,3 Pterigium masih menjadi permasalahan yang sulit karena tingginya frekuensi pterigium rekuren. Recurrence rate pascaoperasi pterigium di Indonesia adalah 3552%. Dari hasil penelitian di RS Cipto Mangunkusumo didapatkan bahwa recurrence rate pada pasien berusia kurang dari 40 tahun adalah 65% dan pada pasien berusia lebih dari 40 tahun adalah 12,5%. Selain itu, pterigium menimbulkan masalah kosmetik dan berpotensi mengganggu penglihatan bahkan berpotensi menjadi penyebab kebutaan pada stadium lanjut. Penegakan diagnosis dini pterigium diperlukan agar gangguan penglihatan tidak semakin memburuk dan dapat dilakukan pencegahan terhadap komplikasi.2,3

BAB IISTATUS PASIEN

1. Identitas PasienNama/Jenis Kelamin/umur: Tn.ES/Laki-laki/34 tahunPendidikan/Pekerjaan: SMA/SwastaAlamat: RT 16, Suka Rejo

1. Latar Belakang Sosio-Ekonomi-Demografi-Lingkungan Keluarga1. Status Perkawinan: Menikah1. Jumlah anak/saudara: 1 orang1. Status Ekonomi Keluarga: Mampu (Penghasilan 1.500.000 per bulan).1. KB: -1. Kondisi rumah: baik1. Kondisi lingungan keluarga: baik

1. Aspek Psiologis di Keluarga: baik

1. Keluhan UtamaMata kiri terasa mengganjal.

1. Riwayat Perjalanan Penyakit SekarangPasien datang ke Puskesmas Pakuan Baru dengan keluhan mata kiri terasa mengganjal sejak 1 tahun yang lalu. Pasien mengeluh silau jika melihat cahaya dan terkadang mata berair. Pasien tidak mengeluhkan adanya mata merah, gatal, nyeri, dan tidak ada gangguan penglihatan. Pasien belum pernah mendapat pengobatan sebelumnya.

1. Riwayat Penyakit Dahulu/Keluarga Riwayat keluhan serupa disangkal Riwayat pernah operasi sebelumnya disangkal Riwayat hipertensi disangkal Riwayat diabetes melitus disangkal

VII. Pemeriksaan Fisik0. Keadaan Umum: Tampak sakit ringan0. Kesadaran: Compos Mentis0. Tanda Vital: TD = 120/80 mmHgN= 85 x/menit RR = 20 x/menitT = 37oC

1. Kepala dan Leher0. Kepala : bentuk simetris, tidak ada trauma maupun memar, spider telangiektasi (-).0. Mata: konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (+), pupil isokhor, refleks cahaya (+/+).0. Hidung: nafas cuping hidung (-), epistaksis (-), sekret (-).0. Mulut: bentuk normal, gusi berdarah (-), atrofi papil lidah (-), stomatitis angularis (-)0. Tenggorokan: Faring hiperemis (-), Tonsil T1-T1.0. Leher: tidak ada pembesaran kelenjar getah bening, jugular venous pressure tidak meningkat (5-2) cmH2O, kaku kuduk tidak ada.0. Kulit: Warna pucat (-), ikterik (-), sianosis (-), pigmentasi kulit kehitaman (-), xantelasma (-), turgor cepat kembali, kelembaban cukup.

1. Thorak1. ParuI = Gerakan nafas simetris P = Fremitus raba simetris kanan = kiri P = Sonor pada kedua lapangan paru A = Suara nafas vesikuler (+) N, Ronkhi (-), Wheezing (-)1. Jantung I = Iktus cordis tidak terlihatP = Thrill tidak terabaP = Batus jantung dalam batas normalA = BJ 1 dan BJ 2 regular, bising dan murmur tidak ada

1. AbdomenI = Datar, collateral vein (-) P = Nyeri tekan epigastrium (+), defans muskuler (-), tidak teraba massa di epigastrium, hepatosplenomegali (-),P = Timpani, shifting dullness tidak adaA = Bising usus (+) normal.

1. EkstremitasAkral hangat, edema (-), eritem palmaris (-)

Status OftalmologisYang dinilaiMata KananMata Kiri

Visus6/66/6

PalpebraHiperemis (-), edema (-)Hiperemis (-), edema (-)

KonjungtivaKonjungtiva tarsal dan fornik : hiperemis (-), tonjolan (-), sekret (-)Konjungtiva bulbi :(-)Konjungtiva tarsal danfornik :Hiperemis (-), tonjolan (-), sekret (-)Konjungtiva bulbi :Tampak jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga tumbuh kearah kornea.

KorneaJernihTampak jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga dengan puncak melewati limbus 1mm.

COADalam, jernihDalam, jernih

Iris/PupilBulat, central, diameter 3 mm, RC direct/indirect (+/+)Bulat, central, diameter 3 mm, RC direct/indirect (+/+)

LensaJernihJernih

1. Pemeriksaan Penunjang (-)1. Pemeriksaan Anjuran (-)1. Diagnosis Kerja Pterigium derajat I OS1. Diagnosis BandingPinguecula

1. Manajemen1. Preventif Kurangi pajanan debu dan sinar matahari Kontrol

1. Promotif1. Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakit pterigium dan penyebabnya.

1. KuratifMedikamentosa Kloramfenikol 3x1 tetes OS Pro ekstraksi pterigium

1. Rehabilitatif Tetes mata secara teratur Jika klinis memberat, segera di bawa ke Rumah Sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut.

1. Prognosis Quo Ad Vitam: ad Bonam Quo Ad Functionam: ad Bonam Quo Ad Cosmeticam: dubia ad Bonam

Dinas Kesehatan Kota Jambi

Puskesmas: Pakuan BaruDokter: Yunita SariTanggal: 30 Desember 2013

R/ Kloramfenikol optalmic drop fl No. IS 3dd gtt I OS

Pro: Tn. Edi Saputra (34 tahun) Alamat: RT 16, Suka Rejo

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI 2.1.1 Anatomi konjungtiva Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak mata bagianbelakang. Berbagai macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva. Konjungtiva ini mengandung sel musin yang dihasilkan oleh sel goblet.1 Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu :11. Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal ini sukar digerakkan dari tarsus.2. Konjungtiva bulbi, menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera dibawahnya.3. Konjungtiva forniks, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi.

Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat longgar dengan jaringan di bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak.

Gambar 2.1 Anatomi palpebra12.1.2 Anatomi korneaKornea merupakan dinding depan bola mata berupa jaringan transparan dan avaskular. avaskular. Faktor-faktor yang menyebabkan kejernihan korena adalah letak epitel kornea yang tertata sangat rapi, letak serabut kolagen yang tertata sangat rapi dan padat, kadar air yang konstan dan tidak ada pembuluh darah kornea merupakan lensa cembung. Dengan kekuatan refraksi + 43 dioptri. Kornea melanjutkan diri sebagai sklera ke arah belakang dan perbatasan antara kornea dan sklera disebut limbus.1 Kornea terdiri dari lima lapis, yaitu :11. EpitelTebalnya 50 m, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng. Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depanya melalui desmosom dan macula okluden ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit dan glukosa yang merupakan barier.2. Membran BowmanTerletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma. Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi.3. StromaMerupakan lapisan paling tebal, terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajarar satu sama lain.4. Membrane descemenMerupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea dihasilkan sel endotel dan merupakan membran basalnya. Bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal 40m.

5. EndotelBerasal dari mesotellium, berlapis satu, bentuk heksagonal besar 20-40 m. endotel melekat pada membrane descement melalui hemidesmosom dan zonula okluden. Kornea dipersyarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus membrane bowman melepaskan selubung schwannya. Seluruh lapisepitel dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf. Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan di daerah limbus. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan. Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan system pompa endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel akan terjadi edema kornea. Endotel mempunyai daya regenarasi.Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata di sebelahdepan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40 dioptri dari 50 dioptripembiasan sinar masuk kornea dilakukan oleh kornea.

Gambar 2.2 Anatomi lapisan kornea2.2 PTERIGIUM 2.2.1 Definisi Pterigium adalah pertumbuhan jaringan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat invasif dan degeneratif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopakbagian nasal maupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Pterigiumberbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea. Asal kata pterigium dari bahasa Yunani yaitu pteron yang artinya wing atau sayap. Jaringan ini biasanya terletak pada celah kelopak nasal atau temporal konjungtiva. Pterigium ini mudah meradang dan bila terjadi iritasi maka bagian pterigium ini akan berwarna merah.2-8

Gambar 2.3 Pterigium5

2.2.3 EpidemiologiPterigium terbesar di seluruh dunia tetepi lebih banyak didaerah iklim panas dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah yang berdebu dan kering. Faktor yang mempengaruhi yakni daerah dekat ekuator, yakni daerah < 37 lintang utara dan selatan dari equator. Prevalensi tertinggi sampai 22% di daerah dekat equator dan < 2% pada daerah diatas 40 lintang utara. Pasien dibawah umur 15 tahun jarang menderita pterigium. Prevalensi pterigium meningkat pada decade 2 dan 3 kehidupan. Insiden tinggi pada umur antara 20-49 tahun. Rekuren lebih sering pada usia muda dibandingkan usia tua. Laki-laki lebih sering 4 kali lebih resiko dibandingkan perempuan dan berhubungan dengan merokok.5

2.2.3 Etiologi2-8Penyebab pterigium belum diketahui dengan jelas. Faktor resiko yang mempengaruhi pterigium adalah lingkungan yakni radiasi ultraviolet sinar matahari, iritasi kronik bahan tertentu di udara dan faktor herediter;1. Radiasi sinar ultraviolet Faktor resiko lingkungan yang utama timbulnya pterigium yaitu eksposure sinar matahari. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea dan konjungtiva menghasilkan kerusakan sel dan ploriferasi sel. 2. Faktor geneticKemungkinan diturunkan autosom dominan3. Faktor lainIritasi kronik atau inflamasi yang terjadi di daerah limbus atau perifer kornea. Contohnya akibat paparan debu.

2.2.4 Patogenesis Etiologi pterigium belum diketahui dengan pasti tapi karena sering terjadi pada orang yang tinggal didaerah yang panas maka gambaran yang paling diterima tentang hal tersebut adalah respon terhadap faktor-faktor lingkunag seperti paparan sinar matahari, daerah kering, inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau faktor iritan lainnya. Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor suppressor gene pada limbal basal stem cell tanpa apoptosis, transforming growth factor- beta overproduksi dan menimbulkan proses kolagenase meningkat. Sel-sel bermingrasi dan angiogenesis meningkat. Akibatnya terjadi degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva terjadi degenerasi elastoik dan proliferasi jaringan granulasi vascular di bawah epithelium yang akhirnya menembus kornea. Kerusakan pada kornea terjadi pada lapisan membrane bowman oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular.2-8

2.2.5 Diagnosa Banding1. PingueculaBentuk kecil, meninggi, massa kekuningan berbatas dengan limbus dan konjungtiva bulbi di fissura interpalpebra.

Gambar 2.4 Pinguecula5

2. Pseudopterigium Pseudopterigium adalah fibrovaskular scar yang tumbuh pada konjungtiva bulbi menuju kornea. Perbedaannya pseudopterigium akibat inflamasi permukaan ocular sebelumnya seperti trauma, trauma kimia, konjungtivitis sikatrik, trauma bedah atau ulkus kornea perifer. Untuk mengidentifikasi pseudopterigium cirinya tidak melekat pada limbus kornea. Probing dengan muscle hook dapat dengan mudah melewati bagian bawah pseudopterigium pada limbus dimana hal ini tidak dapat dilakukan pada pterigium. Pseudopterigium tidak didapat bagian head, cup dan body serta pseudopterigium cenderung keluar dari ruang interpalpebra fissure yang berbeda dengan pterigium.2-8 Gambar 2.5 Pseudopterigium5

2.2.6 Gejala Klinis2-8 Gejala klinis pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tidak ada keluhan sama sekali (asimtomatik). Beberapa keluhan yang sering dialami pasien antara lain:1. Mata sering berair dan tampak merah2. Merasa seperti ada benda asing3. Timbul astigmatisme akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterigium tersebut.4. Pada pterigium lanjut (derajat 3 dan 4), dapat menutupi pupil dan aksis visual sehingga tajam penglihatan juga menurun.

2.2.7 Derajat pterigium2-8Derajat pertumbuhan pterigium ditentukan berdasarkan bagian kornea yang tertutup oleh pertumbuhan pterygium dan dapat dibagi menjadi 4 yaitu: Derajat 1 Jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea Derajat 2 Jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm melewati kornea. Derajat 3 Jika pterigium telah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggiran pupil mata. Derajat 4 Jika pterigium sudah melewati pupil sehingga mengganggu penglihatan.

2.2.8 PenatalaksanaanPengobatan pterigium tergantung pada keadaan pterigiumnya sendiri. Pada keadaan dini tidak perlu dilakukan pengobatan. Pada keadaan inflamasi diberikan pengobatan untuk menekan peradangan, umumnya dipakai steroid topikal. Apabila keadaan pterigium sudah lanjut sehingga mulai mengganggu maka dilakukan pembedahan. Pterigium dikatakan mengganggu dengan alasan kosmetik atau menimbulkan keluhan-keluhan baik retraktif maupun sering merah. Setelah pembedahan ada kemungkinan residif, yaitu pterigium tumbuh lagi. U ntuk mencegah residif dapat dilakukan penyinaran dengan strontium yang mengeluarkan sinar beta.2-8

2.2.9 Indikasi pembedahan5 1. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih dari 3 mm dari limbus.2. Pterigium yang mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil.3. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau karena astigmatismus.4. Kosmetik

2.2.10 Jenis-jenis tindakan bedah51. Bare scleraPterigium diangkat lalu dibiarkan saja

2. Mc Reynold operationPuncak pterigium yang terdapat pada kornea dilepaskan dari dasarnya sementara bagian lain dilepaskan dari konjungtiva bulbi. Bekasnya dikornea dan sclera dibersihkan dan dilakukan elektrokauterisasi untuk menghindari perdarahan. Bila membran tersebut terlalu tebal atau panjang dapat digunting sebagian untuk kemudian disisipkan di bawah konjungtiva bulbi. Maksudnya agar bila terjadi kekambuhan tidak masuk kedalam kornea. Tetapi menurut pengalaman, meskipun telah dioperasi, masih dapat kambuh kembali dengan cepat. Bila sering residif dapat diberi penyinaran sinar beta atau dilakukan eksterpasi dan transplantasi mukosa mulut atau konjungtiva forniks.3. Autograft Setelah pterygium diambil lalu di graft dari amnion atau selaput mukosa mulut atau konjungtiva bulbi pars superior. Dengan teknik ini tingkat rekurensi pterygium dapat ditekan sebasar sekitar 5%.

2.2.11 Komplikasi Pterigium1-81. Sebelum operasi Penurunan penglihatan Kemerahan pada mata Iritasi Diplopia

2. Komplikasi setelah operasi Sikatrik pada kornea Infeksi Reaksi peradangan akibat jahitan Komplikasi yang jarang: perforasi bola mata, perdarahan vitreus.

BAB IIIPEMBAHASAN

Dilaporkan seorang pasien dengan identitas, Tn.ES/34 tahun/SMA /RT 16, Suka Rejo. Dengan keluhan utama mata kiri terasa mengganjal sejak 1 tahun yang lalu. Pasien mengeluh silau jika melihat cahaya dan terkadang mata berair. Pasien tidak mengeluhkan adanya mata merah, gatal, nyeri, dan tidak ada gangguan penglihatan. Pasien belum pernah mendapat pengobatan sebelumnyaBerdasarkan masalah diatas didapatkan diagnosis pasien ini adalah Pterigium Derajat I OS. Pterigium adalah adalah kelainan pada konjungtiva bulbi, pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terdapat pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Pterigium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea. Pterigium mudah meradang dan bila terjadi iritasi, maka bagian pterigium akan berwarna merah.Tatalaksana yang diberikan pada pasien ini yaitu kloramfenikol 3x1 tetes OS dan edukasi menghindari daerah yang berasap, berdebu, serta terpapar sinar matahari. Karena paparan sinar matahari merupakan faktor yang penting dalam perkembangan terjadinya pterigium. Faktor lainnya yang berperan dalam terbentuknya pterigium adalah alergen, bahan kimia berbahaya, dan bahan iritan (angin, debu, polutan).Prognosa pada pasien ini yaitu Quo Ad Vitamadalah ad Bonam, Quo Ad Functionam adalah ad Bonam dan Quo Ad Cosmeticam adalah dubia ad Bonam.

Pengamatan Rumah

Pengamatan Rumah: Rumah terbuat dari batu bata dengan ukuran 9x12 m2. Didalam rumah tersebut terdapat ruang tamu dengan 1 buah jendela berukuran 60x80 cm2, 2 buah ventilasi dengan satu buah ventilasi diatas pintu masuk menuju rumah,masing-masing berukuran 60x30m2. Terdapat 2 buah kamar tidur dengan kamarnya berukuran antara 5x5m2.Lantai rumah os terbuat dari semen, penataan alat atau perabot rumah tangga kurang tertata dengan rapi. Dapur tempat memasak cukup luas, keluarga pasien memasak dengan menggunakan gas. Di belakang dapur terdapat kamar mandi, tempat penampungan air dan tempat mencuci piring. Sumber air berasal dari sumur yang di gunakan untuk mencuci dan memasak namun untuk air minum, pasien menggunakan fasilitas air minum isi ulang.

Pengamatan Lingkungan: Keluarga os hidup dilingkungan tempat tinggal yang padat penghuni. Keadaan tempat tinggal os dengan tetangganya berjarak 8 meter kesamping dan 4 meter kedepan. Rumah cukup bersih dan cukup tertata dengan kurang rapi. Keadaan rumah disekitar rumah cukup bersih. Pembuangan sampah dan limbah di nilai cukup baik.

Berdasarkan Hasil wawancara /pengamatan Keluarga /hubungan keluarga:Pasien tinggal bersama istri, serta 1 orang anaknya.

Hasil wawancara /pengamatan perilaku kesehatan:Dari hasil anamnesa didapatkan bahwa pasien memiliki prilaku kesehatan yang cukup baik.

Analisis pasien secara holistik Hubungan anamnesis, diagnosis dengan keadaan rumahPada anamnesis didapatkan keluhan utama Pasien datang ke Puskesmas Pakuan Baru dengan keluhan mata kiri terasa mengganjal sejak 1 tahun yang lalu. Pasien mengeluh silau jika melihat cahaya dan terkadang mata berair. Pasien tidak mengeluhkan adanya mata merah, gatal, nyeri, dan tidak ada gangguan penglihatan. Pasien belum pernah mendapat pengobatan sebelumnya.sebelum datang ke puskesmas. Dari keluhan utama yang didapat, tidak ada hubungannya dengan keadaan rumah.

Analisis kemungkinan berbagai faktor risiko atau etiologi penyakitPterigium adalah pertumbuhan jaringan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat invasif dan degeneratif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopakbagian nasal maupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Pterigiumberbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea. Asal kata pterigium dari bahasa Yunani yaitu pteron yang artinya wing atau sayap. Jaringan ini biasanya terletak pada celah kelopak nasal atau temporal konjungtiva. Pterigium ini mudah meradang dan bila terjadi iritasi maka bagian pterigium ini akan berwarna merah.Penyebab pterigium belum diketahui dengan jelas. Faktor resiko yang mempengaruhi pterigium adalah lingkungan yakni radiasi ultraviolet sinar matahari, iritasi kronik bahan tertentu di udara dan faktor herediter; Radiasi sinar ultraviolet Faktor resiko lingkungan yang utama timbulnya pterigium yaitu eksposure sinar matahari. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea dan konjungtiva menghasilkan kerusakan sel dan ploriferasi sel. Faktor genetic Kemungkinan diturunkan autosom dominan, Faktor lain Iritasi kronik atau inflamasi yang terjadi di daerah limbus atau perifer kornea. Contohnya akibat paparan debu.

Rencana Promosi dan pendidikan kesehatan kepada pasien dan kepada keluarga:0. Memberikan penyuluhan kesehatan

Rencana Edukasi penyakit kepada pasien dan kepada keluarga: Kurangi pajanan debu dan sinar matahari. Kontrol ulang ke puskesmas.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas S, Mailankay, Taim H, Saman RR, Simartama M, Widodo PS, editor. Ilmu penyakit mata. Jakarta; CV Sagung seto: 2000. Hal. 4-61. Gondhowiardjo TD, Simanjuntak GWS editor. Panduan manajemen klinis perdami. Jakarta; PP PERDAMI: 2006. hal 56-581. Wijaya, N, IlmuPenyakit Mata.Edisi ke-6. Jakarta; Abaditegal.:1993. hal 41-2.1. Ilyas S, Pterygium. Dalam Penuntun ilmu penyakit mata. Edisi ke-3. Jakarta; Balai penerbit FKUI: 2006. Hal 62-3.1. Laszuarni. Prevalensi pterigium di kabupaten Langka.( Tesis Magister) Medan. Bagian Ilmu kesehatan mata USU; 2009.1. Ilyas S, Mailankay, Taim H, Saman RR, Simartama M, Widodo PS, editor. Ilmu penyakit mata. Jakarta; CV Sagung seto: 2000. Hal 107-108.1. Ilyas S, Yulianti SR. Ilmu penyakit mata. Jakarta; Badan penerbit fakultas kedokteran Indonesia: 2011. Hal 116-117.1. Fransisko J, Ferrer G, Schwab IR, MD dan shetlar DJ. Konjungtiva dalam: Vaugan dan Asbury Oftalmologi Umum. Edisi 17. Jakrta : EGC.2009. hal. 119

1