BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/106237/potongan/S2-2016... · (Sejarah...

22
1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pada masa penjajahan Belanda, wilayah Kabupaten Belu merupakan gabungan dari 20 wilayah Swapraja/Kerajaan yang meliputi Belu dan sebagian Timor Tengah Utara yaitu Wewiku, Haitimuk, Alas, Wehali, Fatuaruin, Lakekun, Dirma, Mandeu, Insana, Biboki, Harneno, Naitimu, Lidak, Jenilu, Fialaran, Silawan, Maukatar, Lamaknen, Makir, dan Lamaksanulu. Tahun 1862 pusat pemerintahannya berada di Atapupu dengan kepala pemerintahannya disebut GEZAGHEBER. Pada tahun 1910 Swapraja Anas diserahkan kepada Swapraja Amanatun (Timor Tengah Selatan). Pada tanggal 25 Maret 1913 Kerajaan Lidak digabung dengan Kerajaan Jenilu yang dipimpin oleh Raja Don Josef Da Costa dengan nama Swapraja Jenilu. (Sejarah Singkat Rai Belu, 2011:1-2). Kemudian setelah lahirnya Beslit Gubernemen 7 Oktober 1914 maka Kerajaan Jenilu dan Naitimu digabung menjadi sebuah kerajaan baru bernama Kakuluk Mesak di bawah pimpinan Raja Don Josef Da Costa. Jumlah kerajaan di Belu pun tinggal 17 dari sebelumnya 18 buah. Kemudian tanggal 1 April 1915 Swapraja Insana, Swapraja Biboki, dan Swapraja Harneno, dimasukkan ke dalam wilayah Timor Tengah Utara sehingga jumlah kerajaan di Belu tinggal 14 buah. Sebulan kemudian tanggal 29 Mey 1915 Civil Militair Asisten Resident Gramberg menggelar rapat di Besikama dihadiri oleh Swapraja Wehali, Wewiku, Haitimuk, Fatuaruin, Lakekun, Dirma, dan Mandeu. Dalam rapat ini disepakati pembentukan sebuah Swapraja baru bernama Swapraja Malaka. (Belu Pemimpin dan Sejarah:Jejak Tapak Dari Masa Ke Masa, 2007:4).

Transcript of BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/106237/potongan/S2-2016... · (Sejarah...

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Pada masa penjajahan Belanda, wilayah Kabupaten Belu merupakan

gabungan dari 20 wilayah Swapraja/Kerajaan yang meliputi Belu dan sebagian

Timor Tengah Utara yaitu Wewiku, Haitimuk, Alas, Wehali, Fatuaruin,

Lakekun, Dirma, Mandeu, Insana, Biboki, Harneno, Naitimu, Lidak, Jenilu,

Fialaran, Silawan, Maukatar, Lamaknen, Makir, dan Lamaksanulu. Tahun

1862 pusat pemerintahannya berada di Atapupu dengan kepala

pemerintahannya disebut GEZAGHEBER. Pada tahun 1910 Swapraja Anas

diserahkan kepada Swapraja Amanatun (Timor Tengah Selatan). Pada tanggal

25 Maret 1913 Kerajaan Lidak digabung dengan Kerajaan Jenilu yang

dipimpin oleh Raja Don Josef Da Costa dengan nama Swapraja Jenilu.

(Sejarah Singkat Rai Belu, 2011:1-2). Kemudian setelah lahirnya Beslit

Gubernemen 7 Oktober 1914 maka Kerajaan Jenilu dan Naitimu digabung

menjadi sebuah kerajaan baru bernama Kakuluk Mesak di bawah pimpinan

Raja Don Josef Da Costa. Jumlah kerajaan di Belu pun tinggal 17 dari

sebelumnya 18 buah. Kemudian tanggal 1 April 1915 Swapraja Insana,

Swapraja Biboki, dan Swapraja Harneno, dimasukkan ke dalam wilayah

Timor Tengah Utara sehingga jumlah kerajaan di Belu tinggal 14 buah.

Sebulan kemudian tanggal 29 Mey 1915 Civil Militair Asisten Resident

Gramberg menggelar rapat di Besikama dihadiri oleh Swapraja Wehali,

Wewiku, Haitimuk, Fatuaruin, Lakekun, Dirma, dan Mandeu. Dalam rapat ini

disepakati pembentukan sebuah Swapraja baru bernama Swapraja Malaka.

(Belu Pemimpin dan Sejarah:Jejak Tapak Dari Masa Ke Masa, 2007:4).

2

Pada tanggal 19 Januari 1916 Gesachebber melaksanakan rapat dengan

Swapraja Makir, Lamaknen, Lamaksanulu, Kakuluk Mesak, Fialaran, dan

Silawan yang mengasilkan terbentuknya “Swapraja Belu Tasifeto”. Pada

tanggal 20 September 1923 Controleur Belu Van Raesfild Meyer menerbitkan

memori tentang struktur pemerintahan di wilayah Belu, yakni :

a. Menghapuskan Swapraja Malaka dan Swapraja Belu Tasifeto.

b. Membentuk satu Swapraja yang terdiri dari wilayah Belu

seluruhnya ditambah Swapraja Insana dan Biboki (Timor

Tengah Utara).

c. Mengakui Bria Nahak sebagai Raja Belu dengan gelar

“Maromak Oan”.

d. Dalam melaksanakan pemerintahan Maromak Oan dibantu oleh

seorang mangkubumi yang bergelar Liurai. (Belu Pemimpin

dan Sejarah:Jejak Tapak Dari Masa Ke Masa, 2007:7).

Pada tanggal 14 Mey 1930 dengan Resident Timor en

Onderhoorgheden Seran Asit Fatin diakui sebagai kepala Swapraja Belu

dengan gelar Liurai. Setelah Seran Asit Fatin meninggal dunia pada pada

tanggal 9 November 1931 terjadilah kevakuman jabatan Liurai Belu. (Belu

Pemimpin dan Sejarah:Jejak Tapak Dari Masa Ke Masa, 2007:9). Pada

tanggal 20 Juli 1940 pemerintah Belanda oleh Controleur W. Ch. J.J. Buffart

melaporkan kepada pemerintah pusat bahwa Swapraja Belu dihapus dan

dibentuk 3 Swapraja baru yaitu Swapraja Malaka, Swapraja Tasifeto, dan

Swapraja Lamaknen. Mengakui Antonius Tei Seran sebagai Raja Malaka

dengan gelar Liurai, Atok Samara sebagai Raja Tasifeto dengan gelar

Astanara, dan Bau Liku Raja Lamaknen bergelar Loro. (Belu Pemimpin dan

Sejarah:Jejak Tapak Dari Masa Ke Masa, 2007:10).

Wilayah pemerintahan Belu dipimpin oleh seorang pejabat Jepang

yang disebut “Bunken Kanrikan”. Pemerintah Jepang mengakui wilayah Belu

terbagi mejadi 2 Swapraja:

3

1. Swapraja Tasimane dipimpin oleh Arnoldus Klau sebagai Raja I dan

Edmundus Tei Seran (Na’i Fatuaruin) sebagai Raja II.

2. Swapraja Tasifeto dipimpin oleh Nikolas Manek sebagai Raja I dan

Hendrikus Besin Siri Da Costa sebagai Raja II.

Panitia pemerintahan sementara (PPS) Swapraja Belu yang dibentuk dengan

Beslit Resident Timor en Ondertiooroghden tanggal 2 Mei 1932 No. 842 tetap

diakui, dengan anggotanya Loro Lakekun (Benekdiktus Leki Tahuk), Loro Bauho

(Hendrikus Besin Siri Da Costa), Raja Kewar (A. A. Bere Tallo). Panitia

pemerintahan sementara (PPS) meliputi 3 Swapraja dan 37 ke-Na’i-an. Pada

tanggal 15 Agustus 1946 dibentuk Dewan Raja-raja Federasi kepulauan Timor di

Kefamenanu yang terdiri dari 20 anggota yaitu semua Kepala Swapraja di pulau

Timor, Rote, Sabu, dan Alor Pantar. Pada tanggal 31 Maret 1949 No. 121 oleh

Beslit Resident Timor mengangkat Hendrikus Besin Siri Da Costa sebagai Raja

Tasifeto dan A. A. Bere Tallo sebagai Raja Kewar. Dengan SKP Ketua Dewan

Raja-raja Timor dan Kepulauan Nomor P.3/21/1 tanggal 20Agustus 1949

mengangkat A. A. Bere Tallo untuk memangku jabatan Ketua PPA Swapraja

Belu, kemudian dibubarkan dengan Undang-Undang Negara Indonesia Timur

Nomor 44 tahun 1950 tanggal 1 Oktober 1950 dan membentuk Pemerintahan

Daerah Timor yang dikepalai oleh seorang Kepala Daerah dan didampingi oleh

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) (Sejarah Singkat Rai Belu, 2011:3).

Pada tanggal 1 April 1951 oleh Kepala Daerah Timor (H. A. Koroh)

mengangkat Raja Lamaknen (A. A. Bere Tallo) sebagai anggota Dewan

Pemerintahan Daerah (DPD) Timor di Kupang sekaligus merangkap Pj. Ketua

Panitia Pemerintahan Sementara (PPS) Swapraja Belu di Atambua dan Raja

Lamaknen. SKP Gubernur NTT di Singaraja Nomor Des.2/1/2 tanggal 15

Februari 1954, mengesahkan Majelis Pemerintah Harian Swapraja Belu dengan

Ketua A. A. Bere Tallo. Kemudian dengan SKP Gubernur NTT di Singaraja

Nomor 115/UP.3/3//63 tanggal 9 Juni 1954 mengangkat A. A. Bere Tallo sebagai

Kepala Pemerintahan Setempat (KPS) Belu. (Sejarah Singkat Rai Belu, 2011:3-4).

4

Hampir setiap kota yang ada di dunia maupun di Indonesia tentunya

memiliki karakter, ciri khas, dan keunikan tersendiri. Dalam sebuah Kota yang

heterogen, distrik terbentuk oleh kelompok warga kota berdasarkan tujuan

tertentu seperti ras dan suku, status sosial, atau mata pencaharian. Tujuan

tersebut berperan penting terhadap proses terbentuknya karakteristik suatu

Kota. Seperti halnya Jalan Jendral Sudirman di kawasan Pecinan Kampung

Merdeka Kota Atambua yang menjadi lokus penelitian ini memiliki ciri khas,

keunikan tersendiri dibandingkan dengan Pecinan yang ada di Indonesia. Hal

ini dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satu faktor adalah sejarah yang

bisa menjadi faktor utama yang mempengaruhi identitas karakteristik tersebut.

Selain itu ada faktor lain yang dapat menjadi generator terbentuknya

karakteristik suatu kota atau kawasan yaitu geografis, kebudayaan dan tradisi,

iklim, dan kecendrungan/kebiasaan masyarakat setempat.

Kota Atambua terbentuk pada awal tahun 1900-an yaitu pada tahun

1916 ketika pemerintah Kolonial Belanda mulai memasuki Kota Atambua

hingga berakhir pada tahun 1940-an. Sejak saat itu ruang Kota Atambua mulai

terbentuk dengan dibangunnya jaringan Jalan Lintas Timor tahun 1916-1919.

Hal ini tampak dari adanya jaringan jalan dalam Kota dan fasilitas-fasiltas

pendukung kota lainya yang dibangun pemerintah Kolonial Belanda seperti

Rumah Resident Belanda, Kantor Swaparaja Belu, Rumah Sakit Belanda,

Sekolah, Gereja, Rumah Dinas Pegawai Swapraja Belu, pasar, dan Pertokoan.

Kasus pertokoan umumnya orang Cina yang menempati seperti di kawasan

Pecinan Kampung Merdeka.

5

I.1.1. Sejarah Singkat Perkembangan Kota Atambua

Kata "Belu" menurut penuturan para tetua adat bermakna

"Persahabatan" yang bila diterjemahkan secarah harafiah ke dalam bahasa

Indonesia berarti "teman" atau "sobat". Ini merupakan makna simbol yang

mendeskripsikan bahwa pada zaman dahulu para penghuni Belu memang

hidup saling peduli dan bersahabat dengan siapa saja. Oleh karena itu,

ketika orang-orang Cina yang datang di Timor diterima dengan baik

sebagai sahabat.

Fakta sejarah menunjukkan bahwa pada abad ke 12 Atapupu

merupakan bekas Kota Lama dan sekaligus sebagai Kota pelabuhan

hingga pada masa Kolonial Belanda tahun 1911 yang saat ini menjadi

pelabuhan Atapupu. Pelabuhan Atapupu diberi nama oleh Dinasti Yuan

“Mei Luo” (“Belu” yang dalam bahasa Tetun berarti Sahabat) merupakan

pelabuhan tertua di Nusa Tenggara Timur sudah dikenal sejak 1225 oleh

Dinasti Yuan-Cina hal ini disebut dalam naskah lawas “Sejatinya, Posisi

Timor sebagai penghasil cendana terbaik telah disebut dalam sumber

terlawas berjudul Zhufan Zhi pada tahun 1225. Naskah itu ditulis oleh

Chau Ju Kua, seorang pengawas perdagangan Cina di Makau. Mereka

telah berjejak di Timor jauh sebelum kedatangan orang-orang Portugis.

(Majalah National Geographic, Edisi Februari 2015 Hal. 58). Hal ini

membuktikan bahwa orang Cina datang mendahului kedatangan bangsa

Eropa seperti Portugis (awal abad 15) dan kemudian disusul oleh Belanda

(awal abad 17) ke Timor dalam rangka mencari kayu cendana yang harum

untuk dipakai sebagai dupa harum-haruman untuk ibadah orang Budha

atau Konfusius serta untuk bahan baku kosmetik dan obat-obatan. Sejak

jaman itulah terjadi perkawinan antar orang Cina dengan Putra/Putri dari

Liurai/ Raja-raja di Timor dan kemudian hidup membaur dengan

masyarakat pribumi. Kawasan Pecinan Kampung Merdeka Atambua atau

sering disebut warga lokal dengan nama Pasar Lama merupakan pusat

perekonomian dan pusat Kota Atambua sejak jaman Swapraja Belu dan

jaman penjajahan Belanda.

6

Pada era tahun 1950-an kawasan ini masih sangat sedikit bangunan

dan terdiri dari bangunan permanen dan semi permanen satu lantai dengan

atap alang-alang/rumbia dan atap seng. Kemudian pada tahun 1960-an

baru mulai ada perubahan yang lebih baik dari yang dulunya bangunan

semi permanen menjadi bangunan permanen namun rata-rata masih

bangunan satu lantai. Setelah itu, pada tahun 1970-an masa ini merupakan

masa dimana mulai nampak bangunan Rumah-Toko dua lantai. Seiring

berkembangnya perekonomian dan perkembangan Kota Atambua yang

semakin maju maka terjadi beberapa ekspansi ruang jalan di kawasan

pecinan kampung Merdeka Atambua khususnya di Jalan Jendral Sudirman

yang menyebabkan ruang private menjadi ruang publik. Hal ini terjadi

pada selasar ruko yang merupakan ruang private milik ruko yang beralih

fungsi sebagai ruang publik bagi pejalan kaki.

Jalan Jendral Sudirman berada didalam kawasan Pecinan (China

Town) Kampung Merdeka di Pusat Kota Atambua yang merupakan

kawasan perdagangan dan jasa. Kawasan ini dekat dengan titik nol km

Kota Atambua yaitu Monumen Pancasila dan berbatasan langsung dengan

Kali Talau yang berada di sisi Timur serta berbatasan langsung dengan

bekas Pusat Pemerintahan Swapraja Belu. Seperti pada foto udara google

earth di bawah ini dapat dilihat lokasi Kawasan Pecinan Kampung

Merdeka yang berada di pusat Kota Atambua.

7

Gambar 1.1. Citra Satelit Lokasi Pecinan Kampung Merdeka di Pusat Kota Atambua.

Sumber : Olahan Peneliti dari Google Earth, 2015.

8

Jalan Jendral Sudirman merupakan salah satu jalan utama yang

ada di kawasan Pecinan Kampung Merdeka. Kawasan ini merupakan

cikal bakal terbentuknya Kota Atambua dan merupakan pusat

perekonomian Kota Atambua hingga kini. Jalan Jendral Sudirman

merupakan tempat yang bersejarah bagi Kota Atambua. Di dalam

kawasan masih dapat dilihat bangunan-bangunan lama yang masih asli.

Arsitektur bangunan di ruang Jalan Jendral Sudirman sangat unik

karena memiliki facade dan karakter bangunan yang berbeda dengan

Pecinan pada umumnya.

Jalan merupakan urat nadi dari subuah kota, jalan berfungsi

sebagai motor penggerak pertumbuhan sebuah kota. Jalan yang ideal

dan baik merupakan hal yang harus dimiliki oleh sebuah kota. Elemen

jalan adalah suatu aspek yang kuat dalam membentuk struktur

lingkungan perkotaan, tiga prinsip utama pengaturan teknik sirkulasi

jalan yaitu jalan harus menjadi elemen ruang terbuka yang memiliki

dampak visual yang positif, jalan harus dapat memberikan orientasi

kepada pengemudi dan membuat lingkungan menjadi jelas terbaca.

(Shirvani, 1985).

Permasalahan ruang jalan dalam perkotaan muncul di sebuah

kota besar maupun kota kecil. Permasalahan di ruang jalan tersebut

terdapat juga di Jendral Sudirman Atambua. Permasalahan tersebut

meliputi pedestrian, vegetasi, papan reklame, tempat parkir,

penerangan, dan fasilitas pendukung. Selain itu, terjadi ekspansi ruang

jalan yang menyebabkan ruang privat menjadi publik. Kualitas ruang

publik yang buruk menyebabkan penurunan kualitas keamanan dan

kenyamanan. Minimnya fasilitas publik, dan belum adanya arahan

detail design guidelines yang mengatur pola perkembangan dan

pertumbuhan fisik di kawasan Pecinan Kampung Merdeka Atambua

khususnya di Jalan Jendral Sudirman.

9

Foto 1.1. Kondisi Eksisting Ruang Jalan Jendral Sudirman.

10

I.1.2. Ruang Urban di Kawasan Kampung Merdeka, Pusat Kota

Atambua

Di dalam tata ruang kota, daerah pecinan sering menjadi “Pusat

Perkembangan” karena daerah tersebut merupakan daerah perdagangan yang

ramai. Daerah yang punya kepadatan tinggi dengan penampilan bangunan

berbentuk Ruko (Shop House) sering menjadi ciri daerah Pecinan. (Reid, 1993

dalam Tandipanga, 2011:16). Tingkat kepadatan tersebut dapat dilihat seperti

dalam figure ground map dibawah ini.

Gambar 1.2. Figure Ground Map China Town Atambua, 2016. Gambar 1.3. Linkage Map Atambua Town, 2016.

Selain itu, dapat dilihat bagaimana penampilan bangunan di Jalan

Jendral Sudirman dalam kawasan Pecinan Kampung Merdeka seperti yang

dijelaskan diatas bahwa “Daerah yang punya kepadatan tinggi dengan

penampilan bangunan berbentuk Ruko (Shop House) sering menjadi ciri

daerah Pecinan”. (Reid, 1993 dalam Tandipanga, 2011:16). Hal itu dapat

terlihat seperti pada foto dibawah ini yang diambil secara acak di Kawasan

Pecinan Kampung Merdeka, pusat Kota Atambua.

11

Gambar 1.4. Kondisi Existing Pecinan Kampung Merdeka Atambua, 2015.

12

Fokus dan lokus penelitian di Jalan Jendral Sudirman berada

dalam kawasan Pecinan Kampung Merdeka pusat Kota Atambua. Jalan

Jendral Sudirman merupakan jalan utama yang membagi atau membelah

kawasan Pecinan Kampung Merdeka dari timur ke barat menjadi dua

bagian yaitu utara dan selatan dan jalan Jendral Sudirman ini merupakan

jalur yang dilalui oleh transportasi umum (angkutan kota) serta kawasan

ini merupakan kawasan Kota Lama Atambua dan merupakan kawasan

perdagangan dan jasa. Kawasan Pecinan Kampung Merdeka ini berbatasan

langsung dengan beberapa bangunan heritage peniggalan Swapraja Belu

dan kolonial Belanda. Oleh karena itu, maka kondisi eksisting di kawasan

ini cukup padat, kepadatan di kawasan ini lebih dari 70%. Kawasan ini

sangat minim fasilitas pendukung ruang publik, seperti halnya lampu

jalan, signs, pedestrian yang tidak sesuai standar serta minimnya vegetasi

di kawasan ini sehingga tidak nyaman ketika berjalan di siang hari hingga

sore hari.

I.2. Rumusan Masalah

1. Adanya ekspansi ruang jalan yang menyebabkan ruang private menjadi

publik.

2. Kualitas ruang jalan yang buruk yang menyebabkan penurunan kualitas

keamanan dan kenyamanan.

3. Jalan Jendral Sudirman di kawasan Pecinan Kampung Merdeka Kota

Atambua masuk dalam kawasan cagar budaya yang harus dipertahankan dan

sekaligus sebagai kawasan perekonomian dan pusat Kota Atambua.

4. Belum adanya arahan detail design guidelines yang mengatur pola

perkembangan dan pertumbuhan fisik pada kawasan Pecinan Kampung

Merdeka khususnya Jalan Jendral Sudirman.

13

I.3. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimanakah karakteristik elemen-elemen ruang Jalan Jendral Sudirman

pada saat ini?

2. Faktor-faktor apa saja yang membentuk karakteristik elemen-elemen ruang

Jalan Jendral Sudirman pada saat ini?

3. Upaya apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas ruang jalan

berdasar pada karakteristik ruang Jalan Jendral Sudirman pada saat ini?

I.4. Tujuan Penelitian

1. Mengidentifikasi elemen-elemen ruang jalan, sehingga dapat diketahui

karakteristik ruang Jalan Jendral Sudirman di Pusat Kota Atambua.

2. Mengidentifikasi elemen-elemen pembentuk ruang jalan, sehingga dapat

diketahui faktor pembentuk karakteristik ruang jalan pada saat ini.

3. Merumuskan design guidelines sebagai pertimbangan, arahan, dan

kebijakan kedepan bagi pemerintah setempat.

I.5. Sasaran Penelitian

Sasaran dari penelitian ini, antara lain:

1. Mengidentifikasi karakter spesifik elemen-elemen ruang jalan Jendral

Sudirman di kawasan Pecinan Kampung Merdeka Kota Atambua yaitu

elemen fisik (Tata guna lahan, bentuk dan masa bangunan, sirkulasi dan

parkir, ruang terbuka, activity support, simbol dan tanda, jalur pejalan

kaki, dan vegetasi).

2. Merumuskan faktor-faktor yang membentuk/mempengaruhi karakteristik

ruang Jalan Jendral Sudirman pada kawasan Pecinan Kampung Merdeka

di Pusat Kota Atambua.

3. Menyusun arahan penataan ruang jalan berdasarkan karakteristik ruang

jalan saat ini sehingga dapat meningkatkan kualitas ruang jalan Jendral

Sudirman di kawasan Pecinan Kampung Merdeka Kota Atambua.

14

I.6. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini nantinya berupa arahan arahan penataan pada

ruang jalan Jendral Sudirman berdasarkan karakteristik setempat atau

karakteristik yang ada pada saat ini berdasarkan hasil penelitian atau temuan

di lapangan sehingga dapat meningkatkan kualitas ruang jalan dan

menguatkan karakteristik kawasan, keunikan atau ciri khas sehingga identitas

kawasan tersebut mejadi daya tarik tersendiri bagi kota tersebut.

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan

masukan bagi berbagai pihak diantaranya sebagai berikut:

a. Bagi ilmu pengetahuan/ Penulis

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi berupa teori

tentang pengaruh ruang jalan terhadap tingkat kualitas ruang jalan Jendral

Sudirman yang berada dalam kawasan Pecinan Kampung Merdeka di

pusat Kota Atambua.

b. Bagi Pemerintah Kota/ Pengambil Kebijakan

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberi kontribusi ide dan masukan

kepada pemerintah Kota Atambua untuk memahami permasalahan

kawasan Kota Atambua khususnya Jalan Jendral Sudirman yang berada

dalam kawasan Pecinan Kampung Merdeka di pusat kota Atambua.

c. Bagi Masyarakat

Diharapkan penelitian ini menjadi sumber pengetahuan baru terkait dengan

penataan ruang jalan perkotaan Kota Atambua di kawasan Pecinan

Kampung Merdeka khususnya Jalan Jendral Sudirman.

15

I.7. Keaslian Penelitian

Berdasarkan uraikan di atas, penelitian ini berjudul : Karakteristik

Ruang Jalan Jendral Sudirman di Pusat Kota Atambua. Membahas tentang

karakteristik ruang jalan pada saat ini di kawasan Pecinan Kampung Merdeka,

Atambua. Menganalisis karakteristik ruang jalan Jendral Sudirman pada saat ini

yang berada dalam kawasan Pecinan Kampung Merdeka di pusat kota Atambua,

dan mencari tahu faktor-faktor apa saja yang membentuk karakteristik ruang jalan

Jendral Sudirman di Kawasan Pecinan Kampung Merdeka, guna mendapatkan

arahan design guidelines sebagai upaya yang dilakukan untuk meningkatkan

karakteristik ruang jalan Jendral Sudirman dalam kawasan Pecinan Kampung

Merdeka di pusat kota Atambua kedepannya.

Penelitian tentang karakteristik ruang jalan di kawasan Pecinan telah

banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti lain dengan topik berbagai fokus yang

bermacam-macam. Berikut ini adalah beberapa penelitian yang dipandang

memiliki kemiripan, perbandingan perbedaan dengan penelitian yang lainnya

dijelaskan seperti uraian dan tabel di bawah ini.

a. Perancangan Ruang Kota Kawasan Pecinan Glodok, Jakarta

(Megawardhana, 1998)

Membahas tentang perancangan ruang kota yang mengambil lokasi

di Kawasan Pecinan Glodok, Jakarta. Penelitian ini yaitu perancangan

ruang Kota menitik-beratkan pada elemen sistem keterkaitan ruang

kota (linkage system) sebagai suatu prioritas utama revitalisasi

kawasan Kota Lama Jakarta. Perbedaan penelitian ini yaitu

perancangan ruang kota kawasan Pecinan yang diteliti berada di

kawasan Kota Lama, Glodok, Jakarta yang menitik-beratkan pada

elemen sistem keterkaitan ruang kota (linkage system) sebagai suatu

prioritas utama revitalisasi kawasan Kota Lama Jakarta, sedangkan

pada kawasan Pecinan Kampung Merdeka berada di Pusat Kota

Atambua, Kabupaten Belu-NTT dan penelitian ini tujuannya yaitu

mengetahui karakteristik ruang jalan Jendral Sudirman pada saat ini di

16

Kawasan Pecinan Kampung Merdeka, Atambua dan mengidentifikasi

elemen-elemen pembentuk ruang jalan, guna mengetahui faktor

pembentuk karakteristik ruang jalan pada saat ini di kawasan Pecinan

Kampung Merdeka.

b. Penolakan Masyarakat Pecinan Semarang Terhadap Kebijakan

Dan Program Revitalisasi Kawasan Pecinan (Jamila Kasutsary,

2003)

Membahas tentang penolakan masyarakat Pecinan terhadap

kebijakan dan program revitalisasi kawasan Pecinan yang mengambil

lokasi di Kawasan Pecinan Semarang, Jawa Tengah. Perbedaan Penelitian

ini yaitu fokusnya pada konflik ruang, waktu, dan aktifitas antara kegiatan

baru dengan tradisi yang tumbuh di masyarakat Pecinan dan berada di

kawasan Pecinan Semarang, Jawa Tengah. Penelitian menggunakan

metode induktif kualitatif dan analisis diskriptif empirik dengan sampel

purposive, sedangkan pada penelitian di kawasan Pecinan Kampung

Merdeka yang berada di Pusat Kota Atambua, Kabupaten Belu-NTT

tujuannya yaitu mengetahui karakteristik ruang jalan pada saat ini di

kawasan Pecinan Kampung Merdeka, Atambua dan mengidentifikasi

elemen-elemen pembentuk ruang jalan, guna mengetahui faktor

pembentuk karakteristik ruang jalan pada saat ini di kawasan Pecinan

Kampung Merdeka dan menggunakan metode deskriptif kualitatif.

c. Informal Street Activities : A Case on Sustainable Urban Cultural

Identity of Pecinan Semarang, Indonesia (K. Nurul Handayani,

2005)

Membahas tentang kaitan antara pola kegiatan informal yang

terjadi pada ruas jalan yang berlokasi di kawasan Pecinan Semarang,

Jawa Tengah. Penelitian ini lebih diarahkan kepada kaitan antara pola

kegiatan informal yang terjadi pada ruas jalan dalam kawasan pecinan

17

Semarang dalam hubungannya dengan keberlanjutan identitas

kebudayaan di lokasi penelitian, sedangkan pada kawasan Pecinan

Kampung Merdeka berada di Pusat Kota Atambua, Kabupaten Belu-

NTT dan penelitian ini tujuannya yaitu mengetahui karakteristik ruang

jalan pada saat ini di Kawasan Pecinan Kampung Merdeka, Atambua

dan mengidentifikasi elemen-elemen pembentuk ruang jalan, guna

mengetahui faktor pembentuk karakteristik ruang jalan pada saat ini di

kawasan Pecinan Kampung Merdeka.

d. Karakteristik Ruang Sub Kawasan Kotagede (Poerwadi, 2002)

Membahas tentang Karakteristik Ruang Sub Kawasan Kotagede.

Penelitian ini yaitu analisa karakteristik wilayah sub kawasan

Kotagede dengan tujuan memperkuat ciri visual ruang jalan utama

kawasan Kotagede dan menggunakan metode rasionalistik untuk

mendapatkan gambaran secara kualitatif, sedangkan penelitian yang

saya lakukan di kawasan Pecinan Kampung Merdeka dengan judul

Karakteristik Ruang Jalan Jendral Sudirman di Pusat Kota Atambua,

Kasus Kawasan Pecinan Kampung Merdeka, Kabupaten Belu, NTT

memiliki tujuan yang berbeda yaitu mengetahui karakteristik ruang

Jalan pada saat ini di Kawasan Pecinan Kampung Merdeka, Atambua

dan mengidentifikasi elemen-elemen pembentuk ruang jalan, guna

mengetahui faktor pembentuk karakteristik ruang jalan pada saat ini di

kawasan Pecinan Kampung Merdeka dan menggunakan metode

deskriptif kualitatif.

e. Karakter Visual Kawasan Pecinan Makasar, Studi Kasus : Jalan

Sulawesi (Prayudi Kresna Batara Tandipanga, 2011)

Membahas tentang karakter visual kawasan Pecinan. Perbedaan

penelitian ini yaitu pada lokusnya yang berada di kawasan Pecinan

Makassar, studi kasus Jalan Sulawesi dan mengunakan metode

rasionalistik kualitatif dan tujuannya yaitu untuk mendapatkan karakter

18

visual kawasan Pecinan Makassar dan faktor-faktor pembentuknya.

Penelitian ini juga ditujukan sebagai dasar dan pertimbangan dalam

pembuatan guidelines kawasan untuk pembangunan kedepannya,

sedangkan pada penelitian di kawasan Pecinan Kampung Merdeka

yang berada di Pusat Kota Atambua, Kabupaten Belu-NTT tujuannya

yaitu mengetahui karakteristik ruang Jalan Jendral Sudirman pada saat

ini di Kawasan Pecinan Kampung Merdeka, Atambua dan

mengidentifikasi elemen-elemen pembentuk ruang jalan, guna

mengetahui faktor pembentuk karakteristik ruang jalan pada saat ini di

kawasan Pecinan Kampung Merdeka dan metode yang digunakan

dalam penelitian ini yaitu deskriptif kualitatif.

f. Karakteristik Fisik Pelingkup Jalan. Studi Kasus : Koridor Jalan

Jogonegaran, Yogyakarta (Lodwik O. Dahoklory, 2015)

Membahas tentang karakteristik fisik pelingkup jalan. Perbedaan

penelitian ini yaitu pada lokusnya yang berada di Yogyakarta. Studi

kasus Jalan Jogonegaran dengan menggunakan metode rasionalistik

kualitatif dan tujuannya yaitu untuk mendapatkan karakteristik fisik

pelingkup jalan. Penelitian ini juga ditujukan sebagai dasar dan

pertimbangan dalam pembuatan guidelines kawasan untuk

pembangunan kedepannya, dengan temuan karakteristik fisik elemen-

elemen pelingkup ruang jalan dan kecendrungan dominasi elemen

pelingkup tertentu pada koridor Jl. Jogonegaran. Sedangkan pada

penelitian di kawasan Pecinan Kampung Merdeka yang berada di

Pusat Kota Atambua, Kabupaten Belu-NTT tujuannya yaitu

mengetahui karakteristik ruang Jalan Jendral Sudirman pada saat ini di

Kawasan Pecinan Kampung Merdeka, Atambua dan mengidentifikasi

elemen-elemen pembentuk ruang jalan, guna mengetahui faktor

pembentuk karakteristik ruang jalan pada saat ini di kawasan Pecinan

Kampung Merdeka dan metode yang digunakan dalam penelitian ini

yaitu deskriptif kualitatif.

19

Tabel 1.1. Penelitian Yang Telah Dilakukan Sebelumnya

Sumber: Daftar Tesis Program Pascasarjana Megister Desain Kawasan Binaan,

UGM.

No. Nama/Tahun Judul Lokus Fokus Metode

1. Megawardhana,

Arsitektur Institut

Teknologi Bandung,

1998.

Perancangan

Ruang Kota

Kawasan Pecinan

Glodok Jakarta

Pecinan

Glodok Jakarta

Perancangan ruang

Kota yang menitik-

beratkan pada

elemen sistem

keterkaitan ruang

kota (linkage system)

sebagai suatu

prioritas utama

revitalisasi kawasan

Kota Lama Jakarta.

2.

Jamila Kasutsary,

Program Magister

Perencanaan Kota

Dan Daerah,

Universitas Gadjah

Mada, 2003

Penolakan

Masyarakat

Pecinan Semarang

Terhadap

Kebijakan Dan

Program

Revitalisasi

Kawasan Pecinan

Pecinan

Semarang,

Jawa Tengah

Konflik ruang,

waktu, dan aktifitas

antara kegiatan baru

dengan tradisi yang

tumbuh di

masyarakat pecinan.

Induktif

kualitatif

dan

analisis

diskriptif

empirik

dengan

sampel

purposive.

3.

K. Nurul

Handayani, Master

Student, Dept.

Architecture,

Faculty of

Engineering,

Universitas Gadjah

Mada, 2005.

Informal Street

Activities : A Case

on Sustainable

Urban Cultural

Identity of

Pecinan

Semarang,

Indonesia.

Pecinan

Semarang

Penelitian lebih

diarahkan kepada

kaitan antara pola

kegiatan informal

yang terjadi pada

ruas jalan dalam

kawasan pecinan

Semarang dalam

hubungannya dengan

keberlanjutan

identitas kebudayaan

di lokasi penelitian.

20

4.

Poerwadi, Program

Studi Teknik

Arsitektur dan

Perencanaan,

Konsentrasi Desain

Kawasan Binaan,

UniversitasGadjah

Mada, 2002.

Karakteristik

Ruang Sub

Kawasan

Kotagede

Kawasan

Kotagede,

Yogyakarta

Memperkuat ciri

visual ruang jalan

jalur utama kawasan

Kotagede

Rasionalis

tik

Kualitatif

5.

Prayudi Kresna

Batara Tandipanga,

Program Studi

Teknik Arsitektur

dan Perencanaan,

Konsentrasi Desain

Kawasan Binaan,

Universitas Gadjah

Mada, 2011.

Karakter Visual

Kawasan Pecinan

Makasar (Studi

kasus : Jalan

Sulawesi).

Jalan Sulawesi,

Pecinan

Makasar,

Sulawesi

Selatan

Mendapatkan

karakter visual

kawasan Pecinan

Makasar dan faktor-

faktor pembentuknya

Rasionalis

tik

Kualitatif

6.

Lodwik O.

Dahoklory, Program

Studi Teknik

Arsitektur dan

Perencanaan,

Konsentrasi Desain

Kawasan

Binaan,Universitas

Gadjah Mada, 2015.

Karakteristik

Fisik Pelingkup

Jalan. Studi Kasus

: Koridor Jl.

Jogonegaran,

Yogyakarta.

Jalan

Jogonegaran,

Yogyakarta

Karakteristik Fisik

Pelingkup Jalan

Rasionalis

tik

Kualitatif

21

7.

Feryrius Fahik,

Program Studi

Teknik Arsitekur

dan Perencanaan,

Konsentrasi Desain

Kawasan Binaan,

Universitas Gadjah

Mada, Yogyakarta,

2015

Karakteristik

Ruang Jalan

Jendral Sudirman

di Pusat Kota

Atambua

Pecinan

Kampung

Merdeka, di

Kota Atambua,

Kabupaten

Belu, NTT

Mengetahui

karakteristik ruang

perkotaan pada saat

ini di Kawasan

Pecinan Kampung

Merdeka-Atambua

dan mengidentifikasi

elemen-elemen

pembentuk ruang

perkotaan, sehingga

akan diketahui faktor

pembentuk

karakteristik ruang

urban pada saat ini di

kawasan Pecinan

Kampung Merdeka-

Atambua.

Deskriptif

Kualitatif

22

I.8. Alur Pikir Penelitian

Skema 1.1. Alur Pikir Penelitian, 2016.