BAB I (Repaired)ftythhgyj
-
Upload
-nurmayuimdasimatupang- -
Category
Documents
-
view
232 -
download
4
description
Transcript of BAB I (Repaired)ftythhgyj
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH) merupakan suatu kondisi
medis, yang ditandai oleh hiperaktivitas, ketidakmampuan memusatkan perhatian dan
impulsivitas, yang terdapat secara persisten (menetap). Sebagian anak dapat menunjukkan
gejala hiperaktif, yang lainnya menunjukkan gejala kesulitan memusatkan perhatian, dan
ada pula yang menunjukkan impulsivitas, atau ketiga gejala tersebut terdapat secara
bersamaan. Anak dengan GPPH jenis predominan ketidakmampuan memusatkan
perhatian, seringkali tampak sebagai anak yang suka melamun, pasif dan sulit untuk ikut
beraktivitas dengan temantemannya.
GPPH adalah gangguan jiwa pada anak yang paling sering dijumpai di klinik maupun
masyarakat. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan khususnya di bidang kedokteran jiwa,
sudah ditemukan cara mengatasi anak dengan GPPH, baik secara organobiologis, maupun
psikoedukatif ataupun sosiokultural.
Selama ini belum banyak orang memahami keadaan tersebut. Banyak yang
menganggap anak dengan GPPH merupakan anak yang nakal, bahkan mereka
diperlakukan dengan keras dan sering dihukum, baik di rumah oleh orangtua, maupun di
sekolah oleh guru atau di masyarakat. Hal ini tidak akan dapat menyelesaikan masalah dan
bahkan membuat masalahnya bertambah berat.
Tidak mudah menjadi orangtua dari seorang anak dengan GPPH, mereka sering merasa
lelah dan putus asa. Walau sudah banyak melakukan usaha untuk mengatasinya, namun
mereka merasa sia-sia karena tidak mendapatkan hasil yang diharapkan. Orangtua juga
sering merasa malu karena anaknya sering berbuat yang tidak pada tempatnya (misalnya
mengacak-acak barang, bahkan merusak atau mengganggu anak lain).
Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM), definisi GPPH
telah mengalami beberapa kali perubahan sesuai dengan perubahan konsep tentang
penyakit tersebut. Sesuai dengan DSM IV, terdapat tiga gejala utama yaitu inattentiveness
atau tidak mampu memusatkan perhatian, hiperaktivitas dan impulsivitas.
Prevalensi GPPH tipe kombinasi lebih tinggi dibandingkan dengan prevalensi
gangguan pemusatan perhatian saja atau hiperaktif saja (Lahey, 1990). Pada umumnya
1
berbagai ahli mengemukakan prevalensi GPPH pada anak sekolah berkisar 3%-10%
(Pineda D., et al., 1999). Di Amerika Serikat para ahli mempunyai kesepakatan bahwa
prevalensi GPPH adalah 3%-5% pada populasi anak (American Psychiatric Association,
1994). Berbagai penelitian terdahulu menunjukkan prevalensi gangguan ini berkisar dari
1% sampai 29,2% (Wang et al., 1992). Di Jakarta, prevalensi GPPH diantara anak Sekolah
Dasar 26,2%(Saputro D, 2004), proporsi terbesar adalah jenis gangguan tidak mampu
memusatkan perhatian yaitu sebesar 15,9 %.
Anak dengan GPPH banyak dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan untuk menjalani
pemeriksaan dalam upaya menegakkan diagnosis dan mendapatkan penanganan yang
sesuai. Namun tidak semua tenaga kesehatan di Rumah Sakit Umum (RSU), khususnya
Kelas A dan Kelas B, dan Rumah Sakit Jiwa (RSJ) memahami masalah GPPH.
1.2 Tujuan Pembahasan
Dalam penyusunan makalah ini tentunya memiliki tujuan yang diharapkan berguna
bagi para pembaca dan khususnya kepada penulis sendiri. Dimana tujuannya dibagi
menjadi dua macam yang pertama secara umum makalah ini bertujuan menambah
wawasan mahasiswa/I dalam menguraikan suatu persoalan secara holistik dan tepat, dan
melatih pemikiran ilmiah dari seorang mahasiswa/I fakultas kedokteran, dimana pemikiran
ilmiah tersebut sangat dibutuhkan bagi seorang dokter agar mampu menganalisis suatu
persoalan secara cepat dan tepat. Sedangkan secara khusus tujuan penyusunan makalah ini
ialah sebagai berikut :
a. Melengkapi tugas small group discussion skenario dua, modul dua puluh tentang
gangguan pemusatan perhatian hiperaktif (GPPH) atau attention deficit and
hyperaktivity disorder (ADHD).
b. Menambah khasanah ilmu pengetahuan para pembaca dan penulis.
c. Sebagai bahan referensi mahasiswa/I Fakultas Kedokteran UISU dalam menghadapi
ujian akhir modul.
Itulah merupakan tujuan dalam penyusunan makalah ini, dan juga sangat diharapkan
dapat berguna setiap orang yang membaca makalah ini. Semoga seluruh tujuan tersebut
dapat tercapai dengan baik
2
1.3 Metode dan Teknik
Dalam penyusunan makalah ini kami mengembangkan suatu metode yang sering
digunakan dalam pembahasan-pembahasan makalah sederhana, yaitu dengan
menggunakan metode dan teknik secara deskriptif dimana tim penyusun mencari sumber
data dan sumber informasi yang akurat lainnya setelah itu dianalisis sehinggga diperoleh
informasi tentang masalah yang akan dibahas setelah itu berbagai referensi yang
didapatkan dari berbagai sumber tersebut disimpulan sesuai dengan pembahasan yang akan
dilakukan dan sesuai dengan judul makalah dan dengan tujuan pembuatan makalah ini.
Itulah sekilas tentang metode dan teknik yang digunakan dalam penyusunan makalah ini.
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Teori Psikososial Anak
Banyak teori mengenai perkembangan psikososial, yang paling banyak dianut adalah teori
psikosisal dari Erik Erikson. Teori psikososial dari Erik Erikson meliputi delapan tahap
yang saling berurutan sepanjang hidup. Hasil dari tiap tahap tergantung dari hasil tahapan
sebelumnya, dan resolusi yang sukses dari tiap krisis ego adalah penting bagi individu
untuk dapat tumbuh secara optimal. Ego harus mengembangkan kesanggupan yang
berbeda untuk mengatasi tiap tuntutan penyesuaian dari masyarakat. Berikut adalah
delapan tahapan perkembangan psikososial menurut Erik Erikson :
1. Tahap I : Trust versus Mistrust (0-1 tahun)
Dalam tahap ini, bayi berusaha keras untuk mendapatkan pengasuhan dan kehangatan, jika
ibu berhasil memenuhi kebutuhan anaknya, sang anak akan mengembangkan kemampuan
untuk dapat mempercayai dan mengembangkan asa (hope). Jika krisis ego ini tidak pernah
terselesaikan, individu tersebut akan mengalami kesulitan dalam membentuk rasa percaya
dengan orang lain sepanjang hidupnya, selalu meyakinkan dirinya bahwa orang lain
berusaha mengambil keuntungan dari dirinya.
2. Tahap II: Autonomy versus Shame and Doubt (l-3 tahun)
Dalam tahap ini, anak akan belajar bahwa dirinya memiliki kontrol atas tubuhnya. Orang
tua seharusnya menuntun anaknya, mengajarkannya untuk mengontrol keinginan atau
impuls-impulsnya, namun tidak dengan perlakuan yang kasar. Mereka melatih kehendak
mereka, tepatnya otonomi. Harapan idealnya, anak bisa belajar menyesuaikan diri dengan
aturan-aturan sosial tanpa banyak kehilangan pemahaman awal mereka mengenai otonomi,
inilah resolusi yang diharapkan.
3. Tahap III : Initiative versus Guilt (3-6 tahun)
Pada periode inilah anak belajar bagaimana merencanakan dan melaksanakan tindakannya.
Resolusi yang tidak berhasil dari tahapan ini akan membuat sang anak takut mengambil
inisiatif atau membuat keputusan karena takut berbuat salah. Anak memiliki rasa percaya
diri yang rendah dan tidak mau mengembangkan harapanharapan ketika ia dewasa. Bila
anak berhasil melewati masa ini dengan baik, maka keterampilan ego yang diperoleh
adalah memiliki tujuan dalam hidupnya.
4
4. Tahap IV: Industry versus Inferiority (6-12 tahun)
Pada saat ini, anak-anak belajar untuk memperoleh kesenangan dan kepuasan dari
menyelesaikan tugas khususnya tugas-tugas akademik. Penyelesaian yang sukses pada
tahapan ini akan menciptakan anak yang dapat memecahkan masalah dan bangga akan
prestasi yang diperoleh. Ketrampilan ego yang diperoleh adalah kompetensi. Di sisi lain,
anak yang tidak mampu untuk menemukan solusi positif dan tidak mampu mencapai apa
yang diraih teman-teman sebaya akan merasa inferior.
5. Tahap V : Identity versus Role Confusion (12-18 tahun)
Pada tahap ini, terjadi perubahan pada fisik dan jiwa di masa biologis seperti orang dewasa
sehingga tampak adanya kontraindikasi bahwa di lain pihak ia dianggap dewasa tetapi di
sisi lain ia dianggap belum dewasa. Tahap ini merupakan masa stansarisasi diri yaitu anak
mencari identitas dalam bidang seksual, umur dan kegiatan. Peran orang tua sebagai
sumber perlindungan dan nilai utama mulai menurun. Adapun peran kelompok atau teman
sebaya tinggi.
6. Tahap VI : Intimacy versus Isolation (masa dewasa muda)
Dalam tahap ini, orang dewasa muda mempelajari cara berinteraksi dengan orang lain
secara lebih mendalam. Ketidakmampuan untuk membentuk ikatan sosial yang kuat akan
menciptakan rasa kesepian. Bila individu berhasil mengatasi krisis ini, maka keterampilan
ego yang diperoleh adalah cinta.
7. Tahap VII : Generativity versus Stagnation (masa dewasa menengah)
Pada tahap ini, individu memberikan sesuatu kepada dunia sebagai balasan dari apa yang
telah dunia berikan untuk dirinya, juga melakukan sesuatu yang dapat memastikan
kelangsungan generasi penerus di masa depan. Ketidakmampuan untuk memiliki
pandangan generatif akan menciptakan perasaan bahwa hidup ini tidak berharga dan
membosankan. Bila individu berhasil mengatasi krisis pada masa ini maka ketrampilan ego
yang dimiliki adalah perhatian.
8. Tahap VIII : Ego Integrity versus Despair (masa dewasa akhir)
Pada tahap usia lanjut ini, mereka juga dapat mengingat kembali masa lalu dan melihat
makna, ketentraman dan integritas. Refleksi ke masa lalu itu terasa menyenangkan dan
pencarian saat ini adalah untuk mengintegrasikan tujuan hidup yang telah dikejar selama
bertahun-tahun. Kegagalan dalam melewati tahapan ini akan menyebabkan munculnya rasa
putus asa.
5
2.2 Defenisi Anak Hiperaktif
Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH) adalah suatu kondisi medis
yang ditandai oleh ketidakmampuan memusatkan perhatian, hiperaktif dan atau impulsif
yang terdapat lebih sering dan lebih berat dibandingkan dengan anak-anak yang sebaya.
Masalah ini terdapat secara menetap (persisten) dan biasanya menyebabkan kesulitan
dalam kehidupan anak, baik di rumah, sekolah, atau dalam hubungan sosial antar manusia.
Gejala yang tampil tidak sama pada semua anak, oleh karena itu masalah yang dihadapi
juga berbeda. Sebagian anak dapat menunjukkan gejala hiperaktif, yang lainnya
menunjukkan gejala kesulitan memusatkan perhatian, dan ada pula yang menunjukkan
impulsivitas, atau ketiga gejala tersebut terdapat secara bersamaan. Gejalanya bervariasi,
mulai dari ringan, sedang sampai berat.
Diperkirakan 3 – 7 dari 100 anak sekolah, menderita GPPH (American Psychiatric
Association 2000). Ini berarti bahwa pada 40 murid dalam satu kelas, minimal satu orang
mengalami GPPH. Anak dengan GPPH berusaha keras untuk mempertahankan perhatian
dalam jangka waktu tertentu. Kadang-kadang mereka mengalami kesulitan dan menjadi
sangat mengganggu. GPPH berdampak pada semua aspek dari kehidupan anak,
mempengaruhi keadaan psikologis, sosial dan pencapaian akademik. Gejala GPPH sering
mulai tampak pada usia pra sekolah atau usia sekolah. Gejala dapat berlanjut sampai
remaja dan bahkan juga sampai dewasa. Oleh karena itu GPPH perlu dideteksi dan
ditangani secara dini.
Berdasarkan sebagian besar riset medis di Amerika Serikat dan di Negara lainnya,
GPPH merupakan suatu gangguan yang kronik dan sudah ditemukan terapi yang efektif
untuk mengurangi masalah, namun belum ada terapi yang dapat mengobati secara tuntas.
Anak hiperaktiv adalah anak yang mengalami gangguan pemusatan perhatian
dengan hiperaktivitas (GPPH) atau attention deficit and hyperactivity disorder (ADHD).
Kondisi ini juga disebut sebagai gangguan hiperkinetik. Dahulu kondisi ini sering disebut
minimal brain dysfunction syndrome.
Gangguan hiperkinetik adalah gangguan pada anak yang timbul pada masa
perkembangan dini (sebelum berusia 7 tahun) dengan ciri utama tidak mampu memusatkan
perhatian, hiperaktif dan impulsif. Ciri perilaku ini mewarnai berbagai situasi dan dapat
berlanjut hingga dewasa.
6
2.3 Klasifikasi Anak Hiperaktif
ADHD adalah sebuah kondisi yang amat kompleks; gejalanya berbeda-beda. Para ahli
mempunyai perbedaan pendapat mengenai hal ini, akan tetapi mereka membagi ADHD ke
dalam 3 jenis berikut ini:
1. Tipe anak yang tidak bisa memusatkan perhatian. Mereka sangat mudah terganggu
perhatiannya, tetapi tidak hiperaktif atau Impulsif. Mereka tidak menunjukkan gejala
hiperaktif. Tipe ini kebanyakan ada pada anakperempuan. Mereka seringkali melamun
dan dapat digambarkan seperti sedang berada “di awang-awang”.
2. Tipe anak yang hiperaktif dan impulsive. Mereka menunjukkan gejala yang sangat
hiperaktif dan impulsif, tetapi bisa memusatkan perhatian. Tipe ini seringkali
ditemukan pada anak- anak kecil.
3. Tipe gabungan. Mereka sangat mudah terganggu perhatiannya, hiperaktif dan impulsif.
Kebanyakan anak anak termasuk tipe seperti ini.
2.4 Faktor-Faktor Penyebab Hiperaktif
Sampai sekarang ini belum ditemukan penyebab utama GPPH, berbagai faktor
berperan terhadap terbentuknya gangguan tersebut.
Pada umumnya yang memegang peranan utama adalah faktor bawaan, khususnya
genetik, namun masalah saat hamil, melahirkan, menderita sakit parah pada usia dini serta
racun yang ada di sekeliling kita memperbesar risiko terjadinya gangguan ini. Kesemua
faktor ini berinteraksi satu sama lain yang dapat memperberat GPPH (bio-psiko-sosial).
Faktor psikososial berpengaruh terhadap perjalanan penyakit dan prognosis dari
gangguan tersebut. Kondisi psikososial yang buruk berpengaruh besar terhadap interaksi
anak dengan orangtua, sehingga masalah psikososial yang timbul akibat gangguan ini akan
semakin kompleks.
1. Faktor Genetik
GPPH terkait dengan genetik karena sering terdapat dalam keluarga. Penelitian
menunjukkan bahwa 25% keluarga dekat dari anak yang menderita GPPH, juga menderita
GPPH. Penelitian pada anak kembarpun menunjukkan adanya kaitan genetik yang kuat.
Sampai saat ini belum dapat dibuktikan adanya kromosom abnormal sebagai penyebab
gangguan ini. Walaupun GPPH sangat terkait dengan faktor bawaan, namun kemungkinan
besar gangguan ini disebabkan oleh faktor heterogen.
2. Faktor Neurologik (kerusakan dalam otak)
7
Pengetahuan tentang struktur otak, telah membantu para peneliti untuk memahami
GPPH. Rutter berpendapat bahwa GPPH disebabkan oleh gangguan pada fungsi otak,
karena didapatkan defisit aktivasi yang disebabkan adanya patologi di area prefrontal
dan/atau sagital frontal pada otak dengan predominasi pada korteks otak. Adanya
kerusakan otak merupakan risiko tinggi terjadinya gangguan jiwa, termasuk GPPH.
Kerusakan otak pada janin dan neonatal paling sering disebabkan oleh kondisi hipoksia.
Pada tahun 2002 National Institute of Mental Health di Amerika melakukan penelitian
terhadap 152 anak laki-laki dan perempuan yang menderita GPPH dibandingkan dengan
139 anak normal dengan umur yang sama. Dilakukan pemindaian (scanning) pada otak
kedua kelompok, minimal sebanyak 2 kali. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa anak
yang menderita GPPH mempunyai otak yang lebih kecil 3 – 7% pada beberapa bagian bila
dibandingkan dengan otak anak normal.
3. Faktor Neurotransmiter
Neurotransmiter yang diperkirakan berkaitan dengan terjadinya GPPH antara lain nor-
epinefrin dan dopamin.
4. Faktor Psikososial
Faktor psikososial bukan merupakan penyebab namun dapat berpengaruh pada perjalanan
penyakit dan prognosis gangguan ini.
5. Faktor Lingkungan
Berbagai toksin dari lingkungan yang dianggap sebagai penyebab GPPH antara lain:
a. Rokok dan alkohol
Penelitian menunjukkan adanya kemungkinan hubungan antara merokok dan minum
alkohol selama kehamilan dan risiko terjadinya GPPH. Oleh karena itu sebaiknya
selama kehamilan jangan merokok atau minum alkohol
b. Konsentrasi timbal (Pb) yang tinggi dalam tubuh anak prasekolah juga merupakan
risiko tinggi terhadap terjadinya GPPH. Timbal biasanya banyak terdapat pada cat,
asap knalpot, bensin dll.
6. Trauma Otak
Beberapa anak yang mengalami kecelakaan dan trauma otak mungkin menunjukkan
beberapa gejala yang sama dengan perilaku penderita GPPH, namun hanya sedikit
penderita GPPH yang mempunyai riwayat trauma otak.
8
7. Gula dan Zat Tambahan Pada Makanan (Aditif)
Pada Tahun 1982 The National Institute of Health America menyatakan bahwa pembatasan
diet hanya menolong 5% dari anak penderita GPPH, umumnya hanya pada anak yang
alergi terhadap gula/zat tambahan.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan anak menjadi hiperaktif antara lain:
1. Faktor Genetik
Anak laki-laki dengan eksra kromosom Y yaitu XYY, kembar satu telur lebih
memungkinkan hiperaktif dibanding kembar dua telur.
2. Faktor Neurologik
Penelitian menunjukan, anak hiperaktif lebih banyak disebabkan karena gangguan
fungsi otak akibat sulit saat kelahiran, penyakit berat, cidera otak.
3. Faktor Lingkungan
Racun atau limbah pada lingkungan sekitar bisa menyebabkan hiperaktif terutama
keracunan timah hitam (banyak terdapat pada asap knalpot berwarna hitam kendaraan
bermotor yang menggunakan solar).
4. Faktor Kultural dan Psikososial
a. Pemanjaan.
Pemanjaan dapat juga disamakan dengan memperlakukan anak terlalu manis,
membujuk-bujuk makan, membiarkan saja, dan sebagainya. Anak yang terlalu
dimanja itu sering memilih caranya sendiri agar terpenuhi kebutuhannya.
b. Kurang disiplin dan pengawasan.
Anak yang kurang disiplin atau pengawasan akan berbuat sesuka hatinya, sebab
perilakunya kurang dibatasi. Jika anak dibiarkan begitu saja untuk berbuat sesuka
hatinya dalam rumah, maka anak tersebut akan berbuat sesuka hatinya ditempat
lain termasuk di sekolah. Dan orang lain juga akan sulit untuk mengendalikannya
di tempat lain baik di sekolah.
c. Orientasi kesenangan.
Anak yang memiliki kepribadian yang berorientasi kesenangan umumnya akan
memiliki ciri-ciri hiperaktif secara sosio-psikologis dan harus dididik agak berbeda
agar mau mendengarkan dan menyesuaikan diri.
9
Penyebab utama perilaku hiperaktif telah dilakukan penelitian secara terus menerus oleh
para ahli, namun masih terdapat perbedaan pendapat, Martin (1994:29) mengatakan ada
beberapa faktor penyebab perilaku hiperaktif :
1. Faktor neurologik, proses persalinan dengan cara ekstraksi forcep, bayi yang lahir
dengan berat badan dibawah 2500 gram, ibu melahirkan terlalu muda, ibu yang
merokok dan minum minuman keras
2. Faktor genetik, sekitar 25-35% dari orang tua dan saudara yang masa kecilnya
hiperaktif akan menurun pada anak
3. Faktor makanan, zat pewarna, pengawet dan kekuarangan vitamin
4. Faktor psiko sosial dan lingkungan. Terkadang gangguan hiperaktif adalah dampak
dari pola pengasuhan yang kurang efektif, misalnya faktor pemanjaan dan kurangnya
penanaman kedisiplinan.
Beberapa faktor yang menyebabkan anak menjadi hiperaktif dari pola pengasuhan yang
kurang efektif antara lain :
1. Pemanjaan, anak yang terlalu dimanja sering memilihcaranya sendiri agar terpenuhi
kebutuhannya, ia akan memperdaya orang tuanya untuk memperoleh apa yang
diinginkannya, kurangnya disiplin yang diberikan oleh orang tua kepada anak. Cara
seperti itulah membuat anak berbuat sesuka hatinya. Anak yang dimanja biasanya
kalau di sekolah ia akan memilih berjalan-jalan dan berdiri dari pada mendengarkan/
mematuhi instruksi guru
2. Kurang disiplin dan pengawasan, anak yang kurang disiplin atau pengawasan ini akan
berbuat sesuka hatinya, sebab perilakunya kurang dibatasi, apa yang dilakukan
dibiarkan begitu saja tanpa ada perhatian dari orang tua. Jika anak dibiarkan tanpa
perhatian, maka anak akan berbuat sesuka hatinya ketika berada ditempat lain baik itu
di sekolah.
2.5 Ciri-ciri Anak Hiperaktif
Ada tiga tanda utama anak yang menderita ADHD, yaitu:
1. Tidak ada perhatian. Ketidak-mampuan memusatkan perhatian pada beberapa hal
seperti membaca, menyimak pelajaran.
2. Hiperaktif. Mempunyai terlalu banyak energi. Misalnya berbicara terus menerus, tidak
mampu duduk diam, selalu bergerak, dan sulit tidur.
10
3. Impulsif. Bertindak tanpa dipikir, misalnya mengejar bola yang lari ke jalan raya,
menabrak pot bunga pada waktu berlari di ruangan, atau berbicara tanpa dipikirkan
terlebih dahulu akibatnya.
Adapun ciri-ciri khusus anak yang hiperaktif diantaranya ialah sebagai berikut :
Sering menggerak-gerakkan tangan atau kaki ketika duduk, atau sering menggeliat.
Sering meninggalkan tempat duduknya, padahal seharusnya ia duduk manis.
Sering berlari-lari atau memanjat secara berlebihan pada keadaan yang tidak
selayaknya.
Sering tidak mampu melakukan atau mengikuti kegiatan dengan tenang.
Selalu bergerak, seolah-olah tubuhnya didorong oleh mesin. Juga, tenaganya tidak
pernah habis.
Sering terlalu banyak bicara.
Sering sulit menunggu giliran.
Sering memotong atau menyela pembicaraan.
Jika diajak bicara tidak dapat memperhatikan lawan bicaranya (bersikap apatis
terhadap lawan bicaranya).
Wiguna (2007:5) mengemukakan karakteristik anak yang cenderung mengalami gangguan
hiperaktif :
1. Tidak bisa duduk diam di dalam kelas,
2. Tangan bergerak dengan gelisah
3. Kadang berlari-lari dan naik di atas meja dan memanjat guru;
4. Mengalami kesulitan dalam bermain atau dalam kegiatan menyenangkan bersama yang
memerlukan ketenangan
5. Impulsivitas, mengalami kesulitan dalam menunggu giliran
6. Menjawab sebelum pertanyaan selesai/ sering menginterupsi orang lain. Anak yang
hiperaktif menunjukkan semua atau hampir semua ciri-ciri di atas.
Gangguan Pemusatan Perhatian, Hiperaktif, dan Kesulitan Belajar :
Beberapa masalah perilaku yang muncul dan dapat menghambat proses belajar pada anak
GPP/H dan kesulitan belajar ini dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Aktivitas motorik yang berlebihan
Masalah motorik pada anak ini disebabkan karena kesulitan mengontrol dan melakukan
koordinasi dalam aktivitas motoriknya, sehingga tidak dapat membedakan kegiatan yang
11
penting dan yang tidak penting. Gerakannya dilakukan terus-menerus tanpa lelah, sehingga
kesulitan memusatkan perhatian. Aktivitas motorik berlebihan ini seperti, jalan-jalan di
kelas atau bertindak berlebihan. Tindakan-tindakan seperti itu cenderung mengarah pada
perilaku negatif yang dapat merugikan dirinya maupun orang lain.
2. Menjawab tanpa ditanya
Masalah ini sangat membutuhkan kesabaran guru. Ciri impulsif demikian ini merupakan
salah satu sifat yang dapat menghambat proses belajar anak. Keadaan ini menunjukkan
bahwa anak tidak dapat mengendalikan dirinya untuk berespon secara tepat. Mereka sangat
dikuasai oleh perasaannya sehingga sangat cepat bereaksi, sulit untuk mempertimbangkan
atau memikirkan terlebih dahulu perilaku yang akan ditampilkannya. Perilaku ini biasanya
menyulitkan yang bersangkutan maupun lingkungannya.
3. Menghindari tugas
Masalah ini muncul karena biasanya anak merasa cepat bosan, sekalipun dengan tugas
yang menarik. Tugas-tugas belajar kemungkinan sulit dikerjakan karena anak mengalami
hambatan untuk menyesuaikan diri terhadap kegiatan belajar yang diikutinya. Keadaan ini
dapat memunculkan rasa frustasi. Akibatnya anak kehilangan motivasi untuk belajar.
4. Kurang perhatian
Kesulitan dalam mendengar, mengikuti arahan, dan memberikan perhatian adalah
merupakan masalah umum pada anak-anak ini. Kesulitan tersebut muncul karena
kemampuan perhatian yang jelek. Sebagian anak mempunyai kesulitan dengan informasi
yang disampaikan secara visual sebagian lainnya, sebagian kecil mempunyai kesulitan
dengan materi pelajaran yang disampaikan secara auditif. Perhatian yang mudah teralihkan
sangat menghambat dalam proses belajar.
5. Tugas yang tidak diselesaikan
Masalah ini berhubungan dengan masalah pengabaian tugas. Jika anak mengabaikan tugas,
boleh jadi tidak menyelesaikan tuganya. Sekali mengembangkan kebiasaan belajar yang
jelek di sekolah maupun di rumah, pola-pola tersebut akan terjadi pula di tempat lain.
Masalah ini berhubungan dengan penghargaan waktu yang kurang baik, frustasi terhadap
tugas, serta berbagai sikap yang merusak, namun membangun kebiasaan yang baik secara
konsisten merupakan langkah yang penting agar tugas dapat diselesaikan dengan baik.
Harus diingat bahwa anak-anak ini mempunyai masalah dalam perencanaan, penataan, dan
perkiraan waktu.
12
6. Bingung akan arahan-arahan
Masalah ini berpangkal pada perhatian, ketika perhatian pecah selama kegiatan
permbelajaran, terjadi perpecahan proses informasi yang mengakibatkan kebingungan
sehingga informasi yang diterima tidak utuh.
7. Disorganisasi
Pada umumnya anak-anak ini mengalami disorganisasi, impulsif, ceroboh, dan terburu-
buru dalam melakukan tugas yang mengakkibatkan pekerjaan acak-acakan, bingung, dan
sering kali lupa beberapa bagian tugas. Anak akan gagal melakukan seluruh tugas karena ia
lupa atau salah menginterpretasikan keperluan dalam menyelesaikan tugas tersebut atau
meski ia dapat menyelesaikan tugas, ia sering kali lupa membawa kembali tugas tersebut
ke sekolah.
8. Tulisan yang jelek
Anak-ank ini seringkali memiliki tulisan tangan yang jelek. Masalah ini bisa ditemukan
pada tingkat berat sampai ringan. Tulisan yang jelek ada hubungannya dengan masalah
aktivitas motorik dan sikap impulsif yang teburu-buru.
9. Masalah-masalah sosial
Meskipun masalah dalam hubungan teman sebaya tidak ditemukan pada semua anak-anak
ini, namun kecenderungan impulsif, kesulitan menguasai diri sendiri, serta toleransi rasa
frustasi yang rendah, tidaklah mengherankan jika sebagian anak mempunyai masalah
dalam kehidupan sosial, kesulitan bermain dengan aturan, dan aktivitas lainnya yang tidak
hanya terbatas di sekolah saja tetapi di lingkungan sosial lainnya.
2.6 Masalah Yang Sering Dialami Oleh Anak Dengan Gpph
Anak yang menderita GPPH tidak saja menimbulkan masalah belajar di sekolah, tapi juga
mengalami masalah dalam semua aspek kehidupan, yaitu dalam bidang sosial, olahraga,
kegiatan dengan anak lain, dan hubungan dalam keluarga. Agar dapat memahami anak,
kita harus melihat kesulitan yang dialaminya dalam segala bidang.
Anak dengan GPPH dapat mengalami:
1. Kesulitan dalam bidang sosial (kurang matang, hubungan dengan teman sebaya buruk)
Anak dengan GPPH seringkali mengalami kesulitan berhubungan dengan teman
sebaya. Mereka mungkin lebih memilih bermain dengan anak yang lebih muda atau sama
sekali tidak bermain dengan semua anak. Beberapa anak dengan GPPH sering merasa malu
13
atau mengalami kegagalan mengendalikan dirinya. Mereka hanya ingin melakukan apa
yang mereka inginkan dan dengan caranya sendiri. Mereka terlihat bossy dan tidak
dapat diduga.
Anak dengan GPPH memiliki kesulitan memproses informasi, termasuk bahasa (baik
kata-kata maupun tulisan). Ini mengakibatkan mereka sering salah persepsi terhadap
maksud orang lain dan dalam menanggapi pelajaran di sekolah.
Beberapa anak dengan GPPH sulit mengikuti dan mematuhi norma sosial sehingga
mengalami hambatan dalam mengembangkan keterampilan sosial. Mereka tidak mampu
memberikan respons yang tepat terhadap rangsangan yang datang dari lingkungan sekitar.
2. Masalah emosional
Anak dengan GPPH seringkali merasa frustrasi dan terlihat tidak bahagia. Mereka
sering mengalami kegagalan, oleh karena itu mereka merasa tak adekuat, nakal dan malas.
Mereka sering berpikir bahwa mereka bodoh, karena tidak pintar di sekolah. Perasaan
ini dapat menyebabkan mereka menjadi reaktif, sehingga menimbulkan konflik. Mereka
menginternalisasi perasaan mereka sehingga menjadi depresif. Banyak anak dengan GPPH
yang tidak ditangani dengan baik, memiliki rasa percaya diri yang kurang dan citra diri
yang buruk sehingga dapat terjadi perilaku berisiko tinggi seperti kenakalan remaja,
penyalahgunaan NAPZA dan tawuran.
Sebagian anak yang menderita GPPH memanipulasi dunianya untuk menghindari
situasi yang stres seperti membaca atau mengerjakan matematika, atau apapun yang
menyebabkan mereka sulit berkonsentrasi. Contohnya mereka bisa menjadi ”badut kelas”
atau melakukan hal lain yang menyebabkan mereka dikeluarkan dari kelas.
3. Konflik dalam keluarga
Orang tua dapat menjadi frustasi dalam usahanya untuk memahami atau menolong
anaknya. Sulit bagi orangtua untuk menerima kenyataan bahwa mereka memiliki anak
dengan GPPH, atau mereka memungkiri adanya masalah tersebut. Bahkan ketika orangtua
sudah dapat memahaminya, mereka masih akan tetap marah mengapa hal ini terjadi pada
dirinya, atau memikirkan apa yang menyebabkan hal ini terjadi, sehingga saling
menyalahkan di antara suami dan isteri. Orangtua sering merasa malu karena berpikir
bahwa teman dan relasinya tidak memahami anak dengan GPPH. Mereka sering
menyalahkan diri sendiri karena tidak dapat mengendalikan sikap anaknya. Butuh waktu
untuk menerima dan belajar untuk mengatasi perasaan ini. Anggota keluarga sering sekali
berbeda pendapat mengenai cara yang terbaik dalam membesarkan anak dengan GPPH.
14
Ada yang mengatakan harus dilakukan dengan tegas, sementara yang lainnya lebih
memilih dengan pengertian dan permisif.
Adik dan kakak akan mengalami kesulitan dalam berhubungan dengan saudara mereka
yang menderita GPPH, khususnya jika mereka tidak memahami mengapa saudaranya
berlaku seperti itu. Mereka mungkin saja marah terhadap orangtua tentang standar ganda:
”Kenapa kalau dia melakukannya tidak terkena hukuman, sedangkan ketika saya
melakukannya, saya dihukum?” Anak yang lain mungkin akan merasa bersalah. Mereka
selalu diperintah agar lebih pengertian dan menerima, sementara itu mereka merasa marah
dengan kelakuan saudara mereka serta perhatian dari orangtua yang berlebihan. Banyak
anak yang tidak mau mengundang teman-temannya ke rumah karena mereka takut dan
malu akan sikap saudaranya yang menderita GPPH.
2.7 Komorbiditas GPPH
Gangguan yang seringkali menyertai GPPH adalah:
1. Kesulitan belajar
Sekitar 10 – 90% anak yang menderita GPPH juga mengalami kesulitan belajar
spesifik. Pada usia prasekolah hal ini meliputi kesulitan dalam mengerti bunyi atau kata-
kata tertentu dan/atau kesulitan dalam mengekspresikan diri sendiri dalam bentuk kata-
kata. Pada usia sekolah, anak-anak tersebut mungkin mengalami kesulitan membaca atau
mengeja, mengalami gangguan menulis dan gangguan berhitung. Pada anak GPPH
pencapaian prestasi akademik tidak sesuai dengan potensi kecerdasannya
(underachievement) Kesulitan belajar yang ditemukan pada anak dengan GPPH, lebih
banyak berkaitan dengan kesulitan berkonsentrasi, daya ingat dan fungsi eksekutif
daripada berkaitan dengan dyslexia, dysgraphia atau dyscalculia yang juga menimbulkan
kesulitan belajar spesifik.
2. Sindroma Tourette
Sejumlah kecil anak dengan GPPH juga mengalami gangguan neurologis yang disebut
sindroma Tourette. Orang dengan Tourette, juga mengalami tics dan gerakan-gerakan aneh
yang berulang, misalnya mengedipngedipkan mata atau menggerak-gerakkan otot muka
seperti menyeringai. Yang lainnya mungkin mendehem berulang kali seperti
membersihkan tenggorokan dari lendir, mendengus, mendengkur, atau mengeluarkan suara
seperti menggonggong. Keadaan ini dapat diatasi dengan memberikan obat atau medikasi.
Walaupun hanya sedikit anak dengan GPPH yang mengalami sindroma ini, namun banyak
15
kasus sindroma Tourette berkaitan erat dengan GPPH. Pada kasus demikian, kedua
gangguan tersebut seringkali membutuhkan pengobatan.
3. Gangguan perilaku menentang (oppositional defiant disorders)
Sepertiga sampai setengah dari anak dengan GPPH yang umumnya lakilaki, mengalami
gangguan perilaku menentang, yaitu pola perilaku negatif, menentang dan bermusuhan
(hostile). Gejalanya meliputi kehilangan kendali diri, bertengkar (khususnya dengan orang
dewasa), tidak mematuhi peraturan, sangat mengganggu dan menyalahkan orang lain.
Individu ini juga pemarah, mudah tersinggung, mungkin juga pendendam. Dengan
penanganan yang komprehensif, gejala tersebut banyak berkurang dan bahkan menghilang.
4. Gangguan tingkah laku (conduct disorders)
Sekitar 20 – 40% dari anak dengan GPPH juga mengalami gangguan tingkah laku yang
lebih serius dari pada perilaku anti sosial. Anak ini sering berbohong atau mencuri,
berkelahi atau memperdaya orang lain. Anak sering menimbulkan kesulitan di sekolah atau
berurusan dengan polisi. Dia sering melanggar hak asasi orang lain, agresif terhadap orang
atau binatang, merusak milik orang lain, membawa atau menggunakan senjata tajam atau
terlibat perilaku merusak lingkungan (vandalisme). Anak usia remaja berisiko untuk
terlibat dengan NAPZA, yang dapat berlanjut dengan penyalahgunaan dan ketergantungan.
Mereka ini membutuhkan pertolongan segera.
5. Ansietas dan depresi
Gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktif sering kali juga terjadi bersamaan
dengan ansietas dan depresi. Jika ansietas atau depresi dapat dikenali dan diterapi, anak
akan lebih mampu mengatasi masalah yang menyertai GPPH. Sebaliknya terapi yang
efektif terhadap GPPH dapat memberikan dampak yang positif terhadap ansietas dan
depresi, sehingga mereka lebih mampu berinteraksi dengan sesama dan dapat
menyelesaikan tugas akademiknya dengan lebih baik.
Ansietas adalah kecemasan yang berlebihan yang sulit dikendalikan. Gejalanya
meliputi: perasaan gelisah, mudah lelah, susah berkonsentrasi, mudah tersinggung,
gangguan tidur, serta keluhan somatik seperti otot tegang, berdebar-debar, berkeringat,
gemetar.
Depresi adalah perasaan sedih, merasa bersalah dan gangguan tidur. Terdapat beberapa
jenis depresi, dan yang sering menyertai GPPH adalah jenis Distimia dengan gejala depresi
yang berkepanjangan (lebih dari satu tahun) seperti: gangguan makan (susah makan atau
terlalu banyak makan), susah tidur atau terlalu banyak tidur, tidak bertenaga, harga diri
(self esteem) rendah, sulit berkonsentrasi dan merasa putus asa.
16
6. Gangguan bipolar
Tidak ada angka akurat yang menunjukkan banyaknya penderita GPPH yang mengalami
gangguan bipolar. Kadang-kadang sulit untuk membedakan GPPH dengan gangguan
bipolar pada masa kanak. Dalam bentuk klasik, gangguan bipolar ditandai oleh mood yang
sangat meningkat pada saat manik dan sangat menurun pada saat depresi. Pada masa
kanak, gangguan bipolar sering tampil dalam bentuk disregulasi mood yang kronis dengan
campuran elasi, depresi dan iritabilitas. Selanjutnya ditemukan beberapa gejala yang
terdapat baik pada GPPH, maupun gangguan bipolar, seperti: energi yang berlebihan dan
kebutuhan tidur yang berkurang. Gejala karakteristik yang membedakan GPPH dengan
gangguan bipolar pada anak adalah elasi mood dan terdapatnya ide-ide kebesaran pada
gangguan bipolar.
7. Autisme
Autisme merupakan gangguan perkembangan otak yang dikenal juga dengan Gangguan
Spectrum Autisme (ASD). Autisme ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan
dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan interaksi sosial. Keadaan ini
sudah dapat terlihat sejak sebelum anak berusia 3 tahun. ASD seringkali terdapat
bertumpang tindih dengan GPPH. Anak yang menderita ASD seringkali menunjukkan
gejala hiperaktif, sulit berkonsentrasi dan impulsif, sebaliknya anak yang menderita GPPH
juga sering mengalami gangguan interaksi sosial.
2.8 Penanganan Gangguan Perhatian Dengan Heraktivitas (GPPH)
Penanganan Anak Kesulitan Belajar
Terdapat beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam memberikan layanan
kepada anak yang mengalami GPP/H dan kesulitan belajar, yaitu: pertama, langkah
penanganan anak GPP/H dan kesulitan belajar banyak jenisnya sebagian tergantung pada
pandangan pelaksana terhadap perkembangan anak dan kedua, penanganan anak GPP/H
dan kesulitan belajar tergantung pada masalah yang dihadapi anak.
Dalam pandangan filosofi tentang perkembangan manusia secara ontogenik dapat
dikelompokkan menjadi tiga gugus, yaitu:
a. Pandangan yang bersifat mekanistik. Menurut pandangan ini bahwa manusia tersusun
dari unsur-unsur alami yang mempunyai hukum-hukum yang sifatnya otomatis. Dalam
pandangan ini gangguan yang menimpa satu komponen belum tentu menimpa
17
komponen yang lain. Dalam pandangan ini terapi ditujukan kepada komponen yang
mengalami gangguan saja.
b. Pandangan yang bersifai organistik. Menurut pandangan ini, diri manusia mempunyai
energi yang sifatnya mengatur semua komponen. Gangguan terhadap salah satu
komponen tidak hanya menimpa komponen yang dimaksud melainkan menimpa
seluruh komponen organisme, sehingga jika timbul gangguan, maka seluruh organisme
mengalami perubahan.
c. Pandangan yang bersifat interaksionistik. Menurut pandangan ini perkembangan terjadi
sebagai resultante interaksi individu dengan lingkungan. Bagi terapi ini berarti, kita
bukan hanya harus menangani individu tetapi juga lingkungan individu itu.
Dalam kaitannya dengan teori belajar pandangan-pandangan tadi dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1. Teori conditioning. Menurut teori ini proses belajar merupakan suatu bentuk perubahan
tingkah laku yang dapat diamati dan terjadi melalui hubungan rangsang jawaban
menurut prinsip-prinsip mekanistik. Terdapat beberapa pandangan diantaranya apa
yang disebut dengan hukum primer tentang proses belajar, yaitu:
a. hukum kesiapan (law of readnees) yang menjelaskan bahwa jika seorang anak telah
memiliki kesiapan untuk memiliki sesuatu dan diberikan kesempatan untuk
melakukannya, maka anak tersebut akan melakukan dengan sepenuh hati.
Sebaliknya jika anak belum memiliki kesiapan untuk melakukan sesuatu dan
disuruh melakukannya, maka ia tidak akan melakukannya dengan sepenuh hati.
b. Hukum latihan (law of exercise) menjelaskan adanya penguasaan tingkah laku akan
semakin meningkat jika ada latihan.
c. hukum akibat (law of effect) menjelaskan bahwa kuat atau lemahnya hubungan
rangsang jawaban tergantung pada akibat tingkah laku. Anak yang melakukan
sesuatu perbuatan dan kemudian mendapat sambutan, maka ia akan cenderung
mengulang perbuatannya. Sebaliknya, anak yang memperoleh kekecewaan dari
perbuatannya, maka anak akan meninggalkan perbuatan itu.
2. Teori belajar kognitif. Menurut teori ini belajar merupakan proses pencapaian atas
perubahan pemahaman, pandangan, harapan atau pola pikir. Bruner mengemukakan
tiga tahapan dalam proses belajar, yaitu:
a. enactive, yaitu tahap dalam proses yang ditandai oleh manipulasi secara langsung
objek-objek berupa benda atau peristiwa konkrit
18
b. econic, yaitu ditandai oleh pengguaan perumpamaan atau tamsilan,
c. symbolic, yaitu tahap yang ditandai oleh penggunaan simbol dalam proses belajar.
Pandangan ini lebih jauh mengatakan bahwa dalam proses belajar informasi yang
masuk akan diproses sampai pada saraf sensorik. Jika anak memiliki perhatian terhadap
informasi tersebut, selanjutnya masuk ke dalam ingatan jangka pendek, selanjutnya
terjadi pengulangan, informasi akan tetap berada pada ingatan jangka pendek,
sedangkan melalui penyandian akan dimasukkan ke dalam ingatan jangka panjang
dalam bentuk struktur kognitif. Struktur kognitif tersebut akan dipanggil untuk
digunakan dalam proses belajar. Dengan demikian proses belajar menurut teori ini
dapat dipandang sebagai proses pengolahan, penyimpanan, dan pemanggilan informasi
untuk digunakan bila diperlukan.
3. Teori Social Lerning. Menurut teori ini anak dapat belajar melalui pengamatan atau
melalui orang lain. Menurut pandangan ini terdapat empat komponen dalam belajar
melalui pengamatan yang disebut pemodelan (modeling), yaitu:
a. Perhatian
b. Pencaman
c. Reproduksi
d. penguatan dan motivasi
Setelah anak memperhatikan materi latihan yang disajikan anak mencamkan dan
menyerupakan hasil pengamatannya dalam bentuk simbol-simbol kemampuan untuk
melakukan simbolisasi, inilah yang memungkinkan manusia dapat belajar melalui
pengamatan.
Teori ini pun berpendapat bahwa isyarat yang datang dari lingkungan akan
membangkitkan respon internal pada diri anak untuk menyesuaikan diri (imitasi)
dengan norma kelompok. Kesadaran tersebut tidak nampak atau tidak dapat diamati,
dan karena itu disebut vicarious. Kesadaran menyesuaikan tingkah laku dengan norma
kelompok membangkitkan dorongan yang selanjutnya membangkitkan respon
eksternal. Jika respon eksternal anak sesuai dengan norma kelompok maka ia akan
diterima oleh kelompoknya. Perasaan diterima merupakan peredaan ketegangan yang
disebabkan oleh adanya dorongan untuk memenuhi kebutuhan sosial.
Penanganan juga bergantung pada jenis masalah yang dihadapi: penanganan terhadap
gangguan kepribadian, terapi terhadap gangguan emosi dan pertahanan diri, terapi terhadap
kesulitan belajar, dan lain-lain. Dalam melakukan terapi terhadap kesulitan belajar perlu
dibedakan antara kesulitan belajar sebagai akibat gangguan-gangguan kognisi, emosi, dan
19
pengalaman dengan gangguan belajar sebagai penyebab timbulnya kelainan yang lain.
Yang akan dibahas lebih lanjut cenderung kepada kesulitan belajar sebagai akibat. Tujuan
umum terapi ini mengemukakan cara-cara mengeliminasi atau mengurangi kesulitan
belajar dengan memperdulikan faktor-faktor yang mengakibatkan kesulitan belajar
Teknik-teknik Penanganan
Teknik-teknik yang akan dikemukakan berikut bukan untuk dilakukan semuanya.
Pilihlah yang paling tepat, lalu latihkan berulang-ulang. Kalau ternyata teknik ini tidak
memberikan hasil, ganti atau tambahlah dengan teknik yang lain.
1. Menghilangkan/mengurangi tingkah laku yang tidak dikehendaki
Langkah pertama, mengupayakan untuk menganalisis tingkah laku yang akan menjadi
sasaran penanganan. Teknik ini disebut analisis A-B-C, yaitu bahwa kebanyakan tingkah
laku dipengaruhi oleh kejadian yang mendahuluinya/antecendent (A), yang terjadi sebelum
terjadinya tingkah laku/behavior (B) dan akan mengakibatkan suatu
konsekuensi/Consequen (C).
Informasi tersebut dapat diperoleh melalui wawancara dengan orang tua, mengamati,
dan mencatat kejadian-kejadian yang terjadi terutama pada tingkah laku yang tidak
dikehendaki. Tingkah laku yang tidak dikehendaki ini selanjutnya dipelajari bentuk (pola)
tingkah laku, kapan terjadinya, dalam situasi bagaimana, dan sebagainya. Gambaran yang
jelas dari tingkah laku anak ini memudahkan dalam memberikan pengubahan kejadian
sebelum dan sesudah tingkah laku yang tidak dikehendaki terjadi. Pengubahan ini akan
menghasilkan suatu tingkah laku yang baik menggantikan tingkah laku yang tidak
dikehendaki.
Contoh tingkah laku yang tidak dikehendaki, keluar tempat duduk sembarang waktu,
melempar-lempar pensil teman ke jendela, berjalan-jalan di kelas, berteriak-teriak di kelas
dan sebagainya. Carilah alasan mengapa anak melakukan tingkah laku yang tidak
dikehendaki. Alasan-alasannya misalnya membutuhkan perhatian, merasa bosan, keinginan
bergerak, ingin mengetahui sesuatu, ingin bebas dari udara apek, dsb.
Usahakan pertama adalah menghilangkan alasan-alasan tersebut. Misalnya:
memberikan perhatian, mengubah kegiatan, membuka jendela, dsb. Selain itu beri tahu
anak cara yang baik untuk menyatakan ketidakpuasan, kejengkelan, kemarahan, dsb.
Misalnya; dengan mengatakan maksud dengan baik-baik, mengangkat lengan, menyatakan
ingin keluar, dsb. Jika teknik ini tidak memberikan hasil yang tidak diharapkan, pilihlah
yang paling tepat teknik-teknik ini.
20
a. Ekstingsi (extinction)
Suatu tingkah laku cenderung akan diulangi kalau mendapat respon, oleh karena itu
jika tingkah laku tersebut tidak dikehendaki jangan direspon sampai anak
menghentikannya. Teknik ini didasarkan atas asumsi bahwa tanpa penguat terhadap suatu
respon akan menurunkan atau menghilangkan respon tersebut. Contoh: Seorang guru
mengabaikan siswa yang berbicara tanpa mengangkat tangan terlebih dahulu. Contoh lain:
anak yang mengganggu dan tetap diabaikan kadang-kadang ia bosan atas tingkah lakunya
atau sadar karena guru dan teman-temannya tidak terpancing, kemudian dia akan berhenti
bertingkah laku mengganggu.
b. Satiasi (satiation)
Bedanya dengan ektingsi, dalam satiasi upaya yang dilakukan adalah menghilangkan
alasan yang menghasilkan tingkah laku yang tidak dikehendaki. Alasan tersebut ada pada
diri anak. Misalnya dengan memberikan perhatian sebelum anak menuntut perhatian,
segera mengalihkan kegiatan ke kegiatan lain sebelum bosan. Satiasi bisa juga dengan
melebihkan (Bhs. Sunda: Nyungkun) „layanan‟ dari pada yang diinginkan, misalnya: anak
yang suka berteriak-teriak dikelas, mintalah anak untuk berteriak terus.
c. Pemberian hukuman
Terutama hukuman fisik, hanya akan mengurangi perilaku untuk sementara. Adapun
hukuman yang keras akan membuat situasi tegang dan penuh kebencian, sehingga sangat
membahayakan kepribadian anak oleh karena itu cara ini sangat jarang dilakukan. Jika
penggunaan hukuman akan dilakukan, maka perlu mempertimbangkan:
hukuman digunakan jika tidak ingin membiarkan suatu tingkah laku berlanjut,
misalnya anak yang agresif
hukuman bisa digunakan jika prosedur lain tidak berhasil
sebaiknya diberikan hukuman yang ringan yang terbukti efektif untuk tingkah laku
tertentu
jangan melakukan hukuman dalam keadaan marah.
d. Time out
Yaitu menghilangkan kesempatan anak untuk mendapatkan sambutan atau imbalan.
Teknik ini dilakukan dengan cara anak dipindahkan dari tempat dimana tingkah laku yang
tidak dikehendaki terjadi, dan membuat anak melewatkan waktu yang tidak menarik bagi
dirinya, waktu yang dilewatkan harus diperhitungkan sesuai dengan usia anak sehingga
tidak berlebihan agar ia merasa diperlakukan secara adil. Biasanya anak menghentikan
21
tingkah laku yang tidak dikehendaki tersebut. Jika tingkah laku tersebut diulangi lagi maka
time out harus diberlakukan kembali.
2. Mengembangkan tingkah laku yang dikehendaki
Mengembangkan tingkahlaku yang dikehendaki dilakukan dengan memberi ulangan
penguatan (Reinforcement). Prinsip memberikan ulangan penguatan menunjuk pada suatu
peningkatan frekuensi respons jika respons tersebut diikuti dengan konsekuensi tertentu.
Reaksi terhadap satu rangsang akan lebih kuat jika terdapat penguat pada tingkah lakunya.
Teknik ini dapat dijelaskan secara khusus mengenai tingkah laku yang dikehendaki dan
tingkah laku yang tidak dikehendaki.
Terangkan kepada anak konsekuensi dari setiap tingkah laku yang baik atau yang
dikehendaki, secara bertahap anak diharapkan akan menyadari apa yang akan ia dapatkan
bila bertingkah laku sesuai yang diharapkan. Oleh karena itu penguat berupa sambutan
dengan imbalan dapat dilakukan jika anak memperlihatkan tingkah laku yang dikehendaki.
Dengan cara ini diharapkan anak semakin percaya bahwa dirinya akan memperoleh
keberhasilan. Penguat atau hadiah sebaiknya diberikan dengan segera setelah tingkah laku
yang dikehendaki terjadi. Anak dengan gangguan ini cenderung tidak sabar dan impulsif,
sehingga menunggu terlalu lama akan kurang baik baginya dan akan mengurangi
kemauannya untuk membentuk tingkah laku yang dikehendaki.
Karakter utama yang harus dimiliki dalam menangani anak yang berperilaku
hiperaktif adalah fleksibilitas, sensitivitas, yaitu luwes, terbuka, punya empati yang tinggi
dan mau menyesuaikan diri dengan masalah yang dialami anak. Ia harus memahami bahwa
rentang perhatian anak yang mengalami gangguan hiperaktif lebih singkat dari pada anak-
anak yang lain, sehingga dalam proses pembelajaran atau pada aktifitas lainnya tidak
disamakan dengan anak yang lain. Selain itu seorang guru harus mampu mengelolah
pembelajaran secara profesional.
Menurut Doucherty (1990:67) Beberapa jenis bantuan dapat dilakukan oleh guru
dan pendidik AUDI dalam menangani anak yang berperilaku hiperaktif diantaranya:
1. Menempatkan posisi duduk pada bagian depan berhadapan dengan guru,
membelakangi anak-anak yang lain agar tidak mudah perhatian beralih pada hal-hal
yang lain, atau menempatkan pada posisi yang memungkinkan berdiri selama pelajaran
tanpa mengganggu anak-anak lain misalnya posisi duduk dekat dinding, atau
menyiapkan kursi kosong didekatnya
22
2. Pemberian informasi atau penjelasan harus jelas dengan menggunakan media
pembelajaran yang bervariasi dan dilakukan secara klasikal untuk semua anak dan
dilanjutkan dengan individual untuk anak yang hiperaktif, penjelasan harus jelas,
kongkrit, singkat dengan menggunakan kontak mata langsung pada setiap kali
pengajaran
3. Dampingi anak dalam penyelesaian tugas-tugas dan bagi dalam bentuk unit-unit yang
lebih kecil, misalnya memberikan tugas mewarnai gambar rumah, tugaskan anak
mewarnai bagian atap, badan rumah, kemudian dinding, dan seterusnya. Setiap tugas
yang berhasil diselesaikan beri penguatan atau pujian, misalnya “bagus, pintar, luar
biasa, hebat” dan lain sebagainya. Ini bertujuan untuk mengembangkan gangguan
perhatian, tanggung jawab dan kedisiplinan. Memberikan terapi tingkah laku
merupakan prioritas utama yang perlu dikembangkan bagi anak yang berrperilaku
hiperaktif (Rosmawartini:2008:57)
4. Memanfaatkan energy anak dengan tugas lain yang dapat menguras tenaganya,
misalnya memberi tugas menghapus white board, mengajak anak bermain peran
dengan pentas kecil-kecilan, menyususn puzzel, membawa anak ke tempat wisata
(dalam pembelajaran ada unsur pergerakan tubuh) ini dimaksudkan agar energi anak
dapat tersalur
5. Untuk mengurangi perilaku yang tidak dikehendaki dapat dilakukan dengan:
a. teknik Ekstingsi, yaitu ketika tingkah laku yang tidak diinginkan terjadi jangan
direspon sampai anak menghentikannya. Dengan asumsi bahwa tanpa penguatan
terhadap satu respon akan menurunkan atau menghilangkan respon tersebut,
contoh, seorang guru mengabaikan anak yang berjalan kesana kemari pada saat
pembelajaran ia akan bosan sendiri dan berhenti melakukannya
b. Satiasi, berusaha menghilangkan alasan yang memungkinkan perilaku negatif
terjadi, misalnya memberi perhatian sebelum anak menuntut diperhatikan
c. Time out, menghilangkan keempatan anak untuk mendapatkan sambutan atau
imbalan. Dengan cara anak dipindahkan dari tempat dimana tingkah laku yang
tidak dikehendaki terjadi, dan membuat anak melewatkan waktu yang tidak
menarik bagi dirinya
d. Pemberian hukuman, ini dilakukan jika cara lain tidak berhasil, misalnya memukul
pantat anak dengan pelan dan tidak dalam keadaan marah.
23
6. Konsultasi dengan pihak yang lebih profesional, dengan maksud memperoleh
keterampilan atau teknis dalam membantu mengatasi masalah anak yang berperilaku
hiperaktif .
Untuk melatih anak agar fokus, ciptakan suasana yang kondusif jangan tekan dia,
terima kaadaan apa adanya, perlakukan anak dengan hangat dan sabar, tapi konsisten
dantegas didalam menerapkan norma dan tugas. Kalau anak tidak bisa diam di satu tempat,
pegang kedua tangannya dengan lembut, kemudian ajaklah untuk duduk diam, mintalah
agar anak menatap mata anda ketika berbicara atau diajak berbicara, berilah arahan dengan
nada yang lembut tanpa harus membentak. Arahan ini penting sekali untuk melatih anak
disiplin dan berkonsentrasi pada satu pekerjaan. Anda harus konsisten, jika meminta dia
melakukan sesuatu, jangan berikan dia ancaman tapi pengertian, yang membuatnya tahu
kenapa anda berharap dia melakukan seperti itu.
Adapun upaya yang dilakukan guru dengan pemberian hukuman untuk merubah
perilaku anak hiperaktif sebaiknya tidak dilakukan. Guru harus memahami bahwa anak
hiperaktif bukan tidak mau mematuhi aturan yang ada tetapi ia tidak mampu
melakukannya karena adanya permasalahan perhatian yang dialami. Anak yang hiperaktif
sangat mudah kecewa dan merasa rendah diri, tetapi apabila mendapat sambutan atau
penghargaan atas perilaku positif yang dilakukan maka perkembangan pribadinya akan
lebih terarah, dan bila tidak mendapatkan sambutan atau penghargaan maka ia akan
menjadi rendah diri dan egoisnya makin tinggi dan akan bersifat masa bodoh. Olehnya itu
pemberian penghargaan atau pujian sangat diharapkan untuk dilakukan oleh guru atau
pendidik lainnya.
Menurut Wiramiharja (2008:9) bahwa, anak yang hiperaktif cenderung lebih patuh
terhadap penyelesaian tugas dan merubah perilakunya, jika ia memperoleh suatu pujian
atau penguatan karena melakukannya, dari pada tidak diberi imbalan karena tidak
melakukannya. Pemberian sanksi bukan berarti tidak efektif tetapi dapat dilakukan sebagai
pilihan, bahwa imbalan lebih efektif jika digunakan dengan cara yang lebih positif.
Beberapa imbalan yang dapat diberikan adalah, komentar yang positif, pemberian stiker
atau bintang, tanggung jawab tambahan di dalam kelas, membawa kelas agar rileks,
memberikan waktu bebas, membebaskan pilihan permainan dan sebagainya.
Hal tersebut diperkuat juga Pentecost (2004:69) pujian adalah salah satu cara yang
paling efektif untuk menolong anak agar berubah, pujian yang diberikan secara jelas dan
sering merupakan senjata rahasia anda terhadap aspek perilaku negatif anak yang
24
berperilaku hiperaktif. Namun perlu diingat bahwa di dalam memberikan imbalan/ pujian
upayakan pujian itu bervariasi.
Penanganan dengan obat
a. Stimulan merupakan jenis obat yang paling banyak dipergunakan untuk ADHD. Dalam
kelompok ini terdapat Adderal/E, DextroStat/E, dan Ritalin/E. Stimulan bereaksi cepat dan
berefek sampinng ringan dan bias memberikan energi bagi mental anak dalam memusatkan
perhatian.
b. TCA ( Tri cyclic Antideppressant) sangat efektif dalam mengatasi suasana hati karena
merupakan jenis anti depresi, namun TCA bekerja lebih lambat dan beresiko dalam
penggunaannya.
c. Catapress (Clinidine) dulunya dipergunakan untuk pengobatan darah tinggi, bisa
dipergunakan untuk penderita ADHD hiperaktif dan impulsive tetapi belum mendapatkan
persetujuan dari FDA
2.9 Komplikasi
Apabila perilaku hiperaktif ini tidak ditangani dengan baik, maka pada akhirnya
akan menimbulkan hambatan penyesuaian perilaku sosial dan kemampuan akademik di
lingkungan rumah dan sekolah. Akibatnya perkembangan anak menjadi tidak optimal
dengan timbulnya gangguan perilaku dikemudian hari. Untuk itu diperlukan adanya upaya
penanganan atau bimbingan yang komprehensif dan berkesinambungan.
Menurut Hurlock (1998:100) lima tahun pertama merupakan peletak dasar bagi
perkembangan selanjutnya atau dengan kata lain, dasar pendidikan anak adalah pada usia
0-5 tahun. Jika pada usia tersebut orang dewasa tidak melakukan apa-apa terhadap anak,
maka mereka akan mengalami kesulitan di masa mendatang. Inilah alasan penting perlunya
pemberian stimulasi sejak dini, termasuk anak yang berperilaku hiperaktif. Anak yang
berperilaku hiperaktif apabila mendapatkan stimulasi yang terarah atau penanganan khusus
secara berkesinambungan akan dapat mengembangkan aspek kognitif, aspek sosial-
emosional dan kemandiriannya. Aspek pengembangan sosial dan kemandirian
dimaksudkan untuk membina anak agar dapat mengendalikan emosinya secara wajar, yang
merupakan salah satu perilaku negatif yang harus dikembangkan bagi anak hiperaktif,
dengan harapan dapat berinteraksi dengan baik dengan sesamanya maupun dengan orang
dewasa.
25
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hiperaktif adalah kondisi terjadinya gangguan pemusatan perhatian dengan
hiperaktivitas (GPPH) pada anak. Kondisi ini juga disebut sebagai gangguan hiperkinetik.
Gangguan hiperkinetik adalah gangguan pada anak yang timbul pada masa perkembangan
dini (sebelum berusia 7 tahun) dengan ciri utama tidak mampu memusatkan perhatian,
hiperaktif dan impulsif. Ciri perilaku ini mewarnai berbagai situasi dan dapat berlanjut
hinggadewasa.
Faktor-faktor penyebab dari hiperaktif itu sendiri adalah faktor genetik (gen), faktor
neurologik (cedera otak), faktor lingkungan (racun/limbah), serta faktor kultural dan
psikososial (pemanjaan, kurang disiplin dan pengawasan, serta orientasi kesenangan).
Banyak hal yang bisa dilakukan dalam penanggulangan anak hiperaktif, terutama adalah
mengenali kondisi hiperaktif serta telaten dalam melatihnya.hiperaktif adalah suatu pola
perilaku pada seseorang yang menunjukkan sikap tidak mau diam, tidak terkendali, tidak
menaruh perhatian dan impulsif (bertindak sekehendak hatinya). Anak hiperaktif selalu
bergerak dan tidak pernah merasakan asyiknya permainan atau mainan yang disukai oleh
anak-anak lain seusia mereka, dikarenakan perhatian mereka suka beralih dari satu fokus
ke fokus yang lain. Mereka seakan-akan tanpa henti mencari sesuatu yang menarik dan
mengasikkan namun tidak kunjung datang.
Anak GPP/H dan kesulitan belajar secara umum memiliki hambatan belajar yang
sama. Mereka sulit memusatkan perhatian pada suatu pelajaran atau pekerjaan. Keadaan
tersebut mengakibatkan munculnya gangguan tingkah laku belajar. Upaya pendidikan
ditujukan untuk membantu mengurangi atau menghilangkan tingkah laku yang tidak
dikehendaki dan mengembangkan tingkah laku yang diharapkan. Terapi Pasikoedukasi
merupakan salah satu upaya yang dapat dipilih dalam teknik modifikasi tingkah laku.
Penanganan anak GPP/H dan kesulitan belajar bukan sesuatu yang mudah, oleh karena itu
dibutuhkan kerjasama berbagai pihak secara terpadu. Cara demikian akan sangat
membantu anak mengatasi masalah dan mengoptimalkan potensi belajarnya.
26
3.2 Saran
Dalam penyelesaian makalah ini kami juga memberikan saran bagi para pembaca dan
mahasiswa yang akan melakukan pembuatan makalah berikutnya :
a. Kombinasikan metode pembuatan makalah berikutnya.
b. Pembahsan yang lebih mendalam disertai data-data yang lebih akurat.
Beberapa poin diatas merupakan saran yang kami berikan apabila ada pihak-pihak
yang ingin melanjutkan penelitian terhadap makalah ini, dan demikian makalah ini disusun
serta besar harapan nantinya makalah ini dapat berguna bagi pembaca khususunya
mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatra Utara semester VI/2014 dalam
penambahan wawasan dan ilmu pengetahuan
27
DAFTAR PUSTAKA
(online), tersedia :
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/arsip/bn/2011/bn107-2011lmp1.pdf
(14 Maret 2014)
(online), tersedia :
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/195405271987031-
MOHAMAD_SUGIARMIN/SeMinar_ADHD.pdf
(14 Maret 2014)
(online), tersedia :
http://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=5&cad=rja&uact=8&ved=0CFAQFjAE&ur
l=http%3A%2F%2Fdocs.docstoc.com%2Forig%2F1616240%2Fb90dce1f-63ad-4ea9-
8ac8-
498246e12899.pdf&ei=848gU6rZGMfLrQeyi4GIDQ&usg=AFQjCNFIEYK68GTWe
Sc6IrTwCE7L0ZImZg&sig2=vxQOzz3zpRrhKp0MPYwJbA&bvm=bv.62788935,d.b
mk
(14 Maret 2014)
(online), tersedia :
http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/viewFile/7029/5274
(14 Maret 2014)
Baihaqi, Mif dan Sugiarmin, 2006. Memahami & membantu Anak ADHD. Bandung:
Refika aditama
Depdiknas. 2006. Panduan Bimbingan di Taman Kanak-Kanak. Jakarta: Direktorat
Pembinaan Taman Kanak-Kanak.
Doucherty, Michael. 1993. Psychological Consultation and Community Settings.
Thomson. Fourth Edition. (diterjemahkan Mahasiswa PAUD 2009) UNM
Handojo. 2002. Petunjuk Praktis Utama dan Pedoman Materi Untuk Mengajar Anak
Normal, Autis dan Perilaku Lain. Surabaya: Bhuana Ilmu Populer
Martin, Grant. 2008. Terapi Untuk Anak ADHD, Anak Hiperaktif, Sulit Konsentrasi,
Tidak Aktif, Kurang Perhatian dll. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer.
28
29