BAB 2 (Repaired)
Transcript of BAB 2 (Repaired)
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Struktur Anatomi dan Morfologi Pulpa
Pulpa adalah bagian jaringan lunak pada gigi. Pada pulpa terdapat
pembuluh darah yang memberikan pasokan nutrisi kepada gigi dan pembuluh
saraf yang membuat gigi “hidup” dan dapat merasakan rangsang yang
diterima gigi. Pulpa dibentuk dari lapisan ektodermal dari dental papilla.
Fungsi dari pulpa yaitu:
1. Pembentukan dentin
Sel-sel prekursor pembentuk dentin yaitu odontoblast terdapat pada
perbatasan antara dentin dengan ruang pulpa. Pada perannya untuk
membantu pembentukan dentin, pulpa membatu untuk pembentukan
matriks dan menyuplai komponen-komponen yang dibutuhkan untuk
pembentukan matriks dari dentin tersebut.
2. Memberikan nutrisi kepada dentin
Pada pulpa terdapat pembuluh darah baik arteri maupun vena yang
mengangkut berbagai macam zat-zat nutrisi yang dibutuhkan gigi untuk
tetap dapat mempertahankan kevitalannya. Sedangkan untuk transportasi
di dalam dentin, terdapat tubulus dentinalis yang membantu
menyalurkannya ke seluruh dentin dan enamel.
3. Inervasi gigi
Pada pulpa terdapat pembuluh saraf yang menyebabkan gigi dapat
merasakan sensasi rasa dari rangsangan yang diterima gigi. Untuk dapat
sampai pada pembuluh saraf di pulpa, rangsang yang diterima di
permukaan gigi, akan diteruskan melalui tubulus dentinalis ke pulpa.
4. Sistem pertahanan pada gigi oleh
Pada pulpa, terdapat sel-sel pertahana tubuh, baik yang berasal dari
sirkulas ataupun yang berupa sel-sel tertentu yang berada pada pulpa.
3
4
Gambar 2.1 sturktur gigi
Pulpa dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu daerah pusat (central region)
dan daerah tepi (peripheral region). Daerah perifer dari pulpa terdiri dari 3
zona, yaitu:
1. Lapisan odontoblast
2. Zona sedikit sel (cell poor zone)/ cell free zone of Weil
3. Zona kaya sel (cell rich zone)
Pada centre region atau central pulp zone, komponen penyusunnya dapat
dibagi menjadi 2, yaitu:
1. Komponen seluler
2. Komponen ekstraselular
Secara anatomis, pulpa dibagi menjadi ruang pulpa dan saluran akar.
Untuk gigi anterior, ruang pulpa langsung mengikuti bentuk gigi, sedangkan
untuk gigi posterior yag rata-rata mempunyai akar bercabang (bifurkasi atau
trifurkasi), ruang pulpa dan saluran akar akan menyesuaikan dengan jumlah
percabangan akarnya. Ruang pulpa dibagian atas dibatasi oleh dentin yang
sekaligus menjadi atap ruang pulpa, sedangkan pada daerah bawah, di bagian
saluran akar, terdapat orifice yang merupakan pintu masuk dari saluran akar
menuju ruang pulpa. Pada saat terjadi karies, ukuran ruang pulpa dapat
berubah menyesuaikan dengan pembentukan dentin sekunder atau tersier
yang merupakan salah satu bentuk sistem pertahanan terhadap jejas.
Sedangkan saluran akar merupakan bagian dari ruang pulpa yang
5
membentang dari orifice ke foramen apikal. Bentuk dari saluran akar
biasanya mengikuti bentuk dari akar. Saluran akar dapat membentuk suatu
percabangan khusus yang disebut accessory canals (Nisha Garg, Amit Garg,
Textbook Of Endodontics, 2007).
(a) (b)
Gambar 2.2 (a) ruang pulpa dan saluran akar, (b) saluran akar dengan
accessory canals
2.2 Etiologi Penyakit Pulpa
Menurut Seltzer (1972), etiologi dari penyakit pulpa dapat diklasifikasikan
menjadi:
1. Fisik
Dapat karena suhu, mekanis, atapun elektrik.
2. Kimiawi
3. Infeksi bakteri
4. Radiasi
Sedangkan menurut WEIN, etiologi dari kelainan atau penyakit pulpa
dapat diklasifikasikan menjadi:
1. Infeksi bakteri
Berdasarkan percobaan WD Miller pada tahun 1891, bakteri
merupakan penyebab yang paling mungkin terjadinya penyakit pulpa
dengan cara masuknya produk metabolitnya ke dalam pulpa gigi yang
dapat merusak pulpa. Masuknya produk metabolit bakteri tersebut
6
dapat melalui karies, infeksi periodontal dari sulkus gingiva,
periodontal pocket, abses, atau dapat juga dari fraktur.
2. Trauma
Dapat terjadi karena adanya injuri yang menyebabkan fraktur, gigi
luksasi atau avulsi.
3. Iatrogenik
Disebut juga dentistogenic pulpitis, yaitu pulpitis yang disebabkan
karena adanya respon suatu prosedur perawatan. Dapat terjadi karena
adanya perubahan termis selama proses restorasi, bleaching, atau
pengunaan laser. Dapat juga karena prosedur kuretase periodontal
atau kuretase periapikal atau akibat penggunaan bahan kimia tertentu
selama proses treatment.
4. Idiopatik
Tidak jelas penyebabnya, misalnya karena penuaan dan resorpsi
internal atau eksternal.
Menurut Shock dan Curtis (), adanya kelainan pulpa yang diakibatkan
karena adanya penuaan, didasarkan pada berbagai teori yaitu:
1. The wear and tear theory
Menurut teori ini, setiap makhluk hidup memiliki batasan untuk
hidup, hal ini didasarkan dengan keberadaan suatu enzim yang
membantu proses metabolismenya, jika keberadaan enzim ini
habis maka kemungkinan kematian sel dapat terjadi.
2. Mathematical Teory
Hal ini didasarkan dengan adanya besaran kemungkinan
terjadinya kematian yang didasarkan pada suatu kurva atau
diagram yang dibentuk dari sebuah rumus persamaan.
3. Teori interaksi seluler
Adanya interaksi antar sel dalam tubuh yang mengakibatkan
terpengaruh akibat adanya interaksi tersebut.
4. Teori kolagen
7
Teori ini menyatakan adanya pembentukan serat kolagen secara
terus-menerus secara perlahan, sedangkan eliminasi kolagen
terjadi secara perlahan juga dan kadang tidak sama sekali.
Penguraian dari serat kolagen, membuat sel secara berangsur-
angsur mengalami penurunan daya tahan. Terjadi hambatan kerja
jaringan dan kemungkina terjadinya kematian sel semakin besar.
5. Teori produk sisa
Teori ini menyatakan bahwa adanya produk-produk metabolit
yang tidak bisa secara langsung dibuang akan berinteraksi dengan
sel host dan menyebabkan sel host teracuni
2.3 Klasifikasi Penyakit Pulpa
Penyakit pulpa dapat diklasifikasikan menjadi sebagai berikut:
1. Menurut Grossman (1981)
1. Hiperemi pulpa
2. Pulpitis Akut :
a. Pulpitis akut serous
b. Pulpitis akut supuratif
3. Pulpitis Kronis :
a. Pulpitis kronis ulseratif
b. Pulpitis kronis hiperplastis
4. Nekrosis Pulpa :
a. Nekrosis pulpa parsialis
b. Nekrosis pulpa totalis
2. Menurut Cohen dan Burn (1984) dan Grossman (1988)
1. Pulpitis : Reversible
Irreversible
2. Nekrosis pulpa : Partialis
Totalis
3. Menurut Shafer (1963)
a. Hiperemi pulpa
8
b. Pulpitis akut
c. Pulpitis kronis
d. Pulpa polip
2.3.1 Pulpitis Reversible
Menurut Henry H. Burchard (2009), pulpitis merupakan suatu
kondisi dimana terjadi keradangan pada pulpa yang disebabkan karena
adanya antigen seperti produk metabolit bakteri, termis, mekanis,
ataupun kimiawi. Pulpitis reversible adalah keradangan pulpa yang
tidak parah, jika stimulus dihilangkan, maka keradangan akan hilang
dan pulpa kembali normal (Walton and Torabinejad, 2003).
Penyebabnya paling umum adalah karies yang masih dalam tahap
awal (karies insipiens/karies enamel), trauma oklusi, erosi gigi dan
lain sebagainya. Pulpitis ini ditandai dengan adanya rasa sakit pada
saat diberi rangsang, tapi akan hilang jika rangsang dihentikan.
Biasanya lebih peka pada rangsang karena mastikasi daripada
rangsang suhu (terutama dingin). Rasa sakitnya tidak terlalu parah dan
tidak secara spontan (Walton and Torabinejad, 2003).
Gambaran HPA dari pulpitis reversible yaitu adanya keradangan
akut pada pulpa yang ditandai dengan peningkatan vaskularisasi,
infiltrasi sel-sel radang akut terutama sel PMN dan makrofag. Adanya
edema pada pulpa disebabkan inflamasi pada pulpa. Untuk
menegakkan diagnosa, digunakan beberapa tes, mulai dari visual
sampai dengan pembuata radiograf. Dari penampakan visual, mungkin
dpaat ditemui adanya karies kecil (insipiens), trauma oklusi, atau
fraktur yang tidak terlalu parah. Tes perkusi dan palpasi tidak
memberikan respon (negatif). Dari hasil foto rontgen tidak ditemukan
adanya kelainan baik dari periodontal ligamen,lamina dura, maupun
kelainan di periapikal . Biasanya untuk perawatan dilakukan dengan
pemberian obat analgesik untuk menghilangkan rasa nyeri yang
9
timbul dan dilakuka tumpatan untuk menutup kavitas karies yang
sedang berkembang (Walton and Torabinejad, 2003)
2.3.2 Pulpitis Irreversible
Pulpitis irreversible adalah inflamasi pulpa akut yang parah yang
tidak bisa pulih walau rangsang dihilangkan. Cepat atau lambat, akan
berkembang menjadi nekrosis pulpa (Walton dan Torabinejad, 2003).
Penyebab umumnya adalah karies yang sudah lama dan mencapai
pulpa terbuka. Dapat juga karena adanya fraktur atau adanya karies
sekunder di bawah restorai. Terbukanya pulpa ini juga dapat terjadi
karena proses mekanis gigi seperti terjadi atrisi, abrasi dan erosi.
Ditandai dengan rasa sakit hebat dan tajam yang kadang
asimptomatik. Rasa nyeri dapat terlokalisir ataupun tersebar. Rasa
sakit tidak hilang meskipun rasang sudah dihentikan (Tarigan, 2002).
Gambaran HPA yang didapat berupa adanya inflamasi akut yang
parah di pulpa yang ditandai dengan adanya infiltrasi sel radang
seperti sel PMN, makrofag, leukosit. Adanya pembentuka dentin
sekunder sebagai salah satu respon imun tubuh selain terjadinya
inflamasi dalam pulpa. Untuk penegakan diagnosa dilakukan dengan
cara melakukan beberapa tes. Tes paling awal adalah dengan melihat
penampakan visual dari daerah yang sakit. Secara klinis biasanya
dapat ditemukan karies yang dalam atau adanya trauma atau fraktur
yang menyebabkan pulpa terekspos. Dari tes perkusi dan palpasi
negatif. Sedangkan dengan adanya tes termal biasanya ditemukan
sedikt lebih sensitif terutama dengan tes dingin dan biasanya sakit
tidak hilang meskipun rangsang dihentikan. Dari hasil foto rontgen
mungkin dapat ditemukan adanya kavitas karies yang cukup dalam
atau adanya trauma yang menyebabkan pulpa terbuka (Walton and
Torabinejad, 2003).
10
2.3.3 Nekrosis Pulpa
Nekrosis pulpa adalah matinya pulpa baik sebagian atau
keseluruhan yang disebabkan karena adanya inflamasi kronis pada
pulpa atau adanya trauma injuri. Gejalanya biasanya tidak ada rasa
sakit dan gigi yang berubah warna (diskolorisasi). Terdapat dua jenis
nekrosis pulpa, yaitu:
1. Nekrosis koagulasi
Pada tipe ini, bahan-bahan yang mengalami nekrosis akan
mengalami koagulasi dan memadat.
2. Nekrosis liquefaction
Pada tipe ini, bahan-bahan yang mengalami nekrosis pada pulpa
diubah oleh enzim proteolitik menjadi bentuk yang cair dan
lunak. Pada akhir kematian pulpa, biasanya terbentuk H2S,
amoniak, bahan yang bersifat lemak dan beberapa gas seperti
Indol dan kadaverin. Inilah yang menyebabkan bau busuk yag
biasanya ditemui pada saat kematian pulpa.
Sedangkan jika berdasarkan luasnya daerah yang nekrotik, nekrosis
pulpa dapat dibagi menjadi nekrosis pulpa totalis dan nekrosis pulpa
parsialis. Nekrosis pulpa dapat disebabkan karena banyak hal. Yang
paling umum adalah adanya karies yang sudah kronis, dimana pulpa
sudah tidak bisa mempertahankan diri lagi. Kemudian adanya trauma
injuri yang menyebabkan hilangnya mahkota yang dapat membuat
pulpa mati dan gigi tidak vital juga bisa menjadi penyebabnya (Nisha
Garg, Amit Garg, Textbook Of Endodontics, 2007) .
Dari serangkaian tes yang dilakukan untuk mendiagnosa terjadonya
nekrosis pulpa didapat yaitu dengan pengamatan visual, terlihat warna
gigi mulai berubah. Dari tes vitalitas, gigi mungkin tidak
menunjukkan respon terhadap tes dingin, perkusi, palpasi dan electric
pulp test (EPT). Ada gejala keluhan spontan saat anamnesis (biasanya
pada nekrosis pulpa parsialis) (Walton and Torabinejad, 2003).
11
Perjalanan umum suatu gigi bisa menjadi nekrosis, jika dimulai
dengan adanya suatu karies yang menyebabkan reversible pulpitis
dapat digambarkan dengan diagram d bawah ini.
2.4 Penegakan Diagnosis Penyakit Pulpa
Menurut Ford (2002) dalam buku Endodontics: Problem-Solving in
Clinical Practice, untuk penegakan diagnosa, terdapat 4 langkah yang
ditempuh, yaitu:
1. Langkah pertama adalah mengumpulkan segala keterangan
terkait dengan penyakit baik dari keluhan pasien, rekam medik
maupun dengan serangkaian tes penunjang
2. Kedua, menganalisa keterangan yang telah didapat dengan
diagnosis yang paling memungkinkan
3. Ketiga, melakukan diagnosa banding dengan beberapa penyakit
yang memiliki kemiripan gejala dan tanda klinis
dirawat
Karies
Pulpa kembali normal
Hiperemi pulpa
Tidak dirawat
pulpitis reversible
dirawat Tidak dirawat
Pulpitis irreversible
Nekrosis pulpa
12
4. Terakhir adalah memutuskan diagnosa final untuk penyakit
pasien yang bersangkutan
Menurut Nisha Garg dan Amit Garg (2007) dalam buku Textbook Of
Endodontics, untuk menegakkan diagnosa terjadinya kelainan pulpa
terutama yang membutuhkan tindakan operatif untuk perawatannya, maka
langkah yang dapat, yaitu:
1. Pemeriksaan biografikal penderita
2. Pemeriksaan rekam medik
Jika pasien memiliki rekam medis, maka akan lebih
memudahkan untuk menganalisa riwayat penyakit. Pada rekam
medik, akan tampak segala hal yang berhubungan dengan
kondisi kesehatan pasien, terutama yang berhubungan dengan
hal yang dikeluhkan
3. Keluhan pasien dan sejarah penyakit
Untuk mendapatkan gambaran terhadap gejala terkini dari
penyakit yang akan dirawat gejala awal dengan gejala terkini
dari penyakit sering kali berubah secara drastis. Penting untuk
mengingatkan pasien untuk menceritakan sejarah penyakit mulai
dari awal sampai yang terkini untuk mendapatkan gambaran
lengkap tentang kondisi penyakit.
4. Dental history
Mengerti riwayat gigi geligi pasien juga penting untuk
menunjang diagnose, hal ini untuk mempermudah
memperkirakan kelainan apa yang sebelumnya pernah terjadi
dan apakah rasa nyeri yang dikeluhkan sekarang adalah
kelanjutan dari yang terdahulu atau kelainan baru.
5. Pengamatan ekstraoral
Dapat diamati dari luar yaitu dari wajah dan leher, pasien
mungkin mengalami asimetri wajah akibat pembengkakan,
adanya memar, scar ataupun adanya kelainan lain dari
13
ekstraoral. Setelah melakukan pengamatan ekstraoral, maka
dapat dilakukan tes lanjutan yaitu:
a. Palpasi
Untuk menentukan seberapa jauh inflamasi menyebar ke
arah periapikal. Respon positif dari palpasi menandakan
adanya inflamasi di daerah periradikuler. Palpasi dilakukan
dengan cara menekan mukosa di atasa apeks dengan cukup
kuat. Bagian-bagian yang dipalpasi untuk menentukan
adanya kelainan yaitu kelenjar saliva (submandibular), TMJ
dan limfa nodi.
Gambar 2.3 Tes Palpasi
6. Pengamatan intraoral
Dimulai dengan pengecekan ada tidaknya trismus dan lebar
pembukaan mulut, umumnya selebar 2 jari. Diperhatikan juga
kondisi jaringan lunak di daerah mukosa bukal, labial dan
alveolar, palatal, sublingual, retromolar, dibelakang dari faring
dan struktur kelenjar saliva.
Kemudian pembuatan status gigi secara umum, meliputi:
1. Status oral hygiene
2. Ada tidaknya restorasi
3. Karies
4. Gigi hilang
14
5. Pembengkakan jaringan keras atau lunak
6. Status periodontal
7. Ada tidaknya sinus tract
8. Diskolorisasi gigi
Untuk tes lebih lanjut terhadap gigi, dapat dilakukan tes seperti
1. Perkusi
Seperti halnya dengan palpasi, perkusi bertujuan menentukan
seberapa jauh inflamasi telah menyebar terutama daerah
periradikuler. Respon positif yang jelas menandakan adanya
inflamasi di daerah periodontium. Cara melakukan perkusi
dengan cara mengetukkan ujung kaca mulut yang diletakkan
parallel atau tegak lurus magkota pada bagian insisal atau
oklusal.
Gambar 2.4 Tes Perkusi
2. Palpasi
Untuk mengecek adanya inflamasi di bawah gigi. Dengan
cara menekankan jari pada jaringan lunak yang akan
diperiksa. Palpasi juga memberikan gambaran adanya
fluktuasi dan indurasi yang mengindikasikan adanya suatu
kumpulan abses di daerah periapikal atau periodontal.
15
Gambar 2.5 Tes Palpasi
3. Tes status periodontal
Dapat dilakukan dengan cara palpasi, perkusi, tes mobilitas
gigi dan probing.
Gambar 2.6 Tes Probbing
4. Pembuatan radiograf
Pembuatan radiograf bertujuan untuk melihat apakah
inflamasi telah menyebar ke daerah periapikal dan
menyebabkan kelainan periapikal dan periradikuler.
5. Tes vitalitas pulpa
Ada berbagai macam tes untuk mengetahui kevitalan pulpa,
yaitu:
1. Tes termal
Dengan menggunakan chlor etyl,
dicholorodifluoromethane, CO2 beku, balok es yang
diaplikasikan pada gigi. Pada pulpa normal, respon yang
dirasakan biasanya tajam dan segera hilang saat stimuli
dihentikan. Pada kasus kelainan pulpa, pada saat
diberikan rangsang, maka akan timbul rasa nyeri yang
kadang tidak hilang saat rangsang dihentikan. Kadang
16
juga ditemukan rasa nyeri yang timbul secara spontan
dan berlansung terus menerus.
Gambar 2.7 Tes termal pada gigi
2. Electric Pulp Testing (EPT)
Hal ini dilakukan dengan cara memberikan rangsang berupa
aliran elektrik pada gigi menggunakan alat yang disebut
electric pulp tester. Adanya respon positif menunjukkan pulpa
masih vital, sedangkan respon negatif menunjukka pulpa
sudah tidak vital atau terjadinya nekrosis pulpa. Pada kondisi
tertentu, tes ini dapat mengakibatkan salah diagnosa, misalnya
pada kondisi gigi dengan akut alveolar abses, terjadinya
kontak dengan gingival, trauma gigi yang baru, restorasi yang
cukup besar.
Gambar 2.8 Alat untuk EPT
17
3. Tes kavitas
Dilakukan dengan cara menggunakan bur high speed nomer 1
dan 2 yang disertai dengan pemakaian water coolant. Pasien
tidak dianastesi pada pemeriksaan ini, tujuannya untuk
mendapatkan gambaran ada tidaknya rasa sakit pada saat tes.
Rasa nyeri menandakan pulpa vital. Tujuan tes ini terutama
menentukan kavitas preparasi. Jika pada saat tes tidak terasa
nyeri, maka kavitas preparasi dilanjutkan terus sampai ruang
pulpa dan melakukan perawatan endodonsi.
4. Tes anestesi
Untuk pasien yang tidak memberikan hasil letak pasti dari
rasa nyei dengan tes kevitalan pulpa di atas, maka tes ini dapat
digunakan. Tes ini dilakukan dengan cara menganestesi
sebuah mulai gigi posterior pada daerah yang dicurigai, jika
masih terasa nyeri meskipun region tersebut sudah teranestesi
penuh maka ulang lagi prosedur tersebut dengan menganestesi
gigi di sebelah mesial dari gigi yang tadi, terus dilakukan
sampai rasa nyeri hilang.
5. Tes gigit (bite test)
Untuk pasien dengan keluhan nyeri saat mastikasi. Gigi akan
menjadi sensitif terhadap gigitan jika terjadi nekrosis pulpa
yang sudah meluas ke periodontal ligament atau terjadinya
retakan pada gigi. Pasien diminta menggigit suatu benda keras
pada gigi yang dicurigai misalnya cotton palate, dll. Jika
terasa nyeri pada saat menggigit tersebut, maka kemungkinan
terjadi retak atau patah pada gigi.
Beberapa tes terbaru untuk menganalisa kevitalan pulpa
menggunakan aliran darah dan inervasi pada gigi ditemukan.
Tes ini memberikan hasil yang lebih akurat karena
memberikan gambaran yang jelas antara pulpa yang vital dan
pulpa yang nekrosis. Tes –tes tersebut antara lain:
18
1. Laser Doppler Flowmetry (LDF)
2. Pulp oximetry
3. Dual wavelength spectrophotometry
4. Transillumination denga serat optik
5. Plethysmography
6. Pemeriksaan adanya IL-1 β
7. Electromagnetic flowmetry
2.5 Penatalaksanaan Kelainan Pulpa (Pulpitis)
Terdapat tahapan-tahapan penatalaksanaan agar mendapatkan hasil yang
lebih efisien dan tidak menimbulkan kesalahan yang justru memperparah
kondisi. Hal pertama yang penting adalah penanganan pasien terutama pasien
yang panik, karena hal ini dapat menghambat proses perawatan. Setelah
melakukan pemeriksaan, maka harus ditentukan gigi mana yang memerlukan
perawatan dan jenis kelainan pulpa dan periradikulernya sehingga pemilihan
rencana perawatannya dapat jelas (Grossman, 1988, Walton dan Torabinejad,
2003).
2.5.1 Perawatan Pulpitis Reversible
Diagnosis dapat ditegakkan dengan melakukan tes seperti tes
termal, visual dan radiograf. Tidak diperlukan tindakan
endodonsi sebagai perawatan, penatalaksanaan nyeri dengan
medikasi dan penutupan kavitas karies yang belum terlalu besar
dengan tumpatan disarankan agar rasa nyeri tidak muncul
kembali (Nisha Garg, Amit Garg, Textbook Of Endodontics,
2007).
2.5.2 Perawatan Pulpitis Irreversible
Pulpitis Irreversible ditangani dengan tindakan endodonsi, yaitu
pulpektomi baik total atau sebagian sesuai dengan tingkat
19
keparahan kerusakan pulpa (Nisha Garg, Amit Garg, Textbook
Of Endodontics, 2007).
2.5.3 Perawatan Nekrosis Pulpa
Pengambilan semua jaringan pulpa yang nekrosis dengan
pulpotomi atau pulpektomi dan dilanjutkan dengan restorasi jika
gigi masih bisa dirawat atau ekstraksi jika gigi sudah tidak bisa
ditolong lagi (Nisha Garg, Amit Garg, Textbook Of Endodontics,
2007).