BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Pakaian yang pas, yang...

62
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nama diri yang disandang seseorang memiliki peran penting dalam kehidupannya. Goethe (t.th.; periksa juga Boesch, 1957) memberikan gambaran, bahwa fungsi nama diri seperti layaknya mantel bagi pemiliknya. Pakaian yang pas, yang menggantung di tubuh, seperti kulit yang membungkus tubuh dari waktu ke waktu, dimana orang lain tidak bisa melepasnya tanpa menyakiti diri pemiliknya. Kajian mengenai nama diri dipandang oleh banyak ahli sosiolinguistik sebagai kajian yang penting dan menarik, karena penamaan diri dapat mencerminkan perkembangan budaya masyarakat secara umum (Gerhard, 2003: 103). Salah satu yang mendasari Penamaan diri yang berbeda antara masyarakat satu dengan masyarakat yang lain, menunjukkan adanya perbedaan cara pandang masyarakat mengenai suatu hal. Pandangan seseorang atau masyarakat tentang dunianya akan tampak dari bahasa yang digunakan (Sapir & Whorf, via Sampson 1980; Ridington, via Palmer, 1999). Kosakata atau leksikon, termasuk yang digunakan dalam nama diri, merupakan salah satu identitas bahasa. Konsep ini menunjukkan kebenaran salah satu paradigma dalam kajian sosiolinguistik yang dikemukakan Whorfian Hypothesis, yaitu bahwa struktur masyarakat mempengaruhi struktur bahasa (Wardhaugh, 1986:317). Berkaitan dengan paradigma yang dikemukakan di atas, penelitian ini mengkaji nama diri pada masyarakat Jawa. Kajian mengenai keterkaitan

Transcript of BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Pakaian yang pas, yang...

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Nama diri yang disandang seseorang memiliki peran penting dalam

kehidupannya. Goethe (t.th.; periksa juga Boesch, 1957) memberikan

gambaran, bahwa fungsi nama diri seperti layaknya mantel bagi pemiliknya.

Pakaian yang pas, yang menggantung di tubuh, seperti kulit yang

membungkus tubuh dari waktu ke waktu, dimana orang lain tidak bisa

melepasnya tanpa menyakiti diri pemiliknya. Kajian mengenai nama diri

dipandang oleh banyak ahli sosiolinguistik sebagai kajian yang penting dan

menarik, karena penamaan diri dapat mencerminkan perkembangan budaya

masyarakat secara umum (Gerhard, 2003: 103). Salah satu yang mendasari

Penamaan diri yang berbeda antara masyarakat satu dengan masyarakat yang

lain, menunjukkan adanya perbedaan cara pandang masyarakat mengenai

suatu hal. Pandangan seseorang atau masyarakat tentang dunianya akan

tampak dari bahasa yang digunakan (Sapir & Whorf, via Sampson 1980;

Ridington, via Palmer, 1999). Kosakata atau leksikon, termasuk yang

digunakan dalam nama diri, merupakan salah satu identitas bahasa. Konsep

ini menunjukkan kebenaran salah satu paradigma dalam kajian sosiolinguistik

yang dikemukakan Whorfian Hypothesis, yaitu bahwa struktur masyarakat

mempengaruhi struktur bahasa (Wardhaugh, 1986:317).

Berkaitan dengan paradigma yang dikemukakan di atas, penelitian ini

mengkaji nama diri pada masyarakat Jawa. Kajian mengenai keterkaitan

2

suatu bahasa, yang berupa kata yang dipakai dalam nama diri dengan

pandangan masyarakatnya, sejauh pengamatan penulis, cukup banyak

dilakukan. Walaupun demikian masih banyak hal yang penting dan menarik

untuk diteliti, misalnya mengenai unsur pengisi nama diri dan pergeseran

nama diri pada masyarakat Jawa.

Masalah pergeseran nama diri ini sangat menarik, bahkan penting

untuk diteliti. Temuan penelitian mengenai pergeseran nama diri pada

masyarakat Jawa dapat memberi deskripsi ilmiah tentang fungsi nama diri

yang tidak lagi hanya sebagai tetenger ‘penanda kelahiran seorang bayi’, bagi

sebagian orang nama juga sebagai sarana memenuhi tuntutan kebutuhan

manusia. Hal ini terlihat dari salah satu tuturan informan (Ibu penjual dawet

di pasar Wonosari) berikut: “Kersane sami kalih liyane, jamane pun ngoten,

mBak”, ‘biar sama dengan lainnya, jamannya sudah begitu, mBak’.

Begitulah Jawaban informan ketika kepadanya ditanyakan mengenai motivasi

dalam memberikan nama kepada anaknya. Motivasi ibu tersebut berkaitan

erat dengan semangat untuk menyesuaikan dengan tuntutan jaman, sehingga

anak yang menyandang nama pemberiannya tidak merasa malu. Dengan

demikian, ibu tersebut menciptakan mitos bagi dirinya sendiri melalui nama

diri yang diberikan kepada anaknya. Mitos ini berupa makna konotatif yang

hadir bersama terciptanya nama anaknya, bahwa dengan nama yang sejenis

dengan nama yang beredar pada masa anaknya lahir akan dapat memenuhi

kebutuhan aktualisasi diri (Barthes, 2006). Dengan kata lain ibu tersebut

3

menciptakan mitos, bahwa nama diri dapat sebagai sarana pemenuhan

kebutuhan aktualisasi diri.

Sementara itu Indonesia adalah negara yang memiliki beragam bahasa

daerah yang dimiliki oleh masing-masing masyarakat pemakainya. Bahasa

daerah juga merupakan kekayaan budaya Indonesia yang perlu dijaga

kelestariannya. Selain itu, penelitian yang mengkaji aspek-aspek linguistis

dan pandangan masyarakatnya, khususnya mengenai penamaan diri pada

masyarakat Jawa, dapat dipandang sebagai salah satu upaya melestarikan

bahasa dan budaya Jawa. Seperti diketahui bersama, bahwa Indonesia adalah

negara yang memiliki beragam bahasa daerah yang digunakan oleh masing-

masing penuturnya. Kekayaan budaya ini perlu dijaga kelestariannya.

Nama adalah kata untuk membedakan atau memanggil (Langendonck,

1997). Dalam kehidupan sosial, nama diri juga dapat menjadi penanda strata

sosial dimana ia berasal (Yatim, 1983; Uhlenbeck, 1982:377). Nama diri yang

mengandung Raden atau Raden Ayu, menunjukkan kebangsawanan

penyandang nama tersebut. Adapun nama diri rakyat jelata pada umumnya

berciri khas sederhana. Nama-nama tersebut antara lain Waginem, Leginem,

Poniyem, Kliwon. Waginem diambil dari hari pasaran Wage, Leginem dari

legi, Poniyem dari pon. Wage, Legi dan Pon adalah nama hari pasaran

menurut Kalender Jawa. Bagi sebagian masyarakat Jawa, nama

melambangkan kekuatan jiwa yang menyimpan kekuatan misterius, reputasi

dan karakter (Herlianto, 2005).

4

Nama juga dimaknai sebagai harapan dan doa orang tua untuk

anaknya yang dipanjatkan kepada Tuhan yang maha pengasih dan penyayang

(Hadiwidjaja, 1968). Pilihan kata yang dipakai dalam suatu nama diri, antara

lain seperti pada nama: Slamet, Waras, Bedjo, Redjo, Untung, dan Mulyo

dapat mencerminkan harapan akan keselamatan. Makna yang terkandung

dalam nama-nama ini berkaitan dengan keselamatan, kesehatan,

keberuntungan dan kemuliaan dalam hidup.

Dari paparan di atas dapat dikatakan, bahwa satuan lingual yang

digunakan sebagai nama mengekspresikan aspirasi-aspirasi pencipta nama

tersebut. Nama bagi masyarakat Jawa pada umumnya memiliki arti penting.

Pemberian nama pada seorang anak yang baru dilahirkan pada hakikatnya

merupakan tetenger ‘penanda (kelahiran)ꞌ. Selain itu, pemberian nama juga

sebagai salah satu bentuk budaya yang dimiliki masyarakat Jawa, yang salah

satunya dapat dilihat dari budaya mengganti nama. Budaya ini masih

dilestarikan sampai sekarang, terutama oleh masyarakat pedesaan.

Sebuah keluarga (tinggal di Piton, Kulon Progo) yang memiliki anak

yang sakit-sakitan, disarankan oleh para sesepuh di lingkungannya untuk

mengganti nama anak tersebut dengan nama baru. Nama yang baru ini

biasanya memiliki arti berkaitan yang dengan keselamatan atau kesehatan.

Seorang anak balita dari keluarga tersebut, bernama Adi Drajad, diberikan

nama baru Pulih Waras oleh orang tuanya. Masyarakat sekitar memandang

bahwa anak tersebut tidak kuat menyandang nama Adi Drajad ꞌderajad

utamaꞌ, sehingga membuat anak tersebut sakit-sakitan. Dalam budaya Jawa

5

hal ini disebut kabotan jeneng ꞌkeberatan namaꞌ. Dengan nama baru yang

diberikan, Pulih Waras ꞌkembali sehatꞌ, orang tua mendoakan agar anaknya

segera sehat kembali.

Dengan alasan berbeda, penggantian nama juga dilakukan dilakukan

oleh keluarga Atmo Direjo (81 tahun, tinggal di Sanggung, Wonosari) untuk

anaknya yang sejak lahir diberi nama Hartini. Setelah anak tersebut berusia

dua bulan namanya diganti menjadi Karmilah atas saran para pamong praja di

desa tersebut. Alasan penggantian nama ini karena Hartini merupakan nama

istri Presiden Republik Indonesia pada waktu itu, yaitu Presiden Soekarno.

Menurut pandangan mereka nama seorang istri presiden tidak pas jika dipakai

oleh rakyat jelata. Dalam hal ini, sikap hidup masyarakat Jawa, khususnya

budaya empan papan, teraktualisasi melalui penyesuaian nama yang

didasarkan pada norma-norma sosial yang dianut masyarakat (Kodiran, 1977;

Koentjaraningrat, 1984; Jong, 1985; Magnis-Suseno, 1984).

Namun demikian, pada masa sekarang ini tampaknya ada

kecenderungan baru dalam pemberian nama oleh para orang tua kepada

anaknya. Sebagian keluarga muda tidak mencantumkan simbol

kebangsawanan di depan nama anak mereka. Di sisi lain, terlihat adanya

kecenderungan lain dalam pemilihan nama oleh keluarga muda untuk anak

mereka, baik dari kelompok masyarakat yang memiliki status sosial tinggi

maupun rendah. Beberapa contoh dapat dikemukakan di sini. Seorang buruh

harian memberikan nama Nisa Salsabila kepada anaknya. Nama ini mirip

dengan nama anak majikan, dimana dia bekerja, yaitu Annissa Salsabila yang

6

lahir lebih dahulu. Meskipun memilih nama yang serupa, dimungkinkan dua

keluarga ini memiliki pandangan dan alasan yang berbeda ketika memberikan

nama yang bernuansa islami untuk anak mereka.

Menamai anak dengan kosakata Arab seperti contoh di atas, atau

dengan nama lain seperti Muhammad Al Gozali, Abdul Qodir Jaelani, atau

Jalaludin Rumi, pada masa sekarang ini tampaknya semakin banyak diminati

kalangan masyarakat luas. Dahulu bentuk nama yang bernuansa islami

cenderung dipakai oleh keluarga ulama atau yang banyak berkecimpung

dalam kegiatan keislaman. Selain terdiri dari kosakata bahasa Arab, gejala

pembentukan nama dengan nuansa islami juga dilakukan dengan cara

memadukan kosakata bahasa Arab dan Jawa atau Indonesia, seperti Gigih

Bela Islami, Lestari Romadhona, dan Zahra Hayu. Pada hematnya, nama-

nama tertentu dapat menunjukkan ideologi agama seseorang. Nama diri

seperti Muhammad, Annisa, dan Zahra hanya disandang oleh masyarakat

Jawa yang beragama Islam. Nama diri seperti Christian, Yosef menunjukkan

pemilik nama tersebut beragama Kristen. Nama diri seperti Maria, Ignatius

menunjukan pemilik nama tersebut beragama Katolik. Adapun nama diri

Ratana Devi menunjukkan pemilik nama tersebut beragaman Budha.

Selain itu, juga ada kecenderungan menamai anak dengan nuansa

kebaratan. Gaya westernisasi tampak pada nama yang dipilih, seperti Abigail,

Andrea dan Dillon. Nama anak juga ada yang diambil dari nama artis atau

tokoh terkenal seperti Maria Mercedes, Rudolfo dan Rivaldo. Dimungkinkan

masih banyak patokan-patokan lain yang digunakan oleh masyarakat Jawa

7

dalam memilih nama untuk anak mereka. Contoh lain yang cukup berbeda

dari nama-nama di atas dapat diambil dari salah satu keluarga yang hidup

sangat sederhana di kota Yogyakarta. Untuk ketiga orang anaknya, orang tua

yang kebetulan buta huruf ini memberikan nama Yang Mana, Seadanya dan

Sunyi. Demikianlah, banyak bentuk nama yang dipakai masyarakat Jawa.

Faktor-faktor yang mendorong masyarakat Jawa dalam memilih kata yang

dipakai sebagai nama menarik untuk dikaji lebih lanjut.

Pada masyarakat Jawa dikenal budaya membuat nama setelah seorang

lelaki menikah, yang biasa disebut nama tua (Uhlenbeck, 1982). Nama tua ini

bisa berbentuk nama yang sama sekali berbeda dengan nama kecil, atau yang

merupakan perpaduan antara nama kecil dan nama baru yang biasanya

ditambahkan di belakang nama kecil. Berikut data tentang nama-nama yang

dipakai oleh salah satu keluarga besar, yang dapat memberikan gambaran

mengenai keterpakaian nama tua dan gejala adanya perubahan nama dari

generasi yang berbeda (data diambil dari desa Kalimati, Tirtomartani,

Kalasan).

(1) Wagimin (nama kecil) Atma Redja (nama tua)

(2) Sugeng Nata Suwignya

(3) Slameta Cakra Wiyatmadja

(4) Parman Sawi Redja

8

Dari data di atas diketahui bahwa terdapat nama kecil dan nama tua

pada masyarakat Jawa. Yang dimaksud dengan nama kecil adalah nama yang

diberikan oleh orang tua atau saudara dekat pada saat bayi dilahirkan. Nama

ini sering kali disebut juga sebagai nama panggilan. Adapun nama tua adalah

nama yang dipakai oleh pasangan suami-istri pada masyarakat Jawa, setelah

mereka menikah. Hal ini memberikan pengaruh signifikan terhadap status

sosial di tengah-tengah masyarakat pada seseorang yang memilikinya. Nama

kecil Wagimin akan berubah menjadi nama tua Atma Redja. Wagimin

menandai hari kelahiran seorang anak yang mengacu pada salah satu nama

hari pasaran dalam kalender Jawa yaitu Wage. Nama kecil Wagimin ini

dikenal secara luas oleh masyarkat Jawa. Namun demikian, wagimin tidak

termasuk leksikon bahasa Jawa yang maknanya bisa dicari dalam Kamus

Bahasa Jawa. Hal ini berbeda dengan leksikon atma dan redja yang

maknanya terdapat dalam Kamus Bahasa Jawa. Nama Atma Redja terdiri atas

dua kata, yaitu Atma berarti jiwa dan Redja berarti tenteram. Dengan

demikian, makna yang terkandung dalam nama Atma Redja adalah jiwa yang

tenteram.

Demikian pula, untuk nama kecil Sugeng yang berubah menjadi nama

tua Nata Suwignya. Nama kecil Sugeng menandai adanya keselamatan yang

diperoleh oleh keluarga itu atau harapan orang tua agar anaknya kelak

mendapatkan keselamatan. Nata Suwignya terdiri atas dua kata yaitu Nata

dan Suwignya. Nata berarti raja atau ratu, sedangkan Suwignya berarti

bijaksana. Jadi nama Nata Suwignya artinya raja yang bijaksana. Terkait

9

dengan pemilihan nama tua menjadi Nata Suwignya, harapan yang tersemat

dalam nama itu adalah penyandang nama memiliki tabiat seperti raja yang

bijaksana. Penggantian nama seperti di atas juga terjadi pada nama kecil

Slameta berubah menjadi nama tua Cakra Wiyatmadja dan nama kecil

Parman menjadi nama tua Sawi Redja.

Nama tua pada data di atas memiliki kosakata yang lebih banyak

daripada nama kecil. Nama kecil pada data di atas hanya terdiri dari satu kata,

sedangkan nama tua ada terdiri lebih dari satu kata. Nama diri satu kata ini

berbentuk monomorfemis dan polimorfemis. Nama Parman dan Suwignya,

merupakan bentuk nama satu kata. Hadirnya Su- pada Suwignya, menjadikan

nama ini berbentuk polimorfemis. Su- dalam morfologi Bahasa Jawa

merupakan morfem yang memiliki arti baik, dan tidak bisa berdiri sendiri.

Meskipun demikian, di luar data di atas terdapat nama kecil yang

mengandung lebih dari satu kata, seperti data berikut ini.

(5) Dede Nugraha

(6) Ika Paryanti

(7) Veri Iswahyudi

(8) Ahmad Ramadan

(9) Dede Annisa Rizki

Pemilik nama Dede Nugraha, Ika Paryanti, Veri Iswahyudi adalah anak dari

Bapak Nata Suwignya atau cucu dari Bapak Atma Redja, sedangkan pemilik

nama Ahmad Ramadan dan Dede Annisa Rizki adalah anak dari Bapak Dede

Nugraha atau cucu dari Bapak Nata Suwignya dan cicit dari Bapak Atma

10

Redja. Dari nama yang disandang empat generasi ini terlihat adanya beberapa

perubahan yang terjadi. Pertama, generasi pertama dan kedua memiliki nama

tua, sedangkan generasi ketiga tidak lagi memakai nama tua. Kedua, dari

bentuk nama, generasi pertama dan kedua memiliki nama kecil yang singkat.

Nama pada generasi ini hanya terdiri dari satu kata. Sementara itu, nama pada

generasi selanjutnya terdiri dari dua kata atau lebih. Ketiga, dari kosakata yag

dipakai sebagai nama memperlihatkan nuansa yang berbeda-beda. Nama yang

dimiliki generasi keempat, yaitu nama Ahmad Ramadan dan Dede Annisa

Rizki mengandung nuansa islami yang lebih kental, sedangkan nama dari

generasi pertama, kedua, dan ketiga mengandung nuansa Jawa.

Dalam pada itu, di masyarakat Jawa dikenal pula pemakaian nama tua

melalui budaya nunggak semi. Nunggak semi adalah kebiasaan memakai

nama tua yang diambil dari nama bapak atau nama bapak mertua (Uhlenbeck,

1982). Nunggak semi dapat dilakukan secara paripurna, sebagian, atau

gabungan. Nunggak semi paripurna adalah memakai nama orangtua secara

sepenuhnya. Jadi, apabila seorang laki-laki dewasa memiliki orang tua

bernama Martoprayitno, dia akan memakai nama tua seperti nama ayahya.

Nunggak semi sebagian adalah memakai sebagian nama bapak sebagai

nama tua. Sebagai contoh, Bapak Pawirodikromo yang memiliki empat

putera, sebagian namanya akan dipakai oleh putera-puteranya sebagai nama

tua. Apabila sebagian dari nama tersebut yang diambil adalah Pawiro, maka

bisa jadi nama tua putera-puteranya menjadi Pawiroharjo, Pawirodirjo,

Pawiroleksono, atau Pawiroprayitno.

11

Adapun nunggak semi gabungan adalah memakai nama tua yang

merupakan nama gabungna antara nama bapak dan nama mertua laki-laki.

Sebagai contoh, seorang laki-laki memiliki bapak yang bernama

Sastroprayitno dan mertua laki-laki Pawirodiharjo. Laki-laki tersebut bisa

memakai nama tua yang merupakan gabungan dari nama bapak dan nama

mertuanya, misalnya Sastrodiharjo. Sastro diambil dari nama bapak dan

Diharjo diambil dari nama mertua laki-laki tersebut.

Pada masyarakat Jawa dikenal pula nama julukan dan nama panggilan.

Nama julukan kerap diberikan oleh masyarakat kepada seseorang yang

memiliki jabatan dalam pemerintahan. Misal, Pak Lurah, Pak Camat dan Pak

Bupati. Selain itu nama julukan juga sering dikaitkan dengan keadaan fisik

dan pekerjaan seseorang. Untuk membedakan orang yang memiliki nama

yang sama masyarakat kerap menambahkan julukan tertentu di belakang

nama aslinya. Misal, kata kuning ditambahkan di belakang nama seseorang

(Warna) yang memiliki kulit yang kuning, menjadi Warna Kuning.

Penambahan kata kuning membentuk nama diri tersebut menjadi frase

nomina. Frase ini terdiri dari unsur nomina sebagai inti dan unsur lainnya,

dalam hal ini dapat berupa nomina, adjektiva, numeralia, sebagai atribut atau

modifikator. Pada Warna Kuning, warna sebagai inti dan kuning sebagai

modifikator. Nama julukan juga kerap dikaitkan dengan pekerjaan seseorang,

misal Dokter Budi, Ustadz Ali, dan Bu Guru Asih. Pak Wedhus, juga

diberikan sebagai nama julukan kepada seseorang yang berprofesi sebagai

penjual wedhus ‘kambing’.

12

Pada kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa, penyebutan nama diri secara

lengkap sering tidak dilakukan namun cukup dengan nama panggilan.

Sebutan Ta [tә] dan Na [nә] biasanya ditujukan kepada seseorang yang

memiliki nama diri dengan suku kata akhir ta atau na, seperti Parta atau

Parna. Pelesapan bunyi pada nama diri dalam bahasa Jawa, biasanya terjadi

pada suku awal. Dengan adanya pelesapan tersebut, bentuk tuturan jadi lebih

ringkas. Tuturan yang demikian sering terjadi dalam situasi informal.

Ada beragam nama diri di dunia ini. Untuk mendapatkan gambaran

mengenai keragaman dalam penamaan diri, berikut di tampilkan contoh-

contoh nama dalam bahasa Jerman, Bulgaria, Jepang dan Cina dari sumber

data internet (Van de Velde, 2006).

Masyarakat Jerman memiliki nama yang relatif tetap dari lahir hingga tua,

dengan pengecualian bagi wanita yang menikah. Pada umumnya, setelah

menikah wanita Jerman menggunakan nama keluarga suami sebagai nama

belakang. Misalnya, Monika Sager setelah menikah dengan Klause Henkel,

akan menyandang nama, Monika Henkel. Adakalanya dalam Daftar Riwayat

Hidup atau dokumen resmi namanya akan tertulis Monika Sager (geb.)

Henkel. Geb. merupakan singkatan dari geborene (dari geboren ꞌlahirꞌ), yang

menerangkan bahwa Sager adalah nama yang dibawa sejak lahir. Laurie

Bauer, Andreas Mauer dan Rudolf Müller adalah juga contoh nama orang

Jerman. Nama Laurie Bauer, terdiri atas Laurie sebagai Vorname ꞌnama

depanꞌ dan Bauer sebagai Familienname ꞌnama keluargaꞌ (lihat

13

http://www.weddix.de/ratgeber-recht-und-formalitaeten-namensrechr-bei-

hochzeit.html; Das digitale Familiennamenwoerterbuch Deutschlands, 2014)

Dari beberapa nama di atas diketahui bahwa masyarakat Jerman memiliki

ragam nama yang berkaitan dengan pekerjaan dalam jumlah yang cukup

banyak. Bentuk nama ini berfungsi sebagai nama keluarga. Nama-nama

tersebut antara lain sebagai berikut.

(10) Weber ꞌpenenunꞌ

(11) Fischerꞌ nelayanꞌ

(12) Schneider ‘penjahit’

(13) Gerber ‘penyamak kulitꞌ

Bentuk nama-nama di atas berkaitan erat dengan kata kerja weben

'menenun', fischen 'memancing', schneiden 'menjahit', dan gerben 'menyamak

kulit'. Apabila dikaitkan dengan kajian mengenai pemarkah kata benda dalam

bahasa Jerman, maka sufiks er pada nama-nama tersebut merupakan

pemarkah kata benda maskulin, sehingga artikel yang dimilikinya adalah der.

Pada konteks ini, pelaku pekerjaan weben 'menenun', fischen 'memancing',

schneiden 'menjahit' dan gerben 'menyamak kulit' berjenis kelamin laki-laki.

Pada kasus yang lain, terdapat bentuk-bentuk kata benda feminim Weberin,

Fischerin, Schneiderin, dan Gerberin yang memiliki artikel die, yang

menjelaskan bahwa pelaku pekerjaan tersebut adalah berjenis kelamin

perempuan . Bentuk feminin ini tidak dipakai sebagai nama keluarga.

14

Nama belakang atau nama keluarga seperti Bauer, Mauer, dan Müller

memiliki arti harfiah, yaitu Bauer ꞌpetaniꞌ, Mauer ꞌpembuat dindingꞌ, Müller

ꞌpenggiling gandumꞌ. Nama-nama dengan makna yang seperti tersebut di atas

lazim digunakan untuk disandang oleh masyarakat Jerman. Akan tetapi, nama

yang memiliki makna petani, tukang batu atau pembuat dinding, dan tukang

kayu tidak lazim digunakan oleh masyarakat Jawa sebagai nama diri.

Sebaliknya, nama-nama yang bermakna menyimbolkan keindahan fisik

seseorang tidak lazim dipakai oleh masyarakat Jerman sebagai nama diri atau

nama keluarga, misalnya *Hübsch ꞌayuꞌ dan *Schön ꞌbagusꞌ. Hal ini berbeda

dengan masyarakat Jawa yang lazim memakai nama yang bermakna indah

seperti Ayu dan Bagus.

Masyarakat Jerman juga mengenal nama yang mengandung unsur

nama orangtua dan nama timangan. Kedua bentuk nama ini tampaknya tidak

banyak dipakai. Nama-nama tersebut antara lain sebagai berikut.

(14) Janson ꞌanak laki-laki Janꞌ

(15) Lorenzen ꞌanak laki-laki Lorenzꞌ

(16) Rasmussen ꞌanak laki-laki Erasmusꞌ

Adapun nama-nama timangan antara lain sebagai berikut.

(17) Fabel Fabian

(18) Martz Martin

Nama timangan merupakan bentuk derivasi dari nama pertama. Fabel

diderivasi dari nama pertama Fabian. Martz diderivasi dari nama pertama

15

Martin. Selain itu, masyarakat Jerman juga mengenal julukan, antara lain

sebagai berikut.

(19) Frost ꞌmembekuꞌ

(20) Fuchs ꞌserigalaꞌ (Canis lupus)

(21) Hase ꞌkelinciꞌ (Nesolagus)

(22) Hahn ꞌayamꞌ (Gallus gallus domesticus)

(23) Baehr ꞌberuangꞌ (Ursidae)

Frost adalah nama julukan bagi orang yang memiliki personalitas dingin atau

tidak ramah terhadap orang lain, Fuchs bagi orang yang berambut merah,

Hase bagi orang yang pemalu, Hahn bagi orang yang suka membanggakan

diri, dan Baehr bagi orang yang kuat dan pemberani.

Nama orang Jerman yang bermakna alam, khususnya yang berkaitan

dengan nama bunga, antara lain sebagai berikut (Seibicke, 1994).

(24) Iris ꞌbunga irisꞌ (Iris tectorum)

(25) Cosmea ꞌbunga cosmeoꞌ (Cosmos caudatus)

(26) Daisy ꞌbunga daisyꞌ (Bellis perennis)

(27) Jasmine ꞌbunga melatiꞌ (Jasminum sambac)

(28) Amaryllis ꞌbunga amarilisꞌ (Eurycles amboinensis)

Nama dengan makna alam juga banyak dipakai orang Jepang dan Cina.

Nama orang Jepang yang bermakna alam antara lain sebagai berikut.

(29) Ichigo ꞌstrawberryꞌ (Fragaria ananassa)

(30) Mizusima ꞌpulau airꞌ

16

(31) Nishimura ꞌdesa baratꞌ

(32) Suzuki ꞌpohon bellꞌ (Syzygium aqueum)

(33) Tsukino ꞌ(dari) bulanꞌ

Adapun nama orang Cina yang bermakna alam antara lain sebagai

berikut.

(34) Du ꞌpohon besarꞌ

(35) Li ꞌpohon plumꞌ (Prunus domestica)

(36) Lin ꞌhutanꞌ

Ketiga hal yang berkaitan dengan nama masyarakat Jerman di atas, yaitu

informasi tentang nama orangtua, patronymic, dan timangan yang terkandung

dalan nama, juga dimiliki oleh masyarakat Bulgaria. Kebanyakan nama yang

dipakai laki-laki Bulgaria mengandung informasi mengenai nama orangtuanya

seperti contoh nama berikut.

(37) Andonov ‘anak laki-laki Andonꞌ

(38) Antonov ꞌanak laki-laki Antonꞌ

(39) Alekseev ꞌanak laki-laki Alekseyꞌ

(40) Andreev ꞌanak laki-laki Andreyꞌ

Dari contoh nama di atas diketahui, bahwa sufik ov atau ev merupakan pemarkah

genetif maskulin. Nama tersebut berfungsi sebagai nama keluarga.

Selain itu, nama orang Bulgaria juga memiliki informasi patronymic, yaitu

informasi mengenai pekerjaan seseorang atau orang tuanya. Daskalov menunjuk

pada pekerjaan guru (daskal), Chilikov menunjuk pada pekerjaan pengolah baja

(chilic), Abadjiev menunjuk pada pekerjaan di ꞌtar pitꞌ (katranja). Nama-nama

17

tersebut hanya dipakai oleh orang-orang tertentu. Daskalov dipakai sebagai nama

untuk anak seorang guru. Chilikov dipakai sebagai nama untuk anak seorang

pengolah baja. Abadjiev dipakai sebagai nama untuk anak seorang yang bekerja di

ꞌtar pitꞌ.

Masyarakat Bulgaria juga mengenal nama timangan atau nama

kesayangan, meskipun tidak setiap orang menggunakannya. Nama ini merupakan

panggilan sayang kepada anak. Data nama tersebut antara lain sebagai berikut.

(41) Dimov ꞌ anak laki-laki Dimoꞌ

(42) Dancevꞌ anak laki-laki Danchoꞌ

Dimov merupakan bentuk nama timangan dari Dimitar atau Dimitrov, sedangkan

nama Danchev dari Daniel. Dari nama-nama di atas diketahui, bahwa pemarkah

genetif maskulin tetap melekat pada nama timangan.

Seperti halnya masyarakat Jerman yang memiliki nama keluarga sebagai

salah satu komponen dari nama diri, beberapa kelompok masyarakat penutur

bahasa daerah di Indonesia juga memiliki nama keluarga. Masyarakat Batak,

misalnya, memiliki nama keluarga yang disebut marga. Alamson Situmorang,

Ependi Simaremare, dan Rosiana Silalahi adalah contoh nama Batak. Situmorang,

Simaremare, dan Silalahi adalah nama marga, yang menunjukkan bahwa pemilik

tersebut berasal dari suku Batak. Bagi masyarakat Batak menyandang nama

marga di belakang nama diri adalah suatu keharusan, seperti halnya bagi

masyarakat Minangkabau, Maluku, dan Menado. Dalam konteks ini nama

berfungsi sebagai identitas suku seseorang. Hal ini berbeda dengan yang berlaku

pada masyarakat Jawa yang tidak memiliki nama marga.

18

Masyarakat Batak terutama generasi tua, memiliki cara pemberian nama

yang mengacu pada barang yang ada di sekitarnya dan situasi yang terjadi saat

seorang anak dilahirkan. Halilintar Siregar adalah salah satu contoh nama

seorang anak yang dilahirkan dalam situasi hujan disertai halilintar.

Cara lain yang digunakan masyarakat Batak dalam memberikan nama

pada seorang anak berdasar pada harapan orang tua terhadap masa depan atau

nasib anaknya kelak di kemudian hari. Menurut wawancara non formal dengan

beberapa anggota masyarakat Batak yang ada di Yogyakarta, harapan orang tua

tersebut disimbolkan melalui nama yang diberikan orang tua kepada anak. Nama-

nama yang dimaksud antara lain sebagai berikut.

(43) Padapotan Lumban Tobing

(44) Parulian Sihombing

Padapotan merupakan nomina, yang dibentuk dari kata dasar dapot

(verba) + pe-an. Dalam bahasa Batak padapotan berarti pendapatan atau rejeki.

Nama Padapotan yang diberikan pada seorang anak, mencerminkan harapan atau

doa orang tua agar anaknya memiliki rejeki yang baik dalam kehidupannya.

Adapun parulian merupakan nomina yang dibentuk dari kata dasar ruli

(adjektiva)+ {pe-an}. Kata ruli memiliki makna cantik. Harapan orang tua yang

menamai anaknya parulian, adalah agar anaknya dikaruniai kecantikan lahir dan

batin.

Berdasarkan wawancara dengan beberapa anggota masyarakat Bali yang

berada di Yogyakarta, diketahui bahwa masyarakat Bali juga memiliki budaya

pemberian nama yang sampai sekarang masih dipertahankan oleh masyarakatnya.

19

Klasifikasi sosial masyarakat Bali terbagi menjadi empat kasta, yaitu kasta

Brahmana, Ksatriya, Weisya dan Sudra. Masyarakat yang berasal dari kasta

Brahmana dan Ksatria memiliki nama kebangsawanan yang memiliki ciri khas

kasta mereka. Nama kebangsawanan dari kasta Brahmana untuk laki-laki antara

lain Ida Bagus, dan untuk perempuan Ida Ayu. Adapun nama kebangsawanan dari

kasta Ksatria untuk laki-laki, antara lain Dewa, dan untuk perempuan Desak.

Pada umumnya nama masyarakat Bali mengandung kata tertentu yang

menandai urutan kelahiran. Nama-nama tersebut adalah sebagai berikut.

Putu, Wayan anak pertama

Made, Nengah anak kedua

Nyoman, Komang anak ketiga

Ketut anak keempat

Untuk anak kelima akan kembali dinamai Putu atau Wayan, demikian seterusnya.

Nama untuk menandai urutan kelahiran ini dipakai untuk anak laki-laki dan

perempuan. Menurut I Wayan Jendra, nama untuk menandai urutan kelahiran ini

ditemukan pada abad empat belas pada nama Raja Gelgel yang bergelar Dalem

Ketut Kresna Kapakisan ( Blog Budaya Bali, cakapane blogspot.co.id, diunggah 9

Juli 2012).

Dalam menamai anaknya, sebagian masyarakat Bali mengacu pada

primbon, pawukon. Hal ini terutama dilakukan oleh masyarakat Bali kalangan

bangsawan. Adapun dari kalangan masyarakat Weisya dan Sudra, acuan yang

digunakan dalam pemberian nama adalah benda yang ada di sekitarnya atau

20

situasi yang terjadi saat bayi tersebut lahir. Pada masa sekarang, cara ini semakin

ditinggalkan oleh masyarakat Weisya dan Sudra. Nama-nama masyarakat Bali,

antara lain sebagai berikut.

(45) Nyoman Bayu Pratama

(46) Ni Luh Putu Dian Purnamasari

(47) Anak Agung Bagus Sri Maha Wisnu Wardhana (Sumber: Data

Pendaftar CPNS 2015, on line).

Sehubungan dengan nama diri masyarakat Bali dari kalangan Weisya,

diungkapkan oleh beberapa nara sumber bahwa dari kelompok masyarakat ini

juga memiliki simbol-simbol kebangsawanan yang dipakai sebagai nama diri.

Nama yang dimaksud antara lain, Jero Wacik, yang merupakan simbol

kebangsawanan untuk kalangan masyarakat Weisya.

Setiap masyarakat penutur suatu bahasa memiliki aspirasi-aspirasi dan

patokan-patokan tertentu, yang teraktualisasi dalam pemilihan bahasa, dalam hal

ini berwujud kosakata, yang digunakan sebagai nama diri. Dari uraian mengenai

khasanah nama masyarakat Jawa di atas, untuk sementara dapat diduga adanya

beragam makna yang terkandung di dalam nama. Dari data-data yang

diungkapkan, juga dapat diduga bahwa baik dalam pemilihan kata, patokan-

patokan yang digunakan, atau alasan pemberian nama dipengaruhi oleh aspek-

aspek sosial budaya, antara lain usia, pekerjaan, pendidikan, dan wilayah tempat

tinggal. Selain itu, dari data-data yang diungkapkan dapat diketahui pula adanya

perbedaan dalam pilihan nama. Dari sisi berbeda dapat dikatakan, bahwa aspek-

21

aspek sosial budaya (usia, dan wilayah tempat tinggal) tampaknya berpengaruh

terhadap pilihan kata yang dipakai dalam nama. Melalui pilihan kata yang dipakai

dalam nama, tampaknya masyarakat Jawa ingin mencitrakan gagasan, idealisme,

atau makna hidup yang ada pada dirinya. Hal ini sesuai dengan pendapat

Akmajian (1990), bahwa variasi dalam pilihan kata salah satunya disebabkan oleh

faktor-faktor di luar bahasa, antara lain faktor geografis, ekonomi, mobilitas

sosial, dan prestise.

Dibandingkan setengah abad yang lalu, keadaan ekonomi, sosial, dan

budaya (pada aspek-aspek tertentu) masyarakat Jawa pada khususnya, dan

masyarakat Indonesia pada umumnya, sudah jauh berubah dan menuju ke arah

yang lebih baik, maju dan modern. Kemajuan zaman ini diduga juga dapat

berimbas pada perilaku masyarakat Jawa dalam hal memilih nama untuk anak

mereka. Namun demikian, untuk dapat menyatakan bahwa ada perbedaan aspirasi

dan perilaku pada masyarakat Jawa dalam memilih nama untuk anak mereka,

perlu penelitian untuk membuktikannya.

Penelitian ini mengkaji tentang nama diri masyarakat Jawa di Yogyakarta.

Adapun yang dimaksud masyarakat Jawa dalam penelitian ini adalah masyarakat

tutur Jawa yang secara bersama-sama berbagi pengetahuan tentang budaya Jawa,

antara lain kebiasaan, norma, dan kaidah-kaidah, yang dimanfaatkan untuk

bertingkah laku dan menafsiran tutur dalam kehidupan sehari-hari. Anggota

masyarakat ini lahir atau telah lama hidup di wilayah Provinsi Yogyakarta.

Tinjauan Sinkronis digunakan untuk mengkaji nama yang dipakai masyarakat

Jawa di Yogyakarta pada masa sekarang (tahun 2000-2010, selanjutnya disebut

22

era 2000-an). Adapun tinjauan diakronis untuk mengkaji nama yang dipakai

masyarakat Jawa di Yogyakarta pada masa yang telah lewat (tahun 1970-1980,

selanjutnya disebut era 70-an), dan digunakan untuk acuan mengetahui pergeseran

bentuk-bentuk nama diri, dengan cara membandingkan bentuk nama dengan nama

era 2000-an. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan Chaika (1987), bahwa

pergeseran bahasa terjadi dalam waktu yang sangat lama, dari generasi ke

generasi. Adapun yang dimaksud periodisasi antar generasi adalah tiga puluh

tahun (Mobile Dictionary, 2008). Melalui cara ini, diketahui bentuk-bentuk nama

diri, fitur semantis nama diri dan motivasi yang melatarbelakangi penciptaan

beberapa nama diri, serta pergeseran bahasa pada nama diri pada masyarakat Jawa

di Yogyakarta dan faktor penyebab pergeseran tersebut.

Tahap-tahap penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama, dikaji

mengenai bentuk nama diri pada masyarakat Jawa pada era 70-an dan 2000-an.

Pada tahap ini dibicarakan mengenai bentuk nama diri, antara lain nama diri

berupa kata, dan kelompok kata; nama diri Jawa, Campuran, Asing; dan unsur

pengisi nama diri.

Kedua, dikaji mengenai fitur (nuansa) semantis atau fitur makna yang

terkandung dalam satuan lingual yang digunakan sebagai nama diri pada

masyarakat Jawa dan motivasi dari penciptaan beberapa nama diri.

Ketiga, dikaji mengenai pergeseran bentuk-bentuk nama diri pada

masyarakat Jawa. Pada tahap ini akan diawali pengkajian mengenai perbedaan

penamaan diri masyarakat Jawa dilihat dari aspek-aspek sosial budaya, termasuk

di dalamnya perbedaan aspirasi dan perilaku masyarakat Jawa yang diekspresikan

23

melalui pemilihan kata yang dipakai sebagai nama diri. Aspek-aspek sosial

budaya yang dimaksud adalah usia (tua/muda), dan wilayah tempat tinggal (desa

dan kota). Adanya perbedaan aspirasi, misalnya dilihat dari faktor usia,

diasumsikan dapat menjadi petunjuk adanya pergeseran cara pandang pada

masyarakat Jawa. Penamaan diri yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

segala hal yang berkaitan dengan tatanan atau tata cara penamaan diri pada

masyarakat Jawa. Selain itu, akan dikaji mengenai sebab-sebab terjadinya

perbedaan dalam pemilihan nama diri. Faktor-faktor yang mendorong masyarakat

Jawa dalam memilih nama untuk anak mereka juga akan dikaji dalam penelitian

ini.

Pergeseran nama diri pada masyarakat Jawa berlangsung dari waktu ke

waktu, baik dimasing-masing era 70-an dan 2000-an, maupun antara era tersebut.

Hal ini dikuatkan oleh Chaika (1987), bahwa pergeseran bahasa termasuk dalam

nama diri, terlihat jelas apabila dilihat antar generasi. Dengan memperhatikan

nama diri di era 70-an dan 2000-an dapat diketahui bentuk-bentuk nama yang

masih tetap ada dan yang sudah tidak ada lagi.

Bentuk-bentuk nama pada masa sebelum kemerdekaan yang diambil dari

novel epos yang berjudul Gajahmada dan Majapahit (Hariadi, 2008), serta buku

“Ikhtisar Perkembangan Satra Jawa Modern Periode Prakemerdekaan” juga dapat

menguatkan pembahasan dan hasil penelitian. Bentuk nama setelah kemerdekaan

diambil dari buku “Ikhtisar Perkembangan Satra Jawa Modern Periode Setelah

Kemerdekaan”. Dua buku terakhir oleh para pakar budaya dan bahasa Jawa

merupakan rekaman situasi masyarakat Jawa pada masa itu. Dengan demikian

24

nama-nama orang yang tertulis di dalam buku tersebut adalah bentuk-bentuk yang

dipakai saat itu. Adapun novel tersebut memiliki setting penceritaan kerajaan-

kerajaan Hindu Islam dan Majapahit. Nama-nama berdasarkan literatur ini dapat

menguatkan data penelitian.

Melalui kajian terhadap hal-hal tersebut diharapkan dapat dijelaskan,

antara lain mengenai bentuk nama diri dan penamaan diri yang ada dalam

kehidupan masyarakat Jawa, fitur semantis pada nama Jawa, pergeseran nama

Jawa dan ada tidaknya perbedaan aspirasi pada masyarakat Jawa (dilihat dari

aspek-aspek sosial budaya) dalam aktivitas pemberian nama kepada anak, serta

penyebab terjadinya pergeseran nama tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Untuk mengurai nama diri pada masyarakat Jawa di Yogyakarta, penelitin

ini bertumpu pada aspek linguistis dan non linguistis. Aspek linguistis yang

dimaksud adalah satuan lingual yang berupa kosa kata atau leksikon bahasa Jawa.

Leksikon yang dimaksud adalah perbendaharaan kata yang terdapat dalam nama

diri pada masyarakat Jawa. Selain leksikon bahasa Jawa, disinggung pula leksikon

dari bahasa lain yang muncul dalam nama diri dalam masyarakat Jawa. Adapun

aspek non linguistis didasarkan pada budaya Jawa yang menjadi latar penelitian,

dimana aktivitas penamaan diri terjadi.

Permasalahan yang diurai melalui penelitian ini dapat dirumuskan sebagai

berikut.

25

(1) Apa saja variasi bentuk nama diri dan penamaan diri pada masyarakat

Jawa di Yogyakarta pada era 70-an dan 2000-an? Bagaimana penamaan

diri masyarakat Jawa di Yogyakarta dilihat dari bentuk nama diri tersebut?

(2) Fitur (nuansa) makna apa yang terkandung dalam nama diri pada

masyarakat Jawa di Yogyakarta era 70-an dan 2000-an?

(3) Pergeseran apa yang terjadi dalam nama diri pada masyarakat Jawa di

Yogyakarta antara era 70-an dan 2000-an dan faktor- faktor apa sajakah

yang menjadi penyebab pergeseran nama itu?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

(1) Mendeskripsikan bentuk nama diri pada masyarakat Jawa di

Yogyakarta pada era 70-an dan 2000-an, dan menjelaskan penamaan diri

dilihat dari bentuk-bentuk nama diri tersebut.

(2) Mendeskripsikan fitur (nuansa) makna apa yang terkandung dalam nama

diri pada masyarakat Jawa di Yogyakarta era 70-an dan 2000-an.

(3) Mendeskripsikan pergeseran yang terjadi dalam nama diri pada

masyarakat Jawa di Yogyakarta antara era 70-an dan 2000-an dan

menjelaskan faktor- faktor yang menjadi penyebab pergeseran nama itu.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang bisa dipetik dari penelitian ini dapat dilihat dari

beberapa segi sebagai berikut.

(1) Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat memperluas cakrawala ilmu

sosiolinguistik, khususnya mengenai penamaan diri masyarakat Jawa.

26

Pandangan masyarakat Jawa mengenai bentuk-bentuk nama dan penamaan

diri yang dipakai dapat memperkuat teori mengenai hubungan antara

bahasa dan kebudayaan, yang antara lain dikemukakan oleh Sapir, Whorf,

dan Kramsch. Selain itu, hasil penelitian mengenai pergeseran nama diri

pada masyarakat Jawa diasumsikan dapat menjadi petunjuk terjadinya

dinamika sosial budaya dalam masyarakat.

(2) Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menimbulkan dan

menyuburkan rasa kecintaan, rasa memiliki, dan ingin melestarikan bahasa

Jawa. Aktualisasi dari hal ini bukan saja penting bagi eksistensi bahasa

Jawa, namun juga dukungan yang bermakna bagi bahasa Indonesia

sebagai bahasa nasional, khususnya dalam konteks bahasa daerah sebagai

salah satu faktor yang memperkuat kelangsungan hidup bahasa nasional.

Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat membangkitkan rasa

bangga terhadap nama Jawa, sehingga dapat meminimalisir pemakaian

nama westernisasi atau nama yang berkiblat pada budaya asing.

1.5 Tinjauan Pustaka

Penelitian tentang bahasa Jawa telah banyak dilakukan oleh peneliti

terdahulu. Berikut ini dipaparkan beberapa pustaka dan penelitian yang bertujuan

mengkaji aspek-aspek linguistis bahasa Jawa beserta budaya yang melingkupinya.

Penelitian-penelitian mengenai bahasa Jawa yang mengkaitkannya dengan

faktor sosial budaya antara lain sebagai berikut. Poedjosoedarmo (1979) mengkaji

Kode Tutur Masyarakat Jawa. Supardo (1999) meneliti Bentuk Sapaan Bahasa

Jawa Banyumas. Cakupan penelitian ini relatif luas. Selain mengemukakan

27

bentuk-bentuk sapaan pada tataran lingusitik, analisis yang merambahi aspek non

linguistik juga menjadi faktor munculnya bentuk sapaan, menjadikan penelitian

ini sangat menarik. Salah satu hasil penelitian ini adalah bahwa terdapat

kemungkinan bahwa sapaan hanya berbentuk nama diri atau njangkar dan sapaan

nama diri disertai unsur lain. Cara menyapa orang dengan njangkar hanya terjadi

jika interlokutor sebaya atau penyapa lebih tua daripada tersapa dalam hubungan

kekerabatan, jabatan, status, dan lain-lain. Rokhman (2003) meneliti Pemilihan

Bahasa pada Masyarakat Dwibahasa. Lokasi penelitian ini di Kabupaten

Banyumas. Salah satu hal yang menarik dari penelitian ini terletak pada cara

mengambil data, yaitu dengan menggunakan perspektif antropologis, meskipun

disebut sebagai kajian sosiolinguistik. Cara mengambil data dan analisis dalam

penelitian ini dapat dijadikan inspirasi bagi peneliti dalam menemukan penamaan

diri masyarakat Jawa.

Penelitian Suhandano (2004) yang memanfaatkan pendekatan linguistik

antropologis, yaitu melihat fakta bahasa dalam konteks sosial dan budaya yang

lebih luas (Foley, 1997), menarik dikemukakan di sini. Salah satu tujuan

penelitian ini adalah menemukan sistem klasifikasi tumbuh-tumbuhan dalam

bahasa Jawa. Untuk menjawab permasalahan yang diajukan, penelitian ini

menentukan kosakata sebagai pijakan bahan analisis. Cara ini didukung Boas

(1964; Wierzbicka, 1997; Ahimsa-Putra, 1986) dengan argumentasi bahwa

perbedaan kosakata sedikit banyak bergantung pada the chief interest of the

people. Boas juga meyakinkan bahwa melalui kosakata dapat ditafsirkan dunia

penutur suatu bahasa. Selain menemukan sistem klasifikasi tumbuh-tumbuhan

28

dalam bahasa Jawa, pada beberapa hal diungkapkan mengenai pandangan

masyarakat Jawa terhadap dunia tumbuhan. Konsep-konsep dan cara menjaring

data penelitian yang digunakan dapat menjadi inspirasi bagi penelitian ini.

Kajian yang membahas tentang nama antara lain ditulis oleh Sulistyawati

(2004) dan Gonda (1952). Sulistyawati membahas tentang ꞌꞌ Nama dan Gelar di

Kraton Yogyakartaꞌꞌ. Dalam tulisannya yang dimuat dalam Jurnal Humaniora,

Sulistyawati mengungkapkan bahwa nama dan gelar di Keraton Yogyakarta

diberikan kepada keluarga sultan dan abdi dalem. Jauh dekatnya hubungan

kekerabatan dengan sultan serta pangkat dan kedudukan seseorang mempengaruhi

nama dan gelar yang dimiliki. Nama dalam masyarakat keraton dapat

diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu nama kecil, nama tua, dan nama pendek.

Sistem pemberian nama di Keraton Yogyakarta didasarkan kedudukan dan

pangkat seseorang. Apabila seseorang sudah menggunakan nama tua, nama kecil

sudah tidak digunakan lagi, kecuali oleh orang-orang yang memiliki hubungan

sangat dekat. Adapun Gonda (1952) mengupas tentang nama orang yang

menggunakan bahasa Sansekerta dalam sub judul ꞌꞌNames of Personsꞌꞌ. Dikatakan

oleh Gonda bahwa jumlah nama orang yang menggunakan bahasa Sansekerta atau

yang menggunakan bahasa Sansekerta sebagai salah satu elemennya banyak

ditemukan dalam bahasa Jawa. Bahasa Sansekerta banyak dipakai oleh raja-raja di

Jawa sebagai nama diri, antara lain Purnawarman, Jayabuphati, Sanjaya,

Jayabhaya, Daksa, dan Krtajaya. Selain itu, nama-nama modern yang

menggunakan bahasa Sansekerta juga banyak dipakai oleh masyarakat Jawa,

29

antara lain Sukarna, Sumantri, dan Sujana. Su pada awal kata tersebut memiliki

makna baik (Moeljanto, 1983).

Uhlenbeck (1982) dalam bukunya yang berjudul Kajian Morfologi Bahasa

Jawa, dalam salah satu babnya menulis tentang ciri-ciri sistematis nama orang

dalam bahasa Jawa. Pada tulisan ini, antara lain diungkapkan bahwa nama

merupakan pembeda kelompok, apabila ditinjau dari golongan masyarakat, yaitu

(1) nama yang jelas menunjukkan masyarakat kelas rendah, (2) nama yang tidak

semata-mata menunjukkan suatu kelas masyarakat tertentu. Kelompok kedua ini

merupakan anggota oposisi yang tidak ditandai. Selain itu, Uhlenbeck juga

mengemukakan tentang perubahan nama-nama yang hanya berlaku bagi laki-laki

(nama tua).

Hadiwidjana (1968) menulis buku tentang Nama-nama Indonesia. Dalam

buku ini diungkapkan tentang hakikat pemberian nama kepada bayi sebagai

sebuah harapan agar bayi tersebut selamat, mendapat kebahagiaan, atau kemuliaan

dan menjadi orang baik. Nama yang diberikan kepada si bayi dimaksudkan

sebagai doa permohonan kepada Tuhan untuk kepentingan si bayi pula.

Selanjutnya diungkapkan, bahwa nama-nam tersebut biasanya merupakan nama

yang antara lain menunjukkan kesholehan, kebijaksanaan, dan kepandaian.

Melalui nama yang diberikan, orang tua mengharapkan agar anaknya kelak

menjadi orang yang sesuai dengan makna yang terkandung dalam nama atau

sebaik orang yang memiliki nama tersebut. Kata-kata yang dipakai untuk nama

adalah kata-kata yang mempunyai arti baik. Selain itu, kadang-kadang nama anak

binatang, nama alat atau benda juga digunakan sebagai nama seorang bayi. Dalam

30

hal ini orang tua memiliki maksud agar si bayi memiliki tabiat atau sifat yang baik

dari binatang atau benda tersebut, misalnya Kancil, yang memiliki sifat cerdik.

Meskipun tidak secara langsung, tema mengenai nama diri telah

disinggung Crystal dalam bukunya a Dictionary of Linguistics and Phonetics

(1991). Dalam buku tersebut Crystal membicarakan nama diri dalam kaitannya

dengan sapaan. Dalam konteks komunikasi, nama pertama merupakan salah satu

pilihan yang dipakai oleh pembicara sebagai bentuk sapaan. Adapun Wardhaugh

(1980) mengemukakan, selain nama pertama ada kemungkinan pembicara

menggunakan nama terakhir dan nama julukan sebagai bentuk sapaan. Lebih

lanjut Wardhaugh menjelaskan, bahwa bangsa Sudan, terutama masyarakat Nuer,

memiliki sangat banyak cara penamaan. Setiap anggota masyarakat Nuer

memiliki nama pribadi, yaitu nama yang diberikan sejak lahir. Budaya pemberian

nama diri pada masyarakat Nuer untuk anak laki-laki memiliki kekhasan, yang

bisa jadi hanya sedikit dimiliki bangsa lain, yaitu nama lahir anak lelaki dalam

masyarakat Nuer pada umumnya memiliki arti harfiah ꞌanak dariꞌ.

Sejauh pengamatan peneliti, penelitian tentang nama diri pada masyarakat

Jawa di Yogyakarta, yang mengkaji permasalahan seperti yang tertuang dalam

rumusan masalah di atas, terutama mengenai masalah pergeseran nama, belum

pernah dikaji. Dengan kata lain, penelitian yang pernah ada, mengupas masalah

nama diri yang berkaitan dengan bentuk nama dan yang melatarbelakangi

munculnya nama tersebut, serta menyinggung pula mengenai fitur semantis,

dengan era dan lokasi penelitian yang berbeda. Penelitian ini mendalami kajian

tentang nama diri pada masyarakat Jawa yang pernah ada, sekaligus meneruskan

31

kajian tersebut pada permasalahan bentuk nama diri, fitur semantis, dan

pergeseran nama diri pada masyarakat Jawa, khususnya di era 70-an dan 2000-an

di wilayah Yogyakarta. Penelitian terdahulu antara lain dilakukan oleh Suranto

(1983), Suharno (1987), dan Sahid Teguh Widodo (2001). Dalam thesisnya

Widodo yang berjudul “Nama Diri Masyarakat Jawa. Kajian Eksploratif dari Segi

Struktur dan Sosio-Kultural” menyinggung penelitian yang dilakukan Suranto

(1983) dan Suharno (1987). Pendeskripsian nama diri pada masyarakat Jawa dari

ketiga peneliti tersebut menyangkut masyarakat Jawa, persukuan, dan proses

penciptaan nama. Selain itu, peneliti terdahulu juga memberikan pendapatnya

tentang faktor penyebab terbentuknya nama diri pada masyarakat Jawa. Widodo

(2010) menulis disertasi mengenai kajian nama orang Jawa di wilayah Surakarta.

Kajian ini salah satunya menghasilkan sistem atau cara-cara memahami nama

orang Jawa, yang dituliskan di Sari-International Journal of Malay World and

Civilisation (2010) dengan judul “Nama Orang Jawa: Kepelbagaian Unsur dan

Maknanya”.

Penelitian ini menggunakan perspektif yang berbeda dengan penelitian

yang dilakukan oleh Widodo di atas dan para pendahulu. Penelitian ini mengkaji

bentuk nama era 70-an dan 2000-an, yang antara lain dilihat dari unsur pengisi

nama diri yang mengacu pada pengalaman kultural pembuat nama. Kemudian,

mengkaji fitur (nuansa) makna yang terkandung dalam diri masyarakat Jawa.

Pada tahap selanjutnya, penelitian ini mengkaji pergeseran nama diri masyarakat

Jawa dilihat dari aspek-aspek sosial budaya (usia, dan wilayah tempat tinggal),

dan faktor-faktor yang mendorong terjadinya hal tersebut. Kajian mengenai hal-

32

hal tersebut tidak menjadi fokus masalah yang dikaji dalam penelitian yang

terdahulu. Penelitian ini dapat dikatakan meneruskan dan mendalami penelitian

yang pernah ada.

Bentuk nama diri pada masyarakat Jawa di Yogyakarta penting dikaji

dalam penelitian ini. Hal ini sebagai dasar pijakan untuk melakukan kajian

selanjutnya. Dapat dicontohkan di sini, bahwa untuk akhirnya dapat menemukan

adanya fitur semantis yang berkaitan dengan penanda jenis kelamin dalam nama

diri pada masyarakat Jawa Yogyakarta, terlebih dahulu harus dilakukan analisis

tentang bentuk nama diri. Dari analisis ini kemudian diketahui peran morfem

tertentu, misal sebagai penanda jenis kelamin. {-wati} dan {-wan} jika bergabung

atau bersenyawa (Sudaryanto, 1991) dengan Darma, masing-masing akan menjadi

penanda jenis kelamin. {-wati} sebagai penanda jenis kelamin perempuan dan {-

wan}sebagai penyandang jenis kelamin laki-laki. Dengan demikian, nama

Darmawati dapat dipastikan disandang oleh seorang perempuan, dan Darmawan

oleh seorang laki-laki.

Argumentasi lain tentang pentingnya dilakukan analisis tentang bentuk

nama diri pada masyarakat Jawa di Yogyakarta, dapat dikaitkan dengan kajian

penelitian ini tentang pergeseran nama diri pada masyarakat Jawa di Yogyakarta.

Pergeseran yang dimaksud penelitian ini adalah perubahan bahasa, khususnya

perubahan leksikon yang dipilih untuk nama diri masyarakat Jawa di Yogyakarta

dari generasi terdahulu (era 70-an) dan generasi selanjutnya (era 2000-an). Selain

itu, munculnya bentuk nama diri yang baru, yang sebelumnya tidak ada, dapat

dijadikan indikasi pergeseran diri masyarakat Jawa. Sebagai contoh,

33

ditemukannya nama diri seorang balita yang dilahirkan oleh orang tua yang

berpendidikan tinggi, yang terdiri dari lima kata bahasa asing Beato Ralph Corby

Aldeno Ebenheizer. Dengan demikian, nama dari balita ini sama sekali tidak

mengandung unsur bahasa Jawa, bahasa Indonesia, bahasa Arab yang biasanya

menjadi ciri nama masyarakat Jawa. Walaupun bentuk nama yang seperti ini

belum banyak ditemukan di masyarakat Jawa, namun hal ini dapat dijadikan tanda

adanya tren baru dalam penciptaan nama diri. Terjadinya tren baru ini, yang bisa

jadi muncul dalam waktu yang sangat lama menunjukkan adanya pergeseran

nama diri pada masyarakat Jawa.

Kedua argumentasi di atas dapat menjelaskan pentingnya bentuk nama diri

pada masyarakat Jawa di Yogyakarta, dikaji kembali dalam penelitian ini.

Perbedaan waktu yang tergolong lama antara penelitian ini dan penelitian yang

terdahulu, bahkan dapat dipandang sebagai pelengkap atas apa yang sudah

ditemukan peneliti sebelumnya. Langkah-langkah dalam menggali bentuk nama

oleh peneliti terdahulu (Suranto, Suharno, Widodo) dijadikan referensi dalam

penelitian ini. Secara metodologi hal ini diperbolehkan. Dalam penelitian

sebelumnya (Suranto dan Widodo) sumber data dan lokasi penelitian diambil di

wilayah kota Surakarta, Jawa Tengah. Adapun penelitian ini, dilakukan di wilayah

Daerah Istimewa Yogyakarta .

Penggunaan sumber data yang berbeda menjamin fenomena data bahasa

dan dinamika bahasa yang bervariasi, tidak persis sama. Salah satu buktinya,

seperti sudah dikemukakan di depan, adalah ditemukannya nama diri pada

masyarakat Jawa yang seluruh kosa katanya menggunakan bukan bahasa Jawa,

34

Sansekerta, Arab, Indonesia, dan Inggris. Nama tersebut adalah Beato Ralph

Corby Aldeno Ebenheizer. Bentuk nama seperti ini dapat dipastikan tidak

ditemukan dalam penelitian-penelitian sebelumnya. Oleh karena itu, penelitian ini

memiliki potensi untuk mengungkapkan fenomena baru tentang bentuk-bentuk

nama diri pada masyarakat Jawa di Yogyakarta dan pergeserannya.

1.6 Landasan Teori

1.6.1 Leksikon sebagai Pengungkap Pandangan Masyarakat

Telah diungkapkan sebelumnya bahwa tujuan penelitian ini adalah ingin

mendeskripsikan nama diri pada masyarakat Jawa di Yogyakarta. Selain itu,

penelitian ini mencoba mengungkapkan bagaimana pandangan masyarakat Jawa

yang melingkupi penamaan diri tersebut. Pandangan masyarakat Jawa yang

dimaksud dalam penelitian ini dapat ditelusuri melalui aspirasi-aspirasi yang

diekspresikan dalam satuan lingual yang digunakan sebagai nama diri. Ekspresi

tersebut antara lain terlihat dari fitur semantis yang muncul dalam nama diri pada

masyarakat Jawa dan pergeseran yang terjadi. Sehubungan dengan masalah ini,

bahasa Jawa merupakan alat yang dapat mengungkapkan penamaan diri

masyarakat Jawa dan pandangan masyarakat Jawa yang melingkupi penamaan

diri. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh para ahli, bahwa bahasa

mencerminkan konseptualisasi manusia dan penafsiran manusia terhadap dunia

(Wierzbicka, 1992). Dari bahasa yang dipakai oleh suatu masyarakat dapat

diketahui bagaimana masyarakat tersebut memandang realitas dunia. Terkait

dengan permasalahan penelitian ini, bahasa Jawa yang dipakai oleh masyarakat

Jawa di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dapat mengurai penamaan diri

35

masyarakat Jawa dan pandangan masyarakat Jawa yang melingkupi penamaan

diri. Dipilihnya bahasa Jawa yang dipakai di Yogyakarta untuk mengkaji

permasalahan penelitian ini bukan tanpa dasar. Bahasa Jawa yang dipakai di

Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan bahasa baku dan budaya Jawa

masih kental tercermin pada masyarakat di propinsi ini. Seperti diketahui

Kasultanan Yogyakarta merupakan pusat kebudayaan Jawa bermuara, selalin

Kasunanan Surakarta, yang menjadi motor penggerak pelestarian kebudayaan

Jawa. Namun demikian, dari analisis yang dilakukan, diketahui bahwa masyarakat

Jawa di Yogyakarta tidak hanya menggunakan bahasa Jawa untuk menyatakan

ekspresinya lewat nama diri yang diciptakan untuk anaknya. Kenyataan ini

menunjukkan adanya dinamika yang terjadi dalam masyarakat dan dinamika

penamaan diri.

Hal mengenai world view diungkapkan juga oleh Ridington (via Palmer,

1999), bahwa dunia tidak dapat dipahami tanpa bahasa. Secara fundamental

bahasa merupakan mediator kognisi atau pikiran manusia. Bahasa merupakan

manifestasi penting dari kehidupan mental masyarakat penuturnya. Secara tidak

disadari penuturnya, bahasa mendasari pengklasifikasian pengalaman secara

berbeda (Palmer, 1999). Bahasa membentuk persepsi manusia terhadap realitas

dunia (Sapir & Whorf, via Samson, 1980). Salah satu wujud dari bahasa adalah

kosakata (Kramsch, 1998).

Untuk menafsirkan dunia penutur suatu bahasa, termasuk bahasa Jawa,

dapat dilakukan dengan mencermati kosakata bahasa tersebut. Dalam kata

tercermin karakteristik cara hidup dan cara berpikir masyarakat penutur suatu

36

bahasa. Dengan demikian, kata atau leksikon memiliki peran besar dalam

memahami cara pandang sebagai salah satu akutualisasi budaya masyarakat.

Leksem yang merupakan unit abstrak dari leksikon, merupakan unit pembeda

dalam aspek semantik sebuah bahasa.

Hal ini dinyatakan oleh Sapir (Wierzbicka, 1992), bahwa ꞌLanguage differ

widely in the nature of their vocabulary. Distinctions which seem inevitable to us

may be utterly ignored in language which reflect an entirely different type of

culture…..ꞌ. Kata atau leksikon yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

perbendaharaan kata yang dipakai oleh masyarakat Jawa dalam nama diri.

Pendapat Masinambow (1997) berikut i dalam sistem budaya ni akan memberi

petunjuk bagaimana suatu leksem menunjukkan world view suatu masyarakat.

Satuan kognisi ditentukan melalui leksem. Setiap leksem merupakan representasi

dari suatu unit pengetahuan budaya yang disebut konsep budaya. Leksem dapat

diklasifikasikan menurut hubungan antara satu leksem dengan leksem yang lain.

Secara hipotesis jaringan hubungan yang terbentuk mencerminkan sistem internal.

Kontras antara leksem dengan leksem yang lain terjadi menurut komponen yang

terkandung dalam leksem tersebut.

Adapun budaya adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, hasil karya

manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri dengan

cara belajar (Koentjaraningrat, 1985). Bahasa adalah bagian dari budaya.

Hubungan antara bahasa dan budaya dijelaskan oleh Kramsch (1998) sebagai

berikut. Pertama, bahasa menyatakan budaya. Wujud dari bahasa tersebut adalah

kata-kata yang diucapkan oleh manusia dan menunjuk pada pengalaman bersama.

37

Pengalaman merupakan pengetahuan tentang dunia. Kedua, bahasa menimbulkan

budaya. Cara yang dipakai untuk mewujudkan budaya adalah melalui aspek

verbal dan non verbal. Ketiga, bahasa sebagai simbol budaya. Dalam konteks ini,

bahasa merupakan sistem tanda. Pembicara mengidentifikasi dirinya dan lainnya

melalui bahasa. Saussure (1966) membagi tanda bahasa menjadi dua aspek yaitu

signifiant dan signifie. Signifiant atau penanda adalah yang menandai, aspek

bentuk dalam tanda atau lambang. Signifie atau petanda adalah yang ditandai

aspek arti. Barthes (2006) mengembangkan teori ini, dengan tidak berhenti pada

makna denotasi (berdasarkan kamus), namun sampai pada makna konotasi yang

lahir dari pengalaman kultural pencipta nama, yang disebutnya sebagai mitos.

Penelitian ini menyinggung mitos yang melekat pada motivasi dan pengalaman

kultural yang dialami beberapa informan, melalui wawancara informal.

1.6.2 Nama Diri dan Mentalitas Masyarakat

Penelitian linguistik terkait nama, nomina propria, terkait dengan dua

alasan. Pertama, penelitian yang berfokus pada problema mengenai teori nama.

Kedua, penelitian yang mengaitkan nama dengan aspek sosial (Debus, 1976:1).

Dicontohkan oleh Kany (1992) dalam bukunya, pembahasan dalam penelitian

mengenai nama diri antara lain meliputi bentuk dan makna nama diri.

Bausinger (1974) mengatakan bahwa nama tidak mempunyai peran sama

sekali dalam masyarakat. Hal ini terjadi, apabila nama dilihat dari posisinya

sebagai identitas individu. Dalam konteks ini, nama tidak memiliki arti, selain

yang melekat pada nama itu sendiri (periksa Langendonck, 2007). Nama di sini

disejajarkan dengan nomina propria, bukan nomina apelativa yang merupakan

38

periferi dari sistem bahasa. Periferi yang memiliki komponen konotatif, yang

dengan demikian memiliki pula fitur semantis. Fungsi nama di sini sebagai

pengidentifikasi diri secara individual. Goethe (t.th.; periksa juga Boesch, 1957)

seperti sudah diungkapkan di depan, memberikan gambaran pentingnya peran

nama bagi pemiliknya. Seperti halnya pakaian, nama diri layaknya pembungkus

bagi penyandangnya dan sekaligus memberi label tentang jati dirinya.

Mengenai karakter, yang dikaitkan dengan leksem yang digunakan dalam

nama diri, yang oleh Debus (1976) disebut mentalitas, diuraikannya, bahwa batas

antara bidang leksikon dan onomastik tidak terlalu ketat, seringkali saling

berkaitan dalam menggambarkan karakter melalui unsur sosial budaya yang

dibawanya. Dengan kata lain, ada nomina apellativa yang menjadi nomina

propria, yang kemudian fungsinya diambil alih. Sebaliknya, ada nomina propria

yang menjadi nomina apellativa. Pada tahap ini, nama menjadi pembawa unsur

sosial atau budaya (Leys, 1974, 1976), meskipun dalam lingkup kebahasaan pada

umumnya hal tersebut tidak terjadi secara serta merta. Wilayah onomastik yang

berkaitan erat dengan hubungan karakter dan nama diri adalah anthroponyme.

Suatu nama diri melalui satu atau beberapa pemakai nama, bisa membawa

wajah atau gambaran tertentu masyarakat bahasa di wilayah regional, juga di

wilayah di atas regional. Ketentuan ini relevan dengan isue pada ilmu

Namenphysiognomien (Krien, 1973). Dapat dikatakan, karakter dari nomen

proprium disebabkan adanya keterbukaan pada wilayah onomastik. Sejalan

dengan ini, dikatakan oleh Debus (1976: 168) bahwa secara sinkronis tanda

bahasa yang alamiah adalah keterbukaan dalam pengklasifikasian. Nama depan

39

(bukan nama keluarga) termasuk kategori nama yang dimaksud, yaitu nama yang

membawa unsur karakter. Pemilihan nama diri didasarkan pada selera yang

menyiratkan motivasi di dalamnya. Selera ini dilatarbelakangi lingkungan sosial

dimana seseorang hidup bermasyarakat. Selain itu, juga dipengaruhi oleh

pengalaman hidup. Oleh karenanya, tiap orang memiliki nama tersendiri, nama

yang menggambarkan dirinya sendiri.

Namun demikian, apabila nama dikaji dalam posisinya sebagai unsur

budaya, maka nama merupakan penanda atau cermin suatu masyarakat. Hal yang

ditandai melalui nama adalah politik, ekonomi, sosiologi, psikologi, budaya, dan

adat istiadat yang terjadi di masyarakat (Eggers, 1969). Dinamika yang terjadi

pada nama diri mencerminkan dinamika masyarakat. Sebaliknya, dinamika

masyarakat tercermin pada pemilihan atas bentuk-bentuk nama diri. Dengan

demikian nama diri mengandung deskripsi tentang dirinya sendiri, sekaligus juga

deskripsi masyarakat. Bagaimana proses terbentuknya deskripsi diri dan

masyarakat yang berasal dari nama diri, akan dijabarkan berikut ini.

Saat sebuah nama dipilih oleh orang tua untuk anaknya, pada dasarnya

karakter anak tersebut sudah dibentuk oleh tanda-tanda semantis yang dimiliki

kata tersebut. Orang lain akan membaca karakter anak tersebut dari kata yang

dipakai sebagai nama diri. Selanjutnya, orang lain akan menunggu dan

berpersepsi bahwa perilaku anak tersebut akan seperti tanda semantis yang

dikandung kata tersebut. Ini yang dimaksud, bahwa nama menandai karakter atau

mentalitas penyandang nama (Bosshart, 1973). Seringkali dalam mengambil kata

untuk nama diri, orang tidak mengetahui apakah nama yang diambil atau dipilih

40

tersebut mengikuti perkembangan, tren, atau norma tertentu. Demikianlah yang

dinamakan nama sebagai fenomena mode. Namun, dimengerti atau tidak, nama

diri yang sudah dipilih menggambarkan mentalitas pemberi nama. Dengan

demikian, nama diri tidak hanya memberikan gambaran atas karakter atau

mentalitas penyandang nama, namun juga pemberi nama.

Peran nama tidak berhenti sampai di situ, nama diri yang pada awalnya

bersifat individual ini, juga memiliki fungsi menggambarkan budaya masyarakat.

Hal ini dikarenakan mentalitas berkaitan erat dengan faktor eksternal, yaitu faktor

sosio budaya dan perubahannya, yang melingkupi kehidupan penyandang dan

pembuat nama. Elemen sosial budaya mempengaruhi aktivitas pemberian dan

pemilihan nama diri. Aspek ini merupakan ranah onomastik (Berger, 1967;

Walther dan Schultheis, 1967). Faktor selain itu adalah batasan yang dibangun

masyarakat itu sendiri, terkait dengan penciptaan nama. Memilih sebuah nama diri

sama halnya dengan memilih nomen apellativum dalam proses komunikasi.

Dalam memilih nama diri tersebut, pemberi nama memiliki kebebasan. Namun

kebebasan tersebut dibatasi oleh selera masyarakat, yang salah satunya adalah

norma yang tumbuh di masyarakat.

Hal senada diungkapkan oleh Kany (1992: 191), bahwa penanda person,

salah satunya nama diri, membangun stereotype sosial masyarakat. Penanda ini

secara kognitif menyusun dan mengorganisasi dunia sosial. Penanda ini

meminjam kontur-kontur individual, yang di dalamnya menginformasikan

performa, perilaku, dan kebiasaan. Walaupun demikian, penanda ini melakukan

itu semua untuk melabeli stereotype sosial. Kelompok sosial dan anggotanya yang

41

dilabeli, bukan individual. Melalui label yang diberikan nama diri ini, mentalitas

masyarakat dapat diinterpretasikan. Dalam hal ini, nama diri berfungsi sebagai

sarana orientasi sosial, yang memiliki kriteria tertinggi dalam memberikan

informasi tentang kenyataan yang terjadi (Berger dan Luckmann, 1977: 47). Salah

satu hasil dari pengamatan terhadap hal ini adalah perbedaan dan dinamika sosial

dalam suatu masyarakat terekam dalam leksikon yang digunakan dalam nama diri.

Dengan kata lain, nama diri digunakan sebagai label sosial budaya masyarakat,

dan melalui label ini dibangun jembatan penghubung antara kognisi dan bahasa,

khususnya leksikon atau kosa kata (Hermanns, 1994: 38-50).

1.6.3 Kontak Bahasa dan Pergeseran Nama Diri

Seiring dengan perjalanan waktu, bahasa akan mengalami perubahan

karena berbagai faktor, antara lain kontak dengan orang lain (Fernandez, 2007)

dari budaya lain dan penemuan-penemuan baru. Pergeseran tersebut tercermin

pada bahasa, berupa kata-kata baru yang digunakan untuk mengekspresikan

perubahan tersebut (Chaika, 1987). Perubahan-perubahan yang ada memberi

alternatif pemilihan bahasa didasarkan pada perubahan yang muncul. Pemilihan

bahasa, yang salah satu wujudnya adalah pemilihan kata, bergantung pula pada

kelompok yang melakukan pilihan terhadap suatu bahasa. Misalnya, dalam

memilih kosakata yang dipakai dalam nama diri.

Berkaitan dengan masyarakat sebagai pelaku perubahan, Poedjosoedarmo,

dkk. (1982) membedakan masyarakat Jawa menjadi dua kelompok berdasarkan

aspirasinya. Kelompok pertama adalah mereka yang ingin tetap mempertahankan

tradisi kejawaan atau kejawen yang dianggapnya sebagai warisan berharga dari

42

leluhurnya. Kelompok ini disebut kelompok tradisional. Kelompok yang kedua

adalah kelompok modern. Kelompok kedua terdiri dari mereka yang tidak begitu

terikat oleh tradisi dan berusaha menyesuaikan kehidupannya dengan keadaan

jamannya. Perbedaan aspirasi tersebut dilatarbelakangi oleh beragam faktor,

antara lain pendidikan, usia, tempat tinggal, dan profesi. Diterangkan lebih lanjut

bahwa orang-orang yang berpendidikan tinggi cenderung mempunyai aspirasi

kehidupan modern, sedangkan orang-orang berpendidikan rendah cenderung

mempunya aspirasi kehidupan tradisional. Dari segi umur, pada umumnya

golongan usia muda cenderung mempunyai aspirasi kehidupan modern,

sedangkan golongan usia tua senderung mempunyai aspirasi kehidupan

tradisional. Dari sisi tempat tinggal, pada umumya orang-orang yang tinggal di

kota cenderung mempunyai aspirasi kehidupan modern, sedangkan orang yang

tinggal di desa cenderung mempunyai aspirasi kehidupan tradisional. Dari sisi

profesi atau pekerjaan, pada umumnya orang-orang yang memiliki profesi sebagai

pengusaha, pegawai atau pejabat cenderung mempunyai aspirasi kehidupan

modern, sedangkan petani dan buruh cenderung mempunyai aspirasi kehidupan

tradisional.

Bach (1976) mengungkapkan bahwa pemaparan perubahan bahasa,

dimana pergeseran bahasa termasuk di dalamnya, secara klasik dilakukan

berdasarkan mekanisme perubahan daerah artikulasi dalam produksi bunyi,

morfologi, pembentukan kata, kosa kata, dan kalimat. Antara lain dilakukan oleh

Paul Whitney (1909), dan Sanfeld (1930). Pemaparan secara klasik ini

membutuhkan waktu yang sangat lama. Bahkan, penelitian yang demikian pada

43

umumnya cenderung menghasilkan perubahan bahasa dalam kaitannya dengan

cara pengucapan.

Adapun penelitian modern diarahkan pada dukungan terhadap

pembentukan kategori baru dalam teori bahasa, yang menggunakan data bahasa

sinkronis dan gramatik praktis. Data bahasa yang mendukung temuan ini adalah

penelitian berkaitan dengan kontak bahasa, yang berarti pula kontak budaya.

Dalam kontak bahasa dan budaya akan terlihat variasi bahasa secara individual,

baik dalam hal produk maupun proses (Weinreich, 2007). Apabila dikaitkan

dengan perubahan bahasa, hal ini sejalan dengan pendapat Whitney, bahwa syarat

dari perubahan bahasa adalah adanya variasi individual dalam penggunaan

bahasa.

Penggunaan bahasa dalam nama diri berarti memilih kata atau leksikon

yang digunakan untuk nama diri (Kany, 1997; Debus, 1974; Hermanns, 1994).

Variasi dalam pemilihan kata untuk nama diri oleh masing-masing individu dalam

suatu masyarakat mencerminkan dinamika kehidupan sosial budaya masyarakat.

Dalam dinamika tersebut pada umumnya tercermin pula perubahan selera dalam

memilih kata untuk digunakan sebagai nama diri. Perubahan selera dalam

memilih kata ini dapat digunakan sebagai sarana menafsirkan pergeseran nama

diri. Dengan demikian, pergeseran nama diri yang dimaksud dalam penelitian ini

adalah perubahan bahasa, khususnya dalam pemilihan kata, yang digunakan untuk

nama diri. Pemilihan ini dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor

internal menyangkut selera pemberi nama, yang di dalamnya tergambarkan

motivasi yang mendasari pemilihan nama diri tersebut. Selain itu, pengalaman

44

yang dimiliki pemberi nama juga merupakan faktor internal yang mempengaruhi

pemilihan nama diri. Unsur-unsur yang terkait dengan pengalaman di sini, antara

lain wawasan, pendidikan, pekerjaan, koneksitas, mobilitas, prinsip-prinsip hidup

yang mewakili cara pandang seseorang terhadap dunia, usia, dan lingkungan. Dari

unsur-unsur di atas, sebagian adalah faktor eksternal yang ikut mempengaruhi

pemilihan nama diri, baik secara langsung maupun tidak langsung. Faktor

eksternal yang lain adalah norma, adat istiadat, mitos, yang tumbuh di kehidupan

masyarakat, dan menjadi dasar dalam melangsungkan dan melestarikan kehidupan

sosial budaya masyarakat.

1.6.4 Etnolinguistik

Etnolinguistik merupakan perpaduan antara etnologi dan linguistik.

Etnologi merupakan kajian tentang pola pikir, gagasan, ide, dan kebiasaan tiap

masyarakat yang tidak sama antara satu dengan yang lainnya. Pengertian etnologi

ini sejalan dengan pengertian etnologi yang diungkapkan oleh Ember & Ember

(1988: 8), yaitu “ethnology is concerned with patterns of thought and behavior,

such us marriage customs, kinship organization, political and economic system,

religion, folkart, and music, and with the ways in which these patterns differ in

contemporary societies”.

Malinowsky (dalam Wardhaug, 1986), mengungkapkan hubungan antara

etnolinguistik dan linguistik: “there is an urgent need for an ethno-linguistic

theory, a theory for the guidance of linguistic research to be done among natives

and in connection with ethnographic study”. Secara umum, etnolinguistik sering

disebut dengan antropologi linguistik. Adapun linguistik dapat berupa deskripsi

45

sesuatu bahasa dan sejarah bahasa-bahasa. Sejarah bahasa menelaah tentang cara

berkembangnya suatu bahasa dan bagaimana bahasa-bahasa itu saling

mempengaruhi sepanjang zaman (Slideshare.net).

Sementara itu, Pujileksono (2006: 177) menjelaskan mengenai linguistik

yang dikaitkan dengan sistem lambang. Menurut Pujilekson, linguistik adalah

suatu sistem lambang atau simbol verbal yang digunakan dan dimanfaatkan oleh

manusia dalam berkomunikasi dengan sesamanya, yang sangat dimungkinkan

berbeda budaya ataupun bahasa. Penjelasan tersebut mengandung makna, bahwa

untuk memahami budaya diperlukan suatu bahasa dan untuk memahami makna

dalam suatu bahasa diperlukan suatu pemahaman tentang budaya.

Demikian pentingnya peran bahasa ini, beberapa ahli menempatkan bahasa

pada elemen budaya yang pertama (periksa Koentjaraningrat, 1977; Laksono,

2003). Kebudayaan secara universal terbagi ke dalam tujuh elemen, yaitu (1)

sistem religi dan upacara keagamaan, (2) sistem dan organisasi kemasyarakatan,

(3) sistem pengetahuan, (4) bahasa, (5) kesenian dan olahraga, (6) sistem mata

pencaharian hidup, dan (7) teknologi dan peralatan.

Dalam aktivitas penamaan diri masyarakat Jawa di Yogyakarta, elemen-

elemen budaya tersebut menjadi setting bersama dengan unsur-unsur falsafah

hidup yang dimilikinya, antara lain alam semesta dan jiwa raga. Dari leksikon

yang dipakai dalam nama diri diketahui setting yang diacu sebagai unsur pengisi

nama diri.

1.6.5 Filosofi Masyarakat Jawa

46

Nama diri yang disandang seseorang berkaitan erat dengan pandangan hidup

pembuat nama. Pandangan hidup, sering disebut juga sebagai falsafah hidup,

merupakan suatu abstraksi dari pengalaman hidup, termasuk di dalamnya

pengalaman kultural. Falsafah hidup pada dasarnya adalah pandangan hidup yaitu

asas dasar atau nilai dasar yang telah diyakini kebenarannya, kemudian dijadikan

sebagai pedoman, pandangan atau pegangan dalam menghadapi dan memecahkan

persoalan-persoalan yang dihadapi di dalam kehidupan (Notonagoro, 1973).

Pandangan hidup mengarahkan sikap mental, yang pada akhirnya mewarnai dan

mengembangkan cara menyikapi hidup atau cara pandang terhadap dunianya,

world view. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa di dalam nama diri

masyarakat Jawa di Yogyakarta tergambarkan pula pandangan hidup masyarakat

Jawa yang selama ini digunakan sebagai salah satu cara menyikapi hidup.

Pandangan hidup masyarakat Jawa yang utama adalah bahwa pada

hakekatnya segala sesuatu yang ada di dunia ini merupakan kesatuan hidup.

Kesatuan yang tidak terpisahkan antara alam nyata (mikrokosmos), manusia

(masyarakat), dan alam adikodrati (Keilahian, makrokosmos). Tujuan hidup

masyarakat Jawa adalah tercapainya kesempurnaan hidup, yang di dalamnya

tercipta harmoni antara kehidupan sehari-hari di alam nyata dan hubungan dengan

pemilik kehidupan. Masyarakat Jawa memiliki keyakinan bahwa perjalanan

hidup telah diatur, ada garisnya, dan tinggal menjalankan saja. Pandangan hidup

yang demikian memunculkan sikap hidup yang menghargai sesama dan alam raya

yang diyakini memiliki kekuatan misterius, menerima segala yang terjadi dalam

kehidupan ini dengan ikhlas, sabar, namun tetap berusaha sebaik mungkin. Untuk

47

dapat bersikap demikian, masyarakat Jawa mengutamakan kekuatan jiwa dan

batin, antara lain sikap eling lan waspada ‘ingat pada Sang Pencipta dan

waspasda’. Abstraksi dari sikap hidup yang demikian adalah terdapatnya nama

diri yang menggunakan leksikon yang berkaitan dengan alam raya, sifat-sifat baik,

nuansa agamis, dan lain sebagainya. Selain itu, pandangan hidup tersebut juga

menumbuhkan budaya berganti nama, sebagai manifestasi dari upaya mencari

solusi agar lebih baik dalam menjalani hidup (Abdullah, 2000).

Alam makrokosmos memiliki pusat dan hirarki. Pusat alam semesta adalah

Tuhan. Adapun hirarkinya adalah dunia atas, dunia manusia dan dunia bawah.

Selain itu, hirarki juga bisa dipandang dari empat arah utama ditambah satu pusat

yaitu Tuhan. Dalam hal ini, pusat memiliki fungsi mempersatukan dan

menyeimbangkan. Sikap dalam dunia nyata (mikrokosmos) terabstraksi pada

kehidupan sehari-hari masyarakat, dan hubungan dengan lingkungannya, strata

dalam masyarakat, tata kehidupan, norma, kebiasaan dalam masyarakat, dan

segala sesuatu yang dapat diamati.

Salah satu aktualisasi sikap pada alam mikrokosmos adalah pandangan

masyarakat Jawa pada keraton dan rajanya, yang diposisikan sebagai perwujudan

dunia dan pusat dunia. Dengan posisi ini, raja diyakini memiliki potensi sebagai

penghubung antara sumber kekuatan-kekuatan kosmis dan keadaan yang adil,

makmur, tenteram, dan damai. Oleh karena itu, kehidupan keraton dijadikan

patron bagi masyarakat, termasuk dalam hal pemilihan nama diri. Dapat

dicontohkan di sini, nama yang bernuansa keraton seperti Ningrum dan Ningtyas

banyak dipilih sebagai nama diri oleh masyarakat luas. Nama diri yang demikian,

48

salah satunya digunakan oleh para putri almarhum Bapak Jayadiningrat, yaitu

Jayaningrum, Jayaningrat, dan Jayaningtyas. (Tribun Yogya, September 2015).

Walaupun demikian, adanya gelar keraton yang hadir bersama dengan nama diri

tersebutlah yang membedakan nama diri masyarakat biasa dan keluarga keraton.

Gelar keraton bagi keluarga kerajaan tidak dipungkiri memiliki daya pikat

tersendiri bagi masyarakat umum. Gelar tersebut berbeda-beda, salah satunya

tergantung dari jabatan yang disandangnya. Sebagai contoh, saat Sultan

Hamengku Buwono I masih muda bernama Bendara Raden Mas Sujono. Gelar

Bendara Raden Mas tersebut berganti Ngarsadalem Sampeyandalem Hingkang

Sinuhun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono, Senapati Hing Ngalaga

Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatulah Hingkang Jumeneng Kaping I,

saat beliau memduduki tahta kerajaan Kasultanan Yogyakarta (K.R.T.

Mandoyokusumo, 1980: 9).

Falsafah hidup masyarakat Jawa juga dapat dipelajari dari simbol yang

berupa rumusan aksara Jawa: hanacaraka, datasawala, padhajayanya, dan

manggabathanga (Abdullah, 2000: 10-22). Falsafah hidup yang terkandung dalam

rumusan tersebut bermakna ngudi kasampurnaning urip ‘mencari kesempurnaan

hidup’.

Humardani (dalam Mulyoto, 2011) secara rinci mengungkapkan makna

yang terkandung pada tiap rumusan Aksara Jawa tersebut. Pertama, rumusan yang

berbunyi hanacaraka. Huruf ha na menyimbolkan keberadaan manusia pada awal

kehidupannya, yang dilengkapi dengan cipta, rasa, dan karsa oleh Tuhan Yang

Mahakuasa. Simbol ini mengajarkan adanya keterikatan antara manusia dan

49

penciptanya. Kedua, rumusan yang berbunyi datasawala. Rumusan ini

mengandung makna konotatif datansawala ‘tidak memiliki kekuatan dan

keinginan untuk melawan’. Simbol ini mengajarkan kepada manusia, agar

menerima apa saja yang menjadi kehendak Yang Mahakuasa. Ketiga, rumusan

yang berbunyi padhajayanya. Rumusan ini mengandung makna, bahwa sebagai

ciptaan Yang Mahakuasa, manusia wajib meminta pertolongan-Nya dalam

mengembangkan cipta, rasa, dan karsa. Dengan begitu, manusia dapat memililah

antara hal yang benar dan tidak. Selanjutnya mampu memilih jalan kebenaran.

Keempat, rumusan yang berbunyi magabathanga.

Rumusan tersebut terbagi dalam dua makna. Makna pertama terkandung

pada huruf ma dan ga. Ma menunjuk kepada kata sukma ‘jiwa’. Ga menunjuk

kepada kata satu atau tunggal. Dengan demikian makna dari ma ga adalah sukma

kang manunggal ‘jiwa yang menyatu’. Huruf ba tha nga menunjuk kepada kata

bathang ‘bangkai’. Bangkai dalam konteks ini berarti jenasah, yaitu keadaan

ketika manusia meninggal, keadaan setelah hidup atau keadaan paripurna.

Rumusan keempat ini mengandung makna sangkan paraning dumadi, yaitu

bahwa dalam keadaan paripurnalah terjadi kemanunggalan manusia dengan

Tuhannya, yang sesungguhnya merupakan tujuan utama dari kehidupan manusia.

Dari teori-teori di atas, dapat dikatakan bahwa penelitian ini memiliki

potensi untuk mengungkapkan fenomena terbaru (seperti yang terjadi pada waktu

penelitian ini dilakukan) mengenai nama diri pada masyarakat Jawa di

Yogyakarta. Penelitian ini memperhatikan elemen budaya, yang merupakan

setting variasi nama diri (periksa Koentjaraningrat, 1977; Laksono, 2003).

50

1.7 Kerangka Pikir

Disertasi ini ingin menjawab mengenai tiga hal, yaitu (1) variasi bentuk

nama dan penamaan diri pada masyarakat Jawa di Yogyakarta dan penamaan diri

berdasarkan variasi bentuk tersebut, (2) fitur semantis nama diri pada masyarakat

Jawa di Yogyakarta, dan (3) pergeseran nama diri pada masyarakat Jawa di

Yogyakarta dan fator penyebabnya. Grand theory yang digunakan sebagai

landasan disertasi ini adalah teori dinamika dan perubahan bahasa, budaya, dan

pelaku perubahan tersebut. Disadari ataupun tidak, bahasa berubah seiring

berjalannya waktu, sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap jaman yang

memiliki tuntutan-tuntutan perubahan. Sementara itu, bahasa merupakan elemen

yang paling penting dalam budaya. Terbukti, para pakar budaya menempatkan

bahasa pada urutan pertama dalam kelompok elemen budaya (Koentjaraningrat

(1977), Laksono (2003), Kodiran (1977). Dengan demikian, budaya masyarakat

tutur suatu bahasa juga berubah. Bahasa, budaya, dan masyarakat pemilik bahasa

dan budaya tersebut saling bersinergi, yang salah satu hasil dari sinergi tersebut

adalah perubahan bahasa dan budaya yang tercermin pada perilaku

masyarakatnya. Keterakitan antara bahasa dan masyarakat penuturnya juga

diungkapkan oleh Saphir-Whorf, yang termaktub dalam tiga paradigma, yaitu (1)

masyarakat mempengaruhi struktur bahasa, (2) bahasa mempengaruhi perilaku

berbahasa masyarakat, dan (3) masyarakat dan bahasa saling memberikan

pengaruh. Ketiga paradigma ini tampaknya terimplementasi pada aktivitas

penamaan diri yang dilakukan masyarakat Jawa di Yogyakarta.

51

Teori lain yang juga dijadikan landasan disertasi ini adalah teori yang

berkaitan dengan faktor-faktor yang menjadi penyebab variasi dan perubahan

bahasa (Chaika,1987; Akmajian, 1980). Chaika menyatakan bahwa kontak bahasa

menjadi salah satu penyebab variansi dan perubahan bahasa. Perubahan tersebut

membutuhkan waktu yang sangat lama, dari generasi ke generasi. Sementara itu,

periodisasi satu generasi adalah tiga puluh tahun. Salah satu perubahan bahasa

adalah pergeseran bahasa. Adapun Akmajian menyatakan bahwa penyebab

perubahan bahasa antara lain mobilitas, modernisasi, dan industrialisasi. Mengacu

pada teori ini, bentuk nama diri diasumsikan bervariasi dan mengalami

pergeseran. Dalam disertasi ini bentuk nama diri difokuskan pada generasi

sekarang (yang lahir pada tahun dua ribuan, tahun 2000 – 2010) dan generasi

sebelumnya (yang lahir tahun tujuh puluhan, tahun 1970 – 1980). Kany (1976)

menyatakan, bahwa nama diri masing-masing orang berbeda, karena pemilihan

leksikon yang digunakan sebagai nama diri berkaitan erat dengan pengalaman

hidup dan pengalaman budaya yang dialami oleh pembuat nama. Namun

demikian, pengalaman-pengalaman individual ini pada akhirnya mewarnai budaya

masyarakat dan selanjutnya menjadi bagian budaya masyarakat. Dalam hal nama

diri, pengalaman hidup dan pengalaman kultural inilah yang memunculkan

variansi bentuk nama diri. Selanjutnya, dapat dipahami apabila di setiap nama diri

mengandung unsur pengisi yang berkaitan dengan budaya yang melingkupi

pembuat nama, yang dalam hal ini adalah masyarakat Jawa di Yogyakarta. Unsur

pengisi tersebut berkaitan dengan elemen-elemen budaya secara universal dan

filosofi hidup masyarakat Jawa. Dalam penelitian ini pengisi unsur nama diri

52

berkaitan dengan sistem religi dan upacara keagamaan (nama panutan dan nama

baptis), sistem dan organisasi kemasyarakatan (urutan kelahiran dan nama

keluarga), dan sistem pengetahuan dan bahasa (penanda jenis kelamin). Sistem

pengetahuan dan bahasa sesungguhnya mendasari dalam pemilihan leksikon nama

diri dan pengisi unsur nama diri. Adapun filosofi hidup masyarakat Jawa yang

berkaitan dengan alam semesta dan kejiwaan menjadi acuan unsur pengisi nama

diri, khususnya unsur waktu, tempat, alam, benda, anggota badan, kecantikan

fisik, karakter, dan keadaan. Dari variasi bentuk nama diri juga dapat diketahui

variasi fitur semantis yang terkandung dalam nama diri dan pergeseran yang

terjadi dan penamaan diri pada masyarakat Jawa di Yogyakarta.

Untuk mengetahui fitur semantis yang dikandung dalam nama diri,

dilakukan dengan melihat arti per morfem dan komponen pembentuk morfem

berdasarkan kamus. Selanjutnya, untuk memahami motivasi dan makna nama diri

bagi masyarakat Jawa di Yogyakarta, peneliti menggali informasi pada pembuat

atau pemilik nama. Cara kontekstual seperti ini diasumsikan dapat ditemukan

makna nama diri bagi pembuat atau pemilik nama. Pembuat nama diri pada

dasarnya membuat makna, dengan demikian nama diri yang dibuatnya memiliki

makna. Oleh Barthes hal ini disebut signifikasi. Tuntutan jaman sekarang yang

oleh banyak budayawan disebut sebagai jaman edan, cenderung melibatkan unsur

konsumerisme, yang dapat diartikan sebagai unsur yang berkaitan erat dengan

‘kemauan pasar’. Kemauan pasar dalam konteks nama diri adalah mode, atau

sesuatu yang dapat dijual. Dengan demikian dapat dipahami, jika pada masa

sekarang ini banyak bentuk-bentu nama diri yang aneh. Keanehan ini diasumsikan

53

justru menjadi sesuatu yang dicari dan diproduksi, agar supaya lain dari pada yang

lain. Munculnya keanehan ini salah satunya dimungkinkan karena tidak adanya

aturan yang diundangkan dalam pembuatan nama diri. Dari sisi ini, baik bentuk

dan makna nama diri pada masyarakat Jawa di Yogyakarta, diasumsikan

mengalami pergeseran. Dengan kata lain, ada pergeseran, dilihat dari leksikon

nama diri yang dipilih masyarakat pada era 70-an dan 2000-an. Masing-masing

membutuhkan leksikon yang dirasa pas untuk mengungkapkan aspirasi dan

makna yang ingin diungkapkan.

Pergeseran yang dimaksud dalam disertasi ini adalah perubahan pemilihan

leksikon yang digunakan untuk nama diri. Leksikon ini merupakan pengungkap

cara pandang dunia atau world view suatu masyarakat, yang dalam penelitian ini

adalah masyarakat Jawa di Yogyakarta. Selain dengan cara mengamati dinamika

bentuk nama diri dan leksikon pengungkap fitur semantis, untuk menemukan

pergeseran juga dilakukan dg cara melihat penggunaan nama diri di wilayah kota

dan desa berdasarkan usia (muda/ 5-15 tahun dan tua/ 30-40). Selain itu dilihat

juga sebaran penggunaan leksikon nama diri selama tiga tahun berturut-turut, baik

di era 70-an maupun era 2000-an. Dari selisih jumlah penggunaan (dalam

prosentase) akan terlihat bagaimana kecenderungan yang ada. Asumsi sementara

yang bisa dikemukakan adalah ada kecenderungan mulai digunakannya nama diri

dalam bahasa asing selain bahasa Arab dan Sansekerta. Selain itu, bahasa Arab

cenderung lebih banyak digunakan di era 2000-an dibanding era 70-an. Di era

2000-an pun kecenderungan tersebut semakin meningkat dari waktu ke waktu.

Hal ini disebabkan adanya kedinamisan pembuat nama untuk menyesuaikan

54

dengan jaman yang dihadapinya. Faktor internal dan eksternal diasumsikan

sebagai pendukung kedinamisan ini.

1.8 Hipotesis Penelitian

(1) Terdapat variasi bentuk nama diri dan penamaan diri pada masyarakat

Jawa di Yogyakarta pada era 70-an dan 2000-an. Penamaan diri

masyarakat Jawa di Yogyakarat dilihat dari variasi bentuk nama diri

tersebut memiliki kekhasan.

(2) Terdapat kesamaan fitur (nuansa) semantis yang terkandung dalam nama

diri pada masyarakat Jawa di Yogyakarta era 70-an dan 2000-an,

walaupun dinyatakan melalui kosakata yang bervariasi.

(3) Terdapat pergeseran nama diri pada masyarakat Jawa di Yogyakarta antara

era 70-an dan 2000-an dan sejumlah faktor yang menjadi penyebab

pergeseran nama itu.

1.9 Metode Penelitian

1.9.1 Langkah Penelitian

Lokasi penelitian ini adalah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta,

dipilihnya Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai lokasi penelitian bukan

tanpa dasar. Bahasa Jawa yang dipakai di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

merupakan bahasa Jawa standar atau baku dan budaya Jawa yang masih kental

tercermin pada masyarakat di propinsi ini. Seperti diketahui Kasultanan

Yogyakarta merupakan salah satu pusat kebudayaan Jawa bermuara, yang

menjadi motor penggerak pelestarian kebudayaan Jawa.

55

Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri dari lima daerah

administratif, yaitu Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupaten Kulon

Progo, Kabupaten Gunungkidul, dan Kota Yogyakarta. Dari masing-masing

kabupaten dan kota ini akan diambil data penelitian. Pemilihan cuplikan lokasi

penelitian didasarkan pada hal berikut. Pertama, keberadaan lokasi tersebut di

wilayah, dimana responden yang mewakili masyarakat kota tinggal. Kedua,

daerah tersebut termasuk daerah pinggiran atau desa yang jauh dari pusat kota,

dimana responden yang mewakili masyarakat desa tinggal. Namun demikian,

pemilihan lokasi penelitian juga memperhitungkan keberadaan masyarakat Jawa

dengan aspek usia (tua dan muda).

Informan yang dipilih adalah orang-orang Jawa yang memahami bahasa

Jawa, khususnya yang berkaitan dengan penamaan diri. Paling tidak mereka

paham makna nama sendiri dan nama anak mereka. Dari informan digali variasi

nama diri yang didasarkan pada aspek-aspek sosial budaya, motivasi, aspirasi dan

perilaku masyarakat Jawa dalam hal pemilihan dan peran nama diri.

Untuk mengetahui pergeseran bentuk-bentuk nama diri pada masyarakat

Jawa akan dilakukan langkah sebagai berikut. Setelah ditemukan bentuk-bentuk

nama diri pada masyarakat Jawa pada era 70-an dan 2000-an melalui penelitian

ini, langkah selanjutnya adalah mengkaji bentuk-bentuk tersebut dengan cara

membandingkan nama yang pernah ada dalam masyarakat Jawa era 70-an dan

2000-an untuk mengetahui pergeseran bentuk-bentuk nama yang terjadi. Data-

data mengenai nama diri yang pernah ada atau dipakai oleh masyarakat Jawa juga

dijaring melalui narasumber yang memahami budaya Jawa, khususnya mengenai

56

nama diri pada masyarakat Jawa di Yogyakarta. Penjaringan data didukung

sumber tertulis yang tersedia di internet, literatur, dan hasil penelitian.

Secara rinci, langkah-langkah penelitian yang akan dilakukan dalam

penelitian ini meliputi:

1) Pengumpulan dan penyediaan data penelitian

2) Analisis data: pemilihan, pemilahan, pengelompokkan, dan

pengklasifikasian data;

3) Uji validasi analisis

4) Penulisan laporan penelitian disertasi.

1.9.2 Pengumpulan dan Penyediaan Data Penelitian

Objek penelitian ini berupa kata yang digunakan masyarakat Jawa di

Yogyakarta dalam penciptaan nama, atau kata yang berbentuk nama diri. Untuk

memperoleh data digunakan teknik simak. Sumber data berupa sumber tulis atau

sumber lisan. Sumber utama dari data tertulis penelitian ini adalah C 1 atau Kartu

Keluarga di wilayah Kabupaten Sleman (Kalasan/Purwomartani dan

Godean/Sembuh Kidul), Kabupaten Gunungkidul (Wonosari/Ngemplek dan

Semanu), Kabupaten Kulon Progo (Wates, Girimulyo dan Nanggulan), Kabupaten

Bantul (Imogiri/Toprayan dan Jetis/Sumber Agung), Kota Yogyakarta (Giwangan

dan Kraton). Melalui kartu ini dapat dirunut nama-nama dari suatu keluarga besar,

sehingga perbedaan nama dapat jelas diketahui. Selain itu, sumber tertulis juga

berasal dari daftar nama anak SMP N 1 Yogyakarta, SMP N 2 Tepus, Gunung

Kidul, daftar nama civitas akademika UNY, daftar nama masyarakat pemeluk

agama Budha di Gunung Kelir, Girimulyo, Kulon Progo, dan penelitian terdahulu,

57

nama-nama orang yang ada di novel Epos Gajah Mada dan Majapahit (Hariadi,

2008), buku “Ikhtisar Perkembangan Satra Jawa Modern Periode

Prakemerdekaan”. Bentuk nama setelah kemerdekaan diambil dari buku “Ikhtisar

Perkembangan Satra Jawa Modern Periode Setelah Kemerdekaan (Sri Widati,

dkk.). Adapun sumber tertulis lain berupa data tentang pendapat, artikel,

penelitian dan literatur, informasi dari interrnet, yang berkaitan dengan penamaan

diri dalam masyarakat Jawa.

Sumber lisan diperoleh dari para informan yang terpilih melalui

wawancara etnografis, yang dilakukan melalui percakapan informal atau biasa.

Namun demikian, sesekali peneliti mengarahkan pertanyaan yang didasarkan pada

upaya memperoleh Jawaban sesuai permasalahan yang diurai (Spradley, 2007:85-

88). Para informan berasal dari wilayah DIY. Pemilihan informan didasarkan atas

kebutuhan informasi yang harus dijaring. Penetapan informan inti, salah satunya

berprofesi dalang, disarankan oleh warga setempat terkait dengan pengetahuan

dan pengalamannya terkait kebudayaan Jawa. Dari informan diharapkan dapat

diketahui seberapa penting makna nama bagi masyarakat Jawa, patokan-patokan

yang digunakan, alasan-alasan dan faktor-faktor yang mendorong dalam

pemilihan kata yang digunakan sebagai nama. Berdasarkan aspek-aspek tersebut

akan digali variasi aspirasi masyarakat Jawa yang berhubungan dengan penamaan

diri berdasarakan aspek-aspek sosial budaya masyarakat. Pertanyaan yang

diajukan dalam wawancara, antara lain: darimana anda mendapat

(inspirasi/ide/kata) untuk nama diri anak? faktor apa yang mendorong anda dalam

membuat nama diri untuk anak? Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat

58

dikembangkan sesuai konteks yang muncul dan informasi yang dibutuhkan.

Panduan wawancara selengkapnya terlampir.

Dengan demikian, metode yang digunakan untuk menjaring data lisan

adalah metode simak dengan teknik lanjutannya, yaitu teknik simak libat cakap

(Sudaryanto, 1993). Metode tak terstruktur (pembicaraan informal) digunakan

dalam penelitian ini. Selama wawancara digunakan alat perekam dan dilakukan

pencatatan. Namun demikian, apabila diduga adanya alat perekam mengurangi

kealamiahan situasi, maka alat ini tidak digunakan. Informan dalam penelitian ini

adalah para pencipta dan pengguna nama, serta seorang dalang dari Wonosari,

Gunung Kidul.

1.9.3 Analisis Data Penelitian

Menganalisis satuan lingual pada hakikatnya sama dengan menentukan

aspek-aspek satuan lingual itu berdasar pada teknik-tekni tertentu, lewat

pembedahan data-data tertentu yang digunakan untuk tujuan tertentu (Sudaryanto,

1993). Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

kualitatif (Miles, 1992; Sudjana, 1990; Spradley, 1997). Terkait dengan variabel

kebahasaan, sosial, regional yang terlibat dalam penelitian ini, analisis yang

digunakan adalah analisis induktif dengan memperhatikan satuan lingual yang

berupa kosakata yang mengekspresikan aspek kebahasaan, aspirasi masyarakat,

dan konteks sosial budaya. Teknik snowball sampling digunakan hingga temuan

mencapai titik jenuh. Nama-nama yang ada pada sumber tertulis tersebut dipilih

dan dipilah sesuai dengan kelompok tahun, yaitu tahun 1970-1980 (selanjutnya

disebut era 70-an) dan tahun 2000-2010 (selanjutnya disebut era 2000-an).

59

Kemudian dilakukan pengklasifikasian data berdasarkan indikator muatan budaya

yang dikandung nama tersebut (tema budaya). Muatan budaya ini bersumber dari

elemen-elemen budaya universal dan falsafah hidup mayarakat Jawa.

Pengklasifikasian ini menghasilkan bentuk-bentuk nama yang terbagi berdasarkan

unsur pengisinya, yaitu waktu (meliputi hari, bulan, tahun sesuai hitungan

Kalender Jawa dan Kalender Masehi), tempat, alam (meliputi benda langit, lautan,

angin, api, tanah, flora, fauna), benda, anggota badan, kecantikan fisik, karakter,

keadaan, urutan kelahiran, nama keluarga, nama panutan, nama baptis, dan

penanda jenis kelamin. Adapun fitur semantis dikategorikan menjadi beberapa

jenis, yaitu harapan (meliputi keindahan, keselamatan, sifat/watak baik,

ketokohan), fitur semantis pengingat kejadian (keadaan dan situasi, peristiwa,

tempat, urutan kelahiran, hari kelahiran, bulan kelahiran), patronymic, dan

penanda jenis kelamin. Fitur semantis tersebut dikaitkan dengan pengharapan

orang tua terhadap anaknya yang diekspresikan melalui nama diri.

Mengingat objek penelitian adalah nama diri pada masyarakat Jawa di

Yogyakarta yang diekspresikan melalui kosakata bahasa Jawa dan beberapa

bahasa asing (antara lain bahasa Arab dan bahasa Inggris), maka harus dijelaskan

dalam bahasa Indonesia sebagai media pendeskripsiannya. Oleh karena itu, selain

metode agih, metode padan referensial, padan ekstralingual dan translasional

digunakan dalam penelitian ini.

Melalui tahapan analisis ini dapat diketahui jalur berpikir yang mewakili

budaya, kebiasaan, dan pola pikir masyarakat Jawa di Yogyakarta, khususnya

dalam penamaan diri, yang terkandung dalam bentuk-bentuk nama, dan fitur

60

semantisnya. Dengan memperhatikan variasi bentuk-bentuk nama ini dan fitur

semantisnya di era 70-an dan 2000-an, dapat diketahui pergeseran bahasa yang

terjadi. Seperti telah disinggung di depan, pergeseran bahasa yang dimaksud

dalam penelitian ini adalah perubahan bahasa, khususnya dalam pemilihan kata

yang digunakan untuk nama diri.

Selain daripada itu, Analisis Komponensial juga digunakan dalam

penelitian ini, antara lain untuk menemukan unsur-unsur pengisi bentuk-bentuk

nama diri dan mengetahui pergeseran nama yang terjadi pada masyarakat Jawa di

Yogyakarta.

Berikut dikemukakan contoh analisis komponensial.

Alternatif 1

Tabel ………..: Pergeseran Nama Diri

Jenis Pergeseran

Aspek Sosial

BentukNama

Proses Pembentukan

Nama

Acuan Nama

Bahasa yang

Dipakai

Kategori Usia + - - -

Alternatif 2

Tabel………………..: Pergeseran Nama Diri

Aspek Sosial

Aspek Nama Diri Kategori Usia

Bentuk nama +

Proses Pembentukan Nama

-

Acuan Nama +

Bahasa Yang Dipakai -

61

Alternatif 3 Tabel......: Analisis Komponensial Bentuk Nama Diri pada Masyarakat Jawa

Kategori Pendidikan Orang Tua

1.9.5 Penyajian Hasil Penelitian

Hasil penelitian akan disajikan secara formal dan informal (Sudaryanto,

1993). Penyajian secara formal akan menggunakan tanda dan lambang an

artificial language, antara lain tanda (ꞌ ꞌ), (ꞌꞌ), {} dan //.

Adapun penyajian hasil penelitian dalam bentuk informal berupa narasi,

uraian, atau deskripsi a natural language.

1.10 Sistematika Pembahasan

Pembahasan mengenai Nama diri pada masyarakat Jawa di Yogyakarta

dalam disertasi ini dibagi menjadi 5 (lima) bab. Adapun rinciannya sebagai

berikut.

Bab I merupakan pendahuluan. Bab ini berisi tentang latar belakang, rumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan

teori, dan metode penelitian.

No

Aspek Sosial Bentuk nama

Desa Kota Usia

5-15 th. 30-40 th. 5-15 th. 30-40 th.

1 Satu kata + + +

2 Dua kata + + +

3 Tiga kata + + +

4 >Empat kata - - -

62

Bab II mengurai bentuk nama diri pada masyarakat Jawa di Yogyakarta. Bab ini

berisi tentang bentuk-bentuk nama pada era 70-an dan 2000-an, beserta

unsur pengisinya. Dari pemaparan mengenai bentuk-bentuk nama diri ini

diketahui bentuk penamaan diri pada masyarakat Jawa di Yogyakarta.

Bab III mengurai fitur semantis nama diri pada masyarakat Jawa. Bab ini berisi

tentang fitur semantis nama diri berkaitan dengan harapan (meliputi

keindahan, keselamatan, sifat/watak baik), keadaan dan situasi, peristiwa,

nama tokoh, tempat, urutan kelahiran, hari kelahiran, bulan kelahiran,

patronimik, dan penanda jenis kelamin.

Bab IV mengurai pergeseran bahasa dalam nama diri pada masyarakat Jawa di

Yogyakarta. Bab ini berisi tentang pergeseran bahasa nama diri pada

masyakarakat Jawa di Yogyakarta dan faktor penyebab pergeseran

bahasa tersebut. Pergeseran bahasa didasarkan pada bentuk-bentuk nama

diri pada era 70-an dan 2000-an.

Bab V penutup. Bab ini berisi tentang kesimpulan dari hasil penelitian disertasi.