Bab I Pendahuluan -...
Transcript of Bab I Pendahuluan -...
1
BAB I
Revolusi Hijau dan Kerusakan Lingkungan
(Tinjauan Ekoteologi terhadap Pandangan Masyarakat Desa Kotabes,
Kecamatan Amarasi- NTT tentang Pengaruh Revolusi Hijau dalam Bertani)
1.1 Latar Belakang
Penduduk dunia terus bertambah, terutama di negara- negara berkembang.
Keadaan tersebut harus diiringi atau didukung oleh peningkatan kebutuhan akan
pangan. Menurut apa yang dinyatakan Thomas Robert Malthus, bahwa
perkembangan manusia akan selalu lebih cepat dibandingkan dengan kecepatan
produksi bahan makanan, maka akan tiba saatnya, manusia kekurangan bahan
makanan, jika tidak diimbangi oleh kemampuan mengatasinya. Kemampuan sumber
daya alam sebagai penghasil pangan sangat terbatas, untuk itu perlu diupayakan
pengembangan sumber daya alam yang pada akhirnya ditujukan bagi pengembangan
produksi pangan.1 Krisis pangan yang terjadi pada era pasca Perang Dunia II dan
kemajuan pemikiran dalam hal mengolah tanaman dan menanam berbagai jenis
kebutuhan, membuat masyarakat khususnya para petani berbondong-bondong
mencari cara agar tanaman yang ditanam terus sehat dan dapat menghasilkan nilai
ekonomi yang tinggi, dalam upaya pencarian ini tidak jarang bahwa ada beberapa
jenis tanaman lokal yang mulai hilang atau tidak eksis lagi dan kemudian digantikan
dengan tanaman yang sedang naik daun.2
1 http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/24978/4/Chapter%20II.pdf , diunduh pada
tgl 09 Maret 2017, Pkl. 14.42WIB 2 J. Mardimin, dkk. Petani versus Globalisasi, (Salatiga: Sinode GKJTU, 2009), 22
2
Krisis pangan tidak saja berdampak di negara-negara maju tetapi juga di negara
berkembang, sebut saja Indonesia. Di Indonesia guna menjaga ketahanan pangan,
pemerintah berusaha keras dengan membuat program-program yang dapat membantu
mengatasi hal tersebut, program yang paling popular dan dianggap pemerintah
sebagai sebuah solusi atau jalan keluar adalah “Revolusi Hijau”. Tahun 1965,
Indonesia mengalami masa peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto. Keadaan
sosial, politik, serta ekonomi Indonesia pada saat itu sangat labil. Hal ini yang
menyebabkan Soeharto berusaha untuk mengkondusifkan kembali keadaan Indonesia
melalui perbaikan dalam bidang ekonomi. Pada awal pemerintahannya, Soeharto
mengarahkan program pemerintah kepada usaha penyelamatan ekonomi nasional
terutama penyelesaian masalah inflasi, penyelamatan keuangan negara, dan
pengamanan kebutuhan pokok rakyat.3 Sebuah proyek ambisius Orde Baru untuk
memacu hasil produksi pertanian dengan menggunakan teknologi modern, yang
dimulai sejak tahun 1970-an. Dalam bidang pertanian, masuknya Revolusi Hijau
telah menjawab satu tantangan yakni ketersediaan kebutuhan pangan dunia yang terus
meningkat.
Namun keberhasilan itu bukan tanpa dampak dan efek samping, jika tanpa
pengendalian, dalam jangka panjang justru mengancam kehidupan dunia pertanian.
Gebrakan revolusi hijau di Indonesia memang terlihat pada dekade 1980-an. Saat itu,
pemerintah mengkomando penanaman padi, pemaksaan pemakaian bibit impor,
pupuk kimia, pestisida, dan lain-lainnya. Hasilnya, Indonesia sempat menikmati
3 http://www.repository.upi.edu/16839/5/S_SEJ_0901419_Chapter1.pdf
3
swasembada beras. Namun pada dekade 1990-an, petani mulai kelimpungan
menghadapi serangan hama, kesuburan tanah merosot, ketergantungan pemakaian
pupuk yang semakin meningkat dan pestisida tidak manjur lagi, dan harga gabah
dikontrol pemerintah.4
Revolusi Hijau atau revolusi agraria dipahami sebagai suatu perubahan cara
bercocok tanam dari cara tradisional berubah ke cara modern untuk meningkatkan
produktivitas pertanian. Definisi lain menyebutkan bahwa revolusi hijau adalah
revolusi produksi biji-bijian dari penemuan ilmiah berupa benih unggul baru dari
varietas gandum, padi, jagung yang membawa dampak tingginya hasil panen. Tujuan
revolusi hijau adalah meningkatkan produktivitas pertanian dengan cara penelitian
dan eksperimen bibit unggul.5 Program Revolusi Hijau mengantarkan Indonesia
berhasil menjadi negara Swasembada pangan terbesar dunia pada tahun 1984.6
Dalam waktu yang cukup lama, program Revolusi Hijau juga telah berhasil
mengubah kebiasaan dan sikap para petani Indonesia yang awalnya menggunakan
sistem bertani secara tradisional menjadi sistem bertani yang modern di mana para
petani mulai menggunakan teknologi-teknologi pertanian yang ditawarkan oleh
program Revolusi Hijau.7 Perubahan sikap tersebut sangat berpengaruh terhadap
4 http://www.kompasiana.com/firlianggara/revolusi-hijau-dan-dampak
buruknya_552e08686ea8345b248b457b, diunduh pada tagl. 09 Maret 2016, pkl. 14.05WIB 5 https://herydotus.wordpress.com/2012/01/25/revolusi-hijau-revolusi-agraria/, diunduh pada
tanggal 22 Februari 2017, Pkl. 16.33WIB. 6 Soekartawi. (Beberapa Perubahan Mendasar Pasca Swasembada Beras. Prisma. No. 5 Tahun
XXII, 1993). 25-30. 7 Soekartawi., . . . 26
4
kenaikan produktifitas sub-sektor pertanian hingga Indonesia menjadi negara yang
berswasembada beras.
Namun demikian belakangan ini, mulai disadari bahwa Revolusi Hijau ternyata
bukan solusi menjaga ketahanan pangan, sebaliknya menjadi jalan pintas yang penuh
dengan duri yang racunnya amat mematikan. Revolusi Hijau membuat modal sosial
yang ada di dalam masyarakat mulai hilang secara perlahan-lahan. Pengaruh dari
gerakan Revolusi Hijau juga mendatangkan banyak persoalan, tidak saja bagi
kehidupan para petani kecil yang mau tidak mau harus bersaing agar tanaman yang
ditanam tahan lama dengan menggunakan cara-cara yang lebih modern, tetapi yang
lebih parah adalah gerakan Revolusi Hijau juga berpengaruh pada kesehatan,
kerusakan lingkungan dan kegiatan bertani yang tidak ramah lingkungan.8
Pengaruh yang timbulkan terhadap kerusakan lingkungan adalah tanah kehilangan
kesuburannya (humus tanah) selain itu berbagai jenis tanaman tidak tahan terhadap
penyakit, akibat penggunaan pupuk kimia. Kerusakan lingkungan karena rekayasa
genetika untuk menciptakan bibit-bibit unggul seperti Jagung Hibrida, Pisang
Amerika, Mangga Amerika dan tumbuhan lainnya yang lebih unggul dibandingkan
tanaman lokal yang ditanam oleh para petani. Rekayasa genetika ternyata
menghancurkan ekosistem, bibit unggul yang ditemukan melalui proses rekayasa
genetika ternyata sangat rentan terhadap hama. Tidak sampai di situ bahwa dengan
penggunaan bahan kimia, pupuk dan pestisida yang terlalu berlebihan kemudian
membunuh mikroorganisme yang terdapat di dalam tanah sebagai zat pengendali, di
8 Perkumpulan Pikul-NTT: Riset Tematik, Amankah bahan Makanan Kita (Kupang: 2013), 9
5
mana cacing tanah akan mati.9 Sudah jatuh tertimpa tangga adalah peribahasa yang
dapat menggambarkan dampak masuknya Revolus Hijau dalam kehidupan petani di
desa Kotabes, yang juga berpengaruh terhadap kesehatan manusia. Penggunaan
pestisida dan pupuk kimia buatan yang dikonsumsi secara berlebihan akan
mengakibatkan berbagai penyakit, sebaliknya Revolusi Hijau membuat kegiatan
bertani menjadi tidak ramah lingkungan sebab hasil panen yang meningkat akibat
penggunaan pupuk kimia dan pestisida membuat tanah semakin rusak dan tidak
produktif lagi.
Penggunaan obat- obatan atau zat-zat kimia dalam pertanian membuat manusia
beranggapan bahwa penyakit tanaman, seperti hama, kutu daun dan gulma dapat
diatasi atau dapat dimusnahkan, padahal masyarakat tidak menyadari bahwa pada
waktu dulu nenek moyang kita menangani hama dan tanaman secara holistik, sebagai
satu kesatuan. Di daerah Jawa misalnya, mereka beranggapan bahwa hama dan
penyakit padi adalah penjelmaan, Kala Gumarang, raksasa yang menggangu Dewi
Sri, babi hutan ini dibunuh oleh Wisnu dengan Panah. Pada malam hari para petani
sering sekali mengelilingi sawah dengan membawa obor yang membantu menarik
serangga sehingga membuat mereka terbakar, ular sawah tidak diganggu. Begitu pula
dengan burung-burung pemakan ulat, dengan usaha-usaha ini secara tidak langsung
keseimbangan hayati tetap terjaga. Akan tetapi dengan kemajuan ilmu pengetahuan,
pada permulaan abad ke- 20, obat-obatan atau pestisida mulai berkembang, dengan
dasar pikiran bahwa zat-zat yang dibutuhkan oleh tanaman dapat digantikan dengan
9 J. Mardimin, dkk. Petani versus Globalisasi, . . . 24-25
6
zat lain di luar ekosistemnya10, seperti, pupuk organik dari kotoran hewan dan
dedaunan kering. Banyak kemajuan genetika yang membantu orang membuat
tanaman-tanaman yang tahan terhadap penyakit.11
Tidak hanya sampai di situ bahwa Revolusi Hijau yang awalnya diagung-
agungkan sebagai “penyelamat” ternyata bertolak belakang dengan keadaan yang
terjadi sekarang, di mana hasil panen yang ada membuat petani tetap miskin tidak
kaya-kaya, banyak hewan yang tidak lagi makan rumput atau berkeliaran di
sembarang tempat mengingat lahan pertanian atau perkebunan sudah penuh dengan
pestisida dan bahan kimia, biaya perawatan tanaman dengan membeli pupuk dan
pestisida terkadang jauh melebihi hasil panen. Lingkungan alam menjadi rusak, di
mana Lingkungan alam sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan
keadaan (kondisi atau kekuatan) sekitar yang mempengaruhi perkembangan dan
tingkah laku organisme selain lingkungan alam, lingkungan hidup pun menjadi
terganggu yakni perikehidupan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya.12
Eka Darmaputera mengemukakan tiga hal mengenai hubungan manusia dengan alam
yaitu: Pertama, orang memandang alam sebagai ruang kuasa-kuasa yang menakutkan
sehingga manusia harus tunduk kepada alam dan menghormatinya seperti dengan
menggunakan sesajen. Kedua, alam di pandang sebagai obyek dan manusia
10 Maksudnya adalah kalau di dalam ekosistem itu terjadi secara alamiah seperti dedaunan
kering dan kotoran hewan sedangkan yang dimaksud dengan di luar ekosistem mungkin mengarah
kepada bahan-bana buatan manusia (pupuk, pestisida dll) 11 Prof. Dr. Haruono Sumangun, Peran Masyarakat dalam Pengendalian Hama dan Penyakit
Tanaman, dalam Jurnal Studi Pembangunan Interdisipliner: Pengelolaan Ketahanan Hayati Berbasis
Masyarakat, 55-56. 12 Kamus Besar Bahasa Indonesia Ed. 3 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional
(Jakarta : Balai Pustaka, 2002), 675
7
mengambil peran sebagai subyek. Ketiga, manusia dan alam sama-sama dipandang
sebagai dua subyek yang saling mempengaruhi sehingga dapat dibangun hubungan
yang selaras.13 Hal ini ditinjau dari pandangan masyarakat tradisional. Oleh Malcolm
Brownlee, ia melihat hubungan manusia dengan alam pada era modern di mana
manusia berusaha menguasai dan menggunakan alam seperti pada pandangan kedua
di atas. Perkembangan ilmu teknologi menjadikan alam bukan lagi sesuatu yang
sakral, melainkan sebagai obyek penelitian untuk diselidiki dan digarap.14
Pertanyaan sekarang bagaimana cara menanggulangi hal ini? Tinjauan ekoteologi
mungkin dapat membantu melihat hal ini, di mana Ekoteologi berasal dari kata
ekologi dan teologi. Istilah ekologi pertama kali digunakan oleh Haeckel, seorang ahli
ilmu hayat dalam pertengahan dasawarsa 1860-an. Istilah ini berasal dari bahasa
Yunani, yaitu oikos yang berarti rumah dan logos yang berarti ilmu. Oleh karena itu,
secara harafiah ekologi adalah ilmu tentang makhluk hidup dalam rumahnya atau
dapat diartikan juga sebagai ilmu tentang rumah tangga makhluk hidup.15 Istilah
teologi dalam bahasa Yunani adalah theologia. Istilah ini berasal dari gabungan dua
kata theos yang berarti Allah dan logos yang berarti logika. Jadi, teologi adalah ilmu
mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan keyakinan beragama. Berdasarkan
penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ekoteologi merupakan ilmu yang
mempelajari interrelasi antara Tuhan dengan alam semesta demi terciptanya
13 Eka Darmaputera Pancasila and the Search for Identity and Modernity in Indonesian
Society (Ph. D, dissertation , Boston College and Andover Newton Theological School, Newton
Center, Massachusetts, 1982) 263-264. 14 Malcolm Brownlee, Tugas Manusia dalam Dunia Milik Tuhan. (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2001) 152-156. 15 Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan
(Jakarta:Djambatan,1991), 19.
8
keseimbangan dan pola relasi yang saling menghargai antara manusia dengan alam.
Manusia sebagai agen yang diberikan mandat untuk manjaga dan mengelola
lingkungan membuat dia tentunya sadar untuk bagaimana mengambil sikap agar
kelestarian lingkungan tetap terjaga.
Masuknya revolusi hijau yang merusak ekosistem, menghilangkan varietas-
varietas lokal, membuat masyarakat menjadi orang-orang yang ingin hidup instan
tanpa bekerja keras dan mempedulikan alam. Revolusi hijau juga, mengakibatkan
terjadinya kemiskinan terhadap para petani (baik kebun maupun ladang), kampung
menjadi sepi karena banyak anak-anak yang merantau dan menjadi TKI atau TKW di
negeri tetangga.16 Revolusi Hijau juga berdampak dalam kehidupan masyarakat di
Desa Kotabes Kecamatan Amarasi, NTT. Dulunya Amarasi terkenal dengan
pertanian dan peternakan sapi Timor yang cukup besar, di mana sistem pemeliharaan
ternak sapi yang diterapkan oleh masyarakat di Kecamatan ini terdiri dari dua sistem
yakni intensif dan ekstensif. Pemeliharaan induk dan anak sapi mengalami
permasalahan yang cukup serius yakni menurunnya jumlah dan mutu padang
penggembalaan yang disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya alih fungsi
padang penggembalaan menjadi areal pemukiman akibat pertambahan populasi
penduduk dan invasi gulma semak bunga putih (Chromolaena odorata). Semak
bunga putih adalah tanaman yang memiliki karakteristik pertumbuhan yang sangat
cepat walaupun di lahan kritis. Tumbuhan ini menghasilkan biji yang banyak dan
16 Fenomena ini yang ditemukan di lapangan bahwa di Desa Kotabes kebanyakan para
pemuda menjadi TKI/ TKW dengan alasan tidak lagi ada lapangan pekerjaan. Bagi anak muda bekerja
di kebun tidak lagi dapat menjawab kebutuhan hidup mereka. mungkin ini juga dipengaruhi oleh gaya
hidup yang mulai beralih ke gaya hidup perkotaan yang semakin mewah.
9
mudah tersebar dengan bantuan angin. Selanjutnya tanaman ini dianggap suatu gulma
yang sangat merugikan karena: (1) dapat mengurangi kapasitas tampung padang
penggembalaan, (2) dapat menyebabkan keracunan, bahkan mungkin sekali
kemarau.17 Namun predikat sebagai daerah pertanian dan peternakan sapi Timor itu
tinggal kenangan bahwa Kecamatan Amarasi merupakan salah satu kantong produksi
ternak sapi Kabupaten Kupang. Hal ini dibuktikan dengan posisi Kecamatan
Amarasi pada urutan 2 dari data sebaran populasi ternak sapi di Kabupaten Kupang
dengan jumlah populasi sebanyak 19.243 ekor atau sebesar 12.68% dari total sapi di
Kabupaten Kupang.18
Selain cara beternak tradisional yang mulai hilang, cara bertani yang tradisional
juga bergeser. Kita tidak akan melihat lagi masyarakat saling membantu untuk
membersihkan ladang atau kebun, tidak ada kegiatan membersihkan rumput bersama,
yang ada membersihkan rumput dengan menggunakan alat pembasmi rumput agar
lebih cepat dan tidak memakan waktu. Dampak Revolusi Hijau membuat keinginan
masyarakat Desa Kotabes, semakin kuat agar menghasilkan tanaman yang tahan akan
sakit penyakit dengan cara, membeli pupuk, obat tanaman (pestisida dengan banyak
variasi karena banyak penyakit juga), membuat para petani berlomba-lomba.19
17http://download.portalgaruda.org/article.php?article=392996&val=8609&title=PEMANFA
ATAN%20GULMA%20SEMAK%20BUNGA%20PUTIH%20(Chromolaena%20odorata)%20SEBA
GAI%20BAHAN%20PEMBUAT%20PUPUK%20ORGANIK%20BOKHASI%20DALAM%20RAN
GKA%20MENGATASI%20PENYEMPITAN%20PADANG%20PEMGGEMBALAAN%20DAN%2
0MENCIPTAKAN%20PERTANIAN%20TERPADU%20BERBASIS%20ORGANIK. Jurnal
Pengabdian Masyarakat Peternakan Vol. 1 No. 1 Tahun 2016 18 BADAN PUSAT STATISTIK Kabupaten Kupang, 2014 19 Maksudnya adalah petani yang ada di Desa Kotabes cenderung mencari pestisida yang
cocok untuk menjaga kualitas tanaman agar ketika dijual harganya jauh lebih tinggi. Karena tidak
dapat dipungkiri bahwa harga panen biasanya tidak stabil, ketika pasokan panen (tomat dan tanaman
lainnya) di pasar sedikit maka harganya akan naik tetapi sebaliknya ketika pasokan panen sudah mulai
10
Pemandangan ini akan sering terlihat ketika musim tanam akan tiba. Salah satu
contoh akibat penggunaan pestisida yang berlebihan terkadang membuat hasil yang di
dapatkan oleh masyarakat di Desa Kotabes ini, tidak sebanding dengan proses
perawatan tanaman sehingga mengakibatkan para petani di Desa Kotabes mengalami
kerugian. Kebutuhan akan bibit unggul mulai dicari agar dapat menghasilkan nilai
jual yang tinggi, tidak jarang para petani di Desa Kotabes mencari bibit-bibit yang
dijual di toko dengan tujuan agar dapat menghasilkan tanaman yang lebih baik.
Mereka lupa tanah tempat mereka menanam tidak sehat lagi, lingkungan menjadi
“sakit” dan perlu penanganan yang lebih baik. Penyakit mulai menyerang akibat
penggunaan pestisida dan obat-obatan yang begitu banyak. Revolusi Hijau hanya
memberikan kesenangan sesaat bagi masyarakat Desa Kotabes tetapi menimbulkan
kesedihan yang mendalam.
Gaya bertani yang mulai berubah, mengakibatkan rusaknya ekologi karena
masuknya Revolusi Hijau dalam kehidupan para petani dan dunia pertanian, sehingga
mengharuskan adanya cara lain yang dapat dilakukan oleh masyarakat tani Desa
Kotabes untuk tetap melakukan kegiatan bertani yang ramah lingkungan, demi
perekonomian yang tetap dapat meningkat dan juga kelestarian alam akan tetap
terjaga. Alternatif lain yang ditawarkan adalah dengan menggunakan metode bertani
atau pertanian organik. Pertanian organik merupakan sistem manajemen produksi
pertanian yang holistik (keseluruhan) dan terpadu, dengan cara mengoptimalkan
kesehatan dan produktivitas agroekosistem secara alami, sehingga mampu
banyak maka harga akan semakin turn. Hal inilah yang diperhitungkan oleh masyarakat tani yang ada
di desa Kotabes agar mendapatkan keuntungan guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari
11
menghasilkan pangan dan serat yang cukup berkualitas serta berkelanjutan.20 Dapat
dikatakan bahwa pertanian organik ialah suatu sistem pertanian yang mengupayakan
kembalinya semua jenis bahan organik ke dalam tanah, sehingga mendukung siklus
biologi dan aktivitas biologi tanah guna memperbaiki struktur tanah agar kesuburan
tanah meningkat tanpa menggunakan bahan-bahan yang mengandung kimia sintetis
dan tidak merusak lingkungan pada proses produksinya.
Ada empat prinsip dasar yang penting dalam pertanian organik. Adapun prinsip
pertanian organik tersebut ialah sebagai berikut:21 Pertama, prinsip kesehatan. Prinsip
kesehatan yaitu pertanian organik harus melestarikan dan meningkatkan kesehatan
tanah, tanaman, hewan, manusia dan bumi sebagai satu kesatuan dan tak terpisahkan.
Kedua, prinsip ekologi. Prinsip ekologi yaitu pertanian organik harus didasarkan pada
sistem dan siklus ekologi kehidupan, yaitu bekerja, meniru dan berusaha memelihara
sistem dan siklus ekologi kehidupan. Ketiga, prinsip keadilan. Prinsip keadilan yaitu
pertanian organik harus membangun hubungan yang mampu menjamin keadilan
terkait dengan lingkungan dan kesempatan hidup bersama, dan keempat, prinsip
perlindungan, Prinsip perlindungan yaitu pertanian organik harus dikelola secara hati-
hati dan bertanggung jawab untuk melindungi kesehatan dan kesejahteraan generasi
sekarang dan mendatang serta lingkungan hidup. Bertani seperti ini menjadi alternatif
yang kiranya dapat membantu agar kelestarian alam tetap terjaga, perekonomian
menjadi terpenuhi dan juga ramah lingkungan.
20 H. Didiek Goenadi, 2003. Aplikasi Bioteknologi dalam Upaya Peningkatan Efisiensi
Agribisnis yang Berkelanjutan. http://www.ipord.com/art_perkebunan/dhg1.asp. Diunduh pada
tanggal 05 Mei 2017, Pkl. 15.00WIB 21IFOAM. Prinsip-Prinsip Pertanian Organik. http://www.ifoam.org/aboutifoam/
pdfs/POA_folder_indonesian pdf. Diunduh pada tanggal 05 Mei 2017, Pkl. 15.30wib
12
Banyak tulisan ataupun penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa organisasi
maupun perkumpulan orang-orang yang peduli akan kerusakan lingkungan maupun
juga yang peduli dengan pangan yang sehat bagi manusia maupun makhluk hidup
yang lain. Di antaranya ada tulisan tentang Petani Versus Globalisasi: Pertanian
Organik Sebagai Strategi yang ditulis oleh J. Mardimin dkk. Secara garis besar
buku ini berisi beberapa pembahasan mengenai bagaimana pengaruh globalisasi
dalam kehidupan masyarakat tani yang ada di lingkungan Jemaat GKJTU dalam hal
ini masuknya revolusi hijau dengan agendanya yakni “Pestisida”, revolusi hijau
dipandang sebagai “onak dan duri” yang mematikan, bukan merupakan solusi terbaik
tetapi sebaliknya. Di samping itu tulisan ini juga menjelaskan bagaimana cara
mengubah pandangan masyarakat yang sudah terlanjur dipengaruhi oleh masuknya
revolusi hijau, dengan menggunakan strategi baru yakni pertanian organik yang lebih
sehat dan juga ramah lingkungan. Pertanian organik menurut tulisan J. Mardimin dkk,
adalah alternatif yang dapat digunakan agar kelestarian hayati tetap terjaga dan pada
akhirnya tulisan ini akan membawa pengaruh yang positif, baik secara teori maupun
praktek.22
Tulisan yang kedua adalah tentang “Amankah Bahan Makanan Kita?” yang
ditulis oleh Komunitas PIKUL yang ada di Nusa Tenggara Timur. Tulisan ini
secara eksplisit merupakan sebuah penelitian yang dilakukan terhadap masyarakat
tani yang menggunakan bahan pestisida dalam mengelola tanaman mereka, selain
melihat penggunaan pestisida komunitas ini juga melihat tentang bagaimana dampak
22 J. Mardimin, dkk. Petani versus Globalisasi, (Salatiga: Sinode GKJTU, 2009),
13
kesehatan yang ditimbulkan akibat penggunaan pestisida yang berlebihan terhadap
tanaman. Penelitian ini dilakukan di beberapa daerah di wilayah Kota dan Kabupaten
Kupang yakni Kecamatan Kupang Barat, Kupang Timur, Maulafa, Naioni dan
Amarasi dan hasil yang didapatkan adalah bahwa penggunaan pestisida di kalangan
masyarakat tani tidak terkontrol, pengunaannya sudah sangat tinggi pada petani
holtikultural, pemahaman akan pengaruh dari pestisida masih kurang apalagi yang
berkaitan dengan pengaruh tanaman yang sudah terkontaminasi pestisida bagi
kesehatan manusia dan lingkungan (tanah).23
Tulisan yang ketiga tentang Dilema Pestisida: Tragedi Revolusi Hijau yang
ditulis oleh Isvasta Eka. Secara garis besar berisi tentang bagaimana agenda lain
dari Revolusi Hijau yang ditawarkan yakni tentang penggunaan Pestisida dan pupuk
anorganik. Penggunaan pestisida yang berlebihan seperti yang dijelaskan dalam buku
ini akan menimbulkan beberapa dampak baik bagi ekosistem, manusia, tumbuhan dan
juga hewan. Ketika semakin banyak tumbuhan diberikan pupuk kimia dan pestisida
maka hama atau penyakit akan semakin kebal dan tidak akan mempan lagi ketika
diberikan pestisida dengan takaran yang biasa saja, dosis atau takaran akan terus
ditambahkan ketika penyakit tanaman tidak dapat diatasi lagi. Selain itu dengan
berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin maju, maka semakin
besar pula peluang untuk terus menciptakan inovasi yang baru terhadap pestisida dan
pupuk kimia lainnya, apalagi ketika tanaman yang ditanam bukan lagi tanaman lokal
23 http://www.perkumpulanpikul.org/2013/07/amankah-bahan-makanan-kita/, Diunduh pada
tgl 22 Februari 2017, Pkl. 11.40WIB
14
maka yang terjadi adalah penyakit akan semakin rentan karena tanaman baru tidak
cocok dengan objek atau tempat untuk menanam.24
Menurut saya dari ketiga tulisan ini belum membahas mengenai bagaimana
pengaruh masuknya revolusi hijau dan pandangan masyarakat tentang bertani yang
tinjau dari Ekoteologi, sehingga dengan adanya tulisan ini dapat membantu
masyarakat tani secara umum dan lebih khusus masyarakat Desa Kotabes untuk
melakukan kegiatan bertani sebagai upaya menjamin kebutuhan hidup dalam hal ini
pemenuhan ekonomi dengan melakukan kegiatan bertani yang ramah akan
lingkungan. Keutamaan tulisan ini jelas ingin melihat apakah masyarakat selama ini
paham betul dengan bertani yang ramah lingkungan ataukah belum memahami sama
sekali. Maksudnya adalah masyarakat tani di desa Kotabes hanya bekerja,
menghasilkan panen yang baik tetapi tidak melihat bahwa lingkungan sedikit demi
sedikit mulai rusak dan pada akhirnya tidak dapat menghasilkan tanaman yang
produktif lagi.
Berdasarkan latar belakang dan juga beberapa tulisan pendukung yang sudah
gambarkan di atas saya mencoba merumuskannya dalam sebuah tulisan yang
berjudul:
Revolusi Hijau dan Kerusakan Lingkungan
(Tinjauan Ekoteologi terhadap Pandangan Masyarakat Desa Kotabes,
Kecamatan Amarasi- NTT tentang Pengaruh Revolusi Hijau dalam Bertani )
24 Isvasta Ekha, Dilema Pestisida: Tragedi Revolusi Hijau (Jogjakarta: Kanisius, 1988),
15
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, berikut ini merupakan identifikasi masalah
yang ditemukan antara lain:
1. Revolusi Hijau pada dasarnya adalah agenda utama yang dibawa oleh
globalisasi yang sedang hangat-hangatnya diperbincangkan. Awalnya revolusi
hijau dipandang sebagai solusi yang paling baik guna meningkatkan
ketahanan pangan dan kehidupan para petani (petani ladang maupun kebun),
tetapi semakin memasuki era yang maju ternyata sebaliknya menjadi onak dan
duri yang mematikan. Agenda Revolusi Hijau mengahasilkan penggunaan
pestisida yang tentunya berpengaruh bagi kesehatan makhluk hidup (manusia,
tumbuhan dan hewan) dan juga ekosistem lingkungan dalam hal ini tanah
yang menjadi media tanam. Pandangan masyarakat Desa Kotabes terhadap
pengaruh Revolusi Hijau dalam bertani akan menjadi fokus utama dalam
penelitian ini.
2. Ketika Revolusi Hijau membawa pengaruh yang negatif (buruk), ini tidak saja
menjadi tanggungjawab pemerintah tetapi di mana peran gereja sebagai
lembaga atau institusi perpanjangan tangan Allah. Tinjauan Ekoteologi akan
membantu bagaimana sikap gereja dan pemerintah menghadapi pengaruh
Revolusi Hijau dalam kehidupan para petani.
Berdasarkan pada identifikasi masalah di atas, permasalahan yang ada cukup luas,
maka penelitian dibatasi pada: Bagaimana pandangan masyarakat Desa Kotabes
Kecamatan Amarasi- NTT tentang pengaruh Revolusi Hijau dalam bertani.
16
1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah dan pembatasan masalah yang dikemukakan
yakni, Bagaimana pandangan masyarakat Desa Kotabes Kecamatan Amarasi- NTT
tentang pengaruh Revolusi Hijau dalam kehidupan bertani? Maka rumusan masalah
penelitian ini terdiri dari dua bagian yakni: 1). Apa saja praktik-praktik bertani
masyarakat Desa Kotabes, Kec. Amarasi yang mulai hilang akibat masuknya
Revolusi Hijau, 2). Apa tinjauan Ekoteologi terhadap pandangan masyarakat Desa
Kotabes Kecamatan Amarasi- NTT tentang pengaruh Revolusi Hijau dalam bertani?
dan 3). Apa peran Gereja terhadap persoalan kerusakan lingkungan atau Revolusi
Hijau?
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk: 1). Mendeskripsikan praktik-praktik bertani
yang dilakukan oleh masyarakat Desa Kotabes yang telah berubah akibat masuknya
revolusi hijau, 2). Mendeskripsikan dan menganalisa tinjauan Ekoteologi terhadap
pandangan masyarakat Desa Kotabes tentang pengaruh Revolusi Hijau dalam bertani,
dan 3). Mendeskripsikan peran gereja terhadap persoalan kerusakan lingkungan atau
Revolusi Hijau.
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan sumbangan pemikiran baik secara
teori maupun praksis kepada masyarakat Desa Kotabes Kecamatan Amarasi- NTT
yang berprofesi sebagai petani, sehingga dapat mengambil sikap yang tepat berkaitan
dengan pengaruh yang ditimbulkan dari Revolusi Hijau, yang secara tidak sadar
17
sedang dipraktikkan dalam kehidupan bertani maupun berkebun. Dengan penelitian
ini diharapkan ada solusi ataupun metode lain yang dapat digunakan untuk menjaga
keberlangsungan alam dan kehidupan manusia. Karena, kita tidak sadar bahwa
Revolusi Hijau ternyata menawarkan solusi yang tidak bertanggungjawab, dalam
artian bahwa Revolusi Hijau memaksa para petani (yang hidup di desa) meninggalkan
cara bertani yang tradisional dan lebih memfokuskan diri kepada cara bertani yang
modern dengan banyak menggunakan agenda Revolusi Hijau (pestisida dan bibit
unggul). Saya yakin bahwa pengetahuan tradisional masyarakat masih eksis dan dapat
membantu menjaga lingkungan.
1.6. Urgensi Penelitian
Secara praksis, penelitian ini menurut saya penting dilakukan karena belakangan
ini perilaku kehidupan masyarakat tani yang ada di Desa Kotabes sudah berubah di
mana mereka menjadi masyarakat tani yang harap gampang, misalnya, ketika hendak
membersihkan rumput di kebun atau ladang mereka tidak lagi membersihkan secara
manual (menggunakan parang dan alat pertanian tradisional lainnya) mereka
cenderung membeli beberapa obat pembasmi rumput yang lebih gampang dan tidak
memakan waktu.25 Cara kerja yang instan atau gampang ini, membuat masyarakat
tani tidak sadar bahwa itu merusak lingkungan dan ekosistem makhluk hidup lainnya.
Selain itu akibat cara bertani yang mulai berubah, dari cara tradisional menjadi yang
lebih modern berpengaruh pada kehidupan bertani dengan bertani yang tidak ramah
25 Berdasarkan pengamatan penulis bahwa obat pembersih rumput ini biasanya dalam bentuk
bubuk yang dicampurkan dengan air kemudian dimasukkan ke dalam sebuah tanki atau alat semprot,
setelah itu penyemprotan dilakukan secara menyeluruh. Rumput-rumput akan berubah warna menjadi
coklat dan akan kering dengan sendirinya. Jadi, para petani tidak lagi menggunakan tangan untuk
mencabut ataupun alat lainnya.
18
lingkungan, mengapa? Revolusi hijau menawarkan berbagai kemudahan dalam
menjaga dan merawat tanaman salah satunya yang sedang eksis sekarang adalah
penggunaan pupuk anorganik dan pestisida, kegiatan bertani yang dulunya hanya
untuk kebutuhan hidup sehari-hari dalam keluarga berubah menjadi kegiatan bertani
yang tidak ramah lingkungan.
Tidak sampai di situ bahwa penduduk yang semakin bertambah ini
membutuhkan lahan atau tempat tinggal yang juga semakin besar, ketika semua lahan
digunakan sebagai kebun atau ladang, ini menjadi masalah yang harus ditangani.
Masuknya revolusi hijau ini membuat masyarakat tani maupun pemerintah harus
mencari alternatif atau solusi yang tepat sehingga tidak ada pihak yang dirugikan. Itu
sebabnya menurut saya perlu dilakukan studi terhadap pengaruh revolusi hijau ini
sehingga masyarakat tani memahami bahwa kegiatan bertani yang dilakukan saat ini
tidak ramah lingkungan tetapi sebaliknya merusak lingkungan. Secara teori urgensi
dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan teori ekoteologi yang selama ini
hanya membahas tentang isu-isu besar seperti global warning, kebakaran hutan,
polusi udara, banjir, pembabatan hutan dan lain sebagainya, menjadi teori ekoteologi
yang membahas persoalan seperti penggunaan pupuk kimia dan pestisida yang
menjadi bagian dari revolusi hijau dalam kehidupan bertani. Dengan begitu teori
ekoteologi mengalami perkembangan secara terus menerus.
1.7 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang penulis rencanakan dalam penulisan ini adalah
jenis penelitian deskriptif-analitis yakni penelitian yang diarahkan untuk
19
mendapatkan informasi yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang
terjadi dalam kehidupan manusia, melakukan interpretasi dan menganalisis secara
mendalam dan memberikan rekomendasi bagi keperluan masa yang akan datang.26
Dengan menggunakan metode penelitian kualitatif, yakni suatu metode untuk
menangkap dan memberikan gambaran terhadap fenomena tertentu dalam kehidupan
manusia, mengeksplorasi dan memberikan penjelasan dari fenomena yang diteliti
tersebut.27
Teknik pengumpulan data berupa wawancara dan observasi. Informan yang akan
diwawancarai untuk mendukung penelitian ini adalah para petani, masyarakat, aparat
desa dan juga pendeta. Observasi yang dilakukan ialah pengamatan terhadap kegiatan
sehari-hari kehidupan bertani masyarakat. Metode pengumpulan data yang digunakan
oleh penulis adalah observasi (pengamatan) dan tehnik wawancara baik secara
terstruktur maupun tidak. Di mana di dalam bukunya Basrowi “Memahami Penelitian
Kualitatif”28 mengatakan bahwa observasi adalah salah satu metode pengumpulan
data di mana peneliti melihat atau mengamati secara visual sehingga didapatkan data
yang valid. Metode ini memiliki ciri spesifik dibandingkan dengan teknik yang lain.
Cara atau metode ini umumnya ditandai dengan pengamatan tentang hal-hal yang
benar-benar dilakukan oleh individu dan juga membuat pencatatan yang sifatnya
objektif mengenai apa yang diamati. Melalui observasi juga, deskripsi objektif dari
26 Moh. Nazir, Metode Penelitian (Bogor: Ghalia Indonesia, 2009), 89. 27 Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial (Jakarta:
Salemba Humanika, 2012), 8. 28 Basrowi dan Suwandi, Memahami Penelitian Kualitatif, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2008),
94-95
20
individu-individu dalam hubungannya yang aktual satu sama lain dan hubungan
dengan lingkungannya secara tidak langsung dapat diperoleh. Selain observasi,
peneliti juga menggunakan tehnik wawancara baik secara terstruktur (dalam bentuk
pertanyaan-pertanyaan) dan tidak terstruktur. Jenis wawancara tidak terstruktur yakni
tidak disusun terlebih dahulu, dengan kata lain mengalir begitu saja seperti
percakapan sehari-hari.29 Wawancara akan dilakukan kepada:
1. Para petani (pria dan wanita, orangtua dan juga anak muda),
2. Pemerintah setempat
3. Para sarjana pertanian (kalau ada)
4. Para penyuluh pertanian
1.8 Lokasi Penelitian
Tempat penelitian yang penulis pilih adalah Desa Kotabes, Kecamatan Amarasi-
NTT. Kecamatan Amarasi sendiri adalah salah satu Kecamatan di Kabupaten Kupang
provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Kecamatan ini memiliki 8 desa dan 1
Kelurahan. Masyarakat di Kecamatan ini umumnya adalah petani/peternak yang
hidup dari bercocok tanam dan memelihara ternak. Jenis tanaman yang diusahakan
adalah tanaman padi (sawah) dan tanaman hortikultura, sedangkan jenis ternak yang
dipelihara adalah sapi, kuda, kerbau, kambing, babi, dan ayam30, kebiasaan bertani
atau berkebun yang lama mulai digantikan dengan teknologi yang lebih modern, tidak
29 Basrowi dan Suwandi, Memahami Penelitian Kualitatif , . . . , 130 30 Jurnal Pengabdian Masyarakat Peternakan Vol. 1 No. 1 Tahun 2016
21
ada lagi dikerjakan dengan tangan, sudah ada traktor, sudah ada alat yang lebih maju
untuk membersihkan rumput yang ada di dalam ladang atau kebun.31
Lokasi ini dipilih karena beberapa alasan yakni, pertama, penulis melihat bahwa
pengaruh revolusi hijau begitu terlihat meskipun pada akhirnya penulis harus jujur
bahwa masyarakat desa Kotabes tidak menyadari bahwa mereka sedang berada di
dalam agenda revolusi hijau. Kedua, kurangnya pengetahuan (sekalipun arus
globalisasi dan modernisasi sudah masuk tetapi bukan berarti membuat masyarakat
selalu meng-update informasi terbaru) membuat masyarakat yakin benar bahwa
kegiatan bercocok tanam yang dilakukan sudah benar, tidak membawa pengaruh baik
itu pengaruh yang baik ataupun buruk. Ketiga, alasan mengapa lokasi ini dipilih
adalah bahwa penulis ingin mempelajari bagaimana kegiatan bercocok tanam yang
dilakukan oleh masyarakat dari cara tradisional dan berubah menjadi yang lebih
modern apakah membawa pengaruh yang besar ataukah sebaliknya, dan Keempat,
alasan mengapa lokasi ini dipilih karena berdasarkan beberapa cerita masyarakat,
Amarasi dulunya dikenal sebagai lumbung peternakan sapi. Tanaman petes atau
lamtoro tumbuh dengan subur, karena menjadi makanan sapi. Namun akibat
masuknya varietas baru dari lamtoro, hama tanaman seperti kutu loncat mulai
“bermigrasi” ke Amarasi dan memakan habis semua jenis tanaman petes atau lamtoro
lokal. Hal ini menjadi dugaan penulis bahwa masuknya revolusi hijau mengakibatkan
banyak sekali kerugian bagi masyarakat tani dan peternak.
31 Pengamatan penulis di lapangan selama satu tahun magang
22
1.8 Sistematika Penulisan
Tulisan ini terdiri dari Empat Bab, yakni: Bab I Pendahuluan, terdiri dari latar
belakang, identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat
penulisan, urgensi penulisan, metode pengumpulan data, lokasi penelitian, dan
sistematika penulisan. Bab II Kerangka Konseptual, terdiri dari Teori Ekoteologi
dan Revolusi Hijau. Bab III Hasil Penelitian terdiri dari data lapangan dan
pembahasan tentang pandangan masyarakat desa Kotabes tentang pengaruh revolusi
hijau dalam bertani. Bab IV Analisa terdiri dari analisa teori yang ada di bab II
tentang ekoteologi dan revolusi hijau serta temuan-temuan dalam bab III mengenai
pandangan masyarakat tentang pengaruh revolusi hijau dalam bertani, dan Bab V
Penutup, meliputi kesimpulan, berisi temuan-temuan dan saran-saran yang berupa
kontribusi dan rekomendasi untuk penelitian selanjutnya serta refleksi Teologi dari
penulis.