BAB I PENDAHULUAN -...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN -...
1
BAB I
PENDAHULUAN
Kepuasan kerja mempunyai perananan yang sangat penting dalam
organsasi. Derajat kepuasan yang tinggi dapat mencapai tujuan organisasi.
Dimana kepuasan kerja merupakan salah satu aspek penting bagi seorang
pendeta dalam menjalankan tugas pelayanannya. Hal ini di anggap penting
untuk di teliti karena dalam realita pelayanannya terdapat alasan yang
sangat mendasar ketika seorang pendeta mendapat berbagai tantangan
internal yang seringkali ditemukan dalam menjalankan tugas
pelayanannya. Pada bab ini akan di uraikan beberapa topik yang menjadi
pembahasan khusus, antara lain : (1) Fenomena organisasi Gereja GPI
Papua Klasis Fakfak, (2) Hubungan antara motivasi kerja, budaya
organisasi, dan jenis kelamin terhadap kepuasan kerja pada pendeta Gereja
Protestan Indonesia (GPI) di Papua Klasis Fakfak, (3) Kontribusi yang
diharapkan yakni dapat memberikan suatu bukti empiris tentang ada
tidaknya hubungan antara teori-teori motivasi kerja dan budaya organisasi
terhadap kepuasan kerja pendeta yang dapat diterapkan dalam organisasi
gereja.
1.1 Latar Belakang
Globalisasi dewasa ini telah mengubah kehidupan di seluruh dunia,
dan pengaruh globalisasi mengubah pola aliran informasi secara
mendasar. Arus globalisasi yang terjadi secara multidimensi akan
membawa dampak perubahan terhadap organisasi di Indonesia. Untuk
mengantisipasi kompetisi global dalam dunia organisasi, perlu diupayakan
adanya sumber daya manusia (SDM) berkualitas. Oleh sebab itu, SDM
2
perlu menguasai keterampilan dan pengetahuan serta sikap yang
menunjang perkembangan di segala bidang keahliannya, (Abdullah,
2009). SDM mempunyai andil yang besar bagi keberhasilan suatu
organisasi, khususnya apabila SDM tersebut sudah siap pakai dan
berpengalaman. Namun, organisasi juga tidak dapat menentukan secara
pasti bagaimana teknik untuk merekrut, mempertahankan, dan memotivasi
SDM yang semakin beragam. Di lain sisi, suatu organisasi juga sering kali
terkendala tentang bagaimana cara untuk mendapatkan individu yang
memiliki keterampilan, pengetahuan, dan kemampuan yang tepat. Hal ini
semua akhirnya bermuara pada bagaimana mengarahkan SDM yang ada,
sehingga menjadi sumber keunggulan yang kompetitif (Memon, Mangi &
Rohra, 2009).
Sementara itu, Han et al. (2012), menjelaskan bahwa suatu
organisasi berkewajiban menciptakan kepuasan kerja bagi karyawan atau
pekerja di mana hal penciptaan kepuasan kerja pegawai atau karyawan
merupakan cara yang tepat dan sangat efektif sebagai jawaban terhadap
efektifitas suatu organisasi. GPI Papua sebagai sebuah organisasi, juga
diperhadapkan dengan tuntutan pemenuhan akan kepuasan kerja pendeta
yang merupakan pekerjanya. Tujuan pemenuhan kepuasan kerja, telah
dijelaskan, namun dalam hubungannya dengan kepuasan kerja pendeta,
adalah supaya para pendeta dapat bekerja secara maksimal sesuai dengan
kemampuannya demi kemajuan organisasi di mana ia bekerja atau
melayani.
Dalam kesempatan wawancara pada tanggal 18 Oktober 2013
dengan seorang pendeta yang melayani pada cakupan GPI Papua klasis
Fakfak, dijelaskan mengenai beberapa keluhan yang terkait dengan
ketidakpuasan kerja sebagian pendeta. Pada penejelasannya diungkapan
3
bahwa sebagian pendeta merasa kesejahteraan sehubungan dengan gaji
yang diperoleh belum memadai dan belum dapat memenuhi kebutuhan
hidupnya, padahal iuran atau setoran yang menjadi tanggungan jemaat
sangatlah tinggi.
Masalah gaji dan tarif penetapan iuran yang terlalu tinggi ini,
dapat dilihat secara menyeluruh maupun khusus untuk daerah pelayanan
Klasis Fakfak, misalnya saja untuk pendeta yang bergolongan 3A standar
gaji yang ditetapkan berkisar antara Rp 800.000 sampai dengan Rp
1.500.000 sedangkan iuran jemaat yang harus ditanggung perbulannya
mencapai Rp 3.000.000 sampai dengan Rp 4.000.0000. Sementara itu,
sarana transportasi dan komunikasi yang masih sangat terbatas
mengakibatkan para pendeta merasa terisolasi dan sulit mendapatkan
akses informasi. Hal tersebut menyulitkan para pendeta untuk
mengembangkan karier dan potensi diri. Masalah lain yang terkait dengan
tingkat kepuasan seorang pendeta terhadap pekerjaan yang digelutinya
adalah terjadinya pergeseran motivasi pelayanan seorang pendeta sebagai
hamba yang melayani menjadi peguasa yang otoriter, Kana (2010). Sikap
ini akhirnya menjadikan sebuah masalah dalam pelayanan, yang dapat
menimbulkan sikap antipati, berdampak pada kesenggangan relasi dalam
hubungan interpersonal dengan supervesior hubungan interpesonal dengan
bawahan, hubungan dengan rekan kerja, penghambatan prestasi kerja,
pertumbuhan pribadi, dsb.
Fenomena-fenomena ini dapat dipahami dengan melihat sumber-
sumber kepuasan atau ketidak puasan kerja, sebagaimana yang dijelaskan
oleh Herzberg (dalam Malik & Naeem 2013), yang menjelaskan mengenai
dua faktor yang memberikan respons kepuasan ataupun ketidak puasan
kerja. Respons-respons ini bersumber dari faktor ekstrinsik (Hygiene) dan
4
faktor intrinsik (Motivator). Herzberg dalam (Tan & Wahed)
menyebutkan terdapat sepuluh faktor pemeliharaan / hygiene factor
sebagai berikut: kebijakan perusahaan dan administrasi, supervisi,
hubungan interpersonal dengan supervisor, hubungan interpersonal
dengan bawahan, hubungan dengan rekan kerja, gaji, keamanan kerja,
kehidupan pribadi,kondisi kerja, status. Sedangkan faktor motivator
sebagai berikut: prestasi, penghargaan, kenaikan pangkat, pekerjaan itu
sendiri, pertumbuhan pribadi, tanggung jawab.
Fenomena kepuasan maupun ketidak puasan kerja pendeta GPI
Papua klasis Fakfak ini didasari oleh Herzberg dalam Robbins & Judge,
(2009) pada kenyataanya kepuasan kerja itu berangkat dari beberapa aspek
atau segi kepuasan kerja itu sendiri, yang dapat terlihat lewat 1) pekerjaan
itu sendiri, 2) bayaran, 3) kenaikan jabatan, 4) pengawasan/supervisor dan
5) rekan kerja. Fenomena di atas mengimplikasikan pentingnya meneliti
kepuasan kerja pendeta karena hal tersebut memiliki andil terhadap
kemajuan dan produktifitas lembaga gereja.
Fenomena-fenomena tersebut didukung oleh penjelasan dari,
Luthans (2006) menyatakan bahwa ada tiga dimensi penting untuk
terciptnya kepuasan kerja. Pertama, kepuasan kerja merupakan satu
tanggapan emosional terhadap situasi kerja. Sebagian besar hal itu tidak
dapat dilihat; hanya dapat dirasakan. Kedua, kepuasan kerja seringkali
ditentukan oleh sejauhmana hasil yang diperoleh sesuai harapan. Sebagai
contoh jika anggota organisasi merasakan bahwa mereka bekerja lebih
keras daripada lainnya dalam suatu organisasi tetapi mereka menerima
imbalan yang kecil, mereka mungkin akan mempunyai suatu sikap yang
negatif terhadap pekerjaan, bos, dan atau teman kerja. Mereka akan tidak
puas. Di sisi lain jika pekerja merasakan diperlakukan sangat baik dan
5
dibayar dengan adil, pekerja akan mempunyai suatu sikap yang positif
terhadap pekerjaan. pekerja akan terpuaskan oleh pekerjaan. Ketiga,
kepuasan kerja mencerminkan beberapa sikap yang saling berhubungan.
Sementara itu, Tella et al. (2007), menyatakan bahwa untuk
mencapai efektifitas suatu organisasi, yakni sejauh mana organisasi
tersebut dapat mencapai tujuannya secara efektif baik secara kualitas
maupun produktifitas, maka organisasi perlu menciptakan serta
memastikan tingkat kepuasan kerja setiap anggotanya. Menurut Becker et
al. (dalam Eslami & Gharakhani, 2012), lewat kepuasan kerja karyawan
maka kinerja, produktivitas organisasi dan isu-isu lain, termasuk
perputaran tenaga kerja yang mendorong kemajuan dari organisasi akan
dengan sendirinya tercipta.
Tuanakota (2009). Dalam penelitiannya menyatakan bahwa
kepuasan kerja dapat tercipta pada organisasi nirlaba termasuk organisasi
gereja bila adanya suatu hubungan atau relasi yang baik yang tercipta dan
terpelihara, sehingga kemungkinan perpecahan dapat terelakan wujud
relasi yang baik ini dapat terlihat lewat saling menegur dan menasehati
sebagai satu tubuh Kristus dan menimbulkan kenyamanan serta
berdampak pada kepuasan kerja tersendiri dalam diri setiap pekerja pada
organisasi gereja.
Intellectual Reserve, Inc (2010) dalam penelitian tersebut
dijelaskan bahwa kepuasan kerja para pelayan gereja terhadap
pekerjaannya didukung oleh persamaan nilai-nilai organisasi yang
mendorong perilaku sportivitas. Hal ini ditunjukkan oleh perilaku para
pelayan gereja yang mampu menyelesaikan pekerjaanya meskipun dengan
beban kerja yang cukup berat didukung oleh nilai-nilai individu yang
dianut pelayan gereja. Perilaku ini akan meningkatkan perilaku sportivitas.
6
Ditunjukkan oleh sikap toleransi para pelayan gereja terhadap lembaga
gereja di mana dia mengabdi dan melakukan pekerjaannya dengan
sungguh-sungguh.
Sejalan dengan penelitian-penelitian tersebut, Yurlinda &
Harlyanti (2009), menyatakan bahwa keberhasilan perusahaan untuk
berkiprah ditengah tekanan dan persaingan yang cukup tajam untuk
meraih premi dari pemegang polis dikarenakan agen sebagai pekerja
merasa puas terhadap pekerjaannya. Dengan demikian kepuasan kerja dari
karyawan merupakan salah satu hal yang sangat mempengaruhi
keberhasilan suatu organisasi baik secara langsung maupun tidak
langsung.
Dari penjelasan berdasarkan hasil-hasil penelitian tentang
kepuasan kerja ini, maka organisasi gereja perlu menciptkan kepuasan
kerja bagi para pendeta sebagai pekerjanya, untuk mencapai tujuan
loyalitas dari pendeta demi terciptanya kemajuan organisasi gereja.
Kepuasan kerja dari karyawan atau pekerja sebagaimana digambarkan
dalam beberapa penelitian terdahulu di atas, terlihat secara jelas dapat
memberikan manfaat terhadap kemajuan suatu organisasi, sebaliknya
ketidakpuasan kerja dari karyawan atau pekerja tidak akan memberikan
manfaat yang baik terhadap suatu organisasi. Hal tersebut telah dijelaskan
juga lewat beberapa penelitian terdahulu.
Dampak kepuasan maupun ketidakpuasan kerja sebagaimana
dijelaskan di atas lewat beberapa hasil penelitian selanjutnya terlihat dan
dirasakan oleh penulis lewat beberapa fenomena yang terjadi di lapangan
atau medan pelayanan ketika penulis terlibat dalam pelayanan pada
organisasi GPI Papua pada tahun 2009 sampai dengan tahun 2011, di
mana situasi kepuasan kerja terhadap pendeta “sama sekali” tidak dimiliki
7
oleh beberapa orang pendeta. Hal ini terlihat dari kelalaian seorang
pendeta terhadap panggilannya sebagai pemimpin pada suatu gereja dalam
lingkungan kerja GPI Papua. Sikap acuh tak acuh terhadap surat
keputusan penempatan yang diberikan kepadanya dengan berbagai alasan
atau pertimbangan yang dibuat, entah karena pertimbangan kesehatan,
suami atau istri yang bekerja di daerah perkotaan bahkan ada juga pendeta
yang melalaikan SK penempatan tersebut tanpa alasan apapun, serta
meninggalkan daerah pelayanannya selama berhari-hari menjadi
kesimpulan awal penulis bahwa hal ini dipengaruhi oleh dampak tidak
puasnya seorang pendeta terhadap pekerjaannya.
Dalam penelitiannya Aziri (2011), juga mengungkapkan dampak
negatif dari ketidakpuasan kerja yaitu, karyawan akan meresponi dengan
reaksi emosional dan mental yang buruk yang terlihat lewat perilaku
pekerja yang negatif dalam pekerjaannya. Reaksi tersebut mempengaruhi
tingkat pendapatan perusahan yang semakin berkurang. Sementara itu
Robbins (1998) menjelaskan bahwa ketidakpuasan kerja terlihat lewat
reaksi pada perilaku karyawan. Reaksi ini dinyatakan dengan cara
karyawan berhenti, karyawan dapat mengeluh, tidak patuh, mencuri milik
organisasi, atau mengelakan sebagian dari tanggung jawab mereka.
Sejalan dengan penelitian tersebut, Nanggoy & Harianti (2005)
mengemukakan bahwa reaksi ketidakpuasan kerja karyawan terlihat dari
sikap karyawan menarik diri dari pekerjaannya, bahkan keluar atau
berhenti dari pekerjaannya. Perilaku tersebut mengakibatkan perusahan
mengalami kerugian. Hal ini dikarenakan perusahaan perlu mencari
pengganti terhadap karyawan yang keluar. Pergantian karyawan
membawa pengaruh yang kurang baik terhadap perusahaan, baik dari segi
8
biaya maupun dari segi hilangnya waktu untuk melatih karyawan
pengganti dan kesempatan untuk memanfaatkan peluang.
Dalam kaitannya dengan dampak positif maupun negatif kepuasan
maupun ketidak puasan kerja dari pekerja sosial terkhusus untuk pendeta,
dijelaskan lewat penelitian yang dilakukan oleh Stewart (2009). Dalam
penjelasannya, diungkapkan bahwa ketika seorang pendeta tidak puas
terhadap pekerjaannya, maka pendeta tersebut akan meninggalkan
pelayanannya entah dia berhenti atau mangkir terhadap pelayanan. Perihal
ketidak puasan kerja pendeta tersebut, disebabkan oleh berbagai hal baik
dari dalam diri (faktor internal) maupun dari luar diri pendeta sendiri
(faktor eksternal). Penyebab ketidak puasan kerja dari faktor internal
pendeta yaitu pemenuhan kehidupan pribadi pendeta tidak terwujud. Hal
ini dirasakan oleh pendeta pada umumnya dikarenakan, relasi dengan
keluarga yang sangat minim, siklus hidup yang berantakan, keuangan
yang kurang memadai, dan personal akses komunikasi yang terbatas.
Ketidak puasan kerja pendeta sebagai akibat faktor eksternal dari
kehidupan pendeta sendiri dikarena beberapa penyebab. Diantaranya
masalah pemaknaan panggilan melayani, konflik pendeta dengan jemaat,
konflik dengan harapan pelayanan yang tidak terpenuhi, serta terisolasi
terhadap dunia luar. Sebaliknya disimpulkan dalam penelitian ini, ketika
pemenuhan harapan-harapan itu terlaksana maka pendeta akan puas
terhadap pekerjaannya. Sejalan dengan penelitian tersebut Colee (2013),
Meyatakan bahwa ketika praktek panggilan menghamba dan fungsi
kepemimpinan yang melayani dijalankan dengan baik oleh seorang
pendeta, dalam organisasi gereja baik dengan rekan sekerja, dengan atasan
maupun dengan bawahan akan melahirkan kepuasan kerja dan berdampak
pada kehidupan organisasi yang sehat dan kenyamanan orgasasi gereja
9
akan tercipta dan dirasakan secara bersama oleh setiap pendeta maupun
anggota gereja lainnya.
Atas dasar beberapa penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa
kepuasan kerja dapat memberikan dampak baik secara positif maupun
negatif. Apabil kepuasan kerja dirasakan oleh seorang karyawan atau
pekerja, maka karayawan atau pekerja bahkan pendeta tersebut menjadi
produktif dan turut memengaruhi kemajuan organisasi, sebaliknya bila
kepuasan kerja tidak dirasakan oleh seorang karyawan atau pekerja, maka
karayawan atau pekerja tersebut menjadi tidak produktif dan sedikitnya
turut memengaruhi kemunduran organisasi.
Victor et al. (2012) dalam penelitian mereka menunjukkan bahwa
kepuasan kerja merupakan faktor yang paling berpengaruh dan berdampak
terhadap perilaku karyawan. Hal ini menjadi unsur utama yang
mendorong karyawan untuk memberikan kontribusi lebih dari standar atau
extra role kepada organisasi. Dari penelitian ini, disimpulkan juga bahwa
lewat kepuasan kerja, karyawan memberikan kontribusi positif terhadap
kemajuan organisasi sehingga secara otomatis akan mendorong
tercapainya kesuksesan organisasi. Kemajuan ini ditunjukan dari sikap
karyawan yang senang mencari peluang untuk memaksimalkan
keterampilan dan kemampuan mereka serta menjamin keamanan
pekerjaan pada organisasi di mana mereka bekerja. Sementara itu, Chen et
al (dalam Tella et al, 2007) menjelaskan bahwa dampak dari
ketidakpuasan kerja karyawan, terlihat pada ketidakhadiran yang terjadi
secara berulang-ulang seorang karyawan serta menumpuknya pekerjaan
dan berimbas terhadap kerugian organisasi.
Mengenai kepuasan kerja, penelitian-penelitian terdahulu telah
mengungkapkan faktor-faktor yang memengaruhi kepuasan kerja.
10
Selanjutnya George & Jones (2012) menjelaskan bahwa motivasi kerja
merupakan faktor dari kepuasan kerja. Hal ini dikarenakan motivasi kerja
merupakan suatu dorongan secara psikologis kepada seseorang, yang
menentukan arah dari perilaku (direction of behavior) seseorang dalam
suatu organisasi, tingkat usaha (level of effort), dan tingkat kegigihan atau
ketahanan dalam menghadapi suatu halangan atau masalah (level of
persistence). Dengan demikian seseorang yang memiliki motivasi kerja
akan merangsang terciptanya kepuasan kerja bagi dirinya.
Sejalan dengan itu, Salem et al. (2010), menjelaskan bahwa salah
satu faktor yang dapat membuat seseorang untuk puas terhadap
pekerjaannya adalah motivasi kerja, dimana secara keseluruhan karyawan
yang puas dengan pekerjaan mereka akan memiliki minat dalam
pekerjaan. Lebih dari rata-rata karyawan yang termotivasi untuk bekerja
bagi organisasi, akan menimbulkan efek kepuasan kerja untuk mereka.
Motivasi kerja merupakan suatu hal yang sangat penting dalam diri
seorang individu baik untuk dirinya maupun dalam konteks terhadap suatu
organisasi bila individu tersebut bekerja pada suatu organisasi ataupun
perusahaan. Motivasi kerja penting untuk diteliti, dikarenakan motivasi
kerja memiliki hubungan sebab-akibat terhadap kepuasan kerja yang
berimbas juga pada terciptanya kemajuan suatu organisasi. Demikian juga
dengan pendeta sebagai pekerja gereja perlu memiliki motivasi kerja yang
baik sehingga dapat mengalami kepuasan kerja pada organisasi gereja di
wilayah kerjanya. Hal ini juga berlaku bagi organisasi gereja GPI Papua
klasis Fakfak.
Beberapa penelitian terdahulu telah menunjukan hasil positif
maupun negatif atau pro dan kontra dalam melihat hubungan motivasi
kerja terhadap kepuasan kerja. Salem et al. (2010) dalam penelitiannya
11
menyimpulkan bahwa terdapat hubungan postif seignifikan antara
motivasi kerja terhadap kepuasan kerja. Mereka menemukan bahwa secara
keseluruhan karyawan yang puas dengan pekerjaan mereka akan memiliki
minat dalam pekerjaan, sehingga lebih dari rata-rata karyawan yang
termotivasi untuk bekerja bagi organisasi dan menimbulkan efek kepuasan
kerja itu sendiri. Khalid et al. (2011) juga dalam penelitiannya
menyimpulkan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara
motivasi kerja dengan kepuasan kerja di kedua organisasi utilitas air
publik dan swasta.
Penelitian-penelitian tersebut didukung oleh penelitian dari Singh
& Tiwari (2011), yang menemukan bahwa motivasi kerja merupakan
fungsi dari kepuasan kerja dan sebaliknya kepuasan kerja juga merupakan
fungsi dari motivasi kerja. Nilai motivasi kerja meningkat dikarenakan
meningkatnya nilai kepuasan kerja dan sebaliknya nilai kepuasan kerja
meningkat dikarenakan meningkatnya nilai motivasi kerja. Pada peneltian
ini didapat korelasi positif yang kuat (r = 0,822134) antara motivasi kerja
dan kepuasan kerja karyawan dan hubungan fungsional antara keduanya
hal ini di tunjukan, dengan nilai motivasi kerja karyawan meningkat maka
kepuasan juga meningkat dan sebaliknya, apabila kepuasan kerja
karyawan meningkat maka motivasi kerja karyawan juga meningkat.
Pada kesempatan lain, Ahmed et al. (2010) dalam penelitiannya
berkesimpulan bahwa peran penting dalam meningkatkan kepuasan kerja
karyawan dimulai dengan menimbulkan motivasi kerja bagi karyawan.
Karyawan yang puas dengan imbalan yang merupakan salah satu aspek
kepuasan kerja dapat membantu dalam meningkatkan kinerja organisasi.
Di sisi lain faktor intrinsik motivasi kerja memiliki hubungan yang
signifikan dengan kepuasan kerja karyawan. Hal senada disampaikan oleh
12
Tan & Waheed (2011), sehingga dalam penelitiannya mengusulkan agar
setiap perusahaan harus memperhatikan dan memprioritaskan empat
variabel motivasi kerja dalam merangsang kepuasan kerja agar tercipta
produktivitas dan kinerja karyawan yang baik terhadap kemajuan
organisasi. Keempat variabel ini meliputi kondisi, pengakuan, kebijakan
perusahaan dan faktor upah.
Hal yang diungkapan di atas bertolak belakang dengan penelitian
yang dilakukan oleh Dhermawan et al. (2012), yang dalam penelitian
mereka menyatakan bahwa motivasi tidak berpengaruh terhadap kepuasan
kerja. Penelitian ini juga didukung oleh penelitian dari Kartika & Kaihattu
(2010). Berdasarkan hasil penelitian mereka ditemukan kesimpulan bahwa
variabel motivasi kurang memiliki sumbangan poisitif terhadap kepuasan
kerja karyawan di Pakuwon Food Festival, dan kontribusi variabel
motivasi terhadap kepuasan kerja hanya sebesar 13,6% sedangkan sisanya
merupakan kontribusi dari variabel lain diteliti oleh peneliti.
Selain motivasi kerja, budaya organisasi merupakan suatu hal yang
sangat penting untuk diteliti dalam kaitan dengan kepuasan kerja,
terkhusus untuk kepentingan penelitian ini, yang difokuskan untuk melihat
hubungan budaya organisasi terhadap kepuasan kerja pendeta GPI Papua
klasis Fakfak. Berikut ini Robbins (1998) menyatakan sebuah referensi
bahwa, budaya organisasi merupakan makna dari paham yang dianut
bersama, dapat menjadi sebuah pemaknaan bertindak dan berlaku,
sehingga organisasi mampu menumbuhkan sikap yang poitif terhadap
bagaimana karyawan bekerja pada organisasi dan juga hasilnya dapat
menimbulkan kepuasan kerja terhadap apa yang telah dilakukan, bila
sesuai dengan prinsip-prinsip budaya organisasi itu sendiri.
13
Kemudian Kotter & Hesket (1998) dalam peneltian mereka yang
didukung oleh Schein (1992), menjelaskan bahwa budaya organisasi
merupakan faktor kepuasan kerja, oleh karena itu secara operasional dapat
di ajarkan kepada setiap anggota dalam suatu organisasi dalam
menghadapi persoalan penyesuaian diri pada lingkungannya dan integritas
dirinya yang telah teruji kegunaannya. Dengan demikian, patut diajarkan
kepada para anggota baru sebagai cara yang benar dalam berorganisasi.
Dengan penjelasan tersebut maka secara langsung maupun tidak langsung
dapat dikatakan bahwa budaya organisasi dapat menentukan seseorang
untuk puas atau tidak puas terhadap pekerjaanya dan juga puas ataupun
tidak puas terhadap organisasi dimana dia bekerja.
Gagasan yang memandang organisasi sebagai budaya, dimana ada
suatu sistem dari makna yang dianut bersama dikalangan anggota-anggota.
Dalam memandang budaya organisasi, Robbins (1998) menjelaskan
bahwa organisasi juga memiliki kepribadian persis seperti individu; bisa
tegar atau fleksibel, tidak ramah atau mendukung, inovatif atau
konservatif. Lebih lanjut Robbins (1998 ) menyatakan bahwa Para teorotis
organisasi, telah mengakui dengan menyadari pentingnya peran yang
dimainkan budaya organisasi terhadap anggota-anggota organisasi yang
memengaruhi sikap dan perilaku karyawan dalam suatu pelembagaan. Bila
suatu organisasi menjadi terlembaga, organisasi itu memiliki
kehidupannya sendiri, terlepas dari siapa pendirinya ataupun siapapun
anggotanya. Di samping itu bila organisasi itu menjadi terlembaga,
organisasi itu dihargai untuk dirinya, tidak sekedar untuk barang atau jasa
yang dihasilkan. Organisasi itu memperoleh keabadian. Jika tujuan aslinya
tidak lagi relevan, organisasi itu tidak gulung tikar, malahan
mendefinisikan ulang dirinya.
14
Dengan suatu budaya organisasi yang baik, maka harapan maupun
pada kenyataan kepuasan kerja akan didapati oleh setiap pekerja yang ada
pada suatu organisasi. Sabri et al. (2011) menjelaskan bahwa Adanya
budaya organisasi yang baik “seharusnya” dapat berdampak pada
kepuasan kerja, hal ini dikarenakan kinerja yang maksimal akan dilakukan
oleh pekerja dari suatu organisasi, dengan demikian ada harapan dari
seorang pekerja yang mesti dipenuhi dari hasil kerja yang diberikan oleh
organisasi tempatnya bekerja. Budaya organisasi banyak diyakini
organisasi, sebagai budaya kerja yang berdampak besar terhadap kinerja
organisasi. Kemudian Munandar (2001) menyatakan bahwa organisasi
secara kelembagaan/organisasi sebagai pola asumsi dasar yang telah
dikemukakan oleh sekelompok tertentu, dikemukakan atau dikembangkan
untuk dipelajari cara mengatasi perilaku anggota organisasi.
Pada kesempatan berbeda Robbins (2002), mengemukakan bahwa
budaya organisasi sebagai variabel campur tangan manajemen secara
keseluruhan sebenarnya berawal dari para karyawan membentuk suatu
persepsi subjektif kepada organisasi berdasarkan faktor-faktor seperti
toleransi resiko, tekanan pada tim, dan dukungan orang. Selanjutnya
persepsi keseluruhan ini menjadi budaya atau kepribadian organisasi,
persepesi yang mendukung ini kemudian memengaruhi kinerja dan
kepuasan kerja karyawan.
Beberapa penelitian terdahulu telah menunjukan hasil positif
maupun negatif atau pro dan kontra dalam melihat hubungan budaya
organisasi terhadap kepuasan kerja. Dalam sebuah kesempatan Sabri et al.
(2011) menemukan bahwa budaya organisasi yang berkaitan dengan
karyawan memainkan peran yang lebih kuat dalam menciptakan kepuasan
kerja guru lembaga pendidikan tinggi dan universitas. Penelitian ini
15
didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Shurbagi & Zahari (2012)
yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif signifikan antara
budaya organisasi dan kepuasan kerja di NOC Libya. Variabel (budaya
organisasi) memberikan kontribusi signifikan dalam variabilitas (kepuasan
kerja) sebesar 51% dari total variabilitas. Penilitian ini juga didukung
dengan penelitian yang dilakukan oleh Sempane et al. (2002) yang
memperoleh hasil korelasi positif yang signifikan yang ditemukan antara
dua variabel (r = 0, 743). Dengan demikian disimpulkan dalam penelitian
ini bahwa terdapat hubungan positif antara budaya organisasi dan
kepuasan kerja.
Beberapa penelitian tentang adanya hubungan atau pengaruhnya
budaya organisasi terhadap kepuasan kerja ini, bertolak belakang dengan
penelitian yang dilakukan oleh Rukhviyanti (2011) dengan tujuan
penelitiannya untuk mengetahui pengaruh budaya organisasi, yang
dikelompokan dalam budaya birokrasi, budaya inovatif dan budaya
suportif terhadap kepuasan kerja pada salah satu bank di Rangkasbitung.
Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa budaya organisasi tidak memiliki
pengaruh terhadap kepuasan kerja, hal ini terbutkti karena hanya budaya
suportif saja yang berpengaruh terhadap kepuasan kerja, sedangkan
budaya birokrasi dan budaya inovatif tidak berpengaruh terhadap
kepuasan kerja. Penelitian tersebut didukung oleh penelitian dari Parimita
et al. (2013) yang meneliti tentang Pengaruh lingkungan kerja dan budaya
organisasi terhadap kepuasan kerja karyawan pada bank BTN (Persero)
Cabang Bekasi, pada penelitian tersebut, diperoleh kesimpulan bahwa
walaupun budaya organisasi dalam perusahaan sudah cukup baik, namun
kepuasan kerja karyawan belum dapat dirasakan oleh seluruh karyawan,
karena masih terdapat sebagian karyawan yang merasakan ketidakpuasan
16
kerja pada dimensi promosi dan pengawasan, sehingga masih belum
cukup baik untuk dirasakannya kepuasan kerja.
Sejumlah penelitian juga mengemukakan arti pentingnya motivasi
kerja dan budaya organisasi secara bersama-sama terhadap kepuasan
kerja. Astuti & Oswari (2011) dalam penelitiannya menemukan hubungan
yang signifikan antara variabel motivasi kerja karyawan dan budaya
perusahaan yang secara bersama-sama memengaruhi kepuasan kerja
karyawan. Dalam penelitian ini dijelaskan bahwa ketika karyawan
memiliki motivasi kerja dan diimbang dengan budaya organisasi yang
baik, maka karyawan akan memiliki semangat juang yang tinggi. Oleh
karena itu diperlukan motivator bagi karyawan dalam pemenuhan fisik
dan non-fisik. Disamping itu, perusahaan juga perlu menciptakan budaya
organisasi yang baik demi terciptanya kepuasan kerja dari karyawannya.
Kepuasan dalam pekerjaan yang dinikmati lewat hasil kerja, berdampak
pada penempatan diri serta perilaku yang baik sehingga karyawan dengan
sendirinya menciptakan suasana kerja, sehingga dapat meningkatkan
kehidupan organisasi atau perusahaan tersebut. Sejalan dengan penelitian
tersebut, Yamsul et al (2013) juga menjelaskan bahwa motivasi kerja dan
budaya organisasi memiliki dampak yang signifikan terhadap kepuasan
kerja. Dalam penelitian ini, diungkapkan bahwa bila seseorang karyawan
telah terlebih dahulu merasa puas akan pekerjaannya, yang
dikonstruksikan oleh budaya organisasi yang baik maupun faktor motivasi
kerja yang tinggi dari karyawannya, maka organisasi tersebut akan
berkembang dikarenakan komitmen dan loyalitas karyawan
Pentingnya kepuasan kerja serta factor-faktor yang
memengaruhinya telah dijelaskan dalam uraian-uraian di atas, namun yang
menjadi pertentangan hingga saat ini adalah kepuasan kerja ditinjau dari
17
jenis kelamin. Rafif & Ayub (2011) dalam penelitian mereka, menemukan
hubungan perbedaan jenis kelamin terhadap kepuasan kerja diantara
karyawan perempuan dengan karyawan laki-laki, pada penelitian mereka,
disimpulkan bahwa ada perbedaan pada kepuasan kerja dalam
hubunganya dengan jenis kelamin. Beberapa alasan yang dikemukakan
yang mengakibatkan perbedaan kepuasan kerja berdasarkan jenis kelamin
yaitu, laki-laki biasanya menekankan pada gaji, sementara perempuan
lebih menekankan pada pertumbuhan professional kerja, sehingga
karyawan laki-laki jauh lebih puas terhadap pekerjaan dibandingkan
dengan karyawan perempuan. Perbedaan jenis kelamin sebagai penentu
kepuasan kerja juga di jelaskan oleh Ahmed et al. (2010), namun sedikit
berbeda dengan yang dijelaskan oleh Rafif dan Ayub yang menyatakan
laki-laki lebih puas terhadap pekerjaannya, dalam penelitian ini ditemukan
Perbedaan yang signifikan dicatat mengenai kepuasan kerja antara
karyawan pria dan wanita dengan karyawan perempuan yang memiliki
kepuasan kerja lebih dari karyawan laki-laki.
Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Peerbai
(2006) yang menemukan bahwa untuk kepuasan kerja faktor jenis kelamin
tidak memiliki hubungan sama sekali dalam merangsang kepuasan kerja
ataupun membuat seseorang tidak puas terhadap pekerjaannya. Hal ini
dilihat berdasarkan temuan nilai (p = 0,78> 0,05). Penelitian tersebut
didukung oleh penelitian dari Ifeoluwa et al. (2014) yang mana dari
temuan penelitian mereka, terbukti bahwa staf perpustakaan laki-laki dan
perempuan memiliki tingkat kepuasan kerja yang sedang atau biasa saja.
Hal ini menegaskan bahwa pustakawan umumnya puas dengan pekerjaan
mereka. Meskipun persentase sedikit terlihat berbeda pada tingkat
kepuasan kerja, namun hal ini menunjukan bahwa perbedaan jenis
18
kelamin terhadap kepuasan kerja tidak signifikan. Dengan demikian,
perbedaan jenis kelamin ditemukan tidak memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap kepuasan kerja.
Dalam melihat hubungan antara motivasi kerja dan jenis kelamin
terhadap kepuasan kerja, beberapa peneliti telah melakukan penelitian
terkait hal tersebut. Dalam suatu kesempatan, Bojanić (2014) dalam
penelitiannya menemukan bahwa pekerja wanita, mengekspresikan
motivasi kerja relatif rendah dibandingkan pekerja pria, sehingg berimbas
terhadap rendahnya kepuasan kerja diri mereka. Hal tersebut diakibatkan
karena aspek-aspek penunjang terhadap kepuasan kerja yang dirasakan
oleh mereka kurang terpenuhi di tempat mereka bekerja. Ketidakpuasan
kerja sebagai reaksi dari rendahnya motivasi kerja ini, terutama berkaitan
dengan manfaat kerja, pencapaian pribadi seperti promosi, kemajuan diri,
pengakuan orang lain, jumlah gaji dan juga tunjangan yang dirasakan oleh
pekerja wanita masih sangat terbatas dibandingkan dengan pekerja pria.
Oleh karena itu, kebanyakan dari pekerja wanita berpendapat bahwa
mereka tidak cukup dihargai berdasarkan pekerjaan yang mereka lakukan.
Berbeda dengan pekerja wanita, para pekerja pria jauh lebih termotivasi
untuk bekerja, serta lebih puas terhadap pekerjaan yang mereka lakukan.
Hal tersebut dikarenakan pekerja pria paling sering memegang posisi
penting dalam pekerjaan. Pada penelitian ini, masalah motivasi kerja dan
kepuasan kerja berdasarkan jenis kelamin berbasis pada paradigma
masyarakat dan sosial budaya atau terkait dengan status sosial perempuan
di masyarakat, yang lebih rendah dibandingkan dengan status sosial kaum
pria. Peneilitian yang dilakukan oleh Bojanić, berbeda dengan hasil
penelitian dari Edrak et al (2013). Dalam penelitiannya ditemukan bahwa,
motivasi diidentifikasi sebagai prediktor kepuasan kerja, dengan demikian,
19
jenis kelamin tidak dapat secara signifikan memengaruhi kepuasan kerja
dari karyawan. Dalam penelitiannya, Edrak mengemukakan juga bahwa
ketika perusahaan dapat menjaga kekuatan kepuasan kerja karyawannya,
maka setiap karyawan baik laki-laki maupun perempuan akan terlibat
dalam pekerjaan, sehingga pekerjaan yang dilakukan oleh setiap
karyawan, dilakukan dengan penuh kesungguhan.
Selain hubungan antara motivasi kerja dan jenis kelamin terhadap
kepuasan kerja yang penting untuk dilihat terkait dengan penelitian ini,
hubungan antara budaya organisasi dan jenis kelamin terhadap kepuasan
kerja juga penting untuk dilihat. Lok & Crawford (dalam, Belias &
Koustelios) dalam suatu kesempatan mengungkapkan bawa, saat
membicarakan tentang karakteristik demografi, Perbedaan yang signifikan
secara statistik tentunya akan ditemukan mengenai efek dari jenis kelamin
terhadap kepuasan kerja. Hal ini dikarenakan, karakteristik demografi
khususnya jenis kelamin dianggap memiliki efek yang positif terhadap
kepuasan kerja karyawan. Dengan demikian, jika budaya organisasi
tertentu cenderung memengaruhi kepuasan kerja karyawan, maka jenis
kelaminpun turut memengaruhi kepuasan kerja karyawan. Lebih lajut
dalam penelitian ini juga disimpulkan bahwa, dilihat dari budaya
organisasi yang menuntut persaingan yang kompetitif antara karyawan
laki-laki dan perempuan, maka kepuasan kerja, sebagai hasil dari budaya
organisasi yang kompetitif, juga akan dipengaruhi oleh jenis kelamin dari
setiap karyawannya.
Mengingat kepuasan kerja merupakan hal yang penting dalam
suatu organisasi sebagaimana telah dijelaskan pada bab ini, dimana
dengan menciptakan kepusan kerja dapat meningkatkan produktifitas
karyawan yang juga turut menentukan kemajuan suatu organisasi. Dari
20
penjelasan terebut, sebagai organisasi gereja, GPI Papua klasis Fakfak
terlihat mengalami masalah dalam hal kepuasan kerja, sedangkan
kepuasan kerja itu dapat dipengaruhi oleh motivasi kerja, budaya
organisasi dan jenis kelamin, sebagaimana telah dijelaskan oleh
penelitian-penelitian terdahulu. Dari hasil penelitian terdahulu telah
menyelidiki faktor-faktor tersebut secara terpisah, untuk itu penulis
tertarik untuk meneliti faktor-faktor tersebut secara bersamaan dalam
konteks yang berbeda. Maksud dari ketertarikan penulis ini adalah, untuk
melihat hubungan motivasi kerja dan budaya organisasi terhadap kepuasan
kerja ditinjau dari jenis kelamin pendeta GPI Papua klasis Fakfak.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang
diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Apakah ada
hubungan secara simultan antara motivasi kerja dan budaya organisasi
terhadap kepuasan kerja ditinjau dari jenis kelamin pada pendeta Gereja
Protestan Indonesia (GPI) di Papua Klasis Fakfak?.
Adapun petanyaan penelitian yang di ajukan antara lain sebagai
berikut :
1. Apakah ada hubungan antara motivasi kerja dan budaya organisasi
terhadap kepuasan kerja pada pendeta Gereja Protestan Indonesia
(GPI) di Papua Klasis Fakfak?
2. Apakah ada pengaruh interaksi antara motivasi kerja dan jenis
kelamin terhadap kepuasan kerja pada pendeta Gereja Protestan
Indonesia (GPI) di Papua Klasis Fakfak?
21
3. Apakah ada pengaruh interaksi antara budaya organisasi dan jenis
kelamin terhadap kepuasan kerja pada pendeta Gereja Protestan
Indonesia (GPI) di Papua Klasis Fakfak?
4. Apakah ada perbedaan kepuasan kerja ditinjau dari jenis kelamin
pendeta Gereja Protestan Indonesia (GPI) di Papua Klasis Fakfak.
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui hubungan moivasi kerja dan budaya organisasi
terhadap kepuasan kerja pada pendeta Gereja Protestan Indonesia (GPI) di
Papua Klasis Fakfak. Adapun tujuan secara rinci dalam penelitian ini yaitu
untuk mengetahui:
1. Hubungan antara motivasi kerja dan budaya organisasi terhadap
kepuasan kerja pada pendeta Gereja Protestan Indonesia (GPI) di
Papua Klasis Fakfak?
2. Pengaruh interaksi antara motivasi kerja dan jenis kelamin terhadap
kepuasan kerja pada pendeta Gereja Protestan Indonesia (GPI) di
Papua Klasis Fakfak?
3. Pengaruh interaksi antara budaya organisasi dan jenis kelamin
terhadap kepuasan kerja pada pendeta Gereja Protestan Indonesia
(GPI) di Papua Klasis Fakfak
4. Perbedaan kepuasan kerja ditinjau dari jenis kelamin pendeta Gereja
Protestan Indonesia (GPI) di Papua Klasis Fakfak
22
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan dua kontribusi.
Kontribusi pertama adalah kontribusi teori dan kotribusi kedua adalah
kontribusi praktis
1. Secara teori, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu
bukti empiris bahawa teori-teori motivasi kerja dan budaya organisasi
memiliki atau tidaknya hubungan terhadap kepuasan kerja, bisa di
terapkan didalam organisasi gereja. Hasil penelitian ini juga dapat
dijadikan sebuah informasi, referensi dan pertimbangan bagi
penelitian selanjutnya.
2. Kedua, kontribusi praktis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan kontribusi bagi gereja terkait pentingnya mengetahui
hasil kepuasan kerja pendeta dan memiliki atau tidaknya kepuasan
kerja pendeta pada organisasi dimana dia bekerja. Selanjutnya dapat
memberikan pengaruh terhadap pendeta dalam meningkatkan
kinerjanya di lapangan.