BAB I PENDAHULUAN -...

18
1 BAB I PENDAHULUAN Latar belakang penelitian merupakan dasar untuk menentukan layaknya penelitian tersebut dilakukan. Oleh karenanya, dalam Bab 1 ini, peneliti akan menyajikan fenomena apa sajakah yang melatarbelakangi peneliti untuk meneliti pengambilan keputusan berpisah dari perempuan korban kekerasan dalam berpacaran menggunakan kajian-kajian yang terdapat dalam sudut pandang Psikologi Transpersonal. Melalui latar belakang tersebut, peneliti kemudian dapat merumuskan masalah, tujuan, dan manfaat dari penelitian ini. A. LATAR BELAKANG Dalam fase perkembangan tertentu dalam kehidupan manusia, ketertarikan terhadap lawan jenis yang berujung pada hubungan dengan lawan jenis merupakan hal yang umum terjadi. Ketertarikan terhadap lawan jenis umumnya muncul pada saat individu memasuki fase perkembangan remaja. Soetjiningsih (2004), merangkum sebuah kesimpulan umum berdasarkan beberapa teori perkembangan, yaitu bahwa pada fase usia remaja akhir perilaku seksual yang dimiliki oleh individu secara umum sudah berkembang dalam bentuk hubungan personal yang dinamakan pacaran. Pacaran sendiri didefinisikan oleh Sternberg (1996) sebagai hubungan dekat seseorang dengan yang lain, yang didalamnya terdapat cinta yang bermuatan keintiman, nafsu seksual, dan komitmen. Menurut Lips (1988, dalam Samsi 2012), hubungan pacaran yang dijalani oleh remaja cenderung dimotivasi oleh kesenangan pemenuhan kebutuhan akan kebersamaan, keinginan mengenal lebih jauh pasangannya, keinginan menguji cinta, dan seks. Pernyataan

Transcript of BAB I PENDAHULUAN -...

Page 1: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13222/9/T2_832013018_BAB I.pdf · Dalam fase perkembangan tertentu dalam kehidupan manusia, ... Ketertarikan

1

BAB I

PENDAHULUAN

Latar belakang penelitian merupakan dasar untuk menentukan

layaknya penelitian tersebut dilakukan. Oleh karenanya, dalam Bab 1 ini,

peneliti akan menyajikan fenomena apa sajakah yang melatarbelakangi

peneliti untuk meneliti pengambilan keputusan berpisah dari perempuan

korban kekerasan dalam berpacaran menggunakan kajian-kajian yang

terdapat dalam sudut pandang Psikologi Transpersonal. Melalui latar

belakang tersebut, peneliti kemudian dapat merumuskan masalah, tujuan,

dan manfaat dari penelitian ini.

A. LATAR BELAKANG

Dalam fase perkembangan tertentu dalam kehidupan manusia,

ketertarikan terhadap lawan jenis yang berujung pada hubungan

dengan lawan jenis merupakan hal yang umum terjadi. Ketertarikan

terhadap lawan jenis umumnya muncul pada saat individu memasuki

fase perkembangan remaja. Soetjiningsih (2004), merangkum sebuah

kesimpulan umum berdasarkan beberapa teori perkembangan, yaitu

bahwa pada fase usia remaja akhir perilaku seksual yang dimiliki oleh

individu secara umum sudah berkembang dalam bentuk hubungan

personal yang dinamakan pacaran. Pacaran sendiri didefinisikan oleh

Sternberg (1996) sebagai hubungan dekat seseorang dengan yang lain,

yang didalamnya terdapat cinta yang bermuatan keintiman, nafsu

seksual, dan komitmen.

Menurut Lips (1988, dalam Samsi 2012), hubungan pacaran yang

dijalani oleh remaja cenderung dimotivasi oleh kesenangan

pemenuhan kebutuhan akan kebersamaan, keinginan mengenal lebih

jauh pasangannya, keinginan menguji cinta, dan seks. Pernyataan

Page 2: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13222/9/T2_832013018_BAB I.pdf · Dalam fase perkembangan tertentu dalam kehidupan manusia, ... Ketertarikan

2

senada mengenai motivasi berpacaran juga dikemukakan oleh Nisa

(2008), yaitu bahwa secara umum, alasan utama bagi seseorang untuk

berpacaran antara lain adalah untuk menikmati kebersamaan dengan

orang lain, kebutuhan penerimaan terhadap lawan jenis, kebutuhan

akan adanya rasa aman, serta kebutuhan untuk merasakan cinta dan

kasih sayang. Dalam penelitiannya, Nisa juga menemukan bahwa

hubungan pacaran dapat memiliki arti penting dan memberikan

kontribusi positif bagi individu. Menurut ulasan Nisa, umumnya

individu pada fase tertentu cenderung untuk mencoba menemukan

seseorang (pasangan) yang dapat mencintai dan dicintai.

Jika menilik ulasan Fromm (2015) cinta membantu individu untuk

memaknai hidup. Menurut Fromm, hidup dapat berlannjut dengan

penuh makna hanya bila manusia hidup dalam cinta, dan bahwa tanpa

cinta seorang individu akan merasa kesepian, terpisah dari masyarakat,

juga alam sekitar. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa

hubunganpacaran yang ideal seharusnya dapat membawa dampak

positif bagi individu. Namun halnya demikan, tidak jarang ditemui

hubungan-hubungan yang justru memberikan kerugian bagi individu

yang terlibat di dalamnya, salah satunya adalah hubungan pacaran

yang di dalamnya melibatkan tindak kekerasan.

Kekerasan dalam pacaran merupakan fenomena sosial yang dapat

menimpa siapa saja. Kekerasan dalam berpacaran (khususnya pada

remaja) dapat dialami oleh perempuan maupun laki-laki. Namun

halnya demikian, banyak anggapan bahwa perempuanlah yang lebih

rentan untuk menerima tindak kekerasan dalam berpacaran. Anggapan

tersebut muncul dikarenakan stigma ketimpangan kekuasaan laki-laki

Page 3: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13222/9/T2_832013018_BAB I.pdf · Dalam fase perkembangan tertentu dalam kehidupan manusia, ... Ketertarikan

3

dan perempuan. Perempuan dianggap mahkuk yang lebih lemah,

sehingga lebih mudah untuk terluka maupun dilukai.

Ferlita (2008) mengulas bahwa ketidakadilan dalam hal gender

(tuntutan peran yang melekat pada individu berdasarkan seks yang

dimiliki) selama ini sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

Seorang perempuan biasa dianggap sebagai makhluk yang lemah,

penurut, pasif, mengutamakan kepentingan laki-laki dan lain

sebagainya, sehingga dirasa pantas menerima perlakuan yang tidak

wajar atau semena-mena. Menurut Ferlita konstruksi sosial dalam

masyarakatlah (dalam hal ini masyarakat Indonesia) yang kemudian

menjadikan figur laki-laki terlihat mendominasi dalam suatu hubungan

romansa. Jika menilik hal tersebut, tidaklah heran jika ditemukan

angka kekerasan dalam berpacaran (KDP) pada perempuan yang

cukup tinggi.

Data yang dikemukakan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan

Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menunjukkan adanya

peningkatan angka Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) di

Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat. Dalam bagan, jumlah

kasus KTP dapat digambarkan dalam tabel berikut:

Tabel 1.1

*Sumber: Catatan Akhir Tahun Komnas Perempuan Tahun 2015

Page 4: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13222/9/T2_832013018_BAB I.pdf · Dalam fase perkembangan tertentu dalam kehidupan manusia, ... Ketertarikan

4

Dalam laporan tersebut, ditemukan bahwa dari seluruh kasus

kekerasan terhadap perempuan, kasus kekerasan dalam berpacaran

menduduki peringkat ke dua yaitu sebanyak 21%. Peringkat pertama

pada kasus KTP diduduki oleh kasus kekerasan terhadap istri (KTI),

yaitu sebanyak 59%. KTI telah diketahui sangat erat kaitannya dengan

KDP. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 75% kasus kekerasan pada

perempuan yang terjadi setelah menikah berawal juga dari kekerasan

yang diterima pada masa pacaran (Komnas Perempuan, 2013).

Selain sangat erat kaitannya dengan kasus-kasus kekerasan dalam

rumah tangga, kekerasan dalam berpacaran sering kali juga berkaitan

erat dengan kasus kehamilan yang tidak diinginkan. Kehamilan yang

tidak diinginkan (KTD) yang terjadi pada remaja yang berpacaran

sering kali berakhir dengan kelahiran anak dengan orang tua tunggal,

pernikahan dini, ataupun aborsi. Data dari World Health Organization

(WHO) menunjukan bahwa 38% dari kehamilan di seluruh dunia

merupakan kehamilan tidak diinginkan. Disamping itu, dari sekitar 80

juta kehamilan tidak diinginkan yang terjadi per tahun, sekitar 4 juta

jiwa diantaranya berakhir dengan keguguran, 42 juta diantaranya

berakhir dengan aborsi, dan 34 juta jiwa kelahiran yang tidak

diharapkan (WHO, 2013).

Sementara itu di Indonesia sendiri, berdasarkan hasil riset yang

dilakukan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

(2013) setiap tahunnya ditemukan sekitar 20,9% remaja yang

mengalami kehamilan dan kelahiran sebelum menikah. Pada tahun

2013 ditemukan bahwa 41,9% dari total jumlah pernikahan pada

rentan usia 15-19 tahun disebabkan karena hamil di luar pernikahan.

Sedangkan angka aborsi diperkirakan mencapai 2,5 juta jiwa

Page 5: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13222/9/T2_832013018_BAB I.pdf · Dalam fase perkembangan tertentu dalam kehidupan manusia, ... Ketertarikan

5

pertahunnya, yang sekitar 800 ribu kasus diantaranya dilakukan oleh

remaja.Angka tersebut akan lebih mencengangkan jika ditambah

dengan jumlah orang tua tunggal yang terjadi akibat kehamilan yang

tidak diinginkan.

Jika menilik angka-angka yang memprihatinkan tersebut, kasus-

kasus KDP sudah selayaknya untuk mendapat perhatian khusus.

Namun halnya demikian berbeda dengan kasus KTI, tidak ada payung

hukum yang secara khusus menaungi korban dengan status pacar.

Undang-undang PKDRT nomor 23 Tahun 2004 tidak dapat diterapkan

dalam kasus-kasus KDP. Payung hukum yang lain kurang memadai,

dan terbatas pada pelaku kekerasan secara umum, tidak spesifik.

Berbagai model penanganan kasus kekerasan yang diupayakan

pemerintah yang digunakan untuk menangani kasus KDP sebagian

besar hanya berupaya untuk memberikan sanksi hukum terhadap

pelaku kekerasan dan penanganan fisik bagi korbannya. Mengingat hal

tersebut, penting untuk terus dilakukan penyusunan model

penanggulangan KDP yang holistik. terutama yang berbasis

psikologis. Hal ini dikarenakan selain berdampak secara fisik, kasus

KDP juga dapat berdampak bagi psikologis dan kehidupan sosial

korban. Dan seperti yang kita ketahui, dampak pada psikis korban

sering kali berlangsung lebih lama dibandingkan dengan dampak yang

terjadi pada fisik.

Safitri dan Sama’I (2013) mengulas bahwa secara fisik, dampak

yang biasa terjadi pada korban KDP dibagi menjadi kategori luka

ringan dan luka berat. Luka ringan yang sering terjadi antara lain

adalah lebam, memar, luka, lecet, patah tulang. Sedangkan luka berat

yang terjadi sering kali mengakibatkan cacat permanen sampai

Page 6: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13222/9/T2_832013018_BAB I.pdf · Dalam fase perkembangan tertentu dalam kehidupan manusia, ... Ketertarikan

6

kematian. Secara seksual, KDP sering kali mengakibatkan trauma,

perasaan terkejut, mati rasa, disorganisasi, depresi, takut dan cemas

terkait dengan hubungan seksual. Sedangkan dampak psikologis yang

sering terjadi akibat KDP antara lain adalah depresi, stres, kecemasan,

sulit berkonsentrasi, kecenderungan bunuh diri, memiliki masalah

tidur, dan merasa harga dirinya rendah. Disamping berdampak dari sisi

fisik, seksual, dan psikologis, KDP juga berdampak secara sosial.

Dampak sosial yang sering dialami oleh korban antara lain adalah

korban mulai menutup diri dari pergaulan yang akhirnya membuat

korban enggan pergi dari pasangan yang merupakan pelaku kekerasan

dalam berpacaran.

Meskipun banyak dampak negatif yang terjadi pada diri korban,

berbagai penelitian menemukan bahwa perempuan korban KDP

cenderung enggan meninggalkan pasangan padahal sudah

mendapatkan tindak kekerasan (Bell dkk., 2007, dalam Collins 2011;

Jessica, 2007; Safitri & Sama’I, 2013; Nataza, 2014; Azizah &

Syaiful, 2014). Bahkan banyak perempuan korban kekerasan yang

memilih untuk meninggalkan pasangan kemudian kembali ke

pasangan tersebut berkali-kali terlebih dahulu sebelum akhirnya benar-

benar meninggalkannya secara permanen (Bell dkk., 2007, dalam

Collins 2011).

Banyaknya korban yang cenderung bertahan dalam hubungan yang

di dalamnya terdapat KDP sungguhlah sebuah paradoks. Bagaimana

individu justru bertahan dalam sebuah keadaan dimana dia disakiti,

dimana dia menerima perlakuan tidak baik, dimana dia dilecehkan.

Selain itu, keadaan tersebut menjadi dilematika tersendiri bagi

penanganan korban KDP. Akan sulit melakukan penanganan terhadap

Page 7: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13222/9/T2_832013018_BAB I.pdf · Dalam fase perkembangan tertentu dalam kehidupan manusia, ... Ketertarikan

7

korban, jika korban sendiri enggan lepas dari hubungan dimana dia

memperoleh kekerasan. Ketika korban pulih dia akan sangat mudah

untuk kembali terluka, atau yang lebih parah lagi adalah korban tidak

akan pernah pulih karena dia terus bertahan dalam hubungan yang

membuatnya terluka.

Alasan perempuan korban kekerasan bertahan dalam hubungan

yang di dalamnya terdapat KDP cukup bervariasi. Azizah dan Syaiful

(2014) menemukan bahwa korban yang tetap bertahan dengan

pasangannya meskipun mengalami KDP beralasan bahwa mereka

takut kehilangan pasangannya, yakin bahwa suatu saat perilaku

pasangannya akan berubah, dan percaya diri bahwa mereka

dibutuhkan oleh pasangannya. Sedangkan penelitian lainnya

menemukan bahwa korban KDP sering kali beralasan bahwa mereka

menganggap tindakan kekerasan yang dilakukan pelaku merupakan

sikap protektif dan rasa sayang, dan/atau beralasan bahwa mereka

memiliki harapan dan kepercayaan bahwa pelaku kekerasan akan

berubah menjadi tidak melakukan kekerasan lagi nantinya (Chung,

2007; Sambhara dan Cahyanti, 2013).

Faktor-faktor yang membuat perempuan korban KDP sukar lepas

dari pasangannya juga bermacam-macam, diantaranya adalah (Arriaga,

2004; Bell dkk. 2007, dalam Collins 2011; Edwards, 2011, dalam

Sambhara dan Cahyanti, 2014; Nataza, 2014; Sambhara dan Cahyanti,

2014); (1) pengaruh masa lalu, (2) komitmen dan kelekatan emosional,

(3) ketergantungan secara ekonomi, (4) durasi berpacaran, (5) power

dominasi pelaku kekerasan, (6) ketakutan memperoleh kekerasan yang

lebih dari sekarang, (7) kurangnya dukungan dari keluarga ataupun

komunitas.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13222/9/T2_832013018_BAB I.pdf · Dalam fase perkembangan tertentu dalam kehidupan manusia, ... Ketertarikan

8

Pengaruh masa lalu yang dimaksud disini adalah bahwasanya

korban yang bertahan dalam KDP mungkin pernah atau sudah biasa

mengalami kekerasan saat anak-anak (Edwards, 2011, dalam

Sambhara dan Cahyanti, 2014). Kekerasan yang sudah biasa

diterimanya sedari masa kanak-kanak membuat korban mampu

menoleransi perlakuan kasar. Selain itu, faktor komitmen dan

kelekatan emosional juga ternyata memegang peran yang sangat kuat

dalam penerimaan korban terhadap kekerasan yang dialaminya

(Arriaga, 2004). Rusbult dan Martz (1995, dalam Collins, 2011)

menemukan bahwa komitmen dapat mewakili bagaimana individu

puas atau tidak dalam hubungan. Hal tersebut dapat dilihat dari

perempuan yang mengalami tindak kekerasan yang lebih ringan lebih

memiliki perasaan positif terhadap pasangan dan menjadi lebih

berkomitmen dalam hubungan. Rusbult dan Martz juga mengulas

bahwa komitmen perempuan korban KDP pada hubungan akan

semakin tinggi jika korban memiliki kualitas pilihan alternatif yang

rendah, situasi keuangan yang tidak baik, dan kurang memiliki fasilitas

penunjang pribadi. Hal tersebut juga sekaligus menjawab bagaimana

faktor ekonomi berperan dalam bagaimana korban akhirnya bertahan

dalam KDP. Faktor ketergantungan ekonomi biasanya terjadi pada

korban yang secara ekonomi ditunjang oleh pasangan (Bell dkk. 2007,

dalam Collins 2011). Komitmen dan keterikatan emosional terbentuk

dari bagaimana korban telah mengalokasikan waktu, tenaga, emosi,

persahabatan dengan teman, dan bagaimana subjek telah membuka diri

demi hubungan yang telah dijalaninya (Collins, 2011). Oleh karena itu,

fakor durasi dalam berpacaran juga cukup berpengaruh dalam

bagaimana korban bertahan dalam KDP. Menurut penemuan terkait

Page 9: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13222/9/T2_832013018_BAB I.pdf · Dalam fase perkembangan tertentu dalam kehidupan manusia, ... Ketertarikan

9

KDP, makin lama hubungan dijalin, makin susah korban lepas dari

hubungan tersebut (Sambhara dan Cahyanti, 2014)

Faktor lain seperti power dominasi pelaku terhadap korban juga

menjadi hal yang membuat korban sukar lepas dari pasangan. Menurut

Henton (dalam Sambhara dan Cahyanti, 2014) penemuan-penemuan

sebelumnya menemukan indikasi bahwa kekerasan yang dilakukan

oleh pelaku digunakan untuk menunjukkan bahwa posisi pelaku lebih

dominan dalam hubungan, juga untuk membuktikan bahwa pelaku

mampu mengontrol perilaku korban. Dengan adanya dominasi

tersebut, korban cenderung merasa sulit untuk bersikap asertif dalam

hubungannya dan menimbulkan perasaan tak berdaya untuk

meninggalkan hubungan. Perasaan tidak berdaya tersebut juga yang

sering kali memunculkan faktor lain yang menghalangi perempuan

korban KDP untuk berani meninggalkan hubungan, yaitu ketakutan

memperoleh kekerasan yang lebih dari sekarang. Bell dkk. (2007,

dalam Collins 2011) mengulas bahwa rasa takut akan memperoleh

pasangan yang lebih buruk, dan ketakutan ketika memutuskan

berpisah pelaku KDP akan bersikap lebih buruk kepada korban

mendorong perempuan korban KDP untuk tetap bertahan. Ketakutan

dan perasaan tidak berdaya pada diri korban terus akan semakin besar

jika korban kurang mendapat dukungan dari keluarga ataupun

komunitas. Menurut Bell, perempuan korban KDP yang kurang

mendapat dukungan dari keluarga dan komunitas lebih sukar

meninggalkan pelaku.

Mayoritas korban yang bertahan dalam KDP bukanlah individu

yang memang senang diberi kekerasan dan bertahan karena ingin

untuk diberi kekerasan, namun ia membuat pilihan sendiri untuk

Page 10: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13222/9/T2_832013018_BAB I.pdf · Dalam fase perkembangan tertentu dalam kehidupan manusia, ... Ketertarikan

10

bertahan walaupun ia disakiti (Lewis & Fremouw, 2001). Menurut

berbagai perempuan korban KDP, pilihan paling aman baginya adalah

untuk tetap bersama dengan pasangannya. Bell dkk. (2007, dalam

Collins 2011) secara unik menemukan bahwa ternyata resiko psikis

dan fisik tidak hanya mengincar perempuan korban KDP yang

bertahan dalam hubungan, namun juga yang memutuskan untuk

berpisah. Perempuan korban KDP banyak memperoleh dampak negatif

dalam jangka pendek karena meninggalkan hubungan. Dampak negatif

yang terjadi antara lain adalah posttraumatic stress disorder¸ masalah

terhadap disosiasi, ganguan tidur, dan self-efficacy yang rendah.

Berdasarkan wawancara awal peneliti pada 6 perempuan korban

KDP yang terus menerus kembali kepada pelaku, selain resiko psikis

ditemukan bahwa juga terdapat resiko fisik yang juga mengintai

korban. Ancaman-ancaman dari pelaku KDP yang telah dialami

korban sejak masa berpacaran sering kali juga terjadi pada waktu

proses korban mengambil keputusan untuk berpisah, bahkan terkadang

lebih parah. Disamping itu, seperti yang telah disinggung sebelumnya,

dampak sosial yang dialami korban KDP seperti ketakutan tidak bisa

mendapat pasangan yang mau menerimanya, ataupun ketergantungan

dengan pelaku akibat pergaulan yang terlanjur tertutup akan menjadi

pertimbangan yang berat untuk mengambil keputusan berpisah.

Keputusan perempuan korban KDP untuk berpisah merupakan hal

yang berat. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika lebih jarang

ditemui perempuan korban KDP yang berhasil lepas dari hubungan

dibandingkan dengan yang memilih untuk bertahan. Padahal fase

perpisahan korban dari KDP bisa dikatakan sebagai fase penting bagi

diri korban untuk kemudian dapat memulai kehidupannya yang baru.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13222/9/T2_832013018_BAB I.pdf · Dalam fase perkembangan tertentu dalam kehidupan manusia, ... Ketertarikan

11

Bell dkk. (2007, dalam Collins 2011) mengategorikan perempuan

korban KDP ke dalam tiga jenis keputusan yang diambil; mereka yang

memilih untuk benar-benar lepas dari pelaku KDP, mereka yang

berusaha lepas namun berkali-kali kembali kepada pelaku KDP, dan

mereka yang memutuskan bertahan dalam hubungan bersama pelaku

KDP. Dalam penelitiannya Bell dkk. menemukan bahwa perempuan

korban KDP yang berhasil mengambil keputusan untuk meninggalkan

pasangannya selama setidaknya 3 bulan dan kemudian selama setahun

berikutnya tidak melakukan kontak dengan mantan pasangannya,

memiliki tingkat kesejahteraan fisik dan psikis yang jauh lebih baik.

Hal yang menarik dari penelitian Bell tersebut adalah ternyata

perempuan korban KDP yang mencoba meninggalkan pasangan

namun kemudian berkali-kali kembali ke pasangannya terkena dampak

psikis dan fisik yang lebih buruk dibandingkan dengan mereka yang

konsisten bertahan. Terkait dengan penanganan korban KDP,

ditemukan berbagai kesulitan dikarenakan korban memilih bertahan,

atau terus kembali lagi ke pelaku setelah mencoba berpisah.

Bagaimana perempuan korban KDP terus bertahan dengan pelaku

ataupun terus kembali lagi ke pelaku setelah mencoba berpisah

sungguh membuat penanganan menjadi tidak efektif, bahkan sering

kali gagal. Hasil wawancara dengan beberapa pihak yang terlibat

dalam penanganan kasus kekerasan dalam berpacaran, yaitu staff

Badan Pemberdayaan Kota Salatiga, Staff Dinas Sosial Salatiga, juga

berdasarkan pengalaman peneliti dalam penanganan kasus-kasus KDP

di tim pengabdian masyarakat Pusat Penelitian dan Studi Gender

Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, menunjukkan bahwa

beberapa perempuan korban KDP jarang ada yang menyadari bahwa

Page 12: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13222/9/T2_832013018_BAB I.pdf · Dalam fase perkembangan tertentu dalam kehidupan manusia, ... Ketertarikan

12

perlakuan yang diperolehnya masuk dalam kategori KDP sebelum

mengalami luka yang cukup parah. Berbagai penanganan yang

dilakukan juga terkadang menguras energi, waktu, emosi, dan materi

yang sangat banyak ketika korban kembali lagi kepada pelaku KDP.

Ketika korban memutuskan berpisah banyak konsekuensi yang harus

ditanggung dan dijalankan termasuk guna memulihkan korban. Namun

ketika korban kembali kepada pelaku KDP, maka proses pemulihan

yang semula mulai terjadi pada saat korban berpisah sering kali

menjadi sia-sia.

Dengan sedikitnya perempuan korban KDP yang berhasil untuk

benar-benar berpisah dari pasangan, padahal hal tersebut sangat

penting dilakukan agar korban mencapai kesejahteraan, maka perlu

kajian khusus mengenai hal tersebut untuk dapat digunakan menjadi

prototype dalam menyusun model penanggulangan KDP yang lebih

tepat sasaran. Tinjauan terhadap faktor-faktor apa sajakah yang

mendorong individu sanggup memutuskan benar-benar berpisah dari

pasangan, bagaimana proses pengambilan keputusan yang dilakukan

individu untuk berpisah, dan hal-hal apa sajakah yang memampukan

individu menjaga komitmen dari keputusannya tersebut untuk tidak

kembali ke pasangan sangat penting untuk dikaji.

Atwater dan Duffy (2004) menjelaskan bahwa ketika individu

diharuskan mengambil keputusan yang penting, maka individu akan

melakukan pertimbangan mental yang lebih berat dibandingkan ketika

harus mengambil keputusan sehari-hari yang ringan. Pilihan yang

berat akan membawa individu ke dalam penderitaan mental yang

memaksa individu untuk mempertimbangkan setiap konsekuensi yang

akan terjadi dari pilihannya, bahkan konsekuensi yang terjadi ketika

Page 13: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13222/9/T2_832013018_BAB I.pdf · Dalam fase perkembangan tertentu dalam kehidupan manusia, ... Ketertarikan

13

individu tersebut menunda mengambil keputusan. Ketika dihadapkan

pada pilihan hidup yang penting, individu akan sadar bahwa

pengambilan keputusan perlu dilakukan dan menjadi sebuah

kebutuhan. Pengambilan keputusan yang demikian sering kali diawali

dengan fase krisis, ataupun justru malah menempatkan individu pada

fase krisis dalam hidupnya. Hal yang sama juga cenderung terjadi pada

perempuan korban KDP. Edwards dkk. (2011, dalam Sambhara dan

Cahyanti, 2014) menemukan kasus-kasus khusus dimana perempuan

korban KDP mengalami kesulitan lebih tinggi dalam membuat

keputusan untuk berpisah, yang dikarenakan Self-esteem yang rendah

atau penggunaan coping stress yang tidak tepat.

Meskipun krisis-krisis dalam kehidupan individu sering kali

identik dengan masa-masa keterpurukan, krisis-krisis yang dialami

individu ternyata juga dapat menjadi bagian atau bahkan pemicu

kebangkitan spiritual seseorang (Yulianti, 2015). Menurut Taylor dkk.

(1997, dalam Sipayung, 2015) krisis dan perubahan dapat

meningkatkan kedalaman spiritual seseorang. Spiritualitas sendiri

lebih lanjut menurut Taylor sangat dipengaruhi oleh latar belakang

keluarga, etnik, dan budaya. Seperti yang terjadi pada masyarakat

Indonesia misalnya, sedari kecil agama –yang merupakan hal yang

sering kali dilekatkan dengan spiritualitas, telah diwariskan sedari kita

lahir beserta nilai-nilainya. Warisan nilai-nilai tersebut yang kemudian

juga memengaruhi perilaku masyarakat (ataupun individu) dalam

kesehariannya, misalnya saja perilaku berdoa. Dalam kehidupan

keagamaan, manusia secara turun temurun berusaha memahami

tentang Tuhan, dan hubungan manusia dengan Tuhan, yang mereka

Page 14: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13222/9/T2_832013018_BAB I.pdf · Dalam fase perkembangan tertentu dalam kehidupan manusia, ... Ketertarikan

14

anggap sebagai sosok transenden atau sosok yang melampaui batas

kemampuan manusia.

Dapat dilihat bahwa dalam masa-masa krisis, banyak diantara kita

seringkali melakukan perenungan, refleksi, juga memohon bantuan

kepada Tuhan. Dalam berbagai keputusan yang dianggap cukup

krusial seperti keputusan untuk memilih sekolah, keputusan dalam

memilih pekerjaan, dan keputusan untuk memilih pasangan, banyak

anjuran untuk kita merenung, berefleksi, berdoa, bahkan bermeditasi

atau bersemedi. Dengan melakukan ritual tersebut, diharapkan

individu dapat mengambil keputusan yang lebih baik, ataupun

keputusan yang tepat.

Wibowo (2008) menuturkan bahwa pengalaman spiritual dapat

membuat individu menjadi lebih matang, membimbing individu

menuju pertumbuhan kepribadian yang lebih besar, dan fungsi lebih

baik. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika terdapat orang-

orang yang berusaha mengejar atau mendapatkan pengalaman

spiritual. Setiap tahunnya berbondong-bondong pergi Umrah, Haji,

melakukan meditasi, melakukan refleksi atau pemaknaan diri, bahkan

bersemedi di berbagai tempat yang di anggap sakral. Beribu-ribu orang

datang ke tempat ibadah, ke sosok yang dianggap dapat

membimbingnya secara spiritual, ataupun melakukan pemaknaan

melalui alam oleh dirinya sendiri.

Pengalaman yang disebabkan oleh pengalaman atau kebangkitan

spiritual, sering kali disebut Kedaruratan Spiritual. Kedaruratan

spiritual dalam psikologi merupakan salah satu konsep dalam kajian

Psikologi Transpersonal. Menurut Yulianti (2015) Secara etimologi,

transpersonal sendiri berakar dari kata trans dan personal. Trans

Page 15: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13222/9/T2_832013018_BAB I.pdf · Dalam fase perkembangan tertentu dalam kehidupan manusia, ... Ketertarikan

15

artinya di atas (beyond, over) dan personal adalah diri. Sehingga dapat

dikatakan Transpersonal membahas atau mengkaji pengalaman di luar

batas diri, seperti halnya pengalaman-pengalaman spiritual. Sedangkan

menurut John Davis (2003), psikologi transpersonal bisa diartikan

sebagai ilmu yang menghubungkan psikologi dengan spiritualitas.

Dengan adanya kematangan dan fungsi yang lebih baik yang

diperoleh dari pengalaman spiritual seperti yang dituturkan tadi oleh

Wibowo, maka dalam proses pengambilan keputusannya individu

dapat melakukan evaluasi terhadap alternatif ataupun pilihan yang dia

miliki dengan lebih baik, serta menjalani keputusan tersebut dengan

lebih baik. Mengingat hal tersebut, menjadi sangat menarik jika

mengkaji keputusan perempuan korban KDP dengan sudut pandang

Psikologi Transpersonal, terutama korban yang akhirnya berhasil

benar-benar lepas dan berpisah dari pelaku. Kajian terhadap keputusan

berpisah dari perempuan korban KDP yang awalnya sempat bertahan

ataupun gagal berpisah dari pasangan (karena terus kembali ke

pasangan) namun kemudian akhirnya berhasil untuk benar-benar

meninggalkan pelaku, akan sangat bermanfaat bagi penyusunan model

penanggulangan KDP.

Berdasarkan uraian tersebut, peneliti merasa penting untuk melihat

bagaimana proses pengambilan keputusan berpisah pada perempuan

korban KDP. Kajian Psikologi Transpersonal, akan sangat membantu

melihat keputusan korban secara lebih spesifik, mendalam, dan

kontekstual. Dengan mengetahui hal tersebut, penyusunan model

penanggulangan KDP yang selama ini kurang efektif akibat banyaknya

korban yang cenderung terus bertahan dalam kekerasan ataupun

berkali-kali kembali ke pasangan, akan menjadi lebih tepat sasaran.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13222/9/T2_832013018_BAB I.pdf · Dalam fase perkembangan tertentu dalam kehidupan manusia, ... Ketertarikan

16

Lokasi penelitian ini sendiri adalah di area Jawa Tengah

(Karanganyar, Surakarta, Salatiga). Pemilihan lokasi penelitian

tersebut dikarenakan beberapa alasan yang antara lain adalah tinggi

dan terus meningkatnya kasus KTP yang di dalamnya terdapat KDP di

Jawa Tengah. Data Kasus KTP yang terjadi di Jawa Tengah

didominasi oleh kasus KDRT dan KDP (Lestariyanti, Aktivis LRC-

KJHAM, Koran Tempo, 1 Desember 2015), yaitu dengan adanya 201

kasus dengan 201 korban dan 94 kasus kekerasan dalam pacaran

dengan korban yang lebih banyak yaitu 274 korban, selama periode

November 2014-Oktober 2015. Jawa Tengah dinyatakan tengah

berada dalam situasi darurat penyelamatan perempuan dari kasus

kekerasan (Ketua KPK2GBA, Koran Tempo, 1 Desember 2015).

B. RUMUSAN MASALAH

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah gambaran kekerasan dalam berpacaran pada

kasus yang pernah dialami oleh perempuan korban KDP

yang menjadi subjek penelitian?

2. Bagaimanakah gambaran proses pengambilan keputusan

perempuan korban KDP untuk berpisah dari pasangan dalam

kajian Psikologi Transpersonal?

C. TUJUAN PENELITIAN

Terkait dengan rumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan

untuk;

1. Memberikan gambaran kekerasan dalam berpacaran pada

kasus yang pernah dialami oleh perempuan korban KDP

yang menjadi subjek penelitian?

Page 17: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13222/9/T2_832013018_BAB I.pdf · Dalam fase perkembangan tertentu dalam kehidupan manusia, ... Ketertarikan

17

2. Memberikan gambaran proses pengambilan keputusan

perempuan korban KDP untuk berpisah dari pasangan dalam

kajian Psikologi Transpersonal?

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Secara teoritis

a. Dalam kajian keilmuan, hasil penelitian ini diharapkan dapat

memberikan kontribusi dalam bidang psikologi dan dapat

menjadi referensi untuk hal-hal yang terkait dengan kekerasan

terhadap perempuan secara umum dan kekerasan dalam

berpacaran (yang diterima perempuan) secara khusus, dan

proses pengambilan keputusan khususnya dalam kajian

Psikologi Transpersonal.

b. Dan data yang nantinya diperoleh dengan sistematika

penelitian ilmiah ini dapat menjadi referensi untuk penelitian

selanjutnya mengenai topik-topik yang terkait dengan

kekerasan terhadap perempuan secara umum dan kekerasan

dalam berpacaran (yang diterima perempuan) secara khusus,

maupun proses pengambilan keputusan khususnya dalam

kajian Psikologi Transpersonal.

2. Secara praktis

a. Perempuan korban kekerasan dalam berpacaran untuk dapat

menjadikan kasus yang disajikan dalam penelitian berikut

sebagai model/prototype langsung guna lepas dari hubungan

berpacaran yang didalamya terdapat kekerasan (lepas dari

pasangan pelaku kekerasan dalam berpacaran)

b. Keluarga maupun orang terdekat korban ataupun pelaku

kekerasan dalam berpacaran untuk dapat menggunakan kasus

Page 18: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13222/9/T2_832013018_BAB I.pdf · Dalam fase perkembangan tertentu dalam kehidupan manusia, ... Ketertarikan

18

yang disajikan dalam penelitian berikut sebagai

model/prototype langsung yang dapat digunakan untuk

membantu korban lepas dari hubungan berpacaran yang

didalamya terdapat kekerasan.

c. Pembaca hasil penelitian ini diharapkan untuk tidak menjadi

pelaku maupun korban dari kekerasan dalam berpacaran.

d. Lembaga (Sekolah, Gereja, Biro Konseling, dsb) yang

melakukan penanggulangan korban kekerasan dalam

berpacaran agar dapat menggunakan hasil penelitian ini

sebagai bagian dari pemetaan masalah ataupun referensi dalam

menyusun intervensi ataupun model penanggulangan.