BAB I PENDAHULUAN - eprints.ums.ac.ideprints.ums.ac.id/60829/3/BAB I.pdf · adanyakontribusi...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN - eprints.ums.ac.ideprints.ums.ac.id/60829/3/BAB I.pdf · adanyakontribusi...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hipertensi merupakan faktor risiko utama penyebab penyakit jantung,
stroke, dan penyakit ginjal. Prevalensi hipertensi pada lansia meningkat sekitar
65% dari populasi selama 7 dekade dengan seiringnya pertambahan usia.
Bertambahnya usia menyebabkan berbagai masalah yang diikuti adanya disfungsi
beberapa organ seperti penurunan fungsi organ, perubahan status mental,
penurunan status gizi yang kesemuanya memiliki potensi mengganggu pasien
ketika menerima terapi obat sehingga akan mempengaruhi keselamatan dan
kualitas hidup pasien (Baldoni et al., 2010).
Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan di RSUD Dr. Soetomo
menunjukkan bahwa dari 350 pasien yang menderita hipertensi terjadi pada
kisaran usia yang baru memasuki usia geriatri yaitu 66 – 74 tahun sebesar 50,9%.
Adanya masalah terkait obat (Drug Related Problems) pada pasien juga
menunjukkan bahwa dalam satu pasien yang diberikan obat antihipertensi dapat
mengalami >1 Drug Related Problems (DRPs). Hasil identifikasi dari kasus
didapatkan berbagai DRPs yang meliputi tidak tepat pemilihan obat (1,4%),
ketidaksesuaian dosis dan frekuensi pemberian (0,3%), efek samping obat yang
ditimbulkan (2,1%), potensi interaksi obat (62%), dan >2/3 dari pasien tidak
mencapai target tekanan darah sesuai dengan rekomendasi dari JNC VII dan AHA
(Supraptia et al., 2014).
Terapi obat antihipertensi pada pasien usia lanjut yang tepat dapat
mengurangi morbiditas dan mortalitas. Pada penelitian secara acak pada pasien
dengan usia >60 tahun diberikan Angiotensin Converting Enzyme Inhibitors
(ACEI) atau Calcium Channel Blockers (CCB) secara signifikan dapat
mengurangi kejadian kardiovaskular dan kematian. Sedangkan, pada pasien usia
80 tahun atau lebih dengan tekanan darah >160 mmHg atau lebih diberikan terapi
diuretik dan ACEI secara signifikan dapat dikaitkan menurunkan semua penyebab
2
kematian (21%), stroke tingkat fatal atau nonfatal (30%), dan pengurangan tingkat
gagal jantung (64%) (Simces et al., 2012).
Evaluasi penggunaan obat yang rasional dapat diterapkan untuk
mendapatkan pengobatan yang sesuai bagi pasien usia lanjut usia. Dalam
evaluasinya pengobatan rasional memiliki beberapa kriteria, yaitu tepat indikasi,
tepat pasien, tepat obat, dan tepat dosis dengan didasarkan pada JNC VIII dan
keberhasilan terapinya dilihat pada tercapainya target tekanan darah pasien
(Sumawa et al., 2015).
Berdasarkan latar belakang diatas, mendorong penelitian ini untuk
dilakukan evaluasi terapi penggunaan obat antihipertensi pada pasien geriatri agar
nantinya dapat memberikan manfaat pengobatan yang sebesar-besarnya dengan
efek samping minimal sehingga pasien dapat tercapai target terapi yang optimal.
Alasan memilih RSUD Dr. Moewardi karena rumah sakit ini merupakan salah
satu rumah sakit terbesar di Jawa Tengah sehingga banyak digunakan sebagai
rujukan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian terkait pemberian terapi di
RSUD Dr. Moewardi untuk mengetahui seberapa besar tingkat kerasionalan
dalam memberikan terapi ke pasien.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana gambaran penggunaan obat antihipertensi pada pasien geriatri di
instalasi rawat inap RSUD Dr. Moewardi Surakarta tahun 2016?
2. Bagaimana ketepatan penggunaan obat antihipertensi pada pasien geriatri di
instalasi rawat inap RSUD Dr. Moewardi Surakarta tahun 2016 berdasarkan
parameter tepat indikasi, tepat pasien, tepat obat, dan tepat dosis?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui profil penggunaan obat antihipertensi pada pasien geriatri di
instalasi rawat inap RSUD Dr. Moewardi Surakarta tahun 2016.
3
2. Mengetahui ketepatan penggunaan antihipertensi berdasarkan tepat indikasi,
tepat pasien, tepat obat, dan tepat dosis pada pasien geriatri di instalasi
rawat inap RSUD Dr. Moewardi Surakarta tahun 2016.
D. Tinjauan Pustaka
1. Geriatri
Proses penuaan tentu saja merupakan realitas biologis yang memiliki
dinamika tersendiri dan sebagian besar berada di luar kendali manusia. Pada
umumnya, untuk merujuk pada populasi yang lebih tua usia lebih dari 60 tahun
dinyatakan sebagai awal usia tua. Hal ini juga dimaknai secara sosial karena
dalam beberapa kasus ada penurunan fisik yang signifikan dalam menentukan usia
tua yang terkait dengan penurunan fungsi peran sosial. Adanya penurunan
fungsional yang menurun seiring bertambahnya usia juga dapat menyebabkan
meningkatnya kerentanan (WHO, 2002).
2. Hipertensi
a. Definisi
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah suatu keadaan yang
menunjukkan adanya peningkatan tekanan darah sistolik ≥140 mmHg dan tekanan
darah diastolik ≥90 mmHg pada dua kali pengukuran berturut-turut dengan selang
waktu lima menit dalam keadaan cukup istirahat/tenang (Kemenkes RI, 2014).
Hipertensi adalah penyakit umum yang didefinisikan sebagai kejadian
peningkatan tekanan darah arteri secara terus-menerus (Dipiro et al., 2008).
Hipertensi adalah kondisi umum yang terlihat dalam perawatan primer dan dapat
mengarah ke berbagai macam penyakit seperti infark miokard, stroke, gagal
ginjal, dan kematian jika tidak terdeteksi dini dan diobati dengan tepat (James et
al., 2014).
4
b. Etiologi dan Patofisiologi
1) Etiologi
Menurut Dipiro et al (2008), pada kebanyakan pasien, penyebab hipertensi
esensial atau primer tidak diketahui. Jenis hipertensi ini tidak dapat
ddisembuhkan, tetapi masih bisa dikendalikan. Pada sebagian kecil pasien
mengalami hipertensi sekunder yang penyebabnya sudah diketahui dari berbagai
penyakit yang menyertai atau obat-obat tertentu, tetapi hipertensi jenis ini
berpotensi dapat disembuhkan.
a) Hipertensi Esensial / Primer
Hipertensi jenis ini diderita oleh lebih dari 90% kasus pasien yang di
diagnosa hipertensi dan hipertensi primer dapat menyebabkan patogenenesis.
Adanya faktor genetik merupakan faktor yang paling mungkin berpengaruh dalam
perkembangan terjadinya hipertensi ini.
b) Hipertensi Sekunder
Kurang dari 10% pasien memiliki hipertensi sekunder karena kemungkinan
hal ini dapat disebabkan oleh salah satu penyakit atau obat-obatan yang berpotensi
dapat meningkatkan tekanan darah. Pada sebagian besar kasus ini, disfungsi ginjal
akibat penyakit ginjal kronis parah atau penyakit renovaskular adalah penyebab
hipertensi sekunder yang paling umum. Obat-obat tertentu, baik secara langsung
atau tidak langsung dapat menyebabkan hipertensi atau memperburuk hipertensi
dengan meningkatkan tekanan darah. Jika penyebab sekunder diidentifikasi
dengan memnghentikan obat atau mengobati penyakit yang menyertai merupakan
langkah awal yang harus digunakan untuk mengatasi hipertensi sekunder.
2) Patofisiologi
Beberapa faktor yang mengendalikan tekanan darah adalah
adanyakontribusi potensial dalam pengembangan hipertensi esensial, termasuk
kerusakan fungsi humoral seperti, sistem renin angiotensin aldosteron (RAAS)
atau mekanisme vasodepresor, abnormalitas neuronal, kerusakan pada
autoregulasi perifer, dan gangguan pada hormon sodium, kalsium, dan natriuretik.
Faktor - faktor ini yang secara kumulatif dipengaruhi oleh RAAS dan akhirnya
5
akan berpengaruh pada tekanan darah arteri. Oleh karena itu, pada umumnya obat
antihipertensi secara khusus menargetkan mekanisme dan komponen RAAS ini
(Dipiro et al., 2008).
c. Klasifikasi
Menurut American Society of Hypertension (2010) hipertensi dapat
diklasifikan menjadi 3, yaitu :
1) Prehipertensi
Prehipertensi terjadi pada pasien dengan tekanan darah sistolik antara 120-
139 mmHg atau tekanan diastolik antara 80–89 mmHg. pasien dengan kondisi ini
tidak harus diobati dengan obat antihipertensi, tetapi mereka perlu diberikan
dorongan untuk membuat perubahan gaya hidup dengan harapan dapat menunda
atau mencegah terjadinya hipertensi di masa depan.
2) Hipertensi Stage 1
Hipertensi stage 1 terjadi pada pasien dengan tekanan darah sistolik antara
140-159 mmHg atau tekanan darah diastolik antara 90-99 mmHg.
3) Hipertensi stage 2
Hipertensi stage 2 terjadi pada pasien dengan tekanan darah sistolik ≥160
mmHg atau tekanan darah diastolik ≥100 mmHg.
d. Diagnosis
Hipertensi disebut juga sebagai “silent killer” karena kebanyakan pasien
yang menderita hipertensi tidak menunjukkan adanya gejala hanya ditunjukkan
dengan adanya hasil pemeriksaan primer pada tekanan darah pasien yang
meningkat. Diagnosis hipertensi ini tidak didasarkan hanya pada 1 kali
pengukuran saja, tetapi dilakukan 2 kali atau lebih pengukuran tekanan darah.
Kemudian, rata-rata dari pengukuran tersebut dapat digunakan untuk menegakkan
diagnosis pada hipertensi (Dipiro et al., 2008). Selain itu, tes laboratorium juga
perlu dilakukan misalnya urinalisis seperti pH, protein, bilirubin,
urobilirubinogen, kadar kimia darah seperti kalium, natrium, klirens kreatinin,
blood urea nitrogen, laju filtrasi glomerulus, dan elektrokardiograrafi standar
6
untuk menilai hepertrofi ventrikel kiri atau adanya infark miokard (Simces et al.,
2012).
e. Penatalaksanaan
1. Terapi Nonfarmakologi
Perubahan gaya hidup perlu untuk dilakukan agar membantu dalam
menurunkan tekanan darah. Pada beberapa pasien dengan tekanan darah yang
terkontrol dengan baik dan mendapat 1 obat antihipertensi, tetapi juga melakukan
diet garam dan melakukan penurunan berat badan dapat menghentikan pasien dari
konsumsi obat. Program diet yang mudah untuk dilakukan yaitu dengan
melakukan penurunan berat badan secara perlahan pada pasien yang obesitas
sehingga perlu diberikan edukasi pada pasien hipertensi dan motivasi untuk
memulai perubahan gaya hidup (Depkes RI, 2006).
Menurut JNC VII (2008) menyatakan bahwa ada beberapa perubahan gaya
hidup yang dapat dilakukan untuk mencegah dan mengatasi hipertensi, yaitu :
a. Pasien yang mengalami berat badan berlebih harus menurunkan berat
badannya hingga BMI 18.5 – 24.9.
b. Adopsi pola makan DASH dengan melakukan diet kaya dengan buah, sayur,
dan susu rendah lemak.
c. Diet rendah natrium dengan melakukan pengurangan konsumsi diet sodium
tidak >100 meq/L (2,4 g natrium atau 6 g natrium klorida).
d. Melakukan aktivitas fisik rutin seperti jalan kaki 30 menit/hari selama
beberapa hari/minggu (3-4 hari dalam seminggu).
e. Batasi meminum alkohol tidak lebih dari 2 gelas/hari untuk laki-laki dan 1
gelas/hari untuk perempuan serta orang dengan berat badan rendah.
2. Terapi Farmakologi
Secara umum, terapi farmakologi pada hipertensi dimulai ketika pasien
sudah menerapkan terapi nonfarmakologi seperti perubahan gaya hidup. Namun,
tetap tidak menunjukkan adanya perubahan penurunan tekanan darah dan terapi
7
ini juga ditujukan pada pasien dengan hipertensi stage 2 sehingga target tekanan
darah dapat tercapai secara optimal. Pada penerapan terapi farmakologi ini juga
perlu diperhatikan adanya tingkat kepatuhan pasien dan monitoring efek samping
yang minimal, yaitu :
1) Diberikan dosis tunggal (jika mungkin).
2) Diberikan obat generik agar lebih cost effective.
3) Diberikan obat pada pasien lanjut usia dengan memperhatikan faktor
komorbiditas (adanya gangguan tambahan lain).
4) Tidak mengkombinasikan antara angiotensin converting enzyme inhibitors
(ACEI) dan angiotensin II receptor blockers (ARB).
5) Diperlukan adanya pemantauan terapi dari efek samping obat yang mungkin
dapat ditimbulkan.
(PERKI, 2015).
Agen antihipertensi seperti diuretik, ACEI, ARB, atau CCB merupakan first
line therapy untuk pasien hipertensi yang dapat diberikan. Pilihan obat ini
digunakan karena memiliki outcome dalam menurunkan tekanan darah dan resiko
kardiovaskular. Pada beberapa subkelas memiliki tingkat perbedaan yang sangat
berbeda seperti perbedaan pada mekanisme aksi dan efek sampingnya (Dipiro et
al., 2008).
1) Diuretik
Diuretik merupakan salah satu first line therapy untuk pengobatan hipertensi
dan sangat efektif dalam menurunkan tekanan darah ketika dikombinasi dengan
antihipertensi lain. Golongan diuretik terdapat 4 subkelas yaitu diuretik tiazid,
diuretik kuat, diuretik hemat kalium, dan antagonis aldosteron (Dipiro et al.,
2008).
a) Diuretik Tiazid
Pada studi ALLHAT (Antihypertensive and Lipid-Lowering Treatment to
Prevent Heart Attack Trial) membandingkan berbagai obat antihipertensi bahwa
penggunaan diuretik tiazid lebih menguntungkan daripada ACEI, CCB, dan beta
8
blocker dalam menurunkan tekanan darah dan tanda klinis pasien (Muzaffar,
2011). Tiazid merupakan terapi pilihan dalam sebagian besar pasien hipertensi.
Termasuk dalam golongan ini adalah chlorthalidone, hydrochlorothiazide,
indapamide, dan metolazone (Alldredge et al., 2013).
b) Diuretik Kuat
Loop diuretic atau diuretik kuat memiliki efikasi dalam menghasilkan
diuresis yang lebih kuat, tetapi diuretik jenis ini juga dapat menurunkan PVR dan
menurunkan vasodilatasi dibandingkan dengan menggunakan diuretik tiazid.
Biasanya, golongan ini hanya dianggap untuk pasien dengan gagal ginjal kronis
berat, disfungsi ventrikel kiri, dan edema berat. Namun, golongan obat ini juga
dapat digunakan untuk mengobati pasien hipertensi. Termasuk dalam golongan
ini adalah bumetanide, furosemide, dan torsemide (Alldredge et al., 2013).
c) Diuretik Hemat Kalium
Golongan obat ini biasanya dikombinasikan dengan diuretik tiazid untuk
mengatasi terjadinya hipokalemia pada pasien. Meskipun, dikombinasi dengan
tiazid, obat ini tidak akan menurunkan tekanan darah secara signifikan. Termasuk
dalam golongan ini adalah amiloride dan triamterene yang biasanya juga dapat
dikombinasi dengan spironolacton dan hydrochlorthiazide (Alldredge et al.,
2013).
d) Antagonis Aldosteron
Obat golongan ini sangat berguna sebagai tambahan terapi untuk pasien
yang resisten hipertensi dengan obat pilihan utama terapi (Alldredge et al., 2013).
Namun, obat ini sangat selektif dan cenderung akan menyebabkan hiperkalemia
sehingga dikontraindikasikan pada pasien yang mengalami penurunan fungsi
ginjal atau diabetes melitus tipe 2, khususnya eplenerone. Termasuk dalam
golongan ini adalah eplenerone dan spironolacton (Dipiro et al., 2008).
2) Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor
ACE inhibitor akan menghambat ACE sehingga konversi angiotensin I
menjadi angiotensin II juga akan dihambat. Angiotensin II adalah vasokonstriktor
kuat yang juga merangsang sekresi aldosteron sehingga menyebabkan
9
peningkatan reabsorbsi natrium dan air serta pengurangan kalium. Oleh karena
ACE ini dihambat maka akan terjadi vasodilatasi dan penurunan aldosteron. ACE
inhibitor juga memblokir degradasi bradikinin dan merangsang sintesis zat
vasodilatasi lainnya (prostaglandin E2 dan prostasiklin). Termasuk dalam
golongan ini adalah benazepril, captopril, enalapril, fosinopril, lisinopril,
moexipril, perindopril, quinapril, ramipril, trandolapril (Dipiro et al., 2008). Pada
pasien usia lanjut dengan hipertensi diberikan pengobatan ACEI lebih efektif
dibandingkan dengan diuretik dan dapat mengurangi semua masalah
kardiovaskular yang menjadi penyebab mortalitas (Davidson, 2003).
3) Angiotensin Receptor Blocker
Pada studi ini menyatakan bahwa regimen ARB memberikan efikasi
pengobatan yang sesuai untuk pasien usia lanjut karena dapat ditoleransi dengan
baik oleh pasien (Midlife and Beyond, 2007). Golongan ARB ini tidak
mempengaruhi bradinikin sehingga tidak akan menyebabkan batuk kering dan
biasanya digunakan untuk alternatif ketika pasien tidak dapat mentoleransi batuk
kering dari ACEI. Termasuk dalam golongan ini adalah candesartan, eprosartan,
irbesartan, losartan, olmesartan, telmisartan, dan valsartan (Dipiro et al., 2008).
4) Calcium Channel Blocker
Golongan CCB mencakup dihydropiridine yaitu nifedipine dan amlodipine
dan nondihydropiridine yaitu verapamil dan diltiazem yang biasanya merupakan
salah satu regimen obat yang sering diresepkan untuk mengatasi hipertensi.
Beberapa percobaan meta analisis yang komprehensif menyatakan bahwa CCB
akan mengurangi morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler terkait hipertensi yang
tidak terkontrol, termasuk stroke. Agen ini juga dapat digunakan sebagai lini
pertama untuk pasien usia lanjut (Muzaffar, 2011).
5) β-Blocker
Beta blocker tidak digunakan sebagai lini pertama untuk hipertensi sebab
beta blocker tidak dapat menurunkan tekanan darah dengan baik sehingga
10
sebaiknya untuk terapi awal pasien hipertensi dianjurkan memilih agen
antihipertensi lini pertama. Golongan ini tidak dapat digunakan untuk pasien yang
juga menderita asma atau penyakit lain yang dapat menimbulkan peningkatan
denyut jantung karena regimen ini merupakan agen bronkodilator. Golongan ini
memiliki 4 subkelas yaitu selektif beta blocker (betaxolol , bisoprolol, atenolol,
metoprolol tartrate, dan metoprolol succinate), nonselektif beta blocker (nadolol,
propranolol, propanolol long acting, dan timolol), aktivitas intrinsik
simpatomimetik (acebutolol, carteolol, penbutolol, dan pindolol), dan kombinasi
αβ-blocker (carvedilol, carvedilol fosfat, dan labetalol) (Dipiro et al., 2008). Di
beberapa negara, untuk terapi awal pasien lanjut usia tidak diberikan dengan beta
blocker karena kurang efektif dalam memberikan terapi primer dalam mencegah
terjadinya resiko kardiovaskular (Tu et al., 2007).
6) Agen Alternatif Antihipertensi Lain
Golongan α-agonis (seperti clonidine, guanabenz, guanfacine, dan
metildopa), golongan vasodilator (seperti minoxidil, diazoxide, hydralazine,
natrium nitroprusid), dan reserpin juga termasuk dalam klasifikasi obat
antihipertensi. Namun, penggunaan obat tersebut dibatasi, khususnya metildopa
yang lebih sesuai digunakan untuk pengobatan hipertensi pada pasien hamil
berdasarkan efektivitas dan keamanannya untuk ibu dan janin. Monoxidil paling
sering digunakan sebagai alternatif pengobatan hipertensi untuk pasien yang
sudah tidak merespon dengan antihipertensi lain (Muzaffar, 2011). Agen alternatif
antihipertensi terbukti dapat mengurangi resiko kardiovaskular dibandingkan
dengan antihipertensi lini pertama. Dan seharusnya agen alternatif ini dikombinasi
dengan obat lini pertama untuk memberikan tambahan dalam mengurangi tekanan
darah (Dipiro et al., 2008).
f. Komplikasi Hipertensi
Hipertensi memungkinkan adanya keterkaitan dengan kondisi lain yang
memiliki indikasi kuat untuk diberikan terapi tertentu berdasarkan data klinis yang
menunjukkan manfaat terapi terhadap indikasi tersebut. Oleh karena itu, beberapa
11
kondisi yang beresiko tinggi perlu diberikan terapi lebih spesifik yang umumnya
terkait dengan hipertensi seperti gagal ginjal, penyakit jantung koroner, gagal
ginjal kronis, stroke berulang, dan diabetes. Keputusan terapi yang tepat pada
pasien khusus semacam itu harus terarahkan pada indikasi lain yang menyertai.
1) Penyakit Jantung Koroner
Pasien hipertensi juga akan mengalami peningkatan resiko infark miokard
atau kejadian jantung koroner lainnya yang mungkin mengakibatkan resiko
terjadinya kematian yang lebih tinggi dibandingkan dengan infark miokard akut.
Pasokan oksigen pada penderita hipertensi dapat dibatasi oleh penyakit jantung
koroner. Sedangkan, kebutuhan oksigen sering terjadi lebih besar karena adanya
peningkatan impedansi pada penolakan ventrikel kiri dan sering terjadi hipertrofi
ventrikel kiri. Oleh sebab itu, menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik
dapat mengurangi iskemia karena akan menurunkan kebutuhan oksigen miokard
dan mencegah kejadian kardiovaskular pada pasien dengan jantung koroner
(Dipiro et al., 2008).
2) Gagal Ginjal Kronis
Fungsi dari ekskresi ginjal yang ditunjukkan oleh laju filtrasi glomerulus
akan memburuk seiring bertambahnya usia. Pada gagal ginjal terkait dengan
hipertensi akan mengalami kemunduran laju filtrasi glomerulus yang sangat cepat
hingga 4-8 mL/menit jika tekanan darah tetap tidak terkendali. Adanya penurunan
yang singnifikan ini dapat menyebabkan perkembangan End Stage Renal Disease
atau gagal ginjal stadium akhir. Tekanan darah yang harus dicapai pada pasien
gagal ginjal kronik yaitu <130/80 mmHg (Dipiro et al., 2008).
3) Diabetes Mellitus
Penyebab utama terjadinya morbiditas pada penderita diabetes adalah
penyakit yang terkait dengan kardiovaskular. Tata laksana terapi pada penderita
hipertensi merupakan suatu hal yang penting untuk dilakukan sebagai strategi
untuk mengurangi resiko kematian. Target tekanan darah yang harus dicapai pada
pasien diabetes yaitu <130/80 mmHg (Dipiro et al., 2008).
4) Pencegahan Stroke Berulang
12
Stroke iskemik dianggap sebagai target kerusakan organ akibat hipertensi.
Pasien yang pernah mengalami stroke dapat memungkinkan terjadinya stroke
kedua atau berkurang sehingga perlu diatasi dengan terapi agen antihipertensi
untuk mencegah kekambuhan stroke. Tekanan darah yang harus dicapai pada
pasien ini yaitu <130/80 mmHg (Dipiro et al., 2008).
5) Pascainfark Miokard
Pada pasien pascainfark miokard dengan disfungsi ventrikel kiri memiliki
penyakit jantung koroner sehingga target tekanan darah yang harus dicapai
<130/80 mmHg. Untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas terkait
kardiovaskular perlu segera diterapi setelah terjadi infark miokard akut dalam 3
sampai 14 hari (Dipiro et al., 2008).
6) Disfungsi Ventrikel Kiri
Disfungsi ventrikel kiri atau yang juga dikenal sebagai gagal jantung sistolik
adalah kelainan fisiologis primer yang terjadi karena penurunan curah jantung.
Target pasien disfungsi ventrikel kiri memiliki target tekanan darah <120/80
mmHg dan biasanya perlu beberapa terapi obat (Dipiro et al., 2008).
Menurut New York Heart Association (NYHA) gagal jantung dibagi dalam
4 kelas berdasarkan kapasitas fungsional, yaitu :
1. Kelas I adalah tidak adanya batasan aktivitas fisik. Aktivitas fisik yang
dilakukan seperti biasa tidak menimbulkan gejala seperti palpitasi dan
dispnea (sesak napas).
2. Kelas II adalah adanya sedikit keterbatasan dalam melakukan aktivitas fisik.
Aktivitas fisik biasa dapat menyebabkan timbul gejala seperti kelelahan,
palpitasi, dispnea, tetapi dapat menghilang ketika istirahat.
3. Kelas III adalah adanya keterbatasan fisik yang nyata. Aktivitas fisik biasa
atau ringan dapat menyebakkan kelelahan, palpitasi, atau dispnea.
4. Kelas IV adalah keadaan pasien yang sudah tidak dapat melakukan aktivitas
fisik apapun. Apabila tetap melakukan aktivitas fisik maka akan timbul
gejala yang lebih berat sehingga dapat meningkatkan keluhan.
(American Heart Association, 2015)
13
Gambar 1. Algoritma terapi antihipertensi menurut JNC VIII
(JNC VIII, 2014)
Goal therapy tekanan darah
SBP <150 mmHg
DBP <90 mmHg
Goal therapy tekanan darah
SBP <140 mmHg
DBP <90 mmHg
Goal therapy tekanan darah
SBP <140 mmHg
DBP <90 mmHg
Goal therapy tekanan darah
SBP <140 mmHg
DBP <90 mmHg
Mulai dengan diuretik tiazid atau ACEI
atau ARB atau CCB atau kombinasi
Mulai dengan ACEI atau ARB atau kombinasi
dengan obat hipertensi lain
Pasien berusia ≥18 tahun dengan
hipertensi
Lakukan perubahan gaya hidup
Tetapkan goal therapy dan mulai dengan menurunkan tekanan darah berdasarkan
usia, diabetes melitus, dan gagal ginjal kronis
Usia ≥60
tahun
Usia <60
tahun
Pasien umum (tanpa DM atau
gagal ginjal kronis)
Diabetes melitus atau gagal
ginjal kronis
Semua usia
Diabetes
Tidak CKD
Semua usia
CKD dengan atau
tanpa diabetes
Pilih strategi titrasi pengobatan dengan :
A. Maksimalkan pengobatan pertama sebelum menambahkan obat kedua, atau B. Tambahkan kedua sebelum mencapai dosis maksimum pengobatan pertama,
atau C. Mulailah dengan 2 kelas pengobatan secara terpisah atau sebagai kombinasi
dosis tetap.
14
Gambar 2. Algoritma terapi antihipertensi dengan compelling indication
(Dipiro et al., 2008)
Compelling
Indication(s)
))
Disfungsi
Ventrikel
Kiri
Pascami
okard
Infark
Penyakit
Jantung
Koroner
Diabetes
Mellitus
Gagal
Ginjal
Kronis
Pencega
han
Stroke
Berulang
Diuretic + ACEI
Kemudi
an
tambah
dengan β-
Blocker
Β-Blocker
Kemudi
an
tambah
dengan ACEI
atau
ARB
Β-Blocker
Kemudi
an
tambah
dengan ACEI
atau
ARB
ACE Inhibitor
atau
ARB
ACE Inhibitor
atau
ARB
Diuretik dengan
ACE
Inhibitor
atau
ARB
ARB atau
Antago
nis
aldoste
ron
Antago
nis
aldoste
ron
CCB
Diuretik
Diuretik
β-
Blocker
CCB
Standar
Farmakoterapi
Farmakoterapi
tambahan
15
Tabel 1. Agen antihipertensi utama
Kelas Nama obat
Dosis
lazim
(mg/hari)
Frekuensi
Pemberian Komentar
Diuretik
Tiazid
Loop
Hemat
Kalium
Antagonis
aldosteron
Klortalidon
Hidroklorotiazid
Indapamide
Metolazone
Bumetanide
Furosemide
Torsemide
Amiloride
Amiloride/ HCT
Triamteren
Triamteren/ HCT
Eplerenone
Spironolakton
Spironolakton/HCT
12.5-25
12.5-25
1.25-2.5
2.5-5
0.5-4
20-80
5-10
5-10
5-10/ 50-
100
50-100
37.5-75/
25-50
50-100
25-50
25-50/
25-50
1
1
1
1
2
2
1
1 atau 2
1
1 atau 2
1
1 atau 2
1 atau 2
1
Pemberian pagi hari untuk
menghindari diuresis malam hari;
tiazid adalah antihipertensi yang lebih
efektif daripada diuretik kuat;
gunakan dosis lazim untuk
meminimalkan efek metabolik yang
merugikan; idealnya menjaga
konsentrasi kalium antara 4.0-5.0
mEq/L untuk meminimalkan efek
metabolik; hidroklorotiazida dan
chlorthalidone umumnya lebih
disukai, memiliki manfaat tambahan
pada osteoporosis; mungkin
memerlukan pemantauan tambahan
pada pasien dengan riwayat asam urat
atau hiperglikemia.
Pemberian di pagi dan sore hari untuk
menghindari diuresis malam hari;
dosis yang lebih tinggi mungkin
diperlukan untuk pasien yang
mengalami penurunan laju filtrasi
glomerulus berat atau disfungsi
ventrikel kiri (gagal jantung).
Dosis di pagi atau sore hari untuk
menghindari diuresis nokturnal;
diuretik lemah yang umumnya
digunakan dalam kombinasi dengan
diuretik tipe tiazid untuk
meminimalkan hipokalemia; hindari
pada pasien dengan penyakit ginjal
kronis yang parah (perkiraan laju
filtrasi glomerulus <30
mL/min/1.73m2); Dapat
menyebabkan hiperkalemia, terutama
dalam kombinasi dengan ACEI,
ARB, inhibitor renin langsung atau
suplemen kalium.
Dosis di pagi atau sore hari untuk
menghindari diuresis nokturnal;
eplerenone dikontraindikasikan pada
pasien dengan perkiraan pengeluaran
kreatinin <50 mL/menit, peningkatan
serum kreatinin (> 1,8 mg/dL pada
wanita, >2 mg /dL pada laki-laki),
dan diabetes tipe 2 dengan
16
Tabel 1. Lanjutan
Kelas Nama Obat
Dosis
lazim
(mg/hari)
Frekuensi
Pemberian Komentar
ACE
Inhibitor
Beta
blocker
Selektif
Non Selektif
Benazepril
Captopril
Enalapril
Fosinopril
Lisinopril
Moexipril
Perindopril
Quinapril
Ramipril
Trandolapril
Atenolol
Betaxolol
Bisoprolol
Metoprolol Tartrate
Metoprolol succinate
Nadolol
Propranolol
Propranolol LA
Timolol
10 – 40
25 – 150
5 – 40
10 – 40
10 – 40
7.5 – 30
4 – 16
10 – 80
2.5 – 10
1 – 4
25 - 100
5 - 20
2.5 - 10
100- 400
50 - 200
40 - 120
160 - 480
80 - 320
10 - 40
1 atau 2
2 atau 3
1 atau 2
1
1
1 atau 2
1
1 atau 2
1 atau 2
1
1
1
1
2
1
1
2
1
1
mikroalbuminuria; menghindari
spironolakton pada pasien dengan
penyakit ginjal kronis (perkiraan
laju filtrasi glomerulus <30
mL/min/1,73m2) dapat
menyebabkan hiperkalemia,
terutama dalam kombinasi dengan
ACEI, ARB, inhibitor renin
langsung atau suplemen kalium.
Dosis awal dapat dikurangi 50%
pada pasien yang mendapat diuretik,
kekurangan volume atau cairan, atau
pasien lansia karena resiko
hipotensi; Dapat menyebabkan
hiperkalemia pada pasien dengan
penyakit ginjal kronis atau pada
orang yang menerima diretik hemat
kalium, antagonis aldosteron, ARB,
atau penghambat langsung renin;
dapat menyebabkan gagal ginjal
akut pada pasien dengan stenosis
arteri renalis bilateral parah atau
stenosis berat di arteri ke ginjal
soliter; jangan gunakan pada pasien
hamil atau pasien dengan riwayat
angioedema.
Penghentian yang tiba-tiba dapat
menyebabkan rebound hipertensi;
menghambat reseptor β1 pada dosis
rendah sampai sedang, dosis lebih
tinggi juga memblokir reseptor β2;
bisa memperparah asma bila
selektivitas hilang; Memiliki
manfaat tambahan pada penderita
atrial taklimitmia atau hipertensi pra
operasi.
Penghentian tiba-tiba dapat
menyebabkan rebound hipertensi;
menghambat reseptor β1 dan β2
pada semua dosis; bisa
memperburuk asma; memiliki
manfaat tambahan pada pasien yang
sangat penting tremor, sakit kepala
migrain, tirotoksikosis.
17
Tabel 1. Lanjutan
Kelas Nama Obat
Dosis
lazim
(mg/hari)
Frekuensi
Pemberian Komentar
Aktivitas
Intrinsik
Simpatomi
metik
Campuran
α dan β
ARB
CCB
Dihidro-
piridin
Acebutolol
Carteolol
Penbutolol
Pindolol
Carvedilol
Carvedilol
phosphate
Labetalol
Candesartan
Eprosartan
Irbesartan
Losartan
Olmesartan
Telmisartan
Valsartan
Amlodipine
Felodipine
Isradipine
Isradipine SR
Nicardipine SR
Nifedipine LA
Nisoldipine
200 – 800
2.5 – 10
10 – 40
10 – 60
12.5 – 50
20 – 80
200 - 800
8 - 32
600 - 800
150 - 300
50 - 100
20 – 40
20 - 80
80 - 320
2.5 – 10
5 – 20
5 – 10
5 – 20
60 – 120
30 – 90
10 – 40
2
1
1
2
2
1
2
1 atau 2
1 atau 2
1
1 atau 2
1
1
1
1
1
2
1
2
1
1
Penghentian tiba-tiba dapat
menyebabkan rebound hipertensi;
sebagian merangsang β-reseptor
dan sebagian yang lain memblokir
terhadap tambahan stimulasi; tidak
ada keuntungan yang jelas untuk
agen ini; kontraindikasi pada pasien
dengan penyakit jantung koroner
atau pasca-miokard infark.
Penghentian tiba-tiba dapat
menyebabkan rebound hipertensi;
tambahan α blokade menghasilkan
lebih banyak hipotensi ortostatik.
Dosis awal dapat dikurangi 50%
pada pasien yang mendapat
diuretik, kekurangan volume atau
cairan, atau pasien lansia karena
resiko hipotensi; dapat
menyebabkan hiperkalemia pada
pasien dengan penyakit ginjal
kronis atau pada orang yang
menerima diretik hemat kalium,
antagonis aldosteron, ARB, atau
penghambat langsung renin; dapat
menyebabkan gagal ginjal akut
pada pasien dengan stenosis arteri
renalis bilateral parah atau stenosis
berat di arteri ke ginjal soliter; tidak
menyebabkanbatuk kering seperti
ACEI; jangan gunakan pada pasien
hamil atau pasien dengan riwayat
angioedema.
Dihydropiridin short acting harus
dihindari terutama nifedipin dan
nicardipine immediate release;
dihydropiridin adalah vasodilator
perifer yang lebih kuat daripada
nondihidropiridin dan bisa
menyebabkan takikardia, pusing,
sakit kepala, kemerahan, dan edema
perifer; memiliki manfaat tambahan
pada sindrom Raynaud's.
18
Tabel 1. Lanjutan
Kelas Nama Obat
Dosis
lazim
(mg/hari)
Frekuensi
Pemberian Komentar
Nondihid-
ropiridin
Diltiazem SR
(Cardizem SR)
Diltiazem SR
Diltiazem ER
Verapamil SR
Verapamil ER
Verapamil oral
drug absoption
system ER
180 - 360
120 - 480
120 - 540
180 - 480
180 - 420
180 - 400
2
1
1(pagi/ sore)
1 atau 2
1 (pagi hari)
1 (sore hari)
Extended released dan sustained
released lebih disukai untuk
hipertensi; agen ini memblokir
saluran lambat di jantung dan
mengurangi denyut jantung; Dapat
menghasilkan blok jantung, terutama
dalam kombinasi dengan β-blocker;
saat diobati di malam hari bisa
memberi chronotherapeutic, transfer
obat dimulai sebelum pasien tertidur;
memiliki manfaat tambahan pada
penderita atrial takiaritmia.
(Dipiro et al., 2008)
19
Tabel 2. Agen antihipertensi alternatif
Kelas
Nama Obat Dosis
lazim
(mg/hari)
Frekuensi/
hari
Komentar
Penyekat αlfa
1
Agonis
sentral
α-2
Antagonis
Adrenergik
Perifer
Vasodilator
arteri
langsung
Doxazosin
Prazosin
Terazosin
Clonidin
Metildopa
Reserpin
Minoxidil
Hidralazin
1-8
2-20
1-20
01-0.8
250-1000
0.05-0.25
10-40
20-100
1
2 atau 3
1 atau 2
2
2
1 atau 2
2 atau 4
Dosis pertama harus diberikan
malam sebelum tidur; beritahu
pasien untuk berdiri perlahan-
lahan dari posisi duduk atau
berbaring untuk
meminimalkan resiko
hipotensi ortostatik;
keuntungan tambahan untuk
laki-laki dengan BPH (benign
prostatic hyperplasia).
Pemberhentian tiba-tiba dapat
menyebabkan rebound
hypertension; paling efektif
bila diberikan bersama diuretik
untuk mengurangi retensi
cairan.
Gunakan dengan diuretik
untuk mengurangi retensi
cairan.
Gunakan dengan diuretik dan
penyekat beta untuk
mengurangi retensi cairan dan
refleks takikardi.
(Depkes RI, 2006)
20
3. Rasionalitas Terapi
Pemberian obat dikatakan rasional apabila memenuhi kriteria sebagai
berikut :
a. Tepat indikasi
Tepat indikasi adalah pemberian obat yang disesuaikan dengan gejala dan
diagnosis pasien karena obat memiliki spektrum terapi yang spesifik dan berbeda.
Setiap obat yang ada pasti memiliki indikasi pengobatan yang berbeda-beda.
Misalnya saja pasien hipertensi maka pemberian obatnya harus sesuai yang
dianjurkan untuk pasien hipertensi (Kementerian Kesehatan RI, 2011).
b. Tepat pasien
Tepat pasien adalah pemberian obat yang disesuaikan dengan kondisi
patofisiologis dan fisiologis pasien terhadap efek obat dan tidak ada
kontraindikasi. Respon setiap pasien terhadap obat yang diberikan sangat berbeda-
beda. Ada beberapa hal yang sangat perlu dipertimbangkan terkait kondisi pasien
untuk meminimalisasi adanya efek samping yang tidak diinginkan. Setiap obat
yang ada pasti memiliki indikasi pengobatan yang berbeda-beda misalnya saja
pasien hipertensi maka pemberian obatnya harus sesuai yang dianjurkan untuk
pasien hipertensi (Kementerian Kesehatan RI, 2011).
c. Tepat obat
Tepat obat adalah pemberian obat dengan efek terapi yang sesuai dengan
diagnosa yang sudah ditegakkan oleh dokter dan pemilihan dari drug of choice
yang sesuai dengan kondisi pasien sehingga hubungan keduanya sangat erat
kaitannya untuk memberikan terapi yang sesuai. Oleh karena itu, ketika diagnosis
sudah ditegakkan maka dilakukan upaya dalam pemilihan obat sehingga efek
terapi yang ditimbulkan sesuai dengan penyakitnya (Kementerian Kesehatan RI,
2011).
d. Tepat dosis
Tepat dosis adalah pemberian obat yang berkaitan dengan besaran dosis,
frekuensi dan durasinya kepada pasien sehingga dapat menimbulkan efek yang
diinginkan. Hal ini sangat penting dilakukan khususnya untuk obat dengan indeks
21
terapi sempit, kemudian cara pemberian juga perlu diperhatikan (Kementerian
Kesehatan RI, 2011).
E. Landasan Teori
Pada penelitian yang dilakukan di RSUD Dr. Sardjito ditemukan bahwa
interaksi obat terjadi pada pada 59% pasien rawat inap dan 69% pasien rawat
jalan. Banyaknya drug related problems dalam terapi menyebabkan berbagai
macam kasus permasalahan terkait obat ini. Hasil penelitian ini juga menyebutkan
bahwa jenis obat yang sering berinteraksi dengan obat lain pada pasien rawat inap
pasien geriatri adalah furosemid, kaptopril, aspirin, dan seftriakson (Rahmawati et
al., 2006).
Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa antihipertensi yang
banyak digunakan untuk pasien geriatri dengan hipertensi tanpa komplikasi
adalah golongan antagonis kalsium atau calcium channel blockers sebesar
13,15%, ACE inhibitors sebesar 17,10%, antagonist receptor blockers sebesar
11,84%, diuretik sebesar 6,57%, dan beta blocker sebesar 2,61% (Priatmojo et al.,
2014).
F. Keterangan Empiris
Penelitian sebelumnya yang dilakukan di RSUD Dr. Soetomo masih banyak
menyisakan banyak permasalahan terkait obat. Ada DRP potensial yakni sebesar
62% pasien terkait interaksi obat yang perlu perhatian lebih dari para farmasis
serta masih banyaknya pasien yang belum mencapai target terapi yang diinginkan
(Supraptia et al., 2014).
Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengetahui persentase angka kejadian
dalam memberikan terapi obat yang rasional berdasarkan tepat indikasi, tepat
pasien, tepat obat, dan tepat dosis pada pasien geriatri yang diberikan agen
antihipertensi di instalasi rawat inap RSUD Dr. Moewardi Surakarta tahun 2016.