BAB I PENDAHULUAN - idr.uin-antasari.ac.id I - V.pdfkasus makelar pajak, Gayus Tambunan yang memilki...

65
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berjalannya roda pemerintahan yang efektif yang diharapkan suatu negara merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. Keduanya terus terlibat langsung dan memikul beban pembangunan tersebut. Oleh karena itu wajar rakyat atau warga negara ikut serta menanggung beban dana atau biaya yang diperlukan oleh pemerintah guna menyukseskan pembangunan. Cara pemerintahan menarik dana dari masyarakat itu lazim dikenal dengan istilah pajak. Pajak pada hakikatnya merupakan instrumen pemerintah untuk membantu masyarakat lemah, yang membutuhkan atau sering disebut sebagai pemerataan kesejahteraan. 1 Kesejahteraan tersebut secara totalitas dinikmati oleh seluruh warga masyarakat. Beberapa kebijakan ekonomi pemerintah Islam pada masa-masa awal menjadi kajian yang cukup menarik. Alasannya secara historis Islam pada masa awal adalah masa yang dekat dengan kenabian. Islam pada masa awal diduga lebih baik, belum terkontaminasi oleh kepentingan-kepentingan materi atau entrik-entrik politik yang kotor. Segala kebijakan berorientasi dengan kepentingan umat (manusia) dengan tidak membedakan ranah agama. 1 Ibrahim Hosein, Zakat dan Pajak, (Jakarta : Bina Renaka Pariwara, 2005) h. 138

Transcript of BAB I PENDAHULUAN - idr.uin-antasari.ac.id I - V.pdfkasus makelar pajak, Gayus Tambunan yang memilki...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Berjalannya roda pemerintahan yang efektif yang diharapkan suatu negara

merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. Keduanya terus terlibat

langsung dan memikul beban pembangunan tersebut. Oleh karena itu wajar rakyat

atau warga negara ikut serta menanggung beban dana atau biaya yang diperlukan

oleh pemerintah guna menyukseskan pembangunan. Cara pemerintahan menarik

dana dari masyarakat itu lazim dikenal dengan istilah pajak. Pajak pada

hakikatnya merupakan instrumen pemerintah untuk membantu masyarakat lemah,

yang membutuhkan atau sering disebut sebagai pemerataan kesejahteraan.1

Kesejahteraan tersebut secara totalitas dinikmati oleh seluruh warga masyarakat.

Beberapa kebijakan ekonomi pemerintah Islam pada masa-masa awal

menjadi kajian yang cukup menarik. Alasannya secara historis Islam pada masa

awal adalah masa yang dekat dengan kenabian. Islam pada masa awal diduga

lebih baik, belum terkontaminasi oleh kepentingan-kepentingan materi atau

entrik-entrik politik yang kotor. Segala kebijakan berorientasi dengan kepentingan

umat (manusia) dengan tidak membedakan ranah agama.

1 Ibrahim Hosein, Zakat dan Pajak, (Jakarta : Bina Renaka Pariwara, 2005) h. 138

2

Dalam Islam, khalifah (pemerintah) bertanggungjawab atas kesejahteraan

rakyatnya. Ia mengemban amanat dari Allah dan rakyatnya. Untuk mewujudkan

cita-cita tersebut khalifah melaksanakan berbagai program dan proses yang

terencana atau yang sering disebut pembangunan. Pembangunan baru bisa

berjalan dengan baik apabila ditopang oleh dana (aset/kekayaan) yang cukup. Di

dalam sistem kekhalifahan Islam dikenal beberapa sumber dana (aset/kekayaan)

yang merupakan partisipasi rakyatnya, baik muslim atau non-Muslim.2

Indonesia adalah negara yang beragam budaya dan agama, sehingga kata

zakat dan pajak adalah dua kata yang tidak lepas di negara kita, yang mana negara

kita ini mayoritas penduduk Islam. Tetapi, kedua kata ini memiliki makna dan

perlakuan yang berbeda. Dalam hal pajak semua warga Negara Indonesia yang

sudah dewasa dan mempunyai penghasilan pada umumnya sudah dikenakan

pajak kecil dan besar tanpa memandang apakah penghasilan itu cukup untuk

kebutuhanya atau tidak. Pajak diwajibkan pada siapapun, sungguh perlakuan yang

tidak adil, karena pengemis pun bisa terkena pajak.

Persoalan pajak akhir-akhir ini ramai dibicarakan gara-gara terbongkarnya

kasus makelar pajak, Gayus Tambunan yang memilki uang 28 miliar di

rekeningnya. Bahkan, dari dalam kasus Gayus ini, sampai sekarang (06/04/2010)

sudah ada tujuh tersangka yang ditahan, beberapa dari mereka petinggi kepolisian.

Pajak secara etimologi, pajak dalam bahasa Arab disebut dengan istilah

dharibah. Secara bahasa maupun tradisi, dharibah dalam penggunaannya

memang mempunyai banyak arti, namun para ulama memakai ungkapan dharibah

2 http://allymmurtani.b logspot.com/2013/03/pelaksanaan-sistem-ekonomi-pada-

masa.htmli

3

untuk menyebut harta yang dipungut sebagai kewajiban. Hal ini tanpak jelas

dalam ungkapan bahwa jizyah dan kharaj dipungut secara dharibah, yakni secara

wajib. Bahkan sebagian ulama menyebut kharaj merupakan dharibah.

Secara umum para Ulama klasik maupun Ulama modern ada yang

berpendapat bahwa pajak itu boleh dan ada juga yang mengatakan bahwa pajak

itu haram. Para imam empat mazhab pun berbeda pendapat dalam menyikapi

masalah pajak. Hasan Turobi mengatakan pemerintahan yang ada di dunia

Muslim dalam sejarah yang begitu lama pada umumnya tidak sah. Karena itu,

para fuqaha khawatir jika diperbolehkan menarik pajak akan disalahgunakan dan

menjadi suatu alat penindasan oleh penguasa kepada rakyat (kaum Muslim).

Pemerintah akan menetapkan dan memungut pajak sesuka hati, dan

menggunakannya menurut apa yang diinginkannya (pajak dianggap sebagai upeti-

hak milik penuh sang raja).3

Sistem kekhalifahan Islam dikenal beberapa sumber dana (asset/kekayaan)

yang merupakan partisipasi rakyatnya, baik Muslim atau non-Muslim. Di antara

sumber-sumber pemasukan tersebut dalam konteks sejarahnya dikenal berbagai

nama, antara lain ghanimah, fai, kharaj (pajak hasil bumi), jizyah (pajak kepala).

khusmus barang temuan/tambang, „usyur, zakat, dan lain sebagainya.

Fokus pembahasan skripsi ini adalah tentang pajak hasil bumi (kharaj)

pada masa-masa Islam awal sampai sekarang. Agar para pemungut pajak

memungutnya sesuai dengan syariat. Al-Kharaj atau pajak yaitu uang yang

3 Gusfahmi, Pajak menurut Syariah, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, Ed. 1, 2007) h.21

4

dikenakan terhadap tanah dan termasuk hak-hak yang harus ditunaikan.

Keterangan tentang pajak dalam Al-Qur‟an berbeda dengan keterangan tentang

jizyah. Oleh karena itu, penanganan pajak diserahkan sepenuhnya kepada ijtihad

imam.

Rasulullah SAW juga memberlakukan kharaj, pajak yang dikenakan pada

tanah yang terutama ditaklukkan oleh kekuatan senjata, terlepas dari apakah

sipemilik itu seorang yang dibawah umur, seorang dewasa, seorang bebas, budak,

Muslim ataupun tidak beriman.

Abu Yusuf (113-182 M/731-798 M), salah seorang pemuka mazhab

Hanafi, menulis karya yang bertajuk al-kharaj, yang membahas persoalan pajak

tanah. Ironisnya pajak sebagai sumber penerimaan negara mengalami penguatan,

sementara zakat mengalami kemunduran dan dianggap menjadi tanggunga jawab

masing-masing individu muslim. Hal ini diperparah lagi dengan hancurnya

kekhalifahan Islam dan munculnya nation state system akibat kolonialisme.

Kolonialisme bukan hanya menjajah wilayah dan masyarakat Islam, tetapi juga

menghancurkan sistem ekonomi yang telah dibangun dan memperkenalkan sistem

perekonomian baru.

Dari sisi subjek (wajib pajaknya), kharaj dikenai atas orang kafir dan juga

muslim (kerena membeli tanah kharajiyah). Apabila orang kafir yang mengelola

tanah kharaj masuk Islam. Maka ia tetap dikenai kharaj sebagaimana keadaan

sebelumnya dan seorang muslim boleh membeli kharaj (menurut Mazhab

Syafi‟i). Jika seorang kafir masuk Islam, maka tanah itu tetap menjadi miliknya,

5

dan mereka wajib membayar 10% dari hasil dari hasil buminya sebagai zakat,

bukan sebagai kharaj.4

Namun pendapat larangan di atas diperbolehkan oleh sebagian sahabat dan

tabi‟in, seperti Abdullah Ibn Mas‟ud, Muhammad Ibn Sirin dan Umar Ibn Abdul

Aziz. Mereka berpendapat bahwa kehinaan yang dimaksud itu adalah atas kepada

(orangnya) bukan tanahnya. Oleh kerena itu, tidak ada kehinaan dalam

menunaikan pajak penghasilan dari tanah kharaj. Dengan begitu tidak ada

larangan membelinya.5

Dilihat dari aspek politik dari kebijakan fiskal yang dilakukan oleh

khalifah adalah dalam rangka mengurusi dan melayani umat. Kemudian dilihat

dari bagaimana Islam memecahkan problematika ekonomi. Maka berdasarkan

kajian fakta permasalahan ekonomi secara mendalam terungkap bahwa hakikat

permasalahan ekonomi terletak pada bagaimana distribusi harta dan jasa ditengah-

tengah masyarakat sehingga titik berat pemecahan permasalahan ekonomi adalah

bagaimana menciptakan suatu mekanisme distribusi ekonomi yang adil.

Berbicara konsep kharaj di era modern, model pemungutan seperti yang

dicontohkan Nabi Saw dan para sahabat itu menurut penyaji bisa saja diterapkan,

meskipun dengan prosedur dan mekanisme kerja yang berbeda. Kita sama tahu

bahwa pajak bersumber dari kebijakan dan Ijtihad pemerintah (uli al-amri). Dan

tentunya jika keputusan pemerintah tersebut tidak bertentangan dengan ajaran

agama seperti tertera pada surat An-Nisa‟ ayat 59 :

4 Gusfahmi, Pajak menurut Syariah, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, Ed. 1, 2007) h.127

5 Ibid, h. 128

6

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul

(Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat

tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul

(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.

yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Ulil Amri mempunyai wewenang untuk mengatur dan menentukan tentang

kewajiban pajak (kharaj) tersebut. Di saat pemerintah tidak membutuhkan dana

dari rakyat karena ekonomi negara yang cukup stabil, maka pemerintah bisa saja

tidak memungut pajak kecuali seperlunya saja. Namun lain halnya jika kondisi

bangsa sangat tertinggal dan memerlukan dana besar demi lancarnya

pembangunan, maka wajib bagi negara itu untuk menerapkan pajak demi

kemaslahatan bangsa secara keseluruhan.

Namun perlu ditambahkan, terhadap tanah kharaj dan tanah kharajiyah

(negeri taklukan yang penduduknya telah masuk Islam) seperti Irak, Syam, Mesir,

Libya, dan negeri-negeri di Asia Tengah lainnya. Setiap penduduk (muslim dan

non muslim) yang memanfaatkan tanah kharaj diwajibkan membayar kharaj

kepada negara.

Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk mengadakan

penelitian dan mengetahui lebih jauh dengan permasalahan yang di atas,

7

kemudian akan dituangkan dalam sebuah skripsi yang berjudul : “Kharaj Menurut

Ulama Salaf Dan Khalaf”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas dikemukakan permasalahan

sebagai berikut:

1. Bagaimana kharaj menurut ulama Salaf ?

2. Bagaimana kharaj menurut ulama Khalaf ?

3. Apa persamaan dan perbedaan antara ketentuan ulama salaf dan

khalaf tentang kharaj?

C. Tujuan Penelitian

Penulis mengadakan penelitian terhadap masalah ini dengan tujuan

sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui kharaj menurut ulama Salaf.

2. Untuk mengetahui kharaj menurut ulama Khalaf.

3. Untuk mengetahui dasar persamaan dan perbedaan tentang kharaj?

D. Manfaat Penelitian

Adapaun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini, yaitu :

1. Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi pengembangan ilmu

pengetahuan.

8

2. Mempermudah untuk mengetahui letak perbedaan dan Persamaan kharaj

menurut ulama Salaf dan Khalaf .

E. Batasan Istilah

Agar tidak terjadi salah pengertian terhadap judul skripsi ini, maka penulis

merasa perlu mendifinisikan istilah- istilah yang berkenaan dengan rumusan

masalah dalam penelitian ini sebagai berikut :

1. Kharaj adalah pajak atas tanah atau hasil tanah, di mana para

pengelola wilayah harus harus membayar kepada negara Islam.

Maksud dari kharaj disini adalah pajak atas bumi atau tanah.6

2. Ulama Salaf adalah orang yang terdahulu agar orang-orang sesudah

mereka dapat mengambil pelajaran dari mereka (salaf). Maksud dari

ulama Salaf disini adalah ulama klasik atau ulama terdahulu dari masa

Rasul sampai tabi‟in 105 H.7

3. Ulama Khalaf adalah generasi yang hidup setelah kurun ketiga atau

kelima hijrah. Maksud dari ulama Khalaf disini adalah ulama modern

atau sekarang.8

Dengan demikian yang dimaksud dengan judul di atas adalah meneliti

perbedaan dan persamaan antara kedua pendapat ulama salaf dan khalaf tentang

kharaj.

6 Nuruddin Mhd. Ali, Zakat : Sebagai Instrumen Dalam Kebijakan Fiskal, ( Jakarta : Raja

Grafindo Persada, 2006 ) h.138

7 http://www.alkhoirot.net/2012/03/salaf-salafiyah-dan-salafi.html

8 http://gazafirdaus.blogspot.com/2009/03/as -salaf-al-khalaf.html

9

F. Kajian Pustaka

Kajian pustaka ini pada intinya adalah untuk mendapatkan gambaran

hubungan topik yang akan diteliti dengan penelitian sejenis yang pernah

dilakukan oleh penelitian sebelumnya, sehingga tidak ada pengulangan. Dalam

penelusuran awal sampai saat ini penulis belum menemukan penelitian atau

tulisan yang spesifik mengkaji tentang pajak menurut ulama salaf dan khalaf.

Namun, sebelumnya ada mahasiswa-mahasiswi yang mengkaji masalah terkait,

diantaranya :

“Penerapan Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2003 tentang Pajak Restoran

pada Usaha Warung Makan di Kec. Kandangan ( Perspektif Ekonomi Islam),

oleh Raudatul Munawarah (0701158013). Skripsi ini secara garis besar membahas

masalah penerapan peraturan daerah terhadap pajak restoran pada usaha warung

dalam perspektif ekonomi Islam.

Skripsi selanjutnya yang berjudul “Dampak Penerapan Peraturan Daerah

No. 9 Tahun 2011 tentang Pajak Restoran pada Usaha Warung Makan di Kec.

Kandangan, oleh Norma Amalia (10301151190). Skripsi ini membahas mengenai

dampak diterapkannya peraturan terhadap usaha warung makan.

Dari kedua hasil penelitian di atas yang penulis lakukan, kajian penelitian

yang mengangkat judul penelitian tentang pajak menurut ulama salaf dan khalaf

ini tidak ada yang mengangkatnya.

10

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan studi pustaka yang objek utamanya buku-

buku dan tulisan-tulisan yang berkaitan secara langsung dengan objek yang diteliti

dan bersifat kualitatif.

2. Bahan dan Sumber Hukum

a) Bahan Hukum

Bahan yang digali dalam penelitian ini adalah:

1) Hukum kharaj yang meliputi: menurut ulama salaf dan

khalaf.

2) Landasan teori, yang meliputi: pendapat ulama salaf dan

khalaf tentang kharaj, pajak di Indonesia dalam perspektif

syariah, syarat dan tujuan pemungutan pajak menurut

Islam.

3) Ada tidaknya persamaan dan perbedaan dari kedua

pendapat tersebut, yaitu kharaj menurut ulama salaf dan

khalaf.

b) Sumber Hukum

Yaitu bahan yang digunakan penyusunan untuk dijadikan kajian

dalam penelitian ini, yang mana penyusunan menggunakan rujukan:

Al-Istikhraj li Ahkam al-Kharaj karya Ibn Rajab al-Hanbali.

Al-Ahkām al-Sulthāniyyah wa al-Wilayāt al-Diniyyah karya

Abī al-Hasan „Alī bin Muhammad al-Mawardī (wafat 450 H).

11

Zakat dan Pajak karya B. Wiwoho dkk,

Pajak menurut Syariah karya Gusfahmi,

Teori Komprehensip tentang Zakat dan Pajak karya Gazi

Inayah.

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data, di gunakan teknik berikut: Survey

kepustakaan, yaitu dengan melakukan observasi di perpustakaan untuk

mengumpulkan sejumlah buku-buku dan kitab yang diperlukan berkaitan dengan

penyusunan penelitian ini. Adapun yang menjadi tempat survey adalah

Perpustakaan Pusat IAIN Antasari Banjarmasin, Perpustakaan Fakultas Syariaah

IAIN Antasari Banjarmasin dan Perpustakaan Pasca Serjana IAIN Antasari

Banjarmasin.

4. Teknik Pengolahan dan Analisis data

1. Teknik Pengolahan

Setelah data terkumpul, selanjutnya dilakukan dengan menggunakan

beberapa tahapan antara lain:

a. Editing, yaitu penulis menyeleksi kembali data yang telah

terkumpul untuk memperoleh data yang tepat sesuai dengan

tujuan penelitian.

b. Klasifikasi data, yaitu penulis mengelompokan data menurut

jenisnya masing-masing.

c. Interprestasi data, yaitu penulis memberi penafsiran atau

penjelasan terhadap data sehingga menjadi mudah.

12

d. Studi komparatif, yaitu dengan melakukan penelaahan dan

pengkajian secara mendalam terhadap perbandingan-

perbandingan hukum yang telah diperoleh, sehingga diperoleh

data yang diperlukan.

2 Analisis Data

Analisis data menggunakan metode komparasi yaitu berupaya

menemukan persamaan dan perbedaan dari dua objek yang sama atau setingkat.

H. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pemahaman tentang isi dan esensi penulisan skripsi

ini, serta memperoleh penyajian yang serius, terarah dan sistematik.

Bab pertama : Sebagai bab pendahuluan penulis membahas tentang Latar

Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian,

Definisi Operasional, Kajian Pustaka, Metode Penelitian dan Sistematika

Penulisan.

Bab kedua : Sebagai landasan teori yang terkait dengan judul skripsi ini

berisi tentang pendapat para ulama Salaf dan Khalaf tentang kharaj, dasar

penetapan, cara penentuan dan pengukuran kharaj, tujuan dan pemanfaatan kharaj.

Bab ketiga : Membahas tentang sejarah kharaj dalam Islam, pengertian

kharaj menurut Islam, pendapatan dan pengeluaran negara di masa pemerintahan

Rasulullah SAW hingga pasca Khulafaurrasyidin.

13

Bab keempat : Sebagai akhir dari penilaian yang meliputi simpulan dari

berbagai permasalahan yang sudah dibahas sebelumnya dan akan disertakan

saran-saran yang berkaitan dengan masalah tersebut.

14

BAB II

KETENTUAN UMUM TENTANG KHARAJ

A. Kharaj Dan Sumber-Sumber Pendapatan Lainya

1. Pengertian Kharaj

Kharaj berasal dari akar kata kharaja-yakhruju-khurujan artinya keluar.

Secara terminologi berarti pajak yang dikenakan atas tanah yang ditaklukkan oleh

pasukan Islam. Pada mulanya kharaj merupakan ganimah yang diperoleh orang

Islam setelah melalui peperangan. Ganimah ini harus dibagi-bagikan kepada

pasukan yang ikut berperang sebanyak 80% atau empat per lima bagian

(QS.8:41).9

Tentang kharaj ada nash tersendiri dari al-Qur‟an yang memberikan

penjelasan tentang kharaj ini dengan penjelasan yang berbeda dengan penjelasan

nash tentang jizyah. Oleh karena itu, penentuan kharaj diserahkan sepenuhnya

kepada ijtihad imam.10 Allah berfirman sebagai berikut:

9 Abdul Aziz Ahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001)

h.901. 10

Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah, ( Jakarta: Erlangga, 2008) h.351

15

Artinya: Atau kamu meminta upah kepada mereka?", Maka upah dari

Tuhanmu11 adalah lebih baik, dan dia adalah pemberi rezki yang paling

baik.(QS.Al-Mu‟minun (23):7).

Ada dua penafsiran tentang firman Allah Ta‟ala, “Am tas‟aluhum kharjan.”

1) Kata kharaj artinya upah.

2) Kata kharaj artinya manfaat.

Ada dua penafsiran Allah Ta‟ala, “Fakharaju rabbika khairun.”

a. Rizki Tuhanmu di dunia itu lebih baik. Ini penafsiran Al-Kalbi.

b. Pahala Tuhanmu di akhirat itu lebih baik. Ini juga penafsiran Al-Kalbi dan

Al-Hasan.

Abu Amr bin Al-Ala‟ berkata, “Perbedaan antara Al-Kharju dengan Al-

Kharaj, bahwa Al-Kharju (upah) diterapkan kepada orang, sedangkan Al-Kharaj

(pajak) diterapkan kepada tanah.”12

Secara harfiah, kharaj berarti sewa menyewa atau menyerahkan. Dalam

terminologi keuangan Islam, kharaj adalah pajak atas tanah atau hasil tanah, di

mana para pengelola wilayah taklukkan harus membayar kepada negara Islam.

Negara Islam setelah penaklukkan adalah pemilik atas wilayah itu, dan pengelola

harus membayar sewa kepada negara Islam. Para penyewa ini memahami tanah

11

yang dimaksudkan upah dari Tuhan ialah rezki yang dianugrahkan Tuhan di dunia,

dan pahala di akhirat. 12 Imam Al-Maward i, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah : Hukum Penyelenggaraan Negara dalam

Syariat Islam, (Jakarta : Darul Falah, Cet. II, 2006) h.261

16

untuk pembayaran tertentu dan memelihara sisa hasil panennya untuk diri mereka

sendiri. Jadi, kharaj ibarat penyewa atau pemegang kontrak atas tanah atas

pengelola yang membayar pajak kepada pemiliknya. Apabila jizyah ditetapkan

berdasarkan nash Al-Qur‟an, maka kharaj ditetapkan berdasarkan Ijtihad. Kharaj

(pajak) dalam bahasa Arab adalah kata lain dari sewa dan hasil. 13

Secara khusus pengarang Fikhus Sunnah mengartikan kharaj itu dengan

tanah dalam wilayah yang ditaklukkan oleh pasukan Islam yang ditinggalkan.

Namun tetap digarap oleh penduduknya sebagai imbalan pajak tertentu yang harus

dibayarnya.14

Kharaj dikenakan pada tanah (pajak tetap) dan hasil tanah (pajak

proporsional) yang terutama ditaklukkan oleh kekuatan senjata, terlepas apakah si

pemilik itu seorang yang di bawah umur, seorang dewasa, seorang bebas, budak,

Muslim ataupun non-Muslim. Kharaj dikenakan atas seluruh tanah di daerah yang

ditaklukkan dan tidak dibagikan kepada anggota pasukan perang, oleh negara

dibiarkan dimiliki oleh pemilik awal atau dialokasikan kepada petani non-Muslim

dari mana saja.15

Jadi, jelaslah bahwa objek dari kharaj adalah karena tanahnya (status

tanahnya) yang harus disewa, bukan penghasilan atas tanah tersebut, di mana bagi

kaum Muslim termasuk zakat. Sebagai penegasan, jika tanah kharaj ditanami

13 Gusfahmi, Pajak menurut Syariah, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, Ed. 1, 2007) h.126

14 B.Wiwoho, Usman Yatim, dkk, Zakat dan Pajak,(Jakarta: Bina Rena Pariwara, Ed. 3,

1992)h. 84

15 Op.cit h.128-129

17

dengan tanaman zakat, maka pajak (kharaj) terhadap tanah tersebut tidak

menggugurkan kewajiban membayar zakat sepersepuluh (menurut Mazhab Imam

Syafi‟i). Sedangkan menurut Mazhab Hanafi. tidak wajib keduanya sekaligus,

yang wajib hanya zakat saja, sedangkan kewajiban kharaj gugur.16

Dari sisi subjek (wajib pajak), kharaj dikenakan atas orang kafir dan juga

Muslim (karena membeli tanah kharajiyah). Apabila orang kafir yang mengelola

tanah kharaj masuk Islam, maka ia tetap dikenai kharaj sebagaimana keadaan

sebelumnya. Seorang Muslim boleh membeli tanah kharaj dari seorang kafir

dzimmi dan dia tetap dikenakan kharaj (menurut Mazhab Syafi‟i). Jika seorang

kafir masuk Islam, maka tanah itu tatap menjadi miliknya, dan mereka wajib

membayar 10% dari hasil buminya sebagai zakat, bukan sebagai kharaj. Said

Hawwa menjelaskan:

Umar mengatakan bahwa membayar kharaj bagi kaum Muslim adalah

suatu kehinaan. Kharaj (pajak penghasilan) yang telah dikenakan

terhadap orang kafir dzimmi, maka apabila tanah kharaj berpindah

tangan dari mereka kepada orang-orang Muslim berarti ikut berpindah

pula pajak penghasilannya. Berarti pula, seorang Muslim pada waktu itu

wajib menunaikan pajak penghasilan sebagaimana orang kafir dzimmi

dan ini adalah satu bentuk kehinaan yang Allah telah menyelamatkan dari

kehinaan ini.

16 Ibid, h.126-127

18

Namun pendapat larangan di atas diperbolehkan oleh sebagian sahabat dan

tabi‟in, seperti Abdullah Ibn Abdul Aziz, Umar Ibn Abdul Aziz. mereka

berpendapat bahwa kehinaan yang dimaksud dalam surat Al-Taubah [9] : 29 itu

adalah atas kepala (orangnya) bukan atas tanahnya. Oleh karena itu, tidak ada

kehinaan dalam menunaikan pajak penghasilan dari tanah kharaj. Dengan begitu,

tidak ada larangan untuk membelinya.

Selanjutnya Umar Ibn Abdul Aziz, Imam Malik Ibn Anas dan Al-Auza‟i

berpendapat, kaum Muslimin yang membeli tanah kharaj wajib membayar zakat

10% dan juga kharaj (pajak penghasilannya). Karena zakat adalah kewajiban atas

setiap Muslim yang tidak bisa gugur dalam kondisi apa pun. Sedangkan kharaj

(pajak penghasilan) merupakan prinsip yang diwajibkan atas tanah berkaitan

dengan hak-hak terdahulunya sebelum berpindah tangan kepada seorang Muslim.

Dalam contoh praktiknya, Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz pernah menuliskan

surat kepada amilnya di Palestina berkenaan dengan orang Islam yang memiliki

tanah kharaj, agar ia tetap mengambil pajak (kharaj) darinya kemudian

mengambil zakat dari harta yang tersisa setelah diambil untuk pembayaran pajak.

Zakat 10% dan pajak penghasilan (kharaj) keduanya adalah hak yang berbeda

dalam hal distribusi. Pajak penghasilan didistribusikan untuk kepentingan pasukan

perang dan keturunan mereka, sedangkan zakat didistribusikan untuk asnaf

delapan.17

17 Ibid, h.127-128

19

Semua seluruhnya terbagi empat macam, yaitu sebagai berikut:

Pertama, tanah yang baru dihidupkan oleh kaum muslimin adalah tanah

usyr yang tidak boleh dikenakan kharaj atasnya.

Kedua, tanah yang pemiliknya masuk Islam dan ia menjadi pihak yang

paling berhak atas tanah itu. Menurut Syafi‟i, tanah itu menjadi tanah

sepersepuluh dan tidak boleh dikenakan kharaj. Sedangkan Abu Hanifah

berpendapat, kepala negara atau pemerintah dapat memilih antara menjadikannya

sebagai lahan kharaj, atau sepersepuluh. Jika ia menjadikannya sebagai lahan

kharaj, maka tanah itu tidak boleh diubah menjadi tanah sepersepuluh. Dan jika ia

menjadikannya sebagai tanah sepersepuluh, maka tanah itu boleh diubah statusnya

menjadi tanah kharaj.18

Ketiga, tanah yang dirampas dari tangan kaum musyrikin secara paksa dan

dengan kekuatan. Menurut Syafi‟i, tanah ini menjadi rampasan perang yang

dibagi-bagi kepada para tentara yang mendapatkan rampasan perang itu dan

menjadi tanah sepersepuluh yang tidak boleh dipungut kharaj-nya. Sedangkan,

Malik berpendapat menjadikan tanah tersebut sebagai tanah wakaf bagi seluruh

kaum Muslimin dengan kewajiban mengeluarkan kharaj yang ditetapkan atas

tanah itu. Sementara Abu Hanifah berpendapat bahwa imam atau kepala negara

dapat memilih salah satu dari dua hal itu.

18

Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah, ( Jakarta: Erlangga, 2008) h.352

20

Keempat, tanah yang di dapatkan dari kaum musyrikin dengan damai.

Inilah tanah yang dikhususkan kharaj. Tanah ini ada dua macam, yaitu sebagai

berikut:

a) Tanah yang ditinggalkan oleh para pemiliknya, sehingga tanah itu dapat

direbut oleh kaum muslimin. tanpa melalui peperangan. Tanah ini menjadi wakaf

bagi kepentingan kaum muslimin dan darinya dipungut kharaj sebagai biaya sewa

yang berlaku selamanya, meskipun ia tidak ditentukan oleh suatu masa tertentu.

Karena terkandung manfaat yang umum dan statusnya tidak berubah dengan

masuk Islamnya seseorang atau status seseorang yang masih kafir dzimmah.

Tanah itu tidak boleh dijual karena ia merupakan tanah wakaf.

b) Tanah yang ditempati oleh para pemiliknya dan mereka berdamai

dengan pasukan Islam. Kepemilikan yang mereka pegang itu diakui, tetapi tanah

itu dikenakan kharaj yang harus dibayar oleh mereka. Hal seperti ini ada dua

macam, yaitu sebagai berikut:

Pertama, mereka melepaskan kepemilikan mereka atas tanah itu saat

berdamai dengan kaum muslimin, sehingga status tanah itu berubah menjadi tanah

wakaf bagi kepentingan kaum muslimin, seperti halnya tanah yang ditinggalkan

pergi oleh para pemiliknya. Kharaj, yang dikenakan atas tanah itu adalah biaya

sewa yang tidak hilang seiring dengan masuk Islamnya mereka dan mereka juga

tidak boleh menjual tanah itu. Mereka menjadi pihak yang paling berhak untuk

menggunakan tanah itu selama mereka berdamai dan tidak diambil dari tangan

mereka, baik mereka tetap dalam kemusyrikan maupun mereka telah masuk

21

Islam. Seperti halnya tanah yang disewa tidak boleh dirampas dari tangan pihak

yang menyewanya.

Dengan mengeluarkan kharaj ini, kewajiban mereka untuk membayar

jizyah tetap tidak hilang jika mereka menjadi ahl-dzimmah yang berdomisili di

negara Islam. jika mereka tidak mengubah statusnya kepada kafir dzimmah dan

tetap mempertahankan status sebagai seorang kafir „ahdi, maka mereka tidak

boleh menetap lebih dari satu tahun di negara Islam. Mereka boleh menetap di

negara Islam selama kurang dari satu tahun itu tanpa harus membayar jizyah.

Kedua, mereka meminta agar tetap diperbolehkan memegang harta milik

mereka dan tidak diambil dari mereka, kemudian mereka berdamai dengan

bersedia membayar kharaj atas tanah yang mereka miliki itu. Kharaj ini adalah

berstatus sebagai jizyah yang dipungut dari mereka selama berada dalam

kemusyrikan mereka, saat mereka masuk Islam maka kewajiban ini terhapus dari

mereka dan mereka tidak lagi dipungut jizyah atas diri mereka. Mereka boleh

menjual tanah itu kepada siapa yang mereka kehendaki, baik kepada kaum

muslimin maupun kepada ahl-dzimmah. Jika tanah itu mereka jual kepada sesama

ahl-dzimmah, kewajiban membayar kharaj itu tetap berlaku atas tanah itu.

Sementara jika tanah itu dijual kepada individu muslim, maka kewajiban

membayar kharaj itu terhapus atas tanah itu. Jika tanah itu di jual kepada

seseorang kalangan kafir dzimmi, ada kemungkinan kharaj tanah itu dapat tidak

hilang selama ia masih berada dalam kekafiran. Dapat pula kewajiban kharaj itu

menjadi terhapus darinya dengan ia keluar dari status dzimmah.

22

Menurut syafi‟i; kewajiban kharaj atas tanah itu dikurangi dari bagian

tanah yang telah terhapus kewajiban kharaj-nya dengan masuk Islamnya sang

pemilik bagian tanah itu. Abu Hanifah berpendapat, kewajiban untuk membayar

sejumlah harta itu tetap seperti semula dan kewajiban kharaj-nya tidak hilang atas

bagian tanah yang dimiliki oleh salah seorang pemilik yang masuk Islam.

2. Sejarah Singkat tentang Kharaj

Jauh sebelum Islam datang, kharāj telah lama dikenal oleh umat manusia.

Sejarah perpajakan dimulai dari adanya orang-orang yang menganggap tanah

atau bumi adalah milik raja. Kepercayaan semacam ini telah lama berlaku sejak

zaman dahulu. Dalam kitab Perjanjian Lama (Taurat) pasal 47: 13-26 (Tindakan

Yusuf) bercerita tentang kelaparan yang hebat melanda penduduk Mesir.

Penduduk Mesir menjual segala macam harta benda, termasuk tanah bahkan

dirinya kepada Fir'aun untuk mendapatkan gandum. Setelah segala macam harta

benda habis untuk ditebus dengan gandum dan mereka sangat khawatir terancam

kematian:

23 Berkatalah Yusuf kepada rakyat itu: "Pada hari ini aku telah membeli

kamu dan tanahmu untuk Firaun; inilah benih bagimu, supaya kamu dapat

menabur di tanah itu.

24 Mengenai hasilnya, kamu harus berikan seperlima bagian kepada

Firaun dan yang empat bagian lagi itulah menjadi benih untuk ladangmu

dan menjadi makanan kamu dan mereka yang ada di rumahmu, dan

menjadi makanan anak-anakmu"

23

25 Lalu berkatalah mereka : "Engkau telah memelihara hidup kami; asal

kiranya kami mendapat akasih tuanku, biarlah kami menjadi hamba

kepada Firaun"

26 Yusuf membuat hal itu menjadi suatu ketetapan mengenai tanah di

Mesir sampai sekarang, yakni seperlima dari hasilnya menjadi milik

Firaun; hanya tanah para imam yang tidak menjadi milik Firaun. 19

Dalam ayat-ayat Perjanjian Lama (Taurat) di atas jelas tanah-tanah rakyat

menjadi milik Firaun, didapat dari proses jual beli. Tanah-tanah itu kemudian

digarap kembali oleh pemiliknya dengan benih dari Firaun. Sebagai imbalannya

seperlima dari hasilnya diberikan kepada Firaun. Ayat 26 (terakhir) dari pasal 47

ini menyiratkan tradisi kharāj (pajak bumi) ini berlanjut sampai pada masa

Ramsis II (Firaun zaman Nabi Musa) naik tahta, yakni sekitar tahun 1311 SM.

Hanya saja menurut penjelasan Alquran dalam surat al-Fajr [89]: 10-20 sikap

Firaun zaman Nabi Musa mengabaikan tanggungjawab sosial Dia berbuat

sewenang-wenang, banyak berbuat kerusakan di muka bumi, termasuk

mencampur baur antara harta halal dan haram, serta mencintai harta dengan cinta

yang berlebihan.

Sistem perpajakan ini terus berlanjut sepeninggal Firaun dan tradisi ini

diteruskan ketika Mesir dikuasai oleh Hyksos atau Hyesos (raja-raja gembala)

sekitar tahun 250 SM. Sejarawan masyhur Manetho dari Alexandria yang

menulis sejarah Mesir dalam bahasa Yunani pada tahun 260 SM, seperti yang

19

Al-Imam al-Hafiz Abi al-Faraj „Abd al-Rahman bin Ahmad bin Rajab al-Hanbali, Al-

Istikhraj li Ahkam al-Kharaj, (Beirut : Dar al-Kutub al-ilmiyah, 1405), h. 15-16.

24

dikutip oleh Josephus dan dari informasi Josephus dikutip lagi oleh Sayid

Muzaffaruddin Nadvi sebagai berikut:

Ada seorang raja kami bernama Timeans. Di bawah pemerintahannya,

entah mengapa, Tuhan marah kepada kami. Maka dengan cara yang tiba-tiba,

datanglah orang-orang gembel dari timur, yang begitu berani memasuki negeri

kami, dan dengan mudah mengalahkan kami dengan paksa, tanpa pertumpahan

darah. Sesudah mereka menguasai kami, mereka kemudian membakar habis kota-

kota, menghancurkan candi-candi para dewa, dan memperlakukan penduduk

dengan sangat barbar: bahkan mereka membantai dan menjadikan anak-anak dan

wanita sebagai budak. Lama kelamaan mereka mengangkat seorang dari mereka

sebagai raja, yaitu Salatis. Ia tinggal di Memphis, dan kedua wilayah atas dan

bawah membayar upeti kepadanya.

Kharāj juga dikenal di masa raja-raja Persia. Sebelum sistem kharāj

dikenal istilah al-muqāsamah (bagi hasil tanah pertanian) antara rakyat dengan

raja. Pada masa Kisra Qabāz bin Fairuz sistem al-muqāsamah dirubah menjadi al-

kharāj. Latar belakang perubahan ini diceritakan oleh Abū al-Hakīm al-Nahrāwi

seperti dikutip oleh Ibn Rājab (wafat 595 H) "Pada suatu hari Kisra Qabāz bin

Fairuz pergi berburu. Di suatu perkebunan, dia terpisah dari teman-temannya. Dia

masuk ke suatu perkebunan dan di sana ada seorang wanita yang sedang membuat

roti. Bersama wanita tersebut ada seorang anak laki- laki. Anak laki- laki tersebut

ingin mengambil buah yang ada pada kebun. Wanita itupun meninggalkan roti

yang sedang dia buat dan mencegahnya agar tidak mendekati buah yang ada pada

pohon. Lalu Kisra Qabāz bertanya: "Kenapa engkau mencegah perbuatan anak

25

itu?" Wanita itu menjawab: "Sesungguhnya kebun ini muqāsamah, bagi raja ada

hak dan pekerjanya belum datang untuk memetiknya". Kemudian Qabāz

meninggalkan wanita tersebut dan ia memerintahkan supaya buah-buahan

diperuntukkan untuk pemilik kebun pertanian, memetakan areal pertanian dan

mewajibkan al-kharāj (pajak) untuk pemilik kebun".20

Ibn Khaldun mengutip perkataan Anu Syirwān tentang pajak:

امللك باجلند واجلند باملال، واملال باخلراج واخلراج بالعمارة والعمارة بالعدل، والعدل بإصالح العمال وإصالح العمال باستقامة الوزراء ة ورأس الكل بافتقاد

21ميلكها والمتلكو. امللك حال رعيتو بنفسو واقتداره على تأديبها

Kerajaan bertumpu pada angkatan bersenjata, angkatan bersenjata

bertumpu pada harta benda, harta benda diperoleh dari kharāj , dan

kharāj menunjang pembangunan, pembangunan bertopang pada

keadilan. Keadilan yang berorientasi pada perbaikan pekerja-pekerja /

para pegawai pemerintah. Perbaikan para pegawai ini tergantung kepada

para menteri dan para pemimpin semuanya tergantung dengan kebijakan

raja untuk mengatur rakyat sendiri.

Dari penuturan Ibn Khaldun ini dapat diketahui bahwa sumber pendapatan

dari kharāj (pajak) memegang peranan penting pada masa Anu Syirwān untuk

20Al-Imām al-Hāfiz Abī al-Farāj „Abd al-Rahmān bin Ahmad bin Rajab al-Hanbalī

(selanjutnya disingkat Ibn Rajab), Al-Istikhrāj li Ahkām al-Kharāj , (Beirut: Dār al-Kutub al-

„ilmiyah1405), hlm. 15-16.

21 Ibn Khaldn, Muaqaddimah Ibn Khaldun, (http://www.alwarraq.com dari Maktabah

Syāmilah) , hlm. 1.

26

melaksanakan pembangunan yang terpadu. Masa kekuasaan Anu Syirwān adalah

masa-masa menjelang kedatangan Islam karena Rasulullah saw bersabda: "Aku

dilahirkan pada zaman raja yang adil, Anusyirwan". Walaupun pendapat ini

dibantah oleh Ab Ja'far Muhammad bin Ya'kb al-Kulainī al-Rāzī.22

Tradisi kharāj ini juga sudah dikenal di masa raja-raja Ptolemen,

Bizantium, dan Romawi,23 serta terus berlanjut sampai Islam datang. Pada masa

Islam sistem kharāj ini tetap diakui karena banyak manfaat dan maslahatnya.

Hanya saja sistemnya disempurnakan dan namanya pun beragam. Ada yang

disebut dengan: 1) zakat (pajak harta kekayaan umat Islam) yang kewajibannya

langsung dari Allah, 2) jizyah (pajak kepala) yang dikenakan kepada non-Muslim

yang hidup di wilayah Islam, 3) Kharāj (pajak bumi) berlaku bagi tanah yang

diperoleh kaum muslimin lewat peperangan, 4) „Usyur (pajak perdagangan eskpor

impor), dan 5) ¬arib al-dām (pajak darah), yaitu dalam bentuk jihad menegakkan

agama Allah. Dalam uraian berikut lebih difokuskan pada point yang keempat

(kharāj ).

3. Konsep Pajak Secara Umum dan Konteksnya di Indonesia

Kewajiban yang ditetapkan terhadap wajib pajak yang harus disetorkan

kepada negara sesuai dengan ketentuan, tanpa mendapat prestasi atau imbalan

langsung dari negara. Hasilnya ditujukkan untuk membiayai pengeluaran-

22 Abu Abdullah al-Zanjani, Wawasan Baru Tarikh al-Quran, terj. Kamaluddin Marzuki

Anwar dan A. Qurthubi Hassan, (Jakarta: Mizan, 1993), Cet. III, hlm. 23

23 Ibrahim Husen, "Hubungan Zakat dan Pajak dalam Islam", dalam Zakat dan Pajak, oleh

Usman Yatim, dkk (Editor), (Jakarta: PT. Bina Rena Pariwara, 1992), Cet. III, hlm. 139.

27

pengeluaran umum disuatu pihak, dan untuk merealisir sebagian tujuan ekonomi,

sosial, politik, dan tujuan-tujuan lain yang ingin dicapai oleh negara. Bagi yang

tiak mematuhinya akan dikenakan sanksi hukum.

Suatu undang-undang dikatakan baik apabila undang-undang tersebut

mendefinisikan secara jelas dan tegas tentang segala suatu yang diaturnya guna

menghindari terjadinya kesalahan dalam penafsiran oleh para pengguna undang-

undang itu. Kejelasan menjadi suatu keharusan agar tujuan pembuatan undang-

undang itu dapat tercapai. Demikian pula dengan undang-undang perpajakan, ia

harus dibuat definisi tentang pajak. Dari sisi teori perundang-undangan, jika pajak

tidak didefinisikan dalam undang-undang perpajakan, akan melaksanakan

ketentuan undang-undang perpajakan.24

Diantara bentuk kezhaliman yang hampir merata di tanah air kita adalah

diterapkannya sistem perpajakan yang dibebankan kepada masyarakat secara

umum, terutama kaum Muslimin, dengan alasan harta tersebut dikembalikan

untuk kemaslahatan dan kebutuhan bersama. Untuk itulah, akan kami jelaskan

masalah pajak ditinjau dari hukumnya dan beberapa hal berkaitan dengan pajak

tersebut, di antaranya ialah sikap kaum muslimin yang harus taat kepada

pemerintah dalam masalah ini.

Kaum Muslim sebagai pembayar pajak harus mempunyai batasan

pemahaman (definisi) yang jelas tentang pajak menurut pemahaman Islam,

sehingga apa-apa yang dibayar memang termasuk hal-hal yang memang

24

Gusfahmi, Pajak menurut Syariah, (Jakarta : RajaGraf indo Persada, Ed. 1, 2007) h. 23

28

dipertintahkan oleh Allah Swt (ibadah). Jika hal itu bukan perintah, ia tentunya

tidak termasuk ibadah. Demikian pula bagi petugas pajak, jika pajak itu sesuai

syariat, maka apa yang di lakukan tentu bernilai Jihad baginya. Sebab, sekecil apa

pun perbuatan (kebaikan atau keburukan), pasti akan dipertanggungjawabkan di

hadapan Allah Swt.

Rencana pemerintah untuk menjadikan pajak sebagai sumber utama

penerimaan negara di masa datang, tampaknya akan menemui kendala besar. Hal

ini disebabkan karena pajak belum diterima sebagai sebuah kewajiban

keagamaan, sebagaimana halnya zakat bagi mayoritas kaum Muslim. Mayoritas

kaum Muslim belum menganggap menerima dan memahami bahwa pajak adalah

sebuah kewajiban keagamaan. Hal ini diindikasikan dengan:

1. Minimnya Wajib Pajak Muslim yang secara sukarela mendaftarkan

diri sebagai Wajib Pajak untuk memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak

(NPWP). Umumnya, mereka mendapatkan NPWP secara terpaksa,

karena pemerintah mengaitkan kewajiban ber-NPWP dengan

kepentingan usaha mereka, seperti: syarat pengajuan kredit ke bank,

kredit mobil, buka giro, dan sebagainya. Akibatnya, sekalipun mereka

telah memiliki NPWP, ada kecenderungan untuk tidak mau

menyampaikan SPT, atau menyampaikan SPT, namun tidak

mengisinya dengan benar, sebagai bentuk penolakan mereka atas

pajak.

2. Minimnya wajib pajak Muslim yang termasuk dalam daftar

pembayaran pajak terbesar di Indonesia. Dari daftar 200 pembayar

29

pajak terbesar Indonesi tahun 1995, ternyata di dominasi oleh kaum

non-Muslim.25

Persoalan yang menarik tentang pajak adalah adanya dualisme

pemungutan dengan zakat (double taxs). Di Indonesia, seorang wajib zakat

(muzakki), juga sebagai wajib pajak (taxs payers). Hal ini terlihat jelas dengan

adanya dua kewajiban dalam dua undang-undang yang berbeda, yaitu kewajiban

zakat dan kewajiban pajak dalam UU No. 38 Tahun 1999 tentang pajak

pengelolaan zakat dan kewajiban pajak dalam UU No. 17 Tahun 2000 tentang

Pajak Penghasilan (PPh). Kedua undang-undang ini menyatakan bahwa zakat dan

pajak adalah kewajiban. Hal inilah yang dirasakan oleh kaum Muslim sebagai

suatu beban yang berat.

Adapun masalah kaum Muslim enggan membayar pajak disebabkan

karena tidak tepat alokasi penggunaan uang pajak. Penerimaan pajak, dari tahun

ke tahun memang meningkat namun peningkatan ini tidak diikuti dengan

penurunan angka kemiskinan. Padahal seharusnya, j ika penerimaan pajak

meningkat, maka angka kemiskinan menurun. Tapi yang terjadi justru sebaliknya.

Pajak yang diharapkan sebagai solusi kemiskinan, ternyata belum mampu menjadi

pemindah kekayaan dari si kaya ke si miskin (regulator). Pajak baru hanya mamp u

menjadi sumber pendapatan negara (budgeter) semata untuk mendanai berbagai

kebutuhan pemerintah dalam menyelenggarakan negara. 26

25

Ibid, h.4

26 Ibid, h.8-9

30

4. Hubungan Kharaj dengan Zakat, dan Jizyah.

Berdasarkan penjelasan terdahulu, setiap muslim menghadapi dua

kewajiban yang berkaitan dengan hartanya: pertama zakat dan kedua berupa

pajak. Pada saat Nabi Muhammad Saw masih hidup, kewajiban material yang

harus dipikul umat Islam hanya satu, yaitu zakat dan sebagai pengimbangnya

bagi non-Muslim dikenakan jizyah (QS. At Taubah: 29).

Kewajiban kharaj bagi orang bukan Islam tidaklah sebagai pengganti

jizyah, karena jizyah adalah kewajiban atas diri sebagai imbalan atas

perlindungan jiwa yang diberikan oleh Islam. Jadi seorang non-muslim, di

atas tanah kharaj-nya, selain membayar kharaj harus juga membayar jizyah.

Kharaj dan jizyah mempunyai beberapa persamaan ialah keduanya

dibebankan kepada orang non-muslim, keduanya brasal dari rampasan perang, dan

diwajibkan setahun sekali.27

27 Abdul Azis ahlan, Ensiklopedi Hukum Islam,(Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve,

2001)h. 902

31

BAB III

KHARAJ DALAM PANDANGAN ISLAM

A. Kharaj dalam Pandangan Ulama Salaf

1. Kharaj pada masa al-Khulafa al-Rasyidin

a. Dasar penetapan

Pada masa Rasulullah dan Abu Bakar as-Siddiq ra. kharaj merupakan

ganimah yang diperoleh orang Islam setelah melalui peperangan. Ganimah ini

dibagi-bagikan kepada pasukan yang ikut berperang sebanyak 80% atau empat

per lima bagian.28 Dalam buku-buku sejarah juga29 tidak ditemukan kebijakan

Abu Bakar as-siddīq (632-634 M) berkaitan dengan kharāj . Beliau lebih banyak

menghadapi persoalan-persoalan intern seperti menumpas Musailamah al-Kazzāb

yang mengaku nabi, kelompok-kelompok yang murtad, dan mereka yang enggan

membayar zakat. Setelah selesai mengatasi persolaan dalam negeri, barulah Abu

Bakar mulai mengirim kekuatan-kekuatan keluar Arabia. Khālid bin Walid

dikirim ke Irak dan dapat menguasai al-Hirah di tahun 634 M. Ke Suria dikirim

tentara di bawah pimpinan tiga jenderal „Amr bin al-„Ăsh, Yazīd bin Abī Sufyān,

dan Syurahbil bin Hasanah. Untuk memperkuat tentara ini, Khālid bin Walid

kemudian diperintahkan supaya meninggalkan Irak, dan melalui gurun pasir yang

28

Abdul Aziz ah lan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001)

h.901.

29 Maktabah Syāmilah terhadap al-Kāmil fī al-Tārīkh karya Ibn Atsīr, al-Maghāzī dan

Futh al-Syām karya al-Wāqidī, Murj al-ªahab karya al-Mas„dī, dll.

32

jarang dijalani, ia delapan belas hari ia kemudian sampai di Suria. 30 Menurut al-

Wāqidī tentara Rum berjumlah 90.000 orang dan dapat ditumpas sekitar 50.000

orang, sisanya lari bercerai berai. Umat Islam pun mendapat harta rampasan yang

banyak, di antaranya salib emas dan perak. Khālid bin Walid mengumpulkan

semua harta rampasan ini dan rencananya akan dibagikan setelah menaklukkan

Dimsyiq. Khalid berkata: "Aku tidak membagikan harta rampasan kepadamu

kecuali setelah menaklukkan Dimsyiq Insya Allah. Ini terjadi pada suatu malam

tanggal 6 Jumādi al-Awwal tahun ke 13 hijrah, yaitu 23 malam sebelum wafatnya

Abu Bakar.31

Takkala Irak dan daerah-daerah lainnya sudah ditaklukkan oleh „Umar, dia

berpendapat untuk tidak membagi tanah di antara para penakluk, tetapi

menjadikannya sebagai tanah wakaf. Beliau seraya berkata: "Bagaimana dengan

orang–orang Islam yang datang belakangan yang menemukan buminya telah

habis terbagi dan diwarisi dari bapak-bapak mereka, apa ini satu pikiran saja?".

„Umar mengemukakan hujjah untuk tetap membiarkan tanah tersebut dan tidak

membagi-bagikannya dengan firman Allah dalam surat al-Hasyr: 8-10:

رجوا من ديارىم وأموالم ي بت غون فضال من اللو ورضوانا وي نصرون للفقراء المهاجرين الذين أخون بون من ىاجر (8)اللو ورسولو أولئك ىم الصادق ميان من ق بلهم ي ار وال والذين ت ب وءوا الد

وا وي ؤثرون على أن فسهم ولو كان بم خصاصة ومن إليهم وال يدون ف صدورىم حاجة ما أوت

30 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI-Pres, 2005), h. 51.

31 Al-„Ashfarī, Tārikh Khalīfah bin Khayyāth, (Beirut: Dār al-Fikr, 1414), h. 80.

33

ون ون رب نا اغفر لنا (9)يوق شح ن فسو فأولئك ىم المفلح والذين جاءوا من ب عدىم ي قولان وال تعل ف ق لوبنا غال للذين ءامنوا رب نا إنك رءوف رحيم مي خواننا الذين سب قونا بال (10)ول

Bagi para fukara yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari

harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridaan-Nya

dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang

benar. Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah

beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhājirin), mereka

mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh

keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada

mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang

Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa

yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya,

mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan orang-orang yang datang

sesudah mereka…"

Selanjutnya „Umar berkata: "Tidak terbayang ada sisa sesuatupun

terhadap orang yang datang sesudah mereka jika aku bagi lahan pertanian tersebut

kepada semua penakluk". Mereka (para sahabat) berseru: "Engkau tahan apa yang

diberikan Allah kepada kami (yang kami rebut) dengan pedang-pedang kami

untuk suatu kaum yang belum datang dan mereka juga tidak ikut syahid. Bagi

anak suatu kaum, kaum itulah yang bertanggungjawab". Abd al-Rahmān bin

„Awuf berkata: "Apakah bumi dan tumbuh-tumbuhan yang ada di atasnya itu

dikecualikan dari sesuatu yang diberikan Allah atas kaum muslimin. Yakni dia

masuk dalam firman Allah : "Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu

peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah,

Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil…. ".

„Umar menjawab: "Tepat seperti apa yang kamu katakan dan aku berpendapat

34

lain!". Hadirin menganjurkan untuk musyawarah. Maka bermusyawarahlah

muhājirīn yang mula-mula, akhirnya mereka pun berbeda pendapat. Abd al-

Rahmān bin „Awuf berpendapat bumi dan tumbuh-tumbuhan di atasnya dibagi

sebagai telah dikemukakan-nya. Utsmān, „Ălī, Thalhah, dan Ibn „Umar

berpendapat diwakafkan saja. Lalu kirim kepada sepuluh orang Anshār, lima

orang Aus, lima orang Khazraj dari pembesar mereka. 32

„Umar berkata: "Saya tidak ingin membuat kalian cemas, saya ingin

membuat kalian bersatu dalam menunaikan amanat yang kupikul karena

persoalan-persolan kalian. Sesungguhnya aku sendiri sebagaimana salah seorang

dari kalian. Kalian hari ini menetapkan satu kebenaran; ada yang berbeda

denganku dan ada yang sependapat. Namun aku tidak ingin kalian mengikuti

persoalan ini dengan argumen kitabullah karena saya yakin sekiranya kitabullah

itu bisa berbicara dia akan mengatakan apa yang kuinginkan itu benar". Mereka

berseru : "Katakan wahai Amīr al-mu'minīn, kami akan mendengarkan". „Umar

berkata: "Sungguh kalian telah mendengar perkataan suatu kaum yang menduga

saya menzhalimi hak-hak mereka dan sebenarnya saya berlindung kepada Allah

dari berbuat zhalim. Sekiranya saya berbuat zhalim tentulah saya telah

memberikan harta ghanimah tersebut kepada selain mereka dan sungguh aku telah

celaka. Tetapi aku berpendapat tidak akan tersisa sesuatupun sesudah penaklukan

bumi kisra dan sungguh Allah memberikan kami harta mereka, tanah dan

tumbuh-tumbuhan. Aku bagi harta tersebut di antara penduduknya dan aku

pungut pajak 1/5 sesuai aturan. Tanah dan tumbuh-tumbuhan di atasnya

32

Abū Yūsuf, Kitāb al-Kharāj , Juz I, (Beirut: Dār al-Ma„rifah, 1399), h. 24-25.

35

kujadikan barang wakaf dan dibebankan kepada mereka kharāj dan jizyah yang

harus dibayar, selanjutnya kujadikan Fai untuk umat Islam yang ikut berperan

dan juga keturunan mereka, serta orang yang datang belakangan. Apakah kalian

tahu perbatasan wilayah kota-kota besar seperti Syām, Jazīrah, Kfah, Bashrah,

dan Mesir harus dijaga oleh tentara-tentara yang membutuhkan biaya, dari mana

biayanya diambil kalau tanah dan tumbuh-tumbuhan habis kubagi?" Akhirnya

mereka sepakat berkata:

رجال الرأي رأيك فنعم ما قلت و مارأيت إن مل تشحن ىذه الشغور و ىذه املدن بال

وترى عليهم ما بتقون بو رجع الكفر اىل مدهنم

Pendapat yang benar adalah pendapatmu. Oleh karena itu sebaik-baik

perkataan adalah apa yang engkau katakan dan sebaik-baik pendapat

pendapatmu. Sekiranya daerah perbatasan/pesisir pantai tidak dijaga dan

kota-kota tidak dikawal oleh tentara dikhawatirkan orang-orang kafir akan

kembali ke kota mereka.

„Umarpun berkata: "Sungguh jelas bagiku urusan itu". Tanah itupun

tetap di tangan penduduknya dan dibebankan kepada mereka kharāj , dan inilah

pendapat yang final (benar). Pihak yang berbeda pendapat pun terdiam dan

mengikuti pendapat mayoritas. 33

Sebenarnya ada beberapa beberapa riwayat lain yang dikemukakan oleh

Abu Yusuf, namun pesan yang ingin disampaikan hampir bersamaan. Intinya

33 al-Qādhī Abū Yūsuf. Kitāb al-Kharāj , Juz I…. h. 25 dan Muhammad bin al-Hasan al-

Hujwī al-Tsa„ālibī al-Fāsī, al-Fikr al-Sāmī….. h. 236.

36

„Umar cenderung untuk mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan

pribadi. Kendatipun kelihatannya agak menyimpang dari sunnah secara formal,

namun dapat dipahami beliau melaksanakan intisari dari sunnah atau ruh (jiwa)

syariat, yakni keadilan sosial ekonomi sebagaimana yang diamanatkan oleh surat

al-Hasyr tersebut.

b. Cara penentuan dan pengukuran kharaj

Orang-orang yang ditugaskan menangani penentuan besarnya kharaj harus

mengetahui fakta tentang tanah. Apakah termasuk kategori subur, produktif dan

banyak hasil panennya, atau termasuk kategori tanah yang jelek, sedikit yang bisa

tumbuh dan kurang produktif. Selain itu mereka harus mengetahui keadaannya

apakah diairi dengan air hujan, mata air, sumur, selokan/sungai, atau apakah diairi

dengan cara saluran air (irigasi), penyiraman, ataukah menggunakan alat. Ini

harus diketahui karena bebanya (besar kharajnya) tidak dama. Juga jenis tanaman

pangan dan buah-buahan yang ditanami di atas tanah tersebut serta hasil panennya

harus diketahui, karena tanaman pangan dan buah-buahan yang mahal dan

berharga harus dinaikkan besar kharajnya. Sedangkan yang murah harganya harus

di rendahkan pungutan kharajnya. Lokasinyapun harus diketahui, apakah tanah

tersebut dekat dari perkotaan dan pasar, atau jauh, apakah di tanah tersebut ada

jalan lebar yang memudahkan untuk mencapainya serta terdapat

37

angkutan/transportasi yang menghubungkannya ke pasar, atau jalan tersebut

memang ada tetapi dalam keadaan rusak.34

Semua itu harus diteliti dan diperhatikan, sehingga tanah tersebut tidak

dianiaya, yaitu tidak dibebani melebihi dari kemampuannya. Umar bin Khaththab

telah bertannya kepada Utsman bin Hanif dan Hudzaifah bin Yaman, setelah

mereka berdua kembali dari pengukuran tanah hitam (di Irak) serta menentukan

kharaj atasnya. Umar berkata: „Bagaimana kalian berdua menentukan kharaj atas

tanah tersebut,apakah kalian berdua membebani penduduknya dengan apa-apa

yang mereka tidak sanggup menanggungnya?.„ Maka, Hudzaifah berkata: „Aku

biarkan sebagian kelebihan bagi mereka.‟ Utsman berkata: „Aku biarkan (tidak

membebani yang) lemah dan seandainya engkau kehendaki, maka aku pasti

mengambilnya.‟ Selain itu harus ditinggalkan bagi pemiliknya sesuatu yang dapat

menghindarkan mereka dari bahaya dan kebinasaan. Rasulullah saw telah

memerintahkan dalam penghitungan buah-buahan saat dikeluarkan zakatnya agar

ditinggalkan untuk pemiliknya kurma sebanyak sepertiganya atau seperempatnya.

Rasulullah saw bersabda35:

Ringankanlah (ketika engkau) menaksir (hitungan kharaj). Karena di

dalam harta itu ada bagian wasiat, orang yang tidak punya pakaian,

kaum yang papa, dan yang terkena musibah. Begitulah yang dipaparkan

al-Mawardi di dalam kitabnya, al-Ahkamu as-Sulthaniyah.

34

Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan di Negara Khilafah, (Bogor : Thariqul Izzah,

2006) h. 52-53

35

Ibid, h.53

38

Oleh karena itu penetapan kharaj bisa saja atas tanah atau atas tanaman

pangan dan buah-buahannya. Jika kharaj ditetapkan atas tanah, maka penetapan

haulnya (satu tahun berjalan) harus dengan ukuran tahun Qamariyah merupakan

bilangan tahun untuk perhitungan waktu pembayaran zakat, macam-macam denda

(diyat), jizyah dan lainnya, yang sesuai dengan hukum syara. Apabila penetapan

dilakukan atas tanaman pangan dan buah-buahan, maka harus didasarkan pada

tanaman pangan dan buah-buahan yang sempurna beserta sifat-sifatnya. Demikian

juga haul dan saat pembayarannya. Pembayaran kharaj mungkin dengan uang,

atau uang sekaligus dengan biji-bijian dan buah-buahan, atau masing-masing.

Apabila kharaj yang ditetapkan atas tanaman pangan dan bua-buahan tersebut

pembayarannya berbentuk uang, atau uang dan biji-bijian, atau sendiri-sendiri,

maka haulnya didasarkan pada tanaman pangan dan buah-buahan yang sempurna

beserta sifat-sifatnya. Saat ini dengan mudah dapat ditetapkan pembayaran kharaj

dengan uang atas tanah (kharaj), dengan perhitungan yang didasarkan pada segala

sesuatu yang ditanam di atasnya. 36

Penetapan besarnya kharaj atas tanah harus dilakukan oleh para ahli, yaitu

orang-orang yang mengetahui cara-cara penetapannya, seperti yang sudah

dijelaskan pada bagian sebelumnya. Sebagaimana yang dilakukan Umar bin

Khaththab yang menutus Utsman bin Hanif setelah bermusyawarah dengan

orang-orang. Lalu memilihnya karena dia adalah orang yang berakal kuat serta

berpengalaman. Umar mengutusnya ke Kufah untuk menetapkan kharaj atas

36

Ibid, h. 53-54

39

(tanah di sekitar) sungai Eufrat. Beliau juga mengutus Hudzaifah bin Yaman

untuk menetapkan kharaj atas segala sesuatu yang ada di sekitar sungai Tigris

(Dajlah). Mereka berdua mengukur tanah hitam (subur) tersebut, dan menghitung

jumlah kharaj yang harus ditanggung. Kemudian melapurkan hasilnya kepada

Umar bin Khaththab. Dari „Amru bin Maimun, berkata: „Aku menyaksikan Umar

bin Khaththab, kemudian ibnu Hanif mendatanginya dan terjadilah percakapan

dengannya. Maka kami mendengar Umar berkata kepada ibnu Hanif, „Demi

Allah, jika engkau menetapkan satu dirham untuk setiap jarib (luas) tanah, dan

satu sarung tangan (qofizan) untuk setiap (besaran tertentu) bahan pangan, maka

hal itu tidak memberatkan.‟ Dan dalam hadits Muhammad bin „Ubaid ats-

Tsaqafiy berkata: „Umar bin Khaththab telah menetapkan kepada penduduk

tanah hitam (subur) untuk setiap jarib tanh yang subur ataupun berair sebanyak

satu dirham atau satu sarung tangan, serta kharaj atas setiap jarib tanah (yang

ditanami) buah kurma (ruthbah) sebanyak lima dirham.‟ Asy-Sya „biy telah

menyebutkan dari Umar: „Umar telah mengutus Utsman bin Hanif ke tanah hitam

dan menetapkan kharaj setiap jarib tanah (tanah kharaj yang ditanami) gandum

(sya‟ir) sebanyak dua dirham, setiap jarib (tanah kharaj yang ditanami) gandum

(hinthah) sebanyak empat dirham, setiap jarib (tanah kharaj yang ditanami) tebu

sebanyak enam dirham, setiap jarib (tanah kharaj yang ditanami) kurma (nakhl)

sebanyak delapan dirham, setiap jarib (tanah kharaj yang ditanami) anggur

sebanyak sepuluh dirham, dan jarib (tanah kharaj yang ditanami) zaitun

sebanyak duabelas dirham.‟ Diriwayatkan oleh Abu „Ubaid.37

37

Ibid, h. 54

40

Hal ini menunjukkan bahwa jumlah kharaj yang ditentukan oleh Utsman

bin Hanif atas tanah Irak dan yang ditetapkan Umar tidak satu macam, tetapi

berbeda-beda tergantung kepada tanahnya, wujud fisiknya, pengairannya, serta

jenis tanaman yang ditanami maupun dari tanah rawa-rawa atau tanah yang

tertutup air. Kharaj diambil atas tanah, tanaman pangan maupun buah-buahan,

baik berupa uang maupun biji-bijian. Perhitungan jumlah kharaj disesuaikan

dengan kemampuan tanpa adanya unsur penindasan serta tidak dibebankan

kepada penduduknya segala hal yang mereka tidak sanggup mengatasinya, dan

sisanya tetap bagi mereka.38

Karena perhitungan ini ditetapkan pada waktu tertentu dan dilakukan atas

dasar ijtihad, maka perhitungan jumlah kharaj ini bukan wajib secara syar‟iy,

yang tidak membolehkan adanya penambahan atau pengurangan. Oleh karena itu,

Khalifah dibolehkan menambah atau mengurangi jumlah kharaj tersebut, sesuai

dengan pendapat dan ijtihadnya, dan sesuai dengan perubahan atas tanah itu

sendiri, yaitu bertambahnya bagian yang subur atau justru bagian yang jeleknya

(gersang), meningkatnya produktivitas atau rusaknya tanaman, tersebarnya

bencana yang merusak tanah, melimpahnya air atau berkurangnya bahkan

keringnya tanah tersebut, disamping terjadinya serangan penyakit atau tidak, naik

atau turunnya harga, semua perubahan-perubahan ini berpengaruh dalam

perhitungan jumlah kharaj. Juga harus diperhatikan dan dipehitungkan jumlahnya

antara keadaan sekarang dan keadaan terakhir, sehingga tidak terjadi kecurangan

baik bagi pemilik tanah maupun bagi baitul mal.

38

Ibid, h. 55

41

Untuk menentukan besarnya kharāj , khalifah mengutus orang-orang yang

ahli dalam pengukuran tanah. Dari hasil musyawarah „Umar menerima saran para

sahabat agar mengutus „Utsmān bin Hanīf dan Huzaifah bin Yaman untuk

melakukan pengukuran tanah subur di Irak. Keduanya berperan juga

mengkategorikan tanah subur, produktif dan banyak hasil panennya ataukah

termasuk tanah jelek yang kurang produktif karena beban kharāj nya tidak sama.

Lokasinya juga harus diketahui apakah dekat dari perkotaan dan pasar atau jauh,

apakah transportasinya mudah atau sulit, bahkan diperhatikan juga keadaan

ekonomi penduduknya. Setelah mereka berdua kembali dari pengukuran tanah di

Irak, „Umar berkata: "Bagaimana kalian berdua membebani penduduknya dengan

apa-apa yang mereka tidak sanggup menaggungnya? Huzaifah berkata: "Aku

biarkan sebagian kelebihan bagi mereka". Utsmān berkata: "Aku biarkan (tidak

membebani) yang lemah dan sekiranya aku kehendaki, maka aku pasti

mengambilnya.39

Luas lahan pertanian yang subur (al-Sawād) seluruhnya mencapai

36.0000 jarīb. Kharāj jenis tanaman/ukuran luasnya dan besarnya kharāj yang

disetujui „Umar dari masukan „Usmān bin Hanīf lewat surat dan kemudian juga

diterapkan untuk wilayah Syam40 sebagai berikut:

39 „Abd Qadīm Zallm, al-Amwāl fī Dawlat al-Khilāfah, (Beirut: Dār al-„Ilm li al-Malayin,

1425), h. 50.

40Alī bin Muhammad al-Mawardī, al-Ahkām al-Sulthāniyyah, (Beirut: Dār al-Kutub al-

„Ilmiyyah, t.th), hlm. 189 dan lihat juga al-Tsa„ālibī al-Fāsī, al-Fikr al-Sāmī ,h. 236.

42

No. Jenis tanaman dan ukuran luas

Besar kharāj

01

02

03

04

05

06

07

08

1 Jarīb sya„īr (gandum)

1 Jarīb anggur dan kurma

1 Jarīb hinthah (gandum)

1 Jarīb sayur-sayuran

1 Jarīb ruthab, samsim, dan kapas

1 Jarīb tebu (tebu gula)

1 Jarīb zaitn

1 Jarīb „ināb

2 dirham

10 dirham (8 dirham)

4 dirham (1 dirham+1 qafīj)

3 dirham

5 dirham

6 dirham

12 dirham

8 dirham

Catatan : - Satu jarīb = 60 zirā„ raja (ukuran panjang zaman dulu)= 112 meter

persegi empat.

- 1 qafīj = 12 shā„ takaran (1 shā„ = 2,176 kg)

- 1 dirham setara dengan 4,25 gram perak.

- Komulasi besarnya kharāj satu tahun sebelum wafatnya „Umar

sebanyak 100.000.000 juta dirham

- Tabel di atas diringkas dari sejumlah riwayat sahabat yang

menceritakan kebijakan „Umar. Umumnya data yang ditunjuk

riwayat seperti pada tabel.

Pada waktu „Utsmān bin „Affān menjadi khalifah (644-656 M) beliau

membuat kebijakan sesuai dengan apa yang telah dijalankan „Umar, namun dia

mengatur kapling-kapling tanah pertanian yang subur untuk sebagian sahabat. Ini

43

berarti ia melihat status tanah tersebut sebagai fai dan tidak menganggapnya

sebagai ghanimah. Demikian juga khalifah sesudahnya „Alī bin Abi Thālib

menetapkan perkara itu sebagaimana pendahulunya, tidak merubahnya.

Diriwayatkan bahwa „Alī pernah bermaksud membaginya, tetapi tidak terlaksana.

Yahya bin Adam di dalam kitabnya tentang qirān al-Asadī yang bersumber dari

Abī Sinān al-Syaibānī dari „Umairah dari „Alī ra bahwasanya dia berkata:

لقد مهمت أن أقسم السواد ، ينزل أحدكم القرية فيقول قرييت ليدعوين

41 وإال قسمتو

Sungguh aku berkeinginan kuat untuk membagi al-Sawād (lahan pertanian

subur di Irak), namun salah seorang kamu sebagai penduduk datang seraya

berkata: "kampungku" dia memohon kepadaku (supaya tidak dibagi). Jika

tidak aku telah membaginya.

Berdasarkan satu sanad dari Tsa„labah bin Yazīd dari „Alī ra dia berkata:

42لوال أن يضرب بعضكم وجوه بعض لقسمت السواد بينكم

Sekiranya terjadi sebagian kamu memukul wajah sebagian yang lain benar-

benar aku akan membagi al-Sawād di antara kamu

41Ibn Rajab, Al-Istikhrāj li Ahkām al-Kharāj ….. h. 39.

42Ibn Rajab, Al-Istikhrāj li Ahkām al-Kharāj ….. h. 40.

44

Pada masa Khalifah „Alī (656-661 M) mengutus Ab Mush„ab bin Yazīd

ke wilayah perairan Furath dan menetapkan kharāj sebagai terlihat pada bagan

berikut:

No. Jenis tanaman dan ukuran luas Besar kharāj

01

02

03

04

05

06

1Jarīb gandum kasar

1Jarīb gandum sedang

1Jarīb gandum halus (Unus)

1Jarīb sya„īr

1Jarīb kebun kurma/syajar

1Jarīb kebun anggur >3 thn

1,5 dirham

1 ¢a' makanan + 1 dirham

3 dirham

3 dirham

10 dirham

10 dirham

„Alī tidak memungut kharāj dari kurma yang syaz (kurang baik) yang

dimakan oleh orang-orang yang melewati perkampungan (musafir). Juga beliau

tidak menetapkan kharāj untuk jenis sayur-sayuran, maqāsī43 (sejenis ketimun),

biji-bijian (kacang-kacangan), simsim44 (sejenis ketumbar), dan kapas, namun

beliau menetapkan jizyah al-ruus (pajak kepala). Ab Mush„ab bin Yazīd

43Muhammad Syams al-Haq al-„Azhīm Abadī Ab al-Thayib, „ Awnu al-Ma„bd Syarh Sunan

Abī Dawd, Juz X, (Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1415), Cet. II, hlm. 222.

44 Muhammad bin Muhammad bin „Abd al-Razzāq, Tāj al-„Ars min Jawāhir al-Qams, Juz I,

h. 7767.

45

selanjutnya mengatakan : "Aku laksanakan apa yang diperintahkan kepadaku

sehingga total pendapatan lebih dari 8.500.000 dirham".45

Dari uraian di atas perhitungan jumlah kharāj ini bukan bersifat wajib

syar'ī, yang tidak membolehkan adanya penambahan atau pengurangan.

Ketentuan untuk menambah atau mengurangi tergantung kepada kebijakan

khalifah, sesuai dengan ijtihadnya dan sesuai dengan keadaan tanah tersebut.

c. Jenis kharāj , wilayah, dan pemanfatannya

Dari sejumlah riwayat dan fakta historis, maka secara garis besar jenis

kharāj dan wilayahnya dapat disimpulkan sebagai berikut:

Kharaj „Unwah (Kharaj Paksaan) adalah kharaj yang diambil dari seluruh

tanah yang dikuasai kaum Muslim (dan diperoleh) dari orang-orang kafir secara

paksa melalui peperangan. Contohnya adalah tanah Irak, Syam dan Mesir.

Ayat ini dijadikan dalil oleh Khalifah Umar bin Khaththab untuk

mendukung pendapatannya tentang peniadaan pembagian tanah Irak, Syam dan

Mesir kepada (pasukan) tentara, setelah Bilal, Abdurrahman dan Zubair

menuntutnya untuk membagikan tanah yang telah diberikan Allah kepada mereka

dengan pedang mereka, seperti yang dilakukan Rasulullah saw dengan

membagikan tanah Khaibar kepada (pasukan) tentara yang turut dalam

penaklukkannya. Ayat ini juga yang disampaikan Umar kepada orang-orang

Anshar yang dikumpulkannya untuk dimintai pendapatnya. Beliau berkata: „Aku

45 Ibn Rajab, Al-Istikhrāj li Ahkām al-Kharāj …..h. 83.

46

telah memutuskan untuk menahan tanah rampasan ini beserta hewan liarnya,

kemudian menetapkan atas mereka (penduduknya) pungutan kharaj bagi tanah

tersebut, jizyah dan budak-budaknya. Selain itu tanah ini menjadi fai bagi kaum

Muslim, (pasukan) tentara dan keturunannya, serta orang-orang yang datang

setelah mereka. Apakah kalian mengira pembagian tanah ini tidak lebih pantas

daripada orang-orang yang menempatinya? Apakah kalian mengira kota besar

seperti Syam, Jazirah, Kufah, Bashrah dan Mesir ini lebih pantas dipenuhi oleh

tentara, dan kekayaannya berputar-putar di antara mereka? Darimana akan

diberikan kepada mereka (kaum Muslim generasi berikutnya) jika tanah dan

hewan liarnya telah dibagi-bagikan?‟46

Kemudian Umar mengungkapkan dalil untuk mendukung pendapatnya

kepada mereka dengan membacakan ayat-ayat fai ini sampai pada firman Allah

Swt, “ serta orang-orang yang datang setelah mereka.”

Umar berkata lebih lanjut: „Ini merupakan pengertian (yang mencakup)

semua manusia sampai hari kiamat. Dan tidak seorang pun dari kaum Muslim,

kecuali baginya ada hak dan bagian dari fai ini.‟ Mereka semua sepakat dengan

pendapat Umar dan berkata: „Pendapat engkau adalah pendapat yang paling baik,

dan apa yang engkau ungkapkan adalah benar yaitu jika tidak dipenuhi

pelabuhan dan kota-kota ini dengan tentara serta tidak memberikan upah kepada

mereka atas penjagaan terhadap kota ini, maka pastilah akan kembali lagi orang-

orang kafir ke kota mereka.‟ Umar berkata: „Sesungguhnyalah urusan ini ada

46

Ibid, h. 45-46

47

padaku, maka adakah seseorang yang berakal kuat dan mampu menempatkan

tanah ini pada tempatnya dan menempatkan hewan liar juga pada tempat yang

mendukungnya?‟ Mereka sepakat menjawab: „Serahkanlah hal itu kepada Utsman

bin Hanif, karena sesungguhnya dia adalah seseorang yang memiliki pengertian,

berakal dan berpengalaman.‟ Maka Umar segera menemuinya, dan menyerahkan

urusan pengukuran tanah subur (di Irak) kepadanya. Begitulah yang diriwayatkan

Abu Yusuf di dalam kitabnya, al-Kharaj.

Maka berangkatlah Utsman untuk mengukur tanah tersebut dan

memberikan tanda batas kharaj. Kemudian dia memberikan laporan kepada Umar

dan membacakannya. Sebelum Umar wafat, hanya dari tanah hitam (yang subur)

di Kufah telah diperoleh 100 juta dirham, sementara saat itu nilai satu dirham

sama dengan satu mitsqal. Dengan demikian Umar telah menetapkan tanah

tersebut di tangan pemiliknya dan mewajibkan kharaj atas tanah tersebut untuk

mengisi baitul mal kaum Muslim, serta menjadikannya (bagian) fai bagi kaum

Muslim sampai hari kiamat. Ini berarti, status kharaj tanah yang telah diberikan

Allah Swt dan segala sesuatu yang adanya bersifat tetap. Tidak berubah menjadi

„Usyur walaupun pemiliknya berubah menjadi Muslim atau (tanah itu) dijualnya

secara paksa dan ditetapkan atasnya kharaj adalah tetap, tidak dapat berubah. Dan

Thariq bin Syihab nerkata: „Umar bin Khaththab telah menulis surat kepadaku

(dan ditujukan) kepada kepala saudagar sungai (saat itu aku telah masuk Islam),

yaitu Umar mewajibkan untuk menahan tanahnya dan diambil dari tanah tersebut

kharaj.‟ Jadi, jelas bahwa Umar bin Khaththab tidak membatalkan kharaj dari

tanah yang ditaklukkan secara paksa, walaupun penduduknya telah masuk Islam,

48

dan mewajibkannya untuk terus membayar kharaj dari tanah tersebut setelah ke-

Islamannya.47

Kharaj Sulhi (Kharaj Damai)

Kharaj sulhi adalah kharaj yang diambil dari setiap tanah dimana

pemiliknya telah menyerahkan diri kepada kaum Muslim (berdasarkan perjanjian)

damai. Kharaj ini muncul seiring dengan terjadinya perdamaian yang disepakati

antara kaum Muslim dan pemilik tanah tersebut. Jika perdamaian tersebut

menetapkan bahwa tanah menjadi milik kita (kaum Muslim) dan penduduknya

tetap (dibolehkan) tinggal di atas tanah tersebut dengan kesediaan membayar

kharaj, maka kharaj yang mereka tanggung atas tanah tersebut bersifat tetap.

Demikian pula status tanah tersebut tetap sebagai tanah kharajiyah sampai hari

kiamat, walaupun penduduknya berubah menjadi Muslim, atau tanah tersebut

dijual kepada orang Islam, atau lain- lainnya.

Apabila perdamaian tersebut menetapkan bahwa tanah itu menjadi milik

mereka, dan tetap dikelola oleh mereka, serta dibuat diatasnya tanda kharaj yang

diwajibkan atas mereka, maka kharaj ini serupa dengan jizyah, yang akan terhapus

dengan masuknya mereka ke dalam Islam, atau mereka menjualnya kepada

seorang Muslim.

Apabila tanah kharaj itu dijual kepada orang kafir, maka statusnya sebagai

tanah kharaj tetap, tidak hilang. Karena orang-orang kafir adalah (juga) pembayar

kharaj dan jizyah.

47 Ibid, h. 47

49

Kharaj dan „Usyur tidak sama. „Usyur adalah segala sesuatu yang diambil

dari hasil tanah „usyriyah. Tanah-tanah „usyriyah itu mencakup:

a. Jazirah Arab. Awalnya, penduduknya merupakan penyembah berhala,

lalu tidak pernah diterima dari mereka kecuali mereka masuk Islam.

Setelah itu, Rasulullah saw sendiri tidak mewajibkan kharaj apapun

atas tanah mereka walaupun terjadi peperangan dan penaklukkan di

atasnya.

b. Setiap tanah yang penduduknya masuk Islam, seperti Indonesia dan

Asia

c. Setiap tanah yang ditaklukkan secara paksa, kemudian Khalifah

membagikannya kepada (pasukan) tentara yang turut peperangan,

seperti tanah Khaibar, atau (pasukan) tentara itu sendiri yang

mengikrarkan untuk menjadikan sebagian dari tanah tersebut miliknya,

seperti tindakan Umar terhadap kebun kedelai yang ada di lembah

sungai Ibad (termasuk daerah Hims), akan tetapi membiarkan kebun

kurma di Damsyik (Damaskus) untuk penduduknya.

d. Setiap tanah yang penduduknya melakukan perjanjian damai dengan

ketetapan bahwa kepemilikannya tetap berada di tangan mereka dan

bersedia membayar kharaj. Tanah ini menjadi tanah „Usyur saat

penduduknya menjual tanah tersebut kepada seorang muslim.

e. Setiap tanah mati (tanah mawat) yang dihidupkan oleh seorang muslim.

Tanah „usyur ini statusnya tetap menjadi „usyur,tidak akan berubah menjadi

tanah kharaj, kecuali dalam keadaan jika seseorang kafir membeli tanah „usyriyah

50

(yang ada di tanah yang ditaklukkan secara paksa) dari seorang muslim, maka

wajib bagi orang kafir tersebut membayar kharaj atas tanahnya, dan tidak

ditetapkan ketentuan „usyur. Tanah „usyur wajib dikeluarkan zakat. Zakat itu

merupakan shadaqah dan pembersih bagi seorang muslim. Jika orang kafir

membeli tanah „usyriyah dari seorang muslim (selain di tanah yang ditaklukkan

secara paksa), maka atas tanahnya tersebut tidak ditetapkan kharaj maupun

„usyur, karena tanah „usyur tidak ada kharajnya, dan orang kafir tidak

berkewajiban mengeluarkan zakat. Contohnya, jika orang Mawasyi membeli

tanah dari seorang muslim, maka tidak wajib baginya mengeluarkan zakat. 48

Semua pendapatan dari kharāj dimasukkan ke Baitul Māl (kas negara)

dan menjadi hak bagi seluruh umat Islam. Kemaslahatan negara dibiayai dari

kharāj . Dari kharāj pula diambil gaji para pegawai dan tentara, begitu pula

untuk berbagai santunan, biaya memperbanyak pasukan dan persenjataan,

membiayai para janda dan orang-rang yang membutuhkan, serta berbagai urusan

untuk kemaslahatan umat Islam.

2. Konsep Kharaj Menurut Abu Yusuf (113-182 H/731-798 M)

Nama lengkapnya Ya‟qub ibn Sa‟ad ibn Husein al-Ashori. Beliau lahir di

kuffah pada tahun 113 H dan wafat pada tahun 182 H.49 Abu Yusuf berasal dari

suku Bujaidilah, salah satu suku bangsa Arab. Keluarganya disebut anshori karena

dari pihak ibu masih memiliki hubungan darah dengan kaum anshar.

48

Ibid, h.50

49 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,1996),

cet. Ke-1, h.16

51

Dibesarkan di kota kufah dan Baghdad yang pada masa itu merupakan

kegiatan pemikiran dan intelektual Islam paling dinamis. Ia berguru pada salah

seorang ulama besar kenamaannya yaitu Nu‟man bin Tsabit yang dikenal dengan

nama Abu Hanifah, pendiri mazhab Hanafi. Ia belajar pada imam Abu Hanifah

selama 17 tahun. Begitu intensnya hubungan pribadi dan intelektual ini membuat

imam Abu Yusuf mengambil metode dengan cara berfikir gurunya itu dan turut

menyebarkan paham fikihnya selama hidup. Beliau dikenal sebagai orang yang

memiliki ketajaman pikiran, cepat mengerti, dan sangat menghapal hadits. Murid-

muridnya yang sangat terkenal adalah imam Ahmad bin Hanbal (pendiri mazhab

Hanbal), imam Yahya bin Ma‟in (seorang ulama hadits yang sangat tersohor), dan

Yahya bin Adam (seorang ulama yang menulis karya ilmiah kitab al-kharraj juga.

Abu Yusuf menimba berbagai ilmu kepada banyak ulama besar, seperti Abu

Muhamma Atho bin as-Said Al-Kufi, Sulaiman bin Mahran Al-A‟masy, Hisyam

bin Urwah, Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laila, Muhammad bin Ishaq

bin Yassar bin Jabbar, dan Al-Hajjaj bin Arthah.

Karya Abu Yusuf yang sangat monumental adalah Kitab al-Kharaj (buku

tentang perpajakan). Kitab yang ditulis oleh Abu Yusuf ini bukanlah kitab

pertama yang membahas masalah al-Kharaj atau perpajakan.

Penekanan terhadap tanggung jawab penguasa merupakan tema pemikiran

ekonomi Islam yang selalu dikaji sejak awal. Tema ini pula yang ditekankan Abu

Yusuf dalam surat panjang yang dikirimkannya kepada penguasa Dinasti

Abbasiyah, Khalifah Harun Al-Rasyid. Dikemudian hari, surat yang membahas

tentang pertanian dan perpajakan tersebut dikenal sebagai Kitab al-Kharaj.

52

Abu Yusuf cenderung menyetujui negara mengambil bagian dari hasil

pertanian dari para penggarap daripada menarik sewa dari lahan pertanian. Dalam

pandangannya, cara ini lebih adil dan tampaknya akan memberikan hasil produksi

yang lebih besar dengan memberikan kemudahan dalam memperluas tanah

garapan. Dalam hal pajak, ia telah meletakkan prinsip-prinsip yang jelas yang

berabad-abad kemudian dikenal oleh para ahli ekonomi sebagai canons of

taxation. Kesanggupan membayar, pemberian waktu yang longgar bagi pembayar

pajak dan sentralisasi pembuatan keputusan dalam administrasi pajak adalah

beberapa prinsip yang ditekankannya.

Abu Yusuf dengan keras menantang pajak pertanian. Ia menyarankan agar

petugas pajak diberi gaji dan perilaku mereka haru selalu diawasi untuk mencegah

korupsi dan praktik penindasan.

Hal kontroversial dalam analisis ekonomi Abu Yusuf ialah pada masalah

pengendalian harga (ta‟sir). Ia menentang penguasa yang menetapkan harga.

Argumennya didasarkan pada Sunnah Rasul. Abu Yusuf menyatakan bahwa hasil

panen yang berlimpah bukan alasan untuk menurunkan harga panen dan

sebaliknya, kelangkaan tidak mengakibatkan harganya melambung. Pendapat Abu

Yusuf ini merupakan hasil observasi. Fakta dilapangan menunjukkan bahwa ada

kemungkinan kelebihan hasil dapat berdampingan dengan harga yang tinggi dan

kelangkaan dengan harga yang rendah. Namun, di sisi lain, Abu Yusuf juga tidak

menolak peranan permintaan dan penawaran dalam penentuan harga.

53

Penting diketahui, para penguasa pada periode itu umumnya memecahkan

masalah kenaikan harga dengan menambah suplai bahan makanan dan mereka

menghindari kontrol harga. Kecenderungan yang ada dalam pemikiran ekonomi

Islam adalah membersihkan pasar dan praktik penimbunan, monopoli, dan praktik

korupsi lainnya dan kemudian membiarkan penentuan harga kepada kekuatan

permintaan dan penawaran. Abu Yusuf tidak dikecualikan dalam hal

kecenderungan ini.

Kekuatan utama pemikiran Abu Yusuf adalah dalam masalah keuangan

publik. Terlepas dari prinsip-prinsip perpajakan dan pertanggungjawaban negara

Islam terhadap kesejahteraan rakyatnya, ia memberikan beberapa saran tentang

cara-cara memperoleh sumber perbelanjaan untuk pembangunan jangka panjang,

seperti membangun jembatan dan bendungan serta menggali saluran-saluran besar

dan kecil.

Selain itu Abu Yusuf juga berpendapat bahwa khalifah memiliki hak untuk

menetapkan apakah tanah kharaj akan dibagikan kepada orang tertentu ataukah

dikembalikan kepada pemilik awalnya untuk dikelola dan negara mengambil

kharaj atas tanah tersebut.

B. Konsep Kharaj Menurut Ulama Khalaf

1. Kharaj menurut Imam al-Mawardi

Nama lengkap ilmuwan Islam ini adalah Abu al Hasan Ali bin Habib al

Mawardi. Alboacen. Begitu peradaban Barat biasa menyebut pemikir dan pakar

ilmu politik termasyhur di era Kekhalifahan Abbasiyah ini. Lahir di kota pusat

54

peradaban Islam klasik, Basrah (Baghdad) pada 386 H/975 M, belajar ilmu hukum

dari Abul Qasim Abdul Wahid as Saimari, seorang ahli hukum mazhab Syafi‟i

yang terkenal. Pindah ke Baghdad melanjutkan pelajaran hukum, tata bahasa, dan

kesusastraan dari Abdullah al Bafi dan Syaikh Abdul Hamid al Isfraini. Dalam

waktu singkat ia telah menguasai dengan baik ilmu- ilmu agama, seperti hadis dan

fiqh, juga politik, filsafat, etika dan sastra. Di mata raja-raja Bani Buwaih, Al-

Mawardi mendapatkan kedudukan yang cukup tinggi. Ia hidup pada masa

pemerintahan dua khalifah: Al-Qadir Billah (381-422 H) dan Al-Qa‟imu Billah

(422-467 H). Wafat pada 1058 M, dalam usia 83 tahun.50

Cukup banyak karya tulisnya dalam berbagai cabang ilmu, dari ilmu

bahasa sampai sastra, tafsir, fiqh dan ketatangeraan. Salah satu bukunya yang

paling terkenal, termasuk di Indonesia adalah Adab al-Duniya wa al-Din (Tata

Krama Kehidupan Duniawi dan Agamawi). Selain itu, karya-karyanya dalam

bidang politik adalah Al-Ahkamu As-Sulthaniyah (Peraturan-peraturan

Kerjaan/pemerintahan), Siyasatu Al-Wazarati wa Siyasatu Al-Maliki (Ketentuan-

ketentuan Kewaziran, Politik Raja), Tashilu An-Nadzari wa Ta‟jilu Adz-Dzafari fi

Akhlaqi Al-Maliki wa Siyasati Al-Maliki, Siyasatu Al-Maliki, Nashihatu Al-Muluk.

Karya lainnya adalah Al Hawi, yang dipakai sebagai buku rujukan tentang hukum

mazhab Syafi‟i oleh ahli-ahli hukum di kemudian hari, termasuk Al Isnavi yang

sangat memuji buku ini. Buku ini terdiri 8.000 halaman, diringkas oleh Al

Mawardi dalam 40 halaman berjudul Al Iqra.

50

Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan di Negara Khilafah, (Bogor : Thariqul Izzah,

2006) h. 902

55

Imam al-Mawardi, ulama fikih Mazhab Syafi‟i, Membahas faktor yang

menentukan kemampuan seseorang memikul beban pajak bumi. Orang yang

menaksir kharaj atas sebidang tanah harus mempertimbangkan kemampuan tanah

menurut tiga faktor. Salah satu faktor yang berkaitan dengan tanah itu sendiri

adalah mutu tanah yang dapat mempengaruhi hasil panen. Faktor kedua

berhubungan dengan jenis panen, karena seperti padi-padian dan buah-buahan

berbeda harganya. Faktor ketiga mengenai irigasi, karena panennya yang

dihasilkan dengan cara irigasin air yang dipikul hewan atau diperoleh dengan

kincir berbeda dengan tanah yang diairi dari menadah hujan. Selama kualitas

tanah tetap sama dengan cara irigasi, maka pajaknya tidak bertambah maupun

berkurang. Tetapi apabila gangguan pada cara irigasi disebabkan oleh faktor alam

dan merugikan pengelola, maka negara harus mengusahakan perbaikan dan

pemilik tanah tidak dikenakan kharaj selama tanah tidak dapat ditanami

Demikian juga dalam hal karena perubahan cara irigasi yang hasilnya

merugikan tanah, negara bisa saja atau bahkan tidak menaikkan nilai kharaj. Jika

seseorang tidak mampu membayar kharaj, maka ia diberi waktu sampai

keuangannya membaik. Tetapi jika seseorang mempunyai iktikad tidak baik untuk

membayar kharaj , maka dia pun dipaksa untuk membayar pajak.

Kewajiban yang ditetapkan terhadap wajib pajak yang harus disetorkan

kepada negara sesuai dengan ketentuan, tanpa menghadapi prestasi atau imbalan

langsung dari negara. Hasilnya ditunjukkan untuk membiayai pengeluaran-

pengeluaran umum di satu pihak, dan untuk merealisir sebagian tujuan ekonomi,

56

sosial, politik, dan tujuan-tujuan lain yang ingin dicapai oleh negara. Bagi yang

tidak mematuhinya akan dikenakan sanksi hukum.

Pajak ini diwajibkan pada semua orang sesuai dengan ketentuan wajib

setor. Kebijakan yang berkenaan dengan masalah pajak ini sepenuhnya berada

pada kebijaksanaan dan kekuatan penguasa, baik mengenai objek, persentase,

harga dan ketentuannya. Bahkan pemerintah berwenang untuk menetapkan atau

bahkan menghapuskannya tergantung atau sesuai dengan kebutuhan.

Dalam bahasa Indonesia, pajak diartikan sebagai pungutan wajib biasanya

berupa uang yang harus dibayar oleh penduduk sebagai sumbangan wajib kepada

negara atau pemerintah sehubungan dengan pendapatan, pemilikan, harga beli

barang dan sebagainya. Kharaj pada sekarang ini sama halnya dengan pajak

perponding yaitu pajak bumi dan bangunan (PBB).

2. Kharaj menurut Syaikh Sayyid Sabiq

Syeikh Sayyid Sabiq dilahirkan pada 1915 dan mendapat pendidikan di al-

Azhar. Dari situ bermulanya ikatan beliau dengan al- lkhwan al-Muslimun. Pada

1948, beliau bersama-sama al-Ikhwan al-Muslimun menyertai Perang Palestin.

Akibatnya, beliau dipenjarakan di bawah tanah pada tahun 1949-1950. Syeikh

Sayyid Sabiq menceburi bidang dakwah semenjak di al-Azhar lagi. Beliau aktif

dalam al- Ikhwan al-Muslimun sehingga menjadi antara orang kepercayaan Imam

Hasan al-Banna, Mursyidul „Am al-Ikhwan al-Muslimun.

57

Pada 1951, beliau memulakan kerjayanya di Kementerian Awqaf Mesir.

Dari situ, sinar kehebatan beliau dalam ilmu terserlah. Beliau dinaikkan pangkat

hingga menjadi Wakil Kementerian Awqaf Mesir. Pada 1964, beliau berlepas ke

Yaman dan kemudiannya berada di Arab Saudi untuk menjadi pensyarah di

Kuliah Dakwah dan Usuluddin, Universiti Ummul-Qura selama lebih 20 tahun.

Karyanya Juz pertama dari kitab beliau yang terkenal “Fiqih Sunnah”

diterbitkan pada tahun 40-an di abad 20. Ia merupakan sebuah risalah dalam

ukuran kecil dan hanya memuat fiqih thaharah. Pada mukaddimahnya diberi

sambutan oleh Imam Hasan al-Banna yang memuji manhaj (metode) Sayyid

Sabiq dalam penulisan, cara penyajian yang bagus dan upayanya agar orang

mencintai bukunya. Setelah itu, Sayyid Sabiq terus menulis dan dalam waktu

tertentu mengeluarkan juz yang sama ukurannya dengan yang pertama sebagai

kelanjutan dari buku sebelumnya hingga akhirnya berhasil diterbitkan 14 juz.

Kemudian dijilid menjadi 3 juz besar. Belaiu terus mengarang bukunya itu hingga

mencapai selama 20 tahun seperti yang dituturkan salah seorang muridnya, Dr

Yusuf al-Qardawi.

Menurut Sayid Sabiq, ulama kontemporer dari Mesir, jika kharaj

merupakan sewa tanah, maka ukuran atau besarnya diserahkan kepada penguasa

untuk menetapkannya. Karena, kharaj bisa berubah dengan perubahan situasi,

kondisi, dan waktu. Jumlah kharaj ini tidak harus merunjuk kepada apa yang telah

ditetapkan Umar bin Khattab dan juga ketetapan para imam yang lainnya.

58

Merunjuk kepada pendapat mereka tidak ada masalah sepanjang pendapat itu

masih cocok dan sebab-sebabnya sama (tidak berubah).

Jumhur ulama berpendapat bahwa orang muslim yang menggarap tanah

kharaj wajib membayar zakat apabila hasil tanah itu sampai nisab. Di samping itu,

mereka juga wajib membayar kharaj atas tanah yang digarap itu. Alasannya

adalah bahwa kewajiban zakat diatur dengan dalil umum, baik dalam Al-Qur‟an

maupun hadits. Kewajiban zakat yang ditetapkan dengan dalil yang kuat tidak

mungkin diganti dengan kewajiban atas kharaj yang hanya ditetapkan berdasarkan

ijtihad.

3. Analisis Perbandingan

Pada masa Rasulullah saw dan Abu Bakar penduduk Khaibar

menyerahkan setengah dari hasil pertanian atau yang disebut dengan pajak tanah

(kharaj) mereka kepada Rasulullah saw yang digunakan untuk kepentingan

umum.

Pada masa Umar, jumlah kharaj yang dipungut bervariasi berdasarkan

kriteria tertentu, yaitu: karakteristik tanah, karakteristik hasil panen an

karakteristik jenis irigasi.

Pada masa Utsman bin Affan, kebijakan beliau sesuai dengan apa yang

telah ditetapkan Umar, namun dia mengatur kapling-kapling tanah pertanian yang

subur untuk sebagian sahabat.

59

Pada masa Ali dalam menetapkan kharaj dengan sedikit perubahan

dibanding apa yang ditetapkan Umar. Dari segi pemungutannya Ali tidak

memungut dari kurma yang kurang baik dan juga beliau tidak menetapkan kharaj

untuk jenis sayur-sayuran, biji-bijian, kapas namun beliau menetapkan jizyah.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pada permulaan Islam jumlah

pajak tanah berbeda-beda berdasarkan kondisinya, namun jumlahnya seimbang

dengan ongkos sewanya. Faktor yang menyebabkan naiknya ongkos sewa, selain

kesuburan dan produktivitas tanahnya, adalah dekatnya dekatnya dengan kanal

pada satu sisi dan dengan pasar pada sisi lainnya. Faktor lainya adalah faktor

panen memiliki elastisitas pendapatan terhadap permintaan. Ada indikasi bahwa

pemungutan pajak tanah pada permulaan Islam tergantung pada faktor yang

menyebabkan naiknya pajak tanah. Jumlah pajak tanah tidak didasarkan pada

besarnya produksi atau pengeluaran. Alasanya, Pengumpulan pajak tanah tidak

mengurangi insentif kenaikan produksi atau investasi dan tidak memiliki

pengaruh yang tidak diinginkan pada efisiensi produksi. Sebaliknya, hal itu

meningkatkan pendapatan bersih dari petani yang bekerja ditanah tersebut, dengan

tingkat sewa yang berbeda.51

Dalam konsep kharaj Abu Yusuf pemungutannya dikenakan pada dua

bentuk tanah. Tanah pada wilayah yang penuduknya telah mengikat janji dengan

Islam, yang satu di antara syaratnya adalah melepaskan haknya atas tanah. Tanah

dalam bentuk ini tidak dapat dijual dan pajak yang dibebankan kepada penggarap

51

Nuruddin Mhd. Ali, Zakat: Sebagai Instrumen dalam Kebijakan Fiskal, (Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 2006), h.139-140

60

berarti sewa atas tanah yang digarapnya. Kewajibannya setiap tahun tetap berlaku

walaupun sesudah mereka masuk Islam.

Menurut Imam al-Mawadi untuk menentukan kemampuan seorang muslim

memikul pajak bumi. Menaksir tanah atas sebidang tanah harus

mempertimbangkan kemampuan tanah menurut tiga faktor diantaranya mutu

tanah, jenis panen, dan mengenai irigasi.

Sedangkan menurut Sayid Sabiq, ukuran besarnya kharaj diserahkan

kepada penguasa untuk menetapkannya. Disebabkan kharaj itu bisa berubah

dengan perubahan situasi, kondisi, dan waktu. Konsep ini tidak harus merunjuk

kepada yang ditetapkan Umar bin al-Khattab dan imam lainya. Melainkan

merunjuk kepada pendapat mereka tidak ada masalah sepanjang pendapat itu

masih cocok dan sebab-sebabnya sama.

Timbulnya perbedaan pendapat ini adalah berbeda pandangan tentang

alasan kewajiban zakat. Jumhur ulama menyatakan bahwa kewajiban zakat

berlaku atas sasaran yang sama dan dengan sendirinya kewajiban yang satu tidak

menutup kewajiban yang lain. Sedangkan Ulama Hanafiyah menganggap

kewajiban zakat berlaku atas pemilik tanah. Oleh karena itu tidak mungkin atas

pemilik tanah itu dipikulkan dua kewajiban atas hak yang sama.

61

Matriks Perbandingan

Aspek Ulama Salaf Ulama Khalaf Perbedaan dan

Persamaan

Pengertian Kharaj adalah

kewajiban materi

atas tanah negara

yang digarap oleh

pemilik semula,

baik dia telah

beragama Islam

maupun masih

berstatus

nonmuslim yang

tergolong sebagai

kaum zimi.

Kharaj adalah

sistem pemungutan

pajak atas tanah

taklukkan pasukan

muslim terhadap

kaum kafir, dan

tanah tersebut

diserahkan kembali

kepada pemiliknya

untuk dikelola

dengan ketentuan

bahwa mereka

harus membayar

kharaj kepada

pemerintah Islam

dalam kurun waktu

satu tahun.

Dari segi

pengertian

kharaj antara

ulama Salaf dan

Khalaf terdapat

persamaan dan

perbedaannya

pada ulama

Khalaf tanah

diserahkan

kembali kepada

pemiliknya

dengan adanya

sewa dalam satu

tahun.

Pemungutan

kharaj

Kharaj lebih

disetujui pada

Kharaj dilakukan

dengan penarikan

Dalam hal

pemungutan

62

pembagian hasil

pertaniannya.

sewa dari lahan

pertanian.

kharaj sangat

jelas ulama

Salaf pada

pembagian hasil

dan ulama

Khalaf pada

sewa dari lahan.

Cara Penentuan Dalam penentuan

kharaj harus

mengetahui fakta

tanah yaitu

kategori subur,

produktif dan

panen dan juga

keadaan tanahnya

apakah diairi air

hujan, mata air,

sumur,

selokan/sungai,

atau cara irigasi,

penyiraman serta

lokasinya.

Dalam penentuan

kharaj atas

sebidang tanah

harus

menggunakan

metode misahah

mempertimbangkan

kemampuan tanah

menurut tiga faktor

yaitu mutu tanah,

jenis panen,

mengenai irigasi.

Perbedaannya

kalau ulama

Salaf

menambah

lokasi tanah

sebagai

penentuan

kharaj

sedangkan

ulama Khalaf

hanya dalam

tiga faktor.

63

Pengukuran Ukuran luas lahan

dengan

pengukuran jarib ,

ukuran besar dan

beratnya

menggunakan

dirham yang

dipungut.

Ukuran besarnya

kharaj diserahkan

kepada penguasa

untuk

menetapkannya.

Perbedaannya

pada ulama

Khalaf telah

ditetapkan

ukuran dalam

kharaj,

sedangkan pada

ulama Khalaf

tergantung

kepada

penguasa.

Penetapan Harga Ulama Salaf

cenderung

menentang

penetapan harga.

Ulama Khalaf

dalam penetapan

harga sepenuhnya

berada pada

kebijaksanaan dan

kekuatan penguasa.

Ulama Salaf

dengan pasti

menentang

apabila

ditetapkannya

harga.

Sedangkan

ulama Khalaf

belum terdapat

kepastian.

64

BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan kebutuhan negara akan beberapa hal, seperti menanggulangi

kemiskinan, menggaji tentara dan lain- lain yang tidak terpenuhi oleh zakat dan

oleh sedekah, maka harus muncul sumber alternatif sumber baru. Ada dua pilihan

alternatif untuk memenuhi kebutuhan yaitu pajak atau utang. Selama utang

mengandung konsekuensi riba, pajak adalah pilihan yang lebih baik dan tepat.

Menurut ulama Salaf seperti Abu Yusuf salah seorang fuqaha yang membolehkan

pajak dalam kitabnya Al-Kharaj menyatakan bahwa: Semua Khulafa ar-Rasyidin

terutama Umar, Ali dan Umar Ibnu Abdul Aziz dilaporkan telah menekankan

bahwa pajak harus dikumpulkan dengan keadilan dan kemurahan, tidak

diperbolehkan melebihi kemampuan rakyat untuk membayar, juga jangan sampai

membuat mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok mereka sehari-hari.

Sedangkan menurut salah satu ulama Khalaf yaitu Al-Mawardi sistem

penentuan kharaj adalah metode misahah, yaitu besarnya kharaj yang harus

dibayar ditentukan berdasarkan pengukuran oleh petugas kharaj atau pemerintah.

Al-Mawardi tidak menjelaskan secara khusus mengenai pendistribusian kharaj,

namun kharaj didistribusikan untuk kebutuhan umum pemerintah atau negara

dalam rangka menunjang pembangunan yang akan dilaksanakan oleh pemerintah

atau negara, hal ini senada dengan apa yang dipraktekkan oleh Umar Ibn Khattab.

65

B. Saran

Sesuai dengan kajian pustaka, perbandingan, analisis dan simpulan diatas

maka disarankan beberapa hal sebagai berikut:

1. Untuk sekarang ini pelaksanaan pajak harus benar-benar merunjuk

pada Al-Qur‟an dan As-Sunnah. Agar tidak terjadi suatu kezaliman

dalam pemungutannya.

2. Penggunaan uang pajak dipergunakan sesuai dengan kebutuhan dan

tidak diselewengkan untuk keprntingan pribadi. Dan diberikan sanksi

yang berat kepada para petugas penarik pajak yang melanggar dan

menyalahgunakan uang pajak.

3. Penarikan pajak disesuaikan dengan keadaan dan kehidupan masing-

masing individunya, tidak dengan kekerasaan dan paksaan.