BAB I PENDAHULUAN -...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN -...
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Teknologi informasi pada saat ini berkembang sangat pesat hingga banyak
dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Salah satu manfaat teknologi informasi yang
dirasakan adalah pemanfaatan data dan informasi spasial. Pemanfaatan data tersebut
sejalan dengan meningkatnya pengetahuan dan perencanaan dalam pembangunan
serta pengelolaan kawasan wilayah, sehingga menciptakan perencanaan dan
pengelolaan yang optimal untuk kesejahteraan masyarakat tetapi tetap
memperhatikan faktor kelestarian lingkungan hidup. Dalam hal ini, pemerintah
Indonesia membuat kebijakan-kebijakan untuk mendukung pemanfaatan data spasial,
salah satunya dengan membuat kebijakan di bidang Infrastruktur Data Spasial
Nasional (IDSN).
Menurut pedoman yang disusun dan ditulis oleh Badan Infrastruktur
Geospasial (2014) dalam buku Pedoman Pembangunan Sistem Penyelenggaraan
Informasi Geospasial, Infrastruktur Data Spasial Nasional adalah suatu perangkat
sistem manajemen data spasial yang mencakup kelembagaan, kumpulan data dasar
spasial, kebijakan-kebijakan perundanganan serta sumber daya manusia yang
dibutuhkan untuk pengumpulan, pengolahan, pendistibusian dan peningkatan dalam
pemanfaatan data spasial. Dengan penjelasan tersebut maka Infrastruktur Data
Spasial Nasional menjadi peranan penting sebagai acuan ataupun standar dari
pemanfaatan data spasial nasional baik yang digunakan oleh pihak pemerintahan
sendiri maupun pihak swasta.
Infrastruktur Data Spasial Nasional di Indonesia dirintis awalnya pada tahun
2000, namun baru pada tahun 2007 pemerintah memulai langkah serius untuk
memulai sharing data spasial dan kegunaannya dalam pembangunan, yaitu dengan
dikeluarkannya Peraturan Presiden No.85 Tahun 2007 tentang Jaringan Data Spasial
Nasional (JDSN), kemudian pada tahun 2014 dikeluarkan lagi amandemen dalam
Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2014 tentang Jaringan Informasi Geospasial
2
Nasional (JIGSN). Dari peraturan tersebut setiap daerah dituntut untuk memiliki
kelengkapan infrastruktur data spasial dan kemudahan dalam berbagi pakai dan
penyebarluasan informasi geospasial. Dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan
pemerintah tersebut, di setiap daerah melakukan kewajiban mereka untuk memenuhi
kelengkapan infrastruktur data spasial. Hingga saat ini pemerintah daerah melakukan
perkembangan IDS mereka masing-masing, akan tetapi banyaknya kendala yang
terdapat pada setiap daerah membuat kesiapan IDS di Indonesia masih belum merata.
Salah satu dari contoh dari perkembangan teknologi informasi dalam data
spasial adalah Sistem Informasi Geografis (SIG). SIG merupakan perangkat lunak
yang berbasis perangkat keras (komputer) yang kemampuannya dapat menampilkan
dan dapat menganalisis informasi-informasi yang ada dengan kenampakan geografis-
geografis dari informasi tersebut. Teknologi SIG ini juga beriringan dengan
perkembangan internet sehingga membawa dampak yang lebih besar terhadap
kemampuan dari SIG tersebut. Salah satu contoh perangkat lunak SIG yang
menggunakan internet adalah ArcGIS Online, karena bersifat online maka semua
orang bisa menggunakan dan mengakses ArcGIS Online.
Fitur yang diberikan oleh ESRI pada ArcGIS Online kepada penggunanya
salah satunya adalah story map. Story map merupakan sebuah inovasi peta berbasis
online yang memberikan dan menceritakan informasi secara lebih detail karena
menambahkan narasi cerita ke dalam sebuah peta. Fitur peta ini mengkombinasikan
peta yang dibuat pada ArcGIS Online dengan teks narasi, foto dan video ke dalam
peta tersebut sehingga memberikan penjelasan informasi lebih detail untuk orang
yang membaca dan menggunakan peta tersebut. Dengan story map, diharapkan dapat
membantu menggambarkan dan menceritakan perkembangan tentang IDS di
Indonesia dan informasi yang ditampilkan juga akan membantu untuk memahami
apa yang ingin disampaikan, karena narasi dan media yang dicantumkan dapat
menunjang pemahaman bagi pengguna dan pembaca story map tersebut.
I.2. Cakupan Kegiatan
Cakupan Kegiatan pada pembuatan peta ketersediaan Data Geospasial
Indonesia adalah sebagai berikut:
3
1. Data yang dikumpulkan menggunakan cara survei kuisoner yang di kirim ke
instansi Bappeda tingkat provinsi dan tingkat kota/kabupaten se-Indonesia.
2. Data yang dikumpulkan berupa pertanyaan yang dibagi kedalam beberapa
aspek penilaian tentang infrastruktur data spasial di instansi Bappeda seperti,
kebijakan, kelembagaan, sumber daya manusia, teknologi, data geospasial,
produsen dan pengguna serta aliran data geospasial.
3. Data yang dikumpulkan merupakan data yang terbagi ke dalam tiga periode,
yaitu 2013, 2014 dan 2015.
4. Pembuatan peta dengan menggunakan perangkat lunak QGIS sedangkan
untuk pembuatan story map menggunakan ArcGIS Online.
I.3. Tujuan
Tujuan dilakukannya kegiatan aplikatif ini adalah sebagai berikut :
1. Menghasilkan story map perkembangan infrastruktur data spasial di
Indonesia berbasis website yang di akses melalui internet.
2. Menyajikan dan memberikan informasi tentang perkembangan infrastruktur
data spasial di Indonesia sepanjang tahun 2013 hingga tahun 2015 dan
diperuntukkan kepada publik.
I.4. Manfaat
Manfaat dilakukannya kegiatan aplikatif ini adalah sebagai berikut :
1. Publik dapat memahami tentang infrastruktur data spasial di Indonesia lewat
narasi yang dibaca melalu narasi story map yang disajikan.
2. Dengan menyajikan nilai indeks kesiapan infrastruktur data spasial pada
setiap daerah ke dalam muka peta pada story map, pengguna secara umum
maupun pihak-pihak tertentu seperti Badan Informasi Geospasial (BIG) atau
Bappeda dapat mengetahui perkembangan dari kesiapan infrastruktur data
spasial di Indonesia sepanjang tahun 2013 hingga tahun 2015.
4
I.5. Landasan Teori
I.5.1. Infrastruktur Data Spasial
Infrastruktur data spasial adalah sebuah istilah yang sering di gunakan untuk
menunjukkan kumpulan data geospasial dasar yang berhubungan dengan teknologi,
penemuan data geopasial, kebijakan, kelembagaan, dan aplikasi akses data untuk
pengguna dan penyedia pada setiap tingkatan pemerintahan, swasta, akademis, dan
masyarakat (GSDI 2014). Sedangkan IDSN (Infrastruktur Data Spasial Nasional)
menurut BIG (2014) adalah suatu perangkat sistem manajemen data spasial yang
mencangkup kelembagaan, kumpulan data dasar spasial berikut standar dan petunjuk
teknis, teknologi, peraturan perundang-undangan, dan kebijakan-kebijakan, serta
sumber daya manusia yang diperlukan untuk mengumpulkan, mengolah,
menyimpan, mendistibusikan, dan meningkatkan pemanfaatan data spasial. IDS
dibangun untuk menghindari adanya duplikasi dalam produksidan biaya dalam
pembuatan data geospasial, memfasilitasi integrasi dan inovasi baru, serta
menghasilkan sumberdaya manusia yang handal dan mampu mengelola sumber
pendapatan (Rajabifard, dkk 2013).
I.5.1.1 Data Geospasial. Bossler (2002) menyatakan bahwa Data Geospasial adalah
fitur-fitur yang ditampilkan pada peta atau basis data digital yang terorganisir yang
terikat di atas permukaan bumi dengan koordinat-koordinat tertentu. Di Indonesia
menurut UU No. 4 Tahun 2011 Tentang Informasi Geospasial Pasal 1 ayat II dan III
dijelaskan Geospasial atau ruang kebumian adalah aspek keruangan yang
menunjukkan lokasi, letak dan posisi suatu objek atau kejadian yang berada di
bawah, pada, atau di atas permukaan bumi yang dinyatakan dalam suatu sistem
koordinat tertentu. Data Geospasial yang disingkat DG adalah data tentang lokasi
geografis, dimensi atau ukuran, dan/atau karakteristik objek alam dan/atau buatan
manusia yang berada di bawah, pada, atau di atas permukaan bumi.
BIG (2014) menuliskan pada pedoman pembangunan sistem penyelenggaraan
informasi geospasial, Pengumpulan DG dilakukan pada seluruh wilayah Ruang di
Indonesia dan wilayah yuridiksinya. DG yang dikumpulkan meliputi DG dasar dan
DG tematik. Breitman, dkk (2007) menyatakan Fitur DG yang telah dikumpulkan
akan dibagi kedalam kelas-kelas tertentu seperti teluk, sungai dan laut dimasukkan
5
kedalam fitur kelas hidrografi atau kota-kota, lingkungan hayati yang dilindungi dan
kawasan industri termasuk dalam fitur wilayah administratif.
I.5.2. Kartografi
Soendjojo dan Riqqi (2012) menyatakan bahwa kartografi adalah merupakan
suatu disiplin ilmu, teknik, serta seni di dalam pembuatan desain peta dan produksi
peta. Kartografi juga merupakan suatu sistem komunikasi, karena dengan adanya
ilmu kartografi, informasi yang ingin disampaikan di dalam peta dibuat agar dapat
terlihat dengan jelas, mudah dimengerti atau dipahami.
Produk dari akhir kartografi adalah peta, peta merupakan penyajian dari
unsur-unsur yang ada di muka bumi secara grafis dengan skala dan sistem proyeksi
tertentu, unsur – unsur yang dimuat dalam peta itupun harus sesuai dengan maksud
dan tujuan dari pembuatan peta itu sendiri. Prihandito (1989) menyebutkan bahwa
fungi dari peta antara lain adalah:
1. Menunjukkan posisi atau lokasi relatif (letak suatu tempat dalam
hubungannya dengan tempat lain di permukaan bumi)
2. Memperlihatkan ukuran (dari peta dapat diukur luas daerah dan jarak-
jarak di atas permukaan bumi)
3. Memperlihatkan bentuk (misalnya bentuk dari benua-benua, negara,
gunung dan lain-lainnya), sehingga dimensinya, dapat terlihat dalam peta.
4. Mengumpulkan dan menyeleksi data-data dari suatu daerah dan
menyajikannya di atas peta. Dalam hal ini dipakai simbol-simbol sebagai
“wakil” dari data-data tersebut.
I.5.2.1. Peta Tematik. Peta tematik adalah suatu peta yang menyajikan informasi
data-data kualitatif atau kuantitatif dengan maksud dan tujuan sesuai dengan
pembuatan peta tersebut (Prihandito, 1989). Dalam kegiatan aplikatif ini data yang di
gunakan adalah data kuantatif dan peta dasar (base map) yang di gunakan adalah
peta topografi. Peta topografi sendiri adalah peta yang menampilkan unsur-unsur
alam (asli) maupun unsur-unsur buatan manusia di atas permukaan bumi, tetapi
unsur yang di tampilkan akan terbatas karena juga harus memperhitungkan skala dan
6
juga memperhatikan data topografi yang akan dimuat harus sesuai dengan peta
tematik tersebut.
I.5.2.2. Simbolisasi. Simboliasi adalah bagian paling penting dari kartografi karena
simbolisasi ini merupakan sebuah perumpamaan dari informasi yang ingin di
sampaikan kepada pengguna peta, sehingga dibutuhkan komunikasi yang efektif
simbol-simbol yang didesain. Prihandito (1989) menyebutkan ada 3 komponen dari
desain simboliasi kartografi yaitu warna, pola dan tipografi (seni cetak, tata huruf)
kemudian simboliasi diklasifikasikan untuk memudahkan pembuatan dan pemilihan
simboliasi yang tepat dan efektif dari banyak variasi data, antara lain:
1. Simbol Titik. Simbol ini digunakan untuk menyajikan tempat atau data
posisional seperti kota, titik triangulasi, dan sebagainya. Simbol ini juga bisa
berupa dot, segitiga, segiempat, lingkaran dan sebagainya.
2. Simbol Garis. Simbol ini digunakan untuk menyajikan data geografis seperti
sungai, batas wilayah, jalan dan sebagainya.
3. Simbol Luasan. Simbol ini digunakan untuk mewakili suatu area tertentu atau
mencakupi luasan tertentu misalnya daerah rawa, hutan, padang pasir dan
sebagainya.
I.5.2.3. Karakteristik data. Di dalam simbolisasi data, kita harus mengenali dari
karakter data tersebut. Dengan mengetahui karakter dari data tersebut kita dapat
menentukan metode visualiasi apa yang paling cocok dalam mendesain simbol untuk
peta tersebut. Berdasarkan variable skalanya, data dapat dikategorikan menjadi 4
bagian yaitu data nominal, data ordinal, data interval, dan data rasio. Kraak dan
Ormeling (2013) menjelaskan dari katektirstik data sebagai berikut:
1. Data nominal. Data nominal adalah jenis data ukuran data yang paling
sederhana dan data ini tidak menunjukkan adanya tingkatan nilai antar dari
data satu ke data yang lainnya. Prihandito (1989) menyebutkan data nominal
ini dilakukan apabila menyajikan data yang kualitatif saja, misalnya:
a. Identitas
b. Perbedaan
c. Persamaan
7
2. Data ordinal. Data ordinal adalah data yang menunjukkan nilai tingkatan
ataupun menunjukkan urutan. Urutan nya dapat di tentukan mana yang lebih
besar dan mana yang lebih kecil. Misalnya adalah membedakan antara kota
besar, kota sedang atau kota kecil, bisa juga seperti membedakan temperatur
yang dingin dan temperature yang panas.
3. Data interval. Data interval adalah data yang memilik rentang data tertentu.
Pada data interval tidak ada nilai nol mutlak atau nilai nol absolut Misalnya :
perbedaan besar kota dengan standard unit orang/penduduk, atau perbedaan
temperature dengan standard unit derajat yaitu Celcius atau Farenheit. Karena
dapat dilihat nilai nol pada Celcius tidak sama dengan nilai nol pada
Farenheit.
4. Data ratio. Seperti halnya data interval, data ratio memiliki kesamaan tetapi
data ratio memiliki nilai nol absolut atau nilai nol mutlak. Artinya harga
nolnya tidak sembarang. Sebagai contohnya adalah curah hujan di suatu kota.
Curah hujan memiliki rentang nilai tertentu untuk mengklasifikasian tinggi
atau rendahnya curah hujan di suatu kota tersebut, contoh tingkatannya antara
lain seperti, curah hujan tinggi, curah hujan sedang, curah hujan rendah, dan
dengan nilai nol mutlak pada keadaan daerah yang tidak ada hujan.
I.5.2.4. Variabel visual. Dalam kartografi, setelah mengenali karakteristik data
kemudian untuk membuat visualiasi sebuah peta dibutuhkan beberapa aspek-aspek
yang harus di perhatikan, menurut Bertin (1983) menyebutkan bahwa variabel visual
dasar antara lain adalah:
1. Ukuran. Variable ukuran merupakan variabel yang membedakan ukuran
besar dan kecil dari simbol
2. Nilai. Variabel nilai adalah variabel visual yang menampakkan derajad
keabuan dari simbol yang tertera (grey scale), derajad keabuan ini kisaran
antara dari warna putih menuju warna hitam.
3. Warna. Variabel warna merupakan variabel yang sangat kuat dan paling
sering digunakan kartografer untuk merancang simbol, karena dengan ada
nya perbedaan warna pada simbol sangat mudah dibedakan satu sama lain.
8
Tabel I.1. Variabel visual dan sifat pemahamannya
4. Tekstur. Variabel tekstur merupakan variasi gambar dari elemen dengan
value yang sama.
5. Orientasi. Variabel orientasi ditunjukkan dengan variasi arah dari simbol-
simbol yang tertera pada peta, arah yang ditunjukkan pada simbol tersebut
berbeda satu sama lainnya.
6. Bentuk. Variable bentuk merupakan simbolisasi yang mudah dibedakan satu
sama lain karena perbedaan bentuk yang berbeda, sehingga pengguna dapat
memahami dari bentuk simbol yang tertera pada peta.
I.5.2.5. Sifat Pemahaman. Dalam perancangan simbol sangat penting di perhatikan
sifat pemahaman dari simbol tersebut. Sifat pemahaman merupakan aspek tertentu
dalam penggunaan variabel visual, yang dimana sifat pemahaman ini adalah
pengertian tertentu terhadap objek yang di simbolkan (Riyadi, 1994). Dalam sumber
yang sama Riyadi menyebutkan setidaknya terdapat empat sifat pemahaman dalam
perancangan simbol, yaitu:
1. Asosiatif. Variabel visual yang memiliki sifat asosiatif memberikan
pemahaman kepada pengguna bahwa simbol-simbol yang tertera pada peta
memiliki tingkat kepentingan yang sama.
2. Selektif. Variabel visual yang termasuk kedalam sifat selektif ini memberikan
pemahaman kepada pengguna secara cepat perbedaan suatu simbol dengan
simbol lainnya.
3. Order. Variabel visual ini ketika disajikan kepada pengguna memberikan
pemahaman bahwa simbol-simbol tersebut memilik tingkatan tertentu.
4. Kuantitatif. Variabel visual ini memberikan pemahaman kepada pengguna
bahwa simbol-simbol dapat dibedakan dengan jumlah yang jelas.
Hubungan antara sifat pemahaman dan variabel visual selengkapnya dapat
dilihat pada tabel berikut ini.
Sifat
Pemahaman Posisi Bentuk Orientasi Warna Tekstur Value Ukuran
Asosiatif ++ ++ ++ ++ + -- --
Selektif -- -- + +++ ++ ++ ++
Order -- -- -- -- + +++ ++
Kuantitatif -- -- -- -- -- -- +++
Keterangan: +++ = Sangat kuat ++ = Kuat + = Cukup -- = Jelek
(sumber : Riyadi 1994)
9
I.5.2.6. Komparasi visual. Kraak dan Ormeling (2013) menyebutkan seseorang
dengan hanya melihat peta yang disajikan dengan data yang ada pada peta tersebut,
seseorang akan dapat memahami kondisi fenomena yang bervariasi dalam kuantitas
atau kualitas di seluruh daerah yang di petakan. Kemudian tidak hanya menggunakan
fenomena tunggal pada peta tersebut melainkan melakukan perbandingan dari
berbagai fenomena lainnya karena dengan membandingkan fenomena tersebut dapat
diungkapkan pola-pola untuk dilakukan studi lebih lanjut. Berdasarkan dari sumber
yang sama juga Kraak dan Ormeling (2013) ada 3 jenis komparasi visual:
1. Perbandingan temporal
Perbandingan temporal adalah komparasi yang membandingkan dua
buah peta atau lebih dengan daerah dan visual variabel yang sama tetapi
mempunyai perbedaan waktu dalam atribut data dan tujuan dari tipe
analisis ini adalah untuk identifikasi pola tertentu dalam dimensi ruang
dan waktu .Pada Gambar I.1 merupakan contoh dari komparasi visual
perkembangan jalur rel kereta api di Polandia.
Gambar I.1. Perbandingan temporal perkembangan jalan kereta api di Polandia (menurut Grote
Bosatlas, atas ijin Walters Noordhooff); (a) Jalur kereta api yang dibangun sebelum1918; (b) Jalur
kereta api yang dibangun setelah 1918; (c) Jaringan jalur kereta api seluruhnya.
(Sumber : Kraak dan Ormelling, 2013)
10
2. Perbandingan tematik.
Perbandingan tematik adalah komparasi yang dilakukan dengan melihat
peta-peta tematik yang berbeda dari daerah yang sama, untuk melihat
distribusi dari informasi geospasial dari tema-tema tersebut apakah sama
atau berbeda.
3. Perbandingan geospasial
Perbandingan geospasial adalah melihat perbedaan berbagai daerah
dalam skala yang sama, untuk melihat kemiripan atau perbedaan pola
tertentu.perbandingan geospasial ini adalah salah satu contohnya dengan
membandingkan dua peta berbeda area namum peta tersebut memiliki
sifat dasar yang sama.
Gambar I.2. Contoh perbandingan tematik ; (a) Sebaran sekolah menengah pertama(SMP) di-
Indonesia Tahun 2015; (b) Daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal) Di Indonesia Tahun 2015;
(Sumber : http://egi.data.kemdikbud.go.id/, 2015)
tempat tinggal
terowongan
jembatan
tempat kapal
Pengilangan minyak
Gambar I.3. Contoh perbandingan geospasial pada dua daerah yg berbeda, daerah Solent dan sungai
Thames (menurut Cole dan King, 1968); (a) kedua daerah dalam skala dan orientasi yg benar; (b)
setelah manipulasi orientasi dan skala; (c) kedua daerah telah diskemakan
(Sumber : Kraak dan Ormeling, 2013)
11
I.5.3. Peta berbasis web
Kraak (2001) menyebutkan bahwa peta berbasis web dapat dibagi dalam dua
kategori yaitu peta statis dan peta dinamis. Perbedaan yang mendasar dari dua
kategori peta ini adalah kemampuannya dalam menampilkan peta. Peta berjenis statis
hanya menampilkan data yang telah di atur sedemikian rupa oleh pembuat peta
sehingga pengguna tidak dapat memberikan input dari peta yang disajikan di dalam
web. Kebanyakan dari peta statis ini merupakan hasil dari scan peta yang kemudian
di masukkan kedalam web sehingga peta ini hanya berupa web map view-only.
Berbeda dari peta statis, peta dinamis mempunya kemampuan interaktif
dalam menampilkan peta sehingga peta statis ini dapat memberikan interaksi lebih
kepada pengguna dan peta dibandingkan dengan peta statis. Peta dinamis juga dapat
merepresentasikan perubahan-perubahan. Perubahan yang di maksud adalah
kemampuan interaktif yang dapat membuat peta lebih up to date dalam memberikan
informasi terbaru pada peta tersebut, masukan informasi diberikan dan penyesuaian
oleh pengguna kemudian peta tersebut akan otomatis diperbaharui tanpa harus
melalui server. Secara umum klasifikasi dari peta berbasis web dapat dilihat pada
diagram di bawah ini.
Gambar 1.4 Klasifikasi Peta berbasis web (Sumber: Kraak dan Brown 2000)
Penjelasan dari masing-masing jenis peta pada Gambar I.2. sebagai berikut:
1. Static View Only Map: merupakan tampilan peta dari hasil scan peta aslinya
(hardcopy) dalam format raster (JPG, PNG, dan TIFF) yang dimasukkan
kedalam web. Pengguna hanya dapat melihat tampilan peta tersebut dan tidak
dapat melakukan kontrol peta seperti zooming dan panning.
12
2. Static Interactive Map: merupakan peta berbasis web yang peta dasarnya
berasal dari hasil scan peta aslinya. Berbeda dengan peta statis tipe view only,
pengguna dapat melakukan kontrol peta seperti zooming dan panning pada
tampilan peta ini.
3. Dinamic View Only Map: merupakan peta berbasis web yang dibuat
menggunakan script-script pembuat peta. Peta dinamis tipe view only
menyediakan fungsi kontrol peta seperti zooming dan panning namun
pengguna tidak dapat melakukan perintah atau perubahan data pada peta.
4. Dinamic Interactive Map: merupakan peta berbasis web yang dibuat
menggunakan script-script pembuat peta. Pengguna dapat melakukan
perintah dan perubahan data pada peta seperti, zooming, panning, geocoding,
geotagging dan pencarian lokasi.
I.5.4. Metode penuturan cerita (storytelling) dalam geovisualisasi
Visualisasi menurut Kamus besar bahasa Indonesia adalah pengungkapan
suatu gagasan atau perasaan dengan menggunakan bentuk gambar, tulisan (kata dan
angka), peta, grafik, dan sebagainya, dengan pendefinisian tersebut maka tujuan
visualiasi adalah untuk memudahkan dan memberikan pengertian lebih pada suatu
hal. Data keruangan atau yang disebut informasi geospasial yang divisualisasikan
disebut geovisualisasi. Menurut Marzuki (2013), geovisualisasi adalah merupakan
suatu rangkaian informasi yang dimana atribut informasi antara satu dan lainnya
saling berhubungan pada kerangka referensi lokasi permukaan bumi pada peta
sedangka menurut Kraak (2003), geovisualisasi merupakan penggunaan tampilan
data geospasial yang berguna untuk berbagai kepentingan seperti, eksplorasi data
dalam pembuatan hipotesis, pemecahan masalah, dan pengembangan ilmu
pengetahuan.
Metode penuturan cerita (storytelling) merupakan salah satu teknik
geovisualisasi yang sedang dikembangkan. Pada umumnya penuturan cerita memiliki
unsur dalam penulisan yaitu 4W, yaitu What (Apa), Where (Dimana), When (Kapan)
dan Why (Mengapa), Sehingga penulisan suatu informasi geospasial yang ada pada
suatu peta dengan menggunakan tambahan unsur tersebut dapat mempermudah
13
dalam mengkomunikasikan informasi yang ingin disampaikan kepada pengguna peta
tersebut.
Menurut Ho, dkk (2013) menyebutkan geovisualisasi menggunakan metode
penuturan cerita (storytelling) memiliki 3 karakteristik kegiatan utama, yaitu:
1. Eksplorasi data. Kegiatan ini adalah mengumpulkan data-data yang akan
disajikan meliputi data tekstual dan data spasial beserta atributnya.
2. Menceritakan (tell a story). Kegiatan ini integrasi proses geovisualisasi,
analisis yang berbentuk data statistik menjadi sebuah pengetahuan atau
informasi yang diangkat dari data tersebut.
3. Publikasi. Kegiatan ini adalah proses terakhir yaitu publikasi untuk bisa
digunakan oleh pengguna, contoh publikasi yang dilakukan adalah dengan
menggunakan website sebagai media yang mudah diakses semua orang.
Berikut pada Gambar 1.5 menjelaskan hubungan dari konsep geovisualisasi
dengan metode penuturan cerita (storytelling)
Dalam penuturan cerita (storytelling), mengembangkan sebuah cerita
membutuhkan sebuah proses untuk membangun plot atau struktur naratif (Crawford
2005). Riedl dan Young (2006) dalam Aditya (2007) menjelaskan bahwa terdapat 2
model plot dalam pembuatan narasi yaitu model linier dan model bercabang. Model
narasi linier merupakan sebuah narasi yang dimana cerita atau kejadian sudah
tersusun dari awal hingga akhir tanpa adanya kemungkinan pengguna bisa mengubah
cerita tersebut, sedangkan model bercabang adalah model plot narasi yang
Data Analisis dan bercerita Publikasi Halaman Web
Gambar I.5 Hubungan konsep geovisualisasi dengan metode penuturan cerita (storytelling)
Sumber ( Ho, dkk., 2013)
14
memungkin pengguna dapat mengubah alur cerita. Ada 3 model dasar struktur narasi
yang digunakan dalam buku atau atlas (Ormeling 1997), yaitu:
1. Radial. Model radial menceritakan informasi secara bertahap dengan
menggunakan referensi khusus sebagai fokus utama, model radial terbagi
menjadi dua jenis yaitu model sentrifugal dan model sentripetal
2. Linier reguler. Model struktur narasi adalah model yang menganggap
semua aspek topik cerita sama penting dan dan plot cerita diceritakan
secara runtut dan menyeluruh
3. Linier irreguler. Model ini adalah model yang berkebalikan dengan model
linier reguler, model ini menceritakan narasi berdasarkan peristiwa
tertentu mengikuti alur cerita.
Pada Gambar I.6. merupakan gambaran tentang ketiga model dari struktur
narasi.
I.5.5. Pembuatan Story map
Pembuatan story map pada kegiatan aplikatif ini menggunakan salah satu
fitur yang disediakan oleh ESRI pada ArcGIS Online. fitur ini memberikan pengguna
untuk mengkombinasikan peta yang telah dibuat di akun mereka menjadi sebuah peta
narasi yang interaktif. Pengguna juga dapat memasukkan data media seperti foto dan
video sehingga membuat peta ini lebih menjelaskan detail cerita yang ingin
disampaikan untuk pengguna peta atau pembaca peta interaktif itu sendiri.
Gambar I.6 Model struktur narasi pada atlas atau peta: (A) Sentripetal, (B) Sentrifugal,
(C) Linier irregular (Sumber Ormeling, 1997)
15
I.5.5.1 Story map swipe. Story map ini menyajikan template peta yang terbagi dua
dalam satu peta web tunggal, peta tersebut merupakan peta lokasi yang sama tapi
memiliki data atribut yang berbeda. Pengguna dapat menggeser-geser pada swipe
tool yang disediakan untuk membandingkan satu tema peta dan tema lainnya yang
berhubungan sehingga terdapat komparasi visual pada tampilan muka peta
(ArcGIS.com).
Gambar I.7. Story map swipe (Sumber https://storymaps.arcgis.com/en/app-list/ )