BAB I PENDAHULUAN -...

12
13 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan generasi penerus bangsa. Perhatian terhadap pertumbuhan dan perkembangan kesehatan anak harus menjadi perhatian utama seluruh masyarakat. Bayi baru lahir dan anak-anak merupakan kelompok yang rentan terhadap kekurangan gizi dan penyakit menular, dimana banyak dari kondisi tersebut dapat dicegah dan diobati secara efektif (WHO, 2013). Angka kematian balita di dunia masih cukup tinggi. Pada tahun 2011, sebanyak 6,9 juta anak berusia dibawah lima tahun meninggal dunia. Hampir 75% penyebab kematian anak disebabkan oleh enam kondisi yaitu : penyebab kematian neonates, pneumonia, diare, malaria campak dan HIV/AIDS (WHO,2013). Angka kematian anak di Indonesia juga masih tinggi. Data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 menunjukkan bahwa angka kematian anak di Indonesia tidak banyak mengalami penurunan dibanding hasil SDKI 2007. Angka Kematian Balita hanya turun dari 44 per 1000 kelahiran hidup menjadi 40 per 1000 kelahiran hidup. Hal ini masih jauh dari tujuan MDGs ke 4 yang menyebutkan bahwa target angka kematian balita diharapkan turun mencapai 23/1000 kelahiran hidup pada tahun 2015. Jumlah kematian anak di Provinsi DIY mengalami fluktuasi sepanjang tahun 2010-2012. Peningkatan terjadi terutama pada angka kematian bayi. Hasil Survai PELAKSANAAN MTBS PADA RUMAH TANGGA YANG MEMILIKI BALITA STATUS GIZI KURANG DAN GIZI BURUK DI WILAYAH PUSKESMAS BANGUNTAPAN 1 BANTUL YOGYAKARTA RINA YUNI TRIWIGATI Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Transcript of BAB I PENDAHULUAN -...

Page 1: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73269/potongan/S1-2014-299965-chapter1.pdfmencapai 136 kasus dengan kematian terbesar di wilayah Banguntapan.

13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Anak merupakan generasi penerus bangsa. Perhatian terhadap pertumbuhan

dan perkembangan kesehatan anak harus menjadi perhatian utama seluruh

masyarakat. Bayi baru lahir dan anak-anak merupakan kelompok yang rentan

terhadap kekurangan gizi dan penyakit menular, dimana banyak dari kondisi tersebut

dapat dicegah dan diobati secara efektif (WHO, 2013).

Angka kematian balita di dunia masih cukup tinggi. Pada tahun 2011,

sebanyak 6,9 juta anak berusia dibawah lima tahun meninggal dunia. Hampir 75%

penyebab kematian anak disebabkan oleh enam kondisi yaitu : penyebab kematian

neonates, pneumonia, diare, malaria campak dan HIV/AIDS (WHO,2013). Angka

kematian anak di Indonesia juga masih tinggi. Data Survei Demografi Kesehatan

Indonesia (SDKI) 2012 menunjukkan bahwa angka kematian anak di Indonesia tidak

banyak mengalami penurunan dibanding hasil SDKI 2007. Angka Kematian Balita

hanya turun dari 44 per 1000 kelahiran hidup menjadi 40 per 1000 kelahiran hidup.

Hal ini masih jauh dari tujuan MDGs ke 4 yang menyebutkan bahwa target angka

kematian balita diharapkan turun mencapai 23/1000 kelahiran hidup pada tahun

2015.

Jumlah kematian anak di Provinsi DIY mengalami fluktuasi sepanjang tahun

2010-2012. Peningkatan terjadi terutama pada angka kematian bayi. Hasil Survai

PELAKSANAAN MTBS PADA RUMAH TANGGA YANG MEMILIKI BALITA STATUS GIZI KURANG DANGIZI BURUK DI WILAYAHPUSKESMAS BANGUNTAPAN 1 BANTUL YOGYAKARTARINA YUNI TRIWIGATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 2: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73269/potongan/S1-2014-299965-chapter1.pdfmencapai 136 kasus dengan kematian terbesar di wilayah Banguntapan.

14

Demografi dan Kesehatan (SDKI) tahun 2012 menunjukan bahwa Angka Kematian

Bayi di DIY mempunyai angka yang relatif tinggi yaitu sebesar 25 per 1000 kelahiran

hidup (target MDGs sebesar 23 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2015). Apabila

melihat hasil SDKI 2012 tersebut maka masalah kematian bayi merupakan hal serius

yang harus diupayakan penurunanya agar target MDGs dapat dicapai. Sedangkan

untuk angka kematian Balita di DIY tahun 2012 sebanyak 450 balita , sehingga angka

kematian balita dilaporkan sebanyak 9,8 per 1000 kelahiran hidup (Profil Kesehatan

DIY, 2012).

Angka kematian Bayi di Bantul pada tahun 2011 sebanyak 8,5/1000 kelahiran

hidup. Kecamatan Banguntapan merupakan daerah dengan angka kematian bayi

tertinggi di kabupaten Bantul. Pada tahun 2011 angka kematian balita di Bantul

mencapai 136 kasus dengan kematian terbesar di wilayah Banguntapan. Kasus

kejadian penyakit pada balita seperti diare, pneumonia dan gizi buruk terbanyak

berada di wilayah Banguntapan (Profil Kesehatan Bantul, 2012).

Salah satu strategi untuk menurunkan angka kematian balita adalah dengan

penerapan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) atau Integrated Management of

Childhood Iliness (WHO, 2013). MTBS merupakan pendekatan terpadu untuk

penanganan balita sakit yang didasarkan pada penyebab utama kematian balita

(Depkes, 2008). MTBS merupakan strategi menyeluruh dengan tujuan untuk

mengurangi kematian dan kesakitan anak di negara berkembang (UNICEF, 1999).

MTBS dikembangkan oleh badan kesehatan dunia WHO dan UNICEF pada tahun

1992. Indonesia telah mengadopsi pendekatan MTBS sejak tahun 1996 dan

PELAKSANAAN MTBS PADA RUMAH TANGGA YANG MEMILIKI BALITA STATUS GIZI KURANG DANGIZI BURUK DI WILAYAHPUSKESMAS BANGUNTAPAN 1 BANTUL YOGYAKARTARINA YUNI TRIWIGATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 3: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73269/potongan/S1-2014-299965-chapter1.pdfmencapai 136 kasus dengan kematian terbesar di wilayah Banguntapan.

15

implementasinya dimulai tahun 1997. MTBS diterapkan oleh Depkes setelah melalui

proses adaptasi bersama UKK IDAI (Depkes,, 2008).

Strategi MTBS mencakup tiga komponen yaitu; 1) peningkatan

keterampilan penatalaksanaan kasus dari petugas kesehatan melalui penyediaan

pedoman klinis manajemen terpadu balita sakit, disesuaikan dengan konteks lokal,

dan pelatihan untuk mempromosikan penggunaannya; 2) peningkatan sistem

kesehatan; dan 3) peningkatan praktik kesehatan di tingkat keluarga dan masyarakat

melalui pendidikan Ibu, ayah, pengasuh anak yang lain dan anggota masyarakat,

dengan satu fokus pada perilaku sehat, kepatuhan, perawatan di rumah dan promosi

kesehatan secara menyeluruh (Depkes, 2008). Setelah pengembangan komponen

pertama dan kedua dilakukan di berbagai negara di seluruh dunia termasuk Indonesia,

para peneliti sekarang berfokus pada pengembangan komponen ketiga yaitu

peningkatan praktek kesehatan di tingkat keluarga dan masyarakat (Aga et al, 2007).

Keberhasilan dalam mengurangi kematian balita tidak hanya membutuhkan

ketersediaan fasilitas kesehatan dengan tenaga kesehatan yang terlatih dengan baik.

Keberhasilan pengobatan anak sakit juga bergantung pada tindak lanjut pengobatan

di rumah. Keluarga mempunyai tanggung jawab utama dalam merawat anak.

Keberhasilan pengobatan di rumah bergantung pada kemampuan komunikasi petugas

dengan ibu penderita. Ibu perlu mengetahui cara memberi obat dan mengerti tentang

pentingnya pengobatan bagi anak (Depkes, 2008).

Dalam tatanan rumah tangga, MTBS mempromosikan perilaku mencari

pelayanan yang tepat, perbaikan gizi dan pelayanan pencegahan, serta penerapan

PELAKSANAAN MTBS PADA RUMAH TANGGA YANG MEMILIKI BALITA STATUS GIZI KURANG DANGIZI BURUK DI WILAYAHPUSKESMAS BANGUNTAPAN 1 BANTUL YOGYAKARTARINA YUNI TRIWIGATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 4: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73269/potongan/S1-2014-299965-chapter1.pdfmencapai 136 kasus dengan kematian terbesar di wilayah Banguntapan.

16

yang benar dari anjuran perawatan (Depkes, 2008). Ibu balita sebagai pemberi asuhan

utama pada balita mempuntai peran penting dalam tatalaksana manajemen terpadu

balita sakit di rumah. Tujuan utama MTBS dalam tatanan rumah tangga adalah untuk

memberdayakan keluarga dalam meningkatkan faktor yang berkaitan dengan

perkembangan, nutrisi, dan kesehatan anak. Kondisi tersebut tidak akan tercapai

apabila kita tidak mengetahui pengetahuan , sikap dan perilaku ibu terkait kesehtaan

anak (Agha et al., 2007).

Meskipun rumah tangga dan masyarakat memiliki tanggung jawab utama

dalam menyediakan perawatan terhadap anak, dalam beberapa kasus mereka tidak

dilibatkan secara aktiv atau dikonsultasikan dalam pengembangan dan penerapan

program terkait isu kesehatan, nutrisi, serta pertumbuhan dan perkembangan anak.

Keberhasilan dalam mengurangi morbiditas dan mortalitas anak membutuhkan

partisipasi aktif dan kerjasama yang baik antara tenaga kesehatan dan keluarga

dengan dukungan dari masyarakat setempat. Keluarga dan masyarakat perlu dibekali

dengan pengetahuan dan ketrampilan terkait pertumbuhan dna perkembangan

kesehatan anak (UNICEF, 1999).

Keluarga menjadi fokus perhatian untuk memaksimalkan potensi anak.

Pengetahuan dan kesadaran dari keluarga dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan

esensial anak, yaitu kebutuhan gizi, pelayanan kesehatan, kasih sayang, stimulasi

perkembangan, pendidikan dan perlindungan anak memegang peranan yang sangat

penting (Depkes RI, 2011). Ibu merupakan bagian terdekat dari kehidupan anak.

Partisipasi Ibu dan keluarga sangat penting dalam penatalaksanaan balita sakit

PELAKSANAAN MTBS PADA RUMAH TANGGA YANG MEMILIKI BALITA STATUS GIZI KURANG DANGIZI BURUK DI WILAYAHPUSKESMAS BANGUNTAPAN 1 BANTUL YOGYAKARTARINA YUNI TRIWIGATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 5: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73269/potongan/S1-2014-299965-chapter1.pdfmencapai 136 kasus dengan kematian terbesar di wilayah Banguntapan.

17

(Setyani, 2011). Ibu akan mencari pelayanan kesehatan jika ibu merasa penyakit

anaknya serius (Goldman, 2000).

Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat. Secara resmi keluarga

sebagai lembaga sosial yang berkembang di semua masyarakat. Disamping itu,

keluarga sebagai unsur dalam struktur sosial merupakan dasar pembentuk struktur

sosial yang lebih luas. Peran dan tingkah laku yang dipelajari dalam keluarga

merupakan contoh peran tingkah laku yang diperlukan dalam segi-segi lainya di

masyarakat (Goodge, 1995). Oleh karena itu keluarga mempunyai posisi yang sangat

strategis dalam pencegahan dan penanganan masalah gizi pada balia sesuai dengan

tatalaksana MTBS.

Masalah gizi adalah hal yang sangat penting dan mendasar bagi kehidupan

manusia. Kekurangan gizi selain dapat menimbulkan masalah kesehatan (morbiditas,

mortalitas dan disabilitas), juga menurunkan kualitas sumber daya manusia (SDM)

suatu bangsa. Dalam skala yang lebih luas, kekurangan gizi dapat menjadi ancaman

bagi ketahanan dan kelangsungan hidup suatu bangsa (Depkes, 2013).

Anak usia balita merupakan golongan yang rentan terhadap masalah

kesehatan gizi, sehingga masa balita merupakan masa kehidupan yang sangat penting

dan perlu perhatian yang serius (Anggraeni dan Indrarti, 2010). Periode pertumbuhan

dan perkembangan anak mulai di dalam kandungan ibu sampai umur 2 tahun disebut

masa kritis tumbuh-kembang. Bila anak gagal melalui periode kritis ini maka anak

tersebut sudah terjebak dalam kondisi “point of no return”, artinya walaupun anak

PELAKSANAAN MTBS PADA RUMAH TANGGA YANG MEMILIKI BALITA STATUS GIZI KURANG DANGIZI BURUK DI WILAYAHPUSKESMAS BANGUNTAPAN 1 BANTUL YOGYAKARTARINA YUNI TRIWIGATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 6: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73269/potongan/S1-2014-299965-chapter1.pdfmencapai 136 kasus dengan kematian terbesar di wilayah Banguntapan.

18

dapat dipertahankan hidup tetapi kapasitas tumbuh-kembangnya tidak bisa

dikembalikan ke kondisi potensialnya (Depkes, 2010).

Status gizi anak balita merupakan indikator pencapaian pembangunan

kesehatan karena kekurangan gizi pada anak balita berkaitan dengan akses yang

rendah terhadap pelayanan kesehatan. Selain itu, kurang gizi pada anak meningkatkan

resiko kematian, menghambat perkembangan kognitif, dan mempengaruhi status

kesehatan pada usia remaja dan dewasa. Status gizi balita merupakan indikator

kesehatan dan ststus gizi penduduk (Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2010).

Masalah gizi di Indonesia yang belum selesai tertangani adalah masalah gizi

kurang dan pendek (stunting) (Depkes, 2013). Prevalensi gizi kurang pada balita di

Indonesia sebesar 17,9 persen dan stunting 35,6 % (Riskesdas, 2010). Hasil

pemantauan status gizi balita di Kabupaten Bantul pada tahun 2011 dilaporkan balita

gizi kurang sebesar 10,79 % (10,67 % laki-laki dan 10,91 % perempuan) dan status

gizi buruk sebesar 0,52% ( 0,48 % laki-laki dan 0,57% perempuan) dengan prevalensi

tertinggi di Kecamatan Banguntapan (Profil Kesehatan Bantul, 2013). Berdasarkan

data Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul bulan Februari (2012), jumlah balita yang

mengalami gizi kurang dan gizi buruk di Puskesmas Banguntapan 1 sebanyak 149

(7,83 %).

Sejak Indonesia mengalami krisis multidinesi pertengahan tahun 1997 dan

merebaknya isu gizi buruk atau busung lapar terjadilah pergeseran pusat perhatian

pada anak gizi buruk. Kejadian gizi buruk menjadi isu politik yang sangat kuat.

Sehingga upaya perbaikan gizi pada balita terfokus pada penanganan anak yang

PELAKSANAAN MTBS PADA RUMAH TANGGA YANG MEMILIKI BALITA STATUS GIZI KURANG DANGIZI BURUK DI WILAYAHPUSKESMAS BANGUNTAPAN 1 BANTUL YOGYAKARTARINA YUNI TRIWIGATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 7: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73269/potongan/S1-2014-299965-chapter1.pdfmencapai 136 kasus dengan kematian terbesar di wilayah Banguntapan.

19

ditemukan gizi buruk yang bersifat kuratif. Pemerintah lebih memfokuskan pada

upaya kuratif, sedangkan upaya preventifnya tidak digalakkan. Padahal dalam upaya

penanggulangan masalah gizi buruk seperti yang termuat dalam pedoman yang

dikeluarkan oleh Direktorat Bina Gizi Masyarakat Departemen Kesehatan,

mengisyaratkan pentingnya upaya preventif-promotif disamping yang bersifat kuratif.

Selama ini intervensi terhadap balita yang kekurangan gizi lebih banyak tercurah

pada pemberian makanan tambahan atau makanan pendamping ASI (MP-ASI) dan

perencanaannya didasarkan pada indikator berat badan menurut umur (BB/U). Ini

yang harus direformasi pada upaya perbaikan gizi (Depkes, 2010).

Penelitian tentang MTBS pada rumah tangga sebelumnya telah dilakukan oleh

Wansi et al., (2000) di Malawi. Dari penelitian tersebut menunjukan bahwa ada

beberapa poin positif yang perlu didorong dan banyak daerah yang masih

membutuhkan intervensi secara aktif. Sebagai contoh, sebagian besar anak diberi ASI

hingga usia 2 tahun, tetapi memperoleh makanan tambahan lebih awal. Kebanyakan

masyarakat mengerti tentang kelambu, tetapi jarang yang menggunakanya. Hasil dari

penelitian ini memberikan gambaran tentang pelaksanaan MTBS di rumah tangga,

dan menjadi dasar bagi pemerintah Malawi dalam menyusun kebijakan tentang

kesehatan balita dan rumah tangga terutama dalam menurunkan morbiditas dan

mortalitas di Malawi.

Penelitian sebelumnya juga dilakukan oleh Agha et al., (2007) tentang

pelaksanaan MTBS rumah tangga di Pakistan. Hasil dari penelitian ini menunjukan

pentingnya pendidikan dan penyebarluasan key family practices kepada masyarakat

PELAKSANAAN MTBS PADA RUMAH TANGGA YANG MEMILIKI BALITA STATUS GIZI KURANG DANGIZI BURUK DI WILAYAHPUSKESMAS BANGUNTAPAN 1 BANTUL YOGYAKARTARINA YUNI TRIWIGATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 8: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73269/potongan/S1-2014-299965-chapter1.pdfmencapai 136 kasus dengan kematian terbesar di wilayah Banguntapan.

20

pedesaan terutama perempuan. Dari beberapa penelitian tersebut, peneliti lebih

memfokuskan pada pelaksanaan MTBS di rumah tangga pada balita secara umum

dan belum ada penelitian yang mengarah ke spesifik balita gizi kurang dan gizi

buruk. Selain itu, di negara tersebut juga sudah dilaksanakan program MTBS rumah

tangga maupun komunitas. Sementara di Indonesia sendiri, khususnya di Bantul,

MTBS di rumah tangga belum banyak di kenal dan belum ada penerapan program

tersebut. Oleh karena itu penelitian mengenai pelaksanaan MTBS di rumah tangga

yang memiliki balita dengan ststus gizi kurang dan gizi buruk diperlukan untuk

mengetahui sejauh mana MTBS diterapkan oleh rumah tangga yang memliki balita

denngan status gizi kurang dan gizi buruk sehingga nantinya dapat dilakukan tindak

lanjut yang dapat membantu dalam penanganan balita dengan gizi kurang dan gizi

buruk.

Salah satu fasilitas pelayanan kesehatan yang ada di wilayah Banguntapan

adalah Puskesmas Banguntapan 1. Puskesmas ini merupakan Puskesmas dengan

cakupan pelaksanaan MTBS tertinggi di kabupaten Bantul. Hasil studi pendahuluan

didapatkan bahwa lebih dari 90% balita yang berkunjung ke Puskesmas ditatalaksana

dengan MTBS.

B. Rumusan Masalah

Keberhasilan dalam mengurangi kematian balita tidak hanya membutuhkan

ketersediaan fasilitas kesehatan dengan tenaga kesehatan yang terlatih dengan baik,

tetapi juga membutuhkan partisipasi aktif masyarakat dan keluarga. Masalah

PELAKSANAAN MTBS PADA RUMAH TANGGA YANG MEMILIKI BALITA STATUS GIZI KURANG DANGIZI BURUK DI WILAYAHPUSKESMAS BANGUNTAPAN 1 BANTUL YOGYAKARTARINA YUNI TRIWIGATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 9: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73269/potongan/S1-2014-299965-chapter1.pdfmencapai 136 kasus dengan kematian terbesar di wilayah Banguntapan.

21

kesehatan pada balita terutama berkaitan dengan status gizi dapat dicegah dan

ditangani mulai dari level paling bawah yaitu keluarga melalui perilaku keluarga

dalam pelaksanaan MTBS pada tatanan rumah tangga. Oleh karena itu, diperlukan

penelitian untuk mengetahui bagaimana gambaran pelaksanaan MTBS dalam tatanan

rumah tangga pada balita dengan status gizi kurang dan status gizi buruk di wilayah

Puskesmas Banguntapan 1 Bantul Yogyakarta.

C. Tujuan Penelitian

a. Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran

pelaksanaan MTBS pada rumah tangga yang memiliki balita dengan status gizi

kurang dan gizi buruk di wilayah Puskesmas Banguntapan 1 Bantul Yogyakarta.

b. Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah;

1. Memperoleh gambaran pelaksanaan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan

pada balita dengan status gizi kurang dan gizi buruk.

2. Memperoleh gambaran perlaksanaan pemberikan makanan pendamping ASI

setelah anak berusia 6 bulan, dan melanjutkan pemberian ASI sampai anak

berusia 2 tahun pada balita dengan status gizi kurang dan gizi buruk.

3. Memperoleh gambaran pelaksanaan pemberikan gizi mikro pada anak dengan

jumlah yang cukup (vitamin A dan zat besi), baik dalam diet mereka atau melalui

suplementasi pada balita dengan status gizi kurang dan gizi buruk.

PELAKSANAAN MTBS PADA RUMAH TANGGA YANG MEMILIKI BALITA STATUS GIZI KURANG DANGIZI BURUK DI WILAYAHPUSKESMAS BANGUNTAPAN 1 BANTUL YOGYAKARTARINA YUNI TRIWIGATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 10: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73269/potongan/S1-2014-299965-chapter1.pdfmencapai 136 kasus dengan kematian terbesar di wilayah Banguntapan.

22

4. Memperoleh gambaran pelaksanaan imunisasi penuh pada anak sesuai jadwal

yang telah ada (BCG, DPT, OPV, dan campak) sebelum anak berusia satu tahun

pada keluarga dengan status gizi kurang dan gizi buruk.

5. Memperoleh gambaran pelaksanaan keluarga dalam membuang feses (termasuk

feses anak-anak) dengan aman, dan mencuci tangan dengan sabun setelah buang

air besar, sebelum menyiapkan makanan dan sebelum memberikan makan pada

anak pada balita dengan status gizi kurang dan gizi buruk.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan, kajian pustaka dan

bahan bacaan bagi peneliti lain dalam perkembangan ilmu pengetahuan terutama

dalam bidang program MTBS di Puskesmas dan MTBS pada tatanan rumah tangga.

2. Manfaat praktis

Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan masukan kepada Puskesmas,

Dinas Kesehatan dan lintas sector terkait dalam memperoleh gambaran perilaku

penerapan MTBS pada tatanan rumah tangga pada balita dengan status gizi kurang

dan gizi buruk di wilayah Puskesmas Banguntapan 1 bantul Yogyakrta. Selian itu

juga dapat memberikan masukan untuk perencanaan dan pengembangan kebijakan

kesehtaan rumah tangga melalui pelayanan MTBS pada tatanan rumah tangga pada

balita dengan status gizi kurang dan gizi buruk.

3. Bagi Peneliti

PELAKSANAAN MTBS PADA RUMAH TANGGA YANG MEMILIKI BALITA STATUS GIZI KURANG DANGIZI BURUK DI WILAYAHPUSKESMAS BANGUNTAPAN 1 BANTUL YOGYAKARTARINA YUNI TRIWIGATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 11: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73269/potongan/S1-2014-299965-chapter1.pdfmencapai 136 kasus dengan kematian terbesar di wilayah Banguntapan.

23

Meningkatkan keilmuan penulis dalam penelitian selanjutnya, terutama terkait

MTBS pada tatanan rumah tangga pada balita dengan status gizi kurang dan gizi

buruk.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai penerapan MTBS pada tatanan rumah tangga pada balita

dengan ststus gizi kurang dan gizi buruk belum pernah dilakukan sebelumya,

penelitian terkait MTBS yang pernah dilakukan sebelumnya ialah;

1. Galenso ( 2008) tentang pengetahuan ibu anak balita terhadap tata laksana

Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas Toili III Kabupaten Banggai

Propinsi Sulawesi Tengah. Penelitian ini merupakan penelitian observasional

kuantitatif dengan rancangan cross sectional, menggunakan metode wawancara

terstruktur (kuisioner). Subyek penelitian adalah ibu dari anak balita yang anaknya

sakit dan berobat di puskesmas (poli MTBS), variabel yang dilihat adalah pendidikan

formal ibu anak balita, konseling petugas MTBS serta pengetahuan ibu anak balita

mengenai tatalaksana MTBS. Persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan

adalah sama-sama menggunakan rancangan penelitian kuantitatif . Perbedaanya

adalah pada variabel penelitian,dimana pada penelitian yang akan dilakukan

variabelnya adalah pelaksanaan MTBS dalam tatanan rumah tangga.

2. Penelitian Agha et al. (2007) tentang Eight Key Household Practices of

Integrated Management of Childhood Ilnesses (IMCI) Among Mothers of Children

Aged 6 to 59 month in Gambat, Sindh, Pakistan. Penelitian ini merupakan penelitian

PELAKSANAAN MTBS PADA RUMAH TANGGA YANG MEMILIKI BALITA STATUS GIZI KURANG DANGIZI BURUK DI WILAYAHPUSKESMAS BANGUNTAPAN 1 BANTUL YOGYAKARTARINA YUNI TRIWIGATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 12: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73269/potongan/S1-2014-299965-chapter1.pdfmencapai 136 kasus dengan kematian terbesar di wilayah Banguntapan.

24

deskriptif. Variabel dalam penelitian ini adalah 5 komponen praktek MTBS dalam

seting rumah tangga dan hubunganya dengan malnutrisi sebagai hasil yang

diharapkan. Perbedaanya dengan penelitian yang akan dilakukan adalah variabel

penelitain dimana penelitian yang akan dilakukan menggunakan 11 komponen

MTBS dalam tatanan rumah tangga dan tempat yang akan dilakukan adalah di

Puskesmas Banguntapan 1 Bantul Yogyakarta.

3. Penelitian Ebuehi dan Adebajo (2010) tentang Improving Caregiver’s Home

Management of Common Childhood Illness Trought Community Level Intervention.

Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional yang membandingkan antara

wilayah dengan MTBS pada tatanan rumah tangga/ komunitas dengan wilayah non

MTBS tatanan rumah tangga/ komunitas. Penelitian ini dilakukan di Osasun State,

Nigeria. Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah pada variabel

penelitian dimana pada penelitian yang akan dilakukan menggunakan satu variabel

yaitu pelaksanaan MTBS rumah tangga yang meliputi 5 komponen MTBS

komunitas. Tempat penelitian yang akan dilakukan juga berbeda, yaitu di Puskesmas

Banguntapan 1 Bantul Yogyakarta dimana di puskesmas tersebut belum menerapkan

MTBS komunitas karena di Indonesia memang belum ada yang menggunakan MTBS

komunitas.

PELAKSANAAN MTBS PADA RUMAH TANGGA YANG MEMILIKI BALITA STATUS GIZI KURANG DANGIZI BURUK DI WILAYAHPUSKESMAS BANGUNTAPAN 1 BANTUL YOGYAKARTARINA YUNI TRIWIGATIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/