BAB I PENDAHULUANdalam naskah sandiwara radio berbahasa Jawa di radio RRI Surakarta. Berdasarkan...

41
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi saat ini membuat semakin maraknya dunia maya (online world) yang telah memikat banyak kalangan masyarakat. Tidak hanya itu saja, penggunaannya bukan hanya digunakan dalam kehidupan sehari-hari, namun juga digunakan dalam dunia maya (online world). Bahasa dalam dunia nyata (offline world) digunakan sebagai alat komunikasi sehari-hari baik lisan maupun tulis seperti tuturan sehari-hari, media cetak, dan simbol/kode yang tujukan pada mitra tutur. Sedangkan penggunaan bahasa dalam dunia maya (online world) atau yang lebih dikenal dengan situs jejaring sosial seperti penggunaan Facebook, BBM, Path, Bee Talk, We Chat, Instagram, WhatsApp, Line, KakaoTalk, dan Twitter. Melalui situs jejaring sosial tersebut orang-orang biasa mengutarakan apa yang mereka rasakan dalam bentuk tulisan, gambar, ataupun video. Bahasa berfungsi sebagai sarana pikir, ekspresi, dan sarana komunikasi. Sebagai sarana pikir, bahasa menuntun masyarakat penuturnya untuk bertindak tertib dan santun. Sebagai sarana ekspresi, bahasa membawa penggunanya kepada suasana kreatif karena bahasa sebagai sarana pengungkap pemikiran tentang ilmu, teknologi, dan seni membentuk kecerdasan. Sebagai sarana komunikasi, bahasa menciptakan suasana keakraban dan kebersamaan yang pada akhirnya dapat memupuk rasa 1

Transcript of BAB I PENDAHULUANdalam naskah sandiwara radio berbahasa Jawa di radio RRI Surakarta. Berdasarkan...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi saat ini membuat

semakin maraknya dunia maya (online world) yang telah memikat banyak

kalangan masyarakat. Tidak hanya itu saja, penggunaannya bukan hanya

digunakan dalam kehidupan sehari-hari, namun juga digunakan dalam dunia

maya (online world). Bahasa dalam dunia nyata (offline world) digunakan

sebagai alat komunikasi sehari-hari baik lisan maupun tulis seperti tuturan

sehari-hari, media cetak, dan simbol/kode yang tujukan pada mitra tutur.

Sedangkan penggunaan bahasa dalam dunia maya (online world) atau yang

lebih dikenal dengan situs jejaring sosial seperti penggunaan Facebook, BBM,

Path, Bee Talk, We Chat, Instagram, WhatsApp, Line, KakaoTalk, dan Twitter.

Melalui situs jejaring sosial tersebut orang-orang biasa mengutarakan apa yang

mereka rasakan dalam bentuk tulisan, gambar, ataupun video.

Bahasa berfungsi sebagai sarana pikir, ekspresi, dan sarana

komunikasi. Sebagai sarana pikir, bahasa menuntun masyarakat penuturnya

untuk bertindak tertib dan santun. Sebagai sarana ekspresi, bahasa membawa

penggunanya kepada suasana kreatif karena bahasa sebagai sarana

pengungkap pemikiran tentang ilmu, teknologi, dan seni membentuk

kecerdasan. Sebagai sarana komunikasi, bahasa menciptakan suasana

keakraban dan kebersamaan yang pada akhirnya dapat memupuk rasa

1

2

kekeluargaan dan kesetiakawanan dalam masyarakat (Dendy Sugono, 2007:

36).

Bahasa juga beragam, artinya meskipun bahasa memiliki kaidah atau

pola tertentu yang sama, namun karena bahasa itu digunakan oleh masyarakat

yang heterogen yang mempunyai latar belakang sosial dan kebiasaan yang

berbeda, maka bahasa itu menjadi beragam. Terjadinya keragaman atau

kevariasian bahasa itu bukan hanya disebabkan oleh masyarakat yang tidak

homogen, tetapi karena kegiatan interaksi sosial yang sangat beragam. Dalam

hal ini, ada kaitannya dengan penggunaan bahasa Jawa oleh kalangan anak

muda. Biasanya bahasa-bahasa ini muncul di situs jejaring sosial dalam bentuk

meme.

Situs jejaring sosial merupakan layanan berbasis web yang digunakan

untuk bersosialisasi dan berkomunikasi dengan pihak lain baik dengan teman,

keluarga, maupun komunitas yang memiliki tujuan sama. Setiap situs jejaring

sosial memiliki daya tarik yang berbeda. Namun tujuannya sama yaitu untuk

berkomunikasi dengan mudah dan lebih menarik karena ditambah fitur-fitur

yang memanjakan penggunanya.

Kata yang dibaca meme ‘mim’ ini adalah sebuah fenomena internet

atau dunia maya yang masih terus berkembang. Tujuan meme sendiri

sebenarnya beragam namun lebih dominan untuk menghibur. Meme bisa

dikatakan sebagai sebuah seni modern dari dunia maya yang hanya dimainkan

melalui media elektronik. Ada beberapa meme yang dapat dimainkan secara

materi dunia nyata, namun meme akan mudah dipahami ketika ditampilkan di

media sosial (sketsanews.com/549753/pemerintah-memonitor-aktivitas-siber-

3

jangan-buat-meme-lecehkan-jokowi/, diakses 10 Oktober 2015, jam 09.15

WIB).

Keberadaan bahasa Jawa dikalangan masyarakat adalah bukti bahwa

tuturan yang diwujudkan dalam meme berbahasa Jawa di situs jejaring sosial

memiliki maksud tertentu sebagai hasil dari citraan zaman atas fenomena yang

terjadi dikalangan masyarakat luas.

Usaha peneliti dalam rangka mengungkapkan jenis tindak tutur ilokusi

khususnya tindak tutur ekspresif tersebut berawal dari asumsi peneliti bahwa

tuturan-tuturan dalam meme berbahasa Jawa di situs jejaring sosial bukanlah

tuturan tanpa maksud atau mungkin saja terjadi maksud yang sesuai dengan

maknanya dan mungkin saja berlainan dengan maknanya.

Pada meme berbahasa Jawa di situs jejaring sosial banyak terdapat

penggunaan tuturan-tuturan yang secara tidak langsung menyampaikan

maksud, salah satunya berupa tuturan ekspresif. Searle menjelaskan tindak

tutur ekspresif merupakan tindak tutur yang dilakukan dengan maksud agar

tuturannya diartikan sebagai sikap psikologis penutur tehadap suatu keadaan.

Tuturan memuji, mengucapkan terima kasih, meminta maaf, mengucapkan

selamat, mengkritik, dan mengeluh termasuk ke dalam jenis tindak tutur

ekspresif ini (Searle, dalam Martinich (ed), 1996a: 148).

Teknologi informasi tampaknya terus mendorong kreator untuk terus

memproduksi meme baru, sehingga meme lama akan tergantikan dengan

meme-meme yang baru, dan hanya sedikit meme lama yang bisa bertahan.

Kreator atau para pembuat meme berbahasa Jawa di situs jejaring sosial

4

mempunyai kemampuan kebahasaan yang unik dalam mengonsep tuturannya

melalui meme berbahasa Jawa. Kemampuan kebahasaan tersebut dapat dilihat

dari bentuk tuturan dengan susunan kata-kata yang mampu menarik para

peminat situs jejaring sosial. Akan tetapi dalam penyampaian maksud

tuturannya sering kali kreator kurang memperhatikan kaidah kebahasaan dan

etika bertutur sehingga menyebabkan terjadinya penyimpangan terhadap

prinsip kesantunan Jawa.

Secara umum pragmatik merupakan kajian terhadap bahasa dalam

penggunaannya (dengan memperhitungkan unsur-unsur yang tidak dicakup

oleh tata bahasa dan semantik). Penggunaan bahasa tersebut dapat diatur oleh

kondisi pragmatik, yaitu maksud penutur, motivasi yang memicu maksud itu,

kepada siapa ia bertutur, tentang apa, dan seterusnya. Hal ini sesuai dengan

pernyataan Gunarwan (2007: 2) bahwa kondisi pragmatik tertakluk pada nilai-

nilai budaya masyarakat yang bersangkutan, bagaimana suatu tindak tutur

diungkapkan, hal ini bergantung kepada warga budaya yang manakah si

penutur itu. Peran mitra tutur sebagai penafsir dan bukan sekedar penerima

yang pasif (Black, 2011: 1-2).

Penelitian terhadap meme berbahasa Jawa di situs jejaring sosial dari

sudut pandang pragmatik ini menarik untuk dilakukan karena belum ada yang

membahasnya secara khusus. Selain itu meme berbahasa Jawa di situs jejaring

sosial dapat diperoleh berbagai macam makna sesuai dengan konteks

ujarannya. Suatu ujaran tidak hanya digunakan untuk penyampaian informasi

atau ide, tetapi ada beberapa meme yang mengandung maksud-maksud tertentu

yang tidak dapat ditangkap secara langsung. Keanekaragaman maksud tersebut

5

menjadi salah satu potensi utama meme berbahasa Jawa pada situs jejaring

sosial untuk menarik perhatian sekaligus mempermainkan tanggapan lawan

tutur. Maksud yang ditentukan oleh konteks situasi tutur inilah yang diteliti

dalam rangka pragmatik. Oleh karena itu, meme dianalisis dari sudut pandang

pragmatik yang memerlukan pendeskripsian relasi antara tanda dan

penafsirnya dalam meme berbahasa Jawa pada situs jejaring sosial. Untuk

mempertegas alasan tersebut, dapat diperhatikan contoh berikut.

Data (A/1, B/5)

Penulisan tuturan di atas Yomesti koe ayu, wong tengahe Y. Jajal nek

tengahe S, piye perasaanmu? yang tepat adalah Ya mesthi kowe ayu, wong

tengahe y. Jajal nek tengahe s. Piye perasaanmu? ‘Ya pasti kamu cantik, kan

tengahnya y. Coba kalau tengahnya s. Bagaimanakah perasaanmu?’.

Data tersebut termasuk dalam wujud tindak tutur ekspresif menyindir

yang berbentuk satuan lingual Ya mesthi kowe ayu, wong tengahe y. Jajal nek

tengahe s. Piye perasaanmu? menjadi penanda bahwa tuturan tersebut adalah

bermaksud menyindir. Karena penutur secara tidak langsung mengutarakan

ejekan dengan sindiran halus, namun melalui analogi realita sosial yang

penutur lihat. Ditambah penegasan dengan gambar seorang lelaki yang

menunjuk si perempuan dengan senyum sinis atau sindiran dan gambar

seorang wanita yang merasa kesal dengan ungkapan si lelaki tersebut.

6

Tuturan Ya mesthi kowe ayu, wong tengahe y. Jajal nek tengahe s. Piye

perasaanmu? ‘Ya pasti kamu cantik, kan tengahnya y. Coba kalau tengahnya

s. Bagaimanakah perasaanmu?’ melanggar prinsip kurmat ‘hormat’, karena

penutur tidak mempertimbangkan kepada siapa ia bertutur. Siapapun yang

berperan sebagai penutur baik orang kaya, miskin, berpendidikan maupun

yang tidak berpendidikan. Tuturan tersebut termasuk dalam penyimpangan

terhadap prinsip kesantunana Jawa yang menyalahi aturan kurmat dengan

mitra tuturnya yaitu seorang wanita karena kata ayu diubah menjadi asu.

Beberapa penelitian terdahulu yang menggunakan pendekatan

pragmatik yang telah dilakukan oleh para peneliti adalah sebagai berikut.

1. Dian Wida Kisworo, pada tahun 2005, dengan judul Bahasa Jawa Pada

Spanduk Kampanye Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Tahun

2004 di Kota Surakarta (Kajian Pragmatik). Penelitian ini mengkaji

wujud tindak tutur, bentuk penyimpangan maksim, dan maksud dalam

bahasa Jawa pada Spanduk Kampanye Pemilihan Presiden dan Wakil

Presiden Tahun 2004 di Kota Surakarta.

2. Dwi Sri Suharni, pada tahun 2009, dengan judul Wacana Kartun dalam

Majalah Jaya Baya (Suatu Kajian Pragmatik). Penelitian ini mengkaji

wujud tindak tutur, bentuk penyimpangan maksim kerja sama dan maksim

kesopanan, serta maksud yang terkandung dalam wacana kartun dimajalah

Jaya Baya.

3. Angga Cahyaning Utami, pada tahun 2012, dengan judul Wacana Stiker

Berbahasa Jawa (Suatu Kajian Pragmatik). Fokus kajian dalam

penelitian ini adalah kajian pragmatik yang digunakan untuk mengkaji

7

aspek jenis dan subjenis tindak tutur, implikatur tuturan, dan

penyimpangan terhadap prinsip kesantunan Jawa yang terdapat dalam

wacana stiker berbahasa Jawa.

4. Sebarina Novia Rahmawati, pada tahun 2014, dengan judul Tindak

Tutur Ekspresif dalam Tiga Judul Naskah Sandiwara Radio

Berbahasa Jawa Karya Kusama Danang Joyodi Radio Republik

Indonesia (RRI) Surakarta (Sebuah Kajian Pragmatik). Fokus kajian

dalam penelitian ini adalah jenis tindak tutur ekspresif, implikatur dalam

tindak tutur ekspresif, dan tindak tutur ekspresif yang paling dominan

dalam naskah sandiwara radio berbahasa Jawa di radio RRI Surakarta.

Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan yang telah disebutkan di

atas, penelitian yang paling mendekati dengan penelitian ini adalah penelitian

mengenai wacana stiker berbahasa Jawa oleh Angga Cahyaning Utami. Akan

tetapi, ketiga skripsi yang lain juga peneliti gunakan sebagai tolak ukur dalam

menganalisis permasalahan yang ada. Hal ini disebabkan karena dalam analisis

pragmatik, permasalahan-permasalahan yang ada mempunyai kasus yang

sama.

Beberapa hasil penelitian tersebut di atas peneliti gunakan sebagai

referensi penelitian ini. Selain itu, penelitian ini dilakukan karena mempunyai

alasan sebagai berikut.

a. Meme dapat dikatakan sebuah fenomena tersendiri di dunia jejaring sosial.

Kehadiran berbagai jenis situs jejaring sosial juga mendorong fenomena

baru ini berkembang dengan cepat. Hal ini dikarenakan meme biasanya

akan disebarkan melalui situs jejaring sosial seperti Facebook, BBM,

8

Path, Bee Talk, We Chat, Instagram, WhatsApp, Line, KakaoTalk, dan

Twitter.

b. Sebagai media komunikasi, meme digunakan pula sebagai alat kritik,

sindiran maupun larangan terhadap fenomena sosial yang terjadi dalam

masyarakat. Meskipun bersifat kritikan atau sindiran, meme berbahasa

Jawa dalam situs jejaring sosial dapat diterima dikalangan masyarakat.

Meme yang dikemas dalam bahasa yang menarik, menggelitik, tetapi tetap

komunikatif menjadi sumber keunikan bagi penelitian ini.

c. Adanya kebebasan kreator dalam pembuatan meme berbahasa Jawa dalam

situs jejaring sosial sering kali kurang memperhatikan kaidah kebahasaan

yang berlaku serta unggah-ungguh bahasa Jawa sehingga menyebabkan

terjadinya penyimpangan terhadap prinsip kesantunan Jawa.

d. Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya dengan kajian pragmatik

yang pernah dilakukan, penelitian tentang meme berbahasa Jawa dalam

situs jejaring sosial belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, perlu

dilakukan penelitian mengenai meme berbahasa Jawa dalam situs jejaring

sosial.

Berdasarkan penjelasan di atas, mengenai latar belakang adanya

penelitian ini, sejumlah alasan penelitian telah cukup memaparkan penelitian

ini dilakukan. Oleh karena itu, sebagai judul dari penelitian ini adalah Tindak

Tutur Ekspresif Meme Berbahasa Jawa dalam Situs Jejaring Sosial

(Suatu Kajian Pragmatik).

9

B. Pembatasan Masalah

Untuk mengarahkan penelitian agar lebih intensif dan efisien sesuai

dengan tujuan yang akan dicapai, maka diperlukan adanya pembatasan

masalah. Penelitian ini membatasi kajian pada pemakaian bahasa Jawa pada

meme berbahasa Jawa di situs jejaring sosial. Hal yang dikaji mencakup wujud

tindak tutur ekspresif serta penyimpangan terhadap prinsip kesantunan Jawa

meme di situs jejaring sosial.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan dua

permasalahan yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimanakah wujud tindak tutur ekspresif yang terdapat dalam meme

berbahasa Jawa di situs jejaring sosial?

2. Bagaimanakah penyimpangan terhadap prinsip kesantuanan Jawa yang

terdapat dalam meme berbahasa Jawa di situs jejaring sosial?

D. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mendeskripsikan bentuk-bentuk tindak tutur ekspresif yang terdapat

dalam meme berbahasa Jawa di situs jejaring sosial

2. Mendeskripsikan penyimpangan terhadap prinsip kesantuanan Jawa yang

terdapat dalam meme berbahasa Jawa di situs jejaring.

10

E. Manfaat penelitian

1. Manfaat teoretis

Penelitian yang diharapkan adalah dapat menambah khazanah

penelitian tentang pemilihan kata dari sudut pandang pragmatik,

khususnya mengenai tindak tutur ekspresif serta penyimpangan

terhadap prinsip kesantunan Jawa dalam pragmatik.

2. Manfaat praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini dapat :

2.1 Digunakan sebagai salah satu referensi bagi para peneliti pragmatik,

khususnya yang berkaitan dengan pemilihan kata.

2.2 Memberi pemahaman dan maksud tindak tutur khususnya ekspresif

serta penyimpangan terhadap prinsip kesantunan Jawa yang terdapat

dalam meme berbahasa Jawa di situs jejaring sosial bagi para

penikmat situs jejaring sosial.

2.3 Bahan bacaan yang menarik karena hasil penelitian berkaitan dengan

peristiwa-peristiwa sosial dan budaya yang aktual dalam masyarakat.

F. Landasan Teori

Landasan teori adalah teori-teori yang dianggap paling relevan untuk

menganalisis objek (Nyoman, 2010:281). Dalam penelitian kualitatif objeklah

yang menentukan teori mana yang relevan untuk digunakan.

11

1. Pengertian Pragmatik

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa pragmatik

adalah yang berkenaan dengan syarat-syarat yang mengakibatkan serasi

tidaknya pemakaian bahasa dalam komunikasi (KBBI, 1993: 177).

Levinson menjelaskan bahwa pragmatik adalah kajian hubungan antara

bahasa dengan konteks yang mendasari penjelasan pengertian bahasa. Dengan

demikian untuk memahami pemakaian bahasa dituntut pula pemahaman

konteks yang mewadahi pemakaian bahasa tersebut. Batasan lain yang

dikemukakan Levinson, yaitu pragmatik mengkaji tentang kemampuan

pemakai bahasa untuk mengaitkan kalimat-kalimat dengan konteks yang

sesuai dengan kalimat-kalimat tersebut (dalam Rohmadi, 2004: 4).

Menurut Leech (1993: 8), Pragmatik adalah studi tentang makna dalam

hubungannya dengan situasi-situasi ujar (speech situations) yang meliputi

unsur-unsur penyapa dan yang disapa, konteks, tujuan, tindak ilokusi, tuturan,

waktu, dan tempat.

Tarigan (1990: 21), mengatakan pragmatik menelaah ucapan-ucapan

khusus dan terutama sekali memusatkan perhatian pada aneka ragam cara yang

merupakan wadah aneka konteks sosial. Reformasi bahasa dapat

mempengaruhi taksiran atau interpretasi pragmatik. Dalam menelaah bukan

hanya pada pengaruh-pengaruh fonem suprasegmental, dialek dan register,

tetapi justru memandang performasi ujaran pertama-tama sebagai kegiatan

sosial.

Berdasar pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa pragmatik

merupakan ilmu yang mempelajari maksud penutur yang disampaikan kepada

12

mitra tutur melalui tuturan yang dibuatnya. Pragmatik mengungkap maksud

suatu tuturan di dalam peristiwa tutur, analisis pragmatik berusaha

menemukan maksud penutur, baik yang diekspresikan secara tersurat maupun

yang diekspresikan secara tersirat dalam tuturan tersebut. Latar belakang

pengalaman dan pengetahuan yang sejalan sangat diperlukan demi

tersampaikannya maksud penutur kepada mitra tutur.

2. Tindak Tutur

Searle (1969) mengatakan bahwa dalam semua komunikasi linguistik

terdapat tindak tutur, ia berpendapat bahwa komunikasi bukan sekedar

lambang atau kalimat, tetapi akan lebih tepat apabila disebut produk atau hasil

dari lambang kata atau kalimat yang berwujud perilaku tindak tutur (the

performance of specch acts). Lebih tegasnya bahwa tindak tutur adalah produk

atau hasil dari suatu kalimat dalam kondisi tertentu dan merupakan kesatuan

terkecil dari komunikasi linguistik yang dapat berwujud pernyataan,

pertanyaaan, perintah, atau lainnya (Searle, dalam Suwito, 1983-33). Tindak

tutur (speech act) adalah gejala individual yang bersifat psikologis dan

kelangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa penutur dalam

mengahadapi situasi tertentu (Chaer, dalam Rohmadi, 2010: 32).

Kridalaksana (2000: 17) mendefinisikan tindak tutur adalah (a)

perbuatan bahasa yang dimungkinkan oleh dan diwujudkan sesuai dengan

kaidah-kaidah pemakaian unsur-unsur bahasa; (b) perbuatan yang

menghasilkan bunyi bahasa secara beraturan menghasilkan ujaran yang

bermakna; (c) seluruh komponen linguistik dan non-linguistik yang meliputi

13

suatu perbuatan bahasa yang utuh, yang menyangkut partisipan, bentuk

penyampaian amanat, topik, dan kontek amanat itu; (d) pengujaran kalimat

untuk menyatakan suatu maksud dari pembicara diketahui pendengar,

penyampaian amanat, topik, dan konteks amanat itu; (e) pengujaran kalimat

untuk menyatakan agar suatu maksud dari pembicara diketahui oleh

pendengar.

Pemahaman mengenai tindak tutur sangat luas, sehingga dari

pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa tindak tutur adalah seluruh

kompenen bahasa dan nonbahasa yang meliputi perbuatan bahasa yang utuh.

Teori tindak tutur menurut Austin (1962) secara pragmatis ada tiga

jenis tindakan yang diwujudkan oleh seorang penutur, yakni tindak lokusi

(locutionary act), tindak ilokusi (illocutionary act), dan tindak perlokusi

(perlocutionary act) (dalam Kreidler, 1998: 181).

2.1 Tindak Tutur Lokusi

Menurut Tarigan (2009: 100) tindak tutur lokusi adalah tindak tutur

untuk menyatakan sesuatu. Tindak tutur ini sering disebut sebagai The Act of

Saying Something. Tuturan dibuat oleh penutur semata-mata berfungsi untuk

menginformasikan sesuatu tanpa memengaruhi lawan tuturnya. Menurut

Austin (dalam Ibrahim, 1993: 304), lokusi (locutionary) yaitu tindakan yang

mengatakan sesuatu dan makna sesuatu yang penutur katakan.

Parker menjelaskan tindak tutur lokusi merupakan tindak tutur yang

relatif paling mudah untuk diidentifiasikan karena dalam pengindentifikasian

cenderung dapat dilakukan tanpa menyertakan konteks tuturan yang tercakup

dalam situasi tutur (Parker, dalam Wijana, 1996: 18).

14

Berdasar pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tindak tutur lokusi

adalah pertuturan yang menyatakan sesuatu sebagaimana adanya.

2.2 Tindak Tutur Ilokusi

Tindak tutur ilokusi adalah melakukan suatu tindakan dengan

mengatakan sesuatu (Tarigan, 2009: 35). Menurut Wijana (1998: 18), tindak

ilokusi disebut juga dengan the act of doing something. Bahwa kalimat tidak

hanya digunakan untuk menginformasikan sesuatu, tetapi juga melakukan

seusatu sejauh situasi tuturnya juga dipertimbangkan secara seksama. Tindak

ilokusi merupakan bagian sentral untuk memahami tutur. Untuk memahami

tindak tutur ilokusi, maka harus mempertimbangkan siapa penutur dan lawan

tutur, serta kapan dan bagaimana tuturan itu terjadi.

Tindak tutur ilokusi merupakan tindakan yang berfungsi untuk

mengatakan atau menginformasikan sesuatu, serta digunakan penutur untuk

mempengaruhi lawan tutur untuk melakukan apa yang diinginkan oleh

penutur. Tindak tutur ini sering disebut dengan The Act of Doing Something.

Menurut Austin (dalam Ibrahim, 1993: 304), ilokusi (illocutionary) adalah apa

yang dilakukan dalam tindak mengatakan sesuatu. Menurut Searle (Searle,

dalam Geoffrey Leech, 1993: 164-166), tindak ilokusioner yang merupakan

bagian dari sentral dalam kajian tindak tutur. Tindak ilokusioner dibagi

menjadi lima yaitu:

2.2.1 Deklarasi

Deklarasi ialah jenis tindak tutur yang mengubah dunia melalui tuturan.

Penutur harus memiliki peran institusional khusus, dalam konteks khusus,

untuk menampilkan suatu deklarasi secara tepat. Berhasilnya pelaksanaan

15

ilokusi mengakibatkan adanya kesesuaian antara isi proposisi dengan realitas,

misalnya, mengundurkan diri, membaptis, memecat, memberi nama,

menjatuhkan hukuman, mengucilkan/membuang, mengangkat (pegawai), dan

sebagainya.

2.2.2 Asertif (representative)

Asertif (representative) merupakan tindak ilokusi yang penuturnya

terikat pada kebenaran proposisi yang diungkapkan. Pernyataan tersebut

mengenai penegasan, menunjukkan, menyebutkan, menyimpulkan,

mengusulkan, meramalkan/memprediksi/menduga-duga, mendesak,

mengeluh, mengemukan pendapat, dan melaporkan.

2.2.3 Ekspresif

Ekspresif yaitu jenis tindak tutur yang menyatakan sesuatu yang

dirasakan oleh penutur. Tindak tutur ini mencerminkan pernyataan-pernyataan

psikologis dan dapat berupa pernyataan kegembiraan, kesulitan, kebencian,

kesenangan, atau kesengsaraan.

2.2.4 Direktif

Direktif ialah jenis tindak tutur yang dipakai oleh penutur untuk

menyuruh orang lain melakukan sesuatu. Jenis tindak tutur ini menyatakan apa

yang menjadi keinginan penutur. Tindak tutur ini meliputi: perintah,

pemesanan, permohonan, menuntut, memberi nasihat, mengundang dan

pemberian saran. Ilokusi ini bertujuan menghasilkan suatu efek berupa

tindakan yang dilakukan oleh mitra tuturnya.

16

2.2.5 Komisif

Komisif, yaitu jenis tindak tutur yang dipahami oleh penutur untuk

mengikatkan dirinya terhadap tindakan-tindakan di masa yang akan datang,

misalnya menjanjikan, menawarkan, bergaul. Jenis ilokusi ini cenderung

berfungsi menyenangkan, dan kurang bersifat kompetitif, karena tidak

mengacu pada kepentingan penutur.

Berdasar pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tindak tutur ilokusi

adalah pertuturan yang menyatakan tindakan atau maksud melakukan sesuatu.

2.3 Tindak Tutur Perlokusi

Tindak tutur perlokusi (perlocutionary act) yaitu tindak tutur yang

pengutaraannya dimaksudkan untuk mempengaruhi lawan tuturnya. TT

perlokusi disebut sebagai The Act of Affecting Someone. Sebuah tuturan yang

diutarakan seorang seringkali mempunyai daya pengaruh (perlocutionary

force) atau efek bagi yang mendengarkannya. Efek yang timbul ini bisa secara

sengaja maupun tidak sengaja (Wijana, 1996: 17-22).

Tindak tutur perlokusi adalah tindakan yang berfungsi untuk

mempengaruhi lawan tutur yang dengan sengaja maupun tidak sengaja

mengakibatkan lawan tutur melakukan apa yang dikehendaki penutur.

Menurut Austein (dalam Ibrahim, 1993: 304) tindak perlokusi merupakan

tuturan yang diucapkan seseorang penutur yang sering kali memiliki efek atau

daya pengaruh (perlocutionary force).

Berdasar pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tindak tutur

perlokusi adalah pertuturan yang memiliki pengaruh atau efek terhadap lawan

tutur.

17

3. Tindak Tutur Ekspresif

Menurut Austin, tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur behabitif

(behabitives utterance).Tindak tutur behabitif adalah reaksi-reaksi terhadap

kebiasaan dan keberuntungan orang lain dan merupakan sikap serta ekspresi

seseorang terhadap kebiasaan orang lain. Verba ekspresif biasanya muncul

dalam konstruksi ‘S verba (prep) (O) (prep) Xn (dimana ‘(prep)’ adalah

preposisi fakultatif; dan Xn adalah frase nomina abstrak atau frase gerundif),

contoh meminta maaf, menaruh simpati, mengucapkan selamat, memaafkan

mengampuni, mengucapkan terima kasih (Tarigan, 1990: 117). Tindak tutur

Ekspresif memiliki fungsi untuk mengekspresikan, mengungkapkan atau

memberitahukan sikap psikologi sang pembicara menuju suatu pernyataan

keadaan yang diperkirakan oleh ilokusi. Misalkan; mengucapkan terima kasih,

memaafkan, mengampuni, menyalahkan, memuji, menyatakan belasungkawa

dan sebagainya (Tarigan, 2009: 43).

Searle menjelaskan tindak tutur ekspresif merupakan tindak tutur yang

dilakukan dengan maksud agar tuturannya diartikan sebagai sikap psikologis

penutur tehadap suatu keadaan. Tuturan memuji, mengucapkan terima kasih,

meminta maaf, mengucapkan selamat, mengkritik, dan mengeluh termasuk ke

dalam jenis tindak tutur ekspresif ini (Searle, dalam Martinich (ed), 1996a:

148).

Kreidler juga menyebutkan tindak tutur ekspresif dalam teori tindak

tuturnya. Tindak tutur ekspresif tersebut disebutnya expressive utterances.

Tindak tutur ekspresif terjadi karena tindakan penutur, kegagalan penutur serta

18

akibat yang ditimbulkan kegagalan itu. Verba yang menandai tindak tutur ini

misalnya mengakui, bersimpati, memaafkan, dan sebagainya (Kreidler, 1998:

188).

Leech juga menjelaskan tindak tutur ekspresif dalam teori tindak

tuturnya. Leech mendefinisikan tindak tutur ekspresif sebagai jenis tindak

tutur yang berfungsi untuk menunjukkan sikap psikologis penutur terhadap

keadaan yang sedang dialami oleh mitra tutur. Verba yang menandai tindak

tutur ini misalnya mengucapkan selamat, mengucapkan terima kasih, merasa

ikut bersimpati, meminta maaf (Leech, dalam Oka, 1993: 328).

Dalam klasifikasi yang dibuat Ibrahim (1993: 17), tindak ilokusi

komunikatif dibagi menjadi 4 yaitu constatives, directives, comissives, dan

anknowledgments. Tindak tutur ekspresif diartikan sebagai anknowledgements

yang berarti mengekspresikan perasaan tertentu kepada mitra tutur, baik yang

berupa rutinitas maupun yang murni. Perasaan dan mengekspresikan cocok

untuk jenis situasi tertentu. Misalnya, menyampaikan salam, berterima kasih,

meminta maaf, belasungkawa, mengucapkan selamat, dan menolak.

Anknowledgements diharapkan pada situasi tertentu, anknowledgements itu

seringkali disampaikan bukan karena perasaan yang benar-benar murni tetapi

karena ingin memenuhi harapan sosial sehingga perasaan itu perlu

diekspresikan (Ibrahim, 1993: 24).

Menurut Yule (2006: 93) tindak tutur ekspresif mencerminkan

pernyataan-pernyataan psikologis dan dapat berupa pernyataan kegembiraan,

kesulitan, kesukaan, kebencian, kesenangan, atau kesengsaraan. Nadar (2006:

19

16) menyatakan bahwa kata kerja tindak tutur ini ialah seperti kata

berterimakasih, mengucapkan selamat, dan menyambut.

Dari beberapa definisi tindak tutur ekspresif tersebut, maka dapat

disimpulkan bahwa tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur yang berfungsi

sebagai ungkapan perasaan penutur kepada mitra tutur terhadap suatu keadaan,

perasaan tersebut dapat berupa rasa senang, sedih, marah, takut dan

sebagainya.

Berikut contoh TTE menyindir yang terdapat dalam Meme Berbahasa

Jawa dalam situs Jejaring Sosial (MBJDS).

Data (A/49)

Penulisan tuturan di atas Lanang menang milih, wedok menang nolak.

Lanang sungkan nyedaki, Wedok kegeden gengsi. Lanang ratau peka, wedok

kakean kode. Mbulet ngunu ae terus sampe Indonesia udan salju. Penulisan

yang benar adalah Lanang menang milih, wedok menang nolak. Lanang

sungkan nyedhaki, wedok kegedhen gengsi. Lanang ora tau peka, wedok

kakean kode. Bulet ngunu wae terus nganti Indonesia udan salju ‘Lelaki

menang memilih, perempuan menang menolak. Lelaki sungkan mendekati,

perempuan kebanyakan gengsi. Lelaki tidak pernah peka, perempuan

20

kebanyakan kode. Berputar saja terus sampai Indonesia hujan salju’. Tuturan

di atas termasuk ke dalam TTE menyindir sebagai penanda lingualnya semua

tuturan tersebut, P secara tidak langsung mengemukakan maksudnya

mengenai analogi yang penutur lihat dan kemudian mengungkapkannya

melalui bentuk sindiran.

4. Prinsip Kerja Sama

Grice (dalam Wijana, 1996: 46) mengemukakan bahwa dalam

pelaksanaan prinsip kerja sama, penutur harus mematuhi empat maksim

kuantitas (maxim of quantity), maksim kualitas (maxim of quality), maksim

relevansi (maxim of relevance), dan maksim pelaksanaan (maxim of manner).

4.1 Maksim Kuantitas (Maxim of Quantity)

Penutur diharapkan dapat memberikan informasi yang cukup dan

relatif memadai informasi yang diberikan tidak boleh melebihi informasi yang

sebenarnya dibutuhkan mitra tutur. Apabila tuturan mengundang informasi

yang berlebihan maka melanggar maksim kuantitas.

4.2 Maksim Kualitas (Maxim of Quality)

Dalam maksim kualitas, penutur diharapkan dapat menyampaikan

sesuatu yang nyata dan sesuai fakta. Fakta yang disampaikan harus didukung

dan didasarkan pada bukti-bukti yang jelas.

4.3 Maksim Relevansi (Maxim of Relevance)

Terjalinnya kerja sama yang baik antara penutur dan mitra tutur

hendaknya masing-masing dapat memberikan kontribusi yang relevan tentang

sesuatu yang dipertuturkan itu.

21

4.4 Maksim Pelaksanaan (Maxim of Manner)

Aturan pertuturan yang mengharuskan peserta tutur bertutur secara

langsung, jelas, dan tidak kabur.

5. Prinsip Kesopanan

Prinsip kesopanan, atau yang disebut dengan retorik interpersonal

melengkapi prinsip kerja sama. Menurut Leech (1983) prinsip kesopanan

dijabarkan menjadi enam maksim, yaitu:

5.1 Maksim kebijaksanaan

Maksim kebijaksanaan menggariskan setiap peserta pertuturan untuk

meminimalkan kerugian orang lain, atau memaksimalkan keuntungan bagi

orang lain. Maksim ini diungkapkan dengan tuturan impositif dan komisif.

5.2 Maksim penerimaan

Maksim ini mewajibkan peserta tindak tutur untuk memaksimalkan

kerugian bagi diri sendiri, dan meminimalkan keuntungan bagi diri sendiri.

Maksim penerimaan diutarakan dengan kalimat komisif dan impositif.

5.3 Maksim kemurahan

Maksim kemurahan dituturkan dengan kalimat ekspresif dan kalimat

asertif. Maksim ini menuntut peserta tindak tutur memaksimalkan rasa hormat

kepada orang lain, dan meminimalkan rasa tidak hormat kepada orang lain.

Maksim kemurahan berpusat kepada orang lain.

5.4 Maksim Kerendahan Hati

Sama halnya dengan maksim kemurahan, maksim kerendahan hati

diungkapkan dengan tuturan asertif dan ekspresif. Maksim kerendahan hati

22

berpusat pada diri sendiri. Maksim ini menuntut setiap peserta tutur untuk

memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri, dan meminimalkan rasa

hormat pada diri sendiri.

5.5 Maksim kecocokan

Maksim kecocokan disampaikan dengan tuturan ekspresif dan asertif.

Maksim ini menggariskan setiap penutur untuk memaksimalkan kecocokan

diantara mereka, dan meminimalkan ketidakcocokan di antara mereka.

5.6 Maksim kesimpatisan

Maksim kesimpatisan mengharuskan setiap peserta pertuturan untuk

memaksimalkan rasa simpati, meminimalkan rasa antipati kepada lawan

tuturnya. Maksim kesimpatisan dituturkan melalui tindakan asertif dan

ekspresif.

Penjelasan mengenai Prinsip Kerja Sama (4) dan Prinsip Kesopanan

(5), selanjutnya dipakai sebagai rujukan pada Prinsip Kesantunan Jawa yang

diformulasikan oleh Asim Gunarwan. Dalam penelitian ini poin 4 dan 5 tidak

dipakai sebagai acuan untuk menganalisis rumusan masalah. Hal ini

dikarenakan data meme berbahasa Jawa di situs jejaring sosial lebih tepat

dikaji melalui teori prinsip kesantunan Jawa, khususnya pada rumusan

masalah ke-2 yaitu tentang penyimpangan terhadap prinsip kesantunan Jawa

dalam meme berbahasa Jawa di situs jejaring sosial.

6. Prinsip Kesantunan Jawa

Dalam kepustakaan pragmatik, dua teori prinsip percakapan yang

disebutkan di atas, yakni teori Grice (1975) mengenai prinsip kerja sama dan

23

teori Leech (1983) mengenai prinsip kesopanan, mengilhami prinsip

keseimbangan atau asas kerukunan Jawa atau yang disebut dengan prinsip

kesantunan Jawa (Gunarwan, 2004: 6). Prinsip kesantunan Jawa yang

dikemukakan oleh Gunarwan (2004) dijabarkan menjadi empat prinsip, yaitu:

6.1 Kurmat (hormatilah orang lain)

Jika seseorang mengharap dirinya dihormati orang, hormatilah orang

lain. Ini berarti jika seseorang tidak mau menghormati orang lain, orang

lainpun tidak akan menghormatinya, dalam pepatah Jawa disebut ‘ajining

dhiri saka lathi’ ‘harga diri seseorang itu terletak pada ucapannya’ dan

‘ajining raga saka busana’ ‘performance’ atau ‘penampilan baik seseorang itu

terletak pada busana atau pakaiannya’. Dalam bertutur, hendaknya harus

menghargai atau menghormati pendapat mitra tutur. Subprinsipnya adalah:

a. Janganlah memakai bahasa sedemikian rupa sehingga si penutur

merasa ia tidak ditempatkan sebagaimana layaknya.

b. Pilihlah tingkat tutur (speech level) dan pakailah honorifik jika

perlu sesuai dengan kedudukan si penutur serta jarak sosial Anda

dan penutur.

6.2 Andhap asor (berendah hatilah)

Sikap ‘andhap asor’ yang berarti rendah hati. Secara harfiah, frasa ini

bermakna ‘sangat rendah’ dan prinsip ini berisi nasihat agar orang selalu

berperilaku sangat rendah hati dan tidak congkak. Subprinsipnya adalah:

a. Pakailah bahasa sedemikian rupa sehingga si penutur merasa

bahwa ia dipuji (secara maksimal).

b. Janganlah pakai honorofik untuk mengacu ke diri sendiri.

24

6.3 Empan-papan (sadarilah tempatmu)

‘Empan-papan’ artinya sesuai waktu dan tempat. Cara menyikapi suatu

persoalan hendaknya melihat waktu dan tempat. Prinsip ini berisi nasihat agar

kita pandai-pandai membawa diri agar kita selalu menyadari tempat atau

kedudukan kita di dalam konstelasi masyarakat yang kita adalah anggotanya.

Subprinsipnya:

a. Pilihlah tingkat tutur sesuai dengan status sosial Anda serta status

sosial peserta tutur yang lain.

b. Susunlah ujaran Anda dan pilihlah kata-kata dengan

menimbangkan komponen-komponen peristiwa tutur.

6.4 Tepa Slira (jangan melakukan kepada orang lain apa yang kamu tidak

mau orang lain melakukan kepada kamu)

Kata tepa slira berasal dari kata tepa diartikan sebagai ‘ukuran’,

sehingga tepa slira dapat diartikan sebagai ‘ukurlah tubuh sendiri’. Hal ini

berarti jangan menganggap orang lain itu jelek, belum tentu yang dikatakan

jelek justru lebih baik daripada yang mengatakan. Kepada orang lain seseorang

tidak boleh syuudhon ‘berprasangka buruk’, tetapi harus khusnudhon

‘berprasangka baik’. Subprinsipnya adalah:

a. Pakailah bahasa yang patut kepada orang lain sebagaimana Anda

mau orang lain menggunakan bahasa yang patut kepada Anda.

b. Hindari penggunaan bahasa yang tidak patut.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipaparkan contoh meme

berbahasa Jawa di situs jejaring sosial dengan prinsip kesantunan Jawa.

25

Data (A/7)

Penulisan tuturan di atas Ngopi karo mangan gorengan. Regane ora

sepira. Nikmate luar biasa ‘Minum kopi sambil makan gorengan. Harganya

tidak seberapa. Nikmatnya luar biasa’. Tuturan tersebut masih bisa diterima

oleh khalayak umum karena tidak menyalahi aturan dalam prinsip kurmat

‘hormat’, andhap-asor ‘rendah hati’, tepa slira ‘tenggang rasa’, dan empan

papan ‘sadar tempat’.

7. Konteks

Penjelasan mengenai konteks oleh Kridalaksana dalam Kamus

Linguistik (2011: 134) bahwa konteks merupakan aspek-aspek lingkungan

fisik atau sosial yang kait-mengait dengan ujaran tertentu. Konteks juga dapat

diartikan sebagai pengetahuan yang sama-sama dimiliki pembicara dan

pendengar paham akan apa yang dimaksud pembicara.

Batasan konteks yang dikemukan Sperber dan Wilson (dalam Black

2011: 179) yakni, konteks sebagai sekumpulan premis atau ide yang

digunakan untuk menafsirkan sebuah ucapan. Pandangan terhadap konteks

adalah sebuah konstruk yang berada di bawah kendala pendengar, yang

diawali dari asumsi bahwa ucapan itu relevan. Konteks menyangkup

pengetahuan ensiklopedik yang diperlukan untuk mengolah tuturan, termasuk

26

pengetahuan ilmiah, sikap religius, pengetahuan budaya, atau segala sesuatu

yang mempengaruhi penafsiran individu (pembaca) terhadap sebuah tuturan.

Cumming (2007: 5) menegaskan bahwa kita dapat mendapatkan

defisnisi pragmatik yang lengkap bila konteksnya tidak ditemukan. Gagasan

tentang konteks berada diluar pengejawantahannya yang jelas seperti latar fisik

tempat dihasilkannya suatu ujaran yang mencangkup faktor-faktor linguistik,

sosial, dan epistemis.

Pemahaman mengenai konteks sangat luas, sehingga dari pengertian di

atas, dapat disimpulkan bahwa konteks adalah penafsiran pembaca terhadap

sebuah ujaran yang didasarkan pada lingkungan fisik dan sosial.

8. Situasi Tutur

8.1 Aspek-aspek Situasi Tutur

Munculnya keragaman maksud yang dikomunikasikan oleh penutur

dalam tuturan, Leech (dalam Rohmadi, 2010: 27) mengemukakan sejumlah

aspek yang senantiasa harus dipertimbangkan dalam kajian pragmatik. Aspek-

aspek tersebut adalah sebagai berikut.

8.1.1 Penutur dan Lawan Tutur

Konsep penutur dan lawan tutur juga mencakup penulis dan pembaca

bila tuturan bersangkutan dikomunikasikan dengan ‘media tulis’. Aspek-aspek

yang berkaitan dengan penutur dan lawan tutur adalah usia, latar belakang

sosial ekonomi, jenis kelamin, tingkat keakraban, dan lain-lain.

27

8.1.2 Konteks Tutur

Konteks tuturan penelitian linguistik adalah konteks dalam semua

aspek fisik atau seting sosial yang relevan dari tuturan bersangkutan. Konteks

yang bersifat fisik lazim disebut koteks (cotext), sedangkan konteks seting

sosial disebut konteks. Didalam pragmatik konteks pada hakikatnya adalah

semua latar belakang pengetahuan (background knowledge) yang dipahami

bersama oleh penutur dan lawan tutur.

8.1.3 Tujuan Tuturan

Bentuk-bentuk tuturan yang diutarakan oleh penutur dilatarbelakangi

oleh maksud dan tujuan tuturan. Dalam hubungan ini bentuk-bentuk tuturan

yang bermacam-macam dapat digunakan untuk menyatakan satu maksud atau

sebaliknya satu maksud dapat disampaikan dengan beraneka ragam tuturan. Di

dalam pragmatik berbicara merupakan aktivitas yang berorientasi pada tujuan

(goal oriented activities).

8.1.4 Tuturan sebagai Bentuk Tindakan atau Aktivitas

Pragmatik berhubungan dengan tindakan verbal (verbal act) yang

terjadi dalam situasi tertentu. Dalam hal ini pragmatik menangani bahasa

dalam tingkatannya yang lebih konkrit dibanding dengan tata bahasa. Tuturan

sebagai identitas yang konkrit, jelas penutur dan lawan tuturnya, serta waktu

dan tempat pengutarannya.

8.1.5 Tuturan sebagai Produk Tindak Verbal

Tuturan yang digunakan dalam kriteria empat merupakan wujud dari

tindak verbal dalam pragmatik. Dengan demikian, tuturan sebagai produk

28

tindak verbal akan terlihat dalam setiap percakapan lisan maupun tertulis

antara penutur dan lawan tutur.

8.2 Peristiwa Tutur

Setiap komunikasi antar individu pasti saling menyampaikan informasi

berupa pikiran, gagasan, maksud, perasaan maupun emosi secara langsung.

Maka dalam setiap proses komunikasi terjadilah peristiwa tutur. Suwito

(dalam Muhammad Rohmadi, 2004: 27) menjelaskan bahwa peristiwa tutur

(speech act) adalah serangkaian tindak tutur yang terorganisasikan untuk

mencapai suatu tujuan. Sementara itu, Abdul Chaer (1995: 61) menjelaskan

bahwa peristiwa tutur adalah berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu

bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan

tutur dengan satu pokok tuturan dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu.

Bertolak dari kedua pendapat di atas, maka dapat ditegaskan bahwa

peristiwa tutur merupakan satu rangkaian tindak tutur dalam satu bentuk

ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur

dengan satu pokok tuturan dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu. Hal ini

masih berkaitan dengan aspek-aspek yang melingkupi tuturan dalam suatu

komunikasi antara penutur dan lawan tutur.

Terjadinya peristiwa tutur dalam suatu komunikasi selalu diikuti oleh

berbagai unsur yang tidak terlepas dari konteksnya. Menurut Dell Hymes ada

beberapa syarat terjadinya peristiwa yang terkenal dengan akronimnya

SPEAKING. Syarat-syarat terjadinya peristiwa tutur itu adalah:

29

a. Setting dan Scane. Setting berkenaan dengan waktu dan tempat tuturan

berlangsung, sedangkan scane mengacu pada situasi tempat dan waktu,

atau situasi psikologi pembicara.

b. Participant, adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa

pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan

penerima.

c. End, merupakan maksud dan tujuan penuturan.

d. Act Sequance, mengacu pada bentuk dan isi ujaran yang digunakan oleh

penutur.

e. Key, mengacu pada cara dan semangat seorang penutur dalam

menyampaikan pesan. Apakah dengan sombong, rendah hati, angkuh atau

dengan cara yang lain.

f. Instrumentalies, mengacu pada jalur bahasa yang digunakan seperti

bahasa lisan, tertulis, isyarat, dan lain-lain.

g. Norm of interaction, mengacu pada norma atau aturan dalam interaksi.

h. Genre, mengacu pada bentuk penyampain suatu pesan. Apakah dalam

bentuk puisi, prosa, doa, dan lain-lain (dalam Suwito, 1983: 32).

Peristiwa tutur tidak dapat terjadi pada semua tempat karena setiap

komunikasi yang terjadi dalam suatu situasi ujar belum tentu memenuhi

syarat-syarat terjadinya peristiwa tutur, sebagaimana dikemukakan oleh

Hymes. Pendapat Hymes ini sangat berhubungan erat dengan kelima aspek-

aspek situasi tutur yang disampaikan oleh Leech diatas, artinya kedua

pendapat tersebut dapat saling mendukung dalam kajian pragmatik.

30

9. Situs Jejaring Sosial

William dalam bukunya Social Networking Sites : How to Stay Safe

Sites: Multi-States Information Sharing & Analysis Center (MS-ISAC) yang

dikutip oleh Adam Mahamat Helou dan Nor Zairah Ab.Rahim dalam jurnal

yang berjudul The Influence of Social Networking Sites on Students’ Academic

Performance in Malaysia mengemukakan, Sosial Networking Sites is an

online community of internet users who want to communicate with other users

about areas of mutual interest (http://www.m sis.ac.org, diakses 10 Oktober

2015, jam 08.00 WIB).

Firmansyah (2010: 10) mengemukakan bahwa situs jejaring sosial

merupakan sebuah situs berbasis pelayanan yang memungkinkan penggunanya

untuk membuat profil, melihat list pengguna yang tersedia, serta mengundang

atau menerima teman untuk bergabung dalam situs tersebut. Tampilan dasar

situs jejaring sosial ini menampilkan halaman profil pengguna, yang di

dalamnya terdiri dari identitas diri dan foto pengguna.

Jejaring sosial adalah struktur sosial yang terdiri dari elemen-elemen

individual atau organisasi. Jejaring ini menunjukan jalan dimana mereka

berhubungan karena kesamaan sosialitas, mulai dari mereka yang dikenal

sehari-hari sampai dengan keluarga. Istilah ini diperkenalkan oleh professor

Barnes di tahun 1954. Jejaring sosial adalah struktur sosial yang dibentuk

dalam simpul-simpul (yang umumnya adalah individu atau organisasi) yang

diikat dengan satu atau lebih tipe relasi spesifik seperti nilai, visi, ide, teman,

keturunan, dll (www.ridwanforge.net/blog/2008/07/jejaring-sosial-social-

networking/, diakses 10 Oktober 2015, jam 08.20 WIB).

31

Setiap situs jejaring sosial memiliki daya tarik yang berbeda. Namun

pada dasarnya tujuannya sama yaitu untuk berkomunikasi dengan mudah dan

lebih menarik karena ditambah fitur-fitur yang memanjakan penggunanya.

Dengan beberapa penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa situs

jejaring sosial merupakan layanan berbasis web dimana digunakan untuk

bersosialisasi dan berkomunikasi dengan pihak lain baik dengan teman,

keluarga, maupun suatu komunitas yang memiliki tujuan sama.

10. Meme (dibaca mim)

Kata meme pertama kali dikenalkan oleh Dawkins melalaui bukunya

The Selfish Gene pada tahun 1976. Istilah meme berasal dari Yunani ‘mimeme’

(sesuatu yang menyerupai/menirukan), dan terdengar serupa dengan gen

(gene). Dawkins memakai istilah ini untuk mendefinisikan lahirnya budaya

dengan anggapan terjadinya merupakan bentukan dari banyak replikator.

Hipotesisnya adalah manusia seharusnya melihat kelahiran budaya berasal dari

banyaknya bentukan replikator, yang umumnya mereplikasi melalui hubungan

dengan manusia, yang telah berevolusi sebagai peniru (walaupun tidak

sempurna) informasi maupun perilaku yang efisien. Meme tidak selalu terkopi

secara sempurna, bahkan dapat hilang, tercampur atau bahkan berubah

dikarenakan pengaruh ide lainnya, sehingga menjadikan suatu meme yang

baru. Meme tersebut dapat menjadi lebih baik atau bahkan buruk sebagai

replikator dibandingkan dengan meme sebelumnya.

Teori meme menjelaskan bahwa meme berkembang dengan cara seleksi

alam (mirip dengan prinsip evolusi biologi yang dijelaskan oleh penganut

32

Darwinian) melalui proses variasi, mutasi, kompetisi, dan warisan budaya

yang mana memengaruhi kesuksesan reproduksi di setiap individu. Maka

dengan demikian meme menyebar berupa ide dan bila tidak berhasil dia akan

mati, sedangkan yang lain akan bertahan, menyebar, dan (untuk tujuan yang

lebih baik bahkan lebih buruk) akan bermutasi. ‘Ilmuwan memetika

mempunyai pendapat bahwa meme yang mempunyai ketahanan terbaik akan

menyebar dengan efektif dan memengaruhisi objek (suatu individu)’

(https://id.wikipedia.org/wiki/Mimema,diakses 10 Oktober 2015, jam 09.00

WIB).

Kata yang dibaca meme ‘mim’ ini adalah sebuah fenomena internet

atau dunia maya yang masih terus berkembang. Tujuan meme sendiri

sebenarnya beragam namun lebih dominan untuk menghibur. Meme bisa

dikatakan sebagai sebuah seni modern dari dunia maya yang hanya dimainkan

melalui media elektronik. Ada beberapa meme yang dapat dimainkan secara

materi dunia nyata, namun meme akan mudah dipahami ketika ditampilkan di

media sosial (sketsanews.com/549753/pemerintah-memonitor-aktivitas-siber-

jangan-buat-meme-lecehkan-jokowi/, diakses 10 Oktober 2015, jam 09.15

WIB).

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa meme adalah

fenomena komedi foto yang usianya tergolong masih sangat baru. Para

pembuat meme ini biasanya akan mengambil gambar atau foto dari internet

lalu melengkapinya dengan teks, atau dengan mengurangi dan menambahkan

elemen gambar melalui proses olah digital sederhana, tergantung kesesuaian

33

konteks informasi apa yang ingin disampaikan oleh pembuatnya. Setelah

proses penciptaan selesai, meme foto atau gambar akan disebar dan menyebar

melalui layanan share, retweet, atau repost di situs jejaring sosial.

G. Metode Penelitian

Metode adalah cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai

maksud (dalam ilmu pengetahuan) cara kerja yang bersistem untuk

memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan untuk mencapai tujuan yang

ditentukan (Fatimah Djajasudarma, 1993: 1). Metode penelitian merupakan

alat, prosedur, dan teknik yang dipilih dalam melaksanakan penelitian atau

dalam mengumpulkan data.

Dalam metode penelitian ini akan dijelaskan mengenai 7 hal yaitu: (1)

sifat penelitian, (2) data dan sumber data, (3) alat penelitian, (4) populasi dan

sampel, (5) teknik pengumpulan dan klasifikasi data, (6) teknik analisis data,

dan (7) teknik penyajian analisis data.

1. Sifat penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, yaitu penyajian data

berdasarkan keadaan objek penelitian pada saat sekarang, berdasarkan pada

fakta-fakta yang ada (Nawawi dan Martini, 1996: 74). Dalam penelitian

kualitatif ini data yang terkumpul berbentuk kata-kata. Penelitian ini berusaha

untuk mendeskripsikan data-data dan analisis kebahasaan terutama mengenai

tuturan-tuturan sebagaimana adanya, sehingga menghasilkan analisis yang

objektif.

34

2. Data dan Sumber Data

2.1 Data

Data merupakan fenomena lingual khusus yang mengandung dan

berkaitan langsung dengan masalah yang dimaksud (Sudaryanto, 1993: 5).

Subroto berpendapat bahwa data adalah semua informasi atau bahan yang

disediakan oleh alam (dalam arti luas), yang harus dicari atau dikumpulkan

dan dipilih oleh peneliti (1992: 34). Jadi, data adalah semua hal (makhluk

hidup atau bukan makhluk hidup) yang dapat dijadikan objek pengamatan atau

penelitian oleh peneliti.

Wujud data dalam penelitian ini adalah berupa tuturan satuan lingual

yang berwujud kata, frasa, dan kalimat. Data yang dikumpulkan untuk

penelitian ini adalah kalimat yang mengandung tuturan ekspresif dan tuturan

yang menyimpang dari prinsip kesantunan Jawa yang terdapat dalam meme

berbahasa Jawa di situs jejaring sosial.

2.2 Sumber Data

Sumber data merupakan asal-muasal data diperoleh. Dari sumber data

itu peneliti dapat memperoleh data yang dimaksud dan yang diinginkan

(Rahardi, 2005: 13). Sumber Data yang digunakan dalam penelitian ini berasal

dari situs jejaring sosial seperti Facebook, BBM, Path, Bee Talk, We Chat,

Instagram, WhatsApp, Line, KakaoTalk, dan Twitter tahun 2015. Dipilihnya

situs jejaring sosial dikarenakan pengguna situs jejaring sosial saat ini banyak

menggunakan bahasa-bahasa yang menyimpang dari kaidah kebahasaan yang

kemudian menjadi bahasa sehari-sehari mereka.

35

3. Alat penelitian

Alat penelitian meliputi alat utama dan alat bantu. Disebut alat utama

karena alat tersebut yang paling dominan dalam penelitian, sedangkan alat

bantu berguna untuk memperlancar jalannnya penelitian. Alat utama dalam

penelitan ini adalah peneliti sendiri, sedangkan alat bantunya meliputi media

elektronik (handphone dan laptop) yang terkoneksi dengan internet, falshdisk,

alat tulis, buku catatan dan alat lain yang dapat membantu jalannnya

penelitian. Peneliti merupakan orang mencari semua hal (baik manusia atau

bukan) yang menjadi sasaran dalam penelitian ini.

4. Populasi dan Sampel

4.1 Populasi

Populasi merupakan objek penelitian, dan populasi adalah keseluruhan

individu (baik manusia atau bukan) dari segi-segi tertentu yang diteliti

(Subroto, 1992: 32). Populasi dalam penelitian ini berupa keseluruhan tuturan

bahasa Jawa baik itu murni maupun campur kode yang mengandung tindak

tutur ekspresif dalam meme berbahasa Jawa di situs jejaring sosial yang

terdapat di sumber data.

4.2 Sampel

Sampel adalah sebagian dari populasi yang dijadikan objek penelitian

langsung (Subroto, 1992: 32). Sampel hendaknya mampu mewakili atau

dianggap mewakili populasi secara keseluruhan. Pengambilan sampel dalam

penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling, yaitu pengambilan

sampel secara selektif dan benar-benar memenuhi kepentingan dan tujuan

penelitian berdasarkan data yang ada (Subroto, 1985: 28). Sampel penelitian

36

ini adalah sebagian tuturan yang mengandung tindak tutur ekspresif meme

berbahasa Jawa di situs jejaring sosial seperti Facebook, BBM, Path, Bee Talk,

We Chat, Instagram, WhatsApp, Line, KakaoTalk, dan Twitter yang mewakili

populasi.

5. Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitan ini adalah metode simak

dan metode catat. Metode simak yaitu metode pengumpulan data dengan

menyimak penggunaan bahasa (Sudaryanto, 1993: 133). Metode simak dalam

penelitian ini dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa Jawa yang

mengandung tindak tutur ekspresif dalam meme tersebut. Selanjutnya teknik

yang digunakan adalah teknik catat. Teknik catat merupakan teknik dengan

menggunakan alat tertentu. Data yang telah didapat oleh peneliti dapat

berbentuk file lalu didownload, dicrop, atau bahkan langsung diambil dari para

pengguna situs jejaring sosial karena biasanya meme berbahasa Jawa akan

disebar dan menyebar melalui layanan share, retweet, atau repost di situs

jejaring sosial. Setelah data didapat kemudian dikumpulkan menjadi satu.

6. Metode dan Teknik Analisis Data

Metode yang digunakan untuk menganalisis data dalam penelitian ini

adalah metode agih, metode padan, dan metode kontekstual. Metode agih

adalah metode analisis data yang alat penentunya adalah bagian dari bahasa

yang bersangkutan itu sendiri. Adapun teknik dasar dari metode agih dalam

penelitian ini adalah teknik bagi unsur langsung (BUL) dan teknik lanjutannya

37

adalah teknik ganti (substitusi). Teknik BUL merupakan teknik dengan cara

membagi satuan lingual datanya menjadi beberapa bagian atau unsur, dan

unsur-unsur yang bersangkutan dipandang sebagai bagian yang langsung

membentuk satuan lingual yang di maksud (Sudaryanto, 1993: 31), teknik

ganti (substitusi) dilakukan dengan menggantikan unsur tertentu satuan lingual

yang bersangkutan dengan ‘unsur’ tertentu yang lain di luar satuan lingual

yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993: 37). Kegunaan teknik ganti yaitu

mengetahui kadar kesamaan kelas atau kategori unsur terganti dengan unsur

pengganti khususnya bila tataran pengganti sama dengan tataran terganti.

Penggunaan metode agih dengan teknik BUL serta teknik lanjutan ganti

(substitusi) dalam penelitian ini untuk menganalisis penanda wujud satuan

lingual tindak tutur ekspresif pada meme berbahasa Jawa di situs jejaring

sosial.

Metode padan adalah metode analisis data yang alat penentunya di

luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa yang bersangkutan

(Sudaryanto,1993: 13). Subjenis metode padan yang digunakan dalam

penelitian ini adalah metode padan pragmatis dengan alat penentu mitra wicara

(Sudaryanto, 1993:15). Dalam metode padan ini digunakan teknik dasar dan

teknik lanjutan. Adapun teknik dasarnya adalah teknik pilah unsur penentu

(PUP) yang menggunakan alat berupa daya pilah yang bersifat mental yang

dimiliki oleh penelitinya (Sudaryanto, 1993: 21). Teknik lanjutannya berupa

teknik hubung banding (HB) piranti bagi alatnya berupa daya banding yang

bersifat mental.

38

Metode kontekstual ialah metode analisis yang diterapkan pada data

dengan mendasarkan, memperhitungkan, dan mengaitkan konteks (Rahardi,

2005: 16). Perlu ditegaskan bahwa lingkungan fisik tuturan disebut co-text

(koteks), sedangkan lingkungan sosial tutur disebut context (konteks). Konteks

adalah segala latar belakang pengetahuan yang pahami bersama oleh penutur

(P) dan mitra tutur (MT) (Wijana, 1996: 11). Metode padan dan metode

kontekstual dalam penelitian ini digunakan untuk menganalisis jenis tindak

tutur ekspresif dan penyimpangan terhadap prinsip kesantunan Jawa yang

terdapat dalam meme berbahasa Jawa dalam situs jejaring sosial. Untuk

mengetahui lebih jelas tentang penggunaan metode-metode tersebut, maka

diterapkan pada contoh tuturan dalam meme berbahasa Jawa dalam situs

jejaring sosial.

Data (A/12, B/1)

Tuturan di atas tertulis Panase koyo ndelok bojone minggat karo

gendakane!. Penulisan yang tepat adalah Panase kaya ndelok bojone minggat

karo gendhakane! ‘Panasnya seperti melihat suamiku pergi dengan pacar

gelapnya’. Aplikasi teknik ganti pada kalimat panase kaya ndelok bojone

minggat karo gendhakane! yakni dengan mengganti kelas kata yang sama

dengan kata gendhakane misalnya dengan kata dhemenane sehingga tuturan

menjadi panase kaya ndelok bojone minggat karo dhemenane, secara

39

gramatikal tuturan ini masih bisa diterima dan terkesan lebih halus dalam

penyampaiannya. Peran konteks dari tuturan panase kaya ndelok bojone

minggat karo dhemenane mempengaruhi maksud yang disampaikan kepada

MT.

Jenis tuturan tersebut termasuk dalam tindak tutur ekspresif mengeluh.

Sebagai penanda lingualnya berupa kata panase ‘panasnya’ yang bermaksud

mengeluhkan panas/cuaca yang diibaratkan seperti melihat orang yang dicintai

selingkuh dengan pacar gelapnya sehingga menimbulkan rasa panas. Kata

gendhakane! berfungsi sebagai penyeru, penekan, atau penegas pada tuturan

tersebut bahwa bermaksud jengkel dengan kondisi yang sedang terjadi dengan

maksud mengeluhkan cuacanya yang begitu panas.

Pelanggaran terhadap prinsip kesantunan Jawa terjadi dalam tuturan

melanggar prinsip andhap asor, karena P sangat bertentangan dengan sikap

merendahkan diri. Kata gendhakan oleh masyarakat Jawa diinterpretasikan

memiliki konotasi negatif, kata gendhakan berasal dari masyarakat Jawa

Timur yang mempunyai arti perempuan simpanan.

Dapat ditarik kesimpulan bahwa penyimpangan data diatas terdapat

penyimpangan terhadap prinsip andhap asor dikarenakan P tidak

mengindahkan aturan main prinsip andhap asor, yaitu P tidak memilih tingkat

bahasa sedemikian rupa sehingga si penutur merasa bahwa ia dipuji (secara

maksimal).

40

7. Metode Penyajian Hasil Analisis Data

Metode ini menggunakan metode formal dan metode informal. Metode

penyajian informal adalah perumusan dengan kata-kata biasa walaupun

dengan terminology yang teknis sifatnya (Sudaryanto, 1993: 145), sedangkan

penyajian formal adalah perumusan dengan menggunakan tanda dan lambang-

lambang (Sudaryanto, 1993: 144-145).

Hasil penelitian data berupa kaidah-kaidah yang berhubungan dengan

masalah penelitian. Kaidah yang ditemukan disajikan dalam bentuk rumusan

yang disertai dengan contoh-contoh bentuk tindak tutur meme berbahasa Jawa

dalam situs jejaring sosial. Dengan demikian, dapat mempermudah

pemahaman terhadap hasil-hasil penelitian yang ditemukan.

Teknik informal, perumusan dengan bentuk uraian berupa kalimat-

kalimat yang diikuti pemerian secara terperinci. Hasil analisis data berupa

tuturan-tuturan. Teknik formal diuraikan dengan perumusan tanda, seperti

tanda hubung (-), tanda kurung ( ), tanda titik (.), tanda koma (,), serta tanda

garis miring (/). Adapun lambang yang dimaksudkan diantaranya lambang

huruf sebagai singkatan misalnya Penutur (P) dan Mitra Tutur (MT).

H. Sistematika Penyajian

Sistematika penyajian laporan hasil penelitian terdiri dari 3 bab yang

masing-masing terdiri dari:

BAB I Pendahuluan, yang meliputi latar belakang masalah, pembatasan

masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teori,

metode penelitian dan sistematika penyajian.

41

BAB II Hasil Analisis Data dan Pembahasan. Pada bab ini merupakan

hasil analisis dari permasalahan yang dibahas dalam penelitian, yaitu meliputi

wujud tindak tutur ekspresif dan bentuk penyimpangan terhadap prinsip

kesantunan Jawa dalam MBJDS.

BAB III Penutup, yang berisi simpulan hasil penelitian dan saran.