BAB I PENDAHULUAN A. Latar...

20
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hipertensi, atau kenaikan tekanan darah kronik adalah faktor risiko utama terjadinya penyakit degeneratif seperti contohnya gagal jantung kongestif, stroke, gagal ginjal, dan retinopati (Kelly, 2004) yang dapat menjadi masalah dalam kesehatan masyarakat. Kejadian-kejadian penyakit kronik dan degeneratif pun meningkat seiring perkembangan populasi global. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 menunjukkan prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar 31,7% (Anonim, 2012 b ). Sementara pada tahun 2010, hipertensi esensial (primer) termasuk dalam sepuluh besar penyakit rawat inap di Rumah Sakit dengan proporsi kasus perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki (Anonim, 2012 c ). Pengobatan hipertensi selama ini sering dilakukan melalui pemberian obat- obat sintetik, misalnya kaptopril, nifedipin, HCT, dan furosemida, dengan peluang terjadinya efek samping yang tidak sedikit. Sejalan dengan perkembangan pengobatan modern yang ada, pengobatan tradisional dianggap perlu untuk lebih dikembangkan, melihat dari perubahan alam dan pola hidup masyarakat (Wijayakusuma, 2000). Pada negara berkembang, lebih banyak masyarakat yang memanfaatkan obat tradisional untuk mengobati penyakit kronik dan meningkatkan kualitas hidupnya (Anonim, 2003 b ). Penggunaan obat tradisional secara umum dinilai lebih aman daripada penggunaan obat modern karena obat tradisional memiliki efek samping relatif lebih sedikit daripada obat modern jika digunakan

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar...

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70834/potongan/S1-2014... · terjadinya penyakit degeneratif seperti contohnya gagal jantung kongestif, stroke,

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hipertensi, atau kenaikan tekanan darah kronik adalah faktor risiko utama

terjadinya penyakit degeneratif seperti contohnya gagal jantung kongestif, stroke,

gagal ginjal, dan retinopati (Kelly, 2004) yang dapat menjadi masalah dalam

kesehatan masyarakat. Kejadian-kejadian penyakit kronik dan degeneratif pun

meningkat seiring perkembangan populasi global. Hasil Riset Kesehatan Dasar

(Riskesdas) 2007 menunjukkan prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar 31,7%

(Anonim, 2012b). Sementara pada tahun 2010, hipertensi esensial (primer)

termasuk dalam sepuluh besar penyakit rawat inap di Rumah Sakit dengan proporsi

kasus perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki (Anonim, 2012c).

Pengobatan hipertensi selama ini sering dilakukan melalui pemberian obat-

obat sintetik, misalnya kaptopril, nifedipin, HCT, dan furosemida, dengan peluang

terjadinya efek samping yang tidak sedikit. Sejalan dengan perkembangan

pengobatan modern yang ada, pengobatan tradisional dianggap perlu untuk lebih

dikembangkan, melihat dari perubahan alam dan pola hidup masyarakat

(Wijayakusuma, 2000). Pada negara berkembang, lebih banyak masyarakat yang

memanfaatkan obat tradisional untuk mengobati penyakit kronik dan meningkatkan

kualitas hidupnya (Anonim, 2003b). Penggunaan obat tradisional secara umum

dinilai lebih aman daripada penggunaan obat modern karena obat tradisional

memiliki efek samping relatif lebih sedikit daripada obat modern jika digunakan

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70834/potongan/S1-2014... · terjadinya penyakit degeneratif seperti contohnya gagal jantung kongestif, stroke,

2

secara tepat, yang meliputi: kebenaran bahan; ketepatan dosis, waktu penggunaan,

cara penggunaan, telaah informasi; tanpa penyalahgunaan; dan ketepatan pemilihan

obat untuk indikasi tertentu (Sari, 2006). Ditegaskan pula oleh Wijayakusuma

(2000) bahwa pengobatan tradisional dengan tanaman obat merupakan pengobatan

yang efektif, efisien, aman, dan ekonomis sehingga perlu dipelihara serta

dikembangkan.

Keanekaragaman tumbuhan di Indonesia cukup tinggi dan berpotensi

dikembangkan sebagai obat tradisional dengan prospek menjanjikan. Eupatorium

riparium Reg. adalah salah satu tumbuhan di Indonesia yang menjadi koleksi dari

Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM), Yogyakarta. Dikenal sebagai tekelan,

air rebusan E. riparium sering digunakan secara empirik oleh masyarakat sekitar

sebagai peluruh air seni (Anindyawardhani, 2012). Hasil penelitian oleh

Fakhruddin dkk (2007) melalui Bioassay Guided Isolation terhadap fraksi larut

metanol dari ekstrak wasbensin E. riparium koleksi TNGM membuktikan bahwa

terkandung senyawa bioaktif methylripariochromene-A (MRC-A).

MRC-A yang sebelumnya ditemukan terlebih dahulu pada fraksi larut

kloroform dekokta daun Orthosiphon stamineus Benth. (Matsubara dkk, 1999)

dilaporkan memiliki aksi diuretik dan dapat menurunkan tekanan darah serta

cardiac output (Anonim, 2010). MRC-A dapat menurunkan tekanan darah sistolik

maupun detak jantung pada tikus jantan yang diinduksi SHRSP (Stroke-prone

Spontaneously Hypertensive Rats) (Adnyana dkk, 2013). Efek diuretik MRC-A

ditunjukkan oleh peningkatan volume urin serta ekskresi Na+, K+, dan Cl- selama

tiga jam setelah MRC-A diberikan secara oral dengan dosis 100 mg/kg BB pada

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70834/potongan/S1-2014... · terjadinya penyakit degeneratif seperti contohnya gagal jantung kongestif, stroke,

3

tikus yang dipuasakan (Matsubara dkk., 1999). Lebih lanjut mengenai efek diuretik

tersebut dibuktikan oleh Anindyawardhani (2012) melalui pemberian ekstrak air E.

riparium dosis 400 mg/kg BB pada tikus menghasilkan urin terbanyak

dibandingkan dosis 200 dan 800 mg/kg BB serta ditemukan kandungan MRC-A

sebanyak 0,0004% (b/v) ekstrak air E. riparium.

Manfaat MRC-A sebagai diuretika dapat berpengaruh pada mekanisme

penurunan tekanan darah akibat penurunan volume plasma terkait cardiac output.

Sementara itu, polaritas MRC-A sebagai senyawa golongan kromen cenderung

kurang polar terbukti dari MRC-A yang dapat ditemukan pada fraksi larut

kloroform dari dekokta (Adnyana dkk, 2013; Anonim, 2010) dan bahkan dalam

ekstrak air (Anindyawardhani, 2012). Kloroform adalah pelarut yang kurang polar

(Budhiraja, 2004). Berdasarkan hal ini, maka ekstrak etanol E. riparium sebagai

antihipertensi berpotensi untuk dikembangkan karena polaritas etanol berada

diantara air dan kloroform (Budhiraja, 2004) serta etanol maupun campurannya

adalah pelarut yang diizinkan dalam produk kefarmasian di Indonesia (Anonim,

2000). Dalam penelitian ini dibandingkan efek antihipertensi ekstrak etanol E.

riparium dengan beberapa kelompok dosis terhadap kontrol hipertensi dan kontrol

hanya dengan pembawa pada tikus betina.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, maka dapat dibuat rumusan masalah dalam

penelitian ini, yaitu:

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70834/potongan/S1-2014... · terjadinya penyakit degeneratif seperti contohnya gagal jantung kongestif, stroke,

4

1. Apakah ekstrak etanol dari E. riparium dapat menurunkan tekanan darah tikus

Sprague-Dawley betina?

2. Bagaimanakah aktivitas ekstrak etanol dari E. riparium dalam menurunkan

tekanan darah melalui dosis yang diberikan dibandingkan furosemida?

3. Dosis berapakah dari ekstrak etanol E. riparium yang paling berpotensi

memberikan efek penurunan tekanan darah?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan umum dilakukannya penelitian ini untuk mengembangkan obat

tradisional dari tumbuhan yang ada di Indonesia, sedangkan tujuan khusus dari

penelitian ini sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pengaruh ekstrak etanol dari E. riparium dalam penurunan

tekanan darah.

2. Untuk mengetahui aktivitas ekstrak etanol dari E. riparium dalam menurunkan

tekanan darah melalui dosis yang diberikan dibandingkan furosemida.

3. Untuk mengetahui dosis yang paling poten dari ekstrak etanol E. riparium

dalam aktivitasnya menurunkan tekanan darah.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini penting dilakukan untuk mengembangkan obat tradisional

antihipertensi dari bahan alam, yaitu ekstrak etanol Eupatorium riparium Reg.

yang diharapkan kemudian dapat bermanfaat untuk kemajuan obat-obat tradisional

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70834/potongan/S1-2014... · terjadinya penyakit degeneratif seperti contohnya gagal jantung kongestif, stroke,

5

dari tumbuhan yang ada di Indonesia terutama untuk mengurangi prevalensi

penyakit hipertensi demi peningkatan kualitas kesehatan masyarakat.

E. Tinjauan Pustaka

1. Fisiologi tekanan darah

a. Definisi dan regulasi tekanan darah. Tekanan darah berarti gaya yang

dikeluarkan oleh darah melawan satuan luas dari dinding pembuluh darah. Tekanan

darah hampir selalu diukur dalam millimeter raksa (mmHg) karena manometer

raksa telah digunakan sejak zaman kuno sebagai standar referensi untuk mengukur

tekanan (Guyton, 2006). Ketika tekanan darah sistemik diukur, diperoleh dua

angka: sistolik dan diastolik, seperti 110/70 mmHg. Tekanan sistolik selalu lebih

tinggi dan menunjukkan tekanan darah ketika bilik jantung kontraksi. Angka yang

lebih rendah adalah tekanan diastolik, ketika bilik relaksasi dan tidak mengeluarkan

gaya (Scanlon & Sanders, 2007). Selisih antara tekanan sistolik dan diastolik

(sekitar 40 mmHg) adalah tekanan nadi. Tekanan nadi menggambarkan denyut

alami dari aliran darah arteri yang meningkat ketika stroke volume meningkat dan

menurun saat tahanan pada aliran menurun. Sedangkan tekanan darah arteri rata-

rata (sekitar 90 hingga 100 mmHg) memperlihatkan rerata tekanan pada sistem

arteri selama kontraksi serta relaksasi pembuluh darah dan merupakan indikator

yang baik pada perfusi jaringan (Matfin & Porth, 2011).

Menurut Scanlon & Sanders (2007), terdapat beberapa faktor fisiologi yang

berperan untuk menjaga tekanan darah tetap dalam batas normal, yaitu: venous

return atau banyaknya darah yang kembali ke jantung melalui vena, denyut jantung

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70834/potongan/S1-2014... · terjadinya penyakit degeneratif seperti contohnya gagal jantung kongestif, stroke,

6

serta kekuatannya, tahanan perifer oleh pembuluh darah terhadap aliran darah,

elastisitas arteri utama, viskositas darah, kehilangan darah, dan hormon (antara lain:

epinefrin, norepinefrin, aldosteron, dan peptida natriuretik yang disekresi serambi

jantung). Hormon yang berpengaruh pada tekanan darah ditunjukkan oleh gambar

1.

Gambar 1. Hormon yang berpengaruh pada tekanan darah (Scanlon & Sanders, 2007)

Mekanisme yang digunakan dalam regulasi tekanan arteri tergantung kapan

adaptasi jangka pendek atau panjang dibutuhkan. Adapun regulasi jangka pendek

berguna pada tingkat pertahanan ketika ada ancaman dalam hitungan menit atau

jam. Mekanisme yang terjadi pada regulasi jangka pendek adalah mekanisme neural

(paling sering) dan humoral. Mekanisme neural diaktifkan melalui adanya respon

terhadap modulasi dan integrasi pada sistem saraf otonom, diperantarai oleh refleks

sirkulasi intrinsik (baroreceptor dan chemoreceptor), ekstrinsik, dan kendali pusat

neural yang lebih tinggi. Sementara itu, mekanisme humoral melibatkan beberapa

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70834/potongan/S1-2014... · terjadinya penyakit degeneratif seperti contohnya gagal jantung kongestif, stroke,

7

mekanisme seperti sistem renin-angiotensin-aldosteron, vasopresin atau

Antidiuretic Hormone (ADH), serta peranan hormon epinefrin dan norepinefrin.

Regulasi jangka panjang yang bertanggung jawab pada regulasi tekanan darah

harian, mingguan, dan bulanan, dipengaruhi kuat oleh peranan ginjal terhadap

regulasi volume cairan ekstraseluler, yaitu agar tekanan darah berada pada titik

ekuilibrium yang menggambarkan tekanan darah normal seseorang. Kenaikan

volume cairan dapat meningkatkan tekanan darah melalui dua cara yaitu efek

langsung pada cardiac output (curah jantung) atau secara tidak langsung akibat

autoregulasi aliran darah dan efeknya pada tahanan perifer (Matfin & Porth, 2011).

b. Perbedaan gender pada regulasi tekanan darah. Hormon ovarium seperti

estrogen dan progesteron adalah pengatur tekanan darah serta sistem pengaturan air

yang penting antara perempuan dan laki-laki terutama pada perempuan, sehingga

paparan hormon dan sensitivitas terhadap paparan tersebut berkontribusi pada

regulasi tekanan darah. Studi ini rumit karena hormon tersebut berfluktuasi selama

siklus menstruasi yang dapat mempersulit pengambilan keputusan terkait

perbedaan gender (Wenner & Stachenfeld, 2012). Regulasi tekanan arteri

antargender berbeda secara fundamental yang dapat dipengaruhi oleh hormon

reproduksi perempuan terhadap fungsi kardiovaskuler. Hal ini ditunjukkan

berdasarkan hubungan interindividu antara total peripheral resistance (TPR),

cardiac output, dan muscle sympathetic nerve activity (MSNA) terhadap tekanan

arteri pada laki-laki, yang tidak terjadi pada perempuan (Hart dkk, 2009).

Studi lain menggunakan teknik pengawasan tekanan darah pada pasien rawat

jalan selama 24 jam menunjukkan bahwa tekanan darah pasien laki-laki lebih tinggi

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70834/potongan/S1-2014... · terjadinya penyakit degeneratif seperti contohnya gagal jantung kongestif, stroke,

8

dibandingkan pasien perempuan pada usia yang sama. Akan tetapi, setelah

menopause tekanan darah perempuan meningkat pada level yang lebih tinggi

daripada laki-laki. Komponen yang terlibat pada lebih tingginya tekanan darah

perempuan postmenopausal tidak hanya oleh berkurangnya jumlah estrogen

(Reckelhoff, 2001).

Pada studi dengan hewan uji, ditemukan adanya hubungan antara tekanan

natriuresis pada tikus jantan yang dibuat hipertensi secara spontan dan pada tikus

betina hipertensi yang telah dilakukan ovariektomi terhadap pengobatan jangka

panjang dengan testosteron. Kunci utama dalam pengaturan tekanan natriuresis

adalah sistem renin-angiotensin (RAS). Androgen dapat berpengaruh terhadap

peningkatan tekanan darah melalui sistem tersebut, yaitu meningkatkan aktivitas

renin. Renin mengaktifkan angiotensin II dan kemudian mengakibatkan

dihasilkannya aldosteron sehingga terjadi peningkatan reabsorpsi natrium pada

tubulus distal nefron ginjal. Androgen pada laki-laki lebih tinggi jumlahnya

dibandingkan perempuan sehingga tekanan darahnya lebih tinggi dibandingkan

perempuan yang belum memasuki masa menopause. Namun, sejalan bertambahnya

usia pada perempuan hingga usia 70-79, terjadi peningkatan hormon androgen yaitu

testosteron, yang menyebabkan perempuan akhirnya memiliki tekanan darah lebih

tinggi. Selain peningkatan tekanan darah akibat reabsorpsi natrium pada ginjal,

peningkatan tekanan darah terkait RAS juga diduga akibat RAS meningkatkan stres

oksidatif yang dapat menghasilkan senyawa penyebab vasokonstriksi dan

penurunan ketersediaan nitrit oksida (Reckelhoff, 2001). Skema mekanisme

pengaruh androgen terhadap RAS dapat dilihat pada gambar 2.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70834/potongan/S1-2014... · terjadinya penyakit degeneratif seperti contohnya gagal jantung kongestif, stroke,

9

Gambar 2. Skema mekanisme pengaruh androgen terhadap tekanan darah

(Reckelhoff, 2001)

Pada dasarnya, angiotensin II selain meningkatkan reabsorpsi natrium juga

merupakan senyawa vasokonstriktor kuat. Angiotensin II memperkuat konstriksi

arteri kecil. Pentingnya angiotensin II adalah bahwa angiotensin II secara normal

bekerja bersamaan pada sebagian besar arteriol tubuh untuk meningkatkan tahanan

perifer total, sehingga terjadi kenaikan tekanan darah arteri. Dengan demikian,

hormon ini berperan secara integral dalam regulasi tekanan arteri (Guyton, 2006).

2. Hipertensi

Hipertensi didefinisikan sebagai kenaikan secara konsisten dari tekanan arteri

di atas rentang tekanan darah normal untuk kelompok usia tertentu. Secara umum,

seseorang dianggap mengalami hipertensi apabila tekanan darahnya lebih tinggi

dari 140 mmHg sistolik atau 90 mmHg diastolik (ditulis 140/90) yang tidak hanya

dengan 1 kali pengukuran, tetapi 2 kali atau lebih pada waktu yang berbeda. Waktu

yang paling baik saat melakukan pengukuran tekanan darah adalah saat istirahat

dan dalam keadaan duduk atau berbaring (Anonim, 2003a; Zdanowicz, 2002).

Hipertensi, atau kenaikan tekanan darah kronik adalah faktor risiko utama

terjadinya penyakit arteri koroner, gagal jantung kongestif, stroke, gagal ginjal, dan

androgen aktivitas renin ↑ Ang II ↑

Reabsorpsi natrium ↑

stres oksidatif ↑

tekanan natriuresis ↓ Tekanan Darah ↑

vasokonstriksi ginjal

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70834/potongan/S1-2014... · terjadinya penyakit degeneratif seperti contohnya gagal jantung kongestif, stroke,

10

retinopati. Penyebab utama hipertensi adalah vasokonstriksi atau irama otot polos

pembuluh darah yang berlebihan (Kelly, 2004).

Vasokonstriksi pembuluh darah dipicu oleh senyawa vasokonstriktor seperti

angiotensin II. Senyawa tersebut menyebabkan vasokonstriksi atau penyempitan

pembuluh darah sehingga tahanan perifer meningkat. Tahanan yang meningkat

menghalangi laju aliran darah dari arteri dan dengan demikian meningkatkan

tekanan arteri. Sementara konstriksi pada vena akan menggantikan darah yang

keluar dari pembuluh darah perifer berukuran besar ke jantung. Jantung berdenyut

dengan kekuatan lebih besar, sehingga memompa darah dalam jumlah yang lebih

besar pula dan meningkatkan tekanan arteri. Jantung pun secara langsung

dirangsang oleh sistem saraf otonom yang kemudian memperkuat pemompaan

jantung. Sinyal saraf simpatis turut berpengaruh langsung untuk meningkatkan

kekuatan kontraktilitas jantung yang juga memperkuat kemampuan jantung

memompa volume darah lebih besar. Hal ini menimbulkan peningkatan tekanan

arteri lebih tinggi lagi (Guyton, 2006).

Angiotensin II dalam kaitannya dengan RAS yaitu mengakibatkan

dihasilkannya aldosteron. Aldosteron dapat digolongkan sebagai hormon

antidiuretik karena aldosteron menyebabkan peningkatan reabsorpsi natrium pada

tubulus distal nefron ginjal. Reabsorpsi natrium diikuti dengan reabsorpsi air,

sehingga terjadi retensi cairan. Kenaikan volume cairan dapat meningkatkan

kenaikan curah jantung yang menyebabkan terjadinya hipertensi (Reckelhoff, 2001;

Guyton, 2006).

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70834/potongan/S1-2014... · terjadinya penyakit degeneratif seperti contohnya gagal jantung kongestif, stroke,

11

Sekitar 90% dari seluruh kasus hipertensi diklasifikasikan sebagai primary

hypertension (hipertensi primer). Bentuk hipertensi ini juga disebut sebagai

essential hypertension (hipertensi esensial) atau idiophatic hypertension (hipertensi

idiopatik) karena penyebabnya belum dapat dipastikan. Lebih kurang 5 sampai 10%

pasien terkena secondary hypertension yang penyebab kenaikan tekanan darahnya

dapat ditentukan. Salah satu penyebab hipertensi sekunder adalah stenosis arteri

ginjal, yang merupakan penyempitan arteri ginjal akibat atherosclerosis. Penyebab

lainnya dari hipertensi sekunder dapat juga akibat hiperaldosteronisme (kelebihan

produksi aldosteron) dan pheochromocytoma (tumor medula adrenal) (Zdanowicz,

2002).

Klasifikasi tekanan darah dari JNC 7 oleh NIH dapat ditunjukkan pada Tabel I

berikut ini:

Tabel I. Klasifikasi hipertensi menurut JNC 7 oleh NIH (Anonim, 2003a)

Kategori TD Sistolik (mmHg) TD Diastolik (mmHg)

Normal <120 <80

Prahipertensi 120-139 80-89

Hipertensi, Derajat 1 140-159 90-99

Hipertensi, Derajat 2 ≥160 ≥100

Hipertensi dapat bertahan atau resisten. Adapun penyebab hipertensi resisten

antara lain: pengukuran tekanan darah yang tidak sesuai, pemasukan natrium

berlebih, terapi diuretik yang tidak cukup, pengobatan maupun dosis yang kurang

ampuh, dan pemasukan alkohol berlebih (Anonim, 2003a).

3. Pengobatan hipertensi

Prinsip pengobatan hipertensi adalah menjaga agar tekanan darah <140/90

mmHg atau <130/80 mmHg pada pasien dengan diabetes atau penyakit ginjal

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70834/potongan/S1-2014... · terjadinya penyakit degeneratif seperti contohnya gagal jantung kongestif, stroke,

12

kronik. Kebanyakan pasien memerlukan dua macam pengobatan untuk mencapai

target tersebut (Anonim, 2003a).

Menurut Kelly (2004), terdapat beberapa kategori agen antihipertensi, yaitu

sebagai berikut:

a. Simpatolitik, contoh: metildopa (bekerja secara sentral), propranolol

(antagonis reseptor beta-adrenergik), prazosin (antagonis reseptor alfa-

adrenergik).

b. Vasodilator, contoh: hidralazin, nitroprusid.

c. Pemblok kanal Ca++, contoh: verapamil, nifedipin, diltiazem.

d. Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors (ACEI), contoh: kaptopril.

e. Antagonis reseptor Angiotensin II, contoh: losartan.

f. Diuretika, contoh: hidroklorotiazid, furosemid, amilorid.

Peranan ginjal pada regulasi tekanan darah jangka panjang menekankan fakta

bahwa banyak prosedur pengobatan dengan agen antihipertensi menghasilkan efek

penurunan tekanan darah melalui peningkatan eliminasi natrium dan air (Matfin &

Porth, 2011). Diuretika adalah zat-zat yang dapat memperbanyak pengeluaran

kemih (diuresis) melalui kerja langsung terhadap ginjal. Mekanisme utama

diuretika dapat menurunkan tekanan darah adalah menurunkan volume plasma.

Diuretika beraksi di ginjal dengan meningkatkan pengeluaran natrium sesuai

tekanan osmotik natrium dan meningkatkan pengeluaran air. Kelly (2004) membagi

jenis diuretika menjadi lima kelas berdasarkan tempat aksinya yaitu:

a. Diuretika osmotik: tubulus proksimal dan cabang menurun dari Loop of Henle

(contohnya mannitol).

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70834/potongan/S1-2014... · terjadinya penyakit degeneratif seperti contohnya gagal jantung kongestif, stroke,

13

b. Diuretika Loop: cabang yang menaik pada Loop of Henle (contohnya

furosemida).

c. Diuretika Thiazide: tubulus distal (contohnya klorotiazida). Diuretika ini secara

luas digunakan untuk pengobatan hipertensi.

d. Diuretika Potassium-sparing: korteks saluran pengumpul (contohnya

spironolakton dan amilorida).

e. Penghambat karbonik anhidrase: tubulus proksimal (contohnya

asetazolamida).

Diuretika loop sering digunakan untuk mengatasi edema paru akut, gagal jantung

kongestif yang kronik, serta edema, dan asites pada sirosis hepatik.

Parker dkk (2005) menyebutkan bahwa diuretika loop paling sering digunakan

pada kondisi gagal jantung. Diuretika loop bekerja pada cabang menaik dari Loop

of Henle. Dua puluh sampai dua puluh lima persen dari natrium yang tersaring

secara normal direabsorpsi. Diuretika loop terikat kuat pada protein plasma, oleh

karena itu diuretika ini tidak banyak tersaring oleh glomerulus. Diuretika loop

mencapai lumen tubulus dengan transpor aktif melalui jalur transpor asam organik.

Diuretika ini juga menginduksi kenaikan aliran darah pada ginjal terkait

prostaglandin yang berkontribusi pada efek natriuretiknya.

Tidak seperti diuretika thiazide, diuretika loop menjaga efektivitasnya terhadap

adanya gangguan fungsi ginjal, walaupun dosis yang lebih tinggi diperlukan untuk

mempertahankan penghantaran obat yang cukup ke tempat aksi (Parker dkk, 2005).

Oleh karena itu, salah satu contoh diuretika loop yaitu furosemida menjadi pilihan

dalam terapi hipertensi dengan kondisi gagal ginjal kronis. Walaupun pengaruh

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70834/potongan/S1-2014... · terjadinya penyakit degeneratif seperti contohnya gagal jantung kongestif, stroke,

14

penurunan tekanan darah antara furosemida dari golongan diuretika loop,

hidroklorotiazida dari diuretika thiazide, maupun kombinasi keduanya tidak

berbeda signifikan, furosemida lebih sering digunakan. Furosemida lebih efisien

daripada hidroklorotiazida serta kombinasi keduanya berpotensi memberikan efek

samping lebih banyak, contohnya hipokalemia dan hipotensi yang tidak dapat

ditoleransi (Dussol dkk, 2012).

4. Furosemida

Gambar struktur kimia furosemida dapat dilihat pada gambar 3.

Gambar 3. Struktur Kimia Furosemida (Moffat dkk, 2011)

Furosemida atau asam-4-kloro-N-furfuril-5-sulfamoilantranilat dengan berat

molekul 330,74 mengandung tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari 101,0%

C12H11ClN2O5S, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Pemerian bahan

yaitu serbuk hablur, putih sampai hampir kuning, tidak berbau. Furosemida praktis

tidak larut dalam air, mudah larut dalam aseton, dalam dimetilformamida, dan

dalam larutan alkali hidroksida, larut dalam metanol, agak sukar larut dalam etanol,

sukar larut dalam eter, sangat sukar larut dalam kloroform. Penyimpanan dalam

wadah tertutup baik, tidak tembus cahaya (Anonim, 1995).

Furosemida berkhasiat sebagai diuretika (Moffat dkk, 2011). Furosemida

diindikasikan antara lain untuk edema karena payah jantung, penyakit ginjal

termasuk sindrom nefrotik, dan hipertensi ringan sampai sedang dalam bentuk

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70834/potongan/S1-2014... · terjadinya penyakit degeneratif seperti contohnya gagal jantung kongestif, stroke,

15

tunggal atau kombinasi. Dosis yang tersedia adalah tablet 40 mg dan injeksi 10

mg/ml dengan dosis pakai 20-80 mg sehari (Anonim, 2012a). Pada administrasi

oral, furosemida cepat, tetapi tidak sempurna diabsorpsi. Hampir 90% dosis i.v.

diekskresikan melalui urin, terutama sebagai obat utuh dengan hampir 14% berupa

konjugat glukuronida. Ketersediaan dalam tubuh mencapai 60-70% dengan waktu

paruh plasma sekitar 1-3 jam (meningkat pada penderita gagal ginjal, gagal jantung

kongestif, sakit liver, dan pada neonatus hingga 46 jam). Pada subjek normal,

sekitar 6-18% dosis dieliminasi melalui feses setelah administrasi i.v., mungkin

dapat meningkat hingga sekitar 60% pada gagal ginjal. Obat melewati plasenta dan

ditemukan pada air susu ibu. Ikatan dengan protein plasma sekitar 99%, menurun

pada pasien sirosis, sindrom nefrotik, dan uremia (Moffat dkk, 2011).

Efek samping yang dapat ditimbulkan oleh furosemida yaitu gangguan saluran

pencernaan seperti mual, muntah, diare, kejang kaki, anoreksia, lemah, letih,

berkeringat, dan lainnya yang berhubungan dengan efek diuresia, contohnya deplesi

kalsium, kalium, dan natrium, alkalosis metabolik, diabetes, dan nefrokalsinosis

pada bayi prematur. Jarang terjadi, syok anafilaktik, reaksi alergi, depresi sumsum

tulang, pankreatitis akut, dan gangguan pendengaran (Anonim, 2012a).

5. Tumbuhan Eupatorium riparium Regel

Genus Eupatorium mengacu pada Eupatorieae, satu dari 13 suku Asteraceae

dan terdiri dari hampir 1.200 spesies yang tersebar utamanya di daerah tropis

Amerika, Eropa, Afrika, dan Asia. Di Jawa, genus Eupatorium diwakili oleh 7

spesies, salah satunya adalah spesies Eupatorium riparium Reg. (Chrystomo dkk,

2012). Tumbuhan E. riparium memiliki nama daerah dengan sebutan teklan

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70834/potongan/S1-2014... · terjadinya penyakit degeneratif seperti contohnya gagal jantung kongestif, stroke,

16

(Sunda), dan tekelan (Jawa Tengah) (Syamsuhidayat & Hutapea, 1991). Klasifikasi

tumbuhan E. riparium adalah sebagai berikut:

Kerajaan : Plantae

Subkerajaan : Tracheobionta (tumbuhan berpembuluh)

Superdivisi : Spermatophyta (tumbuhan berbiji)

Divisi : Magnoliophyta (tumbuhan berbunga)

Kelas : Magnoliopsida-dicotyledonae

Subkelas : Asteridae

Bangsa : Asterales

Suku : Asteraceae (keluarga Aster)

Marga (genus) : Eupatorium

Jenis (spesies) : Eupatorium riparium Regel

Sinonim : Ageratina riparia (Regel) King & H. Rob.

(Anonim, 2014a)

Tumbuhan ini adalah semak yang menyebar dari akarnya, batang menjalar,

tinggi 40-60 cm, pertumbuhannya jarang sebelum dewasa. Sejumlah batang

cenderung menyebar secara horinzontal pada awalnya, akar pada percabangannya

menyentuh tanah. Daunnya berbentuk seperti tombak hingga bulat telur, panjang 4-

8 cm, lebar 1-1,5 cm, memiliki tepi bergerigi dan panjang petiola 0,5-1,3 cm.

Tumbuhan ini tumbuh di daerah tropis basah atau hutan hujan subtropis, di sisi

selatan bukit, dan daerah lembab lainnya (Chrystomo dkk, 2012). Bunga majemuk,

malai, tumbuh di ujung batang, kelopak berbentuk lonceng sedang, mahkota bunga

berbentuk jarum, putih. Buah kecil, berbulu, coklat kehitaman. Biji bentuk jarum,

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70834/potongan/S1-2014... · terjadinya penyakit degeneratif seperti contohnya gagal jantung kongestif, stroke,

17

kecil, hitam. Tumbuhan ini memilki akar tunggang dan berwarna coklat muda

(Backer & van den Brink, 1965). Tumbuhan Ageratina riparia yang merupakan

sinonim dari E. riparium dapat dilihat pada gambar 4.

Gambar 4. Tumbuhan Ageratina riparia (Anonim, 2014b)

Daun tumbuhan E. riparium berkhasiat sebagai peluruh air seni sedangkan

genus lainnya Eupatorium odoratum Linn. atau kirinyu, daunnya berkhasiat untuk

mengobati masuk angin, sakit kepala, dan demam serta sebagai pestisida alami

(Abdiyani, 2008; Yunita dkk, 2009). Spesies tanaman dari genus ini juga telah

digunakan dalam banyak dekade untuk pengobatan tradisional sebagai antimalaria,

antibakteri, antioksidan, antifungi, antiinflamasi, dan antikanker (Chrystomo dkk,

2012).

Pada umumnya tumbuhan genus Eupatorium memiliki kandungan senyawa

seskuiterpen lakton dan diterpen lakton, disamping metabolit lain seperti flavonoid,

terpenoid, dan sterol. Sesquiterpen lakton dan diterpen lakton dalam beberapa

spesies Eupatorium telah dilaporkan memiliki aktivitas sitotoksik (Fakhruddin dkk,

2007). Aktivitas biologis tumbuhan E. riparium belum banyak diteliti. Walaupun

demikian, beberapa kandungan senyawa dari E. riparium telah diketahui yaitu

germacrene D, taraksasteril palmitat, tarasasteril asetat, taraksasterol, epi-

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70834/potongan/S1-2014... · terjadinya penyakit degeneratif seperti contohnya gagal jantung kongestif, stroke,

18

friedelinol, stigmasterol, dammadienil asetat, benzofuran serta kromen seperti

ageratoriparin, ripariokromen-A, metilripariokromen-A, asetovanilokromen, dan

turunan eupatoriokromen (Anggraeny, 2011).

Hasil penelitian Fakhruddin dkk (2007), E. riparium mengandung senyawa

yang teridentifikasi sebagai metilripariokromen-A (MRC-A). Menurut penelitian

yang telah dilakukan, Chrystomo (2012) melaporkan bahwa MRC-A dari E.

riparium hanya ada pada bagian daun. Telah diuji oleh Anindyawardhani (2012)

bahwa MRC-A dalam ekstrak air E. riparium adalah sebanyak 0,0004% (b/v)

ekstrak serta ekstrak air E. riparium dapat menyebabkan jumlah volume urin

terbanyak pada dosis 400 mg/kg BB tikus dibanding dosis 200 dan 800 mg/kg BB

tikus.

6. MRC-A

Senyawa golongan kromen methylripariochromene-A (MRC-A) berhasil

diisolasi dan diidentifikasi secara spektroskopi melalui metode Bioassay Guided

Isolation dari tumbuhan Eupatorium riparium Reg. sebagai tanaman yang

digunakan untuk pengobatan oleh Fakhrudin dkk (2007) dalam bentuk fraksi larut

metanol dari ekstrak wasbensin. Struktur MRC-A dapat dilihat pada gambar 5.

Gambar 5. Struktur methylripariochromene-A (MRC-A) (Shibuya dkk, 1999)

(6-asetil-7,8-dimetoksi-2,2-dimetilkromen)

Struktur yang ditampilkan menunjukkan bahwa MRC-A cenderung kurang

polar. Oleh Shibuya dkk (1999) MRC-A ditemukan berada dalam fraksi larut

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70834/potongan/S1-2014... · terjadinya penyakit degeneratif seperti contohnya gagal jantung kongestif, stroke,

19

kloroform pada dekokta daun kering Orthosiphon stamineus Benth. sebagai

komponen utama dari daun kering yaitu sebanyak 0,063% selain

asetovanilokromen, ortokromen A, dan empat diterpen jenis isopimaran lainnya.

Kloroform sendiri merupakan pelarut yang kurang polar, jika dibanding pelarut lain

seperti etanol dan air (Budhiraja, 2004).

Berdasarkan penelitian oleh Matsubara dkk (1999), senyawa MRC-A yang

diisolasi dari fraksi larut kloroform dekokta daun O. stamineus memiliki aksi

diuretik dan dapat menurunkan tekanan darah serta cardiac output. MRC-A

diberikan secara subkutan pada tikus jantan yang diinduksi SHRSP (Stroke-prone

Spontaneously Hypertensive Rats) dengan dosis 50 dan 100 mg/kg BB, dilaporkan

dapat menurunkan tekanan darah sistolik maupun detak jantung secara signifikan

dan lebih lama pada dosis yang lebih tinggi (Adnyana dkk, 2013; Anonim, 2010).

F. Landasan Teori

Regulasi tekanan darah dipengaruhi oleh mekanisme neural dan humoral

(Scanlon & Sanders, 2007) yang berbeda secara fundamental antara perempuan dan

laki-laki terkait pengaruh hormonal (Hart dkk, 2009). Kompleksitas pengaruh

hormonal terhadap regulasi tekanan darah pada wanita terkait sistem renin-

angiotensin (RAS) bahkan dapat berdampak pada lebih tingginya tekanan darah

perempuan postmenopausal dibanding laki-laki (Reckelhoff, 2001). Kejadian

hipertensi pada perempuan juga lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Hal ini

menimbulkan pemikiran untuk melakukan penelitian terhadap tikus betina.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70834/potongan/S1-2014... · terjadinya penyakit degeneratif seperti contohnya gagal jantung kongestif, stroke,

20

Ekstrak air dan fraksi larut metanol ekstrak wasbensin tanaman E. riparium

dilaporkan mengandung MRC-A (Anindyawardhani, 2012; Fakhrudin dkk, 2007).

MRC-A ditemukan memiliki efek diuretik (Anindyawardhani, 2012) dan

antihipertensi (Matsubara dkk, 1999; Anonim, 2010). MRC-A hasil isolasi dari

fraksi larut kloroform dekokta yang diujikan pada tikus dapat menurunkan tekanan

darah sistolik serta cardiac output secara signifikan dan menurunkan denyut

jantung pada dosis 50 dan 100 mg/kg BB (Anonim, 2010). Ditemukannya

kandungan MRC-A dalam ekstrak air dan fraksi larut kloroform dekokta

membuktikan bahwa MRC-A yang cenderung kurang polar dapat larut dalam

pelarut kurang polar maupun sedikit larut pada pelarut polar. Dengan demikian,

etanol yang memiliki polaritas di antara air dan kloroform, dapat melarutkan MRC-

A sehingga ekstrak etanol E. riparium dapat diteliti untuk dikembangkan sebagai

antihipertensi. Sebagai pembanding untuk mengetahui aktivitas ekstrak etanol E.

riparium dalam menurunkan tekanan darah adalah diuretika sintetis yaitu dari kelas

diuretika loop (furosemida) dengan alasan bahwa jenis diuretika ini sering

digunakan untuk mengatasi hipertensi. Furosemida lebih efisien dan dapat menjaga

efektivitasnya terhadap fungsi ginjal.

G. Hipotesis

Ekstrak etanol tanaman E. riparium memiliki efek antihipertensi pada hewan

uji tikus Sprague-Dawley betina.