BAB I PENDAHULUAN A. Latar...

24
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab paling umum kematian di seluruh dunia dan akan timbul lebih banyak pada populasi lanjut usia (Basson, 2008). Selama dua dekade terakhir, di Indonesia telah terjadi transisi epidemiologis yang signifikan dimana PTM (Penyakit Tidak Menular) telah menjadi beban utama meskipun beban penyakit menular masih berat juga. PTM utama meliputi penyakit kardiovaskuler (hipertensi, stroke), diabetes melitus, kanker, dan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) (Kemenkes RI, 2015). Dari hasil analisis awal Sample Registration Survey (SRS) 2014, survei kematian skala nasional terhadap 41.590 kematian sepanjang 2014, yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementrian Kesehetan menunjukkan, stroke dan jantung merupakan penyebab kematian pertama dan kedua di Indonesia dengan presentase 21,1% dan 12,9% (Anonim, 2015). Salah satu penyebab penyakit kardiovaskular adalah agregasi platelet yang abnormal. Sebenarnya, platelet memiliki peranan penting bagi homeostasis tubuh manusia. Platelet akan menghindari kehilangan darah apabila terjadi luka dengan cara membentuk agregasi/trombus pada permukaan pembuluh darah. Namun, dalam keadaan abnormal, agregasi platelet dapat mudah terjadi dan menyebabkan penyakit kelainan vaskular (Willoughby et al., 2002).

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab paling umum kematian di

seluruh dunia dan akan timbul lebih banyak pada populasi lanjut usia (Basson,

2008). Selama dua dekade terakhir, di Indonesia telah terjadi transisi

epidemiologis yang signifikan dimana PTM (Penyakit Tidak Menular) telah

menjadi beban utama meskipun beban penyakit menular masih berat juga. PTM

utama meliputi penyakit kardiovaskuler (hipertensi, stroke), diabetes melitus,

kanker, dan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) (Kemenkes RI, 2015). Dari

hasil analisis awal Sample Registration Survey (SRS) 2014, survei kematian skala

nasional terhadap 41.590 kematian sepanjang 2014, yang dilakukan oleh Badan

Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementrian Kesehetan

menunjukkan, stroke dan jantung merupakan penyebab kematian pertama dan

kedua di Indonesia dengan presentase 21,1% dan 12,9% (Anonim, 2015).

Salah satu penyebab penyakit kardiovaskular adalah agregasi platelet yang

abnormal. Sebenarnya, platelet memiliki peranan penting bagi homeostasis tubuh

manusia. Platelet akan menghindari kehilangan darah apabila terjadi luka dengan

cara membentuk agregasi/trombus pada permukaan pembuluh darah. Namun,

dalam keadaan abnormal, agregasi platelet dapat mudah terjadi dan menyebabkan

penyakit kelainan vaskular (Willoughby et al., 2002).

2

Salah satu agen terapi yang digunakan dalam tatalaksana terapi penyakit

kardiovaskular diantaranya menggunakan antiplatelet (Ikawati, 2011). Tujuan

penggunaan antiplatelet adalah untuk mencegah pembentukan trombus dengan

menghambat agregasi platelet. Terapi menggunakan antiplatelet merupakan suatu

hal yang penting dalam tatalaksana jangka panjang untuk semua pasien dengan

risiko terjadinya aterotrombosis. Empat kelas utama obat antiplatelet adalah

Cyclooxygenase inhibitors (Aspirin), Thienophyridine derivates (Clopidogrel dan

Ticlopidine), Phosphodiesterase inhibitors (Cilostazol, Dipyridamole), dan

Glycoprotein IIb/IIIa receptor blockers (Abciximab) (Nurimaba, 2008).

Aspirin adalah agen antiplatelet yang paling banyak digunakan karena

aspirin efektif mengurangi kejadian penyakit kardiovaskular seperti stroke

iskemik (Sacco et al., 2006). Meskipun memberikan manfaat yang lumayan besar,

sekitar 15% - 25% pasien dilaporkan mengalami resistensi terhadap aspirin

(Alberts, 2010). Resistensi yang terjadi pada aspirin dapat meningkatkan resiko

kejadian stroke iskemik berulang bahkan kematian pada pasien. Resistensi yang

terjadi disebabkan kurang adekuatnya efek antiplatelet aspirin. Selain itu, aspirin

yang tergolong dalam Non-Steroidal Anti-Inflammatory Drug (NSAID) tersebut

memiliki efek samping yaitu menyebabkan iritasi lambung. Kerugian dalam

pemakaian aspirin tersebut menjadi dasar pencarian alternatif obat baru yang

dapat menekan agregasi platelet (Georgiadis et al., 2011). Salah satu alternatif

yang dinilai aman untuk terapi antiplatelet yaitu dengan menggunakan bahan

alam.

3

Indonesia yang beriklim tropis menyebabkan tanahnya subur sehingga kaya

akan berbagai jenis tanaman yang banyak digunakan sebagai sumber obat

tradisional. Namun, sebagian besar dari tanaman obat itu tidak diketahui oleh

masyarakat luas sehingga tidak termanfaatkan secara optimal. Hal tersebut

menyebabkan masyarakat semakin tidak mengenal jenis-jenis tumbuhan obat dan

akhirnya tumbuhan obat berkesan sebagai tanaman liar yang keberadaannya

sering dianggap mengganggu keindahan kehidupan tumbuhan lainnya. Oleh

karena itu, jenis-jenis tumbuhan obat tersebut harus dilestarikan dan dieksplorasi

potensinya (Hariana, 2009).

Pemanfaatan bahan alam untuk alternatif terapi merupakan isu yang cukup

populer saat ini dan penggunaannya mulai meningkat. Banyak molekul turunan

dari tanaman memiliki efek terapeutik yang menjanjikan (Lokhande, 2007).

Pencarian generasi baru antiplatelet dari bahan alam yang lebih efektif dan aman

daripada aspirin telah banyak dilakukan (Amrani, 2009). Skrining antiplatelet

pada 261 sample invertebrata laut Filipina telah dilakukan oleh Pimentel et al

(2003). Sehingga diperlukan adanya penelitian untuk mengetahui aktivitas

antiplatelet dari beberapa tanaman asal Indonesia yang mudah dikerjakan dan

cepat. Dengan cara ini, dapat diketahui seberapa besar potensi tanaman tersebut

sebagai antiplatelet.

Penelitian pendahuluan mengenai skrining aktivitas antiplatelet dari 149

ekstrak tanaman asal Indonesia telah dilakukan bersama Muhammad Faishal

Husni, Eradian Irma Wulandari, dan Fatiya Farih Mufinnah dari Fakultas Farmasi

Universitas Gadjah Mada (Lampiran 1). 149 ekstrak tersebut merupakan koleksi

4

ekstrak dari Prof. Dr. Subagus Wahyuono, M.Sc., Apt dengan kode “sbk”, Prof.

Dr. Wahyono, S.U., Apt dengan kode “wah”, Dr. rer. nat. Nanang Fakhrudin,

M.Si., Apt & Djoko Santosa, M.Si dengan kode “kf, pb, ku” sedangkan kode “sle”

merupakan hasil ekstraksi dari peneliti bersama Muhammad Faishal Husni,

Eradian Irma Wulandari, dan Fatiya Mufinnah.

Diperoleh 13 jenis ekstrak yang dinilai paling poten menghambat agregasi

platelet (Lampiran 2). Diantaranya, ekstrak etanolik buah P. cubeba, kulit buah

Garcinia mangostana, daun Avverhoa bilimbi, kelopak buah Physallis angulata,

ekstrak metanol kulit batang Cinnamomum sintoc BI, herba Pandorea sp, herba

Cissus sp., herba Tetracera Maingayi, batang dan daun Ficus sp., batang dan daun

Rubus chrysophyllus Rienw. Ex. Miq., herba Leea aequata, ekstrak diklorometan

kelopak buah Physallis angulata, dan ekstrak kloroform herba Tetracera

maingayi.

Dari ketigabelas ekstrak tersebut, dipilih ekstrak etanolik buah Piper cubeba

L.f atau yang dikenal dengan buah kemukus untuk penelitian selanjutnya.

Beberapa jenis piper lain diantaranya Piper longum dan Piper lolot telah diketahui

memiliki aktivitas antiplateletnya karena adanya senyawa amida didalamnya (Li et

al. 2007; Park et al. 2007), tetapi belum ada penelitian lebih lanjut mengenai

aktivitas antiplatelet pada buah P. cubeba. Hal inilah yang menjadi pertimbangan

pemilihan terhadap ekstrak etanolik buah P. cubeba disamping karena buahnya

yang mudah diperoleh. Dan juga dari hasil penelitian pendahuluan ekstrak

etanolik buah P. cubeba memiliki aktivitas antiplatelet yang baik. Sehingga

5

diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui aktivitas antiplatelet dari

ekstrak etanolik buah P. cubeba.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan di atas, dapat dibuat

rumusan masalah yaitu:

- Apakah ekstrak etanolik buah P. cubeba dapat menghambat agregasi

platelet terinduksi ADP?

C. Tujuan penelitian

Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui potensi aktivitas antiplatelet

ekstrak etanolik buah P. cubeba pada platelet terinduksi ADP dengan metode

agregometri. Data yang diperoleh dapat digunakan sebagai landasan dan informasi

baru dalam pengembangan obat antiplatelet dari bahan alam.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat untuk memberi informasi mengenai aktivitas

antiplatelet ekstrak etanolik buah P. cubeba yang berpotensi sebagai agen

antiplatelet. Hasil penelitian ini akan sangat bermanfaat untuk menambah data

ilmiah yang valid sehingga dapat dipublikasikan menjadi sebuah artikel ilmiah

serta dapat menjadi sumber data yang bermanfaat bagi pengembangan penelitian

selanjutnya.

6

E. Tinjauan Pustaka

1. Platelet dan aktivasi platelet

Platelet atau trombosit merupakan salah satu jenis sel darah. Platelet

berukuran kecil, kira-kira sepertiga dari ukuran sel darah merah. Terdapat 300.000

platelet dalam setiap milimiter kubik darah. Platelet tidak memiliki inti, berasal

dari megakariosit pada sumsum tulang, dan hanya berumur 8-10 hari. Platelet

memiliki peranan penting dalam proses penggumpalan darah dan menjaga

integritas sirkulasi sistemik. Dalam keadaan normal bentuknya seperti cakram,

tetapi ketika teraktivasi bentuknya akan membulat kemudian memanjang dan

meruncing tidak beraturan (Pearce, 2009; Nugroho, 2011; Willoughby et al.,

2002).

Platelet dapat diaktivasi oleh senyawa fisiologis (trombin, kolagen, ADP,

epinefrin, vasopresin, serotonin) dan senyawa non fisiologis (analog siklik

endoperoksida). Ketika diaktivasi platelet akan memberikan respon : 1. Perubahan

bentuk; 2. Agregasi; 3. Proses sekresi; 4. Pelepasan asam arakidonat yang akan

segera berubah menjadi prostaglandin dan lipoksigenase (Willoughby et al.,

2002). Dalam keadaan sehat, endotelium pembuluh darah mencegah terjadinya

adhesi platelet. Ketika adhesi platelet aktif akibat perlukaan akan menyebabkan

pelepasan tromboksan A2 (TXA2) dari asam arakidonat yang terdapat pada

fosfolipida membran platelet. Aktivasi ini juga akan menyebabkan pelepasan

Adenosin Difosfat (ADP) dari granul penyimpanan platelet. TXA2 dan ADP akan

beraksi pada reseptor spesifik yang berada di permukaan platelet, dan

menyebabkan glikoprotein (GP) IIb/IIIa berikatan dengan fibrinogen dan protein

7

adesif. Akibatnya, fibrinogen yang berikatan dengan platelet akan berikatan

dengan kompleks fibrinogen-platelet lain sehingga terjadilah proses agregasi

platelet dan akhirnya membentuk trombus (klot yang stabil). Trombus inilah yang

berbahaya apabila tidak terjadi keseimbangan karena dapat menganggu aliran

darah bahkan penyumbatan yang dapat menyebabkan atherosklerosis dan

iskemia/infark (Nugroho, 2011).

Gambar 1. Mekanisme aktivasi platelet (Willoughby et al., 2002)

Faktor aktivasi platelet:

(Trombin, serotonin, ADP, epinefrin, kolagen )

Permukaan Reseptor

Fosfolipase

PIP2

IP3 DAG

Pelepasan Ca2+ PKC

Prostanoid Pengikatan fibrinogen

& Agregasi

TxA2

Aktivasi platelet

lebih lanjut

8

Pada gambar 1 dapat dijelaskan bahwa membran plasma platelet

mengandung sejumlah besar reseptor yang akan berikatan secara spesifik dengan

agonis yang akan menstimulasi respon fisiologi paletet, contohnya adalah ADP,

epinefrin, kolagen, trombin, serotonin, dan PAF (Platelet Activating Factor).

Interaksi antara reseptor dan agonisnya akan mempercepat mobilisasi dari

molekul sinyal dalam platelet, terutama kalsium, diasilgliserol (DAG), dan

inositol 1,4,5-trifosfat (IP3), yang akan menginisiasi perubahan bentuk platelet dan

respon agregasi. Molekul-molekul tersebut dalam konsentrasi rendah akan

menyebabkan sekresi granul dan liberasi asam arakidonat. ADP dan prostaglandin

endoperoksida dilepaskan kembali melalui sekresi granul, sedangkan

prostaglandin dan tromboksan terbentuk dari liberasi asam arakidonat. Hal ini

yang menyebabkan pelepasan molekul sinyal lebih banyak lagi sehingga terjadi

aktivasi lebih lanjut. (Willoughby et al., 2002).

Ikatan platelet terhadap endotelium sel akan terjadi pada dinding

pembuluh darah yang mengalami perlukaan melalui ikatan dengan reseptor GP.

Platelet akan teraktivasi melalui proses signaling intraseluler dan menyebabkan

produksi serta pelepasan agonis seperti TXA2 dan ADP, dan trombin. Faktor-

faktor ini akan berikatan dengan reseptor GPCR (G protein-coupled receptors),

dan memediasi aktivasi platelet parakrin dan autokrin. Proses ini akan

mempotensiasi aksi lainnya (signaling P2Y12 memodulasi generasi trombin).

Pada akhirnya, integrin GPIIb/IIIa yang akan memediasi aktivasi platelet dengan

adanya perubahan bentuk platelet, terbentuknya ikatan fibrinogen, dan vWF yang

akan menyebabkan agregasi platelet. Hasil akhir dari proses ini adalah

9

terbentuknya trombus akibat adanya interaksi platelet dengan fibrin. Saat ini terapi

yang digunakan dalam menghambat aktivasi platelet adalah dengan menghambat

reseptor, integrin, dan protein yang terkait dalam aktivasi platelet diantaranya

inhibitor tromboksan, antagonis ADP, inhibitor GPIIb/IIIa, PAR antagonis dan

antagonis adhesi (gambar 2) (Angiolillo et al., 2010).

Gambar 2. Jalur Aktivasi Platelet (Angiolillo et al., 2010)

2. Adenosin Difosfat (ADP)

Adenosin Difosfat (ADP) adalah substrat dan produk untuk fosforilasi

oksidatif. ADP dapat terbentuk dari Adenosin trifosfat (ATP) yang mengalami

defosforilasi, tetapi ADP juga dapat membentuk ATP kembali apabila dapat

10

menerima fosfat berenergi tinggi. ADP merupakan senyawa nukleotida yang

terdiri dari adenosin, ribosa, dan fosfat (Murray et al., 1996).

OH P

O

O

O-

P

O-

O

OO

N

N

N

N

H2N

Gambar 3. Struktur kimia Adenosin Difosfat (ADP)

ADP merupakan salah satu mediator hemostasis dan trombosis paling penting

dalam tubuh manusia. ADP disimpan dalam granula platelet yang padat dan

dilepaskan ketika platelet tersebut diaktivasi. Pengaruh ADP pada platelet

dimediasi dengan adanya reseptor P2Y1, P2Y12, dan P2X1. (Fontana et al., 2003;

Murugappa dan Kunapuli 2006). ADP merupakan agonis platelet yang akan

menyebabkan perubahan bentuk platelet, pelepasan granul, dan pembentukan

agregasi. Hal ini terjadi dengan adanya bantuan agonis platelet lain yaitu

tromboksan A2 (Jin, 2002).

Pada gambar 4 aktivasi platelet oleh agonis yang poten seperti trombin dan

kolagen akan menyebabkan pelepasan agonis sekunder seperti tromboksan A2

(TxA2) dan seksresi ADP dari granul platelet. Respon platelet terhadap ADP

membutuhkan aktivasi dari dua reseptor GPCR (G protein-coupled receptors),

yaitu P2Y1 dan P2Y12. Obat-obatan seperti tiklopidin dan klopidogrel akan

memblok aktivasi dari P2Y12. CD39 yang berada pada permukaan sel endotelial,

menghidrolisis ADP menjadi AMP yang tidak aktif, PGI2 dan NO, yang juga

11

akan meningkatkan konsentrasi dari cAMP dan cGMP dalam platelet (Woulfe et

al., 2001).

Gambar 4. ADP dan Aktivasi Platelet (Woulfe et al., 2001)

3. Antiplatelet

Antiplatelet merupakan obat yang dapat menghambat agregasi platelet

sehingga menyebabkan terhambatnya pembentukan trombus yang terutama sering

ditemukan pada sistem arteri dan stroke iskemik (Born dan Patrono 2006). Pada

saat luka, tubuh akan melepaskan tromboksan A2 (TXA2), ADP, dan 5-

hidrositriptamine (5HT) yang menyebabkan terjadinya agregasi platelet

selanjutnya, vasokontriksi dan aktivasi faktor pembekuan (Neal, 2005).

12

Penggunaan obat antiplatelet bisa mengurangi risiko stroke, infark miokard

dan kematian sebanyak 22%. Empat antiplatelet yang sudah disetujui FDA (Food

and Drug Administration) sebagai pencegah kejadian vaskular pada penderita TIA

dan stroke yaitu aspirin, kombinasi aspirin dan extended-release dipyridamole

(ER-Dipyridamole), klopidogrel dan tiklopidin (Furie et al., 2011).

3.1 Aspirin

Aspirin merupakan nama generik dari asam asetilsalisilat. Secara oral

aspirin digunakan untuk mengurasi rasa sakit, pencegahan sekunder CVD, dan

berbagai tujuan lain. Dalam British National Formulary, aspirin

diklasifikasikan sebagai obat antiinflamasi non steroid, obat antiplatelet, dan

analgesik non opioid. Aspirin memliki waktu paruh dalam darah adalah sekitar

20 menit (Roth dan Majerus, 1975).

Sintesis aspirin pada abad ke-19 menandai perkembangan penggunaan

analgesik secara luas di abad ke-20. Namun, dengan meningkatnya

pengetahuan mengenai peran utama platelet pada penyumbatan pembuluh

darah sepuluh tahun terakhir, pentingnya aspirin sebagai obat antiplatelet dan

penggunaannya dalam mengurangi resiko trombosis pembuluh darah telah

menjadi perhatian utama (McKee et al., 2002). Aspirin lebih baik dalam

menurunkan risiko penyakit kardiovaskular dibandingkan dengan plasebo

(Shulga dan Bornstein, 2011). Resistensi aspirin dapat terjadi 5,5-60% pada

pasien yang mendapatkan aspirin, tergantung definisi dan analisis yang

digunakan (Gerald, 2002). Aspirin dapat menghambat enzim siklooksigenase

13

secara ireversibel dengan mengasetilasi enzim tersebut,sehingga menghambat

tromboksan A2 yang berperan dalam vasokontriksi dan agregasi platelet

(Katzung, 2003; Shulga dan Bornstein, 2011). Hal ini seperti yang ditampilkan

dalam gambar 5 berikut ini:

Gambar 5. Mekanisme kerja obat antiplatelet (McCann, 2007)

Dari gambar 5 bisa dilihat bahwa mekanisme aksi aspirin sama dengan

mekanisme aksi obat nonsteroid antiinflammatory drugs (NSAIDs) lainnya

yaitu dengan menghambat enzim prostaglandin endoperoxide synthase

(PGTS) atau cyclooxygenase (COX). COX bekerja dengan cara: pertama, COX

mengkonversi asam arakidonat menjadi endoperoksid (PGTS) dan kedua,

peroksida aktif akan mengkonversi PGG2 menjadi endoperoksid yang lainnya

yakni prostaglandin, prostasiklin dan TXA2. COX memiliki dua isoform yaitu

COX-1 dan COX-2. Aspirin secara irreversibel menghambat COX-1 dengan

mengasetilasi serin 530 yang menyebabkan akses terhadap asam arakidonat

14

terputus (Vane dan Botting, 1997). Penghambatan COX-1 menyebabkan

platelet tidak mampu untuk mensintesis PGH2. PGH2 pada keadaan tidak

normal akan membentuk TXA2 dengan bantuan tromboksan sintase. Meskipun

platelet mampu mensintesis protein, namun sintesis protein baru tidak dapat

terjadi jika COX-1 dihambat oleh aspirin. COX-2 merupakan isomer COX

yang merepon sintesis platelet PGI2 oleh endotel dan menginduksi respon

inflamasi (Campbell et al., 2007).

4. Agregometer Turbidimetri

Agregometer turbidimetri merupakan alat yang digunakan dalam

menginvestigasi aktivitas agregasi platelet. Agregometer turbidimetri

dikembangkan secara terpisah pada tahun 1962 oleh Born (Born, 1962) dan

O`Brien (O`Brien, 1961) dianggap sebagai metode terbaik untuk menguji fungsi

platelet, agregometer menyediakan informasi penting mengenai diagnosa pasien

dengan kelainan fungsi platelet. Prinsip dasar dari metode ini sederhana, yaitu

sinar dilewatkan melalui suspensi platelet yang distrirer pada kuvet. Adanya

platelet pada suspensi menyebabkan cahaya menjadi tersebar sehingga proporsi

cahaya yang melewati suspensi platelet terhalang. Jumlah cahaya yang

ditransmisikan akan tercatat dan memberikan ukuran densitas optikal pada

suspensi platelet (Born dan Hume, 1967; Mehta et al., 1983).

Agregometer turbidimteri dapat membedakan pembentukan agregasi pada

fase primer dan sekunder, selain itu metode ini dapat mengukur fungsi platelet.

Namun, fungsi platelet secara invitro ini tidak dapat menggambarkan fungsi

15

platelet secara invivo. Agregometer turbidimetri membutuhkan preparasi yang

tepat karena adanya senyawa seperti lipid dalam PRP (Platelet-rich Plasma)

ataupun PPP (Platelet-poor Plasma) dapat mempengaruhi absorbansi pada

panjang gelombang observasi. Hal tersebut bukan menjadi permasalahan, yang

menjadi permasalahan utama sebenarnya adalah adanya proses sentrifugasi yang

dapat mempengaruhi ukuran volume platelet, densitas, dan juga aktivitas

metabolik. Selain itu, hal ini juga memungkinkan adanya kehilangan populasi

platelet selama preparasi PRP yang mungkin penting dalam menentukan fungsi

homeostatis in vivo (Willoughby et al., 2002).

Output yang dihasilkan dari agregometer turbidimetri digambarkan dalam

bentuk persentase. Hal ini dicapai dengan mengkalibrasi agregometer sehingga

kerapatan optik dari suspensi basal platelet yang tidak terstimulasi (misal: PRP)

menunjukkan 0% agregasi, sedangkan kerapatan optik medium dimana platelet

tersuspensi (misal: PPP) menunjukkan 100% agregasi. Agregometer turbidimetri

mengukur kerapatan optik suspensi platelet, sehingga 50% agregasi sesungguhnya

adalah pengurangan 50% pada kerapatan optik suspensi platelet relatif terhadap

PRP (0%) dan PPP (100%). Informasi hubungan antara kerapatan optik dengan

pembentukan agregasi yang sebenarnya diperlukan sekali untuk intrepetasi data.

Namun dikarenakan kesederhanaan teknik ini, hubungan tersebut masih jauh dari

keadaan yang sebenarnya (Born dan Hume, 1967).

16

5. Ekstraksi

Ekstraksi merupakan kegiatan penarikan zat yang dapat larut dari bahan yang

tidak dapat larut dengan pelarut cair. Simplisia yang disari, mengandung zat aktif

yang dapat larut dan zat yang larut seperti serat, karbohidrat, protein dan lain-lain.

Faktor yang mempengaruhi dari kecepatan ekstraksi adalah kecepatan difusi zat

yang larut melalui lapisan-lapisan batas antara cairan penyari dengan bahan yang

mengandung zat tersebut (Depkes RI, 1986). Sistem pemilihan pelarut yang

digunakan dalam ekstraksi harus berdasarkan kemampuannya dalam melarutkan

jumlah yang maksimum dari zat aktif dan seminimal mungkin bagi unsur yang

tidak diinginkan (Anonim, 2000). Pengadukan dan pemanasan merupakan cara

yang dapat mengefektifkan proses penyarian. Pengadukan akan menyebabkan

perataan pelarut untuk mencapai zat aktif dalam bahan sedangkan pemanasan

akan menyebabkan pelarut lebih encer sehingga meningkatkan kemampuannya

untuk melarutkan zat aktif (Pramono, 2012).

Menurut Pramono (2012) dan Wahyono (2012) terdapat berbagai macam

metode ekstraksi yang dapat dilakukan, yaitu:

1. Metode maserasi, merupakan merupakan salah satu metode ekstraksi yang

sering dilakukan dibandingkan dengan metode lainnya. Penyarian dilakukan

dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari pada tempat

yang sesuai dan pada umumnya tertutup. Metode ini paling sering digunakan

untuk ekstraksi bahan tumbuhan yang senyawa bioaktifnya tinggi. Umumnya

volume pelarut 5-10 kali dari bahan simplisia untuk merendam tergantung

pada sifat bahan. Waktu perendaman juga bervariasi tergantung dari sifat

17

bahan apakah bahan tersebut dari daun, biji, kulit kayu tetapi umumnya

berkisar 18 jam. Kerugian metode ini adalah ekstraksinya tidak dapat

sempurna tetapi dapat disiasati dengan dimaserasi kembali sekurang-

kurangnya dua kali menggunakan pelarut yang sama. Maserat dikumpulkan

dengan filtrasi dan diuapkan hingga diperoleh ekstrak kental.

Kelebihan metode maserasi dibandingkan metode ekstraksi lainnya yaitu:

lebih sederhana, tidak memerlukan alat-alat yang rumit, relatif lebih murah dan

bisa menghindari kerusakan komponen senyawa yang tidak tahan panas (Meloan,

1999).

2. Metode pemerasan. Penyarian yang dilakukan dengan cara memeras

simplisia segar.

3. Metode infundasi. Penyarian yang dilakukan dengan cara memanaskan

simplisia serbuk atau simplisia dalam potongan kecil menggunakan air pada

suhu 90˚C. Metode ini dilakukan dengan alat berupa dua panci bertingkat,

dengan panci bagian bawah sebagai tangas air. Hasil proses ini disebut infusa

jika pemanasan pada ± 90˚C dilakukan 15 menit dan disebut dekokta jika

pemanasannya dilakukan 30 menit.

4. Metode digesti. Penyarian yang dilakukan dengan cara maserasi

menggunakan pemanasan lemah, yaitu 40-50˚C.

5. Metode destilasi uap. Penyarian yang popular untuk menyari minyak atisiri

dari bahan tanaman. Metode ini dapat dilakukan dengan sejumlah cara. Salah

satunya dengan mencampur bahan tumbuhan dengan air lalu

18

mendidihkannya. Uap yang dihasilkan disimpan dan dibiarkan mengembun,

lalu minyak dipisahkan dari air.

6. Metode perkolasi. Penyarian yang dilakukan dengan mengalirkan cairan

penyari melalui serbuk simplisia yang telah dibasahi. Serbuk simplisia

dimasukkan dalam perkolator yaitu kolom dengan sumbat pada pangkal

dilengkapi lapisan filter. Metode ini tergolong sederhana, proses ini dapat

diulangi sebanyak yang diperlukan. Metode ini biasanya banyak digunakan

pada tumbuhan dengan kadar senyawa bioaktif yang rendah. Keuntungan

metode ini adalah tidak memerlukan langkah penyaringan, dapat diketahui

proses ekstraksi telah selesai ketika tetesan terakhir dari perkolator tidak

menunjukan reaksi positif dengan pereaksi. Kerugiannya adalah kontak

penyari dengan bahan tidak seimbang dan terbatas sehingga tidak melarutkan

beberapa komponen secara efisien.

6. Piper cubeba L.f

Tanaman kemukus atau Piper cubeba L.f. merupakan tanaman yang berasal

dari Indonesia, paling banyak dipanen di pulau Jawa dan di pulau lainnya, namun

yang dibudidayakan di Afrika Barat dan di daerah Kongo. P. cubeba yang

biasanya keriput berwarna coklat-kelabu, bergaris tengah kira-kira 5 mm, dan

mempunyai dasar seperti tangkai (Stahl, 1973).

19

Gambar 6. Buah Piper cubeba L.f

Nama umum atau nama dagang : Kemukus

1. Nama daerah : Kemukuh (Simalur), kemukus (Melayu, Jawa Tengah), rinu

(Sunda), kamokos (Madura), pamakusu (Makassar).

2. Klasifikasi Tanaman Piper cubeba

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae

Bangsa : Piperales

Suku : Piperaceae

Marga : Piper

Spesies : Piper cubeba L.F.

(Depkes RI, 2001)

1. Sinonim : Cubila officinalis Miq.

20

2. Morfologi

Buah : Bulat, bertangkai 2-5 mm, diameter 6-8 mm, berwarna coklat kehitaman.

Batang : Tidak berkayu, lunak, beruas, mempunyai percabangan simpodial,

permukaannya licin, berdiameter 5-15 mm, mempunyai akar pelekat, dan

berwarna hijau.

Daun : Tunggal, membulat seperti telur, pangkal bentuk jantung, ujung

meruncing, tepi rata, berseling atau tersebar, bekas dudukan daun tampak jelas,

panjang 5,5-15,5 cm, lebar 3-9,5 cm, dan berwarna hijau.

Bunga : Majemuk, bentuk bulir, panjang 3-10 cm, tangkai 6-20 mm, berwana

hijau, memiliki daun pelindung berbentuk elips, memiliki tiga benang sari, putik

tiga sampai lima.

Biji : ukuran kecil, lanset, dan berwarna kecoklatan.

Akar : Akar serabut berwarna kuning kecoklatan.

(Depkes RI, 2001)

3. Kandungan Kimia

Dalam buah P. cubeba terkandung 10% - 20% minyak atsiri, kurang lebih

1% asam kubebat, 2,5% - 3,5% damar, 0,3 - 3% kubebin, 0,1% - 0,4% piperin,

gom, pati dan juga minyak lemak, disamping saponin dan flavonoid

(Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991).

5.1 Senyawa Lignan

Secara biosintesis senyawa lignan adalah turunan asam amino, protein

aromatik, yaitu fenil alanin (fenil propanoid). Fenil propanoid merupakan

senyawa fenol alam yang mempunyai cincin aromatik dengan rantai samping

21

terdiri dari 3 atom karbon dan tidak mengandung nitrogen. Turunan dari fenil

propanoid antara lain : asam hidroksinamat, kumarin, kromon, fenil propena,

lignan dan flavonoid. Senyawa dengan nama neolignan merupakan senyawa

dengan ikatan karbon-karbon tidak simetris pada rantai samping (Wahyono dan

Wahyuono, 2003). Lignan terbesar luas di dunia tumbuhan, terdapat dalam

jaringan berkayu, eksudat damar dan bagian tumbuhan lainnya (Robbers, 1996).

Kubebin merupakan senyawa lignan yang terkandung dalam Piper cubeba.

Kubebin C20H20O6 adalah senyawa yang tidak berbau, berbentuk kristal jarum

kecil, melebur pada suhu 132°C (Sudarsono et al., 1996). Pelarut yang mudah

melarutkan kubebin adalah kloroform, dan eter. Pada proses oksidasi, kubebin

akan terurai menjadi cubebinolide, yang identik dengan hinokinin, yaitu senyawa

resin fenolik alami. Sedangkan cubebic acid adalah senyawa amorf berwarna

putih dan memiliki nilai terapi 1-3 % dari seluruh biji P. cubeba, tergantung dari

kadarnya (Sudarsono et al., 1996).

4. Khasiat dan Kegunaan

Secara empiris buah P. cubeba digunakan sebagai obat sesak nafas,

penghangat badan dan penghilang bau mulut (Depkes RI, 2001). Selain itu buah

P. cubeba juga dipakai untuk mengobati gonorrhoea. Di china, buah P. cubeba

juga digunakan untuk penyakit keputihan. Khasiat lainnya juga dapat meluruhkan

dahak, menambah nafsu makan, asma, batuk, dan gangguan pernapasan lainnya

(Trubus, 2010).

Kegunaan buah P. cubeba lainnya dapat digunakan sebagai desinfektan

saluran kencing, karminatif, ekspektoran pada bronkhitis (Stahl, 1973).

22

Dilaporkan juga bahwa P. cubeba berguna sebagai peluruh air seni, peluruh air

liur, pencegah mual dan peluruh angin perut (Mulyani dan Gunawan, 2000).

7. Kromatografi Lapis Tipis

KLT merupakan salah satu kromatografi yang banyak digunakan untuk tujuan

analisis identifikasi senyawa. Identifikasi pemisahan komponen dapat dilakukan

dengan pereaksi warna, fluorosensi, atau dengan radiasi sinar ultra violet. KLT

merupakan metode yang akurat, cepat, dan tidak membutuhkan biaya tinggi (West

dan Deng, 2010; Gandjar dan Rohman, 2007).

Fase diam yang biasa digunakan dalam KLT adalah silika dan serbuk

selulosa. Fase diam/lempeng KLT tersedia dengan berbagai ukuran dan telah

ditambah dengan reagen fluorosen untuk memfasilitasi deteksi bercak dan juga

ditambah pengikat seperti kalsium sulfat. Fase gerak yang digunakan dalam KLT

biasanya berdasarkan dari pustaka atau dengan melakukan orientasi sederhana.

Hal ini perlu dilakukan untuk mendapatkan pemisahan yang sempurna. Fase gerak

haruslah memiliki kemurnian yang tinggi karena KLT merupakan teknik yang

sensitif (Gandjar dan Rohman, 2007).

Dalam aplikasinya, sampel ditotolkan pada tepi lempeng kemudian

dicelupkan pada fase gerak setinggi 0,5-1 cm. Bejana kromatografi harus tertutup

rapat, jenuh, dan sedapat mungkin volume fase gerak yang digunakan sedikit

mungkin. Kemudian usai dilakukan pengembangan elusi dilakukan deteksi

bercak. Deteksi bercak dapat dilakukan dengan menyemprot lempeng KLT

dengan reagen, mengamati lempeng dibawah sinar UV (254 atau 366 nm), atau

23

dengan scanning permukaan lempeng menggunakan densitometer (Gandjar dan

Rohman, 2007).

F. Landasan Teori

Homeostasis merupakan proses fisiologi yang penting dalam menjaga

keseimbangan cairan tubuh manusia. Proses ini berkaitan dengan penghentian

pendarahan yang melibatkan unsur penting yaitu platelet. Apabila platelet ini

bekerja secara abnormal maka akan dapat menyebabkan trombosis dan akhirnya

menyebabkan manifestasi penyakit kardiovaskular (Nugroho, 2011). Berbagai

terapi antiplatelet telah diketahui tetapi memiliki efek samping yang tidak

diinginkan. Bahan alam dapat dijadikan alternatif yang baik karena dinilai lebih

aman.

Sudah banyak penelitian yang menemukan bahwa metabolit sekunder dari

tanaman berpotensi sebagai antiplatelet, seperti misalnya adalah senyawa

flavonoid dengan salah satu mekanismenya mengikat reseptor tromboksan A2

(Guerrero, 2004). Park et al. (2007) melaporkan empat senyawa yang diisolasi

dari buah piper longum diantaranya piperin, pipernonalin, piperoktadekalidin, dan

piperlongumin aktif sebagai antiplatelet yang diinduksi asam arakidonat, kolagen,

dan PAF (Platelet-Activating Factor). Weng et al. (2006) melaporkan senyawa

prenilflavonoid yang diisolasi dari daun Artocarpus communis memiliki aktivitas

penghambatan yang signifikan sebagai antiplatelet yang diinduksi adrenalin.

Senyawa alkaloid dari batang Piper taiwanense dilaporkan oleh Chen et al. (2007)

memiliki aktivitas yang kuat sebagai antiplatelet yang diinduksi oleh asam

24

arakidonat. Selain itu pula, beberapa senyawa flavonoid dan flavonoid glikosida

dari Sophora japonica juga memiliki aktivitas antiplatelet (Kim, 2008). Penelitian

yang telah dilakukan oleh Wahyono (2005) menunjukkan bahwa ekstrak buah P.

cubeba memiliki aktivitas antiasma dan antiinflamasi, dimana platelet memiliki

peran penting dalam proses inflamasi.

Berdasarkan berbagai penelitian yang telah dilakukan mengenai metabolit

sekunder yang memiliki aktivitas antiplatelet serta penelitian mengenai peran

ekstrak buah P. cubeba yang memiliki aktivitas antiasma dan antiinflamasi dapat

dijadikan dasar untuk mengetahui aktivitas antiplatelet pada ekstrak buah P.

cubeba pada platelet terinduksi ADP.

G. Hipotesis

Ekstrak etanolik buah P. cubeba dapat menghambat aktivitas agregasi platelet

terinduksi ADP.