BAB I PENDAHULUAN A. Latar...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada Era Reformasi Indonesia di zaman yang semakin maju, persaiangan
yang cukup keras dan teknologi semakin modern yang pada ahirnya membuat
masyarakat harus bekerja keras guna memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari.
Negara Indonesia adalah negara hukum dimana hukum dijadikan panglima
tertinggi untuk mewujudkan suatu kebenaran dan keadilan di Indonesia. Hukum
adalah suatu rangkaian ugeran atau peraturan yang menguasai tingkah laku dan
perbuatan tertentu dari hidup manusia dalam hidup bermasyarakat.1
Penegakan hukum di Indonesia masih banyak perlu perbaikan baik dari
keorganisasian maupun attitude para aktor-aktor perorangan di masing-masing
institusi. Sebagai konsekuensinya nagara hukum, pemberlakuan asas equality
before the law harus menjadi garda paling depan, namun ada satu artinya
diskriminasi tidak ada artinya tidak ada perbedaan atas siapapun yang mendapat
perkara, mulai dari perlakuan penyidikan hingga sidang di pengadilan. Menurut
penulis ada beberapa hal yang dapat memepangaruhi perlakuan diskrimainasi
dalam proses penanganan hukum yang mempengaruhi pada putusan yang ringan
terhadap pelaku, namun ada satu yang sering terjadi karena dari seorang korban
yang merupakan kalangan kalangan orang yang lemah, rentan, dana atau
kurangnya pengetahuan. Korban-korban ini sering ditemui pada kalangan
1) Bambang Purnomo, Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta, 1978), hlm. 13
2
penyandang disabilitas (Difabel) yang mendapatkan perlakuan diskriminasi dan
kekurangan hak-haknya dalam proses perlindungan hukum karena memang
aksesnya terhambat.
Berbicara mengenai para Penyandang Disabilitas atau Difabel, pada
dasarnya pemerintah telah mengeluarkan Undang-undang Republik Indosnesia
No. 4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat dan Undang-undang Republik
Indonesia No.8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, Undang-undang
tersebut menegaskan bahwa semua masyarakat yang menyandang cacat fisik
ataupun non-fisik yakni merupakan bagian dari masyarakat Indonesia yang
memiliki hak fundamental yang melekat pada dirinya, kemudian para penyadang
cacat tersebut memiliki kewajiban yang sama seperti masyarakat pada umumnya
dalam aspek kehidupan. Berangkat dari hal tersebut, dalam Undang-undang
Republik Indonesia sudah diatur dengan jelas ketentuan-ketentuan dalam
meningkatkan kesejahteraan bagi penyandang cacat, seperti yang termaktub dalam
Undang-undang RI No. 4 Tahun 1997 Pasal 6 menegaskan tentang harus
diberikan haknya kepada penyandang cacat berupa pendidikan, pekerjaan,
perlakuan, aksesibilitas, rehabilitasi, dan mengembangkan potensi, yang mana
semua hal tersebut harus intens diperhatikkan guna menumbuhkembangkan
sumber daya manusia yang berkualitas.2)
Selain itu juga terdapat pada Pasal 3 (a)
Undang-undang Republik Indonesia No.8 Tahun 2016 tentang Penyandang
Disabilitas yang berbunyi Mewujudkan Penghormatan, Pemajuan, Perlindungan,
2)
Muhammad Ramadhana Alfaris, “Dukungan Sosial dan Aksesibilitas Pendidikan
Inklusi di Perguruan Tinggi Berorientasi Masa Depan dan Kontinuitas” (Laporan Hasil
Karya Tulis Ilmiah Guru SMA Sederajat dan Dosen se-Jawa Timur, Universitas Brawijaya,
Malang, 2017), hlm. 1
3
dan Pemenuhan hak asasi manusia serta kebebasan dasar Penyandang Disabilitas
seacara penuh dan setara.
Perlindungan hukum terhadap korban difabel telah diatur secara yuridis
dalam Pasal 5 Undang-undang No 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas
Undang-undang No.13 Tahun 2006 Mengenai Perlindungan Saksi dan Korban,
sebagai pembanding sebelum perubahan Undang-undang Perlindungan Saksi dan
Korban diatur dalam Undang-undang No.13 Tahun 2006 namun seiring
berjalannya waktu dengan melihat kejadian fakta-fakta di lapangan Undang-
undang Perlindungan Saksi dan Korban mengalami Perubahan menjadi Undang-
undang No 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang No.13 Tahun
2006 Mengenai Perlindungan Saksi dan Korban, tetapi meskipun Undang-Undang
Perlindungan Saksi dan Korban telah dilakukan perubahan dan disahkan tetap
masih belum tersampaikan seacara kongkrit menegenai hak-hak penyandang
disabilitas (Difabel).
Berangkat dari hal tersebut ternyata Undang-undang Perlindungan Saksi
dan Korban dianggap masih kurang dalam mengedepankan hak-hak penyandang
disabilitas yang harusnya diterima sebagaiamana mestinya seperti pada praktek
pada Putusan Nomor: 78/Pid.B/2013/PN.Ska sebagai bahan analisis dalam kasus
Pencurian dengan kekerasan yang mana korbannya adalah seorang difabel (Tuna
Wicara) tetapi dalam amar putusan tersebut hakim tidak mempertimbangkan
bahwa korbannya adalah seorang difabel selain itu juga korban diperkosa tetapi
hakim hanya mempertimbangkan tindak pidana tersebut dilakukan oleh 2 orang
atau lebih maka dari itu hakim hanya menjatuhkan hukuman terhadap pelaku
4
hanya 10 bulan penjara tanpa melihat dan mempertimbangkan bahwa korban
adalah seorang difabel.
Penulis berpendapat bahwa masih terdapat kekosongan norma (Vacuum
norm) yang ada dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang
Perubahan atas Undang-undang No.13 Tahun 2006 mengenai perlindungan saksi
dan korban, sehingga mempengaruhi putusan yang diberikan oleh hakim kepada
pelaku itu ringan. Jika dikaitkan pada Pasal 12 dan Pasal 13 Undang-Undang No.
19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on The Rights of Person with
Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas), yang
menyatakan pada intinya difabel yang berhadapan dengan hukum diberikan
perlindungan secara khusus yang dikarenakan perbedaan secara fisik mental
dan/atau keduanya dan Pasal 5 ayat (3) Undang-undang No. 39 tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia mengatur tentang penyandang cacat merupakan
kelompok masyarakat rentan yang berhak memperoleh perlakuan dan
perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.
Persoalan ini menjadi serius jika hal ini hanya dibiarkan tanpa adanya
tindakan tegas dari pemerintah untuk menempatkan difabel mendapatkan akses
publik sebanyak banyaknya, khususnya dalam menegakkan hukum, karena
mereka juga bagian dari para justiciable yang dilindungi konstitusi. Ratifiksi
perjanjian internasional juga telah dilakukan pemerintah yaitu yang terera pada
Undang-undang No.19 Tahun 2011 tentang Convention On The Rights of Person
(Konverensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas). Walaupun berbagai upaya
pemerintah dalam melindungi korban difabel yang mengalami tindak pidana
5
sudah demikian dilakukan namun masih saja peraturan yang dibuat dalam
praktiknya masih ada kendala.3)
Dalam penyelesaian perkara pidana, hukum seringkali melakukan
kekeliruan dengan terlalu mengedepankan hak-hak dari tersangka/terdakwa,
sementara hak-hak korban diabaikan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Andi
Hamzah: “Dalam membahas hukum acara pidana khususnya yang membahas
HAM, terdapat kecenderungan untuk megkaji hal-hal yang berkaitan dengan
tersangka tanpa memperhatikan pula hak-hak korban”.4)
Dalam kasus tindak
pidana seringkali ditemukan korban kurang memeperoleh perlindungan hukum
secara memadai, baik perlindungan yang bersifat immaterial maupun materill.
Korban kejahatan ditempatkan sebagai alat bukti5)
yang memberi
keterangan yaitu hanya sebagai saksi sehingga bagi korban hanya memperoleh
keleluasaan dalam memperjuangkan hak-haknya kecil.Badan Pusat Statistik
Kriminal menunjukan bahwa data Kejahatan tindak pidana Pencurian dengan
kekerasan sepanjang 5 tahun terakhir pada tahun 2011 ada 10.097 kejadian lalu
tahun 2012 terdapat 10.672 kejadian,kemudian mengalami kenaikan di tahun
2013 menjadi 10.683 kejadian,di tahun 2014 menurun menjadi 10.414
3)
Alfan Alfian, “Perlindungan Hukum Terhadap Kaum Difabel Korban
Pemerkosaan”, dalam http;//jurnal.fh.unila.ac.id/index.php/fiat/article/viewFile/615/554 diakses
tanggal 10 Februari 2018 4)
Bambang Waluyo, Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi (Jakarta, 2011), hlm.
25
5)
Alat Bukti menurut Pasal 184 KUHAP sebagai berikut:
1. Keterangan saksi,
2. Keterangan ahli,
3. Surat,
4. Petunjuk, dan
5. Keterangan terdakwa
6
kejadian,pada tahun 2015 naik menjadi 10.759 kejadian.6)
Salah satu contoh kasus
yang mewakili adalah : Kasus Pencurian dengan kekerasan sesuai praktek yang
terjadi di Surakarta pada tanggal 4 Desember 2012 yang telah diputus dengan
Nomor: 78/Pid.B/2013/PN.Ska di Pengadilan Negeri Surakarta. Sesuai dengan
amar Putusan Ketua Majelis Hakim bahwa Putusan tersebut melalui beberapa
pertimbangan. Menimbang bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi, terdakwa
dan barang bukti dalam perkara ini, Majelis Hakim memperoleh fakta-fakta
sebagai berikut :7)
1. Bahwa, benar pada hari Selasa tanggal 4 Desember 2012 sekitar jam
04.15 di dalam komplek makam Cina “MOJO” Jebres Surakarta
Terdakwa bersama dengan teman-temannya yakni saksi TRIANTO
Als. TRIMAN Bin DARSO RIYADI, saksi SURYA ATMAJA Als
RUNDI Bin SUGIMIN telah menyetubuhi saksi korban secara
bergantian;
2. Bahwa, benar persetubuhan yang dilakukan oleh terdakwa bersama-
sama temannya tidak ada upaya paksa atau kekerasan tetapi atas janji
terdakwa dan teman-temannya akan memberikan uang kepada saksi
korban;
3. Bahwa, benar selesai terdakwa melakukan persetubuhan dengan saksi
korban, mereka pergi dan kemudian dengan mengendarai sepeda
6)
Lihat Anonim, ”Badan Pusat Statistik Kriminal” dalam https://bps.go.id/website/pdf
publikasi/Statistik-Kriminal-2016.pdf, diakses pada tanggal 13 November 2017
7)
Lihat Anonim, “Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia” dalam
https://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/a4957bbe574383f0ea619ee03820e3e7, diakses pada
tanggal 14 November 2017
7
motor saksi bersama teman-temannya bersama saksi korban mutar ke
arah palur;
4. Bahwa, benar setelah bertemu dengan saksi DWI SUHARDI dan
SURYA ATMAJA Alias RUNDI di Plazza Palur mereka kembali ke
kuburan jebres karena terdakwa bersama teman-temannya ingin
melakukan persetubuhan kembali terhadap saksi korban;
5. Bahwa, benar selanjutnya terdakwa berhasil membujuk saksi korban
masuk ke komplek pekuburan tersebut dan tiba-tiba terdakwa
mendorong saksi korban samapi terjatuh dan terdakwa mengambil tas
saksi korban;
6. Bahwa, benar selanjutnya terdakwa pergi bersama teman-temannya
dan meninggalkan saksi korban dan setelah terdakwa sampai ke
lapangan Benowo Palur berhenti kemudian dompet milik saksi korban
tersebut dibuka oleh terdakwa yang ternyata isi dompet tersebut ada
uangnya sebesar Rp.153.000,- (seratus lima puluh tiga ribu rupiah);
7. Bahwa, benar selanjutnya uang tersebut diambil oleh terdakwa
bersama-sama temanya untuk membeli mie dan rokok;
8. Bahwa, benar terdakwa mengaku bersalah atas perbuatan yang telah
dilakukan oleh terdakwa bersama teman-temannya terhadap saksi
korban;
9. Bahwa, benar terdakwa mengenal barang bukti dalam perkara ini
berupa:
- 1 (satu) buah dompet plastic warna hitam putih,
8
- 1 (sattu) unit sepeda motor Suzuki thunder warna biru No.Pol
AD 6949 HK,
- 1 (satu) unit sepeda motor Yanaha Yupiter warna merah
No.Pol AD 6697 YP,
- Uang tunai sebesar Rp.115.000
10. Bahwa, atas perbuatan yang terdakwa lakukan tersebut, terdakwa
mengaku bersalah dan berjanji tidak akan mengulanginya;
Menimbang, bahwa untuk menyingkat putusan ini maka segala sesuatu
yang terjadi dimuka persidangan sebgaimanadiuraikan dalam Berita Cara
Persidangan dianggap telah termuat dalam putusan ini;
Menimbang, bahwa utnuk menyatakan seseorang telah melakukan tindak
pidana maka semua unsur-unsur dari tindak pidana yag di dakwakan haruslah
terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum, Maka Majelis Hakim akan
memepertimbangkan Dakwaan Penuntut Umum tersebut;
Menimbang, bahwa terdakwa diajukan ke persidangan dengan Dakwaan
Subsideritas yakni:
Primair : Melanggar Pasal 365 ayat (2) ke-2 KUHP;
Subsidair : Melanggar pasal 363 ayat (1) ke-4 KUHP;
Menimbang, bahwa Majelis terlebih dahulu akan mempertimbangkan
dakwaan primair yaitu melanggar Pasal 365 ayat (2) ke-2 KUHP yang unsur-
unsurnya sebagai berikut:
9
1. Barang siapa;
2. Mengambil sesuatu barang yang seluruhnya atau sebagian
kepunyaan orang lain;
3. Dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama;
4. Dengan maksud untuk memiliki secara melawan hukum;
5. Perbuatan tersebut didahului, disertai atau diikuti dengan
kekerasan terhadap seseorang dengan maksud untuk
mempersiapkan atau mempermudan pencurian atau dalam
hal tertangkap tangan untuk memungkinkan melarikan
diri sendiri atau peserta lainnya untuk tetap menguasai
barang yang dicuri;
Memperhatikan akan Pasal-pasal dari Undang-undang yang bersangkutan
khususnya pasal 365 ayat (2) ke-2 KUHP serta pasal-pasal dalam Undang-undang
No. 8 Tahun 1981 Tentang KUHP:
MENGADILI:
1. Menyatakan bahwa Terdakwa AGUS TRI WAHYONO Als
SUWANDI terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana “PENCURIAN DENGAN KEKERASAN”
2. Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada Terdakwa dengan pidana
penjara 10 (sepuluh) bulan.
3. Menetapkan lamanya Terdakwa berada dalam tahanan akan
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
4. Memerintahkan terdakwa dalam tahanan.
10
5. Menetapkan barang bukti berupa :
- 1 (satu) buah dompet plastik warna hitam putih,
- 1 (sattu) unit sepeda motor Suzuki thunder warna biru No.Pol
AD 6949 HK,
- 1 (satu) unit sepeda motor Yanaha Yupiter warna merah
No.Pol AD 6697 YP,
- Uang tunai sebesar Rp.115.000
Dari Kasus yang ada bisa menggambarkan bahwa pemerintah harus
menjamin hak-hak korban, kepastian, keamanan dan penegakan hukum dalam
kasus tindak pidana Pencurian dengan kekerasan, dan apabila dikaitkan dengan
ketentuan di atas, tentunya keadilan bagi korban perlu dilakukan pengkajian
secara normatif bahwa telah terjadi kekosongan norma (Vacuum Norm) pada
Undang-undang No 31 Tahun 2014 atas Perubahan Undang-undang No. 13 Tahun
2006 mengenai Perlindungan Saksi dan Korban dengan cara merinci kualifikasi
korban dalam keadaan cacat misalnya Tuna Wicara dan juga menambahkan Pasal
atau Norma yang berkaitan dengan Difabel yang berhadapan dengan hukum
dalam Undang-undang No.8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas,
Undang-undang No.4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, Undang-undang
No.19 Tahun 2011 tentang Konverensi Hak-hak Penyandang Disabilitas dan juga
melakukan Rekonstruksi Perlindungan hak-hak korban perlu dilakukan sebagai
upaya memberikan perlindungan maksimal dan membuka akses seluas-luasnya
bagi korban untuk memperjuangkan kembali hak-haknya.
11
Berdasarkan permasalahan dan fakta-fakta yang telah diuraikan diatas
maka penyusun tertarik untuk mengkaji lebih lanjut mengenai “Perlindungan
Hukum terhadap Korban (Difabel) dari Tindak Pidana Pencurian dengan
Kekerasan: STUDI PUTUSAN PN. Surakarta No.78/Pid.B/2013”
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana bentuk perlindungan norma terhadap korban Difabel selama
ini dari tindak pidana pencurian dengan kekerasan seperti pada praktek
dalam Putusan Nomor 78/Pid.B/2013/PN.Ska?
2. Bagaimana rekonstruksi norma dan perlindungan hukum kedepannya
atas difabel yang menjadi korban tindak pidana pencurian dengan
kekerasan agar mendapatkan perlindungan yang adil?
C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan
1. Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan hukum ini adalah
sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui bentuk perlindungan norma terhadap korban
difabel selama ini dari Tindak Pidana Pencurian dengan kekerasan
seperti pada praktekputusan hakim 78/Pid.B/2013/PN.Ska.
b. Untuk mengetahui rekonstruksi norma dan perlindungan hukum
kedepannya terhadap difabel mendapatkan perlindungan yang adil.
2. Kegunaan Penulisan
Sesuai dengan perumusan masalah dan tujuan yang telah
dipaparkan, maka penulisan ini mempunyai kegunaan untuk
12
memberikan manfaat dan masukan terhadap sasaran penulisan ini
sendiri maupun penulis. Adapun kegunaan dari penulisan hukum ini
adalah:
a. Kegunaan Teoritis
Penulisan hukum ini diharapkan dapat digunakan sebagai bentuk
pengembangan ilmu pengetahuan dalam ruang lingkup hukum
pidana, khususnya mengenai perlindungan difabel sebagai korban
tindak pidana pencurian dengan kekerasan.
b. Kegunaan Praktis
Penyusunan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
manfaat atau kegunaan:
1) Bagi Pemerintah
Penulisan hukum ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan
dalam pembaharuan hukum pidana khususnya pembentukan
rancangan KUHPidana ke depan.
2) Bagi Masyarakat
Penulisan hukum ini diharapkan menjadi tambahan ilmu
pengetahuan mengenai aturan hukum terhadap tindak pidana
pencurian dengan kekerasan dan mengethui bentuk
perlindungan norma selama ini terhadap Difabel yang menjadi
korban tindak pidana pencurian dengan kekerasan.
3) Bagi Universitas Widyagama
13
Penulisan hukum ini diharapkan dapat dijadikan referensi
dalam kepustakaan ilmu hukum, khususnya ilmu hukum pidana
dalam lingkungan universitas.
D. Tinjauan Pustaka
1. Pengertian Difabel
Pengertian Difabel / penyandang cacat sebagaimana diatur dalam
Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang
Penyandang Cacat dijelaskan bahwa : Penyandang cacat adalah setiap
orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat
mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk
melakukan secara selayaknya yang terdiri dari:
a. Penyandang cacat fisik adalah kececatan yang mengakibatkan
gangguan pada fungsi tubuh antara lain gerak tubuh, penglihatan,
pendengaran, dan kemampuan berbicara.
b. Penyandang cacat mental adalah kelainan dalam tingkah laku baik
kelainan bawaan maupun akibat dari penyakit.
c. Penyandang cacat fisik dan cacat mental adalah keadaan seseorang
yang menyandang dua jenis kelainan sekaligus.8)
Pengertian ini sama dengan pengertian penyandang cacat yang dimuat
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998 tentang Upaya
Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat. Undang-undang
8)
Biro Hukum Departemen Sosial RI, Peraturan RI Nomor 43 Tahun 1998 Tentang
Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat
14
Penyandang Disabilitas juga diatur dalam Undang-undang No.8 tahun
2016 tentang Penyandang Disabilitas yang mana dalam Pasal 1 ayat (1)
menyatakan bahwa Penyandang Disabilitas adalah adalah setiap orang
yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik
dalam jangka waktu yang lama yang dalam berinteraksi dengan
lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi
secara penuh dan efektif dengan warganegara lainnya berdasarkan
kesamaan hak . Pasal 5 ayat (3) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia, menerangkan bahwa penyandang cacat
merupakan kelompok masyarakat rentan yang berhak memperoleh
perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.
Beberapa definisi tentang difabel yaitu : menurut Itinerant service of
blend children, difabel adalah seseorang yang ketunaannya sedemikian,
sehingga mata tidak berfungsi sama sekali dalam program pendidikan
tanpa melalui sistem Braile, audio aids dan perlengkapan khusus yang
diberikan untuk mencapai pendididkan secara efektif tanpa menggunakan
sisa penglihatannya.9)
“Sedangkan menurut Frans Harsanah
Sastradiningrat, seseorang dinyatakan difabel jika mengalami kerusakan
penglihatan setelah mengalami koreksi maksimal tetap memerlukan
pendekatan khusus didalam pendidikannya”.10)
9)
Branata, Pengertian Dasar Pendidikan Luar Biasa (Jakarta, 1975), hlm.53 10)
Frans Harsana Sastra Diningrat, Implikasi Psikologi Sosial Tunanetra (Jakarta, 1980),
hlm. 6
15
2. Pengertian Korban
Mengenai pengertian korban itu sendiri seperti yang tercantum dalam
Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 13 tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban dan Pasal 1 ayat (3) Undang-undang
No.31 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-undang No.13 Tahun 2006
mengenai Perlindungan Saksi dan Korban menyatakan korban adalah
seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian
ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.11)
Selain itu korban
juga diatur dalam Pasal 1 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun
2002 tentang Tata Cara Perlindungan Saksi dan korban, Pasal 1 ayat (3)
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
“Pengertian korban menurut Arif Gosita, korban adalah mereka yang
menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang
mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang
bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita”.12)
Sedangkan pengertian korban menurut Sahetapy, korban adalah orang
perorangan atau badan hukum yang menderita luka-luka kerusakan atau
kerugian lainnya yang dirasakan baik secara fisik maupun kejiwaan.
11)
Titon Slamet Kurnia, Reparasi Terhadap Korban Pelanggaran HAM Di Indonesia
(Bandung, 2005), hlm. 6-7 12)
Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan (Jakarta, 1993), hlm. 65
16
Kerugian tersebut tidak harus dilihat dari sisi hukum saja, tetapi juga
dilihat dari segi ekonomi, politik, maupun sosial budaya.13)
a. Ditinjau dari perspektif tingkat keterlibatan korban dalam terjadinya
kejahatan. Melalui kajian perspektif ini, maka Ezzat Abdel Fattah
menyebutkan beberapa tipilogi korban, yaitu;14)
1. Nonparticipating victims adalah mereka yang
menyangkal/menolak kejahatan dan penjahat tetapi tidak turut
berpartisipasi dalam penanggulangan kejahatan.
2. Latent or predisposed victims adalah mereka yang mempunyai
karakter tertentu cenderung menjadi korban pelanggaran tertentu,
3. Provocative victims adalah mereka yang menimbulkan kejahatan
atau pemicu kejahatan.
4. Particapcing victims adalah mereka yang tidak menyadari atau
memiliki perilaku lain sehingga memudahkan dirinya menjadi
korban.
5. False victims adalah mereka yang menjadi korban karena dirinya
sendiri.
b. Menurut Mendelshon, berdsarkan derajat kesalahannya korban
dibedakan menjadi lima macam yaitu:15)
1. Yang sama sekali tidak bersalah;
13)
Romli Atmasasmita, Penulisan Karya Ilmiah Masalah Santunan Terhadap Korban
Tindak Pidana (Jakarta, 1991-1992), hlm. 9. 14)
Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Victimologi (Jakarta:
2007), hlm. 124. 15)
Rena Yulia, Perlindungan Hukum terhadap Korban Kejahatan (Yogyakarta, 2010),
hlm. 52.
17
2. Yang jadi korban karena kelalaiannya;
3. Yang sama salahnya dengan pelaku;
4. Yang lebih bersalah dari pelaku
5. Yang korban adalah satu-satunya yang bersalah (dalam hal ini
pelaku dibebaskan)
c. Pengelompokan Korban menurut Sellin dan Wolfgang dibedakan
sebagai berikut:16)
1. Primary victimization, yaitu korban berupa individu atau
perorangan (bukan kelompok)
2. Secondary victimization, yaitu korban kelompok, misalnya badan
hukum.
3. Tertiary victimization, yaitu korban bermasyarakat luas.
4. No victimization, yaitu korban yang tidak dapat diketahui misalnya
konsumen yang tertipu dalam menggunakan suatu produksi.
3. Pengertian Tindak Pidana
Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang ada kalanya disebut
dengan istilah hukuman. Istilah pidana lebih tepat dari istilah hukuman,
karena hukum sudah lazim merupakan terjemahan dari recht. Pidana lebih
tepat didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja
dijatuhkan/diberikan oleh Negara pada seseorang atau beberap orang
sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah
16)
Ibid, hlm. 63.
18
melanggar larangan hukum pidana. Secara khusus larangan dalam hukum
pidana ini disebut tindak pidana (strafbaar feit).17)
Tindak pidana merupakan penderitaan baik berupa fisik maupun
psikis, ialah perasaan tidak senang, sakit hati, amarah, tidak puas,
terganggunya ketentraman batin. Hal ini bukan dirasakan oleh pelaku
kejahatannya saja, akan tetapi semua masyarakat pada umumnya. Pidana
berarti hukuman. Tindak pidana memiliki pengertian perbuatan yang
dilakukan setiap orang/subyek hukum yang berupa kesalahan dari bersifat
melanggar hukum ataupun tidak sesuai dengan perundang-undangan.18)
Tindak pidana adalah pelanggaran norma-norma dalam tiga bidang
hukum lain, hukum perdata, hukum ketatanegaraan dan hukum tata usaha
pemerintah, yang oleh pembentuk Undang-undang ditanggapi dengan suatu
hukuman pidana. Maka sifat-sifat yang ada dalam setiap tindak pidana
adalah sifat melanggar hukum.19)
Menurut Vos Menggunakan istilah
strafbaarfeit yaitu suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh
peratutan undang-undang, jadi suatu kelakuan yang pada umumnya
dilarang dengan ancaman pidana.20)
Sedangkan menurut Pompe
memberikan pengertian strafbaarfeit adalah suatu pelanggaran terhadap
norma, yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan
pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan
17)
Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I (Jakarta, 2013), hlm. 23-24 18)
Sie-Infokum Ditama Bin BangKum, Tindak Pidana dan Tindak Korupsi (Jakarta:
2010), hlm. 7. 19)
Wirdjono, Pradjodikoro, Tindak-tindak pidana tertentu di Indonesia (Bandung:
2003), hlm.1 20)
Bambang Poernomo, Op. Cit. hlm. 91.
19
kesejahteraan umum,21)
sedangkan Van Hamel menyatakan bahwa
strafbaarfeit adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam undang-
undang, bersifat melawan hukum, patut dipidana dan dialkukan dengan
kesalahan.22)
a) Jenis-jenis Tindak Pidana
Tindak Pidana dapat dibedakan atas dasar tertentu,yaitu sebagai
berikut:
1. Menurut sistem KUHPidana dibedakan antara kejahatan
(misddrivjen) yang dimuat dalam Buku II dan pelanggaran
(overtredingen) yang dimuat dalam Buku II.
2. Menurut cara merumuskannya,dibedakan antara tindak pidana
formil (formeel delicten) dan tindak pidana mati (materieel
delicten).
3. Berdasarkan bentuk kesalahan,dibedakan antara tindak pidana
yang dalam rumusannya dilakukan dengan kesengajaan.
Sedangkan tindak piadana tidak dengan sengajan adalah tindak
pidana yang dalam rumusannya mengandung kelalaian atau culpa.
4. Berdasarakan macam perbuatannya,dpat dibedakan antara tindak
pidana aktif /positif atau disebut tindak pidana komisi.
5. Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya.
6. Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana
umum dan tindak pidana khusus .
21)
Wirdjono, Pradjodikoro, Op. Cit. hlm. 63. 22)
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana (Jakarta, 2011), hlm. 99.
20
7. Dilihat dari subjek hukumnya,dapat dibedakan antara tindak pidana
yang dapat dilakukan semua orang (communia) dengan tindak
pidana yang dpat diklakukan oleh orang yang memiliki kualitas
pribadi tertentu.
8. Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan.
9. Berdasarkan berat ringannya pidana yang diancamkan.
10. Berdasarkan hukum yang dilindungi.
11. Dari sudut berapa kali perbuatan untuk menjadi suatu
larangan,dibedakan antara tindak pidana tunggal dan tindak pidana
berangkai.23)
b) Unsur-unsur Tindak Pidana
Pada umumnya para ahli menyatakan unsur-unsur peristiwa
pidana yang juga disebut tindak pidana atau delik terdiri atas unsur
subjektif dan objektif. Menurut “R. Abdoel Djamali, peristiwa pidana
yang juga disebut tindak pidana atau delict ialah suatu perbuatan dan
rangkaian perbuatan yang dapat dikenakan hukuman pidana”.24)
Suatu
peristiwa hukum yang dapat dinyatakan sebagai peristiwa hukum dapat
dinyatakan sebagai peristiwa pidana kalau memenuhi unsur-unsur
pidananya.unsur-unsur tersebut dari:25)
a. Objektif, yaitu suatu tindakan (perbuatan) yang bertentangan
dengan hukum dan mengindahkan akibat yang oleh hukum dilarang
23)
Amir Ilyas, Asas-asas Hukum Pidana (Yogyakarta, 2012), hlm. 28. 24)
R Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia Edisi Revisi (Jakarta, 2006), hlm.
175 25)
Ibid, hlm. 23.
21
dengan ancaman hukum.Yang dijadikan titik utama dari pengertian
Objektif disini adalah tindakannya.
b. Subjektif, yaitu perbuatan seseorang yang berakibat tidak
dikehendaki oleh undang-undang . Sifat unsur ini mengutamakan
adanya pelaku (seseorang atau beberapa orang).
Dilihat dari unsur-unsur tindak pidana ini,maka suatu perbuatan yang
dilakukan oleh seseorang harus memenuhi persyaratan suapaya dapat
dikatakan sebagai peristiwa pidana .syarat-syarat yang harus dipenuhi
peristiwa pidana sebagai berikut:
1. Harus ada suatu perbuatan. Maksudnya, memang benar-benar ada
suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang.
Kegiatan ini terlihat sebagai suatu perbuatan tertentu yang dapat
dipahami orang lain sebagai sesuatu yang merupakan peristiwa.
2. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan dalam
ketentuan hukum,Artinya perbuatan sebagai suatu peristiwa hukum
yang berlaku pada saat itu.Pelakunya memang benar-benar telah
berbuat seperti yang terjadi.
3. Harus terbukti adanya kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan.
maksudnya adalah perbuatan yang dilakukan oleh sesorang atau
beberapa orang dapat dibuktikan sebagai perbuatan yang disalahkan
oleh ketentuan hukum.
4. Harus berlawanan dengan hukum.
22
5. Harus tersedia ancaman hukumannya.Maksutnya kalau ada yang
mengatur tentang larangan atau keharusan dalam suatu perbuatan
tertentu.26)
4. Pengertian Pencurian
Pengertian umum mengenai pencurian adalah mengambil barang
orang lain,dari segi bahasa (etimolog) pencurian berasal dari kata “curi”
yang mendapat awalan “pe”,dan akhiran “an”. Arti dari kata curi adalah
sembunyi-sembunnyi atau tidak dengan jalan yang sah atau melakukan
pencurian secara sembunyi-sembunyi atau tidak dengan diketahui orang
lain perbuatan yang dilakukannya itu. Mencuri berati mengambil milik
orang lain secara tidak sah atau melawan hukum. Orang yang mencuri
barang yang merupakan milik orang lain disebut pencuri. Sedangkan
pencurian sendiri berarti perbuatan atau perkara yang berkaitan dengan
mencuri. Menurut Pasal 362 KUHPidana pencurian adalah27)
: “Barang
siapa mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik
orang lain,dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum diancam
karena pencurian,dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau
pidana denda paling banyak enam puluh rupiah”
a. Jenis-jenis dan Unsur-unsur Pencurian
Adapun jenis pencurian yang dirumuskan dalam pasal 362-
367 KUHPidana yaitu:
26)
Amir Ilyas, Op. Cit. hlm. 30. 27)
Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Jakarta, 2003), hlm. 128.
23
1. Pencurian biasa (Pasal 362 KUHPidana)
2. Pencurian dengan pemberatan atau pencurian dengan
berkualifikasi (Pasal 363 KUHPidana).
3. Pencurian ringan (Pasal 364 KUHPidana)
4. Pencurian dengan kekerasan (Pasal 365 KUHPidana)
5. Pencurian dengan penjatuhan pencabutan hak (Pasal 366
KUHPidana).
Mengenai unsur-unsur pencurian sebagaimana yang diatur
dalam pasal 362 KUHPidana terdiri terdiri atas unsur-unsur
objektif dan unsur-unsur objektif dan unsur subjektif sebagai
berikut:
1. Unsur-unsur objektif :
a) mengambil;
b) suatu barang /benda
c) sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain.
2. Unsur Subjektif:
a) Dengan maksud
b) Memiliki untuk dirinya sendiri
c) Secara melawan hukum
Dengan melihat makna dari tiap-tiap unsur maka terlihat
bentuk dan jenis perbuatan seperti apa yang dimaksudkan sebagai
pencurian menurut KUHPidana:
24
1. Unsur Objektif
a) Mengambil
Perbuatan “mengambil” bermakna sebagai” setiap
perbuatan yang bertujuan untuk membawa atau mengalihkan
suatu barang ke tempat lain. Perlu diketahui arti kata dari
mengambilitu sendiri. Baik undang-undang ternyata tidak
pernah memberikan suatu penjelasan tentang yang dimaksud
dengan perbuatan mengambil.28)
b) Suatu barang/benda
Dalam perkembangannya pengertian “barang” atau
“benda” tidak hanya terbatas pada benda atau barang
terwujud dan bergerak,tetapi termasuk dalam pengertian
barang/benda tidsak terwujud dan tidak bergerak .
c) Yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain
Benda atau barang yang diambil itu haruslah
merupakan barang/benda yang dimiliki baik sebagian atau
seluruhnya oleh orang lain. Jadi yang terpenting dari unsur
ini adalah keberadaan pemiliknya .karena benda atau barang
yang tidak ada pemiliknya, karena atau barang yang tidak
ada pemiliknya tidak dapat menjadi objek.
2. Unsur Subjektif
28)
Ibid, hlm. 30.
25
a. Dengan Maksud
Unsur kesengajaan dalam rumusan tindak pidana
dirumuskan demikian,unsur dengan maksud menunjuk
dengan maksud tersebut ditujukan untuk menguasai benda
yang diambilnya itu untuk dirinya sendiri secara melawan
hukum atau tidak sah, Walaupun pembentuk undang-
undang menyatakan tegas bahwa tindak pidana pencurian
seperti yang dimaksud dalam pasal 362 KHUPidana harus
dilakukan dengan sengaja, Tetapi tidak disangka lagi bahwa
tindak pidana pencurian tersebut harus dilakukan dengan
sengaja.
b. Memiliki untuk dirinya sendiri
Istilah memiliki untuk dirinya sendiri seringkali
diterjemahkan dengan istilah menguasai. Namun seseorang
yang mengambil benda/barang pada dasarnya belum
sepenuhnya menjadi pemilik dari barang yang diambilnya
tetapi baru menguasai barang tersebut. Secara melawan
hukum
Unsur “melawan hukum” memiliki hubungan erat
dengan unsur “menguasai untuk dirinya sendiri. Unsur
“melawan hukum” ini akan memberikan penekanan pada
suatu perbuatan “menguasai”, agar perbuatan “menguasai”
itu dapat berubah kedudukan menjadi perbuatan yang dapat
26
dipidana. Secara umum melawan hukum berarti
bertentangan dengan hukum yang berlaku baik yang tertulis
maupun yang tidak tertulis. 29)
5. Pencurian dengan Kekerasan
Pencurian dengan kekerasan adalah pencurian yang dilakukan dengan
kekerasan baik kekerasan itu terjadi sebelum maupun sesaat setelah pelaku
melakukan aksinya, tidak penting apakah pencurian itu dilakukan dengan
kekerasan fisik langsung atau tidak langsung ataupun kekerasan psikis,
yang terpenting adalah pencurian itu adalah pelaku membuat orang
„disekitarnya‟ tidak berdaya terhadapnya. Tindak pidana pencurian dengan
kekerasan itu oleh pembentuk undang-undang telah diatur dalam Pasal 365
KUHPidana, yang rumusannya sebagai berikut :30)
“(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun
pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan
atau ancaman kekerasan, terhadap orang dengan maksud untuk
mempersiapkan atau mempermudah pencurian, atau dalam hal
tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau
peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang dicuri.
(2) Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun :
Ke-1 Jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah
rumah atau dipekarangan tertutup yang ada rumahnya,
diberjalan.
Ke-2 Jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan
bersekutu;
Ke-3 Jika masuk ke tempat melakukan kejahatan dengan merusak
atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu,
perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.
Ke-4 Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat.
(3) Jika perbuatan mengakibatkan kematian maka diancam dengan
pidana penjara paling lama lima belas tahun.
29)
Andi Hamzah, Delik-delik Tertentu (Special Delicten) (Jakarta, 2015), hlm. 75. 30)
Ibid , hlm. 79
27
(4) Diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau selama
waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika perbuatan
mengakibatkan luk a berat atau kematian dan dilakukan oleh dua
orang atau lebih”.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode yuridis
normatif. Metode penelitian hukum normatif adalah suatu proses untuk
menemukan suatu aturan hukum, prinsip-psinsip hukum maupun doktrin-
doktrin hukum guna menjawab isu yang dihadapi.31)
Selain itu metode
penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk
menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi
normatifnya.2
2. Metode Pendekatan
Adapun pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam
penelitian ini adalah pendekatan undang-undang (statute approach)
dilakukan dengan menelaah undang-undang yang berkaitan dengan isi dan
regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani;
pendekatan konseptual (conceptual approach) beranjak dari pandangan-
pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.33)
3. Jenis dan Sumber Bahan Hukum
Jenis dan sumber bahan hukum yang digunakan dalam suatu
penelitian dapat berwujud bahan hukum yang diperoleh melalui bahan-
31)
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta, 2007), hlm. 35. 2)
Jhonny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Malang, 2007),
hlm. 57. 33)
Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit. hlm. 93-95
28
bahan kepustakaan dan/atau secara langsung dari masyarakat. Bahan
hukum yang diperoleh langsung dari masyarakat dinamakan bahan hukum
primer, sedangkan bahan yang diperoleh melalui bahan kepustakaan dan
dokumentasi disebut bahan hukum sekunder.34)
Sesuai dengan pembedaan tersebut, penelitian hukum dapat dibedakan
menjadi dua yaitu: penelitian hukum normatif atau penelitian hukum
doktrinal, yaitu penelitian hukum yang mempergunakan sumber data
sekunder, penelitian hukum empiris atau penelitian hukum yang
mempergunakan data primer35)
, yang oleh penulis digunakan juga sebagai
data pendukung dalam penelitian ini, bukan sebagai data utama karena
sebagai tambahan interpretasi dari peran serta itu sendiri.
Bahan hukum sekunder di bidang hukum (dipandang dari sudut
kekuatan mengikatnya) dapat dibedakan menjadi :
a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif atau artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum
primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau
risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan
hakim.36)
Dalam hal ini meliputi:
1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945
2. Kitab Undang-undang Hukum Pidana
34)
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri (Jakarta, 1990),
hlm. 10 35)
Ibid, hlm. 26. 36)
Ronny Hanitijo Soemitro, Loc. Cit. hlm. 10.
29
3. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
4. Undang-undang Nomor 39 Tahun 2009 Tentang Hak Asasi
Manusia.
5. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan korban, Undang-undang No. 31 Tahun 2014 tentang
Perubahan Undang-undang No.13 Tahun 2006 mengenai
Perlindungan Saksi dan Korban.
6. Undang-undang No.15 tahun 2003 tentang Penggantian yang
bersifat Materiil dan Immaterial.
7. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang
Cacat memepunyai Hak dan Kesempatan.
8. Undang-undang No.8 Tahun 2016 tentang Penyandang
Disabilitas, Undang-undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang
Pengesahan Konvensi mengenai Hak-hak Penyandang
Disabilitas.
9. Undang-undang No. 12 Tahun 2011 mengenai Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya
dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan
memahami bahan hukum primer adalah37)
buku-buku, artikel, jurnal
hukum, rancangan peraturan perundang-undangan, hasil karya ilmiah
37)
Jhonny Ibrahim, Loc. Cit. hlm. 57.
30
para sarjana, hasil-hasil penelitian, yang tentunya mempunyai
relevansi dengan apa yang hendak diteliti.
4. Metode Pengumpulan Bahan Hukum
Dalam hal pengumpulan bahan hukum, baik bahan hukum primer
maupun bahan hukum sekunder dikumpulkan berdasarkan topik
permasalahan dengan melakukan studi kepustakaan, yaitu peneliti
mengumpulkan bahan-bahan hukum dari berbagai peraturan perundang-
undangan, buku-buku, artikel, jurnal ilmiah, makalah, hasil penelitian
pakar hukum dan kliping koran serta melakukan browsing internet
mengenai segala hal yang terkait dengan permasalahan di atas.
5. Metode Analisis Bahan Hukum
“Adapun metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif
kualitatif yaitu menyajikan kajian pada data-data yang diperoleh dari objek
penelitian. Suatu penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan
data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala
lainnya”.38)
Maksudnya adalah bahan hukum yang diperoleh dalam
penelitian diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa, sehingga disajikan
dalam penulisan yang lebih sistematis guna menjawab permasalahan yang
telah dirumuskan.
F. Sistematika Penulisan
Penulisan hukum ini akan disusun dalam 4 (empat) bab dengan
sistematika sebagai berikut :
38)
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta, 2007), hlm. 10
31
BAB I : PENDAHULUAN
Di dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan dan keguanaan penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian,
dan sistematika penulisan.
BAB II : HASIL PENELITIAN
Bab ini berisi tentang hasil penelitian berupa bahan yang diperoleh dari
beberapa referensi, Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang meliputi
perlindungan norma terhadap korban Difabel selama ini seperti pada Putusan
No. 78/Pid.B/2013/PN/Ska dan bagaimana rekonstruksi norma dan
perlindungan hukum kedepannya terhadap difabel untuk mendapatkan
perlindungan hukum yang adil.
BAB III : ANALISIS HASIL PENELITIAN
Pada bab ini membahas hasil penelitian yang meliputi :
1. Bagaimana bentuk perlindungan norma terhadap korban Difabel selama
ini dari tindak pidana pencurian dengan kekerasan seperti pada praktek
dalam Putusan Nomor 78/Pid.B/2013/PN.Surakarta?
2. Bagaimana rekonstruksi norma dan perlindungan hukum kedepannya atas
difabel yang menjadi korban tindak pidana pencurian dengan kekerasan
agar mendapatkan perlindungan yang adil?
BAB IV : PENUTUP
Bab penutup ini berisi tentang kesimpulan-kesimpulan dari analisis
permasalahan yang telah di bahas dalam bab-bab awal dan juga berisi saran-
saran kontruktif dari penulis terhadap berbagai permasalahan yang ada.