BAB I PENDAHULUAN A. Latar...

29
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap perusahaan dituntut untuk siap dalam menghadapi berbagai macam masalah, krisis dan resiko yang sewaktu-waktu bisa menerpa perusahaan. Dalam keadaan krisis, perusahaan dipaksa untuk melakukan revaluasi terhadap strategi pengelolaan krisis yang telah perusahaan siapkan sebelumnya. Di tengah persaingan industri ini tidak ada satu pun perusahaan yang menunggu atau dengan sengaja membuat masalah agar krisis datang menghampiri. Seyogianya, setiap perusahaan sangat meminimalisir masalah yang dapat memicu datangnya krisis. Walaupun pada kenyataannya setiap perusahaan berpotensi untuk mengalami krisis. Seperti krisis yang terjadi pada PT Newmont Minahasa Raya yang wilayah operasinya mayoritas di Nusa Tenggara Barat. Kasus dampak limbah tailing untuk aktivitas pertambangan emasnya, PT Newmont yang diduga melanggar peraturan kadar limbah pertambangan sehingga mencemari wilayah itu dengan bahan berbahaya dan menyebabkan penyakit minamata bagi masyarakat sekitar Teluk Buyat. Akibat dari permasalahan ini, perusahaan dirugikan dengan ditutupnya sementara lokasi penambangan serta penyelesaian lewat jalur hukum dengan membayar denda dan menjalani hukuman penjarah kepada eksekutif tinggi Newmont Indonesia. Begitu juga hal nya yang harus dihadapi oleh PT Lapindo Brantas Inc. Kecelakaan saat melakukan pengeboran di wilayah Jawa Timur berdampak luas. Munculnya semburan gas panas dari sumur eksplorasi mengakibatkan semakin meluasnya wilayah semburan lumpur di wilayah Sidoarjo sampai menenggelamkan rumah-rumah penduduk setempat. Akibatnya, perusahaan harus mengganti rugi yang jumlahnya tidak sedikit dan perusahaan juga harus melewati jalur hukum serta tuntutan sosial lainnya. Bagi Barton (1993:2), sebuah krisis adalah peristiwa besar

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap perusahaan dituntut untuk siap dalam menghadapi berbagai macam

masalah, krisis dan resiko yang sewaktu-waktu bisa menerpa perusahaan. Dalam

keadaan krisis, perusahaan dipaksa untuk melakukan revaluasi terhadap strategi

pengelolaan krisis yang telah perusahaan siapkan sebelumnya. Di tengah persaingan

industri ini tidak ada satu pun perusahaan yang menunggu atau dengan sengaja

membuat masalah agar krisis datang menghampiri. Seyogianya, setiap perusahaan

sangat meminimalisir masalah yang dapat memicu datangnya krisis. Walaupun pada

kenyataannya setiap perusahaan berpotensi untuk mengalami krisis.

Seperti krisis yang terjadi pada PT Newmont Minahasa Raya yang wilayah

operasinya mayoritas di Nusa Tenggara Barat. Kasus dampak limbah tailing untuk

aktivitas pertambangan emasnya, PT Newmont yang diduga melanggar peraturan

kadar limbah pertambangan sehingga mencemari wilayah itu dengan bahan

berbahaya dan menyebabkan penyakit minamata bagi masyarakat sekitar Teluk

Buyat. Akibat dari permasalahan ini, perusahaan dirugikan dengan ditutupnya

sementara lokasi penambangan serta penyelesaian lewat jalur hukum dengan

membayar denda dan menjalani hukuman penjarah kepada eksekutif tinggi Newmont

Indonesia.

Begitu juga hal nya yang harus dihadapi oleh PT Lapindo Brantas Inc.

Kecelakaan saat melakukan pengeboran di wilayah Jawa Timur berdampak luas.

Munculnya semburan gas panas dari sumur eksplorasi mengakibatkan semakin

meluasnya wilayah semburan lumpur di wilayah Sidoarjo sampai menenggelamkan

rumah-rumah penduduk setempat. Akibatnya, perusahaan harus mengganti rugi yang

jumlahnya tidak sedikit dan perusahaan juga harus melewati jalur hukum serta

tuntutan sosial lainnya. Bagi Barton (1993:2), sebuah krisis adalah peristiwa besar

2

yang tidak terduga yang secara potensial berdampak negatif terhadap organisasi dan

publiknya.

Krisis merupakan suatu kondisi yang bisa dialami oleh siapa saja. Tidak peduli

perusahaan atau industri besar atau kecil, pemerintahan, organisasi non profit dan

keluarga sekalipun. Tidak ada organisasi yang kebal terhadap krisis (Coombs,

1999:1). Hal ini berlaku juga pada sebuah perusahaan. Dikarenakan krisis yang

terjadi pada perusahaan datangnya tidak terduga, penyebabnya pun bukan hanya

muncul dari human error, tetapi bisa terjadi karena bencana alam atau faktor

teknologi dalam kegagalan operasi.

Demikian juga yang dialami oleh PT Pertamina Eksplorasi & Produksi (PEP)

empat tahun terakhir, mengenai kasus penjarahan minyak yang terus meningkat. Pada

tahun 2010 jumlah minyak mentah yang dijarah mencapai 8.120 barel, dengan

memperhitungkan harga ICP dan kurs pada saat itu maka kerugian mencapai Rp5,8

miliar. Pada 2011 harga minyak melonjak, akibatnya jumlah minyak mentah yang

dijarah juga melonjak lebih dari sepuluh kali lipat menjadi 94.592 barel atau senilai

Rp92,5 miliar. Pada 2012 penjarahan semakin memperihatinkan, sudah 265.510 barel

minyak mentah yang dijarah atau senilai Rp285 miliar. Angka ini masih

memungkinkan untuk terus bertambah sampai akhir tahun (Vivanews, 02 Juli 2012).

Aksi pencurian minyak ini melibatkan banyak orang, diperkirakan mencapai

3.500 orang lebih yang terlibat dan tidak hanya warga sekitar yang dekat dengan

wilayah operasi tetapi melibatkan banyak orang luar wilayah (Detikcom, 02 Oktober

2012). Kasus ini bukan lagi kasus pencurian tetapi kasus penjarahan karena dilakukan

secara masif dan telah merugikan Negara, karena hilangnya potensi pendapatan

Negara dari sisi produksi minyak mentah yang diamanatkan oleh Pemerintah melalui

Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) yang telah

berganti menjadi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Migas dan Gas

Bumi (SKK Migas).

Wilayah Kerja PT Pertamina EP di Sumatera Selatan menjadi lokasi tertinggi

untuk kasus pencurian minyak dan tiap tahunnya mengalami angka peningkatan.

3

Khususnya di Jalur Pipa Tempino-Plaju Desa Simpang Bayat yang merupakan

wilayah titik rawan aksi penjarahan. Jalur Pipa Tempino-Plaju berada di Kecamatan

Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin yang menghubungkan antara Provinsi

Sumatera Selatan dan Provinsi Jambi. Sebagian besar aksi penjarahan minyak mentah

ini dilakukan dengan menggunakan modus melubangi pipa dan memasang keran

(illegal tapping), namun banyak cara lagi yang sering dilakukan oleh para penjarah

minyak ini.

Pada tahun 2012 catatan angka penjarahan minyak yang bermoduskan illegal

tapping semakin tinggi, lebih dari 75% dari total kejadian di Musi Banyuasin.

Pertamina mencatat 158 kasus terjadi pada tahun 2011 dan hingga September 2012

meningkat menjadi 373 kasus. Ini terjadi karena aparat keamanan dan pemerintah

Kabupaten Musi Banyuasin tidak terlalu peduli dengan kasus pencurian minyak yang

dialami oleh PT Pertamina EP, alasannya karena adanya keterlibatan petinggi aparat

keamanan yang berada dibelakang aksi kriminal tersebut. Sebab, minyak curian

tersebut bisa sampai dengan ‘mulus’ tanpa harus berhadapan dengan pihak yang bisa

mempersulit penyaluran ke wilayah lain seperti Batam, Tanggerang maupun Bangka

Belitung.

Puncaknya, di tanggal 03 Oktober 2012 terjadi ledakan dan kebakaran yang

mengakibatkan lima orang meninggal serta l8 korban lainnya mengalami luka bakar

yang cukup serius. Peristiwa ini menjadi trigger dari kasus-kasus penjarahan minyak

yang sebelumnya sering terjadi. Dalam peristiwa penjarahan minyak di kilometer 219

Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin terjadi kebakaran yang

diakibatkan oleh api yang berasal dari pelaku penjarahan (Bisnis-KTI.com, 03

Oktober 2012). Saat itu, arus informasi yang beredar di media sangat tinggi. PT

Pertamina EP merasa ‘kecolongan’ dengan kembali terjadinya peristiwa ini di

wilayah Sumatera Selatan khususnya jalur pipa di Tempino-Plaju, dimana wilayah

tersebut menjadi langganan pencurian minyak dengan cara illegal taping.

Kasus penjarahan minyak menjadi salah satu ancaman penghambat PT Pertamina

EP untuk mencapai visinya yakni sebagai No 1 oil & Gas Producer in Indonesia.

4

Tidak hanya itu, PT Pertamina EP sebagai perusahaan yang tumbuh, berkembang,

dan dianggap sebagai entitas bisnis yang menjalin hubungan dengan banyak pihak

serta tanggung jawab terhadap Negara, memiliki banyak kerjasama dengan berbagai

pihak yang menjadi pendukung kerja dituntut untuk bisa segera menganggulangi

kasus penjarahan minyak yang menimpa perusahaan dan meyakinkan pada publik

(stakeholders) bahwa semuanya baik-baik saja. Hal ini merupakan sebuah krisis yang

skalanya tidak kecil dan butuh penanganan segera.

Krisis menjadi sebuah ancaman, dimana legitimasi dan persepsi terhadap

perusahaan adalah hal terpenting yang harus diperhatikan fungsi manajemen

perusahaan sehingga ancaman tersebut bisa berdampak baik bagi perusahaan.

Ancaman ini yang selalu dihindari oleh setiap perusahaan pada saat dihadapkan

dengan kondisi krisis. Pinsdorf (dikutip dalam Putra, 2008:9.6) yang beranggapan

bahwa “no company is immune from crisis, but with careful research, planning, and

training, crisis usually can be managed and mitigated”. Kejadian penjarahan minyak

yang dialami oleh PT Pertamina EP merupakan salah satu kasus yang mengakibatkan

krisis di perusahaan. Seperti yang diungkapkan oleh Pearson & Mitroff (seperti

dikutip Stephens, Patty and Christine, 2005:329) bahwa krisis adalah insiden yang

mengancam reputasi serta kemampuan organisasi untuk menjalankan fungsinya.

Masalah dapat dikatakan krisis jika memenuhi lima dimensi yaitu : (a) Highly visible

(Nampak jelas kejadiannnya), (b) Require immediate attention (membutuhkan

perhatian segera), (c) Contain an element of surprise (adanya kejutan; kemunculan

krisis tidak diprediksi sebelumnya), (d) Have a need for action (membutuhkan

tindakan), (e) Are outside control the organization’s complete control (terjadi diluar

kendali organisasi).

Melihat kasus penjarahan minyak mentah di jalur pipa Tempino-Plaju yang

dialami oleh PT Pertamina EP yang terjadi pada tanggal 03 Oktober 2012 dan

mengakibatkan kebakaran serta korban meninggal dan luka-luka, menarik peneliti

untuk melakukan penelitian mengenai strategi komunikasi krisis yang dilakukan

Fungsi Public Relations PT Pertamina EP dalam menangani krisis tersebut.

5

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah dari penelitian

ini adalah :

Bagaimana strategi komunikasi krisis Public Relations PT Pertamina Eksplorasi &

Produksi (EP) dalam kasus penjarahan minyak mentah di jalur pipa Tempino-Plaju

Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mendeskripsikan strategi komunikasi

krisis Public Relations PT Pertamina Eksplorasi & Produksi (EP) dalam kasus

penjarahan minyak mentah di Jalur Pipa Tempino-Plaju Kecamatan Bayung Lincir,

Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan dan kritik yang

membangun terhadap praktisi public relations untuk menerapkan atau

mengadaptasi strategi komunikasi krisis yang dilakukan oleh Fungsi Public

Relations PT Pertamina EP dalam kasus penjarahan minyak yang terjadi pada

tanggal 03 Oktober 2012

2. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan pembelajaran baru terkait

peran public relations disaat harus menghadapi situasi krisis dalam

perusahaan/organisasi dan langkah-langkah yang harus dilakukan saat simtom-

simtom krisis mulai terlihat.

6

E. Kerangka Pemikiran

1. Pengertian Krisis dan Jenis Krisis

Krisis merupakan kenyataan yang harus dihadapi oleh setiap organisasi atau

perusahaan yang mau bertahan didalam era globalisasi dengan penuh perubahan dan

persaingan. Krisis bisa menimpa siapa saja tanpa pandang bulu. Seperti pendapat

Barton mengenai krisis (dalam Putra, 2008:9.6), “It strikes corporations, non-profit

organizations, government agencies, house of worship, utilities, cooperatives, and

families. Barton beranggapan bawasanya, setiap organisasi apapun bentuknya sangat

memliki peluang untuk mengalami krisis.

Krisis merupakan kejutan tidak ada yang pernah mengira kapan datangnya.

Tetapi butuh kecepatan dalam menanggapi krisis tersebut sehingga tidak menjadikan

krisis berkepanjangan yang bisa merugikan perusahaan. Holsti (seperti dikutip dalam

Putra, 1999:84) melihat krisis sebagai “situations characterized by surprise, high

threat to important value, and a short decision time”. Ketidakpastian dapat

dikategorikan sebagai karakteristik utama krisis.

Seperti halnya dengan Coombs dalam The Handbook of Crisis Communication

(2010:18) mendefinisikan krisis “an event that is an unpredictable, major threat that

can have a negative effect on the organization, industry, or stakeholders if handled

improperly”. Krisis merupakan ancaman yang tidak bisa diduga kapan akan terjadi

dan memiliki efek negatif terhadap organisasi, industri atau stakeholders jika tidak

ditangani dengan baik tentunya.

Menurut Doorley dan Garcia dalam Reputation Management (2007:328), “A

crisis is not necessarily acatastrophic event, but rather an event that, left to usual

business processes andvelocities, causes significant reputational, operational, or

financial harm”. Selain itu, menurut Steven Fink (seperti dikutip Doorley dan Garcia,

2007:329), “Acrisis is a nonroutine event that risks undesired visibility that in turn

threatenssignificant reputational damage”. Baik Doorley, Garcia maupun Steven

Fink mendefinisikan sebuah krisis sebagai suatu ancaman yang bisa datang tanpa

diduga, meninggalkan ‘cacat’ yang tidak diinginkan perusahaan dan sangat

7

berpengaruh pada reputasi perusahaan. Bahkan Doorley dan Garcia menambahkan

bahwa perusahaan yang mengalami krisis tidak hanya reputasi perusahaannya saja

yang terancam namun juga akan mengalami kerusakan operasional dan finansial.

Umumnya krisis memang membawa dampak negatif. Disaat krisis terjadi maka

kegiatan operasional suatu organisasi atau perusahaan pasti akan terganggu, terlebih

apabila krisis yang dihadapi merupakan krisis yang cukup besar. Berbagai macam

penyebab datangnya krisis. Seperti krisis yang disebabkan oleh faktor kelalaian

manusia atau human error. Faktor ini sebenarnya dapat dicegah oleh manajemen

dengan penanganan yang tepat sehingga mengurangi potensi terjadinya krisis yang

lebih besar dan merugikan perusahaan.

Krisis tidak hanya datang dari faktor kelalaian manusia ataupun bencana alam

saja. Otto Lerbinger (White, 1998) mengkategorikan kemungkinan terjadinya krisis

dalam suatu perusahaan yakni sebagai berikut :

1. Krisis teknologi (technological crisis). Kita hidup dalam dunia yang sangat

bergantung pada teknologi. Ketika teknologi perusahaan yang digunakan

sudah tidak bisa lagi memenuhi kebutuhan, konsekuensi yang mungkin

ditimbulkan akan fatal.

2. Krisis konfrontasi (Confrontation Crisis).Krisis ini terjadi ketika ada

golongan yang mengkritik bahkan menolak aksi-aksi perusahaan. Aksi ini

bisa berkembang menjadi satu gerakan oposisi.

3. Krisis tindak kejahatan (Crisis of Malevolence).Krisis ini terjadi ketika

segolongan orang atau grup yang terorganisir melakukan tindakan yang

sengaja ditujukan untuk mengganggu jalannya satu perusahaan.

4. Krisis kegagalan manajemen (Crisis of Management Failure). Krisis

seperti ini disebabkan oleh suatu grup dalam satu organisasi yang gagal

dalam menjalankan tugas yang dibebankan kepada mereka.

5. Krisis yang berhubungan dengan ancaman lain terhadap organisasi (Crisis

invoving other threats to the organization).

8

Mengenali jenis krisis merupakan salah satu langkah dalam menentukan cara

yang harus dilakukan perusahaan melalui manajemen dalam menangani krisis. Dalam

kaitannya mengenali jenis krisis, Putra (1999:90) menjelaskan, mengambil pendapat

Sen&Egelhoff dan Coombs bahwa mengenali jenis atau tipe krisis dirasa cukup

penting, karena hal ini berkaitan dengan masalah penentuan siapa yang bersalah dan

respon apa yang harus dibuat perusahaan yang sedang mengalami krisis. Cutlip,

Center, dan Broom (1994:366) membagi krisis menjadi tiga yaitu, immediate crises,

emerging crises, dan sustainined crises. Immediate crises adalah krisis yang paling

menakutkan karena datangnya mendadak, sangat tidak diharapkan, bahkan

perusahaan belum sempat mengadakan penelitian atau perencanaan apapun.

Contohnya saja seperti kebakaran atau kematian tokoh kunci.

Krisis kedua yaitu emerging crises memberikan kesempatan kepada organisasi

untuk melakukan riset dan perencanaan, tapi krisis bisa meletus sesudah mengendap

selama beberapa waktu. Contohnya saja seperti yang berhubungan dengan

ketidaknyamanan karyawan di tempat kerja.

Sedangkan krisis ketiga adalah sustained crises, yaitu krisis yang sudah ada

pencetusnya, kemudian berlanjut selama beberapa bulan atau tahun. Contohnya

adalah peredaran isu terhadap perusahaan atau produk yang dihasilkan.

Maka dari itu, adalah hal yang sulit ketika harus membuat keputusan di tengah-

tengah krisis. Keputusan yang diambil harus benar-benar matang supaya membawa

perubahan ke arah yang diharapkan serta menjadikan perusahaan lebih baik lagi pasca

krisis. Secara garis besar dalam penanganan krisis ada dua tindakan khas yang

menjadi tuntutan, yaitu:

1. Tindakan-tindakan yang bercirikan keterlibatan manajemen langsung

dalam merespon krisis, yaitu segi apa yang harus dilakukan organisasi

pada saat krisis

2. Tindakan komunikasi, yakni apa yang harus dikatakan oleh organisasi

yang sedang menghadapi krisis. Dalam merespon krisis, pemenuhan akan

9

informasi yang terkontrol dengan baik dan informasi yang cepat dan tepat

merupakan prioritas utama.

Dikarenakan krisis adalah suatu peristiwa yang tidak biasa dan bisa datang kapan

pun, maka akan menimbulkan dampak-dampak dan perubahan yang cukup signifikan

bagi kelangsungan hidup perusahaan. Krisis yang dihadapi dengan baik akan

membawa perubahan pada perusahaan ke arah yang lebih baik. Sebaliknya, apabila

penanganannya kurang baik, maka perusahaan akan terkena imbasnya.

Kehancuran atau kejayaan perusahaan tergantung pada pandangan, sikap dan

tindakan yang diambil perusahaan saat terjadinya krisis. Pandangan dan sikap serta

tindakan yang diambil oleh perusahaan itu merupakan tugas dari manajemen

perusahaan dalam merespon dan mengatasi krisis. Pihak manajemen perusahaan

seharusnya mampu mengantisipasi terjadinya krisis dengan meramalkan peristiwa-

peristiwa, arah kecenderungan dan isu-isu yang berkembang mengganggu hubungan

penting. Kegiatan seperti ini dikenal sebagai keahlian memikirkan hal-hal yang tidak

terpikirkan dari manajemen krisis. Wisenblit (dalam Putra, 2008:9.5) menyatakan :

Too often successful companies are complacent. Can’t management reads about

other companies disaster with an it-can’t-happen-here-attitude. They simply do not

see the risk potensial. Part of this because people are generally reluctant to think

about crisis. But, thinking negatively - thinking of the worst possible disaster that

could befall the company and planning for them – is the basis for crisis management

planning.

Manajemen krisis mempunyai kendali cukup besar untuk menyelesaikan

permasalahan atau krisis yang terjadi di perusahaan. Penting adanya bagi manajemen

untuk mengetahui jenis krisis, tipe krisis dan tahapan-tahapan krisis serta

kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa mengancam kredibilitas perusahaan. Hal

ini menjadi dasar bagi perusahaan dalam merespon krisis dan menentukan sejauh

mana tanggungjawab perusahaan pada saat terjadinya krisis. Tujuan adanya

manajemen krisis itu sendiri adalah untuk menekan faktor-faktor resiko yang

mungkin ada dan faktor ketidakpastian seminimal mungkin. Selain itu, manajemen

10

krisis yang ada pada perusahaan berguna untuk mendeteksi krisis sebelum terjadi dan

membuat organisasi lebih responsif dan waspada terhadap perubahan yang terjadi

pada lingkungan perusahaan.

Steven Fink (dalam Kasali, 2003:225-230) seorang konsultan krisis terkemuka

dari Amerika mengembangkan konsep anatomi krisis yang tertuang dalam gambar di

bawah ini :

Pada umumnya sebuah krisis mengalami sebuah tahapan-tahapan yang tentunya

memiliki tahapan penanganan atau tindakan yang berbeda pula. Mengacu pada tahap

pertumbuhan krisis yang dikembangkan Fink (dikutip dalam Putra, 2008:9.11),

tahapan-tahapan krisis ini disebut juga sebagai anatomi krisis. Tahapan

perkembangan ini dibagi menjadi empat fase. Pertama, fase Prodromal merupakan

tahap dimana gejala krisis sudah mulai muncul atau dengan kata lain peringatan awal

bagi suatu perusahaan akan potensi adanya krisis. Kedua, fase Akut merupakan

tahapan dimana telah terjadi kejadian yang menyebabkan kerugian bagi perusahaan.

Ketiga, fase Kronis sering juga disebut sebagai tahap transisi atau “clean up stage”

dimana organisasi berusaha untuk menangani krisis. Keempat, fase Resolusi

merupakan tahap penyelesaian akhir yang menandakan bahwa krisis sudah mulai

mereda.

Bagan 1.1

Konsep Anatomi Krisis

Krisis Prodromal

Krisis Akut

Krisis Kronik

Krisis Resolusi

11

Keempat tahapan ini merupakan fase krisis dari awal hingga akhirnya dapat

terselesaikan, namun hal ini tidak menjamin bahwa krisis tidak akan muncul lagi.

Selain itu, perpindahan tahapan krisis ini diawali dengan ketidakberhasilan mengatasi

tahap sebelumnya. Tahap kedua, contohnya, tidak akan terjadi apabila pengelolaan

krisis menyadari adanya tanda-tanda atau gejala datangnya krisis (tahap pertama). Hal

ini sangat tergantung pada bagaimana pengelola krisis menyadari, mengelola dan

merespon krisis, proses ini dapat diawali dengan mengenali jenis dan penyebab krisis

karena dengan demikian akan lebih mudah melakukan persiapan penanganan krisis.

Dalam melakukan proses manajemen krisis perlu adanya sikap cepat, tanggap dan

inisiatif dalam memberikan respon atas krisis yang terjadi kepada publik.

Komunikasi krisis menjadi bagian yang sangat penting untuk menjawab keraguan,

mengurangi kepanikan, dan menghilangkan ketidakpastian.

2. Peran Public Relations dalam Komunikasi Krisis

Salah satu peran Public Relations dalam suatu perusahaan yakni menjadi

jembatan penghubung antara perusahaan dan publiknya agar terjalin suatu hubungan

komunikasi yang baik. Hal ini dikuatkan dengan pendapat Cutlip, Center dan Broom

(2006:260) yang menyatakan bahwa Public Relations adalah sebuah fungsi

manajemen yang penting, bukan hanya sekedar fungsi teknis yang bertugas

mengimplementasikan strategi komunikasi yang diputuskan oleh orang lain. Selain

itu public relations juga memiliki peranan dalam manajemen organisasi, karena

keberhasilan atau kegagalan organisasi tergantung dari bagaimana hubungan

organisasi dan publiknya, public relations sebagai jembatan di antara keduanya.

Penting bagi perusahaan untuk membangun dan menjaga hubungan baik dengan

publik eksternal perusahaan. Hal ini tentu saja karena posisi mereka dalam

perusahaan begitu penting bagi keberlangsungan perusahaan secara berkelanjutan.

Dalam hal ini publik eksternal yakni masyarakat, pemerintah dan media. Menjaga

hubungan dengan publik eksternal dapat diwujudkan dengan komunikasi dua arah

12

yang saling terbuka antara semua pihak yang tercangkup dalam publik eksternal

perusahaan, sehingga dapat terjalin keharmonisan dalam kerjasama dan tidak saling

merugikan satu sama lain. Salah satu permasalahan yang mungkin sering kali muncul

akibat tidak terjaganya hubungan antara perusahaan dan publik nya adalah tuntutan

atau pencurian alat kerja milik perusahaan oleh masyarakat sekitar operasi.

Melihat hal tersebut maka penting bagi suatu perusahaan untuk memiliki bagian

pengelolaan khusus dalam menghadapi dan menangani masalah yang mungkin

muncul dan menjadi suatu krisis bagi perusahaan. Krisis yang ada harus direspon

dengan baik oleh pihak perusahaan yakni melalui bagian Humas yang memiliki

fungsi penghubung antara organisasi dan publiknya. Public Relations merupakan

jawaban untuk pemecahan masalah yang berhubungan dengan krisis, yakni :

1. Public relations menerapkan praktek pro-aktif anticipatory dan dapat

membantu dalam perencanaan penanggulangan krisis, usaha-usaha yang

dilakukan oleh perusahaan dalam mengantisipasi krisis.

2. Public relations memainkan peran yang penting dalam sistem

penanggulangan krisis secara menyeluruh.

3. Public relations akan memberikan masukan tentang evaluasi penanggulangan

krisis dan setelah krisis berakhir (Amaboerseya, 1998:10).

Public relations harus berperan dalam memberitahukan publik tentang apa yang

terjadi, apa yang sedang dan akan dilakukan perusahaan dan apa yang harus

dilakukan oleh publik. Ini merupakan pendekatan simbolik yang harus ditempuh

organisasi (Gould & Kelly, dalam Putra, 1999:96). Dalam menjalankan program dan

strategi public relations, praktisi public relations memainkan beberapa peran.

Menurut Dozier, peran yang dimainan oleh praktisi public relations dapat dilihat dari

dua hal (Putra, 2008:1.17).

a. Public relations manager

Praktisi public relations memiliki peran dalam bidang menejerial dan terlibat

dalam kebijakan organisasi. Dalam hal ini organisasi memberikan wewenang penuh

13

bagi praktisi public relations untuk mengelola sendiri kegitan public relations. Public

relations manager terdiri dari beberapa peran, yaitu:

1. Expert Prescriber, dimana praktisi public relations berperan dalam membantu

manajemen dengan pengalaman dan keterampilan mereka untuk mencari

solusi bagi penyelesaian masalah public relations yang dihadapi oleh

perusahaan. Contoh, ketika muncul masalah yang berkaitan dengan

banyaknya berita negatif yang tidak berdasar di suatu media massa, maka

seorang expert prescriber dapat memberi masukan bagaimana cara

mengurangi liputan-liputan negatif tersebut.

2. Communication Facilitator, dimana praktis public relations berperan sebagai

mediator informasi antara perusahaan dengan publiknya. Fungsi utama yang

dijalankan yakni membantu manajemen dengan menciptakan kesempatan-

kesempatan untuk ‘mendengar’ apa kata publik dan demikian pula

sebaliknya.

3. Problem-solving Process Facilitator, dimana praktisi public relations

membantu manajemen melalui kerjasama dengan bagian lain dalam

perusahaan untuk menemukan pemecahan masalah yang terbaik bagi

masalah public relations secara rasional.

b. Communication Technician

Pada peran ini public relations tidak terlibat dalam pengambilan keputusan,

mereka hanya menjalankan keputusan dan tidak ikut merencanakan atau

mengevaluasi program tersebut. Dimana praktisi public relations hanya menyediakan

layanan teknis komunikasi untuk organisasi. Sedangkan keputusan untuk teknis

komunikasi yang harus dijalankan, ditentukan oleh orang atau bagian lain dalam

organisasi.

Salah satu momen yang membuat peran Public Relations di Indonesia menonjol

adalah masa krisis (Wisesa, 2005:1). Saat terjadi krisis Public relations juga menjadi

bagian penting dari pembuat keputusan pada tingkat korporat terkait dengan peran

14

public relations sebagai problem solver, yang ikut membantu manajemen

menciptakan kondisi agar dapat membawa perubahan lebih baik lagi pada organisasi

atau perusahaan.

Praktisi public relations sebagai ahli dalam komunikasi krisis tentunya

diharapkan memiliki fungsi khusus dalam mengatasi krisis. Komunikasi krisis adalah

terkait dengan penggunaan semua peralatan public relations yang ada dalam rangka

memelihara dan memperkuat reputasi organisasi dalam jangka panjang serta pada

waktu ketika organisasi berada dalam kondisi bahaya. Dawar and Pillutl (seperti

dikutip oleh Dominique, 2006:50-55) menjelaskan efektif atau tidaknya sebuah

komunikasi dalam suatu krisis pada jam-jam pertama atau bahkan menit memiliki

implikasi besar bagi kredibilitas perusahaan.

Menurut Strugess dkk (dalam Putra, 2008:9.24) komunikasi selama krisis punya

dua fungsi dasar, yakni :

1. Untuk menetralisir intervensi pihak ketiga yang mungkin dapat memperparah

krisis yang sedang dihadapi oleh sebuah organisasi

2. Untuk menjaga agar karyawan tetap memperoleh informasi yang tepat tentang

organisasi tempat mereka bekerja, sehingga mereka menjadi tim yang

memperkuat posisi organisasi dalam menghadapi krisis.

Pada perusahaan yang tidak siap menghadapi krisis umumnya sering melakukan

kesalahan dalam berkomunikasi. Bentuk kesalahan dalam berkomunikasi ini

misalnya berbohong, berspekulasi, berdalih, dan menolak memberikan informasi

yang jujur dan komplit. Kekurangakuratan dalam komunikasi justru menyebabkan

semakin terpuruknya perusahaan yang sedang menghadapi krisis. Saat krisis terjadi,

organisasi dituntut untuk melakukan komunikasi dengan berbagai pihak dalam waktu

singkat, cepat namun juga baik dan akurat. Oleh karenanya komunikasi berkembang

menjadi bagian penting dari tahap penanggulangan krisis dan dimana sebuah

organisasi atau perusahaan lebih memperhatikan faktor komunikasi sebagai bagian

penting dari penyelesaian masalah.

15

Pendapat ini dikuatkan oleh W. Timoth Coombs (1999:122-123) yang

menyatakan bahwa komunikasi yang dilakukan oleh public relations sebagai

perwakilan sikap perusahaan pada saat krisis diperlukan sebuah pemilihan strategi

yang tepat dalam menjalankan komunikasi tersebut. Satu hal yang harus ditanamkan

demi berhasilnya menangani krisis dalam menyelamatkan reputasi perusahaan adalah

kecepatan atau public relations yang tepat waktu dalam merespon sebuah krisis.

Komunikasi krisis yang efektif membutuhkan kedisiplinan dan fleksibilitas, serta

fokus pada hasil komunikasi yang diinginkan. Hal-hal yang harus diperhatikan oleh

para praktisis public relations adalah (Doorley & Gracia, 2007:350)

a. Mengetahui kapan waktu untuk suspend bisnis : memiliki kepekaan atas

sebuah krisis, dan bagaimana memobilisasi energi dan sumber daya

dengan cepat.

b. Mempunyai respon cepat dalam menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang

datang dari pihak media.

c. Selalu berpegang teguh pada waktu emas dalam merespon krisis:

penundaan panjang akan berpengaruh besar terhadap reputasi.

d. Mengontrol agenda: tidak membiarkan media, pesaing atau rumor

menggambarkan situasi perusahaan tanpa konfirmasi atau informasi dari

pihak public relations.

e. Mengembangkan pesan dan rencana serta taktik dengan tujuan sebagai

hasil akhirnya.

f. Penuh perhatian atas rumor-rumor yang ada dan berusaha untuk

membasmi rumor-rumor tersebut secepat mungkin.

g. Selalu sadar bahwa sentiasa ada titik buruk dalam situasi krisis di masa

public relations tetap memiliki kemampuan untuk mengontrol hasil

akhirnya.

Di dalam penanganan krisis, komunikasi krisis menjadi bagian yang sangat

penting, yakni untuk menjawab keraguan, mengurangi kepanikan, menghilangkan

16

ketidakpastian perlu dilakukan penyebaran informasi kepada publik. Dengan

komunikasi yang baik, benar, dan terencana memungkinkan turning point (titik balik)

yang dapat menuju pada kemenangan (for better).

Untuk tetap menjaga citra positif pada perusahaan, maka praktisi public relations

selayaknya telah mempersiapkan strategi yang akan dilakukan pada masa krisis, hal

ini diharapkan dapat mengubah krisis menjadi peluang dalam meningkatkan citra dan

kredibilitas perusahaan dimata publik.

3. Strategi Komunikasi Krisis

Kesalahan umum yang paling sering dilakukan oleh pimpinan organisasi yang

tidak siap menghadapi krisis adalah dalam bidang komunikasi. Adapun Bentuk

kesalahan yang seharusnya dihindari dan tidak dilakukan perusahaan pada saat krisis

terjadi misalnya melakukan penolakan telah terjadi krisis, berbohong, spekulasi dan

menolak untuk memberikan informasi yang jujur dan komplit. Menurut Fearn-Banks,

Gaggart, Stubbart (dikutip Putra, 1999) komunikasi pada saat organisasi menghadapi

krisis menjadi sangat penting disebabkan antara lain karena krisis dicirikan oleh

adanya ketidakpastian (uncertainty), konflik kepentingan (conflict of interest),

kompleksitas dan keterlibatan emosional. Pada saat sebuah krisis terjadi, kebutuhan

akan sebuah informasi biasanya begitu tinggi. Informasi yang cepat dan tepat akan

mengurangi ketidakpastian. Komuniksi krisis merupakan strategi penanganan krisis

yang memfokuskan pada apa-apa saja yang harus organisasi katakan dan lakukan

dalam kondisi krisis (Coombs, 1999:7).

Pada saat keadaan krisis terjadi beberapa tujuan yang tetap ingin dicapai,

tentunya keluar dari masa-masa krisis dan menjadi perusahaan yang lebih baik lagi.

Memperbaiki reputasi perusahaan juga menjadi bagian dari hal yang harus dipikirkan

oleh pihak manjemen. Dalam buku Peter. F Anthonissen (2008:28) yang berjudul

Crisis Communication, ia mengungkapkan ketika perusahaan dihadapkan dengan

situasi krisis maka perusahaan harus memiliki pedoman yakni strategi atau rencana

17

komunikasi krisis, elemen yang harus menjadi perhatian dalam strategi komunikasi

krisis yakni :

the right message (pesan yang tepat)

to whom that message should be told (kepada siapa pesan itu harus

disampaikan)

who should tell it (Siapa yang harus mengatakannya)

To right time to tell it (Waktu yang tepat untuk menceritakannya).

Sebagai bagian dari rencana, perusahaan dalam hal ini adalah public relations

harus mengerti bagaimana akan berkomunikasi secara internal dan memutuskan

dengan cepat terkait dengan elemen-elemen stretagi komunikasi krisis. Karena

strategi yang baik dan matang serta isi pesan yang benar dan tepat dengan waktu

yang benar serta pemilihan orang yang tepat (key speaker), akan membantu

perusahaan keluar dari masa-masa krisis. Tidak hanya itu, pemilihan media sebagai

salah satu tools dalam penyampaian pesan pun menjadi perhatian dalam pelaksanaan

strategi komunikasi krisis. Seperti yang diungkapkan Ronald D. Smith dalam

Strategic Planning for Public Relations (2005:24), “actually, however, strategic

communication is the concept and public relations is its primary example. In earlier

days, much public relations activity was haphazard and reactive. But most current

public relations activity is strategic, and most practitioners see themselves as

strategic communicators”.

Barton (1993:122) membagi beberapa elemen pada komunikasi sebagai strategi

yang juga perlu diperhatikan, seperti :

a. Publik. Dalam krisis, pengelola krisis harus mengenali siapa saja

publiknya, karena dengan mengenali publik sebelum adanya krisis akan

memudahkan pengelola krisis untuk membentuk crisis management plan

dengan merujuk pada publik yang lebih spesifik. Dengan mengenal

publiknya, maka akan mempermudah perusahaan untuk menangani krisis

18

dan mempertimbangkan kepentingan publik sebagai langkah yang akan

dilakukan kedepannya.

b. Tujuan. Untuk menciptakan proses komunikasi yang efektif pada saat

krisis, pengelola krisis harus memiliki tujuan yang jelas agar dapat

disampaikan pada publik sasaran secara tepat. Merujuk pada masing-

masing publik, organisasi memiliki tujuan komunikasi yang berbeda.

c. Pesan. Dalam mempersiapkan suatu pesan, kepada para stakeholders atau

media, ada baiknya mempertimbangkan tiga variable utama dalam proses

menyampaikan pesan yaitu Tone, Content, dan Receiver. Tidak ada format

pasti dalam setiap penggunaan tiga variabel tersebut. Penggunaan variable

tersebut berbeda untuk setiap krisis dan organisasi, butuh penyesuaian isi

pesan untuk dapat mencapai tujuan yang ingin dituju. Selama itu, pesan

yang diberikan kepada publik juga tergantung pada segmentasinya.

d. Sumber. Elemen ini adalah bagian untuk menentukan siapa yang akan

menjadi juru bicara atau sumber informasi untuk menyampaikan pesan

kepada para publik dalam masa krisis. Menentukan keputusan siapa yang

akan berbicara atau menjadi sumber informasi dalam krisis disamping PR

merupakan sesuatu yang harus diputuskan secara matang, hal ini

berkaitan pula dengan citra dari perusahaan yang terwakilkan oleh sumber

informasi perusahaan. Dalam beberapa kasus, posisi ini dilakukan oleh

CEO perusahaan karena hal ini terkait dengan rasa bertanggungjawab atas

krisis dan ingin mengembalikan kepercayaan publik terhadap perusahaan.

e. Dukungan dan informasi. Bagian ini menentukan dari mana saja dukungan

dan informasi didapatkan dan juga dari segi internal maupun eksternal.

f. Feedback. Setelah terjadi krisis, pengelolaan krisis tahu dalam hal ini

manajemen harus melakukan analisis lanjutan tentang penanganan krisis

yang teah dilakukan, seperti efektivitas dalam berkomunikasi dengan

publik yang telah disasar. Hal ini sebagai bahan pembelajaran untuk

membantu mencegah krisis di kemudian hari.

19

Pengenalan terhadap publik sasaran merupakan hal yang penting dalam

komunikasi krisis dengan pemahaman yang detail terhadap publik, dapat ditentukan

cara komunikasi yang paling efektif dan cara mencapai mereka. Komunikasi krisis

sendiri menurut Fearn-Banks (seperti dikutip Putra, 2008:9.23) adalah komunikasi

antara organisasi dengan berbagai publiknya sebelum, selama, sesudah kejadian

negatif menimpa organisasi. Maka bisa disimpulkan bahwa sebenarnya hampir setiap

perusahaan seharusnya sudah melakukan komunikasi krisis walaupun krisis belum

terjadi. Adapun kategori publik yang dibagi oleh Fearn-Banks (dalam Putra,

2008:9.25) :

1. Enabling public, yakni publik yang punya kekuasaan untuk memutuskan

suatu persoalan. Termasuk di dalamnya anatara lain Dewan Direktur,

Pemegang Saham, Komisaris Perusahaan, dan Pemerintah.

2. Functional public, yakni kelompok orang yang menjadikan sebuah

organisasi dapat berputar. Termasuk di dalamnya antara lain para

karyawan, konsumen, dll.

3. Normative public, yakni kelompok orang yang mempunyai kepentingan

yang sama dengan organisasi. Termasuk di dalamnya adalah para anggota

asosiasi atau perkumpulan perusahaan-perusahaan sejenis.

4. Diffused public, yakni kelompok orang yang secara tidak langsung

berhubungan dengan organisasi dalam suatu krisis. Yang tergolong dalam

kategori ini antara lain media dan kelompok-kelompok komunitas.

Dapat dengan cepat mengidentifikasi publik akan memudahkan dalam menjalani

proses komunikasi krisis untuk membangun pesan yang ingin disampaikan dan

menentukan strategi yang paling efektif dalam menyampaikan pesan. Strategi

komunikasi oleh Effendy (2009:29) didefinisikan sebagai panduan perencanaan

komunikasi (communication planning) dengan manjemen komunikasi

(communication management) untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan

sebelumnya. Strategi komunikasi harus mampu menunjukkan bagaimana operasional

20

praktisinya harus dilakukan. Coombs (1999:121) menyatakan bahwa the crisis

communication strategies represent the actual responses the organization uses to

address the crisis. Komunikasi tidak hanya dilakukan sebatas verbal saja tetapi

tindakan nyata dari perusahaan lebih dibutuhkan pada saat situasi krisis. Hal ini

diperkuat oleh Allen & Caollouet (seperti dalam Coombs, 1999) crisis

communication strategies involve the words (verbal aspects) and actions (nonverbal

aspects) the organization directs toward the crisis.

Tidak semua perusahaan merespon krisis dengan cara yang serupa. Akan tetapi,

W. Timothy Coombs (1999:122-123) memiliki beberapa pilihan strategi komunikasi

krisis yang dapat digunakan oleh perusahaan, yakni : (a) Attack the accuser

(menyerang pihak penuduh); (b) Denial (penyanggahan atas krisis); (c) Excuse

(Pemakluman atas terjadinya krisis); (d) Justification (pembenaran atas krisis); (e)

Ingratiation (aksi “menjilat’ untuk menenangkan publik); (f) Corrective action (aksi

nyata menghadapi krisis); (g) Full apology (permintaan maaf atas krisis yang terjadi).

Ia juga menambahkan bahwa perusahaan atau organisasi dapat lebih fokus pada

accommodative strategies (ingratiation, corrective action, full apology) apabila

defensive strategies (attack accuser, denial, excuse) tidak efektif.

Fakor lain yang perlu dipertimbangkan dalam suatu strategi komunikasi dalam

menghadapi krisis, adalah pemanfaatan pihak ketiga sebagai pendukung posisi

organisasi. Dalam berbagai kasus, dukungan dari pihak ketiga sangat efektif

digunakan untuk memperkuat posisi organisasi atau memulihkan reputasi organisasi.

Kebanyakan dari praktisi Public relations memlih media sebagai tools dalam

membantu kinerja mereka. Media dianggap bisa menjadi pihak penengah dan

membantu kinerja public relations, khususnya pada saat perusahaan dihadapkan

dengan situasi bahaya.

Wasesa (2005:70) beranggapan disaat kondisi berbahaya public relations tak

sungkan memasukkan media sebagai bagian dari strategi komunikasi krisis dengan

harapan informasi yang beredar diluar bisa terkontrol dengan pemberitaan yang ada

21

di media dan tentunya dapat mengubah persepsi publik mengenai perusahaan. Media

juga bisa membantu perusahaan untuk mencapai goals pada saat krisis yakni

memperpendek masa krisis.

Kunci untuk mengantisipasi dan menghindari krisis adalah dengan menilai apa

yang bisa terjadi dan apa yang dapat mempengaruhi orang atau lingkungan, dan apa

yang akan menciptakan jarak penglihatan (Cutlip, Center dan Broom, 2005:309).

F. Kerangka Konsep

Penelitian ini fokus pada strategi komunikasi krisis yang dilakukan oleh praktisi

public relations dalam menghadapi situasi krisis. Pada umumnya praktisi public

relations mempunyai peranan yang cukup besar dalam mengambil keputusan untuk

merancang dan mengimplementasikan strategi komunikasi saat menghadapi krisis,

karena salah satu tuntutan bagi praktisi public relations yakni mampu menyelesaikan

masalah ataupun krisis dalam perusahannya karena krisis tidak bisa menjadi pilihan

yang dapat ditolak oleh perusahaan. Demikian juga, ketika praktisi public relations

mempunyai peran yang penting dalam suatu perusahaan untuk menghadapi dan

menyelesaikan masalah khususnya, maka dapat dilihat juga kredibilitas praktisi

public relations dari kemampuannya merancang dan mengaplikasikan strategi

INPUT

Strategi,

Taktik atau

Aktifitas PR

OUTPUT

Liputan Media,

Kesuksesan

penyelenggaraan

even, atau banyaknya

jumlah pengunjung

OUTCOMES

Perubahan

sikap target

audiens atau

publik

Bagan 1.2

Wasesa, Silih Agung (2005:70)

22

komunikasi yang efektif, tepat dan benar untuk membawa perusahaan dari zona

bahaya. Dalam penelitian ini peneliti juga akan melihat seberapa jauh peran public

relations dapat mempengaruhi pembuatan dan pengimplementasian strategi

komunikasi krisis, karena ketepatan dalam pemilihan strategi komunikasi yang

dilakukan oleh praktisi public relations disaat krisis juga akan mempengaruhi lama

waktu dan keberhasilan dalam penyelesaian krisis.

Krisis tidak datang begitu saja, ada pemicu awal yang melandasi krisis itu terjadi.

Identifikasi masalah menjadi tahapan yang penting dalam menentukan strategi

komunikasi yang akan dilakukan. Pengidentifikasian terhadap masalah yang terjadi di

perusahaan merupakan langkah awal yang baik untuk mencegah terjadi nya krisis.

Karena krisis yang menimpa suatu perusahaan tidak selalu datang dari kelalaian

manusia, berikut lima kategori kemungkinan terjadinya krisis dalam suatu

perusahaan: Krisis teknologi (technological crisis), krisis konfrontasi (confrontation

crisis), krisis tindak kejahatan (crisis of malevolence), krisis kegagalan manajemen

(crisis of management failure), dan krisis yang berhubungan dengan ancaman lain

terhadap organisasi (crisis involving other threats to the organization).

Krisis hidup dan terus berkembang seiring dengan lajunya perusahaan dan

komunikasi yang dilakukan perusahaan. Ketika tidak berhasil dalam mengidentifikasi

masalah dan tidak cepat menanggapinya maka tahapan demi tahapan krisis akan

menyerang. Adapun tahapan-tahapan krisis yang tentunya memiliki treatment yang

berbeda dalam menghadapinya, yakni Tahapan Prodromal, Tahapan Akut, Tahapan

Kronis, dan Tahapan Resolusi. Memperpendek tahapan krisis adalah langkah yang

harus dilakukan oleh praktisi public relations.

Public relations hadir sebagai bagian dalam perusahaan yang menjembatani

antara perusahaan dengan publiknya. Namun, tidak semua perusahaan memberikan

tugas dan melibatkan praktisi public relations dalam proses penyelesaian krisis dan

pembuatan strategi komunikasinya. Dalam konsep peranan public relations, praktisi

public relations dapat memainkan beberapa peran yaitu : Public relations manager

23

dan Public relations technician. Ketika praktisi public relations mempunyai peranan

sebagai public relations manager maka ia memiliki peran dalam bidang menejerial

dan keterlibatan dalam perusahaan. Dalam hal ini perusahaan memberikan wewenang

penuh bagi praktisi public relations untuk mengelolah sendiri kegiatan public

relations. Sedangkan public relations technician tidak, ia hanya menjalankan

keputusan yang telah dibuat oleh fungsi manajemen perusahaan. Peran public

relations juga sangat mempengaruhi implementasi strategi komunikasi yang akan

digunakaan oleh perusahaan saat menghadapi krisis.

Secara garis besar dalam penanganan krisis terdapat dua tindakan khas yakni

tindakan-tindakan yang bercirikan keterlibatan manajemen atau bisa dikatakan

tindakan secara langsung (non-media) dan tindakan komunikasi yang lebih banyak

melibatkan media dalam proses penyelesaian. Di saat krisis, arus informasi yang

berkembang di media akan tinggi. Ketika tidak segera dimenej maka hal ini akan

memperkeruh situasi dan bertintegrasi dengan reputasi perusahaan yang akan

memperparah keadaan perusahaan. Strategi komunikasi yang tepat dan efisien dalam

menyampaikan informasi terkait dengan keadaan yang menimpa perusahaan sangat

dibutuhkan. Namun, dalam penyampaian informasi kepada publik saat krisis perlu

diperhatikan empat prinsip, yakni: the right message, to whom that message should

be told, who should tell it, dan to right time to tell it. Efektif atau tidaknya sebuah

komunikasi pada saat krisis sangat bergantung pada pemilihan saluran atau media

yang digunakan, karena setiap saluran komunikasi mempunyai tingkat keefektifan

yang berbeda-beda.

Terdapat beberapa strategi komunikasi krisis yang dapat digunakan oleh public

relations pada masa-masa krisis seperti yang diungkapkan Coombs (1999) yakni, full

apology (permintaan maaf atas krisis yang terjadi), corrective action (aksi nyata

menghadapi krisis), ingratiation (aksi “menjilat” untuk menenangkan publik),

justification (pembenaran atas krisis), excuse (pemakluman atas terjadinya krisis),

denial (penyanggahan atas krisis), attack the accuser (menyerang pihak penuduh).

24

Dalam strategi komunikasi metode yang paling efektif dalam berkomunikasi dengan

publik yang luas dan beragam adalah melalui media massa, seperti : Koran, majalah,

publikasi, radio, dan televisi. Sehingga dengan beragamnya stakeholders sebagai

target dari strategi komunikasi yang dilakukan akan menjadikan efektivitas

komunikasi lebih mudah dicapai jika perusahaan menggunakan media yang beragam

pula. Pada sisi publik, hal ini tentunya akan menjamin ketersediaan informasi.

Adapun kategori publik yang diungkapkan Fearn-Banks (dalam Putra, 2008) yakni :

enabling public, functional public, normative public, dan diffused public.

Konsep strategi komunikasi krisis inilah yang diterapkan pada PT Pertamina EP

sebagai salah satu perusahaan migas terbesar dan mempunyai andil yang penting

dalam ketersediaan energi di Indonesia. Bagaimana PT Pertamina EP menghadapi

krisis dalam kasus penjarahan minyak di jalur pipa Tempino-Plaju dan meyakinkan

public khususnya masyarakat di sekitar wilayah operasi, akan bahaya tindakan

pencurian minyak dan pentingnya menjaga objek vital nasional. Tentunya banyak

faktor yang dapat mempengaruhi implementasi strategi komunikasi krisis tersebut.

25

Bagan 1.3

Bagan Konsep Strategi Komunikasi Krisis

Krisis :

- Krisis Teknologi

- Krisis Konfrontasi

- Krisis Kejahatan

- Krisis Kegagalan

- Krisis yang

berhubungan

dengan acaman lain

terhadap organisasi

Tahapan Krisis :

- Krisis Prodromal

- Krisis Akut

- Krisis Kronik

- Krisis Resolusi

Peran Public

Relations

a. Public relations

managerial

- Expert Prescriber

- Communication

Facilitator

- Problem-solving

Process Facilitator

b. Communication

Technician

Strategi Komunikasi

Krisis

- Full Apology

- Corrective Action

- Ingratiation

- Justification

- Excuse

- Denial

- Attack the Accuser

Respon atau

Tindakan dalam

Penanganan Krisis

- Tindakan-tindakan yang

bercirikan keterlibatan

langsung (non-media)

- Tindakan komunikasi

(media)

Public yang akan dijangkau

- Enabling public

- Functional public

- Normative public

- Diffused public

26

G. Metodologi Penelitian

1. Metode Penelitian

Penelitian ini berbentuk studi kasus untuk memusatkan perhatian pada kasus

secara intensif dan mendetail, yaitu pada kasus penjarahan minyak mentah di Jalur

Pipa Tempino-Plaju yang terjadi pada PT Pertamina EP. Namun penelitian ini lebih

memusatkan pada implementasi strategi komunikasi krisis yang dilakukan oleh

Public Relations PT Pertamina EP pada kasus tersebut. Robert K. Yin (2002:18)

mendefinsikan studi kasus sebagai suatu inkuiri empiris yang menyelidiki fenomena

dalam konteks kehidupan nyata, bilamana batas-batas antara fenomena dan konteks

tidak tampak dengan jelas dan dimana multi sumber dapat dimanfaatkan. Maka,

berdasarkan pernyataan Yin tersebut, penelitian ini dirasa layak menggunakan studi

kasus.

Penelitian ini menggunakan studi kasus deskriptif, yang dapat diartikan sebagai

pengembangan dari studi kasus yang bertujuan untuk memaparkan atau

mendeskripsikan suatu situasi. Dalam penelitian ini juga akan dihasilkan deskripsi

mengenai strategi komunikasi krisis public relations PT Pertamina EP dalam kasus

penjarahan minyak di Tempino-Plaju khususnya kebakaran yang terjadi pada tanggal

03 Oktober 2012.

2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi : 27th

Floor Standard Chartered Tower, Jl. Prof Dr. Satrio No. 164

Jakarta Selatan.

Waktu : 09 April – 12 Juli 2013

3. Teknik Pengumpulan Data

Pada penelitian ini, untuk memperkecil permasalahan mengenai validitas maka

digunakan dua jenis sumber data, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer

dapat diartikan sebagai sumber data yang diperoleh secara langsung, sedangkan data

sekunder adalah sumber data yang diperoleh melalui pihak lain.

27

a. Data Primer

Wawancara Mendalam

Wawancara mendalam dalam penelitian ini dilakukan secara langsung kepada

fungsi Public Relations PT Pertamina EP yang memahami dan berkompeten

terhadap objek penelitian. Wawancara merupakan sumber informasi yang

esensial bagi studi kasus. Pada tahap wawancara kepada informan peneliti

dibantu dengan interview guide agar membuat fokus lebih jelas dan dapat

dipertanggungjawabkan menurut kebutuhan data terkait dengan tema yang ada.

Wawancara mendalam ini akan dilakukan pada Tim Public Relations PT

Pertamina EPdengan melibatkan :

1. Public Relations Manager PT Pertamina EP

2. Media Relations Analyst Senior PT Pertamina EP Pusat (Sekarang

Legal & Relations Manager Asset Cepu)

3. Public Relations Coordinator CSR Region Sumatera Field

Prabumulih (Sekarang Media Relations Analyst Senior PT

Pertamina EP Pusat)

4. Public Relations Field Rimau (Sekarang Analyst Senior Eksternal

Relations PT Pertamina EP).

Proses wawancara dalam penelitian ini akan dilakukan dengan bentuk

tanyajawab langsung (individu ke individu) antara pewawancara dengan

informan.

Observasi

Observasi yang dilakukan peneliti bertujuan untuk lebih mendekatkan diri

antara peneliti dengan objek penelitian atau kasus yang sedang dikaji. Dengan

demikian, peneliti dapat secara langsung mengetahui tentang segala hal yang

terjadi dan aspek-aspek yang telah mempengaruhi permasalahan tersebut.

Dengan begitu peneliti dapat secara objektif melihat fenomena yang terjadi di

28

PT Pertamina EP terkait kasus penjarahan minyak mentah yang terjadi di Pipa

Tempino-Plaju, bahkan peneliti dapat langsung mendapatkan sumber informasi

lain sebagai tambahan informasi dan pengetahuan untuk mendukung keperluan

data penelitian.

b. Data Sekunder

Studi Pustaka

Untuk studi kasus, penggunaan dokumen yang paling penting adalah

mendukung dan menambah bukti dari sumber-sumber lain (Yin, 2002:104).

Dalam penelitian ini studi dokumen yang akan digunakan adalah annual report

PT Pertamina EP sebagai bahan evaluasi mengenai segala kejadian yang terjadi

di perusahaan dan beberapa dokumen atau arsip interal PT Pertamina EP yang

resmi. Selain itu, data juga dikumpulkan dari data kepustakaan seperti buku,

jurnal dan majalah.

4. Teknik Analisis Data

Analisis data terdiri atas pengujian, pengkategorian, penstabulasian, ataupun

pengkombinasian kembali bukti-bukti untuk menunjuk proposisi awal suatu

penelitian (Yin, 2002:133). Dalam penelitian ini teknik analisis data yang akan

digunakan adalah penjodohan pola (pattern matching). Dengan menggunakan teknik

analisis data penjodohan pola, data yang telah dikategorikan akan dicari kesesuaian

pola antara data yang terkumpul dengan kerangka teori dan proposisi penelitian yang

telah dibuat. Kemudian dipaparkan penjelasan mengenai permasalahan yang diteliti.

Data yang diperoleh dan hasil analisis akan disajikan dalam bentuk uraian yang

disusun secara sistematis guna memudahkan pemahaman hasil penelitian.

Analisis data dalam penelitian ini akan dilakukan setelah mendapatkan data dari

hasil wawancara kepada Fungsi Public Relations yakni Public Relations Manager,

Analyst Media Relations, Public Relations Manager Field Cepu, dan Analyst

Eksternal Relations, observasi yang dilakukan oleh peneliti, dan beberapa dokumen.

29

Setelah mendapatkan data dari empat sumber tersebut maka akan dilakukan

kesesuaian data dengan teori yang telah dijelaskan pada kerangka teori dan bab II.

Setelah dilakukan penyesuaian tersebut, maka akan dihasilkan sebuah deskripsi

mengenai strategi komunikasi krisis humas (public relations) PT Pertamina EP dalam

kasus penjarahan minyak di jalur pipa tempino-plaju (krisis) yang disusun secara

sistematis agar dapat dipahami dengan mudah.

5. Teknik Validasi Data

Dalam penelitian studi kasus, uji validitas yang dapat dilakukan adalah dengan

melakukan teknik triangulasi data yaitu membandingkan dan mengecek balik derajat

kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda

dalam metode kualitatif. Untuk melakukan triangulasi data terdapat beberapa langkah

yang harus dilakukan. Pertama, membandingkan data hasil pengamatan dengan data

hasil wawancara. Kedua, membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum

dengan apa yang dikatakannya secara pribadi. Ketiga, membandingkan apa yang

dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakannya

sepanjang waktu. Keempat, membandingkan keadaan dan perspektif seseorang

dengan berbagai pendapat dan pandangan orang. Kelima, membandingkan hasil

wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan.

Merujuk pada langkah-langkah tersebut, maka uji validitas dalam penelitian ini

akan dilakukan dengan membandingkan hasil pengamatan penelitian mengenai

strategi komunikasi krisis humas PT Pertamina EP dalam kasus penjarahan minyak di

pipa Tempino-Plaju. Selain membandingkan hasil pengamatan dengan hasil

wawancara, uji validitas dalam penelitian ini juga dilakukan dengan membandingkan

hasil wawancara kepada Tim Public Relations PT Pertamina EP dengan dokumen

berkaitan yang didapatkan selama penelitian. Dokumen yang dimaksud disini adalah

laporan dari masing-masing analis dan beberapa dokumentasi mengenai strategi

komunikasi krisis pada situasi krisis.