BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.ums.ac.id/46166/17/BAB I.pdfHukum kewarisan dalam Islam...

18
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum kewarisan dalam Islam mendapat perhatian yang besar karena pembagian warisan sering menimbulkan akibat-akibat yang tidak menguntungkan bagi keluarga yang ditinggal mati. Warisan adalah soal apa dan bagaimana berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meniggal akan beralih kepada keluarga yang masih hidup. 1 Berdasarkan penelusuran yang dilakukan hukumonline, kewarisan menempati posisi nomor dua buku tahunan Yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) hampir setiap edisi terbitan dari tahun per tahun mengutip putusan perkara waris. Hal tersebut menunjukkan pentingnya masalah waris mendapat perhatian. Hukum kewarisan Islam pada dasarnya berlaku untuk umat Islam di mana saja di dunia ini. Dasar pokok dari semuanya adalah hukum kewarisan Islam yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah kemudian yang diterapkan di dalam masyarakat seperti peraturan Kompilasi Hukum Islam. Berdasarkan hukum Islam, sumber utama terdapat dalam Al- Quran dan As-Sunnah. Allah SWT berfirman pada surat An-Nisa’ (4):11 yaitu: ظ ح ل ث م ر ك لذ ل م ك د و أ ه ل ال م يك وص ي ق و ف اء س ن ن ك ن إ ف ي ث ن ا و ف ص الن ا ه ل ف ة د اح و ت ان ك ن إ و ك ر ا ت ا م ث ل ث ن ه ل ف ت ن اث ه ي و ل ك ل1 A. Rofiq, 1998, Hukum Islam di Indonesiacet. III, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Hlm 356.

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.ums.ac.id/46166/17/BAB I.pdfHukum kewarisan dalam Islam...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum kewarisan dalam Islam mendapat perhatian yang besar

karena pembagian warisan sering menimbulkan akibat-akibat yang tidak

menguntungkan bagi keluarga yang ditinggal mati. Warisan adalah soal apa

dan bagaimana berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan

seseorang pada waktu ia meniggal akan beralih kepada keluarga yang masih

hidup.1 Berdasarkan penelusuran yang dilakukan hukumonline, kewarisan

menempati posisi nomor dua buku tahunan Yurisprudensi Mahkamah Agung

(MA) hampir setiap edisi terbitan dari tahun per tahun mengutip putusan

perkara waris. Hal tersebut menunjukkan pentingnya masalah waris mendapat

perhatian. Hukum kewarisan Islam pada dasarnya berlaku untuk umat Islam

di mana saja di dunia ini. Dasar pokok dari semuanya adalah hukum

kewarisan Islam yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah

kemudian yang diterapkan di dalam masyarakat seperti peraturan Kompilasi

Hukum Islam. Berdasarkan hukum Islam, sumber utama terdapat dalam Al-

Quran dan As-Sunnah. Allah SWT berfirman pada surat An-Nisa’ (4):11

yaitu:

الن ث ي ي فإن كن نساء ف وق يوصيكم الله ف أولدكم للذكر مثل حظ لكل ب ويه اث نت ي ف لهن ث لثا ما ت رك وإن كانت واحدة ف لها الن صف ول

1A. Rofiq, 1998, Hukum Islam di Indonesiacet. III, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Hlm 356.

2

هما السدس ما ت رك إن كان له ولد فإن ل يكن له ولد وورثه واحد من كان له إخوة فلم ه السدس من ب عد وصية يوصي أب واه فلم ه الث لث فإن

ن فعا فريضة من باؤكم وأب ناؤكم ل تدرون أي هم أق رب لكم دين آ با أو الله إن الله كان عليما حكيما

Artinya:

“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-

anakmu. Yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang

anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua,

maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak

perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk

dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang

ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang

meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja),

maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai

beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-

pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan)

sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu

tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)

manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah

Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Surat tersebut menjelaskan secara rinci tentang sebagian ahli waris

yang berhak untuk menerimanya (anak laki-laki, anak perempuan, ibu, bapak,

saudara) dan menjelaskan syarat-syarat serta orang yang berhak mendapatkan

warisan. Kewarisan (al-mirats) yang disebut sebagai faraidh berarti bagian

tertentu dari harta warisan sebagaimana telah diatur dalam nash Al-Qur’an

dan Al-Hadits. Jadi, pewarisan adalah perpindahan hak dan kewajiban tentang

kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia terhadap orang-orang yang

masih hidup dengan bagian-bagian yang ditetapkan dalam nash-nash baik Al-

3

Qur’an dan Al-Hadits.2 Ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang secara

langsung mengatur tentang kewarisan antara lain:

QS. An-Nisa ayat 7

للن ساء نصيب ما ت رك للر جال نصيب ما ت رك الوالدان و الق ربون و فروضا منه أو كث ر نصيبا م الوالدان و الق ربون ما قل

Artinya:

“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan

kerabat karib; dan bagian perempuan ada hak bagian (pula) dari harta

peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut

bagian yang telah ditetapkan.”

Hadits Nabi Muhammad SAW pada Kitab Fara’idh Sohih Al

Bukhori yang secara langsung mengatur kewarisan Hadits Nomor 6228 yang

artinya: “Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id telah

menceritakan kepada kami Sufyan dari Muhammad bin Al Munkadir, ia

mendengar Jabir bin Abdullah radliallahu 'anhuma mengatakan; aku pernah

sakit, Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam dan Abu Bakar menjengukku

dengan berjalan kaki. Keduanya mendatangiku ketika aku sedang pingsan,

maka Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam berwudhu', dan sisa wudhunya

beliau guyurkan kepadaku sehingga aku siuman (sadar). Maka aku bertanya;

'Bagaimana yang harus aku lakukan terhadap hartaku?, bagaimana yang

harus aku putuskan terhadap hartaku?”

Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam sama sekali tidak menjawab

sepatah kata pun hingga turun ayat waris.3 Permasalahan mengenai kewarisan

Islam di Indonesia selain dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah serta Hadist waris

2 Habiburrahman, 2011, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana,

Hlm. 16-17. 3Amir Syarifuddin, 2008, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Kencana, Hlm.6.

4

juga diatur dalam Buku II Kompilasi Hukum Islam. Pasal 171 KHI Inpres

Nomor 1 Tahun 1991 menentukan bahwa hukum kewarisan adalah hukum

yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah)

pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa

bagiannya masing-masing. Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan

oleh pewaris baik yang berupa benda yang menjadi miliknya maupun hak-

haknya. Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama

setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai

meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan

pemberian untuk kerabat.4

Salah satu pembahasan dalam ilmu waris adalah pembahasan tentang

penyebab kewarisan dan penghalangnya. Penyebab seseorang berhak

menerima warisan adalah adanya hubungan perkawinan, kekerabatan, dan

kemerdekaan budak. Sedangkan penghalang kewarisan salah satunya adalah

perbedaan agama antara pewaris dan ahli waris yang dapat menggugurkan

hak seseorang untuk mewarisi harta peninggalan. Dengan kata lain,

penghalang-penghalang untuk mewarisi merupakan tindakan atau hal-hal

yang dapat menggugurkan hak seseorang untuk mewarisi harta peninggalan

setelah adanya sebab-sebab untuk mewarisi.5

Dalam hubungannya dengan waris mewarisi pada keluarga beda

agama, maka ini menunjukkan adanya anggota keluarga yang beragama Islam

dan anggota keluarga yang beragama non Islam. Dalam kondisi seperti ini

4Tim Redaksi Fokus Media, 2014, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Kompilasi Hukum

Islam, Bandung: Fokus Media, Hlm.56. 5Ahmad Azhar Bazhar, 1990, Hukum Waris Islam, Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia,

Hlm.16.

5

akan bersentuhan dengan persoalan waris beda agama bila pihak pewaris

meninggal dunia. Dalam hukum Islam telah ditentukan bahwa berlainan

agama bisa menjadi penghalang mewaris.6

Dasar hukumnya adalah Al-Qur’an dan Hadis Rasulullah SAW

sebagai berikut:

....ولن جيعل اهلل للكافرين على املؤمني سبيالArtinya:

”Dan Allah sekali-kali tidak akan memberikan suatu jalan bagi orang-orang

kafir (untuk menguasai orang mukmin) (QS. An-Nisa: l4l)”.7

Firman Allah SWT menunjukkan bahwa orang-orang mukmin tidak

boleh tunduk pada orang kafir, dan orang kafir tidak boleh menaklukkan

orang mukmin, dan Allah tidak akan memberi akses ke arah itu.

الكافر ول ير املسلمل"و عن أسامة بن زيد رضي اهلل عليه وسلم قال الكافر املسلم

Artinya:

“Dari Usamah bin Zaid, sesungguhnya Nabi SAW., Bersabda: Orang

muslim tidak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi orang

muslim” (Muttafaq 'alaih).

Terlihat jelas dalam pengertian ahli waris menurut Pasal 171 huruf c

Kompilasi Hukum Islam yang mensyaratkan harus beragama Islam. Pasal

tersebut menyebutkan bahwa: “Ahli waris adalah orang yang pada saat

meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan

dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk

menjadi ahli waris”.

6T.M Hasbi Ash Shiddieqy, 19997, Fiqh Mawaris, Semarang: Pustaka Rizki Putra, Hlm. 46-48.

7Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1986, Al-Qur’an dan Terjemahnya,

Depag RI, Hlm.103

6

Hadits di atas merupakan salah satu dasar para ulama dalam

menetapkan kesepakatan mengenai ketentuan bahwa keluarga dekat (suami

atau istri, bahkan anak sekalipun) yang tidak muslim/muslimah bukan

merupakan ahli waris. Meskipun ada ketentuan yang menyatakan bahwa

seorang ahli waris harus beragama Islam dan telah dikuatkan dengan hadits

yang menyatakan bahwa tidak adanya hubungan waris mewaris antara

seorang muslim dengan non muslim, tetapi pada praktiknya masih ada

putusanhakim yang memberikan hak waris kepada seorang ahli waris non

muslim melalui wasiat wajibah. Hal ini sebagaimana putusan Pengadilan

Agama Nomor: 2/Pdt. G/2011/PA. Kbj, yang memberikan hak waris kepada

anak yang berbeda agama (non-muslim).

Membaca putusan diatas menurut penulis adanya kesenjangan antara

harapan (das sollen) dengan kenyataan (das sein), maka penulis merasa

tertarik untuk mengangkat suatu judul dalam skripsi ini mengenai

“TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBAGIAN HARTA WARIS

KEPADA AHLI WARIS YANG BEDA AGAMA MELALUI WASIAT

WAJIBAH”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Membatasi permasalahan dalam suatu penelitian merupakan salah

satu hal yang sangat penting dalam suatu rangkaian pelaksanaan penelitian

ilmiah guna menghindari terjadinya kekaburan dan penyimpangan terhadap

pokok permasalahan, juga mengingat akan kemampuan, biaya, tenaga, dan

7

waktu yang relatif kurang pada diri penulis. Oleh sebab itu perlu kiranya

penulis membatasi permasalahan yang akan diteliti.

Sesuai dengan judul skripsi penulis maka penulis di sini akan

membatasi penelitian pada Tinjauan Yuridis terhadap pembagian harta waris

kepada ahli waris yang beda agama dengan pewaris. Jadi hanya kepada anak

kandung yang berbeda agama (murtad) dengan pewaris. Berdasarkan uraian

dan latar belakang masalah di atas maka penulis dapat merumuskan

permasalahan dalam penulisan ini sebagai berikut:

1. Bagaimanakah kedudukan ahli waris beda agama dengan pewaris dalam

kompilasi hukum Islam?

2. Bagaimana pertimbangan hakim mengenai wasiat wajibah untuk memutus

perkara Nomor: 2/Pdt. G/2011/PA. Kbj?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Suatu penelitian harus mempunyai suatu tujuan dan manfaat tertentu

yaitu sesuatu yang di harapkan atau suatu manfaat tertentu dari hasil

penelitian yang akan dilakukan. Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam

penelitian adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui kedudukan ahli waris beda agama dengan pewaris

dalam kompilasi hukum Islam.

2. Untuk mengetahui pertimbangan hakim mengenai wasiat wajibah untuk

memutus perkara Nomor: 2/Pdt. G/2011/PA. Kbj.

8

Manfaat hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

a. Memberikan sumbangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu

hukum pada khususnya.

b. Untuk menambah ilmu pengetahuan mengenai hal-hal yang berkaitan

dengan kedudukan ahli waris beda agama dalam perspektif hukum

Islam.

2. Secara Praktis

Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai ilmu tambahan dan

masukan bagi aparat penegak hukum, mahasiswa, masyarakat umum dan

khususnya bagi penulis sendiri.

D. Kerangka Pemikiran

Berbicara pembagian waris berarti membicarakan faraidh atau

kewarisan dan berarti pula membicarakan hal ihwal peralihan harta dari orang

yang telah mati kepada orang yang masih hidup. Fiqh mawarits mengandung

arti ketentuan yang berdasar kepada wahyu Allah yang mengatur hal ihwal

peralihan harta dari seseorang yang telah mati kepada orang yang masih

hidup.8 Pembagian harta warisan menurut hukum Islam sesuai dengan

petunjuk Al-Qur’an dan Hadist, kepastian bagian masing-masing ahli waris di

dalam Al-Qur’an mengikat secara hukum bagi setiap pribadi muslim.

Komposisi bagian masing-masing ahli waris merupakan bagian yang paling

adil baik dipandang secara vertikal maupun horizontal. Khusus mengenai

8Amir Syarifuddin, 2003, Garis-garis Besar Fiqh, Jakarta: Prenada Media, Hlm. 147

9

keseluruhan harta warisan terdapat ketentuan yang menyangkut bagian

tertentu yang dapat diwasiatkan oleh seseorang.9

Timbulnya sengketa kewarisan adanya keadaan berlainan agama

sebagai penghalang (mamnu’) untuk menerima warisan, dalam hal ini sering

menjadi konflik di antara para ahli warisnya.10

Kenyataan demikian telah ada

dalam sejarah umat manusia hingga sekarang ini, untuk Terjadinya gugat

waris di pengadilan, baik Pengadilan Agama maupun Pengadilan

Negerimenunjukkan fenomena ini.11

Sedangkan dalam masalah gugatan waris

seorang muslim dengan non-muslim dapat diselesaikan melalui Pengadilan

Agama karena pewaris adalah seorang muslin, dalam Pasal 49 Undang-

Undang Nomor 50 tahun 2009 tentang Pengadilan Agama mengatakan bahwa

Pengadilan Agama berhak memeriksa, mengadili, dan memutus perkara-

perkara orang yang beragama Islam dalam bidang perkawinan, waris, wasiat,

hibah, wakaf, dan shadaqah.

Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 KHI Inpres Nomor 1 tahun 1991

menentukan bahwa hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang

pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan

siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-

masing. Penghalang-penghalang untuk mewarisi merupakan tindakan atau

hal-hal yang dapat mengugurkan hak seseorang untuk mewarisi harta

9Sudarsono, 1992, Pokok-pokok Hukum Islam, Cet. I, Jakarta: PT Rineka Cipta, Hlm. 288

10Zakiah Darajat, 1995, Ilmu Fiqh Jilid III, Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, Hlm. 27

11A. Rofiq, 1998, Hukum Islam di Indonesia cet. III, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Hlm.

356

10

peninggalan setelah adanya sebab-sebab untuk mewarisi.12

Hal-hal yang

dapat menghalangi tersebut yang disepakati para ulama ada tiga, yaitu:

a. Pembunuhan,

b. Berlainan agama,

c. Perbudakan, dan yang tidak disepakati ulama adalah berlainan negara.13

Suparman Usman dan Yusuf Somawinata dalam bukunya Fiqh

Mawaris, Hukum Kewarisan Islam, menjelaskan bahwa kedudukan berlainan

agama sebagai penghalang kewarisan telah menjadi ijma’ seluruh umat Islam.

Orang Islam tidak mewarisi orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi orang

Islam. Namun apabila di antara orang yang berlainan agama tersebut

mewasiatkan kepada yang lainnya untuk menerima hartanya setelah

kematiannya, maka wasiat tersebut apabila tidak lebih dari sepertiga dapat

dilaksanakan tanpa memerlukan izin dari para ahli waris, sebab perbedaan

agamaitu hanya menghalangi pewarisan tidak menghalangi wasiat.14

Dasar

hukumnya adalah Al-Qur’an dan Hadist Rasulullah SAW sebagai berikut:

اليرث المسلم"و عن أسامة بن زيد رضي هللا عليه وسلم قال

الكافر وال الكافر المسلم

Artinya: “Dari Usamah bin Zaid, sesungguhnya Nabi SAW.,

Bersabda: Orang muslim tidak mewarisi orang kafir, dan

orang kafir tidak mewarisi orang muslim” (Muttafaq 'alaih).

12

Ahmad Azhar Bazhar Basyir, 1990, Hukum Waris Islam, Yogyakarta: Universitas Islam

Indonesia,Hlm.16 13

Muslich Maruzi, 1981, Pokok-pokok Ilmu Waris, Semarang: Pustaka Amani, Hlm. 13 14

Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, 1997, Fiqh Mawâris, Hukum Kewarisan Islam,

Jakarta: Gaya Media Pratama, Hlm.37.

11

Demikian juga hadis riwayat Ashhab al-Sunah(penulis kitab-kitab al-

Sunah) yaitu Abu Dawud, al-Tirmizi, al-Nasa'i, dan Ibn Majah sebagai

berikut:

و عن عبدهللا بن عمر رضي هللا عنهما قال

ال يتوارث أهل ملتين"رسول هللا عليه وسلم

Artinya: "dan dari Abdullah bin Umar RA., mengatakan:

Rasulullah SAW bersabda: tidak ada waris mewarisi terhadap

orang yang berbeda agama” (HR. Ahmad, Abu Dawud,

Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah. Nasa’i juga meriwayatkan

dari Usamah bin Zaid).15

Hadist di atas mengisyaratkan bahwa tidak ada waris mewarisi

antara muslim dengan orang kafir, demikian juga sebaliknya. Demikian juga

jumhur ulama sepakat bahwa berlainan agama menjadi penghalang

mewarisi.16

Penjelasan di atas dapat dipahami bahwa yang menjadi

pertimbangan apakah antara ahli waris dan muwarris berbeda agama atau

tidak, adalah pada saat muwarris meninggal, karena pada saat itulah hak

warisan itu mulai berlaku. Jadi misalnya ada seorang muslim meninggal

dunia, terdapat ahli waris anak laki-laki yang masih kafir, kemudian

seminggu setelah itu masuk Islam, meski harta warisan belum dibagi, anak

tersebut tidak berhak mewarisi harta peninggalan si mati, dan bukan pada saat

pembagian warisan yang dijadikan pedoman, demikian kesepakatan

mayoritas ulama.17

15

Salim Bahreisy dan Abdullah Bahreisy, 2005, Tarjamah Bulughul Maram, Surabaya: Balai

Pustaka, Hlm. 476. 16

Abul Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibnu Rusyd, 1409/1989, Bidayat al-

Mujtahid Wa Nihayat al-Muqtasid, Beirut: Dar al- Jiil, Hlm. 413-417 17

Saekan dan Erniati Effendi, 1997, Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam Indonesia,

Surabaya: Arkola, Hlm.36

12

Sering terjadi saat ini jika ahli waris beda agama banyak para hakim

menggunakan atau memutuskan dengan memberikan wasiat yang berupa

wasiat wajibah kepada ahli waris yang berbeda agama. Istilah wasiat itu

sendiri diambil dari washaitu-ushi ashi syai’a (aku menyambun sesuatu)

dalam syariat, wasiat adalah penghibahan benda, piutang, atau manfaat oleh

seseorang kepada orang lain dengan ketentuan bahwa orang yang diberi

wasiat memiliki hibah tersebut setelah kematian orang yang berwasiat.18

Sementara ini wasiat wajibah merupakan kebijakan penguasa yang

bersifat memaksa untuk memberikan wasiat kepada orang tertentu dalam

keadaan tertentu.19

Menurut suparman wasiat wajibah adalah wasiat yang

pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak bergantung kepada kemauan

atau kehendak si yang meninggal dunia. Wasiat tetap harus dilaksanakan baik

diucapkan atau tidak diucapkan baik dikehendaki atau tidak dikehendaki oleh

si yang meninggal dunia, jadi pelaksanaan wasiat tersebut tidak memerlukan

bukti bahwa wasiat tersebut diucapkan atau ditulis atau dikehendaki tetapi

pelaksanaannya didasarkan kepada alsan-alasan hukum yang membenarkan

bahwa wasiat tersebut harus dilaksanakan.20

Ketentuan wasiat wajibah diatas merupakan hasil ijtihad para ulama

dalam menafsirkan QS. Al-Baqarah: 180

كتب عليكم إذا حضر أحدكم الموت إن

ترك خيرا الوصية للوالدين والقربين بالمعروف

حقا على المتقين

18

Sayyud Sabiq,2008, Fiqih Sunnah, Jakarta: Pena Pundi Aksara Jilid 4, Hlm.523 19

Fatchur Rahman, 1979, Ilmu Waris, Jakarta: Bulan Bintang,Hlm.63 20

Suparman usman, yusuf somawinata, 2002, Fiqih Mawaris, Jakarta: Gaya Media Pratama,

Hlm.163

13

Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara

kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggal harta

banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan kerabatnya secara

ma’ruf (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang

bertaqwa (Q.S al-baqarah: 180)”.

Definisi secara formal mengenai wasiat wajibah dalam sistem

hukum Islam Indonesia tidak diatur secara jelas. bahkan dalam fiqh

merupakan fenomena yang masih terjadi perdebatan, maksudnya semua

fuqaha dalam ilmu fiqh mengakui adanya wasiat wajibah hanya beberapa saja

yang mengakui bahwa wasiat wajibah itu ada. Menurut sebagian ulama yang

berpendapat bahwa wasiat wajibah dalam Fiqh tidak ada dasar hukumnya.

Wasiat wajibah tersirat mengandung unsur-unsur yang dinyatakan dalam

Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam yaitu ““Subyek hukumnya adalah anak

angkat terhadap orangtua angkat atau sebaliknya, orang tua angkat terhadap

anak angkat. Tidak diberikan atau dinyatakan oleh pewaris kepada penerima

wasiat akan tetapi dilakukan oleh Negara”.

Wasiat wajibah diatur dalam Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam

timbul untuk penyelesaian permasalahan antara pewaris dengan anak

angkatnya sebaliknya anak angkat selaku pewaris dengan orangtua angkat.21

Dalam ilmu Figh Mawaris juga mendefinisikan dasr hukum wasiat wajibah

itu sendiri seperti bukunya Suparman yang mendefinisikan wasiat wajibah

yaitu sebagai wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak

bergantung kepada kemauan atau kehendak si yang meninggal dunia.22

21

Destri Budi Nuraheni dkk, 2010, Pengaturan dan Implementasi Wasiat Wajibah di Indonesia,

Mimbar Hukum Vol. 22 Nomor 2, Hlm. 132 22

Suparman, Op.Cit, Hlm.163

14

E. Metode Penelitian

Pembahasan dalam penelitian seperti dikemukakan penulis diatas,

maka dalam penyusunan skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian

sebagai berikut:

1. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam menganalisa dan

mengembangkan permasalahan dalam skripsi ini adalah metode

pendekatan yuridis normatif, yaitu metode yang dapat digunakan dalam

suatu penelitian yang menekankan pada ilmu hukum, tetapi di samping itu

juga berusaha menelaah kaidah-kaidah hukum yang berlaku dalam

masyarakat.23

Dalam hal ini penulis menggunakan cara dengan menguji

secara yuridis mengenai permasalahan yang diteliti dalam putusan Nomor:

2/Pdt. G/2011/PA.Kbj, yang dikaji dengan menggunakan Kompilasi

Hukum Islam, Al-Quran, As-Sunnah serta Hadist. Sehingga akan

mendapatkan gambaran yang jelas tentang masalah yang diteliti dalam

skripsi ini.

2. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian yang dipergunakan adalah deskriptif analitis.

Deskriptif Analitis ialah menggambarkan masalah yang kemudian

menganalisa permasalahan yang ada melalui data-data yang telah

dikumpulkan kemudian diolah serta disusun dengan berlandaskan kepada

23

Ronny Hanitijo Soemitro, 1990, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, Jakarta: Ghalia

Indonesia, hal. 160.

15

teori-teori dan konsep-konsep yang digunakan.24

Teori yang digunakan

dalam penelitian ini adalah dengan cara mengkaji peraturan yang terkait

dengan putusan Nomor: 2/Pdt. G/2011/PA. Kbj, peraturan tersebut seperti

Kompilasi Hukum Islam, Al-Qur’an, As-Sunnah (Hadist) dan pendapat

para ulama.

3. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dalam pembuatan skripsi ini dilakukan pada

Direktorat Putusan Mahkamah Agung.

4. Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data

Untuk penelitian ini diperlukan data primer dan data sekunder,

adapunjenis data dan metode pengumpulan data yang digunakan adalah

sebagai berikut:

a. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari

sumber data dilapangan. Data ini diperoleh dengan mengadakan

interview atau wawancara secara langsung dengan responden di lokasi

penelitian. Wawancara adalah proses tanya jawab dalam penelitian

yang berlangsung secara lisan dalam mana dua orang atau lebih

bertatap muka mendengarkan secara langsung informasi-informasi

atau keterangan-keterangan.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah datayang berupa bahan kepustakaan.

Pengumpulan data sekunder ini dilakukan dengan studi atau penelitian 24

Martin Steinman dan Gerald Willen, 1974, Metode Penulisan Skripsi dan Tesis, Bandung:

Angkasa, Hlm.97.

16

kepustakaan (Library Research), yaitu dengan mempelajari peraturan-

peraturan, dokumen-dokumen maupun buku-buku yang ada kaitannya

dengan masalah yang diteliti, dan doktrin atau pendapat para sarjana.

Data sekunder dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum

primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

1) Bahan hukum primer:

a) Al-Qur’an dan As-Sunnah

b) Hadist dan pendapat ulama

c) Instruksi Presiden No. 1 tahun 1990 tentang Kompilasi Hukum

Islam.

2) Bahan hukum sekunder:

1) Referensi, yaitu buku-buku perpustakaan yang berkaitan

dengan sengketa waris beda agama.

2) Tulisan atau artikel yang berkaitan dengan judul skripsi.

3) Bahan hukum tersier:

1) Kamus Besar Bahasa Indonesia;

2) Kamus Hukum.

5. Metode Pengolahan dan Penyajian Data

Data yang telah terkumpul melalui kegiatan pengumpulan data

belum memberikan arti apa-apa bagi tujuan penelitian. Penelitian belum

dapat ditarik kesimpulan bagi tujuan penelitiannya sebab data itu masih

merupakan bahan mentah, sehingga diperlukan usaha untuk mengolahnya.

Proses yang dilakukan adalah dengan memeriksa, meneliti data

yang diperoleh untuk menjamin apakah data dapat dipertanggung-

17

jawabkan sesuai dengan kenyataan. Setelah data diolah dan dirasa cukup

maka selanjutnya disajikan dalam bentuk uraian-uraian kaliamat yang

sistematis.

6. Metode Analisis Data

Metode analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif, yaitu

uraian data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun,

logis dan tidak tumpang tindih sehingga memudahkan implementasi data

dan pemahaman hasil analisis. Dalam hal ini setelah bahan dan data

diperoleh, maka selanjutnya diperiksa kembali bahan dan data yang telah

diterima terutama mengenai konsistensi jawaban dari keragaman bahan

dan data yang diterima. Dari bahan dan data tersebut selanjutnya dilakukan

analisis terhadap penerapan peraturan secara tertulis yang berkaitan

dengan sengketa waris beda agama.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini disajikan dalam 4 (empat) bab yaitu:

Bab I berisi Pendahuluan yang di dalamya menguraikan tentang latar

Belakang Masalah, Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah, Tujuan dan

Manfaat, Kerangka Pemikiran, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan.

Bab II berisi Tinjauan Pustaka yang di dalamnya menguraikan tentang

Tinjauan Umum Tentang Waris yang meliputiPengertian Hukum kewarisan,

Sumber Hukum Waris, Asas-asas Hukum Waris, Sebab dan Penghalang Waris

dan Macam-macam Ahli Waris dan Bagiannya. Kedua Tinjauan Umum

18

Tentang Wasiat meliputi Pengertian Wasiat, Sumber-sumber Wasiat, Asas

Wasiat dan yang Tiga Tinjauan Umum Tentang Wasiat Wajibah.

Bab III berisi Hasil Pelitian dan Pembahasan yang di dalamya

menguraikan tentang penyajian dan pembahasan data yang telah didapat dari

putusan Nomor 2/Pdt. G/2011/PA. Kbj yang dianalisis sesuai dengan

Al-Qur’an dan As-Sunah, Hadist, Pendapat para ulama serta Instruksi

Presiden No 1 Tahun 1990 Tentang Kompilasi Hukum Islam sehingga

terjawabnya bagaimana kedudukan ahli waris beda agama serta pertimbangan

hakim mengenai wasiat wajibah dalam perkara Nomor: 2/Pdt. G/2011/PA.

Kbj.

Bab IVberisi Penutup yang di dalamnya menguraikan tentang

kesimpulan umum yang didasarkan pada analisis data dan pembahasan

penelitian serta berbagai saran sesuai dengan permasalahan yang ditujukan

kepada pihak-pihak yang terkait dengan penelitian.