BAB I PENDAHULUAN A. Latar...

66
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Studi ini ingin melihat pelaksanaan pemerintahan lokal di Sumatera Barat yang latar belakang para pelaksana sistem pemerintahan lokal ini justru bukan berasal dari etnis Minangkabau. Pasca kembali ke sistem nagari di Sumatera Barat sejak diberlakukan UU No 22/1999, memunculkan fenomena baru, yakni berlangsungnya sistem pemerintahan nagari oleh kelompok orang pendatang yang bukan orang Minang. Artinya praktek pemerintahan Nagari tidak hanya mencakup etnis Minangkabau saja, melainkan sudah bersifat inter-etnis (antar etnis berbeda). Hal ini, terlihat dengan munculnya nagari-nagari yang beretnis Mandailing dan Jawa pada suatu daerah di Sumatera Barat bagian utara. Sehingga penelitian ini mempunyai suatu tujuan ingin menjawab seperti apa pelaksanaan dari kedua etnis tadi, dalam kerangka pemerintahan lokal di Sumatera Barat yakni pemerintahan Nagari. Pasca jatuhnya rezim penguasa Orde Baru pada tahun 1998, telah mengubah locus kekuasaan yang selama ini berada kuat di pusat menuju kearah kekuasaan yang berfokus pada konteks lokal. Localizing of power ini terlihat dengan menguatnya identitas-identitas lokal di seluruh Indonesia. Sebuah gerakkan yang kemunculannya hampir tidak diramalkan sebelumnya oleh para pengemat politik maupun pengamat sosial. Dalam konteks kedaerahan tertentu, kebangkitan identitas lokal ini digambarkan oleh Micheal Pichard (2005) tentang Bali, Lena Avonius (2004)

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar...

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68879/potongan/S2-2014... · dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Studi ini ingin melihat pelaksanaan pemerintahan lokal di Sumatera Barat yang

latar belakang para pelaksana sistem pemerintahan lokal ini justru bukan berasal dari

etnis Minangkabau. Pasca kembali ke sistem nagari di Sumatera Barat sejak

diberlakukan UU No 22/1999, memunculkan fenomena baru, yakni berlangsungnya

sistem pemerintahan nagari oleh kelompok orang pendatang yang bukan orang

Minang. Artinya praktek pemerintahan Nagari tidak hanya mencakup etnis

Minangkabau saja, melainkan sudah bersifat inter-etnis (antar etnis berbeda). Hal ini,

terlihat dengan munculnya nagari-nagari yang beretnis Mandailing dan Jawa pada

suatu daerah di Sumatera Barat bagian utara. Sehingga penelitian ini mempunyai

suatu tujuan ingin menjawab seperti apa pelaksanaan dari kedua etnis tadi, dalam

kerangka pemerintahan lokal di Sumatera Barat yakni pemerintahan Nagari.

Pasca jatuhnya rezim penguasa Orde Baru pada tahun 1998, telah mengubah

locus kekuasaan yang selama ini berada kuat di pusat menuju kearah kekuasaan yang

berfokus pada konteks lokal. Localizing of power ini terlihat dengan menguatnya

identitas-identitas lokal di seluruh Indonesia. Sebuah gerakkan yang kemunculannya

hampir tidak diramalkan sebelumnya oleh para pengemat politik maupun pengamat

sosial. Dalam konteks kedaerahan tertentu, kebangkitan identitas lokal ini

digambarkan oleh Micheal Pichard (2005) tentang Bali, Lena Avonius (2004)

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68879/potongan/S2-2014... · dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

2

tentang Lombok, Dick Roth (2002) tentang Sulawesi Selatan, serta Japp Timer

(2005) tentang Papua.

Selain itu, tuntutan lain yang dibawa oleh angin reformasi yang berhembus

adalah tuntutan perubahan dalam pengaturan pemerintahan daerah yang sentralistis

kearah pengaturan yang lebih desentralistis.1 Tuntutan ini melahirkan Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Pemerintah Pusat

melakukan desentralisasi kewenangan yang cukup luas dengan membuka kesempatan

kepada pemerintah daerah dan masyarakat lokal untuk mewujudkan otonomi daerah.2

Tuntutan yang menjadi kebangkitan identitas lokal seluruh daerah di Indoensia

tersebut, juga melanda Sumatera Barat. Perdebatan-perdebatan kembali kepada

identitas pemerintahan lokal nagari menjadi topik yang hangat diperbincangkan.

Jatuhnya rezim Orde Baru menjadi langkah awal untuk “memanggil pulang “sebuah

tradisi lama itu. Proses kembali kepada sistem pemerintahan nagari sebenarnya

mengalami perjalanan yang panjang. Pada tahun 1998 Gubernur Sumatera Barat

mengawali penelitian mengenai opini-opini dan sikap-sikap di daerah-daerah

pedesaan. Para peneliti, menyimpulkan bahwa mayoritas penduduk pedesaan lebih

Lahirnya undang-undang tersebut, semakin memperkuat kekuasaan ditingkat

lokal/daerah (localizing of power). Sebuah pengaturan pemerintahan daerah yang

lebih memberikan kebebasan pada rakyat di daerah untuk dapat mengurus rumah

tangga daerahnya sesuai dengan inisiatif, adat istiadat dan kebiasaan setempat.

1 AAGN. Ari Dwipayana, Dkk, Membangun Good Governance di Desa, IRE Press, Yogyakarta, 2003, hal. v 2 Tri Ratnawati. Potret Pemerintahan Di Indonesia. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006, hlm. 144

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68879/potongan/S2-2014... · dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

3

menyukai struktur nagari daripada struktur desa. Oleh karena itu, Gubernur

memutuskan pada tahun 1998 bahwa Sumatera Barat harus kembali ke struktur nagari

dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

Barat. Setelah diskusi-diskusi yang intensif di dalam dan di luar parlemen propinsi,

konsultasi-konsultasi dengan organisasi-organisasi adat dan islam, perantau

Minangkabau yang berpengaruh di Jakarta, serta diskusi-diskusi di koran-koran lokal,

maka Peraturan Daerah Provinsi No. 9 tahun 2000 tentang Pemerintahan nagari

menandakan Sumatera Barat sudah kembali kepada sistem pemerintahan lokal

Minangkabau.3

3 Lihat Franz dan Keebet von Benda-Beckman, Identitas-Identitas Ambivalen: desentralisasi dan Komunitas-Komunitas Politik Minangkabau, dalam Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken (Ed.), Politik lokal di Indonesia, KITLV-Jakarta, 2007 hlm. 550. “prospek kembali ke nagari menimbulkan diskusi-diskusi politik yang cukup bersemangat di seputar dua masalah terpisah yang seringkali dicampur adukkan. Isu yang pertama menyangkut basis teritorial bagi desa baru tersebut (nagari). Isu kedua menyangkut model organisasional nagari itu harus dikembalikan kepada; model prakolonial, Kolonial, Orde Lama, atau Orde Baru.

Bila melihat konteks masyarakat Sumatera Barat yang mayoritas didominasi

oleh suku Minangkabau, maka kesempatan yang telah diberikan dalam

penyelenggaraan pemerintahan daerah ini sudah tentu ditandai dengan pilihan agar

kembali kepada pemerintahan nagari, yang memang menjadi sistem pemerintahan

lokal suku mayoritas Sumatera Barat tersebut. Semakin menguatnya keidentitasan

orang Minangkabau untuk kembali kepada nagari, telah menciptakan penyeragaman

pemerintahan lokal yang bernama Nagari di seluruh Sumatera Barat. Dahulu di masa

Orde Baru penyeragaman terjadi terhadap seluruh daerah di Indoensia. Akan tetapi,

sekarang penyeragaman malah terjadi lagi, meski di tingkat lokal.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68879/potongan/S2-2014... · dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

4

Renske Biezeveld (2002) pernah mengatakan, bahwa ditengah keragaman

budaya dan etnis Indonesia yang luar biasa, Sumatera Barat sering dipandang sebagai

daerah yang relatif homogen dalam budaya dan adat. Mayoritas penduduk dalam

daerah ini berasal dari etnis Minangkabau, yang pada umumnya Islam dengan

identitas etnis yang kuat.4

Dari elaborasi berbagai sumber tentang jejak sejarah (historis) keberadaan dua

suku bangsa ini di Kab. Pasaman Barat. Sebenarnya daerah Pasaman Barat

merupakan daerah rantau bagi orang Minangkabau, karena orang minangkabau

dahulu kala membagi daerahnya menjadi Luhak (daerah asal, terbagi tiga yakni luhak

Agam, Luhak Tanah Datar dan Luhak Lima Puluh Kota) dan rantau.

Namun demikian, berbeda dengan pendapat Biezeveld

yang mengatakan Sumatera Barat sebagai daerah yang relatif homogen, ternyata

dalam pelaksanaan pemerintahan nagari di kabupaten Pasaman Barat sepertinya

berbeda dengan kabupaten lain di Sumatera Barat pasca kembali ke pemerintahan

Nagari. Hal ini, disebabkan oleh karena munculnya pemerintahan Nagari yang

berbeda Etnis di kabupaten Pasaman Barat. Kabupaten ini di diami oleh tiga suku

bangsa besar yakni, Minang, Mandailing, dan Jawa. Yang menarik, setiap suku ini

mempunyai pemerintahan nagari yakni; Nagari Ujung Gading yang mayoritas

suku/etnis Mandailing, dan Nagari Desa Baru yang mayoritas suku/etnis Jawa.

5

4 Lihat Renske Biezveld, Ragam Peran Adat di Sumatera Barat, Dalam Jamie S. Davidson, David Henley, dan Sandra Moniaga (Ed). Adat Dalam Politik Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2010 hlm. 222

Orang

5 Daerah Minangkabau sesungguhnya dapat dibagi dalam tiga lingkungan wilayah yaitu (1). Minangkabau Asli, yang oleh orang Minangkabau disebut dengan istilah (darek) yang terdiri dari tiga luhak yakni Luhak Agam, Tanah datar, dan Lima Puluh Koto, (2). Daerah Rantau, yang merupakan perluasan bentuk koloni dari setiap luhak tersebut diatas yaitu pertama rantau luhak Agam yang

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68879/potongan/S2-2014... · dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

5

Minangkabau yang datang ke Pasaman Barat berasal dari Luhak Agam. Ketika

perang Paderi meletus, Tuanku Imam Bonjol melakukan invansi ke tanah batak,

orang-orang batak yang masuk islam dibawa ke daerah Pasaman dan diberikan tanah

untuk hidup dan beraktivitas seperti berkebun serta bersawah, begitu awal mulanya

kedatangan orang Mandailing di Kab. Pasaman Barat dan terus bermigrasi ke daerah

ini seiring berjalannya waktu.

Adapun kedatangan suku jawa ke daerah ini bermula sejak tahu 1900-an, yang

pada mulanya merupakan buruh-buruh perkebunan Belanda, pasca Belanda pergi

tepatnya ketika tahun 1950-an disekitar daereh perkebunan tersebut dibangun

perkampungan orang-orang jawa ini. Ketika tahun 1960-an perkebunan diambil alih

oleh ABRI, sekitar 1970-an ABRI melepaskan perkebunan ini kepada pemerintah

daerah dengan syarat minimal 25 % pemilik perkebunan adalah purnawirawan ABRI

(notabene purnawirawan ABRI adalah dari suku jawa). Kedatangan selanjutnya

melalui transmigrasi dimasa pemerintahan Orde Baru.

Ketiga unsur ini, yakni suku Minangkabau, suku Mandailing, dan suku Jawa

memiliki pemahaman yang berbeda satu sama lain, seperti bentuk pemerintaan lokal.

Dalam budaya orang minangkabau sistem pemerintahan dikenal dengan nama Nagari.

Nagari adalah sebuah “republik kecil” yang mempunyai pemerintahan sendiri secara

meliputi pesisir barat Pariaman sampai Air Bangis (Pasaman Barat), dan Lubuk Sikaping. Kedua, luhak Lima puluh Koto yang meliputi Bangkinang , lembah Kampar Kiri, Kampar Kanan, Rokan Hulu, dan Rokan Hilir. Ketiga rantau Luhak Tanah Datar, meliputi Kubung tigo baleh, pesisir barat, Pesisir Selatan dari Padang sampai Indrapura, Kerinci dan Muara Labuh. Untuk lebih lanjut lihat Syarifudin, 1983:78-83.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68879/potongan/S2-2014... · dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

6

otonom dan berbasis pada masyarakat (self-governing community).6 Sebagai sebuah

“republik kecil”, nagari mempunyai perangkat pemerintahan demokratis, unsur

eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Nagari, secara antropologis, merupakan kesatuan

holistik bagi berbagai perangkat tatanan sosial-budaya.7

Dalam kebudayaan Mandailing tidak mengenal Nagari melainkan apa yang

disebut dengan Huta sebagai pemerintahan lokal, yaitu kesatuan masyarakat hukum

yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat

setempat berdasarkan asal usul yakni Dalihan Na tolu yang harus tetap selaras

dengan ketentuan dan hukum agama.

8

6 Sutoro Eko, Menggantang Asap ?. Yogyakarta. IRE. 2005. hlm. 20, “Nagari menyerupai sebuah the local state, tetapi ia mungkin tidak bisa dikatakan sebagai sebuah negara modern sebagai lemabaga yang mempunyai mnopoli penggunaan sarana-sarana kekerasan secara absah. Dengan kata lain, nagari bukanlah bentuk kecil organisasi kekuasaan yang tersusun secara hirearkhis-sentralistik. Selain itu, seorang sejarawan Mustika Zed, mengibaratkan nagari menyerupai “negara-kota” (polis) pada zaman Yunani Kuno, dimana setiap nagari bertindak seperti republik-republik kecil yang satu sama lain tidak mempunyai ikatan struktural dan terlepas dari kekuasaan federal di pusat. Nagari yang dipimpin secara kolektif oleh penghulu suku bersifat otonom dan tidak tunduk pada raja di Pagarayung, melainkan berbasis (mewakili) kaum (warga) dan keluarga dalam nagari itu sendiri. 7 Betty Sumarty, Revitalisasi Peran Ninik Mamak Dalam Pemerintahan Nagari. Yogyakarta. Jpp. hlm. 22 8 A.A Nasution. Pangamalan Budaya Dalihan Na Tolu dalam Pengelolaan Pemerintahan Daerah Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, dan Kota Padangsidempuan. Jakarta :Fortasman.2003. hlm.51

Setiap Huta, marga-marga yang ada

dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu Kahanggi, Anak Boru dan Mora. Para

tokoh masyarakat dari masing-masing marga yang tergabung dalam kelompok

Kahanggi, Anak Boru, dan Huta menentukan atau memilih pimpinan mereka yang

duduk dalam Dewan Huta atau sebagai Raja Pamusuk. Pembentukannya diusulkan

oleh Camat kepada Bupati untuk selanjutnya diusulkan kepada DPRD Kabupaten.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68879/potongan/S2-2014... · dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

7

Sedangkan dalam masyarakat Jawa lebih mengenal sistem pemerintahan desa.

Desa berbasis pada konteks self-governming community yang memiliki sederet

pranata lokal, identitas, kultur, dan organisasi lokal yang unik. Desa bersifat

tradisional dan komunitarian, tetapi village governance senantiasa mengedepankan

kemandirian, keteraturan, keseimbangan hubungan sosial dan alam, keberlanjutan,

kebersamaan, kesetaraan dan keadilan.9 Desa dipahami sebagai suatu daerah kesatuan

hukum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat yang memiliki wewenang

mengadakan pemerintahan sendiri.10

Problematika yang muncul dengan adanya nagari-nagari non Minangkabau

tersebut, Pertama adalah syarat untuk mendirikan nagari yang salah satu syarat

nampaknya sulit dipenuhi oleh kedua unsur etnis non-Minangkabau ini yakni harus

adanya Tanah Ulayat.

11

9 Sutoro Eko (Ed). Prakarsa Desentralisasi dan Otonomi Desa. Yogyakarta. IRE Press. 2006. “Desa penuh dengan nuansa yang berubah-rubah menurut irama sejarah. Selama kejayaan masa Nusantara yakni pada Abad ke-14 dibawah pemerintahan Majapahit, pada awal abad ke-17 dan akhir abad ke-18 dibawah Mataram, setelah pertengahan abad ke-19 di bawah pemerintahan Hindia-Belanda, dan sejak tahun 1970 dibawah Orde Baru yang menyamaratakan seluruh sistem pemerintahan terendah seperti desa dijawa melalui UU No.5/1979 tentang desa. 10 Suhartono. Parlemen Desa “Dinamika DPR Kelurahan dan DPRK Gotong Royong”. Yogyakarta. Lapera Pustaka Utama. 2000. Hlm. 13. “penyebutan desa memang terasa lebih akrab ditelinga suku Jawa. Menurut Soetardj Kartohadikusumo, perkataan (arti kata) desa, aslinya dari perkataan Sankskrit (sansekerta), yang artinya tanah air, tanah asal, tanah kelahiran. Perkataan desa hanya dipakai di Jawa, Madura , dan Bali”.

Kedua, Warna-warni ke dua etnis yang coba saling

11 Persyaratan untuk mendirikan Nagari adalah: 1). Babalai bamusajik (mempunyai balai dan mesjid), artinya mempunyai sebuah balairung, yang dijadikan tempat pemerintahan nagari, baik di bidang eksekutif, legislatif, dan yudikatif, 2). Basuku banagari (mempunyai suku dan nagari), artinya setiap penduduk nagari terbagi dalam kelompok masyarakat yang bernama suku (minimal harus ada empat suku). Banagari maksudnya adalah setiap penduduk harus jelas asal dan usulnya, baik suku dan nagarinya, sehingga dapat diketahui warga pendatang yang hendak menetap. Penentuan asal usul ini sangat penting artinya bagi nagari, terutama dalam penentuan hak dan kewajibannya sebagai penduduk nagari tersebut, 3). Bakorong bakampuang (mempunyai tempat/wilayah/kampung), maksudnya setiap nagari harus mempunyai wilayah kediaman, baik lingkaran pusat dengan batas-batas tertentu secara alamiah maupun lingkaran perkampungan sebagai satelit (hinterland), 4). Bahuma babendang

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68879/potongan/S2-2014... · dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

8

dikontraskan. Warna keMinangkabauan orang Sumatera Barat adalah selalu

mengklaim dirinya sebagai pelopor terdepan demokrasi (Mochtar Naim, 2006),

berbeda dengan konsep dalam etnis Jawa yang lebih hirearki dan terpusat. Struktur

niniak mamak di Sumatera Barat adalah berada pada pucuk pimpinan “Tigo Tungku

Sajarangan”, dan apakah bisa dikontraskan dengan “Dalihan Na Tolu” yang ada

dalam budaya orang Mandailing. Melihat hal tersebut, bagaimana etnis Mandailing

dan Jawa mampu membangun kelembagaan institusi nagari, padahal mereka tidak

mempunyai gelar-gelar datuk atau penghulu yang ada dalam budaya orang

Minangkabau, dan sekaligus hal terpenting dalam adanya pemerintahan Nagari.

Ketiga, terkait dengan kelenturan budaya, dalam hal ini Institusi lokal yang dimiliki.

ketika UU No. 5/1979 tentang Desa, semua daerah di Indonesia dapat menerima

adanya Desa. meskipun, diawal kemunculannya menimbulkan gerakan-gerakan

perlawanan dari lokal. Namun seiring berjalannya waktu, ternyata konsep Desa

mudah berbaur dengan kehidupan masyarakat lokal di berbagai daerah di Indonesia.

Ketika itu, di Sumatera Barat bisa dikatakan ada dua Institusi lokal yakni; institusi

formal bernama Desa, dan institusi informal bernama nagari (untuk tetap

(berhuma), maksudnya adalah pengaturan keamanan terhadap gangguan yang datang dari luar serta pengaturan informasi resmi tentang berbagai hal, seperti musim turun kesawah, gotong royong, dan lain-lain, 5). Balabuah batapian, maksudnya adalah mempunyai pengaturan perhubungan lalu lintas dan perdagangan, 6). Basawah baladang (mempunyai sawah dan ladang), maksudnya adalah pengaturan sistem usaha pertanian serta harta benda yang menjadi sumber kehidupan dan hukum pewarisan, 7). Bahalaman bapamedanan (mempunyai halaman dan gelanggang), maksudnya adalah berupa pengaturan rukun tetangga, pesta perkawinan, dan permainan, 8). Bapandan bapusaro (mempunyai tempat pemakaman), maksudnya adalah mempunyai tempat pemakaman serta pengaturan acara penyelenggaraan anak nagari yang meninggal dunia.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68879/potongan/S2-2014... · dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

9

mempertahankan budaya orang Minang). Dalam konteks penelitian ini, apakah

konsep Nagari itu cukup lentur untuk menerima etnis lain yang menjalankannya, atau

mungkin saja etnis mandailing dan Jawa menciptakan institusi informalnya

disamping institusi formal bernama Nagari.

Sehingga Hipotesis yang coba dibangun oleh penelitian ini dari problematika

diatas adalah; efektifkah penyelenggaraan pemerintahan Nagari yang bukan

dijalankan oleh etnis Non-Minangkabau ini ? Atau apakah perbenturan antara budaya

orang Minangkabau dengan budaya orang Mandailing dan Jawa akan menciptakan

konstruksi institusi baru atau sekedar hybrid Institution ?

B. Rumusan Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, rumusan masalah yang menjadi

pertanyaan kunci dalam penelitian ini adalah Bagaimana varian pemerintahan lokal

pada wilayah-wilayah Nagari bersuku Non Minangkabau seperti Mandailing dan

Jawa di Kabupaten Pasaman Barat?. Dari pertanyaan utama tersebut terdapat tiga

pertanyaan turunan :

1. Bagaimana etnis Mandailing dan Jawa mengakomodasi sistem pemerintahan

Nagari sehingga menciptakan varian pemerintahan nagari ?

2. Bagaimana model kelembagaan Nagari di wilayah Pemerintahan Nagari etnis

Mandailing dan Jawa?

3. Bagaimana model akulturasi budaya di wilayah Pemerintahan Nagari etnis

Mandailing dan Jawa ?

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68879/potongan/S2-2014... · dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

10

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini ingin melihat bagaimana varian dari pelaksanaan pemerintahan

lokal di pemerintahan nagari yang penduduknya berbeda suku bangsa yakni suku

Mandailing dan Jawa. Penelitian ini mencoba membangun argumentasi bahwasanya;

pertama, suku minang, serta dua suku bangsa yang bukan mengenal sistem nagari

yakni Mandahiling dan Jawa, mencoba untuk mengakomodir budaya-budaya mereka

dalam sistem pemerintahan nagari. kedua akan terciptanya corak atau model

pemerintahan lokal yang berbeda dari dua pemerintahan nagari berbeda suku tersebut.

D. Penelitian Terdahulu Yang Relevan

Penelitian tentang Nagari pernah dilakukan oleh Nurus Salihin Jamra pada

tahun 200312

12 Nasrudin Nurus. Tesis Jurusan Sosiologi UGM, 2003.

. penelitian ini menceritakan tentang ketidakberpihakan sistem politik

nasional terhadap demokrasi lokal dimana pemerintah Orde Baru melakukan proses

negaranisasi dalam kehidupan rakyat. Orde Baru mengembangkan pengorganisasian

sosial politik secara korporatif. Proses negarisasi dilakukan lewat proses penaklukan

dan pensubordinasian organisasi masyarakat, salah satunya dengan mengembangkan

skema sentralistik dan uniformistik terhadap sistem pemerintahan lokal nagari di

Sumatera Barat. Paradigma korporatif sentralistik dan uniformistik ini membuat

negara tampil menjadi aktor penting dalam berbagai kebijakan dan pengambil

keputusan mulai dari skala nasional sampai pada tingkat lokal, lebih dari itu juga

terjadi perubahan filosofi kehidupan masyarakat minangkabau, supralokal, tradisi

musyawarah dan mufakat yang terlembaga melalui institusi nilai-nilai tradisional

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68879/potongan/S2-2014... · dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

11

seperti semangat pluralitas dan heteregonitas diganti dengan semangat sentralistik dan

homogenitas, nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi kesamaan spirit kebebasan

mengurus diri sendiri atau otonomi beralih menjadi sikap ketergantungan yang kuat

pada kekuasaan nagari kemudian dipasangkan dalam barak-barak birokrasi desa.

Hasil dari proses negaranisasi oleh rezim orde baru membuat negara semakin

memperkokoh eksistensi dirinya terhadap nagari di Minangkabau. Dominasi negara

dalam kehidupan sosial budaya, ekonomi dan politik membuat rakyat tidak berdaya

dalam cengkraman negara. Negara tampil menjadi aktor yang dinamikanya paling

dominan terhadap rakyat. Negara memegang monopoli dan otoritas dalam

mendefenisikan kata “rakyat” dan mengoperasikan kedalam aksi untuk terhadap

rakyat dalam konteks ini, negara telah menciptakan suatu sistem yang bercorak

otoriter, dominatif, represif, dan hegemoni.

Sutoro Eko juga pernah melakukan penelitian tentang Desentralisasi dan

demokrasi lokal di Sumatera Barat, dimana penelitian ini menceritakan tentang

wacana dan gerakan kembali ke nagari telah membangkitkan minat baru bagi riset

dan advokasi terhadap masyarakat adat, yang mempunyai relevansi langsung dengan

agenda global demokratisasi dan desentralisasi. Wacana kembali ke nagari juga

punya kontribusi terhadap agennda desentralisasi dan demokrasi lokal yang lebih

manusiawi dan berbasis pada keragaman (pluralisme), ketimbang model

pemerintahan masa lalu yang lebih mengutamakan keseragaman. Ketika nagari sudah

masuk ke dalam formasi besar negara-bangsa Indonesia, maka konsep subsidiarity

sangat penting untuk memaknai ulang keberadaan nagari. Nagari sekarang berbeda

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68879/potongan/S2-2014... · dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

12

dengan nagari dulu. Nagari dulu sangat otonom, mempunyai self-governing

community bagaikan republik kecil yang terbebas dari kekuasaan pusat. Nagari

sekarang tidak sepenuhnya otonom dari struktur negara. Struktur negara yang hirarkis

(dari pemerintah pusat, Propinsi Sumatera Barat dan kabupaten) telah melakukan

desentralisasi kekuasaan, kewenangan dan sumber daya pada nagari. Dengan kalimat

lain, otonomi nagari sekarang adalah lebih kepada “pemberian” negara. Karena itu,

untuk membangkitkan semangat “republik kecil”, konsep subsidiarity adalah

jawabannya. Sebagai sebuah prinsip politik, subsidiarity bukan sekedar berbicara

tentang pembagian kewenangan ke unit pemerintahan yang lebih rendah, melainkan

berbicara tentang pengambilan keputusan dan penggunaan kewenangan secara

mandiri oleh unit pemerintahan atau komunitas yang paling rendah.

Ampera Salim (2002) dalam Rekonstruksi Sistem Pemerintahan Nagari di

Tinjau dari Sudut Kelembagaan (studi Kasus Nagari Padang Magek, Tanah Datar,

Sumatera Barat), Nagari sejak awal merupakan suatu kesatuan masyarakat otonom,

atau republik kecil dengan teritorian yang jelas bagi masyarakatnya. Nagari

merupakan daerah dalam lingkungan konfederasi pemerintah Minangkabau dan

berhak mengurus diri sendiri. Dari sisi lain, dapat dilihat bahwa lembaga nagari yang

berfungsi sebagai lembaga adat dan pemerintah, saling terkait, jalan menjalin, dan

merupakan kesatuan yang integral.

Dalam penelitian ini, terbukti bahwa pergeseran fungsi dan perubahan lembaga

pemerintahan nagari, mulai terjadi sejak zaman penjajahan Belanda. Sebelum

Belanda masuk ke Minangkabau, nagari merupakan sebuah Republik kecil. Dimana

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68879/potongan/S2-2014... · dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

13

yang menjadi pemerintahannya adalah ninik mamak urang ampek jinih (penghulu,

manti, mualim, dan dubalang) selaku pejabat legislatif/yudikatif. Sedangkan

pimpinan eksekutif dijabat oleh seorang kepalo nagari yang diseleksi oleh ninik

mamak kemudian dipilh oleh rakyat secara demokratis.

Puncak hancurnya tataran kelembagaan negara adalah sejak berlakunya UU No.

5/1979, terhitung tanggal 1 Agustus 1983, Pemda Sumatera Barat menetapkan jorong

sebagai unit pemerintahan terendah (Surat keputusan Gubernur Sumatera Barat No.

162/GSB-/1983), jumlah unit pemerintahan terendah berubah dari 543 nagari menjadi

3.133 desa, dan 406 kelurahan. Sejak itulah pemerintahan nagari lenyap dan

masyarakatnya pun jadi terpecah-pecah.

Selain itu masih ada Suryanef dan Al Rafni (2005) dalam Kembali ke Nagari:

Kembali ke Identitas dan Demokrasi Lokal?. Kembali ke identitas dan demokrasi

lokal senyatanya tidak sebatas angan untuk mengulang cerita indah romantisme masa

lalu. Namun berpijak pada kesadaran logis dalam merekonstruksikan kembali nagari

yang sesuai dengan semangat modernitas, globalisasi, dan demokratisasi. Oleh karena

itu perlu sebuah kewajiban dan tanggungjawab moral untuk terus memperjuangkan

sekaligus mentransformasi nilai demokrasi dalam struktur dan sistem nilai

masyarakat lokal seperti Nagari.

Menurut penelitian ini, perlu strategi untuk pembaruan nagari yang berbasis

demokrasi lokal. Pertama, harus ada pemberian kewenangan yang jelas terhadap

Nagari. Kedua, harus ada kelembagaan yang kuat baik pada aras masyarakat maupun

lembaga formal. Dalam hal ini adalah pengaturan kelembagaan nagari di dalam

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68879/potongan/S2-2014... · dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

14

organisasi nagari baru, yaitu Wali Nagari, Bamus, dan KAN. Ketiga, harus ada

partisipasi dari masyarakat nagari. keempat, harus ditunjang oleh sumber daya

material dan sumber daya manusia yang handal. Dan terakhir, harus ada

pertanggungjawaban yang transparan (accountability) dari pemegang jabatan publik.

Penelitian lain tentang pemerintahan Nagari adalah Rita Gani (2006), temuan

penting dari penelitian ini adalah bagaimana pola komuniakasi elit-elit pemerintahan

Nagari. Elite yang coba dilihat elit pemerintahan taradisional nagari yakni apa yang

dinamakan dengan tigo tungku sajarangan. Elit-elit yang masuk dalam tigo tungku

sajarangan adalah Niniak mamak, alim ulama dan cadiak pandai. Rita mencoba

memperoleh pemahaman tentang model hubungan/relasi komunikasi kelompok yang

berlaku diantara hubungan antara kalangan Ninik Mamak dengan kalangan cerdik

pandai dan alim ulama.

Tulisan Dasman Lanin (2006) tentang “Konservasi Nilai Kultural Adat

Minangkabau Melalui Kebijakan Otonomi Nagari”, ia mencoba melihat perlunya

konservasi nilai adat terhadap pemerintahan nagari di era reformasi ini pasca kembali

kenagari. Selama ini nagari telah tercerabut oleh intervensi kebijakan pusat melalui

pemerintahan desa sehingga sangat diperlukan segara menata pemerintahan nagari

yang berdasarkan nilai-nilai asli Minangkabau. Untuk mengarah kepada penataan

tersebut, Nagari-nagari yang ada di Sumatera Barat diperlukan untuk menyiapkan

sumber daya manusianya untuk dapat melakukan konservasi nilai adat dalam

pelakasanaan pemerintahan nagari.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68879/potongan/S2-2014... · dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

15

Penelitian yang pengambilan sampelnya dengan mengkomparasikan tiga sistem

pemerintahan nagari pernah dilakukan dengan lokus Kab. Pesisir Selatan. hampir

serupa dengan penelitian ini, tetapi masih dalam satu jenis etnis yakni etnis

Minangkabau, sangat berbeda sekali dengan tulisan ini yang mencoba

membandingkan dua sistem pemerintahan lokal nagari yang berbeda etnis. Penelitian

ini dilakukan oleh Zefnihan, dalam thesisnya di Universitas Indonesia yang berjudul

“Hubungan Sistem Pemerintahan Dengan Partisipasi Masyarakat: suatu tinjauan

tentang sistem pemerintahan pada tiga nagari di Kab. Pesisir Selatan”. Temuan

penting dari Penelitian tersebut, yakni melacak sistem pemerintahan nagari semenjak

asal usul nagari sampai keterlibatan pemerintah dalam mengaturnya, serta hubungan

pemerintahan nagari dengan partisipasi masyarakat dan faktor-faktor yang

mempengaruhi bentuk partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan

nagari. Penelitian tersebut melihat keikutsertaan atau berpartisipasinya masyarakat

dalam pemerintahan nagari dimasa kolonial disebabkan oleh keterpaksaan. Dimasa

orde baru pasca UU No. 5 tahun 1979 menyatakan berpartisipasinya masyarakat

disebabkan oleh pengharapan terhadap imbalan.

Penelitian lain yang mencoba mengkomparasikan tiga nagari adalah thesis

Tengku Rika Valentina dengan judul “Demokratisasi Lokal Tiga Nagari di

Kabupaten Solok” (2009). Penelitian ini melihat bagaimana bentuk demokratisasi

lokal di tiga nagari yang berbeda di kabupaten solok. Temuan penting dari penelitian

ini adalah bagaimana perbandingan antara demokrasi minimalis versus demokrasi

maksimalis. Beda penelitian ini dengan tulisan ini adalah tetap pada etnisitas yang

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68879/potongan/S2-2014... · dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

16

diteliti masih dalam etnisitas yang homogen bukan heterogen. Perbedaan lain dengan

penelitian ini, terletak pada titik masuk Tengku Rika Valentina yakni, pada konsep

kelarasan orang Minangkabau yakni kelarasan Koto-Piliang dan kelarasan Bodi-

Chaniago untuk melihat pelaksanaan pemerintahan nagari di Kabupaten Solok.

Sedangkan titik masuk penelitian ini berada pada etnis Mandailing dan Etnis jawa

untuk memberikan pelabelan tersendiri pada varian pemerintahan nagarinya.

Penelitian lain mengenai sistem pemerintahan lokal di tempat lain seperti,

Harry Truman (2007) mengenai Demokrasi Lokal (studi kasus praktek demokrasi

dalam sistem pemerintahan marga pada eks marga Mulak Ulu, Kabupaten Lahat,

Sumatera Selatan). Penelitian ini melihat bagaimana praktek demokrasi yang berjalan

dalam sistem pemerintahan marga. Untuk melacak praktek demokrasi dalam

pemerintahan marga, Harry menyoroti tiga hal terpenting yaitu rekruitmen pemimpin,

pengelolaan sumber daya bersama, dan pengelolaan konflik.

Penelitian tersebut menemukan bahwa, demokrasi yang berkembang dalam

sistem pemerintahan marga adalah demokrasi komunitarian. Dimana demokrasi yang

berjalan dalam pemerintahan marga menekankan nilai kesetaraan, harmoni relasi

sosial, solidaritas sosial dengan basis kolektifitas telah mampu bekerja untuk

menjamin distribusi sumber daya tersebar secara merata untuk kesejahteraan

masyarakat di tingkat marga. Atau dengan kata lain demkorasi dalam pemerintahan

marga telah menjamin sumber daya kekuasaan baik itu politik, ekonomi, sosial

budaya telah didistribusikan secara merata kepada masyarakat marga.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68879/potongan/S2-2014... · dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

17

Pertama, rekruitmen pemimpin ditingkat marga, dalam pemerintahan marga

dipilih secara langsung oleh masyarakat marga, namun pemimpin mereka dipilih dari

mereka yang masih memiliki keturunan dengan nenek moyang mereka. Kedua,

pengelolaan sumber daya bersama, pemerintah marga memiliki kuasa penuh terhadap

pengaturan kepemilikan tanah ditingkat marga, mana tanah yang boleh digarap dan

mana tanah yang tidak boleh digarap. Ketiga, pengelolaan konflik ikatan kekerabatan

yang dibangun dalam masyarakat marga telah menjamin komunitas dua arah antar

masyarakat marga maupun dengan komunitas lain dalam pengelolaan konflik.

Mekanisme-mekanisme penyelesaian konflik ini dibangun berdasarkan dialog dan

musyawarah.

Penelitian ini juga dipandang ada kaitan dengan multikulturalisme, sehingga

ada baiknya kita juga membahas beberapa penelitian yang pernah dilakukan dalam

melihat keragaman etnisitas. Pertma, Taufiq Tanasaldy (2007), dalam Politik

Identitas Etnis di Kalimantan Barat. Penelitian ini menunjukkan warna etnis sangat

mencolok pada politik lokal di Kalimantan Barat, sejak berakhirnya Orde Baru.

Sepanjang sejarah Kalimantan Barat pasca kemerdekaan, kecuali selama Orde Baru,

politik etnis identik dengan politik elit Dayak. Orang Dayak adalah satu-satunya

segmen masyarakat Kalimantan Barat yang sering terlibat menggunakan sentimen

etnis. Setelah tahun 1999 dinamika politik diantara orang Dayak berubah. Mereka

kehilangan pengaruh karena posisi-posisi kunci, khususnya kedudukan bupati,

sekarang secara institusional telah dibagi diantara Melayu dan Dayak.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68879/potongan/S2-2014... · dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

18

Identitas etnis akan terus memainkan peranan penting dalam politik Kalimantan

Barat, tetapi dengan cara-cara yang lebih damai. Catatan, sejak tahun 1999

menunjukkan bahwa politisasi etnis yang tinggi antara orang Dayak dan Melayu tidak

berakibat pada konflik etnis diantara mereka. Politik etnis yang sekarang dimainkan

secara sadar oleh baik orang Dayak maupun Melayu tidak hanya berhasil mencegah

kekerasan etnis lebih jauh, tetapi juga menjadi bagian dari proses pembelajaran sipil

dan demokrasi di Kalimantan Barat.

Selanjutnya ada, Amalinda Savirani (2003), dalam Multikulturalisme Dalam

Politik Lokal Di Hongaria. Tulisan ini memaparkan mengenai upaya

institusionalisasi gagasan dalam upaya multikulturalisme. Sejauh ini, tawaran yang

disediakan kalangan filsuf demokrasi liberal terhadap eksistensi kelompok etnis-

kultural adalah melalui gagasan integrasi atau asimilasi ke dalam kelompok mayoritas

yang dominan. Yang terjadi di Eropa Timur memperlihatkan keterbatasan perangkat

teoritik yang tersedia saat ini. kondisi kontemporer di kawasan ini sulit dipecahkan

dengan policy asimilasi atau integrasi, yakni pertama, negara-negara di kawasan ini

tidak pernah mengalami kolonialisme. Sentimen yang dimiliki negara baru merdeka

yang merekatkan upaya-upaya apapun yang diambil setelah kemerdekaan. Kedua,

konfigurasi etnisitas mengakar kuat dalam sejarah kawasan ini. meski generasi baru

telah lahir, dengan karakteristik trans-etnis yang kuat, sentimen etnisitas tidak pernah

padam. Apalagi dalam perkembangannya setting ekonomi di setiap negara

menyuburkan sentimen yang sudah ada, yakni kalangan minoritas yang menguasai

sumber material dibandingkan dengan mayoritas yang biasanya lebih tak beruntung.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68879/potongan/S2-2014... · dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

19

Dalam kondisi saat ini, gagasan multikulturalisme sesungguhnya merupakan

salah satu dari sekian banyak alternatif pemikiran dalam mengelola keberagaman.

Dari pandangan ini dapat dilihat bahwa karakteristik hubungan antar etnis dikawasan

eropa Tengah dan Timur berbeda sekali dengan kondisi di Indonesia. Upaya

pengakuan terhadap eksistensi minoritas lewat ide multikulturalisme pertama-tama

menyangkut hak menggunakan bahasa ibu bagi masing-masing kelompok.

Kedua,upaya institusionalisasi ide multikulturalisme ini tidak mudah. Di samping

kebutuhan perangkat hukum dan infrastruktur pengaturan teknis yang amat rumit, ide

ini memiliki nilai politis yang sangat kuat yakni sebagai syarat bagi integrasi.

Terakhir, tulisan Myrna Eindhoven (2007), dalam Penjajah Baru? Identitas,

Representasi, dan Pemerintahan di Kepulauan Mentawai Pasca-Orde Baru.

penelitian ini melihat Proses desentralisasi di Indonesia telah mengarah pada suatu

pergeseran penting dalam politik lokal, dan hubungan-hubungan kekuasaan di

Kepulauan Mentawai. Akibat pergeseran itu orang-orang mentawai sudah bisa

membebaskan diri dari apa yang mereka pandang sebagai penindasan kultural dan

penjajahan politis oleh Minangkabau daratan. meski pemerintah daerah telah dikuasai

oleh para elite lokal, tetapi tidak secara merata mewakili semua tingkatan

masyarakat. dalam hal ini, para politikus lokal rupanya telah tergelincir kembali ke

retorika Orde Baru sehubungan dengan ‘masyarakat terasing’, dianggap sebagai

sebagai langkah mundur dalam pemberdayaan komunitas-komunitas lokal. Hal ini,

sangat menggelisahkan dan mengherankan untuk melihat betapa mudahnya elite

politik lokal baru bisa membuang ide-ide lama mereka beserta dengan retorika

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68879/potongan/S2-2014... · dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

20

tentang hak menentukan nasib sendiri, dimasa lampau tidak bisa mereka dapatkan,

khususnya dimasa Orde Baru.

Sedangkan penelitian mengenai benturan interaksi dua budaya yang berbeda,

dapat kita jumpai dalam tulisan Ummu Harizhah (2007) mengenai Pola Interaksi

Masyarakat Keturanan Arab Dengan Penduduk Lokal di Desa Gapura Sukolilo

Gresik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat bermacam faktor yang

mempengaruhi pembauran di Desa Gapura Sukolilo, baik yang bersumber dari

golongan etnis Arab maupun yang berasal dari penduduk pribumi. Faktor-faktor yang

mendukung terhadap proses integrasi adalah perkawinan campuran dan kerjasama

ekonomi. Faktor-faktor yang menghambat diantaranya adalah prejudice (prasangka)

dan Streteotype (Streteotipe). Selain itu, terdapat faktor pengikat, yang dapat

meminimalisir terjadinya konflik yaitu persamaan agama, rasa saling membutuhkan,

dan persaudaraan. Dampak-dampak dari pembauran terhadap komunitas Arab Gresik

tampak pada kebudayaan lahir mereka seperti ritual (ritual hari besar islam), tradisi

(makanan, bangunan, bahasa, kesenian, dan pengobatan), nilai (pendidikan dan posisi

wanita), dan simbol (mushola/masjid dan pakaian), yang tidak lagi khas Arab

Hadramout, melainkan perpaduan Arab Hadramout dan Jawa. Meskipun demikian,

mereka masih mempraktekan beberapa kebudayaan dasar seperti tafa’ah dalam

perkawinan dan sistem kekerabatan serta pertemuan. Selain itu, komunitas Arab

Gresik juga membawa pengaruh bagi masyarakat pribumi, yaitu terhadap kebudayaan

fisik (bahasa, pakaian, dan kesenian), dan kehidupan keagamaan (tarekat, peringatan

maulid dan haul).

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68879/potongan/S2-2014... · dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

21

Selain itu, ada penelitian Dahwan (2003) dengan judul Huakiau Masuk Surau

(Studi Tentang Pengaruh Tingkat Keberagaman Pedagang Etnis Tionghoa Warga

PITI terhadap integrasi sosial dengan pedagang pribumi di Daerah Istimewa

Yogyakarta). Penelitian ini menunjukkan, bahwa perbedaan tingkat keberagaman

tidak berpengaruh terhadap integrasi sosial. Demikian pula perbedaan tingkat

persepsi, tidak berpengaruh terhadap tingkat integrasi sosial. Dilihat hubungan antara

tingkat keberagaman persepsi, hasil analisisnya menunjukkan bahwa perbedaan

tingkat keberagaman juga tidak berpengaruh terhadap tingkat persepsi dan integrasi

sosial tidak ada hubungan fungsional. Hal ini, diduga karena kuatnya solidaritas

keluarga diantara mereka, sebagai budaya yang dievaluasi dari leluhurnya.

Tabel 1.1 Perbandingan Penelitian Terdahulu Pasca Kembali Ke Nagari

No Peneliti Judul Metode Keterangan 1 Nurus Salihin

Djamra Demokrasi Lokal Dibawah Bayang-Bayang Negara

Kualitatif Berfokus pada marginalisasi yang telah dilakukan Orde Baru terhadap Nagari

2 Sutoro Eko Menggantang Asap, Kritik dan Refleksi Atas Gerakkan Kembali Ke Nagari

Kualitatif/ dengan

pendekatan Participatory

action research

Melihat bagaimana proses kembali ke nagari menuai perdebatan, karena nagari yang dibangun tidak bisa utuh seperti dulu kala sebelum marginalisasi orde baru. Sutoro eko manawarkan konsep subsidiarity sebagai jawabannya

3 Ampera Salim

Rekonstruksi Sistem Pemerintahan Nagari di Tinjau dari Sudut Kelembagaan (studi

Kualitatif Penelitian ini menggambarkan bagaimana pergeseran tatanan struktur dan tata

Page 22: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68879/potongan/S2-2014... · dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

22

Kasus Nagari Padang Magek, Tanah Datar, Sumatera Barat)

kelola pemerintahan nagari, yang dimulai dimasa Belanda sampai terpecah-pecah oleh Desanisai Orde Baru. Oleh karena itu, pasca Orde Baru perlu untuk merekonstruksi pemerintahan Nagari di Sumatera Barat

4 Suryanef dan Al Rafni

Kembali ke Nagari: Kembali ke Identitas dan Demokrasi Lokal?

Kualitatif Paca kembali ke Nagari perlu pembaruan terhadap pemerintahan Nagari yang sekarang dengan mempertimbangkan semangat modernitas, globalisasi, dan demokratisasi

5 Dasman Lanin

Konservasi Nilai Kultural Adat Minangkabau Melalui Kebijakan Otonomi Nagari

Kualitatif Pasca kembali ke nagari perlu untuk menata dan memasukkan kembali nilai-nilai Minangkabau kedalam Nagari versi baru

6 Zefnihan Hubungan Sistem Pemerintahan Dengan Partisipasi Masyarakat: suatu tinjauan tentang sistem pemerintahan pada tiga nagari di Kab. Pesisir Selatan

Kualitatif Penelitian ini melacak tingkat partisipasi masyarakat dengan mengkomparasikan tiga pemerintahan nagari, namun pemilihan tiga nagari tersebut masih dalam satu etnis yang homogen, yakni Minangkabau

7 Tengku Rika Valentina

Demokratisasi Lokal Tiga Nagari di Kabupaten Solok

Kualitatif Titik masuk dari penelitian ini dalam melihat demokrasi lokal pada nagari berdasarkan kelarasan masing-masing nagari yakni kelarasan Koto-Piliang,

Page 23: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68879/potongan/S2-2014... · dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

23

dan Kelarasan Bodi-Chaniago sebagai suku asal orang minangkabau, selain itu penelitian ini mengkomparasikan tiga nagari yang masih dalam etnis yang homogen Minangkabau, yakni Nagari jawi-jawi, Nagari Batang Barus,dan Nagari Guguak

8 Harry Truman

Demokrasi Lokal (studi kasus praktek demokrasi dalam sistem pemerintahan marga pada eks marga Mulak Ulu, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan)

Kualitatif Setelah jatuhnya Orde Baru, Sumatera Selatan kembali kepada sistem pemerintahan Marga, penelitian ini melihat demokrasi komunitarian marga dengan meyoroti tiga aspek yakni, rekruitmen pemimpin, pengelolaan sumber daya bersama, dan pengelolaan konflik.

9 Taufiq Tanasaldy

Politik Identitas Etnis di Kalimantan Barat

Kualitatif Pasca Orde Baru, politik etnis yang dimainkan secara sadar oleh etnis Dayak maupun Melayu tidak hanya berhasil mencegah kekerasan etnis, tetapi juga menjadi bagian dari proses pembelajaran sipil dan demokrasi di Kalimantan Barat

10 Amalinda Savirani

Multikulturalisme Dalam Politik Lokal Di Hongaria.

Kualitatif Memaparkan mengenai upaya institusionalisasi gagasan dalam upaya multikulturalisme.

Page 24: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68879/potongan/S2-2014... · dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

24

gagasan multikulturalisme sesungguhnya merupakan salah satu dari sekian banyak alternatif pemikiran dalam mengelola keberagaman

11 Myrna Eindhoven

Penjajah Baru? Identitas, Representasi, dan Pemerintahan di Kepulauan Mentawai Pasca-Orde Baru

Kualitatif Pasca Orde Baru, elite-elite lokal mulai mendominasi di Kepulauan Mentawai, namun ada pergeseran ide yang dulunya elite ini kuat menyuarakan identitas kultural Mentawai yang terjajah oleh orang-orang daratan, namun sekarang malah mereka yang nampaknya jauh dari retorika-retorika mereka selama ini.

12 Ummu Harizhah

Pola Interaksi Masyarakat Keturanan Arab Dengan Penduduk Lokal di Desa Gapura Sukolilo Gresik.

Kualitatif Faktor-faktor yang mendukung terhadap proses integrasi adalah perkawinan campuran dan kerjasama ekonomi. Faktor-faktor yang menghambat diantaranya adalah prejudice (prasangka) dan Streteotype (Streteotipe). Sedangkan faktor pengikat, yang dapat meminimalisir terjadinya konflik yaitu persamaan agama, rasa saling membutuhkan, dan persaudaraan

13 Dahwan Huakiau Masuk Kuantitatif Penelitian ini

Page 25: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68879/potongan/S2-2014... · dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

25

Surau (Studi Tentang Pengaruh Tingkat Keberagaman Pedagang Etnis Tionghoa Warga PITI terhadap integrasi sosial dengan pedagang pribumi di Daerah Istimewa Yogyakarta).

memaparkan tentang tingkat keberagaman terhadap dampak integrasi sosial.

Namun dari beberapa penelitian yang muncul pasca kembali ke nagari, ada

sesuatu yang mis (terlewatkan) dari para para peneliti. Penelitian pasca kembali

kenagari masih berkutat pada romantika bahwa nagari pernah di hegemoni oleh

kekuasaan yang bernama negara di masa orde baru. Selain itu, sebagian peneliti yang

lainnya sibuk dengan memikirkan dengan konsep apa yang ingin ditata atau akan

diterapkan dalam pemerintahan Nagari sekarang, apakah Nagari seperti pra kolonial,

kolonial, pasca kemerdekaan, Orde Baru atau konsep baru seperti apa. Para peneliti

seperti alpa dengan terciptanya komunitas nagari yang tidak hanya jadi milik orang

Minangkabau sebagai suku dominan Sumatera Barat pasca kembali kenagari, hal ini

terlihat dengan adanya sistem pemerintahan Nagari yang dijalankan oleh etnis Jawa

dan Mandailing di Sumatera Barat. Sedangkan perbedaan penelitian ini dengan

penelitian multikulturalisme di daerah lain, adalah beberapa penelitian

multikulturalisme diatas, lebih kepada perjuangan politik lokal untuk mendapatkan

eksistensi, dan tidak melihat dari kerangka institusi lokal yang ada.

Page 26: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68879/potongan/S2-2014... · dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

26

E. Konseptualisasi

Kerangka analisis yang diharapkan dapat membantu untuk menjawab

pertanyaan penelitian. Terutama untuk mengidentifikasi berbagai faktor yang

menyebabkan munculnya pemerintahan Nagari yang dijalankan oleh etnis

Mandailing dan Jawa. Pada bagian pertama akan dibahas pendekatan yang akan

dipakai yakni pendekatan new institusionalism dengan fokus pada salah satu jenisnya

yaitu historical institusionalism. Pendekatan historical institusionalism dipilih karena

karena pendekatan ini tidak bersifat snapshot melainkan membaca perkembangan

institusi dalam alur kesejarahan secara kontinum.

1. Historical Institusionalism: Akar kesejerahan Institusi Dalam Melihat Varian Pemerintahan Nagari

Penelitian ini akan berpijak dari sebuah bangunan teoritik mengenai pendekatan

historical Institusionalism. Pendekatan historical institusionalism merupakan bagian

dari pendekatan new institusionalism. Pendekatan institusionalime baru berbeda

dengan pendekatan-pendekatan lainnya. New institusionalism merupakan

penyimpangan dari institusionalisme lama, dimana institusionalisme lama lebih

mengupas lembaga-lembaga kenegaraan (aparatur negara) seperti apa adanya secara

statis. Perhatian kaum institusionalis lama terutama terletak pada masalah bagaimana

membangkitkan kekuasaan yang besar dari rakyat yang berdaulat dan memadukannya

pemerintahan terbatas. Para teoritisi kelembagaan mengandaikan bahwa kekuasaan

sangat bersifat swasta, digunakan bersama-sama, dan saling menguntungkan bagi

penguasa maupun rakyat dan pemerintah mempunyai tujuan, bersifat membantu,

Page 27: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68879/potongan/S2-2014... · dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

27

menengahi dan membuat sesuatu menjadi moderat. Konstitusi merupakan satu-

satunya prinsip politik yang mutlak, karena itu ia mewakili kontrak sosial yang

menentukan kondisi-kondisi dimana kedaulatan rakyat diperluas hingga mencapai

wakil mereka. Kontribusi sebenarnya melahirkan pemerintahan yang akan membuat

undang-undang untuk mewujudkan keinginan mayoritas.13

New institusionalism menjadi sebuah paradigma baru untuk memberi

penjelasan lebih kontekstual reaksional dari dominasi teori behavioralisme. Di dalam

ilmu politik dan sosiologi, teori new institusionalism terbagi kedalam tiga varian

besar yaitu; institusionalisme sosiologis, institusionalisme historis, dan rasional

choice institusionalisme. Sosiological Institusionalism menitikberatkan pada cara-

cara institusi menyediakan identitas dan makna interaksi sosial, serta pada bagaimana

institusi mempengaruhi pilihan dan identitas aktor.

14 organisasi seringkali harus

berubah untuk merespon tekanan dan nilai-nilai yang ditentukan oleh masyarakat

disekelilingnya.15

Menurut Hall dan Taylor,

Institusi menyediakan pola atau tempalate moral dan kognitif yang

menciptakan identitas dan pilihan bertindak.

16

13 David Apter, Pengantar Analisis Politik, LP3ES, Jakarta, 1985, hlm. 143 14 Korpri, seperti dikutip Nanang Indra Kurniawan dalam Globalisasi dan Negara Kesejahteraan, Laboratorium Ilmu Pemerintahan, Yogyakarta, 2009, hlm 21 15 Ibid, hlm. 22 16 Ibid, hlm. 21

sociological institutionalist cenderung

mendefenisikan institusi secara lebih luas ketimbang ilmuwan politik dengan tidak

hanya memasukkan aturan-aturan formal, prosedur, atau norma, tetapi juga sistem

simbol, rujukan, kognitif, serta kerangka moral yang memberi bingkai dasar bagi

Page 28: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68879/potongan/S2-2014... · dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

28

tindakan aktor. dari sini bisa ditemukan bahwa sociological institutionalism lebih

menekankan aspek kognitif dan normatif ketimbang aspek kepentingan seperti yang

digagas oleh rational choice institusionalist.

Sedangkan pendekatan rasional choice institusionalism menyatakan bahwa

orientasi institusi pemerintahan atau sistem hukum adalah representasi dari konstruksi

rasional yang dibangun dari pandangan individu untuk mendukung atau

mengamankan kepentingannya. Pendekatan ini sebagai representasi dari bekerjanya

premis ekonomi.17

Sementara itu, Institusionalisme historis (historical institusionalism),

menitikberatkan pada analisis yang lebih mendalam tentang bekerjanya mesin regime

Bagi penganut rational choice institutionalism perhatian lebih

banyak difokuskan pada persoalan tentang bagaimana aktor-aktor yang ada

membangun dan merubah institusi untuk mencapai kepentingan-kepentingan mereka.

Institusi adalah fungsi dari kepentingan, kata mereka. Pendekatan ini sebenarnya

sangat dipengaruhi oleh tradisi behavioralisme dan rational choice yang melihat

bahwa interaksi manusia merupakan manifestasi dari kepentingan diri. Secara umum,

para penganut pendekatan ini berargumen bahwa aktor (baik individu maupun

organisasi) selalu memiliki seperangkat preferensi atau selera yang baku. Mereka

berperilaku sepenuhnya secara instrumental. Tujuannya adalah agar capaian-capaian

atas preferensi-preferensi tersebut bisa dimaksimalkan serta diwujudkan lewat cara-

cara yang strategis. Dengan begitu maka kalkulasi yang luas sangat diperlukan oleh

mereka.

17 Ibid, hlm. 34

Page 29: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68879/potongan/S2-2014... · dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

29

dan pemerintahan. Khususnya bagaimana bekerjanya dua struktur yang menjadi

acuan yaitu; struktur formal dan informal.18 Historical institusionalism melihat

struktur sebagai perjuangan politik dan arena pertarungan kepentingan ide dan

kekuasaan.19

Berbeda dengan dua jenis neo institusionalisme lainnya, kaum historical

institusionalism mendefinisikan institusi sebagai prosedur-prosedur (baik yang formal

maupun tidak), rutinitas, norma-norma dan konvensi-konvensi yang tertanam dalam

struktur organisasi dari sebuah sistem politik ataupun ekonomi politik.

Secara umum, pendekatan ini lebih memfokuskan analisis pada tingkat makro

dimana mereka menekankan pentingnya struktur masyarakat dan negara ketimbang

organisasi itu sendiri. Secara khusus, pengikut historical institusionalism tertarik

untuk memahami mengapa institusi-institusi politik menghasilkan perbedaan

keluaran dan efek politik. Mereka percaya variasi tersebut tidak bisa dijelaskan

apabila kita tidak mempelajari secara khusus tentang bagaimana institusi membentuk

atau membangun proses politik serta bagaimana akhirnya kebijakan politik bisa

dihasilkan. Dalam jenis new institusionalism ini, faktor kesejarahan institusi adalah

kunci pokoknya.

20

18 Op. Cit, W. Richard Scott, hlm 33 19 AAGN Ari Dwipayana, Melampaui Marx dan Machiavelli, dalam R. Wiliam Liddle “Memperbaiki Mutu Demokrasi Indonesia”, PUSAD Paramadina, Jakarta, 2012, hlm. 64 20 Peter Hall dan Rosemarry Taylor, Dalam “Political Science and the Three New Institusionalism”, Journal of Political Studies, Blackwell Publishers, 1998.

Thalen dan

Steinmo mendefinisikan institusi dengan contoh seperti, mulai dari struktur

pemerintahan (legislatur), institusi legal (undang-undang pemilihan) sampai institusi

Page 30: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68879/potongan/S2-2014... · dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

30

sosial (kelas sosial). Institusi-institusi tersebut menjadi basis aturan main yang

dibangun lewat perjuangan politik. Institusi juga bisa membentuk identitas kelompok

dan pilihan koalisi mereka, menguatkan posisi tawar kelompok dan pilihan koalisi

mereka, menguatkan posisi tawar kelompok tertentu sementara pada saat yang sama

menurunkan posisi kelompok yang lain. Hal yang penting, menurut institusional

historis adalah bahwa institusi tidak bisa dipahami semata sebagai arena netral

dimana pertarungan politik terjadi. Akan tetapi, harus juga dimengerti bahwa institusi

sebenarnya membentuk perjuangan politik itu sendiri.

Historical institusionalism percaya bahwa perubahan cenderung terjadi secara

inkremental (bertahap) dan evolusioner. Mereka berpendapat institusi yang menuntun

pembuatan keputusan dan tindakan aktor, selalu merefleksikan pengalaman historis.

Ide dasarnya adalah bahwa pilihan-pilihan kebijakan yang dibuat saat sebuah institusi

dibentuk atau saat sebuah kebijakan dan tindakan ke depan. Begitu institusi dibangun

melalui perjuangan dan tawar-menawar yang kompleks diantara kelompok

terorganisir maka institusi ini akan mepunyai pengaruh pada pembuatan keputusan

dan tahapan-tahapan institution-building ke depan.

Historical institusionalism memandang perubahan institusional sebagai proses

yang mengikuti alur kesejarahan. Hal ini menurut Campbell21

21 Op.Cit, Nanang Indra Kurniawan, hlm 27

terjadi karena bebarapa

hal; Pertama, institusi membatasi pilihan-pilihan yang tersedia dalam pengambilan

keputusan. Kedua, pengambil keputusan selalu secara bertahap menyesuaikan

kebijakan dan institusi mereka terhadap umpan balik yang diterima dari

Page 31: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68879/potongan/S2-2014... · dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

31

konstituennya. Ketiga, pengambil keputusan perlahan-lahan memahami mana

kebijakan dan institusi yang paling sesuai untuk mencapai tujuan.

Keutamaan dari historical institusionalism adalah lebih eklektik karena

menggunakan kedua pendekatan neo institusionalism lainya yakni, rasional choice

dan sosiological institusionalism. Campbell menyebut bahwa historical

isntitusionalism berada diantara kedua jenis tersebut, karena mereka menawarkan

penjelasan yang lebih seimbang tentang hubungan saling mempengaruhi tingkah laku

individu dan organisasi.

Penggunaan historical institusionalism dalam penelitian ini mengacu kepada

prosedur-prosedur, norma, dan rutinitas (kebiasaan) yang dimodifikasi oleh institusi.

Historical institusionalism tidak melihat institusi itu secara Snapshot dengan melihat

kejadian saat ini saja, namun historical institusionalism jauh lebih menjelaskan secara

kontinum kapan institusi dibentuk, dikembangkan, dan kapan ia berubah. Dalam

penelitian ini melihat, kapan aktor itu menginisiasi pembentukan Nagari,

mengembangkan pemerintahan Nagari, serta perubahan yang terjadi pada Nagari.

2. Adaptasi dan Akulturasi Budaya

Penelitian ini mencoba meminjam kerangka teoritik dari ilmu sosiologi dan

antropologi, yang digunakan untuk membaca adaptasi dan akulturasi budaya dalam

kesejarahan dari sebuah institusi. Kata adaptasi berasal dari bahasa Inggris adaptation

secara umum berarti menyesuaikan dengan kebutuhan atau tuntutan baru, atau dapat

pula berarti usaha mencari keseimbangan kembali ke keadaan normal (Shadily, 1980:

75). Kata budaya dalam KBBI berarti : (1) pikiran, akal budi; (2) adat istiadat; (3)

Page 32: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68879/potongan/S2-2014... · dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

32

sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang (beradab, maju); (4) sesuatu

yang sudah menjadi kebiasaan dan sukar diubah (Ali, 1993: 149). Arti yang hampir

sama dari kata budaya diperoleh dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang ditulis

oleh Poerwadarminta. Dalam kamus ini kata budaya diartikan sebagai : (1) pikiran,

akal budi; (2) yang sudah berkembang (beradab, maju) (2007: 180). Kata adaptasi

jika digabungkan dengan kata budaya menimbulkan pengertian sebagai perubahan

dalam unsur-unsur kebudayaan yang menyebakan unsur-unsur itu dapat berfungsi

lebih baik bagi manusia yang mendukungnya (Ali, 1993:6).

Sementara itu menurut Sanderson (2003) adaptasi adalah suatu trait sosial (sifat

atau perangai sosial) yang muncul sebagai akibat adanya kebutuhan, tujuan dan hasrat

individu. Adaptasi erat kaitannya dengan sebuah pola sosiokultural, sebab bentuk-

bentuk sosiokultural baru muncul sebagai adaptasi. Sanderson juga menambahkan

bahwa inovasi sosiokultural dilakukan secara sengaja dan sama sekali tidak acak,

oleh karenanya maka evolusi sosiokultural biasanya berlangsung sangat cepat.

Menurut Parson bahwa setiap unsur kebudayaan mengalami proses perubahan,

terlebih lagi dalam situasi urbanisasi dan pertumbuhan ekonomi yang berlangsung

cepat. Perubahan unsur kebudayaan juga dapat disebabkan oleh adanya gerakan

sosial, oleh karenanya diperlukan adaptasi budaya. Dalamadaptasi budaya, setiap

individu membutuhkan individu lain dalam rangka memberi respons dan

menciptakan dunia sosialnya. Kebutuhan akan dunia sosial,memperkuat asumsi

bahwa manusia tidak dapat hidup secara baik jikalau mereka terasing dari lingkungan

sosialnya. Bukan hanya itu, manusia juga harus selalu berusaha memelihara

Page 33: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68879/potongan/S2-2014... · dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

33

hubungan yang selaras dengan alam dan lingkungan di sekitarnya berdasarkan prinsip

hubungan timbal balik. Sejalan dengan pandangan Parson tersebut Kaplan (2000:112)

menyatakan bahwa adaptasi adalah proses yang menghubungkan sistem budaya

dengan lingkungannya.

Adaptasi antar budaya merupakan suatu proses panjang penyesuaian diri untuk

memperoleh kenyamanan berada dalam suatu lingkungan yang baru. Dalam

“Intercultural Communication Theories”, Gudykunst memaparkan bahwa teori

adaptasi budaya termasuk ke dalam kelompok teori akomodasi dan adaptasi22.Salah

satu teori yang dikemukakan dalam paparan itu adalah teori adaptasi antarbudaya dari

Ellingsworth. Ellingsworth mengemukakan, perilaku adaptasi dalam interkultural

diadik terkait antara lain dengan unsur adaptasi dalam gaya komunikasi.23 Gaya

adalah tingkah laku atau perilaku komunikasi. Menurut Gudykunst dan Kim, adaptasi

dapat terjadi dalam dimensi kognitif. Dalam dimensi kognitif, terjadi penyesuaian

bahasa verbal dan nonverbal. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa adaptasi dapat

terjadi dalam dimensi perseptual, kognitif, dan perilaku.24

Teori yang berfokus pada akomodasi dan adaptasi lainnya dikemukakan Gile.

Teorinya disebut teori akomodasi komunikasi atau communication accomodation

theory (CAT). Teori ini bertolak dari teori akomodasi percakapan. Menurut teori ini,

22 William B. Gudykunst, “Intercultural Communication Theories” dalam William B. Gudykunst & Bella Mody (eds). Handbook of International and Intercultural Communication. 2nd Ed. Sage Publications. California, 2002, hlm. 183 23 Huber W, Ellingsworth,.. “A Theory of Adaptation in Intercultural Dyads” dalam Young Yun Kim & William B. Gudykunst (eds). Theories in Intercultural Communication. Sage Publications. Newbury Park. 1988, hlm. 271 24 Op.Cit, hlm. 337

Page 34: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68879/potongan/S2-2014... · dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

34

pembicara menggunakan strategi linguistik untuk mencapai persetujuan atau untuk

menunjukkan perbedaan dalam interaksinya dengan orang lain. Strategi komunikator

yang utama adalah berdasarkan pada motivasi divergensi dan konvergensi.

Perpindahan linguistik ini untuk meningkatkan dan mengurangi jarak komunikasi.

Sikap setuju dinyatakan dengan konvergensi. Sementara itu divergensi dilakukan

sebagai pernyataan menolak.

Mengenai Akulturasi Koentjaraningrat (2005: 155) mengatakan bahwa

akulturasi merupakan istilah yang dalam antropologi mempunyai beberapa makna

(acculturation, atau culture contact). Ini semuanya menyangkut konsep mengenai

proses sosial yang timbul apabila sekelompok manusia dengan suatu kebudayaan

tertentu dihadapkan pada unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing itu lambat laun

diterima dan diolah kedalam kebudayaan sendiri, tanpa menyebabkan hilangnya

kepribadian kebudayaan itu.

Selain itu, Akulturasi dapat juga didefinisikan sebagai proses sosial yang timbul

bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan

unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-

unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan

sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri.

Dalam hal ini terdapat perbedaan antara bagian kebudayaan yang sukar berubah

dan terpengaruh oleh unsur-unsur kebudayaan asing (covert culture), dengan bagian

kebudayaan yang mudah berubah dan mudah terpengaruh dengan kebudayaan asing

(overt culture). Covert culture misalnya seperti; 1). Sistem-sistem nilai budaya, 2).

Page 35: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68879/potongan/S2-2014... · dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

35

keyakinan-keyakinan keagamaan yang dianggap keramat, 3). beberapa adat yang

sudah dipelajari sangat dini dalam proses sosialisasi individu warga masyarakat, dan

4) beberapa adat yang mempunyai fungsi yang terjaring luas dalam masyarakat.

Sedangkan overt culture misalnya kebudayaan fisik, seperti alat-alat dan benda-benda

yang berguna, tetapi juga ilmu pengetahuan, tata cara, gaya hidup, dan rekreasi yang

berguna dan memberi kenyamanan.

3. Konsep Pemerintahan Lokal

Kata Pemerintahan berasal dari kata pemerintah, yang memiliki empat unsur

yaitu, ada dua belah pihak yang terkandung, kedua pihak tersebut memiliki

hubungan, pihak yang memerintah memiliki wewenang, dan pihak yang diperintah

memiliki ketaatan. Perintah atau pemerintah dalam bahasa Inggris dipergunakan kata

“government” yang berasal dari suku kata “to geven”,yang artinya; melaksanakan

wewenang pemerintahan, cara atau sistem memerintah, fungsi atau kekuasaan untuk

memerintah, dan wilayah atau negara yang diperintah.25 Menurut para ahli seperti C.

F. Strong, yang mengatakan pemerintahan dalam arti luas mempunyai kewenangan

untuk memelihara kedamaian dan keamanan negara, baik kedalam maupun keluar.26

Sedangkan Mac Iver mendefenisikan maksud dari Pemerintahan adalah sebagai suatu

organisasi dari orang-orang yang mempunyai kekuasaan yang membuat bagaimana

manusia itu bisa diperintah.27

25 Djoko Suyono, Diktat Pemerintahan Desa, Universitas Pancasakti, Tegal, 2008, hlm. 1 26 C. F. Strong, Modern Political Constituion, Sidgwick and jackson Ltd., London, 1960, hlm. 6 27 R. Mac Iver, The Web of Government, The Mac Millan Company Ltd. New York, 1947

Page 36: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68879/potongan/S2-2014... · dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

36

Dalam penelitian ini konsep yang ingin digunakan adalah mengenai

pemerintahan lokal. Pemerinntahan Lokal adalah pemerintahan terendah di suatu

negara, yang diakui haknya untuk menjalankan urusan rumah tangga sendiri, serta

diakui keberadaanya berdasarkan asal usul pemerintahan tersebut. Pemerintahan lokal

sendiri mencakup dua ketegori besar yakni pemerintahan lokal secara administratif

dan pemerintahan lokal yang memang berdiri sendiri (nature). Pemerintahan lokal

secara administratif merupakan bagian atau cabang dari pemerintah pusat atau

pemerintah tingkat atasannya. Pemerintahan lokal administratif pusat terbentuk pada

saat pemerintah pusat tidak lagi mampu mengurus urusan-urusannya yang tersebar di

daerah dengan alat-alat perlengkapan yang hanya berkedudukan di pusat

pemerintahan negara.28

Sedangkan kategori pemerintahan lokal kedua adalah pemerintahan lokal yang

berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Pemerintahan ini bukan

merupakan bagian atau cabang pemerintah pusat atau pemerintah atasannya.

Meskipun di daerah telah ada pemerintahan lokal administratif, baik yang umum

maupun yang khusus, tetapi urusan-urusan tertentu untuk menyelenggarakannya perlu

lebih disesuaikan keadaan daerah masing-masing. Terhadap urusan-urusan tersebut

yang penyelenggaraannya tidak didasarkan atas garis-garis kebijaksanaan pusat, dapat

dijadikan sebagai urusan rumah tangga sendiri. Hal ini pula yang termasuk dalam

salah satu bagian kekuasaan klasik ala Montesquieu, yakni teori kekuasaan yang tidak

28 R. Joeniarto, Perkembangan Pemerintahan Lokal, Penerbit Alumni, Bandung, 1982, hlm 24

Page 37: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68879/potongan/S2-2014... · dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

37

dibentuk oleh negara, melainkan terbentuk secara alami (nature) dan dengan

sendirinya diakui keberadaanya.29

a. Fungsi Demokrasi dan Politik

Selain itu, dalam sebuah negara yang berazaskan demokrasi, untuk dapat

melaksanakan asas yang seluas-luasnya, maka di daerah dibentuklah pemerintahan

lokal yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Pemerintahan

lokal diberi hak untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan tertentu sebagai urusan

rumah tangganya sendiri. Oleh karena urusan-urusan tersebut merupakan urusan

rumah tangga pemerintahan lokal, maka pemerintahannya mempunyai mempunyai

kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan tersebut atas inisiatif

sendiri sesuai dengan keadaan dan kebutuhannya sendiri. Pemerintah atasannya tidak

boleh lagi mencampuri penyelenggaraan tersebut, kecuali dalam bentuk pengawasan.

Konsekuensi dari kewenangan ini, pemerintah lokal yang bersangkutan perlu

dilengkapi dengan dengan perangkat-perangkat pemerintahan lokal seperti sebuah

badan pembuat peraturan, dan lain sebagainya.

Pada dasarnya pemerintahan lokal memiliki beberapa fungsi pokok yang antara

lain sebagai berikut:

Prinsip demokrasi di sini dimaksudkan sebagai hubungan antar semua

cabang kekuasaan negara dan hubungan antara cabang-cabang kekuasan

negara dengan masyarakat. prinsip ini diwujudkan dalam bentuk

keberadaan dewan perwakilan dari rakyat dan pememberian hak kepada 29 Georg Jelinek dalam bukunya, System der subjektiv offentlichen Rechte, Tubingen, 1919 hlm. 265

Page 38: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68879/potongan/S2-2014... · dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

38

masyarakat untuk memilih secara langsung dan bebas. Oleh karena itu,

pemerintahan lokal lah yang menjamin terselenggaranya hak-hak

masyarakat tersebut.

b. Fungsi Administrasi

Dalam hal ini, pemerintahan lokal sebagai penerima otoritas dan

penanggungjawab untuk melaksanakan fungsi-fungsi pelayanan publik

yang bersifat lokal. Sebagai tingkatan paling rendah dan dekat dengan

masyarakat pemerintahan lokal menjalankan dua jenis urusan yaitu; (1).

Urusan-urusan yang sejak awal ada dan secara alamiah menjadi urusan

pemerintahan lokal, (2). Urusan-urusan yang dilimpahkan oleh pemerintah

yang lebih tinggi.

c. Fungsi Ekonomi dan Sosial

Pemerintahan lokal menjadi penting karena pada dasarnya kegiatan

ekonomi berada pada level pemerinthan lokal. Baik dan buruknya iklim

ekonomi/investasi sangat ditentukan oleh kemampuan pemerintahan lokal

untuk membaut kebijakan dan pelayanan yang memadai. Sedangkan

secara sosial, keberadaan pemerintahan lokal dimaksudkan untuk

mendekatkan “hadirnya” negara kepada masyarakat. keberadaan dan

penyelenggaraan semua aktivitas negara harus memenuhi kebutuhan

masyarakat dan aktivitas tersebut harus dilakukan oleh pemerintahan yang

paling dekat dengan masyarakat.

Page 39: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68879/potongan/S2-2014... · dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

39

Adanya Pemerintahan lokal tidak bisa dilepaskan dari konsep otonomi daerah.

Rondinelli dan Chema (1983) mendefenisikan otonomi daerah sebagai proses

pelimpahan wewenang perencanaan, pengambilan keputusan atau pemerintahan dari

pemerintah pusat kepada organisasi-organisasi kepada unit-unit pelaksana daerah,

kepada organisasi semi otonom dan parastatal ataupun kepada pemerintah daerah atau

organisasi non pemerintah).

Sedangkan menurut Mas’ud Said otonomi daerah dipahami sebagai sebuah

proses devolusi dalam sektor publik dimana terjadi pengalihan wewenang dari

pemerintah pusat kepada pemerintah Provinsi dan kabupaten/kota (2005: 6). Gustav

dan Stewart (1994) mengidentifikasi tiga makna berbeda dari “otonomi daerah yang

dapat digunakan untuk menganalisis kasus politik desentralisasi dan pemerintahan

daerah di Indonesia. Ketiga makna tersebut ialah: Dekonsentrasi (deconcentration)

dimana pemerintah pusat menempatkan para pegawainya dilevel pemerintah daerah.

Kedua, pendelegasian (delegation) dimana pemerintah pusat secara bersyarat

medelegasikan kekuasaannya kepada pemerintah daerah namun dengan tetap

memiliki kesanggupan untuk mengambil kekuasaan itu kembali dan secara

keseluruhan tetap memiliki dominasi kekuasaan atas pemerintah daerah. Dan yang

ketiga ialah devolusi (devolution) dimana pemerintah pusat secara aktual

menyerahkan kekuasaannya kepada pemerintah daerah.

Sebagai akibat dari dianutnya desentralisasi, maka dalam pelaksanaannya

dibentuklah daerah-daerah otonom, yaitu daerah yang diberi hak, wewenang dan

kewajiban untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Mula-mula

Page 40: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68879/potongan/S2-2014... · dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

40

otonomi atau berotonomi berarti mempunyai “peraturan sendiri” atau mempunyai

hak/kekuasaan/kewenangan untuk membuat peraturan sendiri (seringkali juga disebut

hak/kekuasaan/kewenangan pengaturan/legislatif sendiri). Kemudian arti daripada

istilah otonomi ini berkembang menjadi “pemerintahan sediri”.30

Dengan diberikannya kewenangan otonomi kepada pemerintahan lokal dari

proses desentralisasi tersebut, maka dapat diartikan sebagai hak untuk

menyelenggarakan pemerintahan lokal berdasarkan hukum adat

31 dan merupakan

otonomi yang pada hakekatnya tumbuh dan berkembang didalam masyarakat, yang

diperoleh secara tradisional atau alami.32

“Dalam teritorial Negara Indonesia terdapat kurang lebih 250 zelfbestuurende ladschappen dan volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, Marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli dan karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah itu dengan mengingat hak asal usul daerah tersebut”

Hal ini sesuai dalam sistem perundang-

undangan Indonesia yang mengakui bentuk pemerintahan lokal berdasarkan asal

usulnya, sesuai dengan penjelasan berikut;

33

Pelaksanaan otonomi pada level lokal menghendaki agar penyelenggaraan

urusan pemerintahan tidak mengabaikan peranan lembaga adat dan lembaga

30 Josef Riwu Kaho, Analisis Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia, Polgov, Yogyakarta, 2012, hlm. 17 31 I. Nyoman Beratha, Otonomi Desa Dalam Rangka Penyelenggaraan Rumah Tangga, Balitbang Depdagri, Jakarta, 1991. 32 Yuliandri, “Mendorong Penguatan Pemerintahan Nagari”, dalam Alfan Miko (Ed). Pemerintahan Nagari dan Tanah Ulayat, Andalas University Press, Padang, 2006, Hlm. 64 33 Penjelasan umum UUD 1945

Page 41: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68879/potongan/S2-2014... · dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

41

tradisional lainnya dalam memperkuat pemerintahan lokal.34

Menurut Otto V. Gierke, bahwa otonomi lokal berasal secara alami dari

karakter otonom yang dimiliki oleh pemerintahan lokal (di Jerman disebut dengan

Kommune) sebagai sebuah badan hukum. Karakter utama dari pemerintahan lokal

adalah kemandirian memiliki hak untuk membuat peraturan sendiri. Hak ini tidak

berasal dari negara melainkan berasal dari tradisi yang panjang pada masa lampau

Alasannya, karena adat-

istiadat dan lembaga-lembaga keadatan telah menjiwai dan menjadi ciri penting

dalam kehidupan masyarakat. bahkan penghormatan dan pengakuan terhadap asal

usul pemerintahan lokal yang bersifat istimewa, menjadi penting dilakukan karena

keanekaragaman, partisipasi masyarakat, otonomi asli, demokratisasi dan

pemberdayaan masyarakat telah menjadi landasan pemikiran bagi implementasi

otonomi daerah.

Pemerintahan lokal di beberapa negara seperti Jerman dan Prancis

memperlihatkan bahwa, otoritas lokal diperlukan untuk menyediakan infrastruktur

dan memberikan/menyediakan pelayanan sosial beserta dengan beberapa kebijakan.

Fungsi otonomi lokal sendiri yaitu, memberikan wadah bagi masyarakat untuk

berpartisipasi baik secara langsung maupun perwakilan. Pada sisi lain, fungsi

pemerintahan lokal adalah membuat kebijakan dan memberikan pelayanan publik

untuk menyediakan kebutuhan masyarakat.

34 I Komang Kusumaedi, Keberadaan Desa Dinas dan Desa Adat Dalam Era Otonomi Daerah, Buletin Polokda Gerbang, Yogyakarta, 2002, hlm. 28

Page 42: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68879/potongan/S2-2014... · dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

42

(nature).35 Di Prancis pemerintahan lokal lebih dikenal dengan sebutan Communess.

Pemerintahan lokal di Prancis memiliki tiga karakter; pertama, “collectivite

territorialle” (satuan teritorial) memiliki status badan hukum yang dapat mengajukan

gugatan di peradilan. Kedua, memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan urusan

sendiri (affaires propers). Ketiga, merupakan satu kesatuan masyarakat yang

dipimpin oleh sebuah organ perwakilan yang dipilih oleh masyarakat.36

Masyarakat lokal di Norwegia sangat dikenal dengan masyarakat Sami.

Masyarakat Sami ini ada jauh sebelum Norwegia ada, oleh karena itu mereka dikenal

dengan penduduk asli Norway. Undang-undang memberikan kewenangan kepada

masyarakat Sami untuk menerapkan peraturan, termasuk memperbolehkan bendara

Sami dikibarkan di kantor-kantor pemerintahan. Keberadaan masyarakat lokal Sami

ini diakui keberadaan dan tradisinya beradasarkan sejarah yang panjang serta asal

usul. Sistem pemerintahan tetap disebut Kommune yang memiliki tanggung jawab

dan kewenangan terbesar dalam rangka penyediaan pelayanan publik.

37

35 Eko Prasojo, Pemerintahan Politik Lokal di Jerman dan Prancis, Salamba Humantika, Jakarta, 2009, hlm 8 36 Ibid. 37 Wawan Mas’udi. Kommune: Model Otonomi Lokal di Norwegia, dalam Abdul Faffar Karim (Ed). Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, hlm.373.

Sebagai unit

pemerintahan paling bawah, mengharuskan kommune memiliki tingkat kedekatan

paling tinggi dengan penduduknya, karena itu menjadi pilihan untuk menempatkan

bagian terbesar pelayanan publik di level ini. sama halnya dengan negara-negara lain,

Kommune memiliki dua oragan dan kewenangan penting yakni, kewenangan politis

Page 43: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68879/potongan/S2-2014... · dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

43

dan kewenangan administratif. Selain itu, organ-organ politik tertinggi di kommune,

beserta anggotanya dipilih melalui mekanisme pemilihan lokal.

Di negara-negara seperti Amerika Serikat, institusi lokal juga terus berkembang

dengan tuntutan perubahan, hal ini terlihat dengan dilakukannya modernisasi dan

reformasi terhadap pemerintahan lokal.38

4. Etnisitas dan Identitas : Akomodasi Budaya Dalam Pemerintahan Lokal

Pemerintahan lokal diberdayakan oleh

negara bagian, dan dapat melaksanakan kekuasaan terbatas yang secara jelas

diberikan kepada mereka oleh badan pembuat undang-undang negara bagian. Akan

tetapi, kebanyakan negara bagian telah menerapkan suatu ketentuan “aturan-aturan

sendiri” untuk pemerintahan lokal. Di bawah aturan itu, pemerintahan lokal dapat

melaksanakan semua kekuasaanya yang tidak dilarang terhadap mereka. Hal ini lah,

yang menyebabkan kelenturan terhadap tantangan dalam pemerintahan lokal, yang

masyarakatnya majemuk (heterogen) di Amerika Serikat.

Konsep etnik berasal dari kata Yunani ethnos, menurut Rudoflh menekankan

bahwa etnis yang berarti bangsa atau masyarakat, mengacu pada pengertian (identik)

pada dasar geografis suatu wilayah dengan sistem tertentu. Kesamaan-kesamaan

seperti kesamaan asal, sejarah, budaya, agama, dan bahasa sering dijadikan untuk

menyebut suatu kelompok etnis. Predikat menjadi salah satu etnik tertentu merupakan

sesuatu yang taken for granted sedari awal kelahiran. Kelompok etnis sebagai satu

38 Ellis Katz, Respon Terhadap Perubahan oleh Pemerintah Negara Bagian dan Lokal, Judiet Siegel, Washington, 2006, hlm. 9

Page 44: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68879/potongan/S2-2014... · dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

44

kelompok manusia yang membangun komunitas dan perasaan kolektifnya

berdasarkan kesamaan kepercayaan dan kesamaan asli.

Etnisitas merupakan kategori-kategori yang ditetapkan pada kelompok atau

kumpulan yang dibentuk dan membentuk dirinya dalam kebersamaan atau

kolektivitas. Lebih menunjuk pada kolektivitas daripada individual. Ikatan-ikatan

etnis terwujud dalam kumpulan orang, kelengakapan-kelengkapan primordial seperti

derajad, martabat, bahasa, adat istiadat dan kepercayaan yang dibebankan atas setiap

anggota yang dilahirkan dalam kelompok tersebut dan menjadikannya serupa dengan

kelompok yang lain.39

Batasan defenisi kelompok etnis secara antropologis dikemukakan pula oleh

Naroll sebagai suatu populasi yang 1). Secara biologis mampu berkembang biak, 2).

Memiliki nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaannya dalam

Karakteristik yang melekat pada satu kelompok etnis adalah tumbuhnya

perasaan dalam suatu komunitas (sense of community) diantara para anggotanya.

Perasaan tersebut menimbulkan kesadaran akan hubungan yang kuat. Selain itu

timbul pula perasaan “kekitaan” pada diri anggotanya maka terselenggaralah rasa

kekerabatan. Kita, dalam identitas kelompok etnis mempunyai dua pandangan

pengertian; 1). Sebagai sebuah unit objektif yang dapat diartikan oleh perbedaan sifat

budaya seseorang, 2). Hanya sekedar produk pemikiran seseorang yang kemudian

menyatakan sebagai suku kelompok etnis (Hutchinson dan A.D Smith, 1996:76).

39 Irmon Machmud, Kelompok Etnis Dalam Pelukan Elite Lokal: Instrumental, Komodifikasi, dan Kandidasi. UMMU Press, Ternate, 2013

Page 45: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68879/potongan/S2-2014... · dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

45

suatu bentuk budaya, 3). Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri, 4).

Menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima leh kelompok lain dan dapat

dibedakan dari kelompok populasi lain.40

Jadi sebenarnya makna etnis adalah sebuah pola relasi antar manusia. Dalam

hal ini adalah pola yang diwarnai adanya pembatasan atas dasar ciri-ciri dan

penampilan fisik kasar manusia, warna kulit, warna rambut, agama, bahasa, dan adat

istiadat.

41 Dalam kajian etnisitas, maka etnisitas tidak dapat dipandang sebagai

sesuatu yang berdiri sendiri. Etnisitas adalah konsep relasional yang mendasarkan

pada kategorisasi identifikasi diri (self identification).42

Etnisitas dipaparkan oleh Jan Nederveen Pieterse sebagai bidang yang merujuk

pada politik kultural yang dilakukan oleh kelompok dominan.

43Etnisitas merupakan

kategori-kategori yang diterapkan pada kelompok atau kumpulan orang yang

dibentuk dan membentuk dirinya dalam kebersamaan atau kolektivitas. Dengan

demikian etnisitas lebih menunjuk pada kolektivitas dari pada individual. Sementara

Paul Brass menyatakan etnisitas adalah kategori etnis mengenai kesadaran kelas ke

kelas.44

40 Frederick Barth, Kelompok Etnik dan Batasannya, UI Press, Jakarta, 1998, hlm 12 41 Op. Cit, hlm 79 42 Chris Barker, Culltural Studies: Teori dan Praktik, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004, hlm 193. 43 Jan Nederveen Pieterse, “Varieties of Etnic Politics and Ethnicity Discourse”, dalam Wilmsen, Edwin N, dan McAllister (Ed). The Politics f Difference, The University Press of Chicago, Chicago, 1996, hlm 25. 44 Ibid, hlm 30.

Etnisitas merupakan aspek yang penting dalam konteks hubungan antar

kelompok. Pada term ini muncul gagasan tentang pembedaan “kami” dan “mereka”

dan pembedaan atas klaim terhadap dasar asal-usul dan karakteristik budaya, jika

Page 46: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68879/potongan/S2-2014... · dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

46

tidak ada pembedaan antara “orang dalam” (insider) dan “orang luar” (outsider) maka

tidak akan ada yang namanya etnisitas.45

Selain dilekati identitas budaya, manusia adalah juga makhluk politik.

Konsekuensinya, apapun yang dilakukan manusia dalam kehidupan sehari-hari

merupakan tindakan politis yang menggunakan kuasa teks-teks, simbol-simbol,

Jika kita berbicara mengenaai etnisitas, juga tidak bisa dilepaskan dari konsep

identitas. Pengertian identitas jika merunut kepada Jeffrey Weeks, menyatakan

identitas adalah tentang belonging, tentang persamaan dengan sejumlah orang dan

tentang apa yang membedakan kamu dengan lainnya. Sebagai sesuatu yang paling

mendasar, identitas memberi kamu rasa tentang lokasi pribadi, inti yang stabil bagi

individualism. Dari defenisi tersebut, tampak bahwa setiap individu, siapapun dia,

memerlukan sebuah identitas untuk memberinya sense of belonging dan eksistensi

sosial. Maritzo Moreno juga menyatakan bahwa identitas memberikan rasa aman

melalui belonging dengan sekelompok orang yang sama.

Di dalam keseharian masyarakat kita, terdapat sejumlah identifikasi budaya

sederhana. Misalnya masyarakat mengidentifikasi orang Bali sebagai pemeluk Hindu,

orang Aceh sebagai pemeluk Islam, atau orang-orang Flores sebagai pemeluk

Katolik. Pemisalan lain yang sering kita jumpai dalam identifikasi budaya juga

terepresentasi melalui nama. Misalnya nama Harahap dan Batubara identik dengan

kebudayaan Batak, nama Slamet identik dengan kebudayaan jawa.

45 Denis Dwyer, Ethnicity and Development; Geographical Perspective, John Wiky & Sons LTD,1996, hlm. 3

Page 47: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68879/potongan/S2-2014... · dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

47

idiom-idiom, serta ajaran tertentu untuk merepresentasikan suatu identitas dengan

tujuan khusus. Dengan menggunakan simbol-simbol, politisasi identitas hampir dapat

ditemukan disemua aspek kehidupan. Simbol-simbol etnisitas, ras, agama, dan

gender, menjadi alat bagi sesuatu perjuanganmencapai tujuan tertentu. Setidaknya

untuk mempertahankan eksistensi individu atau kelmpok.46

Sebagai sebuah pencarian yang panjang, penelusuran terhadap makna dan

konsep pun menjadi sebuah perjalanan yang tanpa akhir. Yasraf Amir Piliang

menggambarkan betapa rumitnya menelusuri identitas. Terminologi identitas bukan

merupakan suatu yang final, statis, dan succed, melainkan sesuatu yang selalu

tumbuh.

Identitas adalah sebuah proses yang tidak terberi (given), dan tidak statis. Pada

suatu ketika seseorang bisa saja menggunakan identitas tertentu, tetapi disaat yang

lain ia akan menunjukkan identitas yang berbeda pula. Identitas adalah sesuatu yang

hibrid, ia sangat licin dan rentan manipulasi. Identitas sangatlah pelik dan tidak

konsisten, ketika lingkungan sosial dan politik mengalami perubahan, maka identitas

turut pula mengalami perubahan. Akibat proses politisasi yang sedemikian rupa,

acapkali batas-batas identitas asli dan identitas yang dipolitisasi menjadi tidak jelas.

47 Stuart Hall menyebutnya sebagai sesuatu yang tidak pernah sempurna,

selalu dalam proses dan selalu dibangun dari dalam.48

46 Iwan Awalludin Yusuf, Media Kematian, dan Identitas Budaya Minoritas, UII Press, Yogyakarta, 2005, hlm 20. 47 Lihat Yasraf Amir Piliang, Sebuah dunia yang dilipat: realitas kebudayaan menjelang milenium ketiga dan matinya posmodernisme, Mizan, Bandung, 1998. 48 Lihat Ubed Abdillah S, Politik Identitas Etnis: Pergulatan Tanda Tanpa Identitas, Yayasan Indonesia Tera, Magelang, 2002. Hlm 27

Page 48: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68879/potongan/S2-2014... · dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

48

Betapa peliknya menelusuri identitas diakui pula oleh Jean Baudrillard, seorang

tokoh postmodernis, ia menyangsikan adanya suatu identitas yang pasti pada suatu

objek pada suatu subjek yang selama ini melekat ada (orisinalitasnya) karena

semuanya telah mengalami peristiwa deknstruksi. Dalam kondisi kemajemukan suatu

subjek akan kehilangan identitasnya, “in the desert one loose one’s identity”.49

Gagasan multikulturalisme ini mulai digunakan oleh banyak kalangan.

Sesungguhnya multikulturalisme merupakan salah satu dari sekian banyak alternatif

pemikiran dalam mengelola keberagaman.

Namun demikian, identitas bisa ditelusuri jika kita tarik tataran yang fundamental dan

individual.

Pencarian terhadap pengertian identitas melalui proses identifikasi menurut

Erikson, dapat dimulai dari permulaan hidup setiap individu. Perkembangan yang

mengikuti alur kehidupan menghasilkan “ego” yang didefinisikan sebagai realitas

sosial. Disini Erikson menekankan bahwa identitas merupakan proses yang terjadi

secara bertahap pada inti individu. Meskipun demikian, inti kelompok kebudayaan

juga merupakan proses pendirian identitas.

50

49 Ibid, hlm 28. 50 Amalinda Savirani, Multikulturalisme Dalam Politik Lokal di Hongaria, dalam Abdul Faffar Karim (Ed). Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003,

Oleh karena itu, konsep identitas dan

etnis ini sangat berguna dalam melihat fenomena pemerintahan lokal yang etniknya

berbeda. Bagaimana orang jawa dan merepresentasikan dirinya dalam pemerintahan

nagari, dan begitu juga sebaliknya bagi orang-orang yang bersuku mandahiling

Page 49: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68879/potongan/S2-2014... · dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

49

melihat nagari. Sehingga untuk melacak pelaksanaan pemerintahan lokal nagari yang

beragam suku, bisa di analisis dengan konsep etnisitas dan identitas ini.

5. Elit Lokal : Sebagai Aktor Pembentuk Varian Pemerintahan Nagari

Dalam pelaksanaan pemerintahan lokal terdapat orang-orang yang memiliki

kemampuan untuk memerintah. Sehingga kalau berbicara mengenai pemerintahan

lokal tidak bisa dilepaskan dari pengaruh elit. Dalam perspektif elit terdapat dua

macam pendekatan teoritis yang berlainan dalam menerangkan keberadaan kelompok

elite. Teori pertama, kelompok elite dianggap lahir dari proses alami. Mereka adalah

orang-orang yang terpilih yang memang dikaruniai dengan kepandaian dalam

memecahkan berbagai persoalan kehidupan. Dengan demikian kelompok ini lahir

bukan karena menempati posisi strategis dalam masyarakat, tetapi karena memiliki

kapasitas personal yang lebih potensial untuk menempatkan posisi itu.51 Sedangkan

pendekatan teoritis kedua, kelompok elite dikonsepsikan sebagai orang-orang yang

terpilih menempati fungsi-fungsi penting dalam organisasi sosial, mereka diberi

wewenang dan dipercaya untuk menjaga dan mengontrol ekonomi politik.52

Sebenarnya kata elit seperti yang dikatakan oleh T.B. Bottomore, telah muncul

sekitar abad ke tujuh belas. Menurut Bottomore dalam karyanya Elite and Society,

53

51 Sunyoto Usman, Elite dan Masyarakat (bahan kuliah S2 ilmu politik), hlm. 1-2 52 Ibid. 53 T.B. Bottomore, Elite dan Masyarakat, Akbar Tanjung Institut, Jakarta, 2006

eksistensi para elit ditentukan antara lain oleh sejauh mana mereka mampu

mempertahankan posisi dan pengaruhnya di tengah-tengah kehidupan masyarakat,

yang terus berubah. Daya tahan elit tidak hanya sebatas bagaimana mereka mampu

Page 50: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68879/potongan/S2-2014... · dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

50

beradaptasi dengan dinamika lingkungan yang terus berubah itu, tetapi juga oleh

sejauh mana mereka mampu mempertahankan, bahkan mengembangkan pengaruh

yang makin meningkat. Dalam konteks pengaruh kekuasaan para elite, Bottomore

mengemukakan konsep keseimbangan sosial (social equilibrium),yang apabila

direfleksikan dengan dinamika politik, sebagai bagian dari dinamika sosial lebih luas,

maka ia akan amat terkait dengan upaya menuju tercapainya kondisi keseimbangan

politik (political equilibrium).

Selain itu karya-karya Vilfredo Pareto dan Geatano Mosca menyatakan bahwa

setiap masyarakat dimanapun berada akan selalu dipimpin oleh sekelompok kecil

individu yang berkuasa atas sejumlah besar anggota masyarakat lainnya. Mereka

yang disebut elite, dapat memaksa anggota-anggota masyarakat lainnya, yang biasa

disebut massa, untuk tunduk dan mematuhi perintah-perintahnya. Massa bersedia

untuk tunduk dan mentaati perintah-perintah tersebut karena pada diri elit terlekati

kekuasaanya yang jumlahhnya lebih besar daripada yang dimilikinya.54

Mosca menyebutnya bahwa disemua masyarakat muncul dua kelas-kelas yang

berkuasa dan kelas yang dikuasai. Kelas pertama selalu lebih sedikit jumlahnya,

menjalankan semua fungsi politik, memonopoli kekuasaan dan menikmati sejumlah

keuntungan yang dibawa leh kekuasaan, sementara yang kedua, jumlahnya lebih

banyak, diarahkan dan dikendalikan oleh yang pertama, melalui cara yang sedikit

banyak bersifat sah, kadang-kadang sewenang-wenang dan keras. Sedangkan Pareto

membagi elite yang berkuasa menjadi dua: elite yang sedang memerintah (governing

54 Haryanto, Kekuasaan Elite, Polgov UGM, Yogyakarta, 2005

Page 51: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68879/potongan/S2-2014... · dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

51

elite) dan elite yang tidak sedang memerintah (non governing elite). Gverning elit

terdiri dari orang-orang yang menduduki jabatan-jabatan politis sehingga bisa secara

langsung berpengaruh pada pembuat kebijakan.

Pendapat Mosca dan Pareto tersebut dapat dipaparkan dalam bentuk gambar,

yang menunjukkan sebuah piramida yang terbagi menjadi beberapa lapis. Piramida

tersebut melukiskan masyarakat yang terbagi menjadi 2 (dua) lapis,55

yakni anggota

masyarakat yang termasuk dalam kelompok elit yang jumlahnya lebih sedikit apabila

dibandingkan lapis lainnya yang terdiri dari anggota masyarakat pada umumnya yang

tidak termasuk dalam kelompok elit (non elite). Sementara itu mereka yang termasuk

dalam kelompok elit masih dipilahkan lagi menjadi 2 (dua), yakni mereka yang

termasuk dalam kedalam elit yang sedang memerintah (governing elite) yang

jumlahnya lebih sedikit apabila dibandingkan dengan mereka yang termasuk dalam

kelompok elite namun tidak sedang memerintah (non governing elite). Seperti

gambar berikut ini;

55 Ibid. hlm. 74

Page 52: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68879/potongan/S2-2014... · dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

52

Gambar 1.1 Pembilahan Elite

Elit menurut Max Weber, dalam hal memperoleh legitimasi menunjukan dalam

kondisi seperti apa seseorang atau sekelompok orang mampu mendominasi sejumlah

orang lainnya. Ketiga macam “legitimate domination” tersebut adalah ; 1).

Tradisional domination, 2). Charsimatic domination, 3). Legal-rasional domination.

Pertama, tradisional domination didasarkan pada tradisi yang berlaku di tengah-

tengah masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian legitimasi yang diperoleh

elit tentu saja didasarkan pada tradisi yang ada dan berlaku dimasyarakat dimana elit

tadi berada. Kedua, charismatic domination didasarkan pada kharisma yang melekat

pada diri seseorang atau sekelompok orang. Dminasi kharismatik mendasarkan pada

mutu luar biasa yang dimiliki elit sebagai seorang pribadi. Dan ketiga, legal-rasional

domination, pada hakekatnya didasarkan pada kesepakatan anggta masyarakat

terhadap seperangkat peraturan yang diundangkan secara resmi. Individu yang

berperan sebagai elit di masyarakat yang memberlakukan dominasi tipe ini diakui

Governing Elite

Non Governing Elite

Non Elite

Page 53: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68879/potongan/S2-2014... · dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

53

keberadaanya atas dasar kemampuan yang dimilikinya dan memenuhi persayaratan

menurut peraturan yang berlaku.56

Dalam karangannya yang sangat ambisius yang berjudul Mann and Society in

Age of Reconstruction (1946), Karl Mannheim

57 mencoba membedakan antara dua

tipe elite yang berbeda secara fundamental; pertama, suatu elite yang integratif, terdiri

dari para pemimpin politik dan organisasinya. Kedua, suatu elit sublimatif, yang

terdiri dari para pemimpin moral-keagamaan, seni, dan intelektual. Karena

masyarakat telah kian terdifrensiasi dan terpusat, para elite ini telah berlipat ganda

dan bukannya berkurang, dan malah terus menjadi bertambah penting. Dengan

melihat hal tersebut Suzanne Keller dalam karyanya Penguasa dan Kelompok Elit;

Peranan Elit-Penentu Dalam Masyarakat Modern, bahwa elite penentu dalam

pandangannya terdiri dari minoritas individu-individu yang bertanggung jawab

menjaga sistem yang telah tersusun, yaitu masyarakat berada dalam keadaan berjalan,

berfungsi untuk menghadapi dan mengatasi krisis-krisis kolektif yang terus menerus

terjadi. Bagaimanapun juga elite penentu akan tetap ada dan bertahan karena mereka

sebegitu jauh melaksanakan fungsi-fungsi sosial yang penting.58

Pada tataran masyarakat lokal, para elit tadi disebut dengan elit lokal. Menurut

Schoorl, elit lokal adalah elit yang menempati kedudukan puncak di dalam struktur-

56 Philo C. Wasburn, Politycal Sociology: Approaches, Concepts, Hypotheses, Prentice-Hal, Inc. Englewood Cliff, 1982, hlm. 19-23. 57 Karl Mannheim, Mann and Society in Age of Reconstruction, 1946 58 Suzanne Keller, Penguasa dan Kelompok Elite: peranan kelompok elit –penentu dalam masyarakat modern, PT Raja Grafind Persada, Jakarta.

Page 54: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68879/potongan/S2-2014... · dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

54

struktur sosial ditingkat lokal.59 Ini sekaligus untuk membedakannya dengan defenisi

elit nasional (skala yang lebih besar). Dari defenisi singkat ini menjadi jelas

memetakan apa yang dimaksud dengan elit lokal sendiri. Untuk lebih jelasnya,

Nurhasim membagi elit lokal dalam dua kategori yang besar yakni:60

1. Elit politik lokal merupakan seseorang yang menduduki jabatan-jabatan

politik (kekuasaan) di eksekutif dan legislatif yang dipilih melalui proses

politik yang demokratis di tingkat lokal. Mereka menduduki jabatan

politik tingggi di tingkat lokal yang membuat dan menjalankan kebijakan

politik.

2. Elit non-politik lokal adalah seseorang yang menduduki jabatan-jabatan

strategis dan mempunyai pengaruh untuk memerintah orang lain dalam

lingkup masyarakat. elit non politik ini seperti elit keagamaan, elit

ekonomi, elit organisasi kemasyarakatan, kepemudaan, protes, dan lain-

lain.

Peneliti sendiri mencoba memetakan elit lokal yang muncul dengan tiga model

elit yakni model elite yang memerintah, model pluralis dan model elit populis. Model

pertama melukiskan kekuasaan yang dimiliki oleh sekelompok kecil elit, model

pluralis menggambarkan kekuasaan yang dimiliki oleh kelompok sosial masyarakat

dan model populis melukiskan kekuasaan dipegang oleh setiap individu warga negara

59 J.W. Schoorl, Modernisasi, Gramedia, Jakarta, Seperti di Kutip Rusdi J. Abbas dalam Demokrasi di Aras Lokal: Praktek Politik Elite Lokal di Maluku Utara, Cerah Media, Yogyakarta, 2012, hlm. 11 60 Ibid. hlm. 12

Page 55: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68879/potongan/S2-2014... · dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

55

secara kolektif. Berikut akan disajikan tabel mengenai relasi kekuasaan elit untuk

menjelaskan pemerintahan lokal di Pasaman Barat.

Tabel 1.2 Relasi kekuasaan elite dalam Pemerintahan Lokal di Kab. Pasaman Barat

Model Distribusi Kekuasaan Dari Elite

Lembaga Pemerintahan Lokal Nagari di Sumatera Barat

Pemerintah Nagari (Eksekutif)

Badan Perwakilan Nagari/BPN (Legislatif)

Kerapatan Adat Nagari/KAN (Yudikatif)

Model elit yang memerintah

Model pluralis Model populis

Oleh karena itu, tulisan ini menempatkan elite lokal (aktor) sebagai variabel

yang sangat menentukan pelaksanaan institusi nagari. Aktor menjadi penentu dalam

menginisiasi pemerintahan nagari. Mereka terlibat dalam membentuk pemerintahan

Nagari, lalu mengembangkan pemerintahan tersebut, dan bisa melakukan perubahan

terhadap pemerintahan Nagari. Sehingga konsep elite lokal sangat diperlukan untuk

melihat studi ini.

Page 56: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68879/potongan/S2-2014... · dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

56

F. Kerangka Pemikiran:

Perubahan Locus kekuasaan dari Pusat ke daerah/lokal pasca Orde

Baru UU 22 Tahun 1999 Jo. UU No 32 Tahun 2004

(Pemerintahan Daerah) Respon Aktor Lokal di

Masa Transisi Reformasi

Inisiasi pembentukan kembali Nagari di

seluruh Sumatera Barat

Perda No. 9/2000 Jo Perda No. 2/2007

(Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari

Pemekaran Kab. Pasaman Barat dari Kab.

Pasaman Tahun 2003 (UU No. 38/2003)

Institusi Nagari berisi: 1. Prosedur-

Prosedur 2. Norma-

Norma 3. Kebiasan-

kebiasan (rutinitas)

4. Cultural-Cognitive

Terbentuknya Pemerintahan Nagari

yang Beretnis Mandailing dan Jawa

Neo Institusionalism berdasarkan Historical

Institusionalism Mencipatakan Varian Pemerintahan Nagari

pada nagari Mandailing dan jawa

Pembentukan

Pengembangan

Perubahan

Page 57: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68879/potongan/S2-2014... · dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

57

G. Metodologi Penelitian 1. Pendekatan Penelitian

Penelitian tentang Pelaksanaan Pemerintahan Nagari Berbeda Etnis di Kab.

Pasaman Barat merupakan penelitian kualitatif dengan tipe deskriptif, yang

menggunakan pendekatan Studi Kasus. Berg (2007) mengungkapkan bahwa studi

kasus adalah metode yang menekankan kepada eksploratif dari sebuah kasus.

Kegunaanya, menggali dasar-dasar sebuah permasalahan penelitian dan

mempermudah peneliti untuk menemukan berbagai faktor signifikan yang saling

berinteraksi untuk menentukan suatu karakteristik dari fenomena yang berkaitan

dengan individu, komunitas dan institusi. selain itu, studi kasus juga menekankan

kepada pemahaman subjek penelitian terhadap apa yang mereka dengar atau rasakan.

Bagaimana mereka menginterpretasikan berbagai informasi serta tindakan yang

mereka lakukan dan penyelesaian masalah dalam interaksinya. Menurut Robert K.

Yin (1994) pendekatan Studi kasus memungkinkan peneliti untuk mempertahankan

karakteristik holistik dan bermakna dari peristiwa-peristiwa kehidupan nyata.

Menurut Hadari Nawawi penelitian tipe deskriptif seperti studi kasus adalah

prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan, melukiskan

keadaan subjek atau objek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain)

pada saat sekarang, berdasarkan faktor-faktor yang tampak, atau sebagaimana

adanya.61

61 Hadari Nawawi, Metode Penelitian Kualitatif. 1998. hal 68

Bogdan dan Taylor mengemukakan bahwa penelitian kualitatif yang

menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan

Page 58: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68879/potongan/S2-2014... · dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

58

perilaku yang diamati. Penelitian kualitatif juga mempunyai desain penelitian

sementara yang berkembang di lapangan dan menganalisis data dengan cara

induksi.62

Penggunaan Pendekatan Studi Kasus dalam penelitian ini didasarkan kepada

keunikan atau kekhususan objek yang akan diteliti. Penelitian studi kasus menurut

Robert E. Stake mencari sesuatu yang khas tentang kasus dengan menyoroti sisi yang

tak lazim, kekhasan (unik) itu berpijak pada beberapa hal seperti; hakikat kasusnya,

latar belakang historisnya, setting fisiknya, dsb.

63

62 Moleong, Metode Penelitian Kualitatif. Remaja Rosda Karya, Bandung. 2000. hal 3 63 Norman K. Denzin dan Y.S Linclon, Handbook of Qualitatif Research, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, hlm. 484

Studi kasus disini dilihat

berdasarkan keintrinsikannya, dimana instrinsik merupakan salah satu jenis studi

kasus untuk mengetahui lebih mendalam tentang kasus tertentu yang sangat khas,

yang berbeda dengan fenomena sosial kebanyakan. Kekhasan yang berbeda dari

fenomena ssial kebanyakan itu terlihat pada penelitian ini, dimana ada pemerintahan

nagari yang pada konsep awalnya cuma dikenal oleh orang-orang Minangkabau.

Akan tetapi, sekarang pemerintahan nagari yang menjadi objek penelitian ini

diselenggarakan oleh orang-orang yang bukan berasal dari suku Minangkabau

melainkan mereka yang berasal dari suku Mandailing dan Jawa. Fenomana ini

berbeda dengan kebanyakan fenomena sosial yang ada di Sumatera Barat khususnya

mengenai pemerintahan Nagari yang dijalankan oleh etnik bukan Minangkabau.

Keunikan kasus pemerintahan nagari yang tidak dijalankan oleh orang Minangkabu

Page 59: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68879/potongan/S2-2014... · dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

59

ini lah yang menjadi salah satu alasan utama untuk menggunakan pendekatan Studi

Kasus.

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini lebih difokuskan di Pasaman Barat karena permasalahan yang

peneliti temukan berada di Kabupaten Pasaman Barat. Pertimbangan peneliti

mengambil lokasi penelitian di Kab. Pasaman Barat adalah kabupaten ini baru

menjadi kabupaten otonom pada tahun 2003 melalui Peraturan Pemerintah No. 38

Tahun 2003. Kabupaten Pasaman Barat pasca pemekaran menciptakan pemerintahan

nagari yang unik, dimana kabupaten Pasaman Barat yang memiliki heteregonitas

penduduknya telah menciptakan nagari-nagari yang bersuku mandahiling dan jawa.

Penelitian ini sengaja dilakukan pada Pemerintahan Nagari di kabupaten

Pasaman Barat, yang penulis pilih dengan dua kriteria yaitu:

a. Nagari yang para elite dan penduduknya mayoritas etnis Mandahiling

b. Nagari yang para elite dan penduduknya mayoritas etnis Jawa

Tabel 1.3 Kriteria Lokasi Penelitian

No Kriteria Nagari 1 Nagari yang para elite dan penduduknya

mayoritas beretnis Mandahiling Nagari Ujung Gading, Kecamatan Lembah Melintang

2 Nagari yang para elite dan penduduknya mayoritas beretnis Jawa

Nagari Desa Baru, Kecamatan Ranah Batahan

3. Jenis dan Sumber Data

Untuk memberi penjelasan yang rinci terhadap masalah yang diteliti, perlu

dikumpulkan data dari berbagai sumber. Data primer direncanakan diperoleh dari

Page 60: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68879/potongan/S2-2014... · dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

60

wawancara mendalam (indept interview) dengan pihak-pihak terkait seperti aparatur

di pemerintahan nagari (Wali Nagari, Badan Perwakilan Nagari, Kerapatan Adat

Nagari), tokoh-tokoh informal dalam Nagari (Ninik Mamak, alim ulama, Bundo

Kanduang), dan Badan Pemberdayaan Masyarakat Nagari kabupaten Pasaman Barat.

Selain itu, untuk membantu menjelaskan masalah yang diteliti, penelitian ini juga

menggunakan sumber tertulis (data sekunder) seperti sumber dari arsip, dokumen

pribadi, dokumen resmi, majalah ilimiah, dan sebagainya.

4. Unit Analisis dan Pemilihan Informan

Unit analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah kelompok atau

institusi, dimana lebih difokuskan pada pemerintahan nagari etnis Mandailing dan

Jawa. Informan merupakan orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi

tentang situasi dan kondisi latar belakang penelitian.64

No

Adapun informan penelitian

adalah sebagai berikut ini:

Tabel 1.4 Pemilihan Informan Penelitian

Unsur Jabatan 1 Pemerintahan Nagari Wali Nagari Badan Perwakilan Nagari Kerapatan Adat Nagari 2 Masyarakat Nagari Ninik Mamak Alim Ulama Bundo Kanduang Masyarakat Biasa 3 Pemerintah Daerah Kab.Pasaman Barat Bupati

Wakil Bupati Sekretaris Daerah

4 Badan Pemberdayaan Masyarakat Nagari Kepala instansi

64Lexy J moleong, Metode penelitian kualitatif, PT Remaja Rosdakarya. Bandung, 2002, hlm 13

Page 61: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68879/potongan/S2-2014... · dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

61

Kab. Pasaman Barat

5. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data akan menggunakan teknik sebagai berikut:

Teknik pertama adalah wawancara, dalam rangka memperoleh data primer

maka dilakukan wawancara dengan informan penelitian yang telah dipilih.

Kebutuhan terhadap teknik ini adalah untuk memberi penjelasan yang akurat dan

lengkap terhadap permasalahan yang diteliti dan diketahui serta dipahami baik oleh

informan. Wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara yang

telah disiapkan sebelumnya. Wawancara adalah pertemuan dua orang untuk bertukar

informasi dan ide melalui Tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam

topik tertentu. Susan stainbeck (1988)65

wawancara ada dua macam sebagai berikut:

menyatakan bahwa dengan wawancara

peneliti akan mengetahui hal-hal yang lebih mendalam tentang partisipan dalam

menginterpretasikan situasi dan fenomena yang terjadi, dimana hal ini tidak bisa

ditemukan melalui observasi yang hanya mengamati objek, tanpa berinteraksi secara

langsung dengan objek penelitian tersebut .

66

a. Wawancara terstruktur (structured interview) dalam istilah Esterberg

adalah wawancara yang menggunakan sejumlah pertanyaan yang

terstandar secara baku. Wawancara terstandar digunakan sebagai tekhnik

pengumpulan data, bila peneliti pengumpul data telah mengetahui dengan

65 Ibid 66 Djam’an satori, dan Aan Komariah. Metodologi Penelitian Kualitatif. ALFABETA. Bandung, 2009, hlm. 133.

Page 62: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68879/potongan/S2-2014... · dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

62

pasti tentang informasi apa yang akan diperoleh. Oleh karena itu, dalam

melakukan wawancara, pengumpul data telah menyiapkan instrumen

penelitian berupa pertanyaan-pertanyaan tertulis yang jawabannya pun

telah disiapkan.

b. Wawancara semistruktur (semistructured interview) menurut Esterbeg

adalah Pendekatan menggunakan petunjuk umum wawancara yang

merupakan kombinasi wawancara terpimpin dan tak terpimpin yang

menggunakan beberapa inti pokok pertanyaan yang akan diajukan, yaitu

interview membuat garis besar pokok-pokok pembicaraan, namun dalam

pelaksanaanya interviewer mengajukan pertanyaan secara bebas, pokok-

pokok pertanyaan dirumuskan tidak perlu dipertanyakan secara berurutan

dan pemilihan kata-katanya juga tidak baku tetapi dimodifikasi pada saat

wawancara berdasarkan situasi.67

Bentuk wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara

terstruktur. Wawancara terstruktur adalah wawancara yang telah tersusun secara

sistematis dan lengkap untuk pengumpulan datanya. Bentuk wawancara ini dilakukan

karena akan mendapatkan data yang lebih valid dan mempermudah dalam

wawancara.

Observasi, yang dimaksud dengan observasi disini adalah obeservasi atau

pengamatan yang dilakukan untuk memperoleh data yang akurat dalam penelitian ini.

pengamatan dilakukan untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam terhadap 67 Ibid.

Page 63: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68879/potongan/S2-2014... · dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

63

proses pelaksanaan pemerintahan nagari pada etnis Mandailing dan Jawa di

kabupaten Pasaman Barat. Selain itu, pengamatan juga membantu dalam menyusun

proposisi yang berasal dari data penelitian langsung. Teknik ketiga adalah dengan

studi Dokumentasi, dengan metode ini dikumpulkan berbagai bahan yang terkait

dengan merumuskan model varian pemerintahan nagari di kabupaten Pasaman Barat.

Pengumpulan data tersebut meliputi hasil-hasil dokumen resmi pemerintah berupa

kebijakan, hasil-hasil penelitian sebelumnya, dan jurnal ilmiah.

6. Triangulasi Data

Permasalahan dalam penelitian sosial adalah bagaimana tetap menjaga

realibilitas dari data yang diperoleh sebagai bahan analisis. Untuk itu penelitian ini

menggunakan teknik triangulasi data agar validitas dan realibilitas terhadap data yang

diperleh tercapai. Uji pembuktian atau Triangulasi data sendiri adalah teknik

pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu

untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data tersebut.68

Triangulasi dengan sumber data berarti membandingkan dan mengecek balik

derajad kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang

berbeda dalam metode kualitatif.

69

68 Lexy J Moleong,. Op cit hlm 178 69 Sugiyono. Op. Cit

Menurut Susan Stainback (1988) tujuan dari

Triangulasi data adalah bukan untuk mencari kebenaran tentang beberapa fenomena

tetapi lebih pada peningkatan pemahaman peneliti terhadap apa yang telah diteliti.

Dan Mathinson (1988) nilai dari teknik pengumpulan data triangulasi data untuk

Page 64: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68879/potongan/S2-2014... · dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

64

mengetahui data yang diperoleh tidak konsisten atau kontradiksi oleh karena itu

dengan menggunakan teknik triangulasi dalam pengumpulan data maka data yang

diperoleh akan lebih konsisten tuntas dan pasti.

7. Analisis Data

Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang

diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan dan bahan-bahan lain sehingga

dapat mudah dipahami dan temuannya dapat di informasikan kepada orang lain.

Analisis data dilakukan dengan mengorganisasikan data, menjabarkan kedalam unit-

unit, melakukan sintesa, menyusun kedalam pola, memilih mana yang penting yang

akan dipelajari dan membuat kesimpulan yang dapat diceritakan kepada orang lain.70

Miles dan Hubberman mengungkapkan bahwa aktivitas dalam penelitian kualitatif

dilakukan secara interaktif, terus-menerus sampai tuntas hingga datanya jenuh.71

Data yang diperoleh dianalisis sesuai dengan prinsip metode kualitatif deskriptif

yaitu dengan mendiskripsikan data yang diperoleh dengan menelaah seluruh data

yang tersedia dari berbagai sumber. Disamping perolehan data dari pelaporan “on the

spot”, data yang banyak tersebut juga harus direduksi dengan jalan membuat

abstraksi sebagai sebuah rangkuman yang inti. Di Sini akan dicoba mendiskripsikan

bagaimana proses demokrasi lokal pada pembentukan model pemerintahan nagari di

Sumatera Barat dan akhirnya terbentuk varian yang berbeda pada tiap-tiap nagari

melalui Analisis dilakukan berdasarkan pandangan-pandangan informan (emik) yang

70 Ibid. hlm. 88 71 Lexy J Moleong, Op cit hlm 82-83

Page 65: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68879/potongan/S2-2014... · dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

65

sudah di validasi dengan menggunakan metode triangulasi. Kesimpulan dari analisis

yang dilakukan terkait pada gabungan data yang didapat dari informan (emik) dan

interpretasi peneliti (etic) terhadap data lapangan tersebut.

8. Sistematika BAB

Bab I, Merupakan Pendahuluan, berisi mengenai Latar Belakang masalah, Rumusan

Masalah, Tujuan Penelitian, Kerangka Teori yang digunakan untuk

menganalisis masalah serta Metode penelitian yang akan digunakan.

BAB II, Memuat mengenai deskripsi lokasi penelitian yang berisi gambaran

mengenai lokasi penelitian dan juga digunakan untuk mendukung penjelasan

terhadap masalah yang diteliti, yang meliputi dinamika Nagari, termasuk

kerusakan-kerusakan yang terjadi atas intervensi negara terhadap Nagari.

Disamping itu, Bab ini juga memuat tentang konteks historis nagari di

Minangkabau, konteks historis ini akan dijabarakan dari dinamika bernagari

dari waktu ke waktu.

BAB III, Temuan data dan analisis pembahasan yang berisikan paparan dari hasil

penelitian. BAB V ini memfokuskan temuan pada bentuk sejarah dari Nagari

Ujung Gading yang beretnis Mandailing. BAB ini juga akan memaparkan

benturan budaya antara etnis Mandailing dan Minangkabau yang menciptakan

beberapa budaya tersendiri.

BAB IV, Temuan data dan analisis pembahasan yang berisikan paparan dari hasil

penelitian. pada BAB IV ini memfokuskan pada Nagari kedua,yang beretnis

Jawa yakni Nagari Desa Baru. BAB ini akan memaparkan alur kesejarahan

Page 66: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68879/potongan/S2-2014... · dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera

66

dari nagari jawa di Sumatera Barat, beserta dengan dinamika dalam

menjalankan sistem Nagari.

BAB V, BAB ini akan memfokuskan kepada mengkomparasikan dua Nagari non

Minangkabau ini, BAB ini akan membaca dinamika etnis Mandailing di

Nagari Ujung Gading, yang akan dibandingkan dengan etnis Jawa yang ada di

Nagari Desa Baru.

BAB VI, Kesimpulan dan saran yang berisikan kesimpulan terhadap pemaparan data

dan pembahasan yang dituliskan, berisikan poin kesimpulan dan disertakan

poin saran dari peneliti harus mengacu kepada tujuan penelitian yang ditulis

sebelumnya. BAB VI ini, merupakan intisari dari keseluruhan Thesis.