BAB I PENDAHULUAN A. Latar...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Studi ini ingin melihat pelaksanaan pemerintahan lokal di Sumatera Barat yang
latar belakang para pelaksana sistem pemerintahan lokal ini justru bukan berasal dari
etnis Minangkabau. Pasca kembali ke sistem nagari di Sumatera Barat sejak
diberlakukan UU No 22/1999, memunculkan fenomena baru, yakni berlangsungnya
sistem pemerintahan nagari oleh kelompok orang pendatang yang bukan orang
Minang. Artinya praktek pemerintahan Nagari tidak hanya mencakup etnis
Minangkabau saja, melainkan sudah bersifat inter-etnis (antar etnis berbeda). Hal ini,
terlihat dengan munculnya nagari-nagari yang beretnis Mandailing dan Jawa pada
suatu daerah di Sumatera Barat bagian utara. Sehingga penelitian ini mempunyai
suatu tujuan ingin menjawab seperti apa pelaksanaan dari kedua etnis tadi, dalam
kerangka pemerintahan lokal di Sumatera Barat yakni pemerintahan Nagari.
Pasca jatuhnya rezim penguasa Orde Baru pada tahun 1998, telah mengubah
locus kekuasaan yang selama ini berada kuat di pusat menuju kearah kekuasaan yang
berfokus pada konteks lokal. Localizing of power ini terlihat dengan menguatnya
identitas-identitas lokal di seluruh Indonesia. Sebuah gerakkan yang kemunculannya
hampir tidak diramalkan sebelumnya oleh para pengemat politik maupun pengamat
sosial. Dalam konteks kedaerahan tertentu, kebangkitan identitas lokal ini
digambarkan oleh Micheal Pichard (2005) tentang Bali, Lena Avonius (2004)
2
tentang Lombok, Dick Roth (2002) tentang Sulawesi Selatan, serta Japp Timer
(2005) tentang Papua.
Selain itu, tuntutan lain yang dibawa oleh angin reformasi yang berhembus
adalah tuntutan perubahan dalam pengaturan pemerintahan daerah yang sentralistis
kearah pengaturan yang lebih desentralistis.1 Tuntutan ini melahirkan Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Pemerintah Pusat
melakukan desentralisasi kewenangan yang cukup luas dengan membuka kesempatan
kepada pemerintah daerah dan masyarakat lokal untuk mewujudkan otonomi daerah.2
Tuntutan yang menjadi kebangkitan identitas lokal seluruh daerah di Indoensia
tersebut, juga melanda Sumatera Barat. Perdebatan-perdebatan kembali kepada
identitas pemerintahan lokal nagari menjadi topik yang hangat diperbincangkan.
Jatuhnya rezim Orde Baru menjadi langkah awal untuk “memanggil pulang “sebuah
tradisi lama itu. Proses kembali kepada sistem pemerintahan nagari sebenarnya
mengalami perjalanan yang panjang. Pada tahun 1998 Gubernur Sumatera Barat
mengawali penelitian mengenai opini-opini dan sikap-sikap di daerah-daerah
pedesaan. Para peneliti, menyimpulkan bahwa mayoritas penduduk pedesaan lebih
Lahirnya undang-undang tersebut, semakin memperkuat kekuasaan ditingkat
lokal/daerah (localizing of power). Sebuah pengaturan pemerintahan daerah yang
lebih memberikan kebebasan pada rakyat di daerah untuk dapat mengurus rumah
tangga daerahnya sesuai dengan inisiatif, adat istiadat dan kebiasaan setempat.
1 AAGN. Ari Dwipayana, Dkk, Membangun Good Governance di Desa, IRE Press, Yogyakarta, 2003, hal. v 2 Tri Ratnawati. Potret Pemerintahan Di Indonesia. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006, hlm. 144
3
menyukai struktur nagari daripada struktur desa. Oleh karena itu, Gubernur
memutuskan pada tahun 1998 bahwa Sumatera Barat harus kembali ke struktur nagari
dan Gubernur bersiap-siap untuk meyakinkan kalangan politik Jakarta dan Sumatera
Barat. Setelah diskusi-diskusi yang intensif di dalam dan di luar parlemen propinsi,
konsultasi-konsultasi dengan organisasi-organisasi adat dan islam, perantau
Minangkabau yang berpengaruh di Jakarta, serta diskusi-diskusi di koran-koran lokal,
maka Peraturan Daerah Provinsi No. 9 tahun 2000 tentang Pemerintahan nagari
menandakan Sumatera Barat sudah kembali kepada sistem pemerintahan lokal
Minangkabau.3
3 Lihat Franz dan Keebet von Benda-Beckman, Identitas-Identitas Ambivalen: desentralisasi dan Komunitas-Komunitas Politik Minangkabau, dalam Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken (Ed.), Politik lokal di Indonesia, KITLV-Jakarta, 2007 hlm. 550. “prospek kembali ke nagari menimbulkan diskusi-diskusi politik yang cukup bersemangat di seputar dua masalah terpisah yang seringkali dicampur adukkan. Isu yang pertama menyangkut basis teritorial bagi desa baru tersebut (nagari). Isu kedua menyangkut model organisasional nagari itu harus dikembalikan kepada; model prakolonial, Kolonial, Orde Lama, atau Orde Baru.
Bila melihat konteks masyarakat Sumatera Barat yang mayoritas didominasi
oleh suku Minangkabau, maka kesempatan yang telah diberikan dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah ini sudah tentu ditandai dengan pilihan agar
kembali kepada pemerintahan nagari, yang memang menjadi sistem pemerintahan
lokal suku mayoritas Sumatera Barat tersebut. Semakin menguatnya keidentitasan
orang Minangkabau untuk kembali kepada nagari, telah menciptakan penyeragaman
pemerintahan lokal yang bernama Nagari di seluruh Sumatera Barat. Dahulu di masa
Orde Baru penyeragaman terjadi terhadap seluruh daerah di Indoensia. Akan tetapi,
sekarang penyeragaman malah terjadi lagi, meski di tingkat lokal.
4
Renske Biezeveld (2002) pernah mengatakan, bahwa ditengah keragaman
budaya dan etnis Indonesia yang luar biasa, Sumatera Barat sering dipandang sebagai
daerah yang relatif homogen dalam budaya dan adat. Mayoritas penduduk dalam
daerah ini berasal dari etnis Minangkabau, yang pada umumnya Islam dengan
identitas etnis yang kuat.4
Dari elaborasi berbagai sumber tentang jejak sejarah (historis) keberadaan dua
suku bangsa ini di Kab. Pasaman Barat. Sebenarnya daerah Pasaman Barat
merupakan daerah rantau bagi orang Minangkabau, karena orang minangkabau
dahulu kala membagi daerahnya menjadi Luhak (daerah asal, terbagi tiga yakni luhak
Agam, Luhak Tanah Datar dan Luhak Lima Puluh Kota) dan rantau.
Namun demikian, berbeda dengan pendapat Biezeveld
yang mengatakan Sumatera Barat sebagai daerah yang relatif homogen, ternyata
dalam pelaksanaan pemerintahan nagari di kabupaten Pasaman Barat sepertinya
berbeda dengan kabupaten lain di Sumatera Barat pasca kembali ke pemerintahan
Nagari. Hal ini, disebabkan oleh karena munculnya pemerintahan Nagari yang
berbeda Etnis di kabupaten Pasaman Barat. Kabupaten ini di diami oleh tiga suku
bangsa besar yakni, Minang, Mandailing, dan Jawa. Yang menarik, setiap suku ini
mempunyai pemerintahan nagari yakni; Nagari Ujung Gading yang mayoritas
suku/etnis Mandailing, dan Nagari Desa Baru yang mayoritas suku/etnis Jawa.
5
4 Lihat Renske Biezveld, Ragam Peran Adat di Sumatera Barat, Dalam Jamie S. Davidson, David Henley, dan Sandra Moniaga (Ed). Adat Dalam Politik Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2010 hlm. 222
Orang
5 Daerah Minangkabau sesungguhnya dapat dibagi dalam tiga lingkungan wilayah yaitu (1). Minangkabau Asli, yang oleh orang Minangkabau disebut dengan istilah (darek) yang terdiri dari tiga luhak yakni Luhak Agam, Tanah datar, dan Lima Puluh Koto, (2). Daerah Rantau, yang merupakan perluasan bentuk koloni dari setiap luhak tersebut diatas yaitu pertama rantau luhak Agam yang
5
Minangkabau yang datang ke Pasaman Barat berasal dari Luhak Agam. Ketika
perang Paderi meletus, Tuanku Imam Bonjol melakukan invansi ke tanah batak,
orang-orang batak yang masuk islam dibawa ke daerah Pasaman dan diberikan tanah
untuk hidup dan beraktivitas seperti berkebun serta bersawah, begitu awal mulanya
kedatangan orang Mandailing di Kab. Pasaman Barat dan terus bermigrasi ke daerah
ini seiring berjalannya waktu.
Adapun kedatangan suku jawa ke daerah ini bermula sejak tahu 1900-an, yang
pada mulanya merupakan buruh-buruh perkebunan Belanda, pasca Belanda pergi
tepatnya ketika tahun 1950-an disekitar daereh perkebunan tersebut dibangun
perkampungan orang-orang jawa ini. Ketika tahun 1960-an perkebunan diambil alih
oleh ABRI, sekitar 1970-an ABRI melepaskan perkebunan ini kepada pemerintah
daerah dengan syarat minimal 25 % pemilik perkebunan adalah purnawirawan ABRI
(notabene purnawirawan ABRI adalah dari suku jawa). Kedatangan selanjutnya
melalui transmigrasi dimasa pemerintahan Orde Baru.
Ketiga unsur ini, yakni suku Minangkabau, suku Mandailing, dan suku Jawa
memiliki pemahaman yang berbeda satu sama lain, seperti bentuk pemerintaan lokal.
Dalam budaya orang minangkabau sistem pemerintahan dikenal dengan nama Nagari.
Nagari adalah sebuah “republik kecil” yang mempunyai pemerintahan sendiri secara
meliputi pesisir barat Pariaman sampai Air Bangis (Pasaman Barat), dan Lubuk Sikaping. Kedua, luhak Lima puluh Koto yang meliputi Bangkinang , lembah Kampar Kiri, Kampar Kanan, Rokan Hulu, dan Rokan Hilir. Ketiga rantau Luhak Tanah Datar, meliputi Kubung tigo baleh, pesisir barat, Pesisir Selatan dari Padang sampai Indrapura, Kerinci dan Muara Labuh. Untuk lebih lanjut lihat Syarifudin, 1983:78-83.
6
otonom dan berbasis pada masyarakat (self-governing community).6 Sebagai sebuah
“republik kecil”, nagari mempunyai perangkat pemerintahan demokratis, unsur
eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Nagari, secara antropologis, merupakan kesatuan
holistik bagi berbagai perangkat tatanan sosial-budaya.7
Dalam kebudayaan Mandailing tidak mengenal Nagari melainkan apa yang
disebut dengan Huta sebagai pemerintahan lokal, yaitu kesatuan masyarakat hukum
yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat berdasarkan asal usul yakni Dalihan Na tolu yang harus tetap selaras
dengan ketentuan dan hukum agama.
8
6 Sutoro Eko, Menggantang Asap ?. Yogyakarta. IRE. 2005. hlm. 20, “Nagari menyerupai sebuah the local state, tetapi ia mungkin tidak bisa dikatakan sebagai sebuah negara modern sebagai lemabaga yang mempunyai mnopoli penggunaan sarana-sarana kekerasan secara absah. Dengan kata lain, nagari bukanlah bentuk kecil organisasi kekuasaan yang tersusun secara hirearkhis-sentralistik. Selain itu, seorang sejarawan Mustika Zed, mengibaratkan nagari menyerupai “negara-kota” (polis) pada zaman Yunani Kuno, dimana setiap nagari bertindak seperti republik-republik kecil yang satu sama lain tidak mempunyai ikatan struktural dan terlepas dari kekuasaan federal di pusat. Nagari yang dipimpin secara kolektif oleh penghulu suku bersifat otonom dan tidak tunduk pada raja di Pagarayung, melainkan berbasis (mewakili) kaum (warga) dan keluarga dalam nagari itu sendiri. 7 Betty Sumarty, Revitalisasi Peran Ninik Mamak Dalam Pemerintahan Nagari. Yogyakarta. Jpp. hlm. 22 8 A.A Nasution. Pangamalan Budaya Dalihan Na Tolu dalam Pengelolaan Pemerintahan Daerah Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, dan Kota Padangsidempuan. Jakarta :Fortasman.2003. hlm.51
Setiap Huta, marga-marga yang ada
dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu Kahanggi, Anak Boru dan Mora. Para
tokoh masyarakat dari masing-masing marga yang tergabung dalam kelompok
Kahanggi, Anak Boru, dan Huta menentukan atau memilih pimpinan mereka yang
duduk dalam Dewan Huta atau sebagai Raja Pamusuk. Pembentukannya diusulkan
oleh Camat kepada Bupati untuk selanjutnya diusulkan kepada DPRD Kabupaten.
7
Sedangkan dalam masyarakat Jawa lebih mengenal sistem pemerintahan desa.
Desa berbasis pada konteks self-governming community yang memiliki sederet
pranata lokal, identitas, kultur, dan organisasi lokal yang unik. Desa bersifat
tradisional dan komunitarian, tetapi village governance senantiasa mengedepankan
kemandirian, keteraturan, keseimbangan hubungan sosial dan alam, keberlanjutan,
kebersamaan, kesetaraan dan keadilan.9 Desa dipahami sebagai suatu daerah kesatuan
hukum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat yang memiliki wewenang
mengadakan pemerintahan sendiri.10
Problematika yang muncul dengan adanya nagari-nagari non Minangkabau
tersebut, Pertama adalah syarat untuk mendirikan nagari yang salah satu syarat
nampaknya sulit dipenuhi oleh kedua unsur etnis non-Minangkabau ini yakni harus
adanya Tanah Ulayat.
11
9 Sutoro Eko (Ed). Prakarsa Desentralisasi dan Otonomi Desa. Yogyakarta. IRE Press. 2006. “Desa penuh dengan nuansa yang berubah-rubah menurut irama sejarah. Selama kejayaan masa Nusantara yakni pada Abad ke-14 dibawah pemerintahan Majapahit, pada awal abad ke-17 dan akhir abad ke-18 dibawah Mataram, setelah pertengahan abad ke-19 di bawah pemerintahan Hindia-Belanda, dan sejak tahun 1970 dibawah Orde Baru yang menyamaratakan seluruh sistem pemerintahan terendah seperti desa dijawa melalui UU No.5/1979 tentang desa. 10 Suhartono. Parlemen Desa “Dinamika DPR Kelurahan dan DPRK Gotong Royong”. Yogyakarta. Lapera Pustaka Utama. 2000. Hlm. 13. “penyebutan desa memang terasa lebih akrab ditelinga suku Jawa. Menurut Soetardj Kartohadikusumo, perkataan (arti kata) desa, aslinya dari perkataan Sankskrit (sansekerta), yang artinya tanah air, tanah asal, tanah kelahiran. Perkataan desa hanya dipakai di Jawa, Madura , dan Bali”.
Kedua, Warna-warni ke dua etnis yang coba saling
11 Persyaratan untuk mendirikan Nagari adalah: 1). Babalai bamusajik (mempunyai balai dan mesjid), artinya mempunyai sebuah balairung, yang dijadikan tempat pemerintahan nagari, baik di bidang eksekutif, legislatif, dan yudikatif, 2). Basuku banagari (mempunyai suku dan nagari), artinya setiap penduduk nagari terbagi dalam kelompok masyarakat yang bernama suku (minimal harus ada empat suku). Banagari maksudnya adalah setiap penduduk harus jelas asal dan usulnya, baik suku dan nagarinya, sehingga dapat diketahui warga pendatang yang hendak menetap. Penentuan asal usul ini sangat penting artinya bagi nagari, terutama dalam penentuan hak dan kewajibannya sebagai penduduk nagari tersebut, 3). Bakorong bakampuang (mempunyai tempat/wilayah/kampung), maksudnya setiap nagari harus mempunyai wilayah kediaman, baik lingkaran pusat dengan batas-batas tertentu secara alamiah maupun lingkaran perkampungan sebagai satelit (hinterland), 4). Bahuma babendang
8
dikontraskan. Warna keMinangkabauan orang Sumatera Barat adalah selalu
mengklaim dirinya sebagai pelopor terdepan demokrasi (Mochtar Naim, 2006),
berbeda dengan konsep dalam etnis Jawa yang lebih hirearki dan terpusat. Struktur
niniak mamak di Sumatera Barat adalah berada pada pucuk pimpinan “Tigo Tungku
Sajarangan”, dan apakah bisa dikontraskan dengan “Dalihan Na Tolu” yang ada
dalam budaya orang Mandailing. Melihat hal tersebut, bagaimana etnis Mandailing
dan Jawa mampu membangun kelembagaan institusi nagari, padahal mereka tidak
mempunyai gelar-gelar datuk atau penghulu yang ada dalam budaya orang
Minangkabau, dan sekaligus hal terpenting dalam adanya pemerintahan Nagari.
Ketiga, terkait dengan kelenturan budaya, dalam hal ini Institusi lokal yang dimiliki.
ketika UU No. 5/1979 tentang Desa, semua daerah di Indonesia dapat menerima
adanya Desa. meskipun, diawal kemunculannya menimbulkan gerakan-gerakan
perlawanan dari lokal. Namun seiring berjalannya waktu, ternyata konsep Desa
mudah berbaur dengan kehidupan masyarakat lokal di berbagai daerah di Indonesia.
Ketika itu, di Sumatera Barat bisa dikatakan ada dua Institusi lokal yakni; institusi
formal bernama Desa, dan institusi informal bernama nagari (untuk tetap
(berhuma), maksudnya adalah pengaturan keamanan terhadap gangguan yang datang dari luar serta pengaturan informasi resmi tentang berbagai hal, seperti musim turun kesawah, gotong royong, dan lain-lain, 5). Balabuah batapian, maksudnya adalah mempunyai pengaturan perhubungan lalu lintas dan perdagangan, 6). Basawah baladang (mempunyai sawah dan ladang), maksudnya adalah pengaturan sistem usaha pertanian serta harta benda yang menjadi sumber kehidupan dan hukum pewarisan, 7). Bahalaman bapamedanan (mempunyai halaman dan gelanggang), maksudnya adalah berupa pengaturan rukun tetangga, pesta perkawinan, dan permainan, 8). Bapandan bapusaro (mempunyai tempat pemakaman), maksudnya adalah mempunyai tempat pemakaman serta pengaturan acara penyelenggaraan anak nagari yang meninggal dunia.
9
mempertahankan budaya orang Minang). Dalam konteks penelitian ini, apakah
konsep Nagari itu cukup lentur untuk menerima etnis lain yang menjalankannya, atau
mungkin saja etnis mandailing dan Jawa menciptakan institusi informalnya
disamping institusi formal bernama Nagari.
Sehingga Hipotesis yang coba dibangun oleh penelitian ini dari problematika
diatas adalah; efektifkah penyelenggaraan pemerintahan Nagari yang bukan
dijalankan oleh etnis Non-Minangkabau ini ? Atau apakah perbenturan antara budaya
orang Minangkabau dengan budaya orang Mandailing dan Jawa akan menciptakan
konstruksi institusi baru atau sekedar hybrid Institution ?
B. Rumusan Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, rumusan masalah yang menjadi
pertanyaan kunci dalam penelitian ini adalah Bagaimana varian pemerintahan lokal
pada wilayah-wilayah Nagari bersuku Non Minangkabau seperti Mandailing dan
Jawa di Kabupaten Pasaman Barat?. Dari pertanyaan utama tersebut terdapat tiga
pertanyaan turunan :
1. Bagaimana etnis Mandailing dan Jawa mengakomodasi sistem pemerintahan
Nagari sehingga menciptakan varian pemerintahan nagari ?
2. Bagaimana model kelembagaan Nagari di wilayah Pemerintahan Nagari etnis
Mandailing dan Jawa?
3. Bagaimana model akulturasi budaya di wilayah Pemerintahan Nagari etnis
Mandailing dan Jawa ?
10
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini ingin melihat bagaimana varian dari pelaksanaan pemerintahan
lokal di pemerintahan nagari yang penduduknya berbeda suku bangsa yakni suku
Mandailing dan Jawa. Penelitian ini mencoba membangun argumentasi bahwasanya;
pertama, suku minang, serta dua suku bangsa yang bukan mengenal sistem nagari
yakni Mandahiling dan Jawa, mencoba untuk mengakomodir budaya-budaya mereka
dalam sistem pemerintahan nagari. kedua akan terciptanya corak atau model
pemerintahan lokal yang berbeda dari dua pemerintahan nagari berbeda suku tersebut.
D. Penelitian Terdahulu Yang Relevan
Penelitian tentang Nagari pernah dilakukan oleh Nurus Salihin Jamra pada
tahun 200312
12 Nasrudin Nurus. Tesis Jurusan Sosiologi UGM, 2003.
. penelitian ini menceritakan tentang ketidakberpihakan sistem politik
nasional terhadap demokrasi lokal dimana pemerintah Orde Baru melakukan proses
negaranisasi dalam kehidupan rakyat. Orde Baru mengembangkan pengorganisasian
sosial politik secara korporatif. Proses negarisasi dilakukan lewat proses penaklukan
dan pensubordinasian organisasi masyarakat, salah satunya dengan mengembangkan
skema sentralistik dan uniformistik terhadap sistem pemerintahan lokal nagari di
Sumatera Barat. Paradigma korporatif sentralistik dan uniformistik ini membuat
negara tampil menjadi aktor penting dalam berbagai kebijakan dan pengambil
keputusan mulai dari skala nasional sampai pada tingkat lokal, lebih dari itu juga
terjadi perubahan filosofi kehidupan masyarakat minangkabau, supralokal, tradisi
musyawarah dan mufakat yang terlembaga melalui institusi nilai-nilai tradisional
11
seperti semangat pluralitas dan heteregonitas diganti dengan semangat sentralistik dan
homogenitas, nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi kesamaan spirit kebebasan
mengurus diri sendiri atau otonomi beralih menjadi sikap ketergantungan yang kuat
pada kekuasaan nagari kemudian dipasangkan dalam barak-barak birokrasi desa.
Hasil dari proses negaranisasi oleh rezim orde baru membuat negara semakin
memperkokoh eksistensi dirinya terhadap nagari di Minangkabau. Dominasi negara
dalam kehidupan sosial budaya, ekonomi dan politik membuat rakyat tidak berdaya
dalam cengkraman negara. Negara tampil menjadi aktor yang dinamikanya paling
dominan terhadap rakyat. Negara memegang monopoli dan otoritas dalam
mendefenisikan kata “rakyat” dan mengoperasikan kedalam aksi untuk terhadap
rakyat dalam konteks ini, negara telah menciptakan suatu sistem yang bercorak
otoriter, dominatif, represif, dan hegemoni.
Sutoro Eko juga pernah melakukan penelitian tentang Desentralisasi dan
demokrasi lokal di Sumatera Barat, dimana penelitian ini menceritakan tentang
wacana dan gerakan kembali ke nagari telah membangkitkan minat baru bagi riset
dan advokasi terhadap masyarakat adat, yang mempunyai relevansi langsung dengan
agenda global demokratisasi dan desentralisasi. Wacana kembali ke nagari juga
punya kontribusi terhadap agennda desentralisasi dan demokrasi lokal yang lebih
manusiawi dan berbasis pada keragaman (pluralisme), ketimbang model
pemerintahan masa lalu yang lebih mengutamakan keseragaman. Ketika nagari sudah
masuk ke dalam formasi besar negara-bangsa Indonesia, maka konsep subsidiarity
sangat penting untuk memaknai ulang keberadaan nagari. Nagari sekarang berbeda
12
dengan nagari dulu. Nagari dulu sangat otonom, mempunyai self-governing
community bagaikan republik kecil yang terbebas dari kekuasaan pusat. Nagari
sekarang tidak sepenuhnya otonom dari struktur negara. Struktur negara yang hirarkis
(dari pemerintah pusat, Propinsi Sumatera Barat dan kabupaten) telah melakukan
desentralisasi kekuasaan, kewenangan dan sumber daya pada nagari. Dengan kalimat
lain, otonomi nagari sekarang adalah lebih kepada “pemberian” negara. Karena itu,
untuk membangkitkan semangat “republik kecil”, konsep subsidiarity adalah
jawabannya. Sebagai sebuah prinsip politik, subsidiarity bukan sekedar berbicara
tentang pembagian kewenangan ke unit pemerintahan yang lebih rendah, melainkan
berbicara tentang pengambilan keputusan dan penggunaan kewenangan secara
mandiri oleh unit pemerintahan atau komunitas yang paling rendah.
Ampera Salim (2002) dalam Rekonstruksi Sistem Pemerintahan Nagari di
Tinjau dari Sudut Kelembagaan (studi Kasus Nagari Padang Magek, Tanah Datar,
Sumatera Barat), Nagari sejak awal merupakan suatu kesatuan masyarakat otonom,
atau republik kecil dengan teritorian yang jelas bagi masyarakatnya. Nagari
merupakan daerah dalam lingkungan konfederasi pemerintah Minangkabau dan
berhak mengurus diri sendiri. Dari sisi lain, dapat dilihat bahwa lembaga nagari yang
berfungsi sebagai lembaga adat dan pemerintah, saling terkait, jalan menjalin, dan
merupakan kesatuan yang integral.
Dalam penelitian ini, terbukti bahwa pergeseran fungsi dan perubahan lembaga
pemerintahan nagari, mulai terjadi sejak zaman penjajahan Belanda. Sebelum
Belanda masuk ke Minangkabau, nagari merupakan sebuah Republik kecil. Dimana
13
yang menjadi pemerintahannya adalah ninik mamak urang ampek jinih (penghulu,
manti, mualim, dan dubalang) selaku pejabat legislatif/yudikatif. Sedangkan
pimpinan eksekutif dijabat oleh seorang kepalo nagari yang diseleksi oleh ninik
mamak kemudian dipilh oleh rakyat secara demokratis.
Puncak hancurnya tataran kelembagaan negara adalah sejak berlakunya UU No.
5/1979, terhitung tanggal 1 Agustus 1983, Pemda Sumatera Barat menetapkan jorong
sebagai unit pemerintahan terendah (Surat keputusan Gubernur Sumatera Barat No.
162/GSB-/1983), jumlah unit pemerintahan terendah berubah dari 543 nagari menjadi
3.133 desa, dan 406 kelurahan. Sejak itulah pemerintahan nagari lenyap dan
masyarakatnya pun jadi terpecah-pecah.
Selain itu masih ada Suryanef dan Al Rafni (2005) dalam Kembali ke Nagari:
Kembali ke Identitas dan Demokrasi Lokal?. Kembali ke identitas dan demokrasi
lokal senyatanya tidak sebatas angan untuk mengulang cerita indah romantisme masa
lalu. Namun berpijak pada kesadaran logis dalam merekonstruksikan kembali nagari
yang sesuai dengan semangat modernitas, globalisasi, dan demokratisasi. Oleh karena
itu perlu sebuah kewajiban dan tanggungjawab moral untuk terus memperjuangkan
sekaligus mentransformasi nilai demokrasi dalam struktur dan sistem nilai
masyarakat lokal seperti Nagari.
Menurut penelitian ini, perlu strategi untuk pembaruan nagari yang berbasis
demokrasi lokal. Pertama, harus ada pemberian kewenangan yang jelas terhadap
Nagari. Kedua, harus ada kelembagaan yang kuat baik pada aras masyarakat maupun
lembaga formal. Dalam hal ini adalah pengaturan kelembagaan nagari di dalam
14
organisasi nagari baru, yaitu Wali Nagari, Bamus, dan KAN. Ketiga, harus ada
partisipasi dari masyarakat nagari. keempat, harus ditunjang oleh sumber daya
material dan sumber daya manusia yang handal. Dan terakhir, harus ada
pertanggungjawaban yang transparan (accountability) dari pemegang jabatan publik.
Penelitian lain tentang pemerintahan Nagari adalah Rita Gani (2006), temuan
penting dari penelitian ini adalah bagaimana pola komuniakasi elit-elit pemerintahan
Nagari. Elite yang coba dilihat elit pemerintahan taradisional nagari yakni apa yang
dinamakan dengan tigo tungku sajarangan. Elit-elit yang masuk dalam tigo tungku
sajarangan adalah Niniak mamak, alim ulama dan cadiak pandai. Rita mencoba
memperoleh pemahaman tentang model hubungan/relasi komunikasi kelompok yang
berlaku diantara hubungan antara kalangan Ninik Mamak dengan kalangan cerdik
pandai dan alim ulama.
Tulisan Dasman Lanin (2006) tentang “Konservasi Nilai Kultural Adat
Minangkabau Melalui Kebijakan Otonomi Nagari”, ia mencoba melihat perlunya
konservasi nilai adat terhadap pemerintahan nagari di era reformasi ini pasca kembali
kenagari. Selama ini nagari telah tercerabut oleh intervensi kebijakan pusat melalui
pemerintahan desa sehingga sangat diperlukan segara menata pemerintahan nagari
yang berdasarkan nilai-nilai asli Minangkabau. Untuk mengarah kepada penataan
tersebut, Nagari-nagari yang ada di Sumatera Barat diperlukan untuk menyiapkan
sumber daya manusianya untuk dapat melakukan konservasi nilai adat dalam
pelakasanaan pemerintahan nagari.
15
Penelitian yang pengambilan sampelnya dengan mengkomparasikan tiga sistem
pemerintahan nagari pernah dilakukan dengan lokus Kab. Pesisir Selatan. hampir
serupa dengan penelitian ini, tetapi masih dalam satu jenis etnis yakni etnis
Minangkabau, sangat berbeda sekali dengan tulisan ini yang mencoba
membandingkan dua sistem pemerintahan lokal nagari yang berbeda etnis. Penelitian
ini dilakukan oleh Zefnihan, dalam thesisnya di Universitas Indonesia yang berjudul
“Hubungan Sistem Pemerintahan Dengan Partisipasi Masyarakat: suatu tinjauan
tentang sistem pemerintahan pada tiga nagari di Kab. Pesisir Selatan”. Temuan
penting dari Penelitian tersebut, yakni melacak sistem pemerintahan nagari semenjak
asal usul nagari sampai keterlibatan pemerintah dalam mengaturnya, serta hubungan
pemerintahan nagari dengan partisipasi masyarakat dan faktor-faktor yang
mempengaruhi bentuk partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan
nagari. Penelitian tersebut melihat keikutsertaan atau berpartisipasinya masyarakat
dalam pemerintahan nagari dimasa kolonial disebabkan oleh keterpaksaan. Dimasa
orde baru pasca UU No. 5 tahun 1979 menyatakan berpartisipasinya masyarakat
disebabkan oleh pengharapan terhadap imbalan.
Penelitian lain yang mencoba mengkomparasikan tiga nagari adalah thesis
Tengku Rika Valentina dengan judul “Demokratisasi Lokal Tiga Nagari di
Kabupaten Solok” (2009). Penelitian ini melihat bagaimana bentuk demokratisasi
lokal di tiga nagari yang berbeda di kabupaten solok. Temuan penting dari penelitian
ini adalah bagaimana perbandingan antara demokrasi minimalis versus demokrasi
maksimalis. Beda penelitian ini dengan tulisan ini adalah tetap pada etnisitas yang
16
diteliti masih dalam etnisitas yang homogen bukan heterogen. Perbedaan lain dengan
penelitian ini, terletak pada titik masuk Tengku Rika Valentina yakni, pada konsep
kelarasan orang Minangkabau yakni kelarasan Koto-Piliang dan kelarasan Bodi-
Chaniago untuk melihat pelaksanaan pemerintahan nagari di Kabupaten Solok.
Sedangkan titik masuk penelitian ini berada pada etnis Mandailing dan Etnis jawa
untuk memberikan pelabelan tersendiri pada varian pemerintahan nagarinya.
Penelitian lain mengenai sistem pemerintahan lokal di tempat lain seperti,
Harry Truman (2007) mengenai Demokrasi Lokal (studi kasus praktek demokrasi
dalam sistem pemerintahan marga pada eks marga Mulak Ulu, Kabupaten Lahat,
Sumatera Selatan). Penelitian ini melihat bagaimana praktek demokrasi yang berjalan
dalam sistem pemerintahan marga. Untuk melacak praktek demokrasi dalam
pemerintahan marga, Harry menyoroti tiga hal terpenting yaitu rekruitmen pemimpin,
pengelolaan sumber daya bersama, dan pengelolaan konflik.
Penelitian tersebut menemukan bahwa, demokrasi yang berkembang dalam
sistem pemerintahan marga adalah demokrasi komunitarian. Dimana demokrasi yang
berjalan dalam pemerintahan marga menekankan nilai kesetaraan, harmoni relasi
sosial, solidaritas sosial dengan basis kolektifitas telah mampu bekerja untuk
menjamin distribusi sumber daya tersebar secara merata untuk kesejahteraan
masyarakat di tingkat marga. Atau dengan kata lain demkorasi dalam pemerintahan
marga telah menjamin sumber daya kekuasaan baik itu politik, ekonomi, sosial
budaya telah didistribusikan secara merata kepada masyarakat marga.
17
Pertama, rekruitmen pemimpin ditingkat marga, dalam pemerintahan marga
dipilih secara langsung oleh masyarakat marga, namun pemimpin mereka dipilih dari
mereka yang masih memiliki keturunan dengan nenek moyang mereka. Kedua,
pengelolaan sumber daya bersama, pemerintah marga memiliki kuasa penuh terhadap
pengaturan kepemilikan tanah ditingkat marga, mana tanah yang boleh digarap dan
mana tanah yang tidak boleh digarap. Ketiga, pengelolaan konflik ikatan kekerabatan
yang dibangun dalam masyarakat marga telah menjamin komunitas dua arah antar
masyarakat marga maupun dengan komunitas lain dalam pengelolaan konflik.
Mekanisme-mekanisme penyelesaian konflik ini dibangun berdasarkan dialog dan
musyawarah.
Penelitian ini juga dipandang ada kaitan dengan multikulturalisme, sehingga
ada baiknya kita juga membahas beberapa penelitian yang pernah dilakukan dalam
melihat keragaman etnisitas. Pertma, Taufiq Tanasaldy (2007), dalam Politik
Identitas Etnis di Kalimantan Barat. Penelitian ini menunjukkan warna etnis sangat
mencolok pada politik lokal di Kalimantan Barat, sejak berakhirnya Orde Baru.
Sepanjang sejarah Kalimantan Barat pasca kemerdekaan, kecuali selama Orde Baru,
politik etnis identik dengan politik elit Dayak. Orang Dayak adalah satu-satunya
segmen masyarakat Kalimantan Barat yang sering terlibat menggunakan sentimen
etnis. Setelah tahun 1999 dinamika politik diantara orang Dayak berubah. Mereka
kehilangan pengaruh karena posisi-posisi kunci, khususnya kedudukan bupati,
sekarang secara institusional telah dibagi diantara Melayu dan Dayak.
18
Identitas etnis akan terus memainkan peranan penting dalam politik Kalimantan
Barat, tetapi dengan cara-cara yang lebih damai. Catatan, sejak tahun 1999
menunjukkan bahwa politisasi etnis yang tinggi antara orang Dayak dan Melayu tidak
berakibat pada konflik etnis diantara mereka. Politik etnis yang sekarang dimainkan
secara sadar oleh baik orang Dayak maupun Melayu tidak hanya berhasil mencegah
kekerasan etnis lebih jauh, tetapi juga menjadi bagian dari proses pembelajaran sipil
dan demokrasi di Kalimantan Barat.
Selanjutnya ada, Amalinda Savirani (2003), dalam Multikulturalisme Dalam
Politik Lokal Di Hongaria. Tulisan ini memaparkan mengenai upaya
institusionalisasi gagasan dalam upaya multikulturalisme. Sejauh ini, tawaran yang
disediakan kalangan filsuf demokrasi liberal terhadap eksistensi kelompok etnis-
kultural adalah melalui gagasan integrasi atau asimilasi ke dalam kelompok mayoritas
yang dominan. Yang terjadi di Eropa Timur memperlihatkan keterbatasan perangkat
teoritik yang tersedia saat ini. kondisi kontemporer di kawasan ini sulit dipecahkan
dengan policy asimilasi atau integrasi, yakni pertama, negara-negara di kawasan ini
tidak pernah mengalami kolonialisme. Sentimen yang dimiliki negara baru merdeka
yang merekatkan upaya-upaya apapun yang diambil setelah kemerdekaan. Kedua,
konfigurasi etnisitas mengakar kuat dalam sejarah kawasan ini. meski generasi baru
telah lahir, dengan karakteristik trans-etnis yang kuat, sentimen etnisitas tidak pernah
padam. Apalagi dalam perkembangannya setting ekonomi di setiap negara
menyuburkan sentimen yang sudah ada, yakni kalangan minoritas yang menguasai
sumber material dibandingkan dengan mayoritas yang biasanya lebih tak beruntung.
19
Dalam kondisi saat ini, gagasan multikulturalisme sesungguhnya merupakan
salah satu dari sekian banyak alternatif pemikiran dalam mengelola keberagaman.
Dari pandangan ini dapat dilihat bahwa karakteristik hubungan antar etnis dikawasan
eropa Tengah dan Timur berbeda sekali dengan kondisi di Indonesia. Upaya
pengakuan terhadap eksistensi minoritas lewat ide multikulturalisme pertama-tama
menyangkut hak menggunakan bahasa ibu bagi masing-masing kelompok.
Kedua,upaya institusionalisasi ide multikulturalisme ini tidak mudah. Di samping
kebutuhan perangkat hukum dan infrastruktur pengaturan teknis yang amat rumit, ide
ini memiliki nilai politis yang sangat kuat yakni sebagai syarat bagi integrasi.
Terakhir, tulisan Myrna Eindhoven (2007), dalam Penjajah Baru? Identitas,
Representasi, dan Pemerintahan di Kepulauan Mentawai Pasca-Orde Baru.
penelitian ini melihat Proses desentralisasi di Indonesia telah mengarah pada suatu
pergeseran penting dalam politik lokal, dan hubungan-hubungan kekuasaan di
Kepulauan Mentawai. Akibat pergeseran itu orang-orang mentawai sudah bisa
membebaskan diri dari apa yang mereka pandang sebagai penindasan kultural dan
penjajahan politis oleh Minangkabau daratan. meski pemerintah daerah telah dikuasai
oleh para elite lokal, tetapi tidak secara merata mewakili semua tingkatan
masyarakat. dalam hal ini, para politikus lokal rupanya telah tergelincir kembali ke
retorika Orde Baru sehubungan dengan ‘masyarakat terasing’, dianggap sebagai
sebagai langkah mundur dalam pemberdayaan komunitas-komunitas lokal. Hal ini,
sangat menggelisahkan dan mengherankan untuk melihat betapa mudahnya elite
politik lokal baru bisa membuang ide-ide lama mereka beserta dengan retorika
20
tentang hak menentukan nasib sendiri, dimasa lampau tidak bisa mereka dapatkan,
khususnya dimasa Orde Baru.
Sedangkan penelitian mengenai benturan interaksi dua budaya yang berbeda,
dapat kita jumpai dalam tulisan Ummu Harizhah (2007) mengenai Pola Interaksi
Masyarakat Keturanan Arab Dengan Penduduk Lokal di Desa Gapura Sukolilo
Gresik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat bermacam faktor yang
mempengaruhi pembauran di Desa Gapura Sukolilo, baik yang bersumber dari
golongan etnis Arab maupun yang berasal dari penduduk pribumi. Faktor-faktor yang
mendukung terhadap proses integrasi adalah perkawinan campuran dan kerjasama
ekonomi. Faktor-faktor yang menghambat diantaranya adalah prejudice (prasangka)
dan Streteotype (Streteotipe). Selain itu, terdapat faktor pengikat, yang dapat
meminimalisir terjadinya konflik yaitu persamaan agama, rasa saling membutuhkan,
dan persaudaraan. Dampak-dampak dari pembauran terhadap komunitas Arab Gresik
tampak pada kebudayaan lahir mereka seperti ritual (ritual hari besar islam), tradisi
(makanan, bangunan, bahasa, kesenian, dan pengobatan), nilai (pendidikan dan posisi
wanita), dan simbol (mushola/masjid dan pakaian), yang tidak lagi khas Arab
Hadramout, melainkan perpaduan Arab Hadramout dan Jawa. Meskipun demikian,
mereka masih mempraktekan beberapa kebudayaan dasar seperti tafa’ah dalam
perkawinan dan sistem kekerabatan serta pertemuan. Selain itu, komunitas Arab
Gresik juga membawa pengaruh bagi masyarakat pribumi, yaitu terhadap kebudayaan
fisik (bahasa, pakaian, dan kesenian), dan kehidupan keagamaan (tarekat, peringatan
maulid dan haul).
21
Selain itu, ada penelitian Dahwan (2003) dengan judul Huakiau Masuk Surau
(Studi Tentang Pengaruh Tingkat Keberagaman Pedagang Etnis Tionghoa Warga
PITI terhadap integrasi sosial dengan pedagang pribumi di Daerah Istimewa
Yogyakarta). Penelitian ini menunjukkan, bahwa perbedaan tingkat keberagaman
tidak berpengaruh terhadap integrasi sosial. Demikian pula perbedaan tingkat
persepsi, tidak berpengaruh terhadap tingkat integrasi sosial. Dilihat hubungan antara
tingkat keberagaman persepsi, hasil analisisnya menunjukkan bahwa perbedaan
tingkat keberagaman juga tidak berpengaruh terhadap tingkat persepsi dan integrasi
sosial tidak ada hubungan fungsional. Hal ini, diduga karena kuatnya solidaritas
keluarga diantara mereka, sebagai budaya yang dievaluasi dari leluhurnya.
Tabel 1.1 Perbandingan Penelitian Terdahulu Pasca Kembali Ke Nagari
No Peneliti Judul Metode Keterangan 1 Nurus Salihin
Djamra Demokrasi Lokal Dibawah Bayang-Bayang Negara
Kualitatif Berfokus pada marginalisasi yang telah dilakukan Orde Baru terhadap Nagari
2 Sutoro Eko Menggantang Asap, Kritik dan Refleksi Atas Gerakkan Kembali Ke Nagari
Kualitatif/ dengan
pendekatan Participatory
action research
Melihat bagaimana proses kembali ke nagari menuai perdebatan, karena nagari yang dibangun tidak bisa utuh seperti dulu kala sebelum marginalisasi orde baru. Sutoro eko manawarkan konsep subsidiarity sebagai jawabannya
3 Ampera Salim
Rekonstruksi Sistem Pemerintahan Nagari di Tinjau dari Sudut Kelembagaan (studi
Kualitatif Penelitian ini menggambarkan bagaimana pergeseran tatanan struktur dan tata
22
Kasus Nagari Padang Magek, Tanah Datar, Sumatera Barat)
kelola pemerintahan nagari, yang dimulai dimasa Belanda sampai terpecah-pecah oleh Desanisai Orde Baru. Oleh karena itu, pasca Orde Baru perlu untuk merekonstruksi pemerintahan Nagari di Sumatera Barat
4 Suryanef dan Al Rafni
Kembali ke Nagari: Kembali ke Identitas dan Demokrasi Lokal?
Kualitatif Paca kembali ke Nagari perlu pembaruan terhadap pemerintahan Nagari yang sekarang dengan mempertimbangkan semangat modernitas, globalisasi, dan demokratisasi
5 Dasman Lanin
Konservasi Nilai Kultural Adat Minangkabau Melalui Kebijakan Otonomi Nagari
Kualitatif Pasca kembali ke nagari perlu untuk menata dan memasukkan kembali nilai-nilai Minangkabau kedalam Nagari versi baru
6 Zefnihan Hubungan Sistem Pemerintahan Dengan Partisipasi Masyarakat: suatu tinjauan tentang sistem pemerintahan pada tiga nagari di Kab. Pesisir Selatan
Kualitatif Penelitian ini melacak tingkat partisipasi masyarakat dengan mengkomparasikan tiga pemerintahan nagari, namun pemilihan tiga nagari tersebut masih dalam satu etnis yang homogen, yakni Minangkabau
7 Tengku Rika Valentina
Demokratisasi Lokal Tiga Nagari di Kabupaten Solok
Kualitatif Titik masuk dari penelitian ini dalam melihat demokrasi lokal pada nagari berdasarkan kelarasan masing-masing nagari yakni kelarasan Koto-Piliang,
23
dan Kelarasan Bodi-Chaniago sebagai suku asal orang minangkabau, selain itu penelitian ini mengkomparasikan tiga nagari yang masih dalam etnis yang homogen Minangkabau, yakni Nagari jawi-jawi, Nagari Batang Barus,dan Nagari Guguak
8 Harry Truman
Demokrasi Lokal (studi kasus praktek demokrasi dalam sistem pemerintahan marga pada eks marga Mulak Ulu, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan)
Kualitatif Setelah jatuhnya Orde Baru, Sumatera Selatan kembali kepada sistem pemerintahan Marga, penelitian ini melihat demokrasi komunitarian marga dengan meyoroti tiga aspek yakni, rekruitmen pemimpin, pengelolaan sumber daya bersama, dan pengelolaan konflik.
9 Taufiq Tanasaldy
Politik Identitas Etnis di Kalimantan Barat
Kualitatif Pasca Orde Baru, politik etnis yang dimainkan secara sadar oleh etnis Dayak maupun Melayu tidak hanya berhasil mencegah kekerasan etnis, tetapi juga menjadi bagian dari proses pembelajaran sipil dan demokrasi di Kalimantan Barat
10 Amalinda Savirani
Multikulturalisme Dalam Politik Lokal Di Hongaria.
Kualitatif Memaparkan mengenai upaya institusionalisasi gagasan dalam upaya multikulturalisme.
24
gagasan multikulturalisme sesungguhnya merupakan salah satu dari sekian banyak alternatif pemikiran dalam mengelola keberagaman
11 Myrna Eindhoven
Penjajah Baru? Identitas, Representasi, dan Pemerintahan di Kepulauan Mentawai Pasca-Orde Baru
Kualitatif Pasca Orde Baru, elite-elite lokal mulai mendominasi di Kepulauan Mentawai, namun ada pergeseran ide yang dulunya elite ini kuat menyuarakan identitas kultural Mentawai yang terjajah oleh orang-orang daratan, namun sekarang malah mereka yang nampaknya jauh dari retorika-retorika mereka selama ini.
12 Ummu Harizhah
Pola Interaksi Masyarakat Keturanan Arab Dengan Penduduk Lokal di Desa Gapura Sukolilo Gresik.
Kualitatif Faktor-faktor yang mendukung terhadap proses integrasi adalah perkawinan campuran dan kerjasama ekonomi. Faktor-faktor yang menghambat diantaranya adalah prejudice (prasangka) dan Streteotype (Streteotipe). Sedangkan faktor pengikat, yang dapat meminimalisir terjadinya konflik yaitu persamaan agama, rasa saling membutuhkan, dan persaudaraan
13 Dahwan Huakiau Masuk Kuantitatif Penelitian ini
25
Surau (Studi Tentang Pengaruh Tingkat Keberagaman Pedagang Etnis Tionghoa Warga PITI terhadap integrasi sosial dengan pedagang pribumi di Daerah Istimewa Yogyakarta).
memaparkan tentang tingkat keberagaman terhadap dampak integrasi sosial.
Namun dari beberapa penelitian yang muncul pasca kembali ke nagari, ada
sesuatu yang mis (terlewatkan) dari para para peneliti. Penelitian pasca kembali
kenagari masih berkutat pada romantika bahwa nagari pernah di hegemoni oleh
kekuasaan yang bernama negara di masa orde baru. Selain itu, sebagian peneliti yang
lainnya sibuk dengan memikirkan dengan konsep apa yang ingin ditata atau akan
diterapkan dalam pemerintahan Nagari sekarang, apakah Nagari seperti pra kolonial,
kolonial, pasca kemerdekaan, Orde Baru atau konsep baru seperti apa. Para peneliti
seperti alpa dengan terciptanya komunitas nagari yang tidak hanya jadi milik orang
Minangkabau sebagai suku dominan Sumatera Barat pasca kembali kenagari, hal ini
terlihat dengan adanya sistem pemerintahan Nagari yang dijalankan oleh etnis Jawa
dan Mandailing di Sumatera Barat. Sedangkan perbedaan penelitian ini dengan
penelitian multikulturalisme di daerah lain, adalah beberapa penelitian
multikulturalisme diatas, lebih kepada perjuangan politik lokal untuk mendapatkan
eksistensi, dan tidak melihat dari kerangka institusi lokal yang ada.
26
E. Konseptualisasi
Kerangka analisis yang diharapkan dapat membantu untuk menjawab
pertanyaan penelitian. Terutama untuk mengidentifikasi berbagai faktor yang
menyebabkan munculnya pemerintahan Nagari yang dijalankan oleh etnis
Mandailing dan Jawa. Pada bagian pertama akan dibahas pendekatan yang akan
dipakai yakni pendekatan new institusionalism dengan fokus pada salah satu jenisnya
yaitu historical institusionalism. Pendekatan historical institusionalism dipilih karena
karena pendekatan ini tidak bersifat snapshot melainkan membaca perkembangan
institusi dalam alur kesejarahan secara kontinum.
1. Historical Institusionalism: Akar kesejerahan Institusi Dalam Melihat Varian Pemerintahan Nagari
Penelitian ini akan berpijak dari sebuah bangunan teoritik mengenai pendekatan
historical Institusionalism. Pendekatan historical institusionalism merupakan bagian
dari pendekatan new institusionalism. Pendekatan institusionalime baru berbeda
dengan pendekatan-pendekatan lainnya. New institusionalism merupakan
penyimpangan dari institusionalisme lama, dimana institusionalisme lama lebih
mengupas lembaga-lembaga kenegaraan (aparatur negara) seperti apa adanya secara
statis. Perhatian kaum institusionalis lama terutama terletak pada masalah bagaimana
membangkitkan kekuasaan yang besar dari rakyat yang berdaulat dan memadukannya
pemerintahan terbatas. Para teoritisi kelembagaan mengandaikan bahwa kekuasaan
sangat bersifat swasta, digunakan bersama-sama, dan saling menguntungkan bagi
penguasa maupun rakyat dan pemerintah mempunyai tujuan, bersifat membantu,
27
menengahi dan membuat sesuatu menjadi moderat. Konstitusi merupakan satu-
satunya prinsip politik yang mutlak, karena itu ia mewakili kontrak sosial yang
menentukan kondisi-kondisi dimana kedaulatan rakyat diperluas hingga mencapai
wakil mereka. Kontribusi sebenarnya melahirkan pemerintahan yang akan membuat
undang-undang untuk mewujudkan keinginan mayoritas.13
New institusionalism menjadi sebuah paradigma baru untuk memberi
penjelasan lebih kontekstual reaksional dari dominasi teori behavioralisme. Di dalam
ilmu politik dan sosiologi, teori new institusionalism terbagi kedalam tiga varian
besar yaitu; institusionalisme sosiologis, institusionalisme historis, dan rasional
choice institusionalisme. Sosiological Institusionalism menitikberatkan pada cara-
cara institusi menyediakan identitas dan makna interaksi sosial, serta pada bagaimana
institusi mempengaruhi pilihan dan identitas aktor.
14 organisasi seringkali harus
berubah untuk merespon tekanan dan nilai-nilai yang ditentukan oleh masyarakat
disekelilingnya.15
Menurut Hall dan Taylor,
Institusi menyediakan pola atau tempalate moral dan kognitif yang
menciptakan identitas dan pilihan bertindak.
16
13 David Apter, Pengantar Analisis Politik, LP3ES, Jakarta, 1985, hlm. 143 14 Korpri, seperti dikutip Nanang Indra Kurniawan dalam Globalisasi dan Negara Kesejahteraan, Laboratorium Ilmu Pemerintahan, Yogyakarta, 2009, hlm 21 15 Ibid, hlm. 22 16 Ibid, hlm. 21
sociological institutionalist cenderung
mendefenisikan institusi secara lebih luas ketimbang ilmuwan politik dengan tidak
hanya memasukkan aturan-aturan formal, prosedur, atau norma, tetapi juga sistem
simbol, rujukan, kognitif, serta kerangka moral yang memberi bingkai dasar bagi
28
tindakan aktor. dari sini bisa ditemukan bahwa sociological institutionalism lebih
menekankan aspek kognitif dan normatif ketimbang aspek kepentingan seperti yang
digagas oleh rational choice institusionalist.
Sedangkan pendekatan rasional choice institusionalism menyatakan bahwa
orientasi institusi pemerintahan atau sistem hukum adalah representasi dari konstruksi
rasional yang dibangun dari pandangan individu untuk mendukung atau
mengamankan kepentingannya. Pendekatan ini sebagai representasi dari bekerjanya
premis ekonomi.17
Sementara itu, Institusionalisme historis (historical institusionalism),
menitikberatkan pada analisis yang lebih mendalam tentang bekerjanya mesin regime
Bagi penganut rational choice institutionalism perhatian lebih
banyak difokuskan pada persoalan tentang bagaimana aktor-aktor yang ada
membangun dan merubah institusi untuk mencapai kepentingan-kepentingan mereka.
Institusi adalah fungsi dari kepentingan, kata mereka. Pendekatan ini sebenarnya
sangat dipengaruhi oleh tradisi behavioralisme dan rational choice yang melihat
bahwa interaksi manusia merupakan manifestasi dari kepentingan diri. Secara umum,
para penganut pendekatan ini berargumen bahwa aktor (baik individu maupun
organisasi) selalu memiliki seperangkat preferensi atau selera yang baku. Mereka
berperilaku sepenuhnya secara instrumental. Tujuannya adalah agar capaian-capaian
atas preferensi-preferensi tersebut bisa dimaksimalkan serta diwujudkan lewat cara-
cara yang strategis. Dengan begitu maka kalkulasi yang luas sangat diperlukan oleh
mereka.
17 Ibid, hlm. 34
29
dan pemerintahan. Khususnya bagaimana bekerjanya dua struktur yang menjadi
acuan yaitu; struktur formal dan informal.18 Historical institusionalism melihat
struktur sebagai perjuangan politik dan arena pertarungan kepentingan ide dan
kekuasaan.19
Berbeda dengan dua jenis neo institusionalisme lainnya, kaum historical
institusionalism mendefinisikan institusi sebagai prosedur-prosedur (baik yang formal
maupun tidak), rutinitas, norma-norma dan konvensi-konvensi yang tertanam dalam
struktur organisasi dari sebuah sistem politik ataupun ekonomi politik.
Secara umum, pendekatan ini lebih memfokuskan analisis pada tingkat makro
dimana mereka menekankan pentingnya struktur masyarakat dan negara ketimbang
organisasi itu sendiri. Secara khusus, pengikut historical institusionalism tertarik
untuk memahami mengapa institusi-institusi politik menghasilkan perbedaan
keluaran dan efek politik. Mereka percaya variasi tersebut tidak bisa dijelaskan
apabila kita tidak mempelajari secara khusus tentang bagaimana institusi membentuk
atau membangun proses politik serta bagaimana akhirnya kebijakan politik bisa
dihasilkan. Dalam jenis new institusionalism ini, faktor kesejarahan institusi adalah
kunci pokoknya.
20
18 Op. Cit, W. Richard Scott, hlm 33 19 AAGN Ari Dwipayana, Melampaui Marx dan Machiavelli, dalam R. Wiliam Liddle “Memperbaiki Mutu Demokrasi Indonesia”, PUSAD Paramadina, Jakarta, 2012, hlm. 64 20 Peter Hall dan Rosemarry Taylor, Dalam “Political Science and the Three New Institusionalism”, Journal of Political Studies, Blackwell Publishers, 1998.
Thalen dan
Steinmo mendefinisikan institusi dengan contoh seperti, mulai dari struktur
pemerintahan (legislatur), institusi legal (undang-undang pemilihan) sampai institusi
30
sosial (kelas sosial). Institusi-institusi tersebut menjadi basis aturan main yang
dibangun lewat perjuangan politik. Institusi juga bisa membentuk identitas kelompok
dan pilihan koalisi mereka, menguatkan posisi tawar kelompok dan pilihan koalisi
mereka, menguatkan posisi tawar kelompok tertentu sementara pada saat yang sama
menurunkan posisi kelompok yang lain. Hal yang penting, menurut institusional
historis adalah bahwa institusi tidak bisa dipahami semata sebagai arena netral
dimana pertarungan politik terjadi. Akan tetapi, harus juga dimengerti bahwa institusi
sebenarnya membentuk perjuangan politik itu sendiri.
Historical institusionalism percaya bahwa perubahan cenderung terjadi secara
inkremental (bertahap) dan evolusioner. Mereka berpendapat institusi yang menuntun
pembuatan keputusan dan tindakan aktor, selalu merefleksikan pengalaman historis.
Ide dasarnya adalah bahwa pilihan-pilihan kebijakan yang dibuat saat sebuah institusi
dibentuk atau saat sebuah kebijakan dan tindakan ke depan. Begitu institusi dibangun
melalui perjuangan dan tawar-menawar yang kompleks diantara kelompok
terorganisir maka institusi ini akan mepunyai pengaruh pada pembuatan keputusan
dan tahapan-tahapan institution-building ke depan.
Historical institusionalism memandang perubahan institusional sebagai proses
yang mengikuti alur kesejarahan. Hal ini menurut Campbell21
21 Op.Cit, Nanang Indra Kurniawan, hlm 27
terjadi karena bebarapa
hal; Pertama, institusi membatasi pilihan-pilihan yang tersedia dalam pengambilan
keputusan. Kedua, pengambil keputusan selalu secara bertahap menyesuaikan
kebijakan dan institusi mereka terhadap umpan balik yang diterima dari
31
konstituennya. Ketiga, pengambil keputusan perlahan-lahan memahami mana
kebijakan dan institusi yang paling sesuai untuk mencapai tujuan.
Keutamaan dari historical institusionalism adalah lebih eklektik karena
menggunakan kedua pendekatan neo institusionalism lainya yakni, rasional choice
dan sosiological institusionalism. Campbell menyebut bahwa historical
isntitusionalism berada diantara kedua jenis tersebut, karena mereka menawarkan
penjelasan yang lebih seimbang tentang hubungan saling mempengaruhi tingkah laku
individu dan organisasi.
Penggunaan historical institusionalism dalam penelitian ini mengacu kepada
prosedur-prosedur, norma, dan rutinitas (kebiasaan) yang dimodifikasi oleh institusi.
Historical institusionalism tidak melihat institusi itu secara Snapshot dengan melihat
kejadian saat ini saja, namun historical institusionalism jauh lebih menjelaskan secara
kontinum kapan institusi dibentuk, dikembangkan, dan kapan ia berubah. Dalam
penelitian ini melihat, kapan aktor itu menginisiasi pembentukan Nagari,
mengembangkan pemerintahan Nagari, serta perubahan yang terjadi pada Nagari.
2. Adaptasi dan Akulturasi Budaya
Penelitian ini mencoba meminjam kerangka teoritik dari ilmu sosiologi dan
antropologi, yang digunakan untuk membaca adaptasi dan akulturasi budaya dalam
kesejarahan dari sebuah institusi. Kata adaptasi berasal dari bahasa Inggris adaptation
secara umum berarti menyesuaikan dengan kebutuhan atau tuntutan baru, atau dapat
pula berarti usaha mencari keseimbangan kembali ke keadaan normal (Shadily, 1980:
75). Kata budaya dalam KBBI berarti : (1) pikiran, akal budi; (2) adat istiadat; (3)
32
sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang (beradab, maju); (4) sesuatu
yang sudah menjadi kebiasaan dan sukar diubah (Ali, 1993: 149). Arti yang hampir
sama dari kata budaya diperoleh dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang ditulis
oleh Poerwadarminta. Dalam kamus ini kata budaya diartikan sebagai : (1) pikiran,
akal budi; (2) yang sudah berkembang (beradab, maju) (2007: 180). Kata adaptasi
jika digabungkan dengan kata budaya menimbulkan pengertian sebagai perubahan
dalam unsur-unsur kebudayaan yang menyebakan unsur-unsur itu dapat berfungsi
lebih baik bagi manusia yang mendukungnya (Ali, 1993:6).
Sementara itu menurut Sanderson (2003) adaptasi adalah suatu trait sosial (sifat
atau perangai sosial) yang muncul sebagai akibat adanya kebutuhan, tujuan dan hasrat
individu. Adaptasi erat kaitannya dengan sebuah pola sosiokultural, sebab bentuk-
bentuk sosiokultural baru muncul sebagai adaptasi. Sanderson juga menambahkan
bahwa inovasi sosiokultural dilakukan secara sengaja dan sama sekali tidak acak,
oleh karenanya maka evolusi sosiokultural biasanya berlangsung sangat cepat.
Menurut Parson bahwa setiap unsur kebudayaan mengalami proses perubahan,
terlebih lagi dalam situasi urbanisasi dan pertumbuhan ekonomi yang berlangsung
cepat. Perubahan unsur kebudayaan juga dapat disebabkan oleh adanya gerakan
sosial, oleh karenanya diperlukan adaptasi budaya. Dalamadaptasi budaya, setiap
individu membutuhkan individu lain dalam rangka memberi respons dan
menciptakan dunia sosialnya. Kebutuhan akan dunia sosial,memperkuat asumsi
bahwa manusia tidak dapat hidup secara baik jikalau mereka terasing dari lingkungan
sosialnya. Bukan hanya itu, manusia juga harus selalu berusaha memelihara
33
hubungan yang selaras dengan alam dan lingkungan di sekitarnya berdasarkan prinsip
hubungan timbal balik. Sejalan dengan pandangan Parson tersebut Kaplan (2000:112)
menyatakan bahwa adaptasi adalah proses yang menghubungkan sistem budaya
dengan lingkungannya.
Adaptasi antar budaya merupakan suatu proses panjang penyesuaian diri untuk
memperoleh kenyamanan berada dalam suatu lingkungan yang baru. Dalam
“Intercultural Communication Theories”, Gudykunst memaparkan bahwa teori
adaptasi budaya termasuk ke dalam kelompok teori akomodasi dan adaptasi22.Salah
satu teori yang dikemukakan dalam paparan itu adalah teori adaptasi antarbudaya dari
Ellingsworth. Ellingsworth mengemukakan, perilaku adaptasi dalam interkultural
diadik terkait antara lain dengan unsur adaptasi dalam gaya komunikasi.23 Gaya
adalah tingkah laku atau perilaku komunikasi. Menurut Gudykunst dan Kim, adaptasi
dapat terjadi dalam dimensi kognitif. Dalam dimensi kognitif, terjadi penyesuaian
bahasa verbal dan nonverbal. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa adaptasi dapat
terjadi dalam dimensi perseptual, kognitif, dan perilaku.24
Teori yang berfokus pada akomodasi dan adaptasi lainnya dikemukakan Gile.
Teorinya disebut teori akomodasi komunikasi atau communication accomodation
theory (CAT). Teori ini bertolak dari teori akomodasi percakapan. Menurut teori ini,
22 William B. Gudykunst, “Intercultural Communication Theories” dalam William B. Gudykunst & Bella Mody (eds). Handbook of International and Intercultural Communication. 2nd Ed. Sage Publications. California, 2002, hlm. 183 23 Huber W, Ellingsworth,.. “A Theory of Adaptation in Intercultural Dyads” dalam Young Yun Kim & William B. Gudykunst (eds). Theories in Intercultural Communication. Sage Publications. Newbury Park. 1988, hlm. 271 24 Op.Cit, hlm. 337
34
pembicara menggunakan strategi linguistik untuk mencapai persetujuan atau untuk
menunjukkan perbedaan dalam interaksinya dengan orang lain. Strategi komunikator
yang utama adalah berdasarkan pada motivasi divergensi dan konvergensi.
Perpindahan linguistik ini untuk meningkatkan dan mengurangi jarak komunikasi.
Sikap setuju dinyatakan dengan konvergensi. Sementara itu divergensi dilakukan
sebagai pernyataan menolak.
Mengenai Akulturasi Koentjaraningrat (2005: 155) mengatakan bahwa
akulturasi merupakan istilah yang dalam antropologi mempunyai beberapa makna
(acculturation, atau culture contact). Ini semuanya menyangkut konsep mengenai
proses sosial yang timbul apabila sekelompok manusia dengan suatu kebudayaan
tertentu dihadapkan pada unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing itu lambat laun
diterima dan diolah kedalam kebudayaan sendiri, tanpa menyebabkan hilangnya
kepribadian kebudayaan itu.
Selain itu, Akulturasi dapat juga didefinisikan sebagai proses sosial yang timbul
bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan
unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-
unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan
sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri.
Dalam hal ini terdapat perbedaan antara bagian kebudayaan yang sukar berubah
dan terpengaruh oleh unsur-unsur kebudayaan asing (covert culture), dengan bagian
kebudayaan yang mudah berubah dan mudah terpengaruh dengan kebudayaan asing
(overt culture). Covert culture misalnya seperti; 1). Sistem-sistem nilai budaya, 2).
35
keyakinan-keyakinan keagamaan yang dianggap keramat, 3). beberapa adat yang
sudah dipelajari sangat dini dalam proses sosialisasi individu warga masyarakat, dan
4) beberapa adat yang mempunyai fungsi yang terjaring luas dalam masyarakat.
Sedangkan overt culture misalnya kebudayaan fisik, seperti alat-alat dan benda-benda
yang berguna, tetapi juga ilmu pengetahuan, tata cara, gaya hidup, dan rekreasi yang
berguna dan memberi kenyamanan.
3. Konsep Pemerintahan Lokal
Kata Pemerintahan berasal dari kata pemerintah, yang memiliki empat unsur
yaitu, ada dua belah pihak yang terkandung, kedua pihak tersebut memiliki
hubungan, pihak yang memerintah memiliki wewenang, dan pihak yang diperintah
memiliki ketaatan. Perintah atau pemerintah dalam bahasa Inggris dipergunakan kata
“government” yang berasal dari suku kata “to geven”,yang artinya; melaksanakan
wewenang pemerintahan, cara atau sistem memerintah, fungsi atau kekuasaan untuk
memerintah, dan wilayah atau negara yang diperintah.25 Menurut para ahli seperti C.
F. Strong, yang mengatakan pemerintahan dalam arti luas mempunyai kewenangan
untuk memelihara kedamaian dan keamanan negara, baik kedalam maupun keluar.26
Sedangkan Mac Iver mendefenisikan maksud dari Pemerintahan adalah sebagai suatu
organisasi dari orang-orang yang mempunyai kekuasaan yang membuat bagaimana
manusia itu bisa diperintah.27
25 Djoko Suyono, Diktat Pemerintahan Desa, Universitas Pancasakti, Tegal, 2008, hlm. 1 26 C. F. Strong, Modern Political Constituion, Sidgwick and jackson Ltd., London, 1960, hlm. 6 27 R. Mac Iver, The Web of Government, The Mac Millan Company Ltd. New York, 1947
36
Dalam penelitian ini konsep yang ingin digunakan adalah mengenai
pemerintahan lokal. Pemerinntahan Lokal adalah pemerintahan terendah di suatu
negara, yang diakui haknya untuk menjalankan urusan rumah tangga sendiri, serta
diakui keberadaanya berdasarkan asal usul pemerintahan tersebut. Pemerintahan lokal
sendiri mencakup dua ketegori besar yakni pemerintahan lokal secara administratif
dan pemerintahan lokal yang memang berdiri sendiri (nature). Pemerintahan lokal
secara administratif merupakan bagian atau cabang dari pemerintah pusat atau
pemerintah tingkat atasannya. Pemerintahan lokal administratif pusat terbentuk pada
saat pemerintah pusat tidak lagi mampu mengurus urusan-urusannya yang tersebar di
daerah dengan alat-alat perlengkapan yang hanya berkedudukan di pusat
pemerintahan negara.28
Sedangkan kategori pemerintahan lokal kedua adalah pemerintahan lokal yang
berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Pemerintahan ini bukan
merupakan bagian atau cabang pemerintah pusat atau pemerintah atasannya.
Meskipun di daerah telah ada pemerintahan lokal administratif, baik yang umum
maupun yang khusus, tetapi urusan-urusan tertentu untuk menyelenggarakannya perlu
lebih disesuaikan keadaan daerah masing-masing. Terhadap urusan-urusan tersebut
yang penyelenggaraannya tidak didasarkan atas garis-garis kebijaksanaan pusat, dapat
dijadikan sebagai urusan rumah tangga sendiri. Hal ini pula yang termasuk dalam
salah satu bagian kekuasaan klasik ala Montesquieu, yakni teori kekuasaan yang tidak
28 R. Joeniarto, Perkembangan Pemerintahan Lokal, Penerbit Alumni, Bandung, 1982, hlm 24
37
dibentuk oleh negara, melainkan terbentuk secara alami (nature) dan dengan
sendirinya diakui keberadaanya.29
a. Fungsi Demokrasi dan Politik
Selain itu, dalam sebuah negara yang berazaskan demokrasi, untuk dapat
melaksanakan asas yang seluas-luasnya, maka di daerah dibentuklah pemerintahan
lokal yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Pemerintahan
lokal diberi hak untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan tertentu sebagai urusan
rumah tangganya sendiri. Oleh karena urusan-urusan tersebut merupakan urusan
rumah tangga pemerintahan lokal, maka pemerintahannya mempunyai mempunyai
kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan tersebut atas inisiatif
sendiri sesuai dengan keadaan dan kebutuhannya sendiri. Pemerintah atasannya tidak
boleh lagi mencampuri penyelenggaraan tersebut, kecuali dalam bentuk pengawasan.
Konsekuensi dari kewenangan ini, pemerintah lokal yang bersangkutan perlu
dilengkapi dengan dengan perangkat-perangkat pemerintahan lokal seperti sebuah
badan pembuat peraturan, dan lain sebagainya.
Pada dasarnya pemerintahan lokal memiliki beberapa fungsi pokok yang antara
lain sebagai berikut:
Prinsip demokrasi di sini dimaksudkan sebagai hubungan antar semua
cabang kekuasaan negara dan hubungan antara cabang-cabang kekuasan
negara dengan masyarakat. prinsip ini diwujudkan dalam bentuk
keberadaan dewan perwakilan dari rakyat dan pememberian hak kepada 29 Georg Jelinek dalam bukunya, System der subjektiv offentlichen Rechte, Tubingen, 1919 hlm. 265
38
masyarakat untuk memilih secara langsung dan bebas. Oleh karena itu,
pemerintahan lokal lah yang menjamin terselenggaranya hak-hak
masyarakat tersebut.
b. Fungsi Administrasi
Dalam hal ini, pemerintahan lokal sebagai penerima otoritas dan
penanggungjawab untuk melaksanakan fungsi-fungsi pelayanan publik
yang bersifat lokal. Sebagai tingkatan paling rendah dan dekat dengan
masyarakat pemerintahan lokal menjalankan dua jenis urusan yaitu; (1).
Urusan-urusan yang sejak awal ada dan secara alamiah menjadi urusan
pemerintahan lokal, (2). Urusan-urusan yang dilimpahkan oleh pemerintah
yang lebih tinggi.
c. Fungsi Ekonomi dan Sosial
Pemerintahan lokal menjadi penting karena pada dasarnya kegiatan
ekonomi berada pada level pemerinthan lokal. Baik dan buruknya iklim
ekonomi/investasi sangat ditentukan oleh kemampuan pemerintahan lokal
untuk membaut kebijakan dan pelayanan yang memadai. Sedangkan
secara sosial, keberadaan pemerintahan lokal dimaksudkan untuk
mendekatkan “hadirnya” negara kepada masyarakat. keberadaan dan
penyelenggaraan semua aktivitas negara harus memenuhi kebutuhan
masyarakat dan aktivitas tersebut harus dilakukan oleh pemerintahan yang
paling dekat dengan masyarakat.
39
Adanya Pemerintahan lokal tidak bisa dilepaskan dari konsep otonomi daerah.
Rondinelli dan Chema (1983) mendefenisikan otonomi daerah sebagai proses
pelimpahan wewenang perencanaan, pengambilan keputusan atau pemerintahan dari
pemerintah pusat kepada organisasi-organisasi kepada unit-unit pelaksana daerah,
kepada organisasi semi otonom dan parastatal ataupun kepada pemerintah daerah atau
organisasi non pemerintah).
Sedangkan menurut Mas’ud Said otonomi daerah dipahami sebagai sebuah
proses devolusi dalam sektor publik dimana terjadi pengalihan wewenang dari
pemerintah pusat kepada pemerintah Provinsi dan kabupaten/kota (2005: 6). Gustav
dan Stewart (1994) mengidentifikasi tiga makna berbeda dari “otonomi daerah yang
dapat digunakan untuk menganalisis kasus politik desentralisasi dan pemerintahan
daerah di Indonesia. Ketiga makna tersebut ialah: Dekonsentrasi (deconcentration)
dimana pemerintah pusat menempatkan para pegawainya dilevel pemerintah daerah.
Kedua, pendelegasian (delegation) dimana pemerintah pusat secara bersyarat
medelegasikan kekuasaannya kepada pemerintah daerah namun dengan tetap
memiliki kesanggupan untuk mengambil kekuasaan itu kembali dan secara
keseluruhan tetap memiliki dominasi kekuasaan atas pemerintah daerah. Dan yang
ketiga ialah devolusi (devolution) dimana pemerintah pusat secara aktual
menyerahkan kekuasaannya kepada pemerintah daerah.
Sebagai akibat dari dianutnya desentralisasi, maka dalam pelaksanaannya
dibentuklah daerah-daerah otonom, yaitu daerah yang diberi hak, wewenang dan
kewajiban untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Mula-mula
40
otonomi atau berotonomi berarti mempunyai “peraturan sendiri” atau mempunyai
hak/kekuasaan/kewenangan untuk membuat peraturan sendiri (seringkali juga disebut
hak/kekuasaan/kewenangan pengaturan/legislatif sendiri). Kemudian arti daripada
istilah otonomi ini berkembang menjadi “pemerintahan sediri”.30
Dengan diberikannya kewenangan otonomi kepada pemerintahan lokal dari
proses desentralisasi tersebut, maka dapat diartikan sebagai hak untuk
menyelenggarakan pemerintahan lokal berdasarkan hukum adat
31 dan merupakan
otonomi yang pada hakekatnya tumbuh dan berkembang didalam masyarakat, yang
diperoleh secara tradisional atau alami.32
“Dalam teritorial Negara Indonesia terdapat kurang lebih 250 zelfbestuurende ladschappen dan volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, Marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli dan karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah itu dengan mengingat hak asal usul daerah tersebut”
Hal ini sesuai dalam sistem perundang-
undangan Indonesia yang mengakui bentuk pemerintahan lokal berdasarkan asal
usulnya, sesuai dengan penjelasan berikut;
33
Pelaksanaan otonomi pada level lokal menghendaki agar penyelenggaraan
urusan pemerintahan tidak mengabaikan peranan lembaga adat dan lembaga
30 Josef Riwu Kaho, Analisis Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia, Polgov, Yogyakarta, 2012, hlm. 17 31 I. Nyoman Beratha, Otonomi Desa Dalam Rangka Penyelenggaraan Rumah Tangga, Balitbang Depdagri, Jakarta, 1991. 32 Yuliandri, “Mendorong Penguatan Pemerintahan Nagari”, dalam Alfan Miko (Ed). Pemerintahan Nagari dan Tanah Ulayat, Andalas University Press, Padang, 2006, Hlm. 64 33 Penjelasan umum UUD 1945
41
tradisional lainnya dalam memperkuat pemerintahan lokal.34
Menurut Otto V. Gierke, bahwa otonomi lokal berasal secara alami dari
karakter otonom yang dimiliki oleh pemerintahan lokal (di Jerman disebut dengan
Kommune) sebagai sebuah badan hukum. Karakter utama dari pemerintahan lokal
adalah kemandirian memiliki hak untuk membuat peraturan sendiri. Hak ini tidak
berasal dari negara melainkan berasal dari tradisi yang panjang pada masa lampau
Alasannya, karena adat-
istiadat dan lembaga-lembaga keadatan telah menjiwai dan menjadi ciri penting
dalam kehidupan masyarakat. bahkan penghormatan dan pengakuan terhadap asal
usul pemerintahan lokal yang bersifat istimewa, menjadi penting dilakukan karena
keanekaragaman, partisipasi masyarakat, otonomi asli, demokratisasi dan
pemberdayaan masyarakat telah menjadi landasan pemikiran bagi implementasi
otonomi daerah.
Pemerintahan lokal di beberapa negara seperti Jerman dan Prancis
memperlihatkan bahwa, otoritas lokal diperlukan untuk menyediakan infrastruktur
dan memberikan/menyediakan pelayanan sosial beserta dengan beberapa kebijakan.
Fungsi otonomi lokal sendiri yaitu, memberikan wadah bagi masyarakat untuk
berpartisipasi baik secara langsung maupun perwakilan. Pada sisi lain, fungsi
pemerintahan lokal adalah membuat kebijakan dan memberikan pelayanan publik
untuk menyediakan kebutuhan masyarakat.
34 I Komang Kusumaedi, Keberadaan Desa Dinas dan Desa Adat Dalam Era Otonomi Daerah, Buletin Polokda Gerbang, Yogyakarta, 2002, hlm. 28
42
(nature).35 Di Prancis pemerintahan lokal lebih dikenal dengan sebutan Communess.
Pemerintahan lokal di Prancis memiliki tiga karakter; pertama, “collectivite
territorialle” (satuan teritorial) memiliki status badan hukum yang dapat mengajukan
gugatan di peradilan. Kedua, memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan urusan
sendiri (affaires propers). Ketiga, merupakan satu kesatuan masyarakat yang
dipimpin oleh sebuah organ perwakilan yang dipilih oleh masyarakat.36
Masyarakat lokal di Norwegia sangat dikenal dengan masyarakat Sami.
Masyarakat Sami ini ada jauh sebelum Norwegia ada, oleh karena itu mereka dikenal
dengan penduduk asli Norway. Undang-undang memberikan kewenangan kepada
masyarakat Sami untuk menerapkan peraturan, termasuk memperbolehkan bendara
Sami dikibarkan di kantor-kantor pemerintahan. Keberadaan masyarakat lokal Sami
ini diakui keberadaan dan tradisinya beradasarkan sejarah yang panjang serta asal
usul. Sistem pemerintahan tetap disebut Kommune yang memiliki tanggung jawab
dan kewenangan terbesar dalam rangka penyediaan pelayanan publik.
37
35 Eko Prasojo, Pemerintahan Politik Lokal di Jerman dan Prancis, Salamba Humantika, Jakarta, 2009, hlm 8 36 Ibid. 37 Wawan Mas’udi. Kommune: Model Otonomi Lokal di Norwegia, dalam Abdul Faffar Karim (Ed). Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, hlm.373.
Sebagai unit
pemerintahan paling bawah, mengharuskan kommune memiliki tingkat kedekatan
paling tinggi dengan penduduknya, karena itu menjadi pilihan untuk menempatkan
bagian terbesar pelayanan publik di level ini. sama halnya dengan negara-negara lain,
Kommune memiliki dua oragan dan kewenangan penting yakni, kewenangan politis
43
dan kewenangan administratif. Selain itu, organ-organ politik tertinggi di kommune,
beserta anggotanya dipilih melalui mekanisme pemilihan lokal.
Di negara-negara seperti Amerika Serikat, institusi lokal juga terus berkembang
dengan tuntutan perubahan, hal ini terlihat dengan dilakukannya modernisasi dan
reformasi terhadap pemerintahan lokal.38
4. Etnisitas dan Identitas : Akomodasi Budaya Dalam Pemerintahan Lokal
Pemerintahan lokal diberdayakan oleh
negara bagian, dan dapat melaksanakan kekuasaan terbatas yang secara jelas
diberikan kepada mereka oleh badan pembuat undang-undang negara bagian. Akan
tetapi, kebanyakan negara bagian telah menerapkan suatu ketentuan “aturan-aturan
sendiri” untuk pemerintahan lokal. Di bawah aturan itu, pemerintahan lokal dapat
melaksanakan semua kekuasaanya yang tidak dilarang terhadap mereka. Hal ini lah,
yang menyebabkan kelenturan terhadap tantangan dalam pemerintahan lokal, yang
masyarakatnya majemuk (heterogen) di Amerika Serikat.
Konsep etnik berasal dari kata Yunani ethnos, menurut Rudoflh menekankan
bahwa etnis yang berarti bangsa atau masyarakat, mengacu pada pengertian (identik)
pada dasar geografis suatu wilayah dengan sistem tertentu. Kesamaan-kesamaan
seperti kesamaan asal, sejarah, budaya, agama, dan bahasa sering dijadikan untuk
menyebut suatu kelompok etnis. Predikat menjadi salah satu etnik tertentu merupakan
sesuatu yang taken for granted sedari awal kelahiran. Kelompok etnis sebagai satu
38 Ellis Katz, Respon Terhadap Perubahan oleh Pemerintah Negara Bagian dan Lokal, Judiet Siegel, Washington, 2006, hlm. 9
44
kelompok manusia yang membangun komunitas dan perasaan kolektifnya
berdasarkan kesamaan kepercayaan dan kesamaan asli.
Etnisitas merupakan kategori-kategori yang ditetapkan pada kelompok atau
kumpulan yang dibentuk dan membentuk dirinya dalam kebersamaan atau
kolektivitas. Lebih menunjuk pada kolektivitas daripada individual. Ikatan-ikatan
etnis terwujud dalam kumpulan orang, kelengakapan-kelengkapan primordial seperti
derajad, martabat, bahasa, adat istiadat dan kepercayaan yang dibebankan atas setiap
anggota yang dilahirkan dalam kelompok tersebut dan menjadikannya serupa dengan
kelompok yang lain.39
Batasan defenisi kelompok etnis secara antropologis dikemukakan pula oleh
Naroll sebagai suatu populasi yang 1). Secara biologis mampu berkembang biak, 2).
Memiliki nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaannya dalam
Karakteristik yang melekat pada satu kelompok etnis adalah tumbuhnya
perasaan dalam suatu komunitas (sense of community) diantara para anggotanya.
Perasaan tersebut menimbulkan kesadaran akan hubungan yang kuat. Selain itu
timbul pula perasaan “kekitaan” pada diri anggotanya maka terselenggaralah rasa
kekerabatan. Kita, dalam identitas kelompok etnis mempunyai dua pandangan
pengertian; 1). Sebagai sebuah unit objektif yang dapat diartikan oleh perbedaan sifat
budaya seseorang, 2). Hanya sekedar produk pemikiran seseorang yang kemudian
menyatakan sebagai suku kelompok etnis (Hutchinson dan A.D Smith, 1996:76).
39 Irmon Machmud, Kelompok Etnis Dalam Pelukan Elite Lokal: Instrumental, Komodifikasi, dan Kandidasi. UMMU Press, Ternate, 2013
45
suatu bentuk budaya, 3). Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri, 4).
Menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima leh kelompok lain dan dapat
dibedakan dari kelompok populasi lain.40
Jadi sebenarnya makna etnis adalah sebuah pola relasi antar manusia. Dalam
hal ini adalah pola yang diwarnai adanya pembatasan atas dasar ciri-ciri dan
penampilan fisik kasar manusia, warna kulit, warna rambut, agama, bahasa, dan adat
istiadat.
41 Dalam kajian etnisitas, maka etnisitas tidak dapat dipandang sebagai
sesuatu yang berdiri sendiri. Etnisitas adalah konsep relasional yang mendasarkan
pada kategorisasi identifikasi diri (self identification).42
Etnisitas dipaparkan oleh Jan Nederveen Pieterse sebagai bidang yang merujuk
pada politik kultural yang dilakukan oleh kelompok dominan.
43Etnisitas merupakan
kategori-kategori yang diterapkan pada kelompok atau kumpulan orang yang
dibentuk dan membentuk dirinya dalam kebersamaan atau kolektivitas. Dengan
demikian etnisitas lebih menunjuk pada kolektivitas dari pada individual. Sementara
Paul Brass menyatakan etnisitas adalah kategori etnis mengenai kesadaran kelas ke
kelas.44
40 Frederick Barth, Kelompok Etnik dan Batasannya, UI Press, Jakarta, 1998, hlm 12 41 Op. Cit, hlm 79 42 Chris Barker, Culltural Studies: Teori dan Praktik, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004, hlm 193. 43 Jan Nederveen Pieterse, “Varieties of Etnic Politics and Ethnicity Discourse”, dalam Wilmsen, Edwin N, dan McAllister (Ed). The Politics f Difference, The University Press of Chicago, Chicago, 1996, hlm 25. 44 Ibid, hlm 30.
Etnisitas merupakan aspek yang penting dalam konteks hubungan antar
kelompok. Pada term ini muncul gagasan tentang pembedaan “kami” dan “mereka”
dan pembedaan atas klaim terhadap dasar asal-usul dan karakteristik budaya, jika
46
tidak ada pembedaan antara “orang dalam” (insider) dan “orang luar” (outsider) maka
tidak akan ada yang namanya etnisitas.45
Selain dilekati identitas budaya, manusia adalah juga makhluk politik.
Konsekuensinya, apapun yang dilakukan manusia dalam kehidupan sehari-hari
merupakan tindakan politis yang menggunakan kuasa teks-teks, simbol-simbol,
Jika kita berbicara mengenaai etnisitas, juga tidak bisa dilepaskan dari konsep
identitas. Pengertian identitas jika merunut kepada Jeffrey Weeks, menyatakan
identitas adalah tentang belonging, tentang persamaan dengan sejumlah orang dan
tentang apa yang membedakan kamu dengan lainnya. Sebagai sesuatu yang paling
mendasar, identitas memberi kamu rasa tentang lokasi pribadi, inti yang stabil bagi
individualism. Dari defenisi tersebut, tampak bahwa setiap individu, siapapun dia,
memerlukan sebuah identitas untuk memberinya sense of belonging dan eksistensi
sosial. Maritzo Moreno juga menyatakan bahwa identitas memberikan rasa aman
melalui belonging dengan sekelompok orang yang sama.
Di dalam keseharian masyarakat kita, terdapat sejumlah identifikasi budaya
sederhana. Misalnya masyarakat mengidentifikasi orang Bali sebagai pemeluk Hindu,
orang Aceh sebagai pemeluk Islam, atau orang-orang Flores sebagai pemeluk
Katolik. Pemisalan lain yang sering kita jumpai dalam identifikasi budaya juga
terepresentasi melalui nama. Misalnya nama Harahap dan Batubara identik dengan
kebudayaan Batak, nama Slamet identik dengan kebudayaan jawa.
45 Denis Dwyer, Ethnicity and Development; Geographical Perspective, John Wiky & Sons LTD,1996, hlm. 3
47
idiom-idiom, serta ajaran tertentu untuk merepresentasikan suatu identitas dengan
tujuan khusus. Dengan menggunakan simbol-simbol, politisasi identitas hampir dapat
ditemukan disemua aspek kehidupan. Simbol-simbol etnisitas, ras, agama, dan
gender, menjadi alat bagi sesuatu perjuanganmencapai tujuan tertentu. Setidaknya
untuk mempertahankan eksistensi individu atau kelmpok.46
Sebagai sebuah pencarian yang panjang, penelusuran terhadap makna dan
konsep pun menjadi sebuah perjalanan yang tanpa akhir. Yasraf Amir Piliang
menggambarkan betapa rumitnya menelusuri identitas. Terminologi identitas bukan
merupakan suatu yang final, statis, dan succed, melainkan sesuatu yang selalu
tumbuh.
Identitas adalah sebuah proses yang tidak terberi (given), dan tidak statis. Pada
suatu ketika seseorang bisa saja menggunakan identitas tertentu, tetapi disaat yang
lain ia akan menunjukkan identitas yang berbeda pula. Identitas adalah sesuatu yang
hibrid, ia sangat licin dan rentan manipulasi. Identitas sangatlah pelik dan tidak
konsisten, ketika lingkungan sosial dan politik mengalami perubahan, maka identitas
turut pula mengalami perubahan. Akibat proses politisasi yang sedemikian rupa,
acapkali batas-batas identitas asli dan identitas yang dipolitisasi menjadi tidak jelas.
47 Stuart Hall menyebutnya sebagai sesuatu yang tidak pernah sempurna,
selalu dalam proses dan selalu dibangun dari dalam.48
46 Iwan Awalludin Yusuf, Media Kematian, dan Identitas Budaya Minoritas, UII Press, Yogyakarta, 2005, hlm 20. 47 Lihat Yasraf Amir Piliang, Sebuah dunia yang dilipat: realitas kebudayaan menjelang milenium ketiga dan matinya posmodernisme, Mizan, Bandung, 1998. 48 Lihat Ubed Abdillah S, Politik Identitas Etnis: Pergulatan Tanda Tanpa Identitas, Yayasan Indonesia Tera, Magelang, 2002. Hlm 27
48
Betapa peliknya menelusuri identitas diakui pula oleh Jean Baudrillard, seorang
tokoh postmodernis, ia menyangsikan adanya suatu identitas yang pasti pada suatu
objek pada suatu subjek yang selama ini melekat ada (orisinalitasnya) karena
semuanya telah mengalami peristiwa deknstruksi. Dalam kondisi kemajemukan suatu
subjek akan kehilangan identitasnya, “in the desert one loose one’s identity”.49
Gagasan multikulturalisme ini mulai digunakan oleh banyak kalangan.
Sesungguhnya multikulturalisme merupakan salah satu dari sekian banyak alternatif
pemikiran dalam mengelola keberagaman.
Namun demikian, identitas bisa ditelusuri jika kita tarik tataran yang fundamental dan
individual.
Pencarian terhadap pengertian identitas melalui proses identifikasi menurut
Erikson, dapat dimulai dari permulaan hidup setiap individu. Perkembangan yang
mengikuti alur kehidupan menghasilkan “ego” yang didefinisikan sebagai realitas
sosial. Disini Erikson menekankan bahwa identitas merupakan proses yang terjadi
secara bertahap pada inti individu. Meskipun demikian, inti kelompok kebudayaan
juga merupakan proses pendirian identitas.
50
49 Ibid, hlm 28. 50 Amalinda Savirani, Multikulturalisme Dalam Politik Lokal di Hongaria, dalam Abdul Faffar Karim (Ed). Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003,
Oleh karena itu, konsep identitas dan
etnis ini sangat berguna dalam melihat fenomena pemerintahan lokal yang etniknya
berbeda. Bagaimana orang jawa dan merepresentasikan dirinya dalam pemerintahan
nagari, dan begitu juga sebaliknya bagi orang-orang yang bersuku mandahiling
49
melihat nagari. Sehingga untuk melacak pelaksanaan pemerintahan lokal nagari yang
beragam suku, bisa di analisis dengan konsep etnisitas dan identitas ini.
5. Elit Lokal : Sebagai Aktor Pembentuk Varian Pemerintahan Nagari
Dalam pelaksanaan pemerintahan lokal terdapat orang-orang yang memiliki
kemampuan untuk memerintah. Sehingga kalau berbicara mengenai pemerintahan
lokal tidak bisa dilepaskan dari pengaruh elit. Dalam perspektif elit terdapat dua
macam pendekatan teoritis yang berlainan dalam menerangkan keberadaan kelompok
elite. Teori pertama, kelompok elite dianggap lahir dari proses alami. Mereka adalah
orang-orang yang terpilih yang memang dikaruniai dengan kepandaian dalam
memecahkan berbagai persoalan kehidupan. Dengan demikian kelompok ini lahir
bukan karena menempati posisi strategis dalam masyarakat, tetapi karena memiliki
kapasitas personal yang lebih potensial untuk menempatkan posisi itu.51 Sedangkan
pendekatan teoritis kedua, kelompok elite dikonsepsikan sebagai orang-orang yang
terpilih menempati fungsi-fungsi penting dalam organisasi sosial, mereka diberi
wewenang dan dipercaya untuk menjaga dan mengontrol ekonomi politik.52
Sebenarnya kata elit seperti yang dikatakan oleh T.B. Bottomore, telah muncul
sekitar abad ke tujuh belas. Menurut Bottomore dalam karyanya Elite and Society,
53
51 Sunyoto Usman, Elite dan Masyarakat (bahan kuliah S2 ilmu politik), hlm. 1-2 52 Ibid. 53 T.B. Bottomore, Elite dan Masyarakat, Akbar Tanjung Institut, Jakarta, 2006
eksistensi para elit ditentukan antara lain oleh sejauh mana mereka mampu
mempertahankan posisi dan pengaruhnya di tengah-tengah kehidupan masyarakat,
yang terus berubah. Daya tahan elit tidak hanya sebatas bagaimana mereka mampu
50
beradaptasi dengan dinamika lingkungan yang terus berubah itu, tetapi juga oleh
sejauh mana mereka mampu mempertahankan, bahkan mengembangkan pengaruh
yang makin meningkat. Dalam konteks pengaruh kekuasaan para elite, Bottomore
mengemukakan konsep keseimbangan sosial (social equilibrium),yang apabila
direfleksikan dengan dinamika politik, sebagai bagian dari dinamika sosial lebih luas,
maka ia akan amat terkait dengan upaya menuju tercapainya kondisi keseimbangan
politik (political equilibrium).
Selain itu karya-karya Vilfredo Pareto dan Geatano Mosca menyatakan bahwa
setiap masyarakat dimanapun berada akan selalu dipimpin oleh sekelompok kecil
individu yang berkuasa atas sejumlah besar anggota masyarakat lainnya. Mereka
yang disebut elite, dapat memaksa anggota-anggota masyarakat lainnya, yang biasa
disebut massa, untuk tunduk dan mematuhi perintah-perintahnya. Massa bersedia
untuk tunduk dan mentaati perintah-perintah tersebut karena pada diri elit terlekati
kekuasaanya yang jumlahhnya lebih besar daripada yang dimilikinya.54
Mosca menyebutnya bahwa disemua masyarakat muncul dua kelas-kelas yang
berkuasa dan kelas yang dikuasai. Kelas pertama selalu lebih sedikit jumlahnya,
menjalankan semua fungsi politik, memonopoli kekuasaan dan menikmati sejumlah
keuntungan yang dibawa leh kekuasaan, sementara yang kedua, jumlahnya lebih
banyak, diarahkan dan dikendalikan oleh yang pertama, melalui cara yang sedikit
banyak bersifat sah, kadang-kadang sewenang-wenang dan keras. Sedangkan Pareto
membagi elite yang berkuasa menjadi dua: elite yang sedang memerintah (governing
54 Haryanto, Kekuasaan Elite, Polgov UGM, Yogyakarta, 2005
51
elite) dan elite yang tidak sedang memerintah (non governing elite). Gverning elit
terdiri dari orang-orang yang menduduki jabatan-jabatan politis sehingga bisa secara
langsung berpengaruh pada pembuat kebijakan.
Pendapat Mosca dan Pareto tersebut dapat dipaparkan dalam bentuk gambar,
yang menunjukkan sebuah piramida yang terbagi menjadi beberapa lapis. Piramida
tersebut melukiskan masyarakat yang terbagi menjadi 2 (dua) lapis,55
yakni anggota
masyarakat yang termasuk dalam kelompok elit yang jumlahnya lebih sedikit apabila
dibandingkan lapis lainnya yang terdiri dari anggota masyarakat pada umumnya yang
tidak termasuk dalam kelompok elit (non elite). Sementara itu mereka yang termasuk
dalam kelompok elit masih dipilahkan lagi menjadi 2 (dua), yakni mereka yang
termasuk dalam kedalam elit yang sedang memerintah (governing elite) yang
jumlahnya lebih sedikit apabila dibandingkan dengan mereka yang termasuk dalam
kelompok elite namun tidak sedang memerintah (non governing elite). Seperti
gambar berikut ini;
55 Ibid. hlm. 74
52
Gambar 1.1 Pembilahan Elite
Elit menurut Max Weber, dalam hal memperoleh legitimasi menunjukan dalam
kondisi seperti apa seseorang atau sekelompok orang mampu mendominasi sejumlah
orang lainnya. Ketiga macam “legitimate domination” tersebut adalah ; 1).
Tradisional domination, 2). Charsimatic domination, 3). Legal-rasional domination.
Pertama, tradisional domination didasarkan pada tradisi yang berlaku di tengah-
tengah masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian legitimasi yang diperoleh
elit tentu saja didasarkan pada tradisi yang ada dan berlaku dimasyarakat dimana elit
tadi berada. Kedua, charismatic domination didasarkan pada kharisma yang melekat
pada diri seseorang atau sekelompok orang. Dminasi kharismatik mendasarkan pada
mutu luar biasa yang dimiliki elit sebagai seorang pribadi. Dan ketiga, legal-rasional
domination, pada hakekatnya didasarkan pada kesepakatan anggta masyarakat
terhadap seperangkat peraturan yang diundangkan secara resmi. Individu yang
berperan sebagai elit di masyarakat yang memberlakukan dominasi tipe ini diakui
Governing Elite
Non Governing Elite
Non Elite
53
keberadaanya atas dasar kemampuan yang dimilikinya dan memenuhi persayaratan
menurut peraturan yang berlaku.56
Dalam karangannya yang sangat ambisius yang berjudul Mann and Society in
Age of Reconstruction (1946), Karl Mannheim
57 mencoba membedakan antara dua
tipe elite yang berbeda secara fundamental; pertama, suatu elite yang integratif, terdiri
dari para pemimpin politik dan organisasinya. Kedua, suatu elit sublimatif, yang
terdiri dari para pemimpin moral-keagamaan, seni, dan intelektual. Karena
masyarakat telah kian terdifrensiasi dan terpusat, para elite ini telah berlipat ganda
dan bukannya berkurang, dan malah terus menjadi bertambah penting. Dengan
melihat hal tersebut Suzanne Keller dalam karyanya Penguasa dan Kelompok Elit;
Peranan Elit-Penentu Dalam Masyarakat Modern, bahwa elite penentu dalam
pandangannya terdiri dari minoritas individu-individu yang bertanggung jawab
menjaga sistem yang telah tersusun, yaitu masyarakat berada dalam keadaan berjalan,
berfungsi untuk menghadapi dan mengatasi krisis-krisis kolektif yang terus menerus
terjadi. Bagaimanapun juga elite penentu akan tetap ada dan bertahan karena mereka
sebegitu jauh melaksanakan fungsi-fungsi sosial yang penting.58
Pada tataran masyarakat lokal, para elit tadi disebut dengan elit lokal. Menurut
Schoorl, elit lokal adalah elit yang menempati kedudukan puncak di dalam struktur-
56 Philo C. Wasburn, Politycal Sociology: Approaches, Concepts, Hypotheses, Prentice-Hal, Inc. Englewood Cliff, 1982, hlm. 19-23. 57 Karl Mannheim, Mann and Society in Age of Reconstruction, 1946 58 Suzanne Keller, Penguasa dan Kelompok Elite: peranan kelompok elit –penentu dalam masyarakat modern, PT Raja Grafind Persada, Jakarta.
54
struktur sosial ditingkat lokal.59 Ini sekaligus untuk membedakannya dengan defenisi
elit nasional (skala yang lebih besar). Dari defenisi singkat ini menjadi jelas
memetakan apa yang dimaksud dengan elit lokal sendiri. Untuk lebih jelasnya,
Nurhasim membagi elit lokal dalam dua kategori yang besar yakni:60
1. Elit politik lokal merupakan seseorang yang menduduki jabatan-jabatan
politik (kekuasaan) di eksekutif dan legislatif yang dipilih melalui proses
politik yang demokratis di tingkat lokal. Mereka menduduki jabatan
politik tingggi di tingkat lokal yang membuat dan menjalankan kebijakan
politik.
2. Elit non-politik lokal adalah seseorang yang menduduki jabatan-jabatan
strategis dan mempunyai pengaruh untuk memerintah orang lain dalam
lingkup masyarakat. elit non politik ini seperti elit keagamaan, elit
ekonomi, elit organisasi kemasyarakatan, kepemudaan, protes, dan lain-
lain.
Peneliti sendiri mencoba memetakan elit lokal yang muncul dengan tiga model
elit yakni model elite yang memerintah, model pluralis dan model elit populis. Model
pertama melukiskan kekuasaan yang dimiliki oleh sekelompok kecil elit, model
pluralis menggambarkan kekuasaan yang dimiliki oleh kelompok sosial masyarakat
dan model populis melukiskan kekuasaan dipegang oleh setiap individu warga negara
59 J.W. Schoorl, Modernisasi, Gramedia, Jakarta, Seperti di Kutip Rusdi J. Abbas dalam Demokrasi di Aras Lokal: Praktek Politik Elite Lokal di Maluku Utara, Cerah Media, Yogyakarta, 2012, hlm. 11 60 Ibid. hlm. 12
55
secara kolektif. Berikut akan disajikan tabel mengenai relasi kekuasaan elit untuk
menjelaskan pemerintahan lokal di Pasaman Barat.
Tabel 1.2 Relasi kekuasaan elite dalam Pemerintahan Lokal di Kab. Pasaman Barat
Model Distribusi Kekuasaan Dari Elite
Lembaga Pemerintahan Lokal Nagari di Sumatera Barat
Pemerintah Nagari (Eksekutif)
Badan Perwakilan Nagari/BPN (Legislatif)
Kerapatan Adat Nagari/KAN (Yudikatif)
Model elit yang memerintah
Model pluralis Model populis
Oleh karena itu, tulisan ini menempatkan elite lokal (aktor) sebagai variabel
yang sangat menentukan pelaksanaan institusi nagari. Aktor menjadi penentu dalam
menginisiasi pemerintahan nagari. Mereka terlibat dalam membentuk pemerintahan
Nagari, lalu mengembangkan pemerintahan tersebut, dan bisa melakukan perubahan
terhadap pemerintahan Nagari. Sehingga konsep elite lokal sangat diperlukan untuk
melihat studi ini.
56
F. Kerangka Pemikiran:
Perubahan Locus kekuasaan dari Pusat ke daerah/lokal pasca Orde
Baru UU 22 Tahun 1999 Jo. UU No 32 Tahun 2004
(Pemerintahan Daerah) Respon Aktor Lokal di
Masa Transisi Reformasi
Inisiasi pembentukan kembali Nagari di
seluruh Sumatera Barat
Perda No. 9/2000 Jo Perda No. 2/2007
(Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari
Pemekaran Kab. Pasaman Barat dari Kab.
Pasaman Tahun 2003 (UU No. 38/2003)
Institusi Nagari berisi: 1. Prosedur-
Prosedur 2. Norma-
Norma 3. Kebiasan-
kebiasan (rutinitas)
4. Cultural-Cognitive
Terbentuknya Pemerintahan Nagari
yang Beretnis Mandailing dan Jawa
Neo Institusionalism berdasarkan Historical
Institusionalism Mencipatakan Varian Pemerintahan Nagari
pada nagari Mandailing dan jawa
Pembentukan
Pengembangan
Perubahan
57
G. Metodologi Penelitian 1. Pendekatan Penelitian
Penelitian tentang Pelaksanaan Pemerintahan Nagari Berbeda Etnis di Kab.
Pasaman Barat merupakan penelitian kualitatif dengan tipe deskriptif, yang
menggunakan pendekatan Studi Kasus. Berg (2007) mengungkapkan bahwa studi
kasus adalah metode yang menekankan kepada eksploratif dari sebuah kasus.
Kegunaanya, menggali dasar-dasar sebuah permasalahan penelitian dan
mempermudah peneliti untuk menemukan berbagai faktor signifikan yang saling
berinteraksi untuk menentukan suatu karakteristik dari fenomena yang berkaitan
dengan individu, komunitas dan institusi. selain itu, studi kasus juga menekankan
kepada pemahaman subjek penelitian terhadap apa yang mereka dengar atau rasakan.
Bagaimana mereka menginterpretasikan berbagai informasi serta tindakan yang
mereka lakukan dan penyelesaian masalah dalam interaksinya. Menurut Robert K.
Yin (1994) pendekatan Studi kasus memungkinkan peneliti untuk mempertahankan
karakteristik holistik dan bermakna dari peristiwa-peristiwa kehidupan nyata.
Menurut Hadari Nawawi penelitian tipe deskriptif seperti studi kasus adalah
prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan, melukiskan
keadaan subjek atau objek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain)
pada saat sekarang, berdasarkan faktor-faktor yang tampak, atau sebagaimana
adanya.61
61 Hadari Nawawi, Metode Penelitian Kualitatif. 1998. hal 68
Bogdan dan Taylor mengemukakan bahwa penelitian kualitatif yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan
58
perilaku yang diamati. Penelitian kualitatif juga mempunyai desain penelitian
sementara yang berkembang di lapangan dan menganalisis data dengan cara
induksi.62
Penggunaan Pendekatan Studi Kasus dalam penelitian ini didasarkan kepada
keunikan atau kekhususan objek yang akan diteliti. Penelitian studi kasus menurut
Robert E. Stake mencari sesuatu yang khas tentang kasus dengan menyoroti sisi yang
tak lazim, kekhasan (unik) itu berpijak pada beberapa hal seperti; hakikat kasusnya,
latar belakang historisnya, setting fisiknya, dsb.
63
62 Moleong, Metode Penelitian Kualitatif. Remaja Rosda Karya, Bandung. 2000. hal 3 63 Norman K. Denzin dan Y.S Linclon, Handbook of Qualitatif Research, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, hlm. 484
Studi kasus disini dilihat
berdasarkan keintrinsikannya, dimana instrinsik merupakan salah satu jenis studi
kasus untuk mengetahui lebih mendalam tentang kasus tertentu yang sangat khas,
yang berbeda dengan fenomena sosial kebanyakan. Kekhasan yang berbeda dari
fenomena ssial kebanyakan itu terlihat pada penelitian ini, dimana ada pemerintahan
nagari yang pada konsep awalnya cuma dikenal oleh orang-orang Minangkabau.
Akan tetapi, sekarang pemerintahan nagari yang menjadi objek penelitian ini
diselenggarakan oleh orang-orang yang bukan berasal dari suku Minangkabau
melainkan mereka yang berasal dari suku Mandailing dan Jawa. Fenomana ini
berbeda dengan kebanyakan fenomena sosial yang ada di Sumatera Barat khususnya
mengenai pemerintahan Nagari yang dijalankan oleh etnik bukan Minangkabau.
Keunikan kasus pemerintahan nagari yang tidak dijalankan oleh orang Minangkabu
59
ini lah yang menjadi salah satu alasan utama untuk menggunakan pendekatan Studi
Kasus.
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini lebih difokuskan di Pasaman Barat karena permasalahan yang
peneliti temukan berada di Kabupaten Pasaman Barat. Pertimbangan peneliti
mengambil lokasi penelitian di Kab. Pasaman Barat adalah kabupaten ini baru
menjadi kabupaten otonom pada tahun 2003 melalui Peraturan Pemerintah No. 38
Tahun 2003. Kabupaten Pasaman Barat pasca pemekaran menciptakan pemerintahan
nagari yang unik, dimana kabupaten Pasaman Barat yang memiliki heteregonitas
penduduknya telah menciptakan nagari-nagari yang bersuku mandahiling dan jawa.
Penelitian ini sengaja dilakukan pada Pemerintahan Nagari di kabupaten
Pasaman Barat, yang penulis pilih dengan dua kriteria yaitu:
a. Nagari yang para elite dan penduduknya mayoritas etnis Mandahiling
b. Nagari yang para elite dan penduduknya mayoritas etnis Jawa
Tabel 1.3 Kriteria Lokasi Penelitian
No Kriteria Nagari 1 Nagari yang para elite dan penduduknya
mayoritas beretnis Mandahiling Nagari Ujung Gading, Kecamatan Lembah Melintang
2 Nagari yang para elite dan penduduknya mayoritas beretnis Jawa
Nagari Desa Baru, Kecamatan Ranah Batahan
3. Jenis dan Sumber Data
Untuk memberi penjelasan yang rinci terhadap masalah yang diteliti, perlu
dikumpulkan data dari berbagai sumber. Data primer direncanakan diperoleh dari
60
wawancara mendalam (indept interview) dengan pihak-pihak terkait seperti aparatur
di pemerintahan nagari (Wali Nagari, Badan Perwakilan Nagari, Kerapatan Adat
Nagari), tokoh-tokoh informal dalam Nagari (Ninik Mamak, alim ulama, Bundo
Kanduang), dan Badan Pemberdayaan Masyarakat Nagari kabupaten Pasaman Barat.
Selain itu, untuk membantu menjelaskan masalah yang diteliti, penelitian ini juga
menggunakan sumber tertulis (data sekunder) seperti sumber dari arsip, dokumen
pribadi, dokumen resmi, majalah ilimiah, dan sebagainya.
4. Unit Analisis dan Pemilihan Informan
Unit analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah kelompok atau
institusi, dimana lebih difokuskan pada pemerintahan nagari etnis Mandailing dan
Jawa. Informan merupakan orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi
tentang situasi dan kondisi latar belakang penelitian.64
No
Adapun informan penelitian
adalah sebagai berikut ini:
Tabel 1.4 Pemilihan Informan Penelitian
Unsur Jabatan 1 Pemerintahan Nagari Wali Nagari Badan Perwakilan Nagari Kerapatan Adat Nagari 2 Masyarakat Nagari Ninik Mamak Alim Ulama Bundo Kanduang Masyarakat Biasa 3 Pemerintah Daerah Kab.Pasaman Barat Bupati
Wakil Bupati Sekretaris Daerah
4 Badan Pemberdayaan Masyarakat Nagari Kepala instansi
64Lexy J moleong, Metode penelitian kualitatif, PT Remaja Rosdakarya. Bandung, 2002, hlm 13
61
Kab. Pasaman Barat
5. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data akan menggunakan teknik sebagai berikut:
Teknik pertama adalah wawancara, dalam rangka memperoleh data primer
maka dilakukan wawancara dengan informan penelitian yang telah dipilih.
Kebutuhan terhadap teknik ini adalah untuk memberi penjelasan yang akurat dan
lengkap terhadap permasalahan yang diteliti dan diketahui serta dipahami baik oleh
informan. Wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara yang
telah disiapkan sebelumnya. Wawancara adalah pertemuan dua orang untuk bertukar
informasi dan ide melalui Tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam
topik tertentu. Susan stainbeck (1988)65
wawancara ada dua macam sebagai berikut:
menyatakan bahwa dengan wawancara
peneliti akan mengetahui hal-hal yang lebih mendalam tentang partisipan dalam
menginterpretasikan situasi dan fenomena yang terjadi, dimana hal ini tidak bisa
ditemukan melalui observasi yang hanya mengamati objek, tanpa berinteraksi secara
langsung dengan objek penelitian tersebut .
66
a. Wawancara terstruktur (structured interview) dalam istilah Esterberg
adalah wawancara yang menggunakan sejumlah pertanyaan yang
terstandar secara baku. Wawancara terstandar digunakan sebagai tekhnik
pengumpulan data, bila peneliti pengumpul data telah mengetahui dengan
65 Ibid 66 Djam’an satori, dan Aan Komariah. Metodologi Penelitian Kualitatif. ALFABETA. Bandung, 2009, hlm. 133.
62
pasti tentang informasi apa yang akan diperoleh. Oleh karena itu, dalam
melakukan wawancara, pengumpul data telah menyiapkan instrumen
penelitian berupa pertanyaan-pertanyaan tertulis yang jawabannya pun
telah disiapkan.
b. Wawancara semistruktur (semistructured interview) menurut Esterbeg
adalah Pendekatan menggunakan petunjuk umum wawancara yang
merupakan kombinasi wawancara terpimpin dan tak terpimpin yang
menggunakan beberapa inti pokok pertanyaan yang akan diajukan, yaitu
interview membuat garis besar pokok-pokok pembicaraan, namun dalam
pelaksanaanya interviewer mengajukan pertanyaan secara bebas, pokok-
pokok pertanyaan dirumuskan tidak perlu dipertanyakan secara berurutan
dan pemilihan kata-katanya juga tidak baku tetapi dimodifikasi pada saat
wawancara berdasarkan situasi.67
Bentuk wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara
terstruktur. Wawancara terstruktur adalah wawancara yang telah tersusun secara
sistematis dan lengkap untuk pengumpulan datanya. Bentuk wawancara ini dilakukan
karena akan mendapatkan data yang lebih valid dan mempermudah dalam
wawancara.
Observasi, yang dimaksud dengan observasi disini adalah obeservasi atau
pengamatan yang dilakukan untuk memperoleh data yang akurat dalam penelitian ini.
pengamatan dilakukan untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam terhadap 67 Ibid.
63
proses pelaksanaan pemerintahan nagari pada etnis Mandailing dan Jawa di
kabupaten Pasaman Barat. Selain itu, pengamatan juga membantu dalam menyusun
proposisi yang berasal dari data penelitian langsung. Teknik ketiga adalah dengan
studi Dokumentasi, dengan metode ini dikumpulkan berbagai bahan yang terkait
dengan merumuskan model varian pemerintahan nagari di kabupaten Pasaman Barat.
Pengumpulan data tersebut meliputi hasil-hasil dokumen resmi pemerintah berupa
kebijakan, hasil-hasil penelitian sebelumnya, dan jurnal ilmiah.
6. Triangulasi Data
Permasalahan dalam penelitian sosial adalah bagaimana tetap menjaga
realibilitas dari data yang diperoleh sebagai bahan analisis. Untuk itu penelitian ini
menggunakan teknik triangulasi data agar validitas dan realibilitas terhadap data yang
diperleh tercapai. Uji pembuktian atau Triangulasi data sendiri adalah teknik
pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu
untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data tersebut.68
Triangulasi dengan sumber data berarti membandingkan dan mengecek balik
derajad kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang
berbeda dalam metode kualitatif.
69
68 Lexy J Moleong,. Op cit hlm 178 69 Sugiyono. Op. Cit
Menurut Susan Stainback (1988) tujuan dari
Triangulasi data adalah bukan untuk mencari kebenaran tentang beberapa fenomena
tetapi lebih pada peningkatan pemahaman peneliti terhadap apa yang telah diteliti.
Dan Mathinson (1988) nilai dari teknik pengumpulan data triangulasi data untuk
64
mengetahui data yang diperoleh tidak konsisten atau kontradiksi oleh karena itu
dengan menggunakan teknik triangulasi dalam pengumpulan data maka data yang
diperoleh akan lebih konsisten tuntas dan pasti.
7. Analisis Data
Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang
diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan dan bahan-bahan lain sehingga
dapat mudah dipahami dan temuannya dapat di informasikan kepada orang lain.
Analisis data dilakukan dengan mengorganisasikan data, menjabarkan kedalam unit-
unit, melakukan sintesa, menyusun kedalam pola, memilih mana yang penting yang
akan dipelajari dan membuat kesimpulan yang dapat diceritakan kepada orang lain.70
Miles dan Hubberman mengungkapkan bahwa aktivitas dalam penelitian kualitatif
dilakukan secara interaktif, terus-menerus sampai tuntas hingga datanya jenuh.71
Data yang diperoleh dianalisis sesuai dengan prinsip metode kualitatif deskriptif
yaitu dengan mendiskripsikan data yang diperoleh dengan menelaah seluruh data
yang tersedia dari berbagai sumber. Disamping perolehan data dari pelaporan “on the
spot”, data yang banyak tersebut juga harus direduksi dengan jalan membuat
abstraksi sebagai sebuah rangkuman yang inti. Di Sini akan dicoba mendiskripsikan
bagaimana proses demokrasi lokal pada pembentukan model pemerintahan nagari di
Sumatera Barat dan akhirnya terbentuk varian yang berbeda pada tiap-tiap nagari
melalui Analisis dilakukan berdasarkan pandangan-pandangan informan (emik) yang
70 Ibid. hlm. 88 71 Lexy J Moleong, Op cit hlm 82-83
65
sudah di validasi dengan menggunakan metode triangulasi. Kesimpulan dari analisis
yang dilakukan terkait pada gabungan data yang didapat dari informan (emik) dan
interpretasi peneliti (etic) terhadap data lapangan tersebut.
8. Sistematika BAB
Bab I, Merupakan Pendahuluan, berisi mengenai Latar Belakang masalah, Rumusan
Masalah, Tujuan Penelitian, Kerangka Teori yang digunakan untuk
menganalisis masalah serta Metode penelitian yang akan digunakan.
BAB II, Memuat mengenai deskripsi lokasi penelitian yang berisi gambaran
mengenai lokasi penelitian dan juga digunakan untuk mendukung penjelasan
terhadap masalah yang diteliti, yang meliputi dinamika Nagari, termasuk
kerusakan-kerusakan yang terjadi atas intervensi negara terhadap Nagari.
Disamping itu, Bab ini juga memuat tentang konteks historis nagari di
Minangkabau, konteks historis ini akan dijabarakan dari dinamika bernagari
dari waktu ke waktu.
BAB III, Temuan data dan analisis pembahasan yang berisikan paparan dari hasil
penelitian. BAB V ini memfokuskan temuan pada bentuk sejarah dari Nagari
Ujung Gading yang beretnis Mandailing. BAB ini juga akan memaparkan
benturan budaya antara etnis Mandailing dan Minangkabau yang menciptakan
beberapa budaya tersendiri.
BAB IV, Temuan data dan analisis pembahasan yang berisikan paparan dari hasil
penelitian. pada BAB IV ini memfokuskan pada Nagari kedua,yang beretnis
Jawa yakni Nagari Desa Baru. BAB ini akan memaparkan alur kesejarahan
66
dari nagari jawa di Sumatera Barat, beserta dengan dinamika dalam
menjalankan sistem Nagari.
BAB V, BAB ini akan memfokuskan kepada mengkomparasikan dua Nagari non
Minangkabau ini, BAB ini akan membaca dinamika etnis Mandailing di
Nagari Ujung Gading, yang akan dibandingkan dengan etnis Jawa yang ada di
Nagari Desa Baru.
BAB VI, Kesimpulan dan saran yang berisikan kesimpulan terhadap pemaparan data
dan pembahasan yang dituliskan, berisikan poin kesimpulan dan disertakan
poin saran dari peneliti harus mengacu kepada tujuan penelitian yang ditulis
sebelumnya. BAB VI ini, merupakan intisari dari keseluruhan Thesis.