BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · pidana–hukum pidana materiel dan (b) hukum acara pidana–...

28
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Membicarakan hukum pidana dalam ilmu hukum pidana dibedakan dalam arti luas dan dalam arti sempit. Enschede- Heijder mengatakan bahwa: “menurut metodenya, maka hukum pidana dapat dibedakan: (1) Ilmu-ilmu hukum pidana sistematik: meliputi (a) hukum pidanahukum pidana materiel dan (b) hukum acara pidanahukum pidana formel; (2) Ilmu hukum pidana berdasarkan pengalaman antara lain : (a) kriminologiilmu pengetahuan tentang perbuatan jahat dan kejahatan; (b) kriminalistikajaran tentang pengusutan; (c) psikiatri forensik dan psikologi forensik; (d) sosiologi hukum pidanailmu tentang hukum pidana sebagai gejala masyarakat, yang mengenai bekerjanya pelaksanaan hukum pidana dalam arti yang luas di dalam masyarakat, jadi tidak bekerjanya terhadap tersangka atau pembuat. Maksudnya penataan hukum pidana di dalam masyarakat, tetapi tidak oleh tersangka atau pembuat 1 ”. Memperhatikan apa yang dikemukakan oleh EnschedeHeijder, ilmu-ilmu hukum pidana sistemik terdiri dari hukum pidana materiel dan hukum pidana formil, yang oleh Samidjo diberikan pengertian sebagai berikut: 2 a. Hukum pidana materiel adalah peraturan-peraturan yang menegaskan perbuatan apa yang dapat di hukum, dengan hukum apa menghukum seseorang dan siapa yang dapat di hukum. Jadi hukum pidana materiel 1 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Reneka Cipta, Jakarta, 1991, hlm. 1 2. 2 Samidjo, Ringkasan & Tanggung Jawab Hukum Pidana,Armico, Bandung, 1985, hlm. 3.

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · pidana–hukum pidana materiel dan (b) hukum acara pidana–...

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · pidana–hukum pidana materiel dan (b) hukum acara pidana– ... Ringkasan & Tanggung. Jawab Hukum Pidana, Armico, Bandung, 1985, hl. m. 3.

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Membicarakan hukum pidana dalam ilmu hukum pidana

dibedakan dalam arti luas dan dalam arti sempit. Enschede-

Heijder mengatakan bahwa: “menurut metodenya, maka hukum

pidana dapat dibedakan:

(1) Ilmu-ilmu hukum pidana sistematik: meliputi (a) hukum

pidana–hukum pidana materiel dan (b) hukum acara pidana–

hukum pidana formel; (2) Ilmu hukum pidana berdasarkan

pengalaman antara lain : (a) kriminologi–ilmu pengetahuan

tentang perbuatan jahat dan kejahatan; (b) kriminalistik–ajaran

tentang pengusutan; (c) psikiatri forensik dan psikologi forensik;

(d) sosiologi hukum pidana–ilmu tentang hukum pidana sebagai

gejala masyarakat, yang mengenai bekerjanya pelaksanaan

hukum pidana dalam arti yang luas di dalam masyarakat, jadi

tidak bekerjanya terhadap tersangka atau pembuat. Maksudnya

penataan hukum pidana di dalam masyarakat, tetapi tidak oleh

tersangka atau pembuat1”.

Memperhatikan apa yang dikemukakan oleh Enschede–

Heijder, ilmu-ilmu hukum pidana sistemik terdiri dari hukum

pidana materiel dan hukum pidana formil, yang oleh Samidjo

diberikan pengertian sebagai berikut:2

a. Hukum pidana materiel adalah peraturan-peraturan

yang menegaskan perbuatan apa yang dapat di hukum,

dengan hukum apa menghukum seseorang dan siapa

yang dapat di hukum. Jadi hukum pidana materiel

1 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Reneka Cipta, Jakarta, 1991,

hlm. 1 – 2. 2 Samidjo, Ringkasan & Tanggung Jawab Hukum Pidana,Armico,

Bandung, 1985, hlm. 3.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · pidana–hukum pidana materiel dan (b) hukum acara pidana– ... Ringkasan & Tanggung. Jawab Hukum Pidana, Armico, Bandung, 1985, hl. m. 3.

2

mengatur perumusan-perumusan dari kejahatan-

kejahatan dan syarat-syarat bila orang itu dapat di

hukum. Bilamana orang mengatakan ”hukum pidana”

maka pada umumnya yang dimaksud adalah hukum

pidana materiel.

b. Hukum pidana formel adalah hukum yang mengatur

cara-cara untuk menghukum seseorang yang melanggar

peraturan pidana (merupakan pelaksanaan dari hukum

pidana materiel).

Berkaitan dengan hukum pidana materiel dapat dijelaskan

bahwa hukum pidana materiel tersebut di Indonesia dimuat

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang

sistematikanya terdiri dari 3 (tiga) buku, yaitu: Buku I,

tentang Ketentuan Umum, Buku II tentang Kejahatan dan

Buku III tentang Pelanggaran. Di dalam Buku II dan Buku III

memuat perbuatan yang di larang ataupun yang diharuskan

dan sanksi pidana yang diancamkan. Lebih khusus dalam

Buku II tentang Kejahatan, didalamnya memuat perbuatan

yang di larang atau yang diharuskan, bentuk kesalahan dan

sanksi pidana yang diancamkan.

Perbuatan-perbuatan yang dirumuskan dalam Buku II

dan Buku III tersebut sering dikenal sebagai perbuatan pidana

atau tindak pidana. Berkaitan dengan hal ini, Andi Hamzah

mengatakan sebagai berikut :

Hukum pidana Belanda memakai istilah strafbaar feit,

kadang-kadang juga delict yang berasal dari Bahasa Latin

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · pidana–hukum pidana materiel dan (b) hukum acara pidana– ... Ringkasan & Tanggung. Jawab Hukum Pidana, Armico, Bandung, 1985, hl. m. 3.

3

Delictum. Hukum Pidana negara-negara Anglo-Saxon

memakai istilah offense atau criminal act untuk maksud

yang sama. Oleh karena KUHP Indonesia bersumber pada

WvS Belanda, maka istilah aslinya pun sama, yaitu

strafbaar feit.3 Moeljatno dan Roeslan Saleh memakai

istilah perbuatan pidana, meskipun tidak untuk

menterjemahkan strafbaar feit itu. Selanjutnya Moeljatno

mengatakan bahwa perbuatan pidana dapat disamakan

dengan criminal act, jadi berbeda dengan strafbaar feit,

yang meliputi pula pertanggungjawaban pidana.4

Dengan demikian berbicara tentang strafbaar feit dalam

hukum pidana dibedakan antara perbuatan pidana atau tindak

pidana dan pertanggungjawaban pidana. Menurut ilmu

hukum pidana dalam starfbaar feit dibedakan dalam dua

unsur, yaitu unsur obyektif dan unsur subyektif. Berkaitan

dengan hal tersebut Andi Hamzah mengatakan bahwa syarat

pemidanaan dibagi menjadi dua yaitu:

a. actus reus (delictum) – perbuatan kriminal sebagai

syarat pemidanaan obyektif;

b. mens rea – pertanggungjawaban kriminal sebagai syarat

pemidanaan subyektif.5

Menurut Moeljatno bahwa perbuatan pidana adalah

perbuatan yang di larang oleh suatu aturan hukum larangan

mana di sertai ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu, bagi

3 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Reneka Cipta, Jakarta, 1991,

hlm. 86. 4 Ibid hlm. 88. 5 Ibid hlm. 90.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · pidana–hukum pidana materiel dan (b) hukum acara pidana– ... Ringkasan & Tanggung. Jawab Hukum Pidana, Armico, Bandung, 1985, hl. m. 3.

4

barang siapa yang melanggar larangan tersebut6. Dapat juga

dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh

suatu aturan hukum di larang dan di ancam pidana, asal saja

dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada

perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan

oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan

kepada orang yang menimbulkan kejadian itu7.

Apa yang telah dikemukakan di atas, maka adanya

perbedaan pendapat para ahli pidana tentang isi (maksud) dari

tindak pidana, seperti apa yang telah dikatakan oleh Moeljatno

dalam Pidato Dies Natalis ke-6 Universitas Gadjah Mada pada

tanggal 19 Desember 1955 bahwa belum ada kesatuan

pendapat para ahli pidana dalam merumuskan pengertian

tindak pidana. Untuk adanya strafvoraussetzungen (syarat-

syarat penjatuhan pidana terhadap pembuat) diperlukan lebih

dahulu pembuktian adanya strafbare handlung (perbuatan

pidana), lalu sesudah itu dibuktikan schuld atau kesalahan

subjektif pembuat.8 Pembedaan unsur-unsur perbuatan dan

unsur-unsur pembuat delik dikemukakan oleh Moeljatno di

dalam Pidato Dies Natalis ke-6 Universitas Gadjah Mada pada

tanggal 19 Desember 1955 yang mengutip pendapat Herman

6 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2015. hlm.

59. 7 Ibid hlm 59. 8 Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum

Pidana, pidato diucapkan pada Upacara Peringatan Dies Natalies VI

Universitas Gadjah Mada, tanggal 19 Desember 1955, (Jakarta: Bina Aksara,

1985), hlm. 22-23.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · pidana–hukum pidana materiel dan (b) hukum acara pidana– ... Ringkasan & Tanggung. Jawab Hukum Pidana, Armico, Bandung, 1985, hl. m. 3.

5

Kontorowicz (Tat und Schuld) secara jelas membedakan antara

merkmal der handlung (unsur-unsur perbuatan) dengan

merkmal der handelende (unsur-unsur pembuat).9 Adalah tidak

mungkin, hakim lebih dahulu menentukan terbuktinya

kesalahan (dalam arti luas) pembuat (dader) tanpa lebih dahulu

membuktikan adanya segala unsur (elementen) dan bagian inti

(bestanddelen) suatu perbuatan. Pandangan Moeljatno tersebut

dapat dipandang sebagai teknik bagi hakim untuk menjatuhkan

pidana, yaitu dapat memudahkan hakim untuk memberikan

kualifikasi yang tepat bagi pembuat yang tak akan dijatuhkan

pidana. Kalau salah satu perbuatan pidana tidak terbukti, maka

bunyi putusannya ialah bebas (vrijspraak), sedangkan bila

semua unsur perbuatan terbukti, pembuat tak langsung di

pidana. Jika pembuat yang melakukan perbuatan tersebut

ternyata tidak mampu bertanggungjawab atau dinyatakan tidak

bersalah atau tidak lalai, ataupun ada alasan pemaaf, maka ia

lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsver

volging).

Menurut Moeljatno, dalam tindak pidana terdapat dua

aliran yaitu aliran monistis (tindak pidana keseluruhan pidana

9 Ibid hlm. 22-24.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · pidana–hukum pidana materiel dan (b) hukum acara pidana– ... Ringkasan & Tanggung. Jawab Hukum Pidana, Armico, Bandung, 1985, hl. m. 3.

6

untuk tindak pidana) dan aliran dualistis (membedakan unsur

obyektif dan unsur subyektif dalam tindak pidana). Dalam hal

ini memisahkan criminal act dan criminal liability. Criminal act

(perbuatan pidana) berarti kelakuan dan akibat, atau dengan lain

perkataan: akibat dari suatu kelakuan10. Sedangkan criminal

liability (pertanggungjawaban pidana) yaitu untuk dapat

dipidananya seseorang, selain daripada melakukan criminal act

(perbuatan pidana) orang itu juga harus mempunyai kesalahan

(guilt).11

Bahwa untuk pertanggungjawaban pidana tidak cukup

dengan dilakukannya perbuatan pidana saja, akan tetapi

disamping itu harus ada kesalahan, atau sikap batin yang dapat

dicela, ternyata pula dalam asas hukum yang tidak tertulis: tidak

di pidana jika tidak ada kesalahan (Geen straf zonder schuld.

Ohne schul keine strafe).12 Oleh karena itu, dalam hukum

pidana, konsep liability atau “pertanggungjawaban” itu

merupakan konsep sentral yang di kenal dengan ajaran

kesalahan.13

10 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2015.

hlm. 62. 11 Ibid hlm. 63. 12 Ibid hlm. 63. 13 Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia, Refika Aditama,

Bandung, 2011. hlm. 107.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · pidana–hukum pidana materiel dan (b) hukum acara pidana– ... Ringkasan & Tanggung. Jawab Hukum Pidana, Armico, Bandung, 1985, hl. m. 3.

7

Perbuatan dan pelaku merupakan dua hal yang terkait

erat, di mana perbuatan dilakukan oleh pelaku. Ada suatu

perbuatan yang dirumuskan dalam hukum pidana, juga pada

pelaku ada suatu sikap batin atau keadaan psikis yang dapat

dicela atau kesalahan. Sekalipun perbuatan telah sesuai rumusan,

ada kemungkinan pelakunya tidak dapat di pidana karena pada

dirinya tidak ada kesalahan sama sekali, seperti tidak di pidana

karena keadaan psikisnya yakni penyakit jiwa yang berat.

Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada sifat perbuatan yaitu

sifat yang di larang dengan ancaman pidana jika di langgar.

Berdasarkan uraian di atas, maka jika unsur-unsur

obyektif atau subyektif yang itu terpenuhi pada diri terdakwa,

maka hakim dapat menjatuhkan putusan berupa pernyataan

terdakwa bersalah dan melakukan tindak pidana. Demikian pula

dalam kasus pembunuhan, baik pembunuhan biasa maupun

pembunuhan berencana maka hakim sudah mempunyai

pertimbangan dalam menjatuhkan putusan. Akan tetapi, jika

unsur obyektif dan unsur subyektif tersebut tidak dapat

dibuktikan, maka kemungkinan hakim akan menjatuhkan

putusan berupa pelepasan dari segala tuntutan hukum atau

pembebasan.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · pidana–hukum pidana materiel dan (b) hukum acara pidana– ... Ringkasan & Tanggung. Jawab Hukum Pidana, Armico, Bandung, 1985, hl. m. 3.

8

Sedangkan jika berbicara mengenai motif, dalam Black’s

Law Dictionary, pengertian motif yaitu: Motive. Cause or reason

that moves the will and introduces action. An idea, belief or

emotion that impels or incites one to act in accordance with his

states of mind or emotion14. Terjemahan: Motive. Penyebab atau

alasan yang menggerakkan dan melakukan tindakan. Sebuah ide,

kepercayaan atau emosi yang mendorong atau menghasut

pikiran seseorang untuk bertindak sesuai dengan keadaan atau

emosi.

Dari pengertian yang diberikan dalam Black’s Law

Dictionary, maka dapat dijelaskan bahwa motif merupakan

istilah yang dipergunakan untuk menjelaskan mengapa (alasan)

seseorang melakukan tindak pidana. Motif di maknai sebagai

alasan orang melakukan suatu perbuatan pidana, sehingga motif

dapat dikaitkan dengan niat seseorang melakukan suatu

perbuatan pidana.

Pada pembunuhan berencana yang diatur dalam Pasal

340 KUHP yang berbunyi: “Barangsiapa dengan sengaja dan

dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain,

14 Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary 6th end, , Centennial

Edition (1891-1991).

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · pidana–hukum pidana materiel dan (b) hukum acara pidana– ... Ringkasan & Tanggung. Jawab Hukum Pidana, Armico, Bandung, 1985, hl. m. 3.

9

diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana

mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu

tertentu, paling lama dua puluh tahun”.

Dipikirkan terlebih dahulu dimaksudkan bahwa

seseorang telah merencanakan sehingga di sebut pembunuhan

berencana. Dalam pembunuhan berencana mempunyai unsur

yaitu (1) unsur subyektif yaitu dengan sengaja dan dengan

rencana terlebih dahulu; (2) unsur obyektif yaitu perbuatan

menghilangkan nyawa dan obyeknya adalah nyawa orang lain.

Apa yang telah Penulis kemukakan di atas, jika dikaitkan

dengan kasus pembunuhan berencana yaitu kematian I Wayan

Mirna Salihin pada tanggal 6 Januari 2016 yang dikarenakan

keracunan kopi sianida maka akan di lihat kesenjangan das

sollen dan das sein dalam pembuktian perkara tersebut, karena

jika di lihat pada unsur obyektif dan subyektif yang seharusnya

cukup untuk membuktikan, akan tetapi dalam perkara tersebut

tidak demikian. Pada kasus tersebut adanya perbedaan pendapat

para ahli dimana memperdebatkan pembuktian motif dalam

tindak pidana, sedangkan diketahui bahwa motif bukanlah unsur

dalam Pasal 340 KUHP.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · pidana–hukum pidana materiel dan (b) hukum acara pidana– ... Ringkasan & Tanggung. Jawab Hukum Pidana, Armico, Bandung, 1985, hl. m. 3.

10

Pada kasus ini, ahli pidana Eddy O. S. Hiariej

berpendapat bahwa dalam pembunuhan berencana tidak

membutuhkan motif, Pasal 340 KUHP tidak mengisyaratkan

adanya motif. Kata terencana bukan berarti harus ada motif,

sehingga harus dibuktikan, tetapi kata terencana menandakan

bahwa pelaku memutuskan dengan kehendak tenang, ada jangka

waktu yang cukup antara pemutusan kehendak dan pelaksanaan

kehendak itu dilakukan dalam waktu tenang. Pasal 340 KUHP

hanya memerlukan 3 syarat sesuai Dolus Premeditatus. Dolus

Premeditatus adalah kesengajaan yang dilakukan dengan

rencana terlebih dahulu15. Tiga syarat dalam dolus premeditatus

tersebut: pertama, pelaku ketika memutuskan kehendak untuk

melakukan dalam keadaan tenang. Kedua, ada tenggang waktu

yang cukup untuk memutuskan kehendak dan melaksanakan

perbuatan. Ketiga, pelaksanaan dalam keadaan tenang16.

Berbeda pendapat dengan Prof Eddy, ahli pidana Dr.

Mudzakir berpendapat bahwa perbuatan di sebut pembunuhan

berencana seperti dalam Pasal 340 KUHP, harus ada unsur

kesengajaan dan niat. Di mana adanya niat berbuat jahat, ini

15 Eddy O. S. Hiariej, Prinsip-prinsip Hukum Pidana, Cahaya

Atma Pusaka, Yogyakarta, 2016, hlm. 181-182. 16 Ibid hlm. 181-182.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · pidana–hukum pidana materiel dan (b) hukum acara pidana– ... Ringkasan & Tanggung. Jawab Hukum Pidana, Armico, Bandung, 1985, hl. m. 3.

11

bagian dari orang bertindak dalam motif karena itu sikap batin

totalitas untuk berbuat, apalagi memiliki resiko yang besar.

Menurut beliau, untuk membuktikan motif, penegak hukum bisa

melihat keterkaitan antara perbuatan dan niat jahat.

Seperti yang telah Penulis uraikan di atas, penelitian ini

hendak melihat tentang pembuktian motif dalam

pertanggungjawaban pidana dalam proses pembuktian dan

pertimbangan hakim, karena adanya perbedaaan pendapat yang

mengatakan harus membuktikan motif, adapula yang

mengatakan tidak memerlukan motif. Atas dasar itulah maka

Penulis tertarik untuk menulis dengan judul “MOTIF TINDAK

PIDANA PEMBUNUHAN DALAM PENJATUHAN

PIDANA PADA PROSES PEMBUKTIAN DAN

PERTIMBANGAN PUTUSAN HAKIM”.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka selanjutnya

dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Apakah motif merupakan unsur tindak pidana

pembunuhan?

2. Bagaimana hakim dalam mempertimbangkan

pembuktian motif dalam tindak pidana pembunuhan?

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · pidana–hukum pidana materiel dan (b) hukum acara pidana– ... Ringkasan & Tanggung. Jawab Hukum Pidana, Armico, Bandung, 1985, hl. m. 3.

12

C. TUJUAN PENELITIAN

Setiap penelitian memerlukan tujuan penelitian yang dapat

memberikan arah pada penelitian yang dilakukan.

Berdasarkan uraian latar belakang dan permasalahan di atas,

maka di susun tujuan penelitian sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui apakah motif merupakan unsur

tindak pidana pembunuhan.

2. Untuk mengetahui bagaimana hakim mempertimbang-

kan motif dalam memutuskan perkara tindak pidana

pembunuhan.

D. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat,

baik dari segi teoritis, maupun praktis.

a) Segi Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat

memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan

unsur tindak pidana.

b) Segi Praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat

memberikan kontribusi positif sebagai bahan masukan

kepada para penegak hukum dalam hal ini Hakim dalam

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · pidana–hukum pidana materiel dan (b) hukum acara pidana– ... Ringkasan & Tanggung. Jawab Hukum Pidana, Armico, Bandung, 1985, hl. m. 3.

13

menimbang putusan pada kasus perbuatan pembunuhan

berencana serta menyumbang untuk teori hukum pidana.

E. LANDASAN TEORI

1. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Pada hakikatnya, setiap perbuatan pidana harus terdiri

dari unsur-unsur lahiriah (fakta) oleh perbuatan,

mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan

karenanya.17 Perumusan “Strafbaar feit“ menurut Simons

adalah: “Een Strafbaar feit” adalah suatu hendeling

(tindakan/perbuatan) yang di ancam dengan pidana oleh

undang-undang, bertentangan dengan hukum

(onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh

seseorang yang mampu bertanggungjawab. Simons

membagikannya ke dalam dua golongan unsur yaitu:

a. Unsur obyektif yang berupa tindakan yang

dilarang/ diharuskan, akibat keadaan/masalah

tertentu;

b. Unsur subyektif yang berupa kesalahan dan

kemampuan bertanggung jawab dari petindak dan

17 Ibid hlm. 64.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · pidana–hukum pidana materiel dan (b) hukum acara pidana– ... Ringkasan & Tanggung. Jawab Hukum Pidana, Armico, Bandung, 1985, hl. m. 3.

14

atau strafbaar feit adalah perbuatan manusia yang

di larang dan di ancam hukuman oleh undang-

undang mempunyai sifat melawan hukum, yang

dilakukan oleh seorang yang dapat

dipertanggungjawabkan dan dipersalahkan.18

2. Unsur-Unsur Pada Pasal 338, 339 dan 340 KUHP

Kesalahan merupakan salah satu unsur

pertanggung jawaban pidana. Asas tersebut lebih berarti

dalam menjatuhinya pidana pada seseorang harus

berdasarkan pada kesalahan. Pada pasal-pasal

pembunuhan dalam Pasal 338 KUHP berbunyi:

“Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain,

diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara

paling lama lima belas tahun”.

Rumusan delik pembunuhan (Pasal 338 KUHP),

di situ hanya ada dua bagian inti (bestenddelen) yaitu:

sengaja dan menghilangkan nyawa seorang lain.19 Dalam

rumusan ini terdapat bagian inti “sengaja”, karena ada

18 S.R Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia dan

Penerapannya, Cet. 4, (Jakarta: Percetakan BPK Gunung Mulia, 1996),

hlm. 203. 19 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan

Perkembangannya, Sofmedia, Jakarta, 2012, hlm. 127.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · pidana–hukum pidana materiel dan (b) hukum acara pidana– ... Ringkasan & Tanggung. Jawab Hukum Pidana, Armico, Bandung, 1985, hl. m. 3.

15

delik menghilangkan nyawa orang lain dilakukan dengan

kealpaan (culpa).20 Unsur yang terdapat dalam Pasal 338

KUHP terdiri dari:

a. Unsur obyektif: menghilangkan nyawa orang lain,

obyeknya nyawa orang lain.

b. Unsur subyektif yaitu unsur dengan sengaja.

Perbuatan yang “Dengan sengaja” (Doodslag),

dimana kesengajaan itu harus timbul dengan spontan

sehingga perbuatan sengaja yang tersebut tidak

direncanakan terlebih dahulu.

Perbuatan menghilangkan nyawa orang lain harus

memenuhi syarat antara lain adanya suatu perbuatan,

adanya suatu kematian, dan adanya hubungan sebab dan

akibat (causal verband) antara perbuatan dan akibat

kematian (orang lain). Antara unsur subyektif sengaja

dengan wujud perbuatan menghilangkan terdapat syarat

yang harus dibuktikan, ialah pelaksanaan perbuatan

menghilangkan nyawa (orang lain) harus tidak lama

setelah timbulnya kehendak (niat) untuk menghilangkan

nyawa orang lain itu.21

Dengan demikian terdapat tenggang waktu yang

cukup lama sejak timbulnya atau terbentuknya kehendak

untuk membunuh dengan pelaksanaannya, di mana dalam

tenggang waktu yang cukup lama itu petindak dapat

20 Ibid hlm. 127. 21 Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa,

Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004, hlm.55.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · pidana–hukum pidana materiel dan (b) hukum acara pidana– ... Ringkasan & Tanggung. Jawab Hukum Pidana, Armico, Bandung, 1985, hl. m. 3.

16

memikirkan tentang berbagai hal. Pada Pasal 340 KUHP

berbunyi: “Barang siapa dengan sengaja dan dengan

rencana terlebih dahulu menghilangkan nyawa orang lain,

di pidana karena pembunuhan dengan rencana, dengan

pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama

waktu tertentu, paling lama 20 tahun”.

Pembunuhan berencana rumusan deliknya yaitu

terdiri dari unsur obyektif dan subyektif. Unsur Objektif

yaitu perbuatan menghilangkan nyawa dan objeknya

yaitu nyawa orang lain. Sedangkan Unsur Subjektif yaitu

dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu.

Pembunuhan berencana terdiri dari pembunuhan dalam

arti Pasal 338 KUHP di tambah dengan adanya unsur

rencana terlebih dahulu. Pasal 340 KUHP dirumuskan

dengan cara mengulang kembali seluruh unsur dalam

Pasal 338 KUHP, kemudian di tambah dengan suatu

unsur lagi yakni dengan rencana terlebih dahulu. Oleh

karena dalam Pasal 340 KUHP mengulang lagi seluruh

unsur-unsur Pasal 338 KUHP, maka pembunuhan

berencana dapat dianggap sebagai pembunuhan yang

berdiri sendiri.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · pidana–hukum pidana materiel dan (b) hukum acara pidana– ... Ringkasan & Tanggung. Jawab Hukum Pidana, Armico, Bandung, 1985, hl. m. 3.

17

3. Pertimbangan Hakim Dalam Memutuskan

Perkara Pidana

Pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48

Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, kewenangan

Hakim untuk mengambil suatu kebijakan dalam hal

memutuskan perkara, dalam Pasal 5 ayat (1) berbunyi:

“Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti

dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang

hidup dalam masyarakat”.

Dalam hal ini, Hakim di beri kewajiban untuk

mengggali dan mengikuti serta memahami nilai-nilai hukum

serta rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Sehingga

di dalam hukum acara pidana pembuktian merupakan hal

yang penting di dalam pemeriksaan perkara di pengadilan.

Hal ini karena melalui tahapan pembuktian inilah terjadi

suatu proses, cara, perbuatan membuktikan untuk

menunjukkan benar atau salahnya si terdakwa terhadap

suatu perkara pidana di dalam sidang pengadilan. Dengan

adanya proses, cara serta pembuktian, Hakim dapat benar-

benar melihat serta meneliti apakah terdakwa telah bersalah

melakukan tindak pidana.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · pidana–hukum pidana materiel dan (b) hukum acara pidana– ... Ringkasan & Tanggung. Jawab Hukum Pidana, Armico, Bandung, 1985, hl. m. 3.

18

Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi

penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang

dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang

didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan

ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan

undang-undang yang boleh dipergunakan hakim

membuktikan kesalahan yang didakwakan.22

Hukum acara pidana yang mengatur macam-macam

alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut

dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara yang

mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk

menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian.23 Dalam

Hukum Acara pidana, sumber pembuktian dalam

persidangan adalah undang-undang, doktrin dan

yurisprudensi.

Dalam penjatuhan pidana oleh hakim, sistem peradilan

pidana pada umumnya dan hukum acara pidana khususnya

22 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan

KUHAP: Pemerikasaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan

Kembali: Edisi Kedua, Jakarta, Sinar Grafika, 2002, hlm. 273. 23 Hari Sasangka dan Lily Rosita., Hukum Pembuktian Dalam Perkara

Pidana, Bandung: Mandar Maju, 2003, hlm. 10.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · pidana–hukum pidana materiel dan (b) hukum acara pidana– ... Ringkasan & Tanggung. Jawab Hukum Pidana, Armico, Bandung, 1985, hl. m. 3.

19

dimana pada tahap pembuktian adalah hal yang sangat

penting dalam menentukan bersalah dan tidak bersalahnya

seorang terdakwa. sehingga dapat dijatuhi. Dalam

menjatuhkan suatu putusan bisa dalam bentuk pemidanaan

dan menjatuhkan putusan bebas serta putusan lepas dari

segala tuntutan hukum. Putusan bebas akan dijatuhkan oleh

hakim jika dalam persidangan Hakim berpendapat bahwa

apa yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara

sah dan meyakinkan.pada pertimbangan Hakim dalam

memutuskan perkara pidana adalah menggali, mengikuti

dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang

hidup dalam masyarakat.

4. Teori Pembuktian

Sistem atau teori pembuktian yang di kenal dalam

dunia hukum pidana yaitu conviction intime atau teori

pembuktian berdasarkan keyakinan hakim semata-mata,

conviction rasionee atau teori pembuktian berdasarkan

keyakinan hakim dalam batas-batas tertentu atas alasan yang

logis, positif wettelijk bewijstheorie atau teori pembuktian

yang hanya berdasarkan kepada alat-alat pembuktian yang di

sebut oleh undang-undang secara positif dan negatief

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · pidana–hukum pidana materiel dan (b) hukum acara pidana– ... Ringkasan & Tanggung. Jawab Hukum Pidana, Armico, Bandung, 1985, hl. m. 3.

20

wettelijk beweijstheorie atau teori pembuktian berdasarkan

keyakinan hakim yang timbul dari alat-alat bukti dalam

undang-undang secara negatif24.

Menurut M. Haryanto dalam bukunya Hukum Acara

Pidana, terdapat 3 (tiga teori) pembuktian yaitu:25

1. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara

Positif (Positif Wetelijke Bewijs Theori): yaitu teori

pembuktian yang berdasarkan pada alat-alat bukti yang

terdapat dalam Undang-Undang. Dikatakan pembuktian

secara positif, karena jika telah terbukti perbuatan sesuai

dengan alat-alat bukti dalam Undang-Undang, maka

keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali, sehingga

teori pembuktian ini di sebut juga Formele Bewijstheorie.

2. Teori Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu (Conviction

Intime): yaitu theori ini didasarkan pada pendapat bahwa

pengakuan terdakwa tidak selalu dapat membuktikan

kebenaran.

Oleh karena itu bagaimanapun diperlukan juga

keyakinan hakim. Theori ini mendasarkan pada keyakinan

hati nurani hakim bahwa terdakwa telah melakukan

perbuatan yang didakwakan kepadanya oleh Penuntut

Umum. Dengan theori ini memungkinkan Hakim

menyebut apa saja yang menjadi dasar keyakinannya,

sehingga teori ini memberikan kebebasan kepada hakim

terlalu besar, akibatnya hakim sulit diawasi dengan

kebebasannya tersebut. Jika teori ini di ikuti oleh para

hakim, maka kedudukan terdakwa sangat lemah, karen

ajika hakim telah mempunyai keyakinan hati nuraninya,

maka terdakwa/penasihat hukumnya sulit mengadakan

pembelaan.

3. Teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan

yang logis (la Conviction Rais Onnee). Dalam Teori ini

24 Hendar Soetarna, Hukum Pembuktian dalam Acara Pidana, Bandung,

Alumni, 2011, hlm.11. 25 M. Haryanto, Hukum Acara Pidana, Universitas Kristen Satya Wacana,

Salatiga, 2013, hlm. 117-119.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · pidana–hukum pidana materiel dan (b) hukum acara pidana– ... Ringkasan & Tanggung. Jawab Hukum Pidana, Armico, Bandung, 1985, hl. m. 3.

21

hakim memutuskan seseorang bersalah harus berdasarkan

keyakinannya, keyakinan tersebut harus didasarkan pada

dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan

(Conclusie) yang berlandaskan kepada peraturan-

peraturan pembuktian tertentu. Teori ini juga disebut teori

pembuktian bebas, karena dengan teori ini hakim bebas

untuk menyebutkan alasan-alasan tentang keyakinannya

(Vrije Bewijdtheorie). Selanjutnya teori ini terpecah

menjadi dua yaitu :

a. Teori Pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas

alasan yang logis (Conviction Raisonnee): teori ini

berpangkal pada keyakinan hakim yang didasarkan

pada suatu kesimpulan (conclusi) yang logis, yang tidak

didasarkan pada Undang-undang, tetapi menurut Ilmu

Pengetahuan sendiri, menurut pilihannya sendiri

tentang pelaksanaan pembuktian yang mana yang akan

digunakan.

b. Pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara negatif

(Negatief Wettlijke Bewijs theori): teori ini berpangkal

tolak dari aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan

secara limitatif dalam Undang-Undang, tetapi hal itu

harus diikuti dengan keyakinan hakim.

5. Teori Kesalahan dan Pertanggungjawaban Pidana

Dalam teori kesalahan terbagi dua yaitu kehendak dan

pengetahuan. Kehendak yaitu keinginan untuk melakukan

tindak pidana. Pengetahuan yang artinya apakah ia seseorang

yang melakukan tindak pidana tersebut mengetahui dengan

perbuatan itu dapat balas dendam.

Pada pertanggungjawaban pidana ada tiga unsur yang

harus dipenuhi yaitu (a) kemampuan bertanggungjawab yang

artinya dalam pertanggung jawaban pidana harus adanya

kemampuan untuk membedakan-bedakan antara perbuatan

yang baik dan buruk, sesuai dengan hukum dan yang

melawan hukum (faktor akal) serta kemampuan untuk

menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik

Page 22: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · pidana–hukum pidana materiel dan (b) hukum acara pidana– ... Ringkasan & Tanggung. Jawab Hukum Pidana, Armico, Bandung, 1985, hl. m. 3.

22

dan buruknya perbuatan tadi (faktor perasaan/kehendak); (b)

Kesengajaan (Dolus) dan Kealpaan (Culpa) yang artinya

dalam teori kehendak kesengajaan adalah kehendak yang

diarahkan pada terwujudnya perbuatan seperti dirumuskan

dalam wet (unsur-unsur delik dalam undang-undang)26, (c)

Alasan penghapus pidana yang artinya dalam alasan

penghapus pidana terdapat 2 (dua) yaitu: alasan tidak dapat

dipertanggungjawabkan seseorang yang terletak pada diri

orang itu dan alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya

seseorang yang terletak di luar orang itu.

Sehingga dengan penjelasan diatas, dimana jika

unsur-unsur kesalahan sesuai undang-undang yang berlaku

sudah terpenuhi maka seseorang dapat dijatuhi pidana sesuai

dengan undang-undang yang berlaku. Perbuatan pidana

hanya menunjukkan kepada di larang dan diancamnya

perbuatan dengan suatu pidana, apakah orang yang

melakukan perbuatan pidana akan dijatuhi pidana

sebagaimana diancamkan akan di lihat apakah dalam

melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan.27

Dalam hukum pidana terdapat asas Geen Straf Zonder

Schuld; Actus Non Facit Reum Nisi Mens Sist Rea yang

artinya tidak di pidana jika tidak ada kesalahan.28 Dalam asas

ini memiliki arti bahwa dalam menentukan seseorang

bersalah atau tidak, tidak ditentukan oleh motif, melainkan

ditentukan oleh kesalahan. Kemampuan bertanggungjawab

merupakan unsur (elemen) kesalahan.29

26 Ibid hlm. 186. 27 Moeljatno, Unsur-Unsur Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2002,

hlm. 165. 28 Ibid hlm. 165. 29 Ibid hlm. 181.

Page 23: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · pidana–hukum pidana materiel dan (b) hukum acara pidana– ... Ringkasan & Tanggung. Jawab Hukum Pidana, Armico, Bandung, 1985, hl. m. 3.

23

Untuk membuktikan adanya kesalahan maka unsur tadi

harus dibuktikan. Sehingga di dalam hukum pidana di

Indonesia, pertanggungjawaban pidana harus sesuai serta

terpenuhi unsur-unsur dalam pertanggungjawaban tersebut di

atas yaitu unsur kesalahan. Jikalau sudah terpenuhi unsur

kesalahan, maka seseorang yang melakukan tindak pidana

dapat dipidanakan sesuai dengan undang-undang yang

berlaku.

6. Alat Bukti Dan Barang Bukti Dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Pada Pasal 184 KUHAP, alat bukti yang sah ialah:

keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan

keterangan terdakwa. Barang Bukti jika mengacu pada Pasal

39 KUHAP berbunyi: “Yang dapat dikenakan penyitaan

adalah:

a. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh

atau sebagian di duga diperoleh dari tindakan pidana atau

sebagai hasil dari tindak pidana;

b. benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk

melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;

c. benda yang digunakan untuk menghalang-halangi

penyelidikan tindak pidana;

d. benda yang khusus di buat atau diperuntukkan melakukan

tindak pidana;

Page 24: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · pidana–hukum pidana materiel dan (b) hukum acara pidana– ... Ringkasan & Tanggung. Jawab Hukum Pidana, Armico, Bandung, 1985, hl. m. 3.

24

e. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan

tindak pidana yang dilakukan.

7. Pembuktian Tidak Langsung (Circumtantial Evidence)

Bukti tidak langsung atau circumstantial evidence

merupakan suatu bukti yang didasarkan pada proses inferensi

dan bukan dalam pengetahuan atau observasi pribadi dan

Circumstantial evidence merupakan semua bukti yang tidak

diberikan oleh orang yang menjadi saksi mata dalam suatu

peristiwa30 M. Burrill, dalam bukunya yang berjudul A Treatise

on the Nature, Principles and Rules of Circumstantial Evidence

menuliskan:

“Indirect evidence (called by the civilians, oblique,

and more commonly known as circumstantial evidence) is

that which is applied to the principal fact, indirectly, or

through the medium of other facts, by establishing certain

circumstances or minor facts, already described as

evidentiary, from which the principal fact is extracted and

gathered by a process of special inference ....”31

Dalam penggunaan pembuktian tidak langsung atau

circumstantial evidence dalam suatu perkara ialah

relevansi antara fakta kejadian pelanggaran yang akan

30Bryan A. Garner, Black's Law Dictionary 8th ed., West Group, Minnesota:

2004, h.1678. (Circumstantial evidence. 1. Evidence based on inference and not on

personal knowledge or observation. 2. All evidence that is not given by eyewitness

testimony). 31 Alexander M. Burrill, A Treatise on the Nature, Principles and Rules of

Circumstantial Evidence, Baker Voorhis and co., law Publisher, New York : 1868, h.4

Page 25: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · pidana–hukum pidana materiel dan (b) hukum acara pidana– ... Ringkasan & Tanggung. Jawab Hukum Pidana, Armico, Bandung, 1985, hl. m. 3.

25

hendak akan dibuktikan dengan fakta–fakta pendukung

yang digunakan untuk membuktikan fakta kejadian

pelanggaran tersebut.

Dalam hukum acara mengenal jenis pembuktian

tidak langsung atau circumstantial evidence. Menurut

Hendar Sutarna alat bukti petunjuk dalam KUHAP

merupakan alat bukti “yang tercipta”, berbeda dengan alat

bukti yang lain (alat bukti saksi, alat bukti surat, alat bukti

petunjuk) yang bernilai dan berkekuatan pembuktian atas

hakikatnya sendiri, alat bukti petunjuk terwujud karena

adanya persesuaian perbuatan, kejadian atau keadaan satu

sama lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri.32

F. METODE PENELITIAN

Penelitian ini berbicara tentang bagaimana motif dalam unsur

tindak pidana, oleh karena itu dengan adanya persoalan hukum ini,

maka jenis penelitiannya adalah penelitian hukum yang

menggunakan pendekatan:

32 Hendar Soetarna, S.H., Hukum Pembuktian dalam Acara Pidana,

alumni, Bandung, 2011, hlm. 75

Page 26: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · pidana–hukum pidana materiel dan (b) hukum acara pidana– ... Ringkasan & Tanggung. Jawab Hukum Pidana, Armico, Bandung, 1985, hl. m. 3.

26

1. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)

Pendekatan ini digunakan karena penelitian ini

beranjak pada dasar pijakan adalah pandangan-pandangan

dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum

guna membangun suatu konsep hukum33. Pendekatan ini akan

melihat bahwa konsep kesalahan sudah cukup dalam

pertanggung jawaban pidana.

2. Pendekatan Kasus (Case Aprroach)

Pendekatan kasus oleh peneliti adalah ratio decidendi,

yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk

sampai kepada putusannya34. Dalam pendekatan kasus, untuk

dapat memahami fakta materiel perlu diperhatikan tingkat

abstraksi rumusan fakta yang diajukan35. Sehingga kegunaan

dalam pendekatan kasus adalah ratio decidendi atau

penafsiran yang digunakan oleh hakimnya. Hal ini

bermanfaat untuk penyingkapan latar belakang terjadinya

suatu kasus pidana serta mengetahui penafsiran para hakim

dalam memutuskan suatu perkara dalam persidangan.

33 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Edisi Revisi), Kencana

Prenanda Media Group, Jakarta, 2013, hlm. 177-178. 34 Ibid hlm. 158. 35 Ibid hlm 164.

Page 27: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · pidana–hukum pidana materiel dan (b) hukum acara pidana– ... Ringkasan & Tanggung. Jawab Hukum Pidana, Armico, Bandung, 1985, hl. m. 3.

27

3. Pendekatan Perundang-undangan (Statute Aprroach)

Pendekatan perundang-undangan adalah pendekatan

dengan menggunakan legislasi dan regulasi.36 Pendekatan

Perundang-undangan dilakukan dengan menelaah peraturan

perundang-undangan yang bersangkut paut dengan

permasalahan atau isu hukum yang sedang diteliti oleh

Penulis.

G. SISTEMATIKA PENULISAN

Tesis ini disusun dengan sistematika yang terbagi dalam 4

(empat) bab. Masing-masing bab terdiri atas beberapa subbab, hal

ini untuk lebih memperjelas ruang lingkup dan cakupan

permasalahan yang akan di teliti. Adapun urutan dan tata letak

masing-masing bab serta pokok pembahasannya adalah sebagai

berikut:

Bab I (Pendahuluan) berisi uraian latarbelakang masalah

yang berbicara tentang motif yang selalu dikaitkan dengan kasus

pembunuhan biasa dan pembunuhan berencana sehingga dalam

bab ini Penulis menjelaskan delik-delik pasal tersebut dan unsur-

unsur dalam pasal tersebut. Selanjutnya pada Bab II akan di bahas

36 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Edisi Revisi), Kencana

Prenanda Media Group, Jakarta, 2013, hlm. 137.

Page 28: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · pidana–hukum pidana materiel dan (b) hukum acara pidana– ... Ringkasan & Tanggung. Jawab Hukum Pidana, Armico, Bandung, 1985, hl. m. 3.

28

tentang unsur-unsur tindak pidana, motif dalam tindak pidana,

pembuktian dalam perkara pidana dan hal-hal yang dibuktikan

oleh hakim dalam perkara pidana dan pertimbangan hakim dalam

memutuskan perkara pidana. Pada BAB III berisi hasil penelitian

dan analisis, pada hasil penelitian akan dijabarkan kasus posisi

pembunuhan berencana, dakwaan, pembuktian hakim dalam

perkara kasus pembunuhan dan tuntutan dalam kasus tersebut.

Dalam analisis akan melihat putusan hakim serta pertimbangan

hakim dalam tuntutan tindak pidana pembunuhan terkait motif.

Pada BAB IV berisikan kesimpulan dalam penelitian ini serta

saran untuk kedepannya.