BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...

29
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Halal adalah sebuah konsep aturan prinsip agama Islam, yang digunakan untuk menyatakan bahwa sesuatu hal diijinkan atau dilarang untuk dikonsumsi oleh Muslim dengan dasar dari Al-Qur’an, hadist, atau ijtihad (kesepakatan ulama) (Salehudin, 2010). Konsep halal diberikan apresiasi yang tinggi karena produk halal dianggap sebagai produk yang lebih sehat, lebih bersih, dan lebih lezat (Burgmann, 2007). Konsep halal ini tidak hanya populer di antara Muslim, tetapi juga di masyarakat dunia secara umum dan mulai diterapkan pada berbagai jenis produk seperti pada makanan, minuman, obat-obatan, toiletries, kosmetika, dan bahkan pada penerapan ilmu keuangan (Lada dkk., 2009). Perintah untuk menggunakan hanya yang halal dan tidak menyentuh barang yang haram bagi umat Muslim telah tertuang jelas dalam kitab suci Al- Qur’an. Allah SWT berfirman, “Wahai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (Al-Qur’anul Karim, Al-Baqarah, 2:168). Hal ini dikuatkan dengan sabda Rasululloh SAW, “Perkara yang halal itu jelas dan yang haram

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Halal adalah sebuah konsep aturan prinsip agama Islam, yang digunakan

untuk menyatakan bahwa sesuatu hal diijinkan atau dilarang untuk dikonsumsi

oleh Muslim dengan dasar dari Al-Qur’an, hadist, atau ijtihad (kesepakatan

ulama) (Salehudin, 2010). Konsep halal diberikan apresiasi yang tinggi karena

produk halal dianggap sebagai produk yang lebih sehat, lebih bersih, dan lebih

lezat (Burgmann, 2007). Konsep halal ini tidak hanya populer di antara

Muslim, tetapi juga di masyarakat dunia secara umum dan mulai diterapkan

pada berbagai jenis produk seperti pada makanan, minuman, obat-obatan,

toiletries, kosmetika, dan bahkan pada penerapan ilmu keuangan (Lada dkk.,

2009).

Perintah untuk menggunakan hanya yang halal dan tidak menyentuh

barang yang haram bagi umat Muslim telah tertuang jelas dalam kitab suci Al-

Qur’an. Allah SWT berfirman, “Wahai sekalian manusia, makanlah yang halal

lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti

langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang

nyata bagimu.” (Al-Qur’anul Karim, Al-Baqarah, 2:168). Hal ini dikuatkan

dengan sabda Rasululloh SAW, “Perkara yang halal itu jelas dan yang haram

2

itu jelas, sedangkan diantara keduanya terdapat perkara-perkara yang tersamar

(meragukan) dan banyak orang tidak mengetahuinya. Maka siapa yang

menghindari perkara-perkara yang meragukan, iapun telah membersihkan

kehormatan dan agamanya. Dan siapa yang terjerumus dalam perkara-perkara

yang meragukan, iapun bisa terjerumus dalam perkara yang haram. Seperti

penggembala yang menggembala di sekitar tempat terlarang dan nyaris

terjerumus di dalamnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Thayyarah (2013)

mengemukakan bahwa terdapat lebih banyak lagi ayat dalam Al-Qur’an yang

berisi larangan memakan bahan makanan tertentu, yang secara luas diterapkan

dalam konsumsi makanan, minuman, obat-obatan, maupun kosmetika.

Masyarakat Muslim terbagi dalam tiga jenis segmen konsumen

berdasarkan kecenderungannya terhadap produk syariah yaitu syariah loyalist,

floating mass, dan conventional loyalist (Karim dan Affif, 2005). Masyarakat

syariah loyalist memiliki kesetiaan (loyalitas) terhadap produk halal, bahkan

dapat membatalkan pembelian apabila produk yang dipilihnya ternyata terbukti

tidak halal. Floating mass membuat keputusan pembelian setelah

mempertimbangkan banyak hal dari banyak sudut pandang dan memilih

produk dengan hasil evaluasi terbaik. Masyarakat dalam golongan floating

mass memiliki kemungkinan untuk memakai produk halal dan produk

konvensional secara bersamaan. Produk konvensional yang dimaksud di sini

adalah produk-produk yang belum jelas kehalalannya ataupun yang sudah jelas

haram. Sedangkan pada conventional loyalist, kehalalan produk sama sekali

3

tidak menjadi bahan pertimbangan pembelian produk. Mereka dimungkinkan

memilih produk halal hanya apabila produk tersebut terbukti memiliki kualitas

yang lebih baik dibandingkan produk konvensional. Walaupun pengelompokan

semacam ini dikembangkan dalam ruang lingkup keuangan syariah, tetapi

dapat juga diaplikasikan ke industri syariah yang lain (Karim dan Affif, 2005).

Salehudin dan Mukhlis (2012) menemukan bahwa seorang konsumen

dapat saja masuk dalam kelompok segmen tertentu pada pembelian suatu

produk, kemudian menjadi kelompok yang lain pada pembelian produk yang

lain. Hal ini membuktikan bahwa seorang konsumen bisa memiliki respon yang

bermacam-macam terhadap pembelian produk yang berbeda.

Pada pemilihan kosmetika, perbedaan ini semakin terasa karena terkadang

konsumen tidak terlalu memperhatikan kehalalan dari kosmetika yang

digunakannya. Hal ini sejalan juga dengan penelitian dan fokus pembahasan

produk halal selama ini lebih terkonsentrasi pada makanan dan minuman halal

(Zarif dkk., 2013). Konsumen kosmetika menjadi tidak terlalu peduli tentang

status kehalalan produk kosmetika yang digunakannya. Dengan pola pikir

demikian, konsumen pada umumnya menjadi tidak peduli terhadap kehalalan

produk kosmetika yang digunakan, walaupun pada pembelian produk lain

seperti makanan, minuman, atau obat-obatan konsumen tersebut bisa saja lebih

selektif. Padahal, menurut pendapat dari beberapa imam besar yang diakui

dalam Islam, penggunaan bahan haram dalam suatu produk hanya diijinkan

apabila ada dalam kondisi darurah. Kondisi darurah di sini mengandung

4

pengertian situasi dimana seseorang tidak memiliki makanan atau minuman

halal apapun yang bisa dikonsumsi, dan yang tersedia hanya yang telah difatwa

haram oleh hukum Islam. Tidak dikonsumsinya barang haram tersebut

dikhawatirkan akan melemahkan atau membahayakan orang tersebut (Zarif

dkk., 2013), atau kondisi keterdesakan yang bila tidak dilakukan akan dapat

mengancam keselamatan jiwa manusia (MUI, 2000). Pengertian seperti ini

didasarkan pada firman Allah SWT dalam Al-Qur’an, “Sesungguhnya Allah

hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang

(ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam

keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak

(pula) melampaui batas maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah

Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Qur’anul Karim, Al-Baqarah,

2:173).

Dalam pengertian darurah seperti di atas, produk kosmetika seperti

apapun tidak dapat dikategorikan dalam darurah, karena tidak memiliki aspek

yang sifatnya penting untuk penyelamatan jiwa manusia dan yang harus

digunakan tanpa ada pilihan lain. Dengan demikian, produk kosmetika

sebenarnya tidak boleh digunakan oleh umat Muslim tanpa kepastian status

halal (Zarif dkk., 2013).

Perbedaan respon terhadap obat halal dan obat konvensional sedikit-

banyak dipengaruhi oleh pengetahuan konsumen tentang ilmu syariah dan

seberapa usaha yang dikeluarkan seorang muslim untuk mempelajari hal

5

tersebut (Zarif dkk., 2013). Dalam bidang sosial, hal ini disebut dengan literasi

halal, yaitu kemampuan seseorang untuk membedakan yang halal dan yang

haram berdasarkan seberapa baik pemahamannya terhadap hukum Islam

(hukum syariah) (Salehudin, 2010). Perbedaan ilmu dan guideline dalam

mengkaji ilmu syariah nantinya akan dapat membuat perbedaan dalam sudut

pandang masing-masing konsumen hingga akhirnya akan ada perbedaan dalam

niatan dan perilakunya (Zarif dkk., 2013).

Pola perilaku seperti demikian dapat dijelaskan dengan Theory of Planned

Behaviour (Ajzen, 1991). Walaupun Theory of Planned Behaviour awalnya

dikembangkan dari ilmu psikologi, akan tetapi selanjutnya telah banyak

diterapkan dalam untuk menjelaskan pola perilaku manusia di berbagai bidang.

Sebagai contoh dalam bidang pendidikan (Martin dan Kullina, 2004; Okun dan

Sloanne, 2002), bidang pemasaran (Chiou, 1998), kesehatan dan olahraga

(Higgins dan Marcum, 2005; Kouthouris dan Spontis, 2005; Godin dkk., 2004).

Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi

mengenai pengaruh literasi halal tersebut terhadap actual purchasing

kosmetika dipandang dari Theory of Planned Behaviour.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah attitude towards behaviour, subjective norms, dan perceived

behavioural control secara bersama-sama berpengaruh terhadap intention?

6

2. Apakah intention berpengaruh terhadap actual purchasing produk

kosmetika halal?

3. Apakah terdapat hubungan antara tingkat actual literacy dengan self-

efficacy literasi halal mahasiswi Muslim Fakultas Farmasi Universitas

Gadjah Mada Yogyakarta?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui pengaruh attitude towards behaviour, subjective norms, dan

perceived behavioural control secara bersama-sama terhadap intention.

2. Mengetahui pengaruh intention terhadap actual purchasing produk

kosmetika halal.

3. Mengetahui hubungan antara tingkat actual literacy dengan self-efficacy

literasi halal mahasiswi Muslim Fakultas Farmasi Universitas Gadjah

Mada Yogyakarta.

D. Tinjauan Pustaka

1. Kosmetika

Kata kosmetika berasal dari bahasa Yunani “kosmetikos” yang

memiliki arti keterampilan menghias atau mengatur (Tranggono dan

Latifah, 2007). Pengertian kosmetika adalah suatu bahan atau campuran

bahan (sediaan) yang digunakan dengan cara digosokkan, dituangkan,

7

dipercikkan, dilekatkan di luar badan manusia atau bagian badan manusia

dengan tujuan membersihkan, memelihara, menambah daya tarik,

mewangikan, melindungi, atau memelihara tubuh dalam kondisi baik,

tanpa memiliki khasiat obat. Dengan demikian, menurut pengertian ini

kosmetika tidak dapat dipakai untuk fungsi diagnosis, pengobatan, maupun

pencegahan penyakit (Wasitaatmadja, 1997; BPOMRI, 2009). Selain itu,

kosmetika juga tidak boleh mempengaruhi struktur dan faal kulit

(Tranggono dan Latifah, 2007). Oleh Lubowe (1955), kosmetika yang

dicampur dengan obat-obatan dan memiliki kemampuan untuk

mempengaruhi faal kulit disebut dengan cosmedics, sementara Faust

(1975) menyebutnya dengan istilah medicated cosmetics.

Kosmetik merupakan produk yang unik dan menjadi kebutuhan dasar

wanita untuk menunjang kecantikan dan memperjelas identitas sosialnya

di masyarakat (Fabricant dan Gould, 1993). Di masyarakat modern,

penggunaan produk kosmetika lebih ditujukan untuk menjaga kebersihan

pribadi, meningkatkan daya tarik, meningkatkan rasa percaya diri dan

ketenangan, melindungi kulit dan rambut dari kerusakan, dan mencegah

penuaan. Pada umumnya, produk kosmetika digunakan agar seseorang

lebih menikmati dan menghargai hidup (Mitsui, 1993).

Dalam literaturnya, Iswari (2007) menggolongkan kosmetik

berdasarkan fungsinya, yaitu:

8

a. Kosmetika perawatan kulit

1) Kosmetika untuk membersihkan kulit (cleanser). Termasuk didalam

kosmetik jenis ini adalah sabun, pembersih wajah, dan lain-lain.

2) Kosmetika sebagai pelembab kulit (moisturizer). Contohnya

moisturizer cream, night cream, day cream.

3) Kosmetika untuk melindungi kulit. Contohnya krim sunscreen, sun

block lotion.

4) Kosmetika untuk menipiskan kulit (peeling). Contohnya krim scrub.

b. Kosmetika dekoratif (make-up)

Penggunaan kosmetik dekoratif lebih ditekankan untuk alasan

psikologis dibandingkan untuk kesehatan kulit. Utamanya kosmetika

dekoratif berfungsi untuk merias dan menutupi kekurangan pada kulit,

sehingga membuat penampilan menjadi lebih menarik. Oleh karena itu,

kosmetika dekoratif memiliki syarat khusus yaitu warna yang menarik,

bau yang harum, tidak lengket, tidak menyebabkan kulit terlihat

berkilau, dan tidak boleh merusak kulit, rambut, bibir, kuku, dan bagian

lainnya pada tubuh (Tranggono dan Latifah, 2007).

Kosmetika dekoratif dibagi dalam dua jenis yaitu:

1) Kosmetika dekoratif yang hanya berefek pada permukaan kulit dan

hanya dipakai dalam jangka waktu pendek. Contohnya, bedak,

lipstik, pemerah pipi, cat kuku, eye-shadow, eyeliner dan lain

sebagainya.

9

2) Kosmetika dekoratif yang efeknya lebih dalam dan butuh waktu

lebih lama hingga dapat luntur. Contohnya, pemutih kulit, cat

rambut, pengeriting rambut, dan lain sebagainya.

2. Halal

Halal adalah segala hal yang terbebas dari ikatan larangan dan telah

diizinkan oleh syariat Islam untuk melakukannya (Qaradhawi, 1993).

Sementara menurut Salehudin (2010), halal merupakan sebuah konsep

aturan prisip agama Islam, yang digunakan untuk menyatakan bahwa suatu

hal tersebut diijinkan (tidak dilarang) untuk dikonsumsi oleh Muslim

dengan dasar dari Al-Qur’an, hadist, atau ijtihad (kesepakatan ulama).

Kebalikan dari halal adalah haram, yaitu sesuatu yang telah dituntut oleh

syariah Islam untuk ditinggalkan, sehingga pelaku perbuatan tersebut akan

dicela (Dahlan, 1997).

Perintah untuk menggunakan hanya yang halal dan tidak menyentuh

barang yang haram bagi umat Muslim telah tertuang jelas dalam kitab suci

Al-Qur’an. Allah SWT berfirman, “Wahai sekalian manusia, makanlah

yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu

mengikuti langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan itu adalah

musuh yang nyata bagimu.” (Al-Qur’anul Karim, Al-Baqarah, 2:168). Hal

ini dikuatkan dengan sabda Rasululloh SAW, “Perkara yang halal itu jelas

dan yang haram itu jelas, sedangkan diantara keduanya terdapat perkara-

perkara yang tersamar (meragukan) dan banyak orang tidak

10

mengetahuinya. Maka siapa yang menghindari perkara-perkara yang

meragukan, iapun telah membersihkan kehormatan dan agamanya. Dan

siapa yang terjerumus dalam perkara-perkara yang meragukan, iapun bisa

terjerumus dalam perkara yang haram. Seperti penggembala yang

menggembala di sekitar tempat terlarang dan nyaris terjerumus di

dalamnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Ditambah lagi dengan sabda

Rasulullah SAW, “Setiap daging yang tumbuh dari makanan yang haram,

api neraka lebih pantas baginya.” (HR. At-Tirmidzi).

Secara umum, kaidah halal menurut Alserhan (2011) dapat

diklasifikasikan menjadi berbagai tingkatan, yaitu:

1. Halal (permissible)

a. Wajib, atau perintah. Kegagalan melaksanakan suatu hal yang

wajib akan mendapat dosa. Wajib dapat disebut sebagai Core Halal

(inti dari halal). Dengan demikian, seseorang yang tidak

melaksanakan hal wajib tidak dapat digolongkan sebagai orang

yang patuh terhadap syariah.

b. Mandoob, atau disarankan, hal yang disukai, tetapi tidak harus

dilakukan. Orang yang tidak melaksanakan mandoob tidak

mendapat dosa. Mandoob dapat disebut sebagai Supplementary

Halal (pelengkap) dan lebih baik dilaksanakan jika memungkinkan.

c. Makrooh, atau dibenci, hal yang disarankan untuk tidak

dilaksanakan. Pelaksanaan hal makrooh tidak menyebabkan dosa,

11

kecuali apabila perbuatan makrooh tersebut memicu perbuatan

dosa lain. Oleh karena itu, perbuatan makrooh sebaiknya dihindari

sejauh mungkin.

2. Mushtabeh, atau diragukan. Hal mushtabeh sebaiknya dihindari oleh

Muslim karena dimungkinkan haram atau memicu kepada hal yang

haram.

3. Haram, atau dilarang dan tidak diijinkan. Pelaksanaan hal yang haram

akan mendapatkan dosa.

Dalam Islam, secara garis besar benda haram dikarenakan dua hal,

yaitu haram li-dhatih dan haram li-ghairih. Haram li-dhatih merupakan

kelompok benda yang diharamkan substansi bendanya oleh agama Islam.

Sementara haram li-ghairih, substansi bendanya sebenarnya tidak haram,

namun penanganannya tidak dibenarkan oleh Islam. Contoh yang

termasuk dalam haram li-ghairih adalah ternak yang dipotong secara tidak

syar’i, atau benda yang halal, tetapi didapatkan dengan mencuri

(Departemen Agama RI, 2003).

Namun, hukum halal-haram makanan ini tidaklah berlaku apabila

seseorang dihadapkan pada kondisi darurah. Yang dimaksud kondisi

darurah di sini adalah kondisi seseorang pada batas dimana apabila dia

tidak mengkonsumsi sesuatu yang dilarang maka ia akan binasa atau

nyaris binasa (Shiddiq, 2001). Sementara menurut MUI (2000), darurah

mengandung arti kondisi keterdesakan yang bila tidak dilakukan akan

12

dapat mengancam keselamatan jiwa manusia. Pengertian seperti ini

didasarkan pada firman Allah SWT dalam Al-Qur’an, “Sesungguhnya

Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan

binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi

barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak

menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas maka tidak ada dosa

baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

(Al-Qur’anul Karim, Al-Baqarah, 2:173).

3. Kosmetika halal

Kosmetika halal adalah kosmetika yang dalam metode pembuatan dan

alat-bahan yang digunakan tidak mengandung hal yang dilarang untuk

dikonsumsi oleh syariat Islam. Menurut Musyawarah Nasional VI Majelis

Ulama Indonesia No. 2/MUNAS VI/MUI/2000, diantara bahan-bahan

yang dilarang tersebut adalah yang mengandung bagian organ manusia

(misalnya lemak manusia, plasenta, darah, cairan amniotik, dan lain

sebagainya). Kosmetika yang mengandung alkohol dari industri

pembuatan khamr (minuman yang memabukkan) juga haram untuk

digunakan, namun apabila bahan yang digunakan adalah dari hasil industri

non-khamr (baik yang merupakan hasil sintesis kimiawi dari petrokimia

ataupun hasil industri fermentasi non-khamr) hukumnya adalah mubah,

apabila secara medis tidak membahayakan (MUI, 2009). Selain yang telah

13

disebutkan, yang diharamkan untuk digunakan sebagai bahan pembuatan

kosmetika antara lain:

1. Bahan yang berasal dari hewan yang haram menurut syariah Islam

(misalnya anjing, babi).

2. Bahan yang berasal dari bangkai atau hewan halal yang dipotong tidak

sesuai dengan hukum syariah.

3. Bahan GMO (Genetically Modified Organism) yang berasal atau telah

terkontaminasi dengan hewan yang haram sesuai hukum syariah.

4. Mengandung bahan yang berbahaya bagi pemakai.

Sementara bahan yang halal untuk digunakan menurut Rejab (2013)

antara lain:

1. Bahan yang berasal dari hewan darat yang halal dan dipotong sesuai

hukum syariah Islam.

2. Bahan yang berasal dari hewan perairan.

3. Bahan yang berasal dari hewan darat yang halal yang dipanen ketika

hewan tersebut masih hidup (kulit, bulu, dan lainnya).

4. Bahan yang berasal dari tanaman, kecuali apabila telah tercemar

dengan bahan haram dan/atau ekstraksi enzim.

5. Bahan yang berasal dari mikroorganisme kecuali apabila telah

tercemar dengan bahan haram dan/atau ekstraksi enzim.

6. Bahan yang berasal dari tanah dan air dan produk-produk yang

dihasilkannya, kecuali telah tercemar oleh bahan haram.

14

7. Bahan yang diproduksi secara sintetik, kecuali yang telah tercemar

oleh bahan haram.

Untuk memudahkan konsumen dalam membedakan produk kosmetika

yang halal dan yang haram, masing-masing negara pada umumnya

memiliki regulasi khusus untuk memberi labelisasi halal. Di Indonesia,

lembaga yang memiliki otoritas tersebut adalah Lembaga Pengkajian

Pangan, Obat-Obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia dengan

Sistem Jaminan Halal (SJH). Sistem Jaminan Halal adalah sistem

manajemen terintegrasi yang disusun, diterapkan, dan dipelihara untuk

mengatur bahan, proses produksi, produk, sumber daya manusia, dan

prosedur dalam rangka menjaga kesinambungan proses produksi halal

sesuai persyaratan LPPOM MUI dalam HAS 23000:1 Kriteria Sistem

Jaminan Halal. Nantinya implementasi SJH akan dinilai oleh LPPOM

MUI melalui proses audit dan hasilnya akan dinyatakan dalam status

implementasi SJH dan sertifikat SJH (Sertifikat Halal) (MUI, 2013).

Untuk produk yang telah memiliki sertifikat halal, dalam kemasan

produknya harus dicantumkan logo halal dari MUI.

15

Gambar 1. Logo Sertifikat Halal MUI (MUI, 2007)

4. Literasi halal

Literasi halal merujuk kepada kemampuan seseorang untuk

membedakan barang halal dan haram sesuai dengan seberapa tinggi

pengetahuan dan pemahamannya terhadap hukum Islam (hukum syariah)

(Salehudin, 2010). Konsep literasi sendiri sebenarnya telah sering

digunakan dalam banyak penelitian untuk menjelaskan berbagai perilaku

konsumen dalam berbagai sudut pandang. Dalam bidang Literasi

Finansial, literasi digunakan untuk menjelaskan berbagai perilaku investor

sebagai konsumen jasa finansial seperti yang dilakukan oleh Koonce dkk.

(2008); Hu, Malevergne, dan Sornette (2009); serta dalam Glaser dan

Weber (2007). Selain itu, dalam bidang Literasi Media, telah ada

penelitian sebelumnya dari Yamamiya dkk. (2005) tentang literasi yang

dapat digunakan untuk mengurangi efek negatif dari pemberitaan tentang

16

badan kurus yang ideal, yang akhirnya dapat memicu munculnya kelainan

pola makan (eating disorders) (Salehudin, 2010).

Dijelaskan dalam literatur yang sama, bahwa literasi mengandung arti

lebih dari mengetahui suatu konsep atau motivasi untuk mencari informasi

lebih lanjut, tetapi juga harus memiliki kemampuan untuk mengubah

perilaku dirinya berkat pengetahuan dan pemahamannya tentang konsep

tersebut. Literasi memiliki 2 komponen yaitu Potential dan Enactment.

Potential literacy dibentuk dari kumpulan pengetahuan tentang suatu

situasi, kaitan antara personal dan situasi, serta hubungan sosial di

masyarakat. Sementara Enactment lebih kepada suatu kumpulan

kompetensi aksi yang ikut membentuk situasi, merumuskan kebutuhan,

masalah, proses, dan pada akhirnya akan dapat digunakan untuk

menganalisis konsekuensi yang mungkin terjadi. Dengan menggunakan

kedua pengertian ini, konsep literasi akan cocok digunakan untuk

menganalisis konsumsi halal oleh konsumen.

Terkait dengan istilahnya, literasi halal lebih memiliki peran yang

besar di kalangan umat Muslim, walaupun umat non-Muslim juga tertarik

untuk menggunakan produk halal tersebut (Ahmad dkk., 2013). Dalam

Islam, mencari pengetahuan tentang ilmu agama Islam merupakan suatu

kewajiban dan sangat dihargai oleh Allah SWT. Allah SWT berfirman

dalam Al-Qur’anul Karim Surah Az-Zumar, 39:9, “(Apakah kamu hai

orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat

17

diwaktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada

(azab) akhirat dan mengharapkan Rahmat Tuhan-nya? Katakanlah,

‘Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang

tidak mengetahui?’ Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat

menerima pelajaran.”, serta dalam Surah Al-Mujadilah; 58:11, “Hai orang-

orang beriman, apabila dikatakan kepadamu, ‘Berlapang-lapanglah dalam

majelis’, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan

untukmu. Dan apabila dikatakan, ‘Berdirilah kamu’, maka berdirilah,

niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu

dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa di antara kamu

beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Dua ayat di atas merupakan dua di antara banyak dasar hukum bagi

umat Islam untuk terus menambah pengetahuannya tentang Islam dan

hukum syariah, termasuk hukum halal. Dengan adanya pengetahuan dan

keinginan untuk mencari pengetahuan tersebut, seorang Muslim menjadi

memahami apa yang sedang dilakukannya, sehingga dengan sendirinya

akan patuh karena percaya dan yakin akan kebenaran hal yang

dilakukannya (Katsir, 2000 dan Al-Hilali, 2005). Dengan adanya

kewajiban tersebut dan eratnya kaitan literasi halal dengan niat dan

keputusan akhir dari perilaku seorang Muslim, maka literasi halal dapat

digunakan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku

konsumsi konsumen Muslim.

18

5. Pengaruh literasi terhadap behaviour

Konsep literasi telah sering digunakan untuk menjelaskan berbagai

macam consumer behaviour dalam berbagai penelitian. Sebagai contoh

adalah pada literasi finansial, dimana konsep literasi dipakai untuk

menjelaskan berbagai perilaku investor sebagai konsumen dari industri

jasa keuangan (Glaser dan Weber, 2007). Pada penelitian selanjutnya oleh

Muller dan Weber (2010), menyatakan bahwa terdapat korelasi positif

antara literasi finansial dengan kecenderungan investor untuk

menginvestasikan dananya dengan biaya rendah (low-cost fund

alternative). Pada literatur lain disebutkan bahwa untuk masyarakat umum

yang memiliki literasi finansial rendah akan lebih kecil kemungkinannya

untuk berinvestasi di bidang saham (Van Rooij dkk., 2011). Pada remaja,

literasi finansial juga bisa diterapkan untuk mengetahui tendensi

menabung dan perencanaan finansial jangka panjang. Remaja dengan

akses informasi dan pengetahuan yang lebih baik mempunyai tendensi

untuk menabung dan membuat rencana finansial jangka panjang (Koonce

dkk., 2008).

Konsep literasi pada remaja juga diterapkan untuk literasi media

dimana pemberian pemahaman literasi media yang baik dapat mengurangi

efek negatif media tentang konsep remaja cantik dan langsing. Hal ini

dapat selanjutnya berpengaruh positif untuk mengurangi kelainan pola

makan remaja (Yamamiya dkk., 2005). Pada literatur lain, disebutkan

19

bahwa literasi media dapat disisipkan pada kurikulum belajar-mengajar di

sekolah untuk mengurangi angka kejadian bullying di sekolah (Fingar dan

Jolls, 2013). Literasi media juga telah dibuktikan memiliki pengaruh

positif terhadap kampanye antialkohol dan antitembakau di sekolah-

sekolah (Kupersmidt dkk., 2010; Primack dkk., 2008).

Dalam literasi kesehatan, penelitian dilakukan pada pasien diabetes

tipe 2 dimana ditemukan bahwa pasien dengan literasi kesehatan yang

kurang memadai secara independen berkaitan dengan kontrol glikemik

yang buruk dan probabilitas terkena retinopati yang lebih besar. Hal ini

salah satunya disebabkan oleh tekanan yang dirasakan oleh pasien dengan

literasi kesehatan yang kurang memadai (Schillinger dkk., 2002).

Kurangnya literasi kesehatan pasien juga merupakan halangan yang besar

untuk mengedukasi pasien dengan penyakit kronis, seperti misalnya

hipertensi dan diabetes dan usaha yang dilakukan untuk mengatasi hal ini

umumnya kurang berhasil (Williams dkk., 1998). Bagi para perawat di

fasilitas panti jompo, literasi kesehatan juga terbukti sangat penting karena

literasi kesehatan para perawat yang rendah akan mempengaruhi

kemampuan pasien untuk memahami saran-saran untuk kesehatan mereka.

Selain itu, rendahnya literasi kesehatan para perawat akan membatasi

kemampuan mereka untuk merawat pasien, terutama yang berkaitan

dengan kesehatan mereka (Gazmararian dkk., 1999).

20

6. Theory of Planned Behaviour

Theory of Planned Behaviour merupakan pengembangan dari Theory

of Reasoned Action. Theory of Reasoned Action merupakan teori

pendahulu yang awalnya didesain untuk memprediksi suatu kehendak aksi

dan membantu menjelaskan alasan psikologis di balik aksi tersebut, atau

faktor apa saja yang menentukan dilakukan atau tidak dilakukannya aksi

tersebut. Teori ini didasarkan pada asumsi bahwa manusia biasanya

bertindak dengan perasaan. Maksudnya adalah bahwa manusia selalu

mempertimbangkan segala hal baik dari luar maupun dalam, konsekuensi

dan segala hal yang mempengaruhi atau dipengaruhi tindakan/aksi

tersebut. Segala pertimbangan yang dilakukan manusia tersebut akhirnya

akan membawa pada suatu bentuk niat (intention). Intention dapat

menentukan dilakukannya atau tidak dilakukannya suatu aksi (Ajzen,

1985).

Dalam Theory of Reasoned Action, intention ditentukan oleh 2 faktor

dasar yaitu attitude towards behaviour dan subjective norms. Attitude

towards behaviour merujuk kepada evaluasi dari individu tersebut untuk

melakukan suatu tindakan, sehingga faktor ini lebih menekankan pada

faktor dari dalam diri individu itu sendiri. Sementara subjective norms

adalah faktor persepsi individu tersebut terhadap tekanan sosial dari

masyarakat dan orang-orang terdekat dengan dirinya untuk

melakukan/tidak melakukan sesuatu. Dengan menggabungkan kedua

21

faktor ini, dapat disimpulkan bahwa seseorang akan melakukan suatu

tindakan tertentu apabila mereka menganggap tindakan tersebut baik

dilakukan dan mereka percaya bahwa orang-orang di sekitar mereka

merasa mereka sebaiknya melakukan tindakan tersebut (Ajzen, 1985).

Secara konsep, Theory of Planned Behaviour sangat mirip dengan

Theory of Reasoned Action, hanya saja Theory of Planned Behaviour

merupakan hasil pengembangan lebih lanjut dari Theory of Reasoned

Action dimana ditambahkan perceived behavioural control sebagai faktor

ketiga yang mempengaruhi intention. Theory of Planned Behaviour

pertama kali dipublikasikan pada tahun 1980 oleh penyusun Theory of

Reasoned Action, yaitu Icek Ajzen dan mulai banyak digunakan sebagai

dasar untuk menjelaskan berbagai faktor pemicu perilaku manusia

(Setyorini, 2013).

Penemuan Theory of Planned Behaviour didasari pada fakta di

lapangan dimana ternyata intention yang didapat dari Theory of Reasoned

Action (attitude dan subjective norms saja) hanya dapat memprediksi dan

menjelaskan tentang niatan awal dari seseorang untuk melakukan sesuatu

(attempt to perform a behaviour). Sementara, perilakunya yang sebenarnya

dilakukan masih tidak dapat diprediksi dengan Theory of Reasoned Action.

Ini karena dalam melakukan suatu tindakan ada banyak hal dari luar yang

mempengaruhi individu tersebut, yang seringkali tidak dapat dikendalikan.

Secara singkat, dapat dikatakan bahwa semakin besar usaha seorang

22

individu dan semakin besar kontrol individu tersebut terhadap faktor

penghalang dari dirinya maupun lingkungannya, maka semakin besar pula

kemungkinan suatu tindakan dapat sukses dilakukan (Ajzen, 1985).

Apabila dalam suatu tindakan, kemungkinan untuk sukses, perceived

control, dan kontrol perilaku terhadap tindakan yang dituju semua tinggi

(dalam skala 0-1 ada di titik 1), maka faktor yang tadinya hanya mengarah

ke niatan awal, menjadi lebih dekat ke prediksi tindakan yang sebenarnya.

Dalam kondisi seperti ini, Theory of Reasoned Action akan sangat cocok

diterapkan. Hanya saja perlu diingat bahwa dalam setiap tindakan ada

kemungkinan untuk sukses dan juga ada kemungkinan untuk gagal. Pada

kondisi dimana kemungkinan gagalnya suatu tindakan tinggi sementara

kontrolnya hanya terbatas, teori Theory of Planned Behaviour akan lebih

cocok untuk diaplikasikan, sebab penjelasan atas faktor terjadi atau tidak

terjadinya tindakan ini jauh lebih rumit dari yang bisa dijelaskan oleh

Theory of Reasoned Action (Ajzen, 2013).

23

Gambar 2. Skema Theory of Planned Behaviour (Ajzen, 1985)

a. Attitude towards the behaviour

Maksudnya adalah evaluasi personal dari individu, baik yang

negatif maupun yang positif tentang tindakan tersebut.

b. Subjective norm

Persepsi individu tentang tekanan sosial dari orang-orang

terdekatnya untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan.

Subjective norms bersama dengan attitude towards behaviour

merupakan faktor beliefs atau kepercayaan dimana jika seorang

individu memiliki kepercayaan yang positif terhadap suatu tindakan,

maka akan mempengaruhi behaviour yang dilakukan ke arah yang

positif juga.

Attitude

towards

behaviour

Perceived

behavioural

control

Subjective

norms Behaviour Intention

24

c. Perceived behavioural control

Fasilitas yang ada di sekitar individu tersebut yang dapat

mendorong dilaksanakan atau tidak dilaksanakannya suatu tindakan.

Faktor yang ketiga ini merupakan faktor yang membedakan Theory

of Reasoned Action dengan Theory of Planned Behaviour, untuk

meningkatkan kemampuan teori tersebut untuk menjelaskan berbagai

jenis perilaku.

d. Intention

Intention merupakan niatan/kehendak yang dibentuk dengan

mempertimbangkan attitude towards behaviour, subjective norms,

dan perceived behavioural control. Apabila salah satu faktor

mengalami perubahan, akan dapat mempengaruhi sukses tidaknya

tindakan tersebut. Maka dari itu, intention dapat digunakan untuk

memprediksi terjadinya usaha atau percobaan untuk melakukan suatu

behaviour, akan tetapi tidak dapat memastikan terjadinya behaviour

yang sebenarnya.

e. Behaviour

Tindakan atau titik akhir yang dituju setelah mempertimbangkan

berbagai faktor untuk mengambil keputusan.

(Ajzen dan Fishbein, 1980; Ajzen, 1985).

25

7. Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada

Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada didirikan pada tanggal 27

September 1946 oleh Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pada

awalnya, Fakultas Farmasi diberi nama Perguruan Tinggi Ahli Obat

(PTAO). PTAO bergabung dalam gabungan perguruan tinggi yang lain

yaitu Perguruan Tinggi Kedokteran, Perguruan Tinggi Tinggi Kedokteran

Gigi, Perguruan Tinggi Pertanian dan Perguruan Tinggi Kedokteran

Hewan yang semuanya diketuai oleh Prof. Dr. Sardjito dan menempati

Kompleks RSU Tegalyoso, Klaten.

Karena kondisi politik yang tidak menentu, gabungan perguruan

tinggi ini sempat mati suri dan akhirnya dibuka kembali pada tanggal 1

November 1949 di Mangkubumi, Yogyakarta. Atas kemurahan hati Sri

Sultan Hamengkubuwono IX, kegiatan belajar-mengajar masih menempati

beberapa bangunan milik Kraton Yogyakarta. Pada saat itu, di Yogyakarta

telah didirikan Sekolah Tinggi Teknik dan Sekolah Hukum milik Yayasan

Balai Perguruan Tinggi Yogyakarta. Muncul gagasan untuk

menggabungkan sekolah Tinggi dan Perguruan Tinggi tersebut menjadi

satu Universitas di bawah Kementrian Pendidikan, Pengajaran, dan

Kebudayaan, sehingga akhirnya berdirilah Universitas Negeri Gadjah

Mada pada tanggal 19 Desember 1949.

Untuk PT Kedokteran, PT Kedokteran Gigi, dan PT Farmasi yang

masih berada di bawah Kementrian Kesehatan, dilimpahkan kepada

26

Kementrian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan sesuai PP No.37

tahun 1950 tanggal 14 Agustus 1950 yang ditandatangani oleh Mr. Assat

sebagai Presiden RI Sementara, Ki Mangun Sarkoro sebagai Menteri

PP&K dan KRT. E. Pringgodigdo sebagai Menteri Kehakiman.

Perguruan Tinggi Farmasi sendiri baru pada tahun 1954 diganti

namanya menjadi Fakultas Farmasi dan dipisah menjadi satu Fakultas

yang berdiri sendiri melalui SP Menteri PP&K No. 53759/-Kab pada

tanggal 19 Desember 1955. Lokasinya yang sekarang yaitu di Sekip Utara

baru mulai ditempati pada tahun 1973, namun karena kesulitan staf

pengajar yang Apoteker, maka tingkat doktoral (tingkat akhir program S1)

dan tingkat apoteker masih diselenggarakan di Semarang karena pada

waktu itu di Semarang tersedia tenaga Apoteker sebagai staf pengajar.

Baru pada tahun 1977 seluruh proses perkuliahan bisa diselenggarakan

dalam satu lokasi kampus di Sekip Utara Yogyakarta hingga sekarang.

Saat ini, penyelenggaraan Program Studi Ilmu Farmasi untuk S1

(ditambah Program Profesi Apoteker), S2, dan S3 didasarkan atas SK

Dirjen Dikti No. 153/DIKTI/Kep/2007 tanggal 21 September 2007. Untuk

Prodi S1 hanya terdapat satu program studi yaitu Program Studi Ilmu

Farmasi yang dibagi menjadi 4 minat. Keempat minat ini adalah Farmasi

Sains dan Teknologi, Farmasi Industri, Farmasi Komunitas dan Klinik, dan

Farmasi Bahan Alam. Peminatan baru dimulai saat mahasiswa berada pada

27

semester 6 dan sebelum itu mata kuliah yang ditawarkan adalah mata

kuliah farmasi umum (Fakultas Farmasi UGM, 2013).

E. Landasan Teori

Produk kosmetika merupakan produk sehari-hari yang harus dipastikan

status kehalalannya bagi umat Islam karena sifat pemakaiannya yang tidak

mendesak (tidak darurah) (Zarif dkk., 2013). Namun, pada pelaksanaannya di

masyarakat hal ini akhirnya bergantung pada konsep pemahaman masing-

masing konsumen terhadap hukum Islam (Karim dan Affif, 2005). Literasi

halal merupakan kemampuan seorang individu untuk membedakan halal dan

haram berdasarkan pengetahuan dan pemahamannya terhadap hukum Islam

(Salehudin, 2010). Dengan demikian, dimungkinkan literasi halal akan

mempengaruhi actual purchasing produk kosmetika halal oleh konsumen.

Literasi halal dapat diukur dengan 2 metode yaitu self-efficacy literasi halal

yaitu kemampuan literasi halal menurut individu itu sendiri, dan actual

literacy, yaitu kemampuan literasi halal yang sebenarnya (Salehudin, 2010).

Theory of Planned Behaviour dapat digunakan untuk menganalisis hubungan

antara literasi halal dan actual purchasing karena dalam metode ini digunakan

3 pendekatan self-efficacy yaitu penilaian individu tersebut tentang keuntungan

dan kerugian suatu perilaku (attitude towards behaviour), tekanan sosial yang

dirasakan individu terhadap dilakukan atau tidak dilakukannya suatu perilaku

28

(subjective norms), dan fasilitas yang mendukung dan yang menghambat

dilakukannya suatu perilaku, atau dapat juga diartikan sebagai kemampuan

individu dalam mengendalikan perilaku tersebut (perceived behaviour control).

Evaluasi pribadi semacam ini memiliki tempat yang penting dalam penelitian

sosial dan perilaku (Ajzen, 1991). Namun, pengukuran literasi halal secara self-

efficacy kemungkinan akan melibatkan banyak bias, sehingga untuk menguji

adanya bias tersebut perlu dibandingkan pengukuran literasi halal secara self-

efficacy dan actual literacy (Salehudin, 2010).

F. Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah:

H1. Attitude towards behaviour, subjective norms, dan perceived behavioural

control secara bersama-sama berpengaruh positif terhadap intention.

H2. Intention berpengaruh positif terhadap actual purchasing.

H3. Terdapat hubungan signifikan antara self-efficacy literasi halal dengan

actual literacy mahasiswi Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada.

Berdasarkan tinjauan pustaka dan hipotesis yang diajukan, penelitian ini

memiliki kerangka pemikiran teoritis seperti yang digambarkan dalam gambar

3.

29

Gambar 3. Model penelitian

Attitude

towards

behaviour

Perceived

behavioural

control

Subjective

norms

Actual

purchasing H2 Intention

H1