BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah/Manfaat...membuat peneliti tertarik untuk meneliti...
-
Upload
nguyenphuc -
Category
Documents
-
view
217 -
download
0
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah/Manfaat...membuat peneliti tertarik untuk meneliti...
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi virus yang
sangat berbahaya, karena dapat mengakibatkan penderita meninggal dalam
waktu 12-24 jam (Sumarmo, 2002). Penyakit DBD ini di Indonesia pertama
kali ditemukan pada tahun 1968 di Surabaya (Saskia, 2003; Agus, 2005), dan
merupakan salah satu penyakit infeksi yang masih endemis di Indonesia
(Depkes RI, 2004a).
Di Indonesia pengaruh musim terhadap DBD tidak begitu jelas
(Sumarmo, 2002), namun kejadiannya hampir dapat dipastikan setiap tahun,
khususnya di awal musim penghujan (Sudarmono, 1988). Jumlah kasus
biasanya meningkat antara bulan September sampai Februari dengan
puncaknya pada bulan Januari (Sumarmo, 2002). Hal ini mungkin disebabkan
oleh peningkatan jumlah populasi vektor DBD pada musim penghujan
(Depkes RI, 2004c).
Selama bulan Januari – Mei 2004 jumlah korban DBD di 30 provinsi di
Indonesia sebanyak 59.321 orang, yang meninggal 669 orang. Sedang pada
tahun 1998 jumlah korban DBD sebanyak 72.133 orang dan yang meninggal
1.414 orang (Depkes RI, 2004a; Depkes RI, 2004b). Kejadian Luar Biasa
(KLB) dengue terakhir yang cukup bermakna terjadi pada lima dari enam
wilayah WHO (Afrika, Asia, Eropa, Amerika Utara, Oceania, Amerika
Selatan), dengan wilayah Eropa merupakan satu-satunya pengecualian.
Meskipun demikian, dari Eropa dilaporkan beberapa kasus dengue import.
Menurut hasil perkiraan, terdapat sedikitnya 100 juta kasus demam dengue
terjadi setiap tahunnya dan 500.000 kasus DBD yang memerlukan rawat inap
(WHO, 2004).
Vektor utama demam berdarah dengue adalah nyamuk kebun yang
disebut Aedes aegypti (Srisasi dkk.,1998; Hindra dan Mila, 2005), sedang
vektor potensialnya adalah Aedes albopictus (Srisasi dkk., 1998).
Mengingat vaksin untuk mencegah demam berdarah masih dalam taraf
penelitian dan obat yang efektif terhadap virus belum ditemukan ( Saleha,
2005), maka untuk mencegah dan memberantas demam berdarah selama ini
adalah dengan mengendalikan nyamuk dan mengurangi kontak antara manusia
dan nyamuk (Renganathan et al, 2003).
Salah satu cara untuk mengurangi kontak antara manusia dengan
nyamuk yang paling baik adalah menggunakan repelen atau zat penolak
nyamuk berbentuk lotion atau cream (Rui et al, 2003; Martini dkk, 2004).
Namun hampir semua lotion anti nyamuk (repelen) yang beredar di Indonesia
dan paling sering dipakai sampai saat ini mengandung bahan aktif DEET (N,N
diethyl-m - toluamide) yang merupakan bahan kimia sintetis beracun dalam
konsentrasi 10-15% (Gunandini, 2006). Disamping itu, telah dilaporkan
adanya beberapa kasus dermatitis dan ensefalopati akibat pemakaian DEET
pada anak-anak dan bayi (Belohertown, 2000; Fradin, 2005).
Slogan Back to Nature telah menjadi trend di dunia saat ini, yaitu
semangat hidup sehat dengan kembali ke alam atau menggunakan bahan-
bahan alami, termasuk dalam menanggulangi penyakit demam berdarah
(Agus, 2007). Untuk itu Saut (2003) telah melakukan penelitian repelensi
ekstrak beberapa tanaman terhadap Periplaneta americana L., diantaranya
ekstrak daun Pandan wangi (Pandanus amaryllifolius Roxb). Ekstrak daun
Pandan wangi dengan pelarut metanol memberikan pengaruh repelen yang
kuat terhadap Periplaneta americana pada konsentrasi 1% dan cenderung
stabil hingga 24 jam. Tanaman Pandan wangi banyak ditanam di halaman
atau di kebun, baik di pulau Jawa maupun di daerah lain di Indonesia.
Daunnya mengandung alkaloida, saponin, flavonoida, tanin, polifenol, dan zat
warna (Dalimartha, 1999; Ipteknet, 2005). Menurut Novizan (2002), saponin
yang diekstrak dari buah lerak (Sapindus rarak) terbukti dapat dipakai untuk
mengendalikan jentik dan bentuk dewasa dari nyamuk Aedes aegypti, serta
bersifat sebagai repelen. Dewi Susana, et al. (2003), juga telah membuktikan
bahwa ekstrak daun Pandan wangi pada konsentrasi 2500 ppm dapat
membunuh 55,55% larva Aedes aegypti. Disamping itu saponin dan tanin juga
bersifat sebagai pengusir nyamuk (repelen) (Rui et al., 2003). Hal ini
membuat peneliti tertarik untuk meneliti apakah ekstrak daun Pandan wangi
juga bersifat repelen terhadap nyamuk Aedes aegypti, mengingat daun Pandan
wangi juga mengandung saponin dan tanin, disamping mudah dijumpai di
pekarangan atau tumbuh liar di tepi selokan yang teduh, serta aman
digunakan, terbukti telah digunakan sebagai penyedap, pewangi maupun
pemberi warna hijau pada makanan (Dalimartha, 1999).
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka dapat
dirumuskan sebagai berikut: Apakah ekstrak daun Pandan wangi (Pandanus
amaryllifolius Roxb) dapat dimanfaatkan sebagai repelen terhadap nyamuk
Aedes aegypti?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui manfaat ekstrak daun Pandan
wangi (Pandanus amaryllifolius Roxb) sebagai repelen terhadap nyamuk
Aedes aegypti.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis:
Mengetahui bahwa ekstrak daun Pandan wangi bermanfaat sebagai
repelen terhadap nyamuk Aedes aegypti.
2. Manfaat aplikatif:
Bila penelitian ini berhasil, dapat memberikan alternatif pilihan tentang
pemanfaatan ekstrak daun Pandan wangi sebagai repelen alami terhadap
nyamuk Aedes aegypti, dengan harapan dapat terhindar dari gigitan nyamuk
Aedes aegypti, sehingga dapat menurunkan jumlah penderita penyakit
demam berdarah.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Pandan wangi (Pandanus amaryllifolius Roxb)
a. Klasifikasi (Wikipedia, 2007)
Divisio : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Ordo : Pandanales
Famili : Pandanaceae
Genus : Pandanus
Spesies : Pandanus amaryllifolius Roxb.
Sinonim:
P. odorus Ridl., P. latifolius Hassk., P. hasskarlii Merr (Ipteknet, 2005).
Nama Daerah :
Pandan wangi mempunyai nama menurut daerah tumbuhnya, yaitu
Pandan rampe, P. seungit, P. room, P. wangi (Jawa) (Ipteknet,2005;
Ning, 2007); Seuke bangu, S. musang, Pandan jau, P. bebau, P. harum,
Pandan rempai, P. wangi, P. musang (Sumatera); Pondang, Pondan,
Ponda, Pondago (Sulawesi); Kelamoni, Hao moni, Keker moni, Ormon
foni, Pondak, Pondaki, Pudaka (Maluku); Pandan arrum (Bali); Bonak
(Nusa Tenggara) (Ipteknet, 2005).
b. Deskripsi Tumbuhan
Pandan wangi (Pandanus amaryllifolius Roxb) merupakan
tanaman perdu yang banyak digemari karena cita rasanya. Di Indonesia
tanaman ini banyak terdapat di pulau Jawa, tetapi juga banyak terdapat
di daerah lain. Pandan wangi tumbuh di daerah tropis dan banyak
ditanam di halaman atau kebun, kadang tumbuh liar di tepi sungai, tepi
rawa dan di tempat-tempat yang agak lembab. Tanaman ini tumbuh
subur dari daerah pantai sampai daerah ketinggian 500 m dpl
(Dalimartha, 2002; Ning, 2007).
Pandan wangi (Pandanus amaryllifolius Roxb.) merupakan
tanaman perdu tahunan, tingginya 1-2 m, batangnya bulat bercabang,
menjalar. Daunnya tunggal, berwarna hijau, memanjang seperti daun
palem dan tersusun berbaris tiga dalam garis spiral atau tersusun secara
roset yang rapat, panjangnya dapat mencapai 60 cm, lebarnya 3 - 5 cm,
serta beraroma wangi yang khas. Helai daun berbentuk pita, tipis, licin,
tepi rata, bertulang sejajar dan ujungnya meruncing. Bunganya
merupakan bunga majemuk berwarna putih, dan buahnya menggantung
berbentuk bola (PROSEA, 1999; Ipteknet, 2005; Wikipedia, 2007).
c. Kandungan Kimia
Daun Pandan wangi mengandung alkaloida, saponin, flavonoida,
tanin, polifenol, dan zat warna (Sugati dan Johnny, 1991; Rohmawati,
1995; Dalimartha, 1999; PDPERSI, 2003; Ipteknet, 2005; Ning, 2007).
Saponin yang diekstrak dari buah lerak (Sapindus rarak) terbukti
dapat dipakai untuk mengendalikan jentik nyamuk Aedes aegypti dan
dapat membunuh nyamuk dewasa, serta bersifat sebagai repelen
sehingga mencegah gigitan nyamuk (Novizan, 2002). Sedang Dewi
Susana, et al. (2003), telah membuktikan bahwa ekstrak daun Pandan
wangi pada konsentrasi 2500 ppm dapat membunuh 55,55% larva Aedes
aegypti. Disamping itu menurut Rui dkk. ( 2003), saponin dan tanin juga
dapat bersifat sebagai pengusir serangga (repelen).
d. Manfaat
Pandan wangi selain sebagai rempah-rempah juga digunakan
sebagai bahan baku pembuatan minyak wangi. Daunnya beraroma wangi
sehingga banyak digunakan sebagai penyedap, pewangi, dan pemberi
warna hijau pada makanan (Dalimartha, 1999). Disamping itu, daun
Pandan wangi juga berkhasiat untuk mengatasi lemah saraf
(neurasthenia), tidak nafsu makan, rematik, pegal linu, sakit disertai
gelisah, rambut rontok, menghitamkan rambut, dan menghilangkan
ketombe (PDPERSI, 2003; Wikipedia, 2007).
2. Aedes aegypti
a. Klasifikasi (Nasci and Miller, 1996)
Filum : Arthropoda
Kelas : Insekta
Ordo : Diptera
Sub ordo : Nematocera
Famili : Culicidae
Sub famili : Culicinae
Tribus : Culicini
Genus : Aedes
Spesies : Aedes aegypti
b. Morfologi
Telur Aedes aegypti berbentuk elips atau lonjong memanjang,
berwarna hitam, pada dindingnya terdapat garis-garis menyerupai
anyaman kawat kasa/sarang tawon. Panjang telur lebih kurang 0,6 mm dan
beratnya 0,0113 mg, diletakkan satu persatu di permukaan atau sedikit di
bawah permukaan air. Di alam bebas, telur nyamuk diletakkan menempel
pada dinding wadah atau tempat perindukan nyamuk sejauh kurang lebih
2,5 cm. Telur dilindungi oleh selubung protein yang berfungsi untuk
meminimalisasi kehilangan air, tetapi pertukaran gas tetap dimungkinkan.
Telur mampu mengalami masa kekeringan yang lama (lebih dari satu
tahun). Kemampuan telur dalam menjalani masa kekeringan ini membantu
mempertahankan kelangsungan spesies selama kondisi iklim yang buruk
(Sumarmo, 1988; Satni, 1995; Nasci and Miller, 1996; WHO, 2004;
Saleha, 2005).
Larva nyamuk Aedes aegypti berbentuk vermiform dan tidak
berkaki, dengan jumlah rambut sederhana atau bercabang lateral yang
tersusun secara simetris sepanjang tubuhnya. Panjang larva antara 7 - 10
mm, hidup di dalam air yang jernih, dan tubuhnya dibagi menjadi tiga
bagian, yaitu kepala, thorax, dan abdomen. Kepalanya dilengkapi dengan
antena, mata majemuk, dan mulut. Thorax mempunyai ukuran lebih besar
daripada kepala dan abdomen. Abdomen terbagi menjadi sepuluh segmen,
tujuh segmen yang pertama berbentuk silinder panjang, tiga segmen
bagian posterior mengalami modifikasi. Pada segmen kedelapan terdapat
sisir /pecten yang tersusun dalam satu baris, pada sisir terdapat gigi sisir
yang berduri lateral. Segmen ke 9 dan 10 menjadi segmen anal dan siphon,
pada segmen anal terdapat 4 papilla anal dan pelana yang terbuka, siphon
berukuran lebih pendek daripada siphon Culex sp., dan mempunyai
sepasang bulu siphon (Satni, 1995; Nasci and Miller, 1996; WHO, 2004;
Saleha, 2005).
Pupa mempunyai bentuk tubuh bengkok (Agus, 2005). Pupa hidup
secara akuatik seperti halnya stadium larva. Stadium pupa dari nyamuk ini
bersifat motil dan aktif. Tubuhnya terdiri dari kepala yang besar dan
thorax yang menyatu menjadi cephalothorax, abdomen, dan sepasang kaki
pengayuh yang saling menutupi dengan rambut-rambut pada ujung
abdomen terakhir. Pada cephalothorax terdapat alat pernafasan seperti
tabung/terompet (respiratory trumpets) yang lebih pendek dari Culex sp.
dan suatu kantong udara yang terletak di antara bakal sayap. Respiratory
trumpets tersebut dijaga supaya tetap kontak dengan udara saat pupa
berada di permukaan air (Satni, 1995; Nasci and Miller, 1996; Borror et al,
1996; Saleha, 2005).
Aedes aegypti dewasa berukuran kecil dengan warna dasar hitam.
Bagian tubuh nyamuk terdiri atas kepala, thorax, dan abdomen. Tubuh
dengan warna dasar hitam dan bintik-bintik putih. Pada kakinya terdapat
lingkaran putih, sedang pada punggung (mesonotum) terdapat bercak
berupa 2 garis sejajar di bagian tengah dan 2 garis lengkung di tepinya,
sehingga menyerupai gambaran lira (lyra-form) berwarna putih sebagai
ciri khas yang membedakannya dengan nyamuk lain (Sumarmo, 1988;
Sudarto, 1992; Satni, 1995; Russel, 1996; Agus, 2005; Saleha, 2005).
Probosis bersisik hitam, palpi pendek dengan ujung hitam bersisik putih
perak. Oksiput bersisik lebar, berwarna putih memanjang. Femur bersisik
putih pada permukaan posterior dan setengah basal, anterior dan tengah
bersisik putih memanjang. Tibia semuanya berwarna hitam. Tarsi
belakang mempunyai lingkaran berwarna putih pada segmen kesatu
sampai keempat, dan segmen kelima berwarna putih. Sayap berukuran 2,5-
3,0 mm, bersisik hitam (Sumarmo, 1988; Satni, 1995). Di bagian kepala
terdapat sisik tegak bercabang dua, dan jumlahnya tidak banyak. Skutum
dengan tanda putih berbentuk segitiga (WHO, 2004).
c. Habitat
Nyamuk Aedes merupakan nyamuk yang kosmopolitan, dapat
ditemukan mulai dari kutub utara sampai daerah tropis, kecuali di daerah
antartika (Fradin, 1998). Nyamuk Aedes aegypti betina suka bertelur di
atas permukaan air, menempel pada dinding vertikal bagian dalam wadah-
wadah yang berisi sedikit air. Air tersebut harus jernih dan terlindung dari
cahaya matahari secara langsung. Tempat air yang dipilih adalah tempat
air di dalam dan di dekat rumah (Sumarmo, 1988; Putut, 1988). Telur
diletakkan satu persatu pada permukaan yang basah tepat di atas batas
permukaan air (WHO, 2004; Agus, 2005). Tempat air yang tertutup
longgar lebih disukai sebagai tempat bertelur daripada tempat air yang
terbuka (Sumarmo, 1988). Tempat perindukan Aedes aegypti
terutama/paling banyak berupa wadah air rumah tangga buatan manusia di
hampir seluruh wilayah Asia Tenggara (Srisasi dkk., 1998; WHO, 2004).
Keadaan bejana tertentu, misalnya warna yang lebih gelap, dan tempat
yang teduh lebih disukai daripada tempat yang terang dan terbuka (Putut,
1988).
Larva Aedes aegypti umumnya ditemukan di drum, tempayan/
gentong tempat penyimpanan air minum, atau bak mandi yang
kebersihannya kurang diperhatikan, jambangan/pot bunga, kaleng, botol,
ban mobil di halaman rumah atau di kebun yang berisi air hujan
(Sumarmo, 1988). Meskipun jarang sekali ditemukan, larva dapat
ditemukan pada lubang pohon, pangkal/kelopak daun tanaman (keladi,
pisang), tonggak bambu dan tempurung kelapa yang berisi air hujan
(Srisasi dkk., 1998; WHO, 2004). Di daerah yang panas dan kering, tangki
air di atas dan septic tank bisa menjadi habitat utama larva (WHO, 2004).
Larva dan nyamuk dewasa banyak ditemukan sepanjang tahun di semua
kota di Indonesia (Sumarmo, 1988).
d. Siklus Hidup Nyamuk
Nyamuk Aedes aegypti dalam perkembangan hidupnya mengalami
metamorfosis sempurna (holometabola). Siklus hidup nyamuk terdiri dari
empat tahap, yaitu: telur, jentik (larva), kepompong (pupa), dan nyamuk
dewasa (imago) (Fradin, 1998; Saskia, 2003; Agus, 2005).
Seekor nyamuk betina , selama masa bertelur mampu meletakkan
ratusan telur (Fradin, 1998), bisa mencapai 100-400 butir telur (Agus,
2005). Telur tersebut dapat bertahan berbulan-bulan pada suhu -2oC - 42oC
(Sumarmo, 1988; Afandi, 2003). Pada kondisi optimum, waktu yang
dibutuhkan mulai dari penetasan telur sampai dengan kemunculan nyamuk
dewasa berlangsung sedikitnya 7 hari (WHO, 2004), sedang menurut
Srisasi dkk.(1998), dibutuhkan waktu kira-kira 9 hari. Bila kelembaban
terlalu rendah, maka telur akan menetas hanya dalam waktu 4 hari
(Sumarmo, 1988). Menurut Afandi (2003), telur yang berumur 4-7 hari
setelah keluar dari induknya akan segera menetas setelah kontak dengan
air. Selanjutnya larva akan mengalami empat kali proses pergantian kulit
(moulting/exdycis). Waktu yang dibutuhkan untuk perkembangan larva ini
bergantung pada suhu, ketersediaan makanan, dan kepadatan larva pada
sarang. Pada suhu rendah, mungkin dibutuhkan waktu beberapa minggu
untuk menjadi nyamuk dewasa (WHO, 2004). Tetapi menurut Agus
(2005), pada keadaan optimal proses perkembangan larva membutuhkan
waktu 7-9 hari, sedang menurut Satni (1995), pada iklim tropika dengan
makanan yang cukup, lamanya periode adalah 7 hari. Larva mengambil
makanannya di dasar air sehingga disebut juga bottom feeder. Larva lebih
menyukai makanan yang memiliki kandungan protein yang tinggi
dibandingkan dengan hidrat arang (Afandi, 2003). Setelah stadium
keempat berakhir, larva akan melakukan pengelupasan kulit dan berubah
menjadi stadium pupa dalam waktu dua hari (Afandi, 2003).
Stadium pupa merupakan stadium terakhir calon nyamuk Aedes
aegypti yang ada di dalam air. Stadium ini merupakan fase tanpa makan
(puasa) dan sangat sensitif terhadap pergerakan air. Fase pupa
membutuhkan waktu 2-5 hari. Setelah melewati fase tersebut, pupa akan
berubah menjadi imago/nyamuk dewasa yang dapat terbang dan keluar
dari air (Agus, 2005). Biasanya nyamuk jantan akan keluar lebih dahulu
dari nyamuk betina (Mullen dan Durden, 2002; Saleha, 2005).
Setelah menjadi nyamuk dewasa, nyamuk akan segera mencari
pasangan, kawin, dan nyamuk yang sudah dibuahi akan menghisap darah
dalam waktu 24-36 jam (WHO, 2004). Menghisap darah bagi nyamuk
betina sangat penting, karena berfungsi untuk pematangan telurnya. Darah
diperlukan untuk memacu hormon gonadotropin yang diperlukan untuk
ovulasi. Produksi hormon ini dirangsang oleh serotonin dan adrenalin yang
berasal dari darah mangsanya (Mullen dan Durden, 2002; Agus, 2005;
Saleha, 2005).
Nyamuk betina dewasa yang mulai menghisap darah manusia, 3
hari sesudahnya mampu bertelur sebanyak 100 butir. Dua puluh empat jam
kemudian nyamuk menghisap darah lagi, lalu kembali bertelur. Saat
nyamuk mulai menghisap darah sampai bertelur dan menghisap darah
kembali, dinamakan satu siklus gonotrofik. Walaupun nyamuk betina
hanya berumur lebih kurang 10 hari, namun waktu tersebut cukup bagi
nyamuk betina untuk makan, dan cukup juga bagi virus untuk berkembang
biak, serta cukup juga bagi nyamuk betina untuk menyebarkan virus
tersebut ke manusia lainnya (Sumarmo, 1988).
Ketika nyamuk betina menghisap darah manusia yang kebetulan
mengandung virus dengue, virus tersebut turut masuk ke dalam tubuh
nyamuk, lalu masuk ke saluran pencernakan nyamuk, kemudian sampai di
hemocoelom dan kelenjar ludah. Virus dengue memerlukan waktu 8-11
hari untuk dapat berkembang biak dengan baik secara propagatif agar
menjadi infektif, yaitu sejak virus masuk tubuh nyamuk sampai ke kelenjar
ludah yang siap untuk ditularkan (masa tunas ekstrinsik). Kemudian
nyamuk akan tetap infektif selama hidupnya. Virus tidak dapat ditemukan
dalam telur nyamuk, sehingga disimpulkan tidak terdapat penularan secara
transovarian (herediter) (Sumarmo, 1988; Afandi, 2003).
e. Perilaku Nyamuk
Nyamuk Aedes aegypti betina lebih menyukai darah manusia
(antropofilik), walaupun bisa pula menghisap darah dari hewan berdarah
panas lainnya (WHO, 2004; Gunandini, 2006). Sedangkan nyamuk jantan
tidak menghisap darah, tetapi menghisap sari bunga (WHO, 2004).
Nyamuk betina juga tertarik oleh cahaya, pakaian berwarna gelap, dan
pergerakan hospes. Disamping itu, nyamuk betina memiliki kebiasaan
menggigit berulang-ulang (multiple biters), yaitu menggigit beberapa
orang secara bergantian dalam waktu yang singkat. Kebiasaan ini
memungkinkan virus dengue tertular ke beberapa orang sekaligus,
sehingga dilaporkan beberapa orang menderita demam berdarah dalam
satu rumah. Pada malam hari nyamuk beristirahat di dalam rumah, pada
benda-benda yang digantung seperti baju dan korden serta di dinding, atau
di luar rumah dekat tempat berkembang biaknya yang agak gelap
(Sumarmo, 1988; Satni, 1995; Agus, 2005; Fradin, 2005; Saleha, 2005).
Aktivitas menggigit dan menghisap darah dilakukan oleh nyamuk Aedes
aegypti betina pada waktu pagi sampai sore hari (day-bitter) (Handrawan,
2004; Hindra dan Mila, 2005). Sebagai hewan diurnal, nyamuk betina
memiliki dua periode aktivitas menggigit, pertama di pagi hari selama
beberapa jam (WHO, 2004), biasanya antara pukul 08.00 pagi hingga
13.00 (Agus, 2005), dan sore hari selama beberapa jam sebelum gelap
(WHO, 2004), biasanya antara pukul 15.00 hingga 17.00 (Agus, 2005).
Puncak waktu menggigitnya pada pukul 09.00-10.00 dan pukul 16.00-
17.00 (Handrawan, 2004; Hindra dan Mila, 2005). Suhu lingkungan yang
hangat dan lembab membuat nyamuk mudah berkembang biak dan agresif
mengisap darah (Afandi, 2003).
Kemampuan terbang nyamuk betina sekitar 40 meter, tetapi ada
juga yang dapat terbang sampai sejauh dua kilometer (Sumarmo, 1988).
Menurut penelitian terbaru di Puerto Rico menunjukkan bahwa nyamuk ini
dapat menyebar sampai lebih dari 400 meter. Transportasi pasif dapat
berlangsung melalui telur dan larva yang ada di dalam penampung (WHO,
2004). Karena nyamuk ini aktif pada siang hari di tempat-tempat yang
bersih di rumah, kantor, dan di tempat orang banyak berkumpul, maka
penyebaran virus dengue dapat meluas dengan mudah dan cepat (Satni,
1995).
f. Pengendalian Nyamuk
Untuk membasmi nyamuk dewasa dapat dilakukan dengan cara
foging, namun upaya ini hanya mampu mengurangi jumlah populasi
nyamuk dalam jangka waktu pendek. Kemampuan nyamuk betina untuk
memproduksi telur dalam jumlah banyak dapat mengembalikan jumlah
populasi nyamuk dalam jumlah seperti semula. Usaha yang paling efektif
dilakukan untuk mengurangi populasi nyamuk Aedes aegypti adalah
memberantas tempat perindukan nyamuk dengan tiga M (menutup,
menguras, dan mengubur barang bekas yang dapat menampung air)
(Afandi, 2003).
Untuk membunuh larva nyamuk dapat digunakan insektisida abate.
Cara penggunaan bubuk abate adalah ditaburkan pada tempat
penampungan air. Abate adalah insektisida golongan organofosfat.
Insektisida ini digunakan untuk membunuh dengan cepat (rapid
knockdown) lalat, nyamuk, dan ngengat (Afandi, 2003).
Disamping itu, untuk mencegah gigitan nyamuk dapat digunakan
repelen (penolak nyamuk) pada permukaan kulit yang tidak tertutup
pakaian (Afandi, 2003)
3. Repelen
Repelen adalah zat kimia yang digunakan untuk melindungi manusia
dan hewan dari gigitan kutu dan serangga penghisap darah, terutama pada
situasi dimana perlindungan personal lebih memungkinkan (Massachusetts
Dept of Public Health, 1991), sedang menurut (Mahardika dan Budi, 1997),
repelen adalah zat penolak nyamuk yang bersifat racun ringan.
Repelen bekerja dengan cara memblok reseptor penerima rangsang
yang dapat menyebabkan serangga menghindari makanannya (Rutledge dan
Day, 2005).
Menurut Brown (1983), repelen yang efektif dan dapat bertahan
sampai beberapa jam adalah indalon, dimetil ftalat, Rutgers 612 dan dietil
toluamida. Repelen yang efektif tidak lengket pada permukaan kulit tetapi
tidak cepat menguap, misalnya DEET (N,N diethyl-m-toluamide) mampu
bertahan sampai 8 jam (rata-rata 4 sampai 6 jam). Keefektifan ini
dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya tipe repelen, konsentrasi,
frekuensi, cara penggunaan, kondisi pemakai, kondisi lingkungan (suhu,
kelembaban, angin), jumlah serangga penghisap darah, kesensitifan
serangga, dan ketertarikan serangga penghisap darah (WHO, 1997; Martini,
2004; Fradin, 2005).
Saat ini ada dua macam repelen, yaitu repelen modern yang
menggunakan senyawa sintetis dari zat kimia dan repelen dari derivat
tanaman atau repelen tradisional/alami (WHO, 1997; Rutledge dan Day,
2005). Contoh repelen yang menggunakan senyawa sintetis dari zat kimia
diantaranya DEET, etil heksanadiol, IR3535, dan piperidin, sedang contoh
repelen dari derivat tanaman diantaranya minyak esensial dari serai wangi,
lavender, eucalyptus, dan lain-lain (Soedarto, 1992; Novizan, 2004; Fradin,
2005).
Cara menggunakan repelen dengan digosokkan pada tubuh atau
disemprotkan pada pakaian, dengan demikian repelen yang akan digunakan
harus memenuhi beberapa syarat, yaitu tidak lengket, tidak beracun, tidak
menimbulkan iritasi, tidak merusak pakaian, baunya tidak mengganggu
pemakai maupun orang di sekitarnya, dan dapat bertahan lama (Soedarto,
1992).
Untuk mengetahui suatu zat mempunyai manfaat sebagai repelen
adalah dengan cara menghitung blood feed dan nilai daya proteksi. Blood
feed adalah dengan cara menghitung jumlah nyamuk yang kenyang
menghisap darah, sedangkan daya proteksi adalah nilai yang didapat untuk
mengetahui presentase perlindungan dengan menggunakan suatu rumus
tertentu (Komisi Pestisida Departemen Pertanian, 1995; Mahardika dan
Budi, 1997). Menurut Komisi Pestisida Departemen Pertanian (1995), nilai
daya proteksi dianggap efektif apabila hingga jam ke-6 daya proteksinya
masih di atas 90%.
Repelen yang paling sering dipakai di masyarakat sampai saat ini
adalah repelen sintetis yang berbahan aktif DEET (N,N diethyl-m-
toluamide). DEET dengan konsentrasi 10% dapat memberikan perlindungan
selama 2 jam, sedang dengan konsentrasi 24% mampu memberikan
perlindungan sampai 5 jam. DEET tersebut biasa digunakan dengan cara
dioleskan dalam bentuk lotion. Contoh produk lotion anti nyamuk di pasaran
yang menggunakan bahan aktif DEET diantaranya Autan, Lavenda, Sari
puspa dan Soffell, dimana kadar DEET yang terkandung dalam produk-
produk tersebut adalah 12%-15%. Namun dilaporkan adanya beberapa kasus
dermatitis dan ensefalopati akibat pemakaian DEET pada anak-anak dan
bayi (Belohertown, 2000; Fradin, 2005).
B. Kerangka Pemikiran
Tangan diolesi ekstrak daun Pandan wangi (saponin, tanin)
Penolak serangga Memblok reseptor penerima rangsang sehingga Aedes aegypti
tidak dapat mendeteksi adanya makanan/darah
Aedes aegypti Variabel terkendali: Jenis nyamuk Umur nyamuk Kepadatan nyamuk, Kesensitifan nyamuk Ketertarikan nyamuk Tipe repelen Cara penggunaan repelen suhu ruangan
kelembaban ruangan
Variabel tidak terkendali: suhu tubuh probandus Hinggap di tangan Tidak hinggap di tangan Tidak berperan sebagai repelen Berperan sebagai repelen
C. Hipotesis
Ekstrak daun Pandan wangi (Pandanus amaryllifolius Roxb.) dapat
dimanfaatkan sebagai repelen terhadap nyamuk Aedes aegypti.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini menggunakan penelitian eksperimental laboratorik
semu.
B. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium B2P2VRP (Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoar Penyakit) Salatiga, Jawa
Tengah.
C. Obyek Penelitian
Obyek penelitian adalah nyamuk Aedes aegypti betina yang berumur 3-5
hari, hasil kolonisasi dari B2P2VRP (Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Vektor dan Reservoar Penyakit) Salatiga, Jawa Tengah.
D. Teknik Sampling
Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling, dengan
kriteria nyamuk Aedes aegypti berumur 3-5 hari, dipilih yang betina.
E. Rancangan Penelitian
Rancangan Penelitian yang digunakan adalah rancangan kelompok
lengkap teracak (Steel and Torrie, 1995). Penelitian menggunakan 5 perlakuan
(t) dengan 5 kali ulangan (r), menggunakan rumus (t-1)(r-1) ≥ 15 (Cavalcanti
et al., 2004) .
Tangan kanan Tangan kiri Probandus Probandus
Tidak diolesi Diolesi ekstrak daun ekstrak daun Pandan wangi Pandan wangi 20%, 40%, 60%, 80%, 100%
Dimasukkan ke dalam Dimasukkan ke dalam kandang yang telah kandang yang telah
berisi 30 ekor berisi 30 ekor nyamuk Ae. Aegypti nyamuk Ae. Aegypti
Waktu pengamatan (jam)
0 1 2 3 4
Masing-masing dihitung nyamuk yang hinggap
Dilakukan 5x ulangan
Dihitung Daya proteksi
Uji statistik
F. Identifikasi Variabel Penelitian
1. Variabel bebas : Konsentrasi Ekstrak daun Pandan wangi
2. Variabel terikat : Daya proteksi
3. Variabel luar (pengganggu)
a. Terkendali:
1) jenis nyamuk,
2) umur nyamuk,
3) kepadatan nyamuk,
4) ketertarikan nyamuk,
5) tipe repelen,
6) suhu ruangan,
7) kelembaban ruangan
b. Tidak terkendali:
1) suhu tubuh probandus,
2) kesensitifan nyamuk terhadap repelen.
G. Definisi Operasional Variabel
1. Variabel bebas
Konsentrasi Ekstrak daun Pandan wangi :
Konsentrasi Ekstrak daun Pandan wangi adalah kadar repelen yang
akan digunakan, yaitu kadar ekstrak daun Pandan wangi yang diperoleh
dari B2P2TO2T (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Obat dan Obat Tradisional ) Tawangmangu. Konsentrasi ekstrak daun
Pandan wangi yang digunakan adalah 20%, 40%, 60%, 80%, 100%.
Konsentrasi ekstrak tersebut berskala ordinal.
2. Variabel terikat
Daya Proteksi
Daya proteksi adalah nilai persentasi perlindungan terhadap
hinggapan nyamuk yang didapat dengan menggunakan rumus daya
proteksi. Daya proteksi tersebut berskala rasio (Komisi Peptisida
Departemen Pertanian, 1995)
3. Variabel luar
a. Variabel luar Terkendali
1) Jenis nyamuk
Adalah spesies nyamuk yang dijadikan obyek penelitian. Nyamuk
yang digunakan dalam penelitian ini adalah nyamuk Aedes aegypti
betina dewasa hasil kolonisasi B2P2VRP Salatiga Jawa Tengah.
2) Umur nyamuk
Adalah umur nyamuk sejak keluar dari pupa. Dalam penelitian ini
digunakan nyamuk Aedes aegypti yang berumur 3-5 hari
(disamakan), dengan pertimbangan pada umur tersebut nyamuk
mulai aktif menghisap darah.
3) Kepadatan nyamuk
Kepadatan nyamuk adalah jumlah nyamuk dalam suatu lingkungan
yang dalam hal ini yaitu 30 ekor dalam setiap kandang uji.
4) Ketertarikan nyamuk
Adalah faktor fisiologis nyamuk yang mempengaruhi keinginan
nyamuk untuk menghisap darah. Ketertarikan nyamuk dapat
dikendalikan dengan cara nyamuk dilaparkan (tidak diberi makan
darah maupun cairan gula) selama 2 hari.
5) Tipe repelen
Tipe repelen meliputi bentuk sediaan dan dosis. Bentuk sediaan
pada penelitian ini yaitu dalam bentuk cairan. Dosis pemakaian
repelen juga disamakan, yaitu 5 ml untuk masing-masing
probandus.
6) Suhu ruangan
Adalah suhu di tempat melakukan percobaan
7) Kelembaban ruangan
Adalah kadar air yang terdispersi di udara di tempat melakukan
percobaan.
b. Variabel luar tak terkendali
1) Suhu tubuh probandus
Suhu tubuh probandus berpengaruh terhadap aktivitas nyamuk,
tetapi tidak bisa dikendalikan karena tidak bisa diatur sesuai
kehendak peneliti.
2) Kesensitifan nyamuk terhadap repelen
Kesensitifan nyamuk tidak dapat dikendalikan karena faktor
genetik dan fisiologis.
H. Instrumentasi/Alat dan Bahan Penelitian
1. Kandang nyamuk dengan panjang 50 cm, lebar 35 cm dan tinggi 40 cm
yang terbuat dari kasa nylon berbingkai kayu, pada sisi bagian depan
terdapat dua buah lubang untuk memasukkan tangan probandus dan diberi
kasa sepanjang 30 cm. Pada bagian atas dilapisi kaca untuk mengamati.
2. Stop watch
3. Ekstrak daun Pandan wangi
4. Jam weker
5. Nyamuk Aedes aegypti betina umur 3-5 hari hasil kolonisasi B2P2VRP
Salatiga
6. Aquades
7. Gelas ukur 50/1ml
8. Pipet ukur 1ml
9. Aspirator
I. Cara kerja
1. Nyamuk Aedes aegypti betina yang berumur 3-5 hari hasil kolonisasi
BBPPVRP Salatiga dilaparkan terlebih dahulu selama 2 hari. Setiap hari
nyamuk tersebut dimasukkan ke dalam kandang nyamuk, masing-masing
30 ekor
2. Ekstrak daun Pandan wangi yang akan diuji disiapkan terlebih dahulu.
Ekstrak tersebut diperoleh dengan metode sohxletasi (100 g daun Pandan
wangi ditambah pelarut/penyari etanol 70% sampai volume 200 ml),
dilakukan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan
Obat Tradisional (B2P2TO2T) Tawangmangu. Dalam hal ini digunakan
pelarut/penyari etanol 70%, karena tidak beracun, mudah bercampur
dengan aquades, mudah mengabsorbsi dan tidak mudah ditumbuhi
mikroba maupun jamur. Etanol juga bersifat netral (tidak bersifat sebagai
repelen), sehingga tidak mempengaruhi hasil penelitian. Cara memperoleh
ekstraksi dengan metode sohxletasi dapat dilihat pada lampiran D.
Sebelum digunakan, ekstrak daun Pandan wangi tersebut diencerkan
dahulu menggunakan aquades sehingga konsentrasinya 20%, 40%, 60%,
80%, dan 100%, dengan menggunakan rumus:
V1 x M1 = V2 x M2
Keterangan:
V1 : Volume ekstrak daun Pandan wangi yang dicari
M1: Konsentrasi awal ekstrak daun Pandan wangi
V2 : Volume pelarut (aquades) yang diinginkan
M2: Konsentrasi ekstrak daun Pandan wangi yang diinginkan
Volume pelarut yang diinginkan adalah 5 ml, maka dengan
menggunakan rumus tersebut di atas bisa didapatkan volume pelarut yang
ditambahkan berikut ini:
Volume ekstrak daun Pandan wangi yang
dibutuhkan (ml)
Volume pelarut yang ditambahkan
(ml)
Konsentrasi akhir (%)
5 0 100
4 1 80
3 2 60
2 3 40
1 4 20
3. Sesudah menyiapkan repelen, dilakukan pengujian. Tangan kiri masing-
masing probandus diberi perlakuan (diolesi dengan 5 ml ekstrak daun
Pandan wangi konsentrasi 20 %, 40%, 60%, 80% dan 100% secara
merata), sedang tangan kanan tidak diolesi repelen (sebagai kontrol).
Pengujian dilakukan secara bergantian antara tangan kiri dan tangan
kanan.
4. Tangan kiri masing-masing probandus dimasukkan ke dalam masing-
masing kandang uji yang telah berisi 30 ekor nyamuk, lalu diamati selama
5 menit dan dihitung banyaknya nyamuk yang hinggap. Apabila ada
nyamuk yang hinggap, segera dilakukan gerakan agar nyamuk tidak
sampai menghisap darah. Hal ini dilakukan supaya selama pengujian tidak
ada nyamuk yang kenyang sehingga tidak mengganggu ketertarikan
nyamuk.
5. Setelah jumlah nyamuk yang hinggap dihitung, tangan kiri dikeluarkan
dari kandang uji. Selanjutnya tangan kanan dimasukkan ke dalam kandang
uji yang sama, sebagai kontrol, diamati selama 5 menit dan dihitung
banyaknya nyamuk yang hinggap. Apabila ada nyamuk yang hinggap,
segera dilakukan gerakan agar nyamuk tidak sampai menghisap darah. Hal
ini dilakukan supaya selama pengujian tidak ada nyamuk yang kenyang
sehingga tidak mengganggu ketertarikan nyamuk.
6. Setelah jumlah nyamuk yang hinggap dihitung, tangan kanan dikeluarkan
dari kandang uji. Kemudian ditunggu sampai menit yang ke 60, tangan kiri
masing-masing probandus dimasukkan lagi ke dalam masing-masing
kandang, diamati lagi selama 5 menit dan dihitung banyaknya nyamuk
yang hinggap. Demikian dilakukan setiap 1 jam sampai jam yang ke – 4.
7. Pengamatan terhadap banyaknya nyamuk yang hinggap pada tangan
dilakukan setiap jam mulai jam ke – 0 (segera sesudah tangan diolesi )
sampai dengan jam ke-4. Penggunaan interval 1 jam dengan waktu
pengujian selama 5 menit dimaksudkan untuk menghemat waktu,
disamping telah representatif untuk pengujian daya proteksi.
8. Hari berikutnya dilakukan pengujian yang sama menggunakan nyamuk
yang berbeda . Dalam satu hari dilakukan 2x pengujian menggunakan lima
konsentrasi ekstrak daun Pandan wangi, terhadap lima orang probandus
yang berbeda, yaitu pada jam 08.00-12.00 dan pada jam 13.00-17.00.
Setiap probandus menggunakan kandang uji yang berbeda (Komisi
Pestisida Departemen Pertanian, 1995).
J. Teknik Analisis Data
Manfaat ekstrak daun Pandan wangi sebagai repelen ditentukan
berdasarkan daya proteksi yang dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Daya Proteksi (DP) = (K-R)/K x 100 %
K = banyaknya nyamuk yang hinggap pada tangan kontrol
R = banyaknya nyamuk yang hinggap pada tangan perlakuan
(Komisi Pestisida Departemen Pertanian, 1995).
Hasil yang diperoleh dari rumus daya proteksi tersebut diatas selanjutnya
dianalisis secara statistik menggunakan Analisis Varians (Anava) dua arah
untuk mengetahui apakah ada perbedaan daya proteksi yang bermakna antara
kelompok perlakuan dan waktu pengujian. Apabila ada perbedaan yang
bermakna, maka dilanjutkan dengan uji Duncan untuk mencari kelompok
perlakuan mana yang berbeda nyata pada setiap waktu pengujian (Steel &
Torrie, 1995).
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Hasil Penelitian
Penelitian terhadap ekstrak daun Pandan wangi sebagai repelen terhadap
nyamuk Aedes aegypti telah dilaksanakan pada tanggal 20-23 Juli 2008 di Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoar Penyakit (BBPPVRP)
Salatiga. Dari penelitian yang telah dilakukan, didapatkan data banyaknya
nyamuk yang hinggap pada tangan perlakuan dan tangan kontrol untuk setiap
jamnya. Data tersebut dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Jumlah nyamuk yang hinggap pada tangan perlakuan dan tangan Kontrol
Waktu pengujian
0 jam 1 jam 2 jam 3 jam 4 jam
Perlakuan
Ulangan
P K P K P K P K P K 100% 1 36 210 19 100 42 200 46 205 55 217
2 17 102 24 139 33 161 36 171 37 160 3 21 112 20 96 21 97 26 110 26 103 4 27 132 27 128 30 122 35 131 43 148
5 17 101 23 120 26 130 30 130 34 140 Rata-rata 23,6 131,4 22,6 116,6 30,4 142 34,6 149,4 39 153,6
80% 1 19 70 31 104 30 97 38 115 35 94 2 25 95 25 88 28 87 35 99 39 98 3 20 72 24 80 29 82 34 90 40 99 4 22 78 29 94 30 91 45 126 43 111
5 25 80 71 219 42 120 70 192 51 129 Rata-rata 22,2 79 36 117 31,8 95,4 44,4 124,4 41,6 106,2
60% 1 122 264 93 192 130 254 135 254 130 232 2 88 194 78 168 70 144 93 182 130 235 3 71 172 73 169 83 184 72 153 73 148 4 89 205 61 134 58 124 53 109 49 93
5 68 172 43 104 48 113 45 101 45 92 Rata-rata 87,6 201,4 69,6 153,4 77,8 163,8 79,6 159,8 85,4 160
40% 1 70 103 70 100 61 85 63 85 54 70 2 140 205 118 170 184 259 193 260 76 101 3 85 117 78 106 87 115 133 170 166 204 4 133 192 137 189 130 177 113 148 125 157
5 75 100 78 102 84 107 58 71 79 96 Rata-rata 100,6 143,4 96,2 133,4 109,2 148,6 112 146,8 100 125,6
20% 1 113 134 86 99 85 96 87 95 134 144 2 75 91 77 92 76 89 75 87 107 120 3 119 158 92 117 114 142 103 127 80 96 4 59 70 84 98 139 159 130 145 124 137
5 108 142 121 157 94 118 91 110 111 130 Rata-rata 94,8 119 92 112,6 101,6 120,8 97,2 112,8 111,2 125,4
Keterangan: P = Perlakuan; K = Kontrol Data tersebut selanjutnya dimasukkan ke dalam rumus daya proteksi
sehingga didapatkan nilai daya proteksi setiap jamnya. Nilai daya proteksi
tersebut dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini.
Tabel 2. Daya proteksi ekstrak daun Pandan wangi mulai jam ke-0 sampai jam
ke-4
Daya Proteksi (%) Perlakuan Ulangan 0jam 1jam 2jam 3jam 4jam
100% 1 82,85714 81,00000 79,00000 77,56098 74,85438 2 83,33333 82,73381 79,50311 78,94737 76,87500 3 81,25000 79,16667 78,35052 76,36364 74,75728 4 79,54545 78,90625 75,40984 73,28244 70,94595
5 83,16832 80,83333 80,00000 76,92308 75,71429 Rata-rata 82,03085 80,52801 78,45269 76,61550 74,62938
80% 1 72,85714 70,19231 69,07217 66,95652 62,76596 2 73,68421 71,59091 67,81609 64,64646 60,20408 3 72,22222 70,00000 64,63415 62,22222 59,59596 4 71,79487 69,14894 67,03297 64,28571 61,26126
5 68,75000 67,57991 65,00000 63,54167 61,24031 Rata-rata 71,86169 69,70241 66,71107 64,33052 61,01351
60% 1 53,78788 51,56250 48,81890 46,85039 43,96552 2 54,63918 53,57143 51,38889 48,90110 44,68085 3 58,72093 56,80473 54,89130 52,94118 50,67568 4 56,59537 54,47761 53,22581 51,37615 47,31183
5 60,46512 58,65385 57,52212 55,44555 51,08696 Rata-rata 56,84170 55,01402 53,16940 51,10287 47,54419
40% 1 32,03884 30,00000 28,23529 25,88235 22,85714 2 31,70732 30,58824 28,95753 25,76923 24,75248 3 27,35043 26,41509 24,34783 21,76471 18,62745 4 30,72917 27,51323 26,55367 23,64865 20,38217
5 25,00000 23,52941 21,49533 18,30986 17,70833 Rata-rata 29,36515 27,60920 25,91793 23,07496 20,86551
20% 1 15,67164 13,13131 11,45833 8,42105 6,94444 2 17,58241 16,30435 14,60674 13,79310 10,83333 3 24,68354 21,36752 19,71831 18,89764 16,66667 4 15,71429 14,28571 12,57862 10,34483 9,48905
5 23,94366 22,92994 20,33898 17,27273 14,61539 Rata-rata 19,51911 17,60377 15,74020 13,74587 11,70978
B. Analisis Data
Nilai daya proteksi yang telah didapat tersebut dalam tabel 2 kemudian
diolah secara statistik. Analisis statistik yang digunakan adalah uji Anava dua
arah, untuk mengetahui perbedaan daya proteksi dalam kelompok perlakuan
dan dalam setiap waktu pengujian, dan uji Duncan untuk mengetahui
perbedaan yang nyata antar kelompok perlakuan pada setiap waktu pengujian.
Analisis statistik tersebut dilakukan dengan menggunakan program SPSS for
Window Release 12.0. Hasil analisis statistik tersebut dapat dilihat sebagai
berikut ini.
Setelah dilakukan uji Anava dua arah, didapatkan perbedaan daya
proteksi yang nyata pada kelompok perlakuan yang diujikan (Fhitung>Ftabel;
p<0,05), dan didapatkan perbedaan daya proteksi yang nyata pada setiap
waktu pengujian (Fhitung>Ftabel; p<0,05). Disamping itu didapatkan interaksi
yang tidak bermakna antara perlakuan dan waktu pengujian terhadap daya
proteksi (Fhitung<Ftabel; p>0,05). Perhitungan uji Anava dua arah dengan
program SPSS for Window Release 12.0 dapat dilihat pada lampiran 1.
Hasil uji Duncan pada jam ke-0 dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 3. Daya proteksi ekstrak daun Pandan wangi pada jam ke-0 (dalam persen) Perlakuan\Ulangan 1 2 3 4 5 Rata-rata
100% 82,85714 83,33333 81,25000 79,54545 83,16832 82,03085 80% 72,85714 73,68421 72,22222 71,79487 68,75000 71,86169 60% 53,78788 54,63918 58,72093 56,59537 60,46512 56,84170 40% 32,03884 31,70732 27,35043 30,72917 25,00000 29,36515 20% 15,67164 17,58241 24,68354 15,71429 23,94366 19,51911
01020
3040
5060
7080
90
(%)
20% 40% 60% 80% 100%
Perlakuan
Daya Proteksi
Histograf 1. Daya proteksi rata-rata ekstrak daun Pandan wangi pada jam ke-0
Daya proteksi ekstrak daun Pandan wangi pada jam ke-0 ditunjukkan
pada tabel 3 dan histograf 1, yang mana pengujian dilakukan langsung setelah
pengolesan ekstrak daun Pandan wangi pada tangan probandus. Secara
statistik terlihat perbedaan yang nyata antara konsentrasi 20% dengan
konsentrasi 40%, 60%, 80% dan 100%. Demikian pula antara konsentrasi 40%
dengan konsentrasi 20%, 60%, 80% dan 100%; antara konsentrasi 60%
dengan konsentrasi 20%, 40%, 80% dan 100%; antara konsentrasi 80%
dengan konsentrasi 20%, 40%, 60% dan 100%; juga antara konsentrasi 100%
dengan konsentrasi 20%, 40%, 60% dan 80% masing-masing menunjukkan
adanya perbedaan yang nyata (dapat dilihat pada lampiran 1). Hal ini
menunjukkan bahwa masing-masing konsentrasi mempunyai kemampuan
sebagai repelen yang berbeda. Pada histograf 1 tampak bahwa pada pengujian
jam ke-0 menunjukkan semakin tinggi konsentrasi akan semakin meningkat
daya proteksinya. Namun pada masing-masing perlakuan bahkan pada
konsentrasi 100%, daya proteksi ekstrak daun Pandan wangi tidak ada yang
mencapai 90%.
Hasil uji Duncan pada jam ke-1 dapat dilihat pada tabel 4 berikut ini:
Tabel 4. Daya proteksi ekstrak daun Pandan wangi pada jam ke-1 (dalam persen) Perlakuan\ulangan 1 2 3 4 5 Rata-rata
100% 81,00000 82,73381 79,16667 78,90625 80,83333 80,52801 80% 70,19231 71,59091 70,00000 69,14894 67,57991 69,70241 60% 51,56250 53,57143 56,80473 54,47761 58,65385 55,01402 40% 30,00000 30,58824 26,41509 27,51323 23,52941 27,60920 20% 13,13131 16,30435 21,36752 14,28571 22,92994 17,60377
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
(%)
20% 40% 60% 80% 100%
Perlakuan
Daya Proteksi
Histograf 2. Daya proteksi rata-rata ekstrak daun Pandan wangi pada jam ke-1
Daya proteksi ekstrak daun Pandan wangi pada jam ke-1, yaitu
pengujian yang dilakukan 1 jam setelah pengolesan ekstrak daun Pandan
wangi pada tangan probandus, ditunjukkan pada tabel 4 dan histograf 2.
Secara statistik terlihat perbedaan yang nyata antara konsentrasi 20% dengan
konsentrasi 40%, 60%, 80% dan 100%. Demikian pula antara konsentrasi 40%
dengan konsentrasi 20%, 60%, 80% dan 100%; antara konsentrasi 60%
dengan konsentrasi 20%, 40%, 80% dan 100%; antara konsentrasi 80%
dengan konsentrasi 20%, 40%, 60% dan 100%; juga antara konsentrasi 100%
dengan konsentrasi 20%, 40%, 60% dan 80% masing-masing terlihat adanya
perbedaan yang nyata (dapat dilihat pada lampiran 1). Hal ini menunjukkan
bahwa masing-masing konsentrasi mempunyai kemampuan sebagai repelen
yang berbeda. Pada histograf 2 tampak bahwa pada pengujian jam ke-1
menunjukkan semakin tinggi konsentrasi akan semakin meningkat daya
proteksinya. Daya proteksi ekstrak daun Pandan wangi terhadap nyamuk
Aedes aegypti pada jam ke-1 ini, pada masing-masing perlakuan juga tidak
ada yang mencapai 90%. Daya proteksi tertinggi hanya 80,52801%, yaitu pada
konsentrasi ekstrak daun Pandan wangi 100%.
Hasil uji Duncan pada jam ke-2 dapat dilihat pada tabel 5 berikut ini.
Tabel 5. Daya proteksi ekstrak daun Pandan wangi pada jam ke-2 (dalam persen) Perlakuan\Ulangan 1 2 3 4 5 Rata-rata
100% 79,00000 79,50311 78,35052 75,40984 80,00000 78,45269 80% 69,07217 67,81609 64,63415 67,03297 65,00000 66,71107 60% 48,81890 51,38889 54,89130 53,22581 57,52212 53,16940 40% 28,23529 28,95753 24,34783 26,55367 21,49533 25,91793 20% 11,45833 14,60674 19,71831 12,57862 20,33898 15,74020
0
10
20
30
40
50
60
70
80
(%)
20% 40% 60% 80% 100%
Perlakuan
Daya Proteksi
Histograf 3. Daya proteksi rata-rata ekstrak daun Pandan wangi pada jam ke-2
Daya proteksi ekstrak daun Pandan wangi pada jam ke-2, yaitu
pengujian yang dilakukan 2 jam setelah pengolesan ekstrak daun Pandan
wangi pada tangan probandus, ditunjukkan pada tabel 5 dan histograf 3.
Secara statistik terlihat perbedaan yang nyata antara konsentrasi 20% dengan
konsentrasi 40%, 60%, 80% dan 100%. Demikian pula antara konsentrasi 40%
dengan konsentrasi 20%, 60%, 80% dan 100%; antara konsentrasi 60%
dengan konsentrasi 20%, 40%, 80% dan 100%; antara konsentrasi 80%
dengan konsentrasi 20%, 40%, 60% dan 100%; juga antara konsentrasi 100%
dengan konsentrasi 20%, 40%, 60% dan 80% masing-masing terlihat adanya
perbedaan yang nyata (dapat dilihat pada lampiran 1). Hal ini menunjukkan
bahwa masing-masing konsentrasi mempunyai kemampuan sebagai repelen
yang berbeda. Pada histograf 3 tampak bahwa pada pengujian jam ke-2
menunjukkan semakin tinggi konsentrasi juga semakin meningkat daya
proteksinya. Pada pengujian jam ke-2 ini, daya proteksi ekstrak daun Pandan
wangi terhadap nyamuk Aedes aegypti pada konsentrasi 100% hanya
78,45269%.
Hasil uji Duncan pada jam ke-3 dapat dilihat pada tabel 6 berikut ini:
Tabel 6. Daya proteksi ekstrak daun Pandan wangi pada jam ke-3 (dalam persen) Perlakuan\ Ulangan
1 2 3 4 5 Rata-rata
100% 77,56098 78,94737 76,36364 73,28244 76,92308 76,61550 80% 66,95652 64,64646 62,22222 64,28571 63,54167 64,33052 60% 46,85039 48,90110 52,94118 51,37615 55,44555 51,10287 40% 25,88235 25,76923 21,76471 23,64865 18,30986 23,07496 20% 8,42105 13,79310 18,89764 10,34483 17,27273 13,74587
0
10
20
30
40
50
60
70
80
(%)
20% 40% 60% 80% 100%
Perlakuan
Daya Proteksi
Histograf 4. Daya proteksi rata-rata ekstrak daun Pandan wangi pada jam ke-3
Daya proteksi ekstrak daun Pandan wangi pada jam ke-3, yaitu
pengujian yang dilakukan 3 jam setelah pengolesan ekstrak daun Pandan
wangi pada tangan probandus, ditunjukkan pada tabel 6 dan histograf 4.
Secara statistik terlihat perbedaan yang nyata antara konsentrasi 20% dengan
konsentrasi 40%, 60%, 80% dan 100%. Demikian pula antara konsentrasi 40%
dengan konsentrasi 20%, 60%, 80% dan 100%; antara konsentrasi 60%
dengan konsentrasi 20%, 40%, 80% dan 100%; antara konsentrasi 80%
dengan konsentrasi 20%, 40%, 60% dan 100%; juga antara konsentrasi 100%
dengan konsentrasi 20%, 40%, 60% dan 80% masing-masing terlihat adanya
perbedaan yang nyata secara statistik (dapat dilihat pada lampiran 1). Hal ini
menunjukkan bahwa masing-masing konsentrasi mempunyai kemampuan
sebagai repelen yang berbeda. Pada histograf 4 tampak bahwa pada pengujian
jam ke-3 menunjukkan semakin tinggi konsentrasi akan semakin meningkat
daya proteksinya. Daya proteksi ekstrak daun Pandan wangi terhadap nyamuk
Aedes aegypti pada perlakuan jam ke-3 ini semakin menurun dibandingkan
pengujian jam sebelumnya, yaitu tertinggi hanya 76,6155%.
Hasil uji Duncan pada jam ke-4 dapat dilihat pada tabel 7 berikut ini.
Tabel 7. Daya proteksi ekstrak daun Pandan wangi pada jam ke-4 (dalam persen) Perlakuan\Ulangan 1 2 3 4 5 Rata-rata
100% 74,85438 76,87500 74,75728 70,94595 75,71429 74,62938 80% 62,76596 60,20408 59,59596 61,26126 61,24031 61,01351 60% 43,96552 44,68085 50,67568 47,31183 51,08696 47,54419 40% 22,85714 24,75248 18,62745 20,38217 17,70833 20,86551 20% 6,94444 10,83333 16,66667 9,48905 14,61539 11,70978
0
10
20
30
40
50
60
70
80
(%)
20% 40% 60% 80% 100%
Perlakuan
Daya Proteksi
Histograf 5. Daya proteksi rata-rata ekstrak daun Pandan wangi pada jam ke-4
Daya proteksi ekstrak daun Pandan wangi pada jam ke-4, yaitu
pengujian yang dilakukan 4 jam setelah pengolesan ekstrak daun Pandan wangi
pada tangan probandus, ditunjukkan pada tabel 7 dan histograf 5 tersebut diatas.
Secara statistik terlihat perbedaan yang nyata antara konsentrasi 20% dengan
konsentrasi 40%, 60%, 80% dan 100%. Demikian pula antara konsentrasi 40%
dengan konsentrasi 20%, 60%, 80% dan 100%; antara konsentrasi 60% dengan
konsentrasi 20%, 40%, 80% dan 100%; antara konsentrasi 80% dengan
konsentrasi 20%, 40%, 60% dan 100%; juga antara konsentrasi 100% dengan
konsentrasi 20%, 40%, 60% dan 80% masing-masing menunjukkan adanya
perbedaan yang nyata secara statistik (dapat dilihat pada lampiran 1). Hal ini
menunjukkan bahwa masing-masing konsentrasi mempunyai kemampuan sebagai
repelen yang berbeda. Pada histograf 5 tampak bahwa pada pengujian jam ke-4
menunjukkan semakin tinggi konsentrasi juga semakin meningkat daya
proteksinya. Daya proteksi ekstrak daun Pandan wangi terhadap nyamuk Aedes
aegypti pada perlakuan jam ke-4 inipun semakin menurun dibandingkan
pengujian jam sebelumnya. Daya proteksi tertinggi hanya 74,62938% yaitu pada
konsentrasi 100%
BAB V
PEMBAHASAN
Hasil penghitungan daya proteksi ekstrak daun Pandan wangi
menunjukkan bahwa daya proteksi tertinggi adalah 82,03085%, yaitu pada
konsentrasi 100% jam ke-0 pada tabel 2, dimana daya proteksinya menurun
sampai 74,62938% selama 4 jam. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak daun Pandan
wangi mempunyai potensi sebagai repelen terhadap nyamuk Aedes aegypti,
meskipun daya proteksinya kurang dari 90%, dimana peraturan pemerintah
melalui Komisi Pestisida Departemen Pertanian (1995) mensyaratkan bahwa
suatu lotion anti nyamuk dapat dikatakan efektif apabila daya proteksinya paling
sedikit 90% dan mampu bertahan sampai 6 jam (Agus, 2007). Hal ini memang
berbeda apabila dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Agus
(2007), dimana pada penelitian Agus Kardinan daya proteksi tertinggi dari minyak
atsiri Selasih adalah 79,7% pada konsentrasi 20%, selama 1 jam. Namun kedua
tanaman tersebut sama-sama berpotensi sebagai repelen terhadap nyamuk Aedes
aegypti.
Dalam penelitian ini digunakan daun Pandan wangi karena mengandung
alkaloida, saponin, flavonoida, tanin, polifenol, dan zat warna (Sugati dan Johnny,
1991; Rohmawati, 1995; Dalimartha, 1999; Ipteknet, 2005; Ning, 2007). Sedang
menurut Novizan (2002), saponin terbukti dapat dipakai untuk mengendalikan
jentik dan bentuk dewasa nyamuk Aedes aegypti, serta bersifat sebagai repelen
sehingga mencegah gigitan nyamuk. Demikian juga menurut Rui dkk. (2002),
saponin dan tanin juga dapat bersifat sebagai pengusir serangga (repelen). Hasil
dari penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak daun Pandan wangi mempunyai
potensi sebagai repelen terhadap nyamuk Aedes aegypti, meskipun daya
proteksinya kurang dari 90%. Hal ini mungkin karena kondisi laboratorium
tempat penelitian (di antaranya suhu dan kelembaban ruangan) di mana peneliti
melakukan penelitian berbeda dengan kondisi laboratorium peneliti-peneliti
tersebut diatas, atau mungkin karena cara ekstraksi daun Pandan wangi dengan
metode sohxletasi, di mana larutan dipanaskan terus menerus, sehingga zat aktif
pada daun Pandan wangi rusak karena tidak tahan panas. Atau ada kemungkinan
serbuk daun Pandan wangi yang diekstraksi kurang banyak sehingga kandungan
zat aktif yang terekstraksi juga kurang (untuk itu dibutuhkan serbuk daun Pandan
wangi lebih dari 100 gram).
Penelitian yang dilakukan oleh Saut (2003), membuktikan bahwa ekstrak
daun Pandan wangi dengan pelarut metanol memberikan pengaruh repelen yang
kuat terhadap Periplaneta americana pada konsentrasi 1% dan cenderung stabil
hingga 24 jam. Namun dalam penelitian ini sebagai larutan penyari tidak
digunakan metanol karena disamping beracun, uapnya juga berbahaya dan dapat
menimbulkan kebutaan. Oleh karena itu dalam penelitian ini digunakan etanol
70%, karena netral, tidak beracun, dapat bercampur dengan air, mudah
mengabsorsi, dan tidak mudah ditumbuhi oleh mikroba maupun jamur.
Meskipun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan ekstrak
daun Pandan wangi sebagai repelen terhadap nyamuk Aedes aegypti masih di
bawah standar Nasional yang diberlakukan untuk lotion anti nyamuk berbahan
aktif bahan kimia sintetis seperti DEET, namun setelah dilakukan analisis statistik
menggunakan uji Anava dua arah untuk mengetahui perbedaan daya proteksi
dalam kelompok perlakuan dan dalam setiap waktu pengujian, didapatkan
perbedaan daya proteksi yang nyata pada kelompok perlakuan yang diujikan
(Fhitung>Ftabel; p<0,05), dan didapatkan perbedaan daya proteksi yang nyata pada
setiap waktu pengujian (Fhitung>Ftabel; p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa daya
proteksi ekstrak daun Pandan wangi dipengaruhi oleh konsentrasi ekstrak daun
Pandan wangi dan waktu pengujian. Namun didapatkan interaksi yang tidak
bermakna antara perlakuan dan waktu pengujian terhadap daya proteksi
(Fhitung<Ftabel; p>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara
konsentrasi ekstrak daun Pandan wangi dengan waktu pengamatan dalam
mempengaruhi daya proteksi. Setelah dilanjutkan dengan uji Duncan dengan
tingkat kemaknaan 0,05 (α= 0,05), ternyata ada perbedaan yang nyata antar
kelompok perlakuan (antara masing-masing konsentrasi ekstrak daun Pandan
wangi) pada setiap waktu pengujian, baik pada jam ke-0, jam ke-1, ke-2, ke-3
maupun jam ke-4.
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:
1. Ekstrak daun Pandan wangi (Pandanus amaryllifolius Roxb.) dapat
dimanfaatkan sebagai repelen terhadap nyamuk Aedes aegypti, walaupun
daya proteksinya masih di bawah standar Nasional yang diberlakukan
untuk lotion anti nyamuk berbahan aktif bahan kimia sintetis seperti
DEET.
2. Daya proteksinya tertinggi adalah 82,03085%, yaitu pada konsentrasi
100% jam ke-0. Kemudian daya proteksinya menurun sampai 74,62938%
setelah 4 jam.
B. Saran
Penelitian terhadap daun Pandan wangi (Pandanus amaryllifolius Roxb.)
sebagai bahan repelen alami perlu dikembangkan lebih lanjut dengan
menggunakan pelarut/penyari yang berbeda, atau dengan metode ekstraksi
yang lain, mengingat dampak negatif yang ditimbulkan dari penggunaan
bahan kimia sintetis beracun terhadap kesehatan manusia .
DAFTAR PUSTAKA
Afandi, 2003. Cegah Demam Berdarah dan Chikungunya. PR Cyber Media
(artikel). 23-3-2003.
Agus Kardinan, 2005. Tanaman pengusir dan pembasmi nyamuk. AgroMedia
Pustaka, Depok. Hal: 1-6; 21-33.
Agus Kardinan, 2007. Potensi Selasih sebagai Repellent terhadap Nyamuk Aedes
aegypti. Jurnal LITTRI Vol.13 No.2: 39-42.
Belohertown, 2000. WNV Fact shut with references.
www.belohertown.org/departement/westNileVirusEncephalitis.htm.15k
Borror, D.J., Triplehorn, C.A., Johnson, N.F. 1996. Pengenalan pelajaran
serangga. Edisi keenam. Terjemahan. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta. Hal: 670-671.
Brown, H.W. 1983. Dasar Parasitologi Klinis. Penerbit PT Gramedia, Jakarta.
Hal: 419-426.
Cavalcanti, E.S.B., de Morais, S.M., Lima A.M.A., Santana E.W.P. 2004.
Larvicidal Activity of essential oils from Brazilian Plants against Aedes
aegypti L. http://www.scielo.br/pdf/mioc/v99n5/v99n5a15.pdf (27 Februari
2007)
Dalimartha, S. 1999. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Jilid 1, Trubus Agriwidya,
Bogor.
Departemen Kesehatan R.I. 2004a. Datangnya Musim Hujan Pada Oktober 2004
Kasus DBD Meningkat Di Seluruh Wilayah Indonesia, January 17, 2005.
http://www.depkes.go.id
Departemen Kesehatan R.I. 2004b. Menkes: Bangunan Terbengkalai Menjadi
Penyebab DBD, January 17, 2005. http://www.depkes.go.id
Departemen Kesehatan R.I. 2004c. Warga diingatkan lagi Waspadai Demam
Berdarah, January 17, 2005. http://www.depkes.go.id
Dewi Susana, A. Rahman dan Eram Tunggul Pamenang. 1999. Potensi Daun
Pandan wangi untuk Membunuh Larva Aedes aegypti. Jurnal Ekologi
Kesehatan Vol.2 No.2: 228-231.
Fradin, M. S. 1998. Mosquitoes and Mosquito Repellents A Clinician’ Guide,
January 17, 2005. http://www.annals.org.
Fradin, M.S. 2005. Insect Repellents, January 17, 2005.
http://www.emedicine.com.
Gunandini, D.J. 2006. Bioekologi dan Pengendalian Nyamuk Sebagai Vektor
Penyakit. Pros. Sem. Nas. Pestisida Nabati III. Balittro. Hal.: 43-48.
Handrawan Nadesul. 2005. 100 Pertanyaan + Jawaban Demam Berdarah.
Kompas, Jakarta. Hal: 33-35.
Hindra I. Satari, Mila Meiliasari. 2005. Demam berdarah Perawatan di Rumah &
Rumah Sakit + Menu. Puspa Swara, Jakarta. Hal: 2-6.
Ipteknet. 2005. Tanaman Obat Indonesia. BPPT, Jakarta. (27 Februari 2007).
Komisi Pestisida Departemen Pertanian. 1995. Metode Standar Pengujian Efikasi
Pestisida. Departemen Pertanian. Jakarta. I-HL 4/9-95.
Mahardika Agus Wijayanti, Budi Mulyaningsih .1997. Efek Ekstrak Akar
Andropogon zizanioides urban sebagai Repelen terhadap nyamuk Aedes
aegypti. Berkala Ilmu Kedokteran Vol.29 No. 3: 111-114.
Massachusetts Dept of Public Health. 1991. EE Fact Sheet. January 17, 2005.
www.Malpole.ma.us./h.mosquito.htm.
Martini, Ludfi Santoso, Windadari Murni H. 2004. Efektifitas Daya Tolak
(Repellent) Berbagai Jenis Daun Jeruk (Citrus sp.) dari Kontak Nyamuk
Aedes aegypti. M Med Indonesiana Vol. 39 No. 2: 65-69.
Mullen, G., Durden, L. 2002. Medical and Veterinary Entomology. Academic
Press. Amsterdam – Boston – London – New York – Oxford – Paris – San
Diego – San Francisco – Singapore – Sydney – Tokyo. Pp: 203-233.
Nasci, R. S., Miller, B. R. 1996. Culicine Mosguitoes and The Agents They
Transmit. In: Beaty Barry, J., Marquardt William, C. The Biology of
Disease Vectors. University press of Colorado, Colorado. Pp: 85-96.
Ning Harmanto. 2007. Pandan wangi. Ningharmanto.com. (2 Juli 2007).
Novizan. 2002. Membuat dan Memanfaatkan Pestisida Ramah Lingkungan.
AgroMedia Pustaka, Jakarta.
PDPERSI (Pusat Data & Informasi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh
Indonesia). 2003. Pandan wangi ( Pandanus amaryllifolius Roxb.).
PDPERSI.CO.ID. Jakarta. (2 Juli 2007).
PROSEA ( Plant Resources of South-East Asia). 1999. Spices: Pandanus
amaryllifolius Roxb. In: de guzma C C and Siemonsma J S (editors). Bogor.
P: 13.
Putut Djokopitojo. 1988. Jangka Waktu Efektif Pemakaian 1% S.G. Abate dengan
Kadar 1 mg/L Terhadap Aedes aegypti Pada Empat Macam Penampungan
Air di Laboratorium. Prosiding Seminar Parasitologi Nasional V Ciawi,
Bogor. 20-22 Agustus 1988. Hal: 673-691.
Renganathan E., Parks W., Lloyd L., Nathan M.B., Hosein E., Odugleh A., Clark
G.G., Gubler D.J., Prasittisuk C., Palmer K. and San Martín J.L. 2003.
Toward Sustaining Behavioural Impact in Dengue Prevention and Control.
Dengue Bulletin. 27: 6-13.
Rohmawati Eni. 2003. Skrining Kandungan Kimia Daun Pandan serta Isolasi dan
Identifikasi Alkaloidnya. Fakultas Farmasi. Universitas Gadjah Mada.
Rui X., B. Donald and A. Arshad. 2003. Laboratory evaluation of eighteen
repellent compounds as oviposition deterrents of Aedes albopictus and as
larvacides of Aedes aegypti, Anopheles quadrimaculatus and Culex
quinquefasciatus. Agriculture Research Service, United States Department
of Agriculture. 2pp.
Russell, R.C. 1996. Aedes aegypti. http://medent.usyd.edu.au (27 Februari 2007).
Rutledge, C.R., Day, J.F. 2005. Mosquito Repellents. http://edis.ifas.ufl.edu (27
Februari 2007).
Saleha Sungkar. 2005. Bionomik Aedes aegypti, Vektor Demam Berdarah
Dengue. Majalah Kedokteran Indonesia. 55(4): 384-389.
Saskia Ibrahim. 2003. Klinik Keluarga Terapi Demam. Penerbit Progres, Jakarta.
Hal: 1-7.
Satni Eka Putra. 1995. Nyamuk Aedes aegypti, Bahaya dan Pengendaliannya.
Universitas Andalas Padang. Hal: 7-29.
Saut Matio Manik. 2003. Repelensi Beberapa Ekstrak Tanaman Terhadap
Periplanetta americana L. (Dictyoptera: Blattidae). Jurusan Hama Dan
Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hal: 14,
21-22.
Soedarmono, S.S.P. 1988. Demam Berdarah (Dengue) Pada Anak. Universitas
Indonesia Press. Jakarta. Hal: 20-24
Soedarto. 1992. Entomologi Kedokteran. Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta. Hal: 59-61, 102.
Srisasi Gandahusada, Herry D. Ilahude, Wita Pribadi. 1998. Parasitologi
Kedokteran. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Hal: 235-
237, 245.
Steel, R.G.D., Torrie, J.H. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistik: Suatu
Pendekatan Biometrik. Penerbit P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Hal:
168-215.
Sugati, S. dan Johnny, R.H. 1991. Inventaris Tanaman Obat Indonesia. Badan
Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan R.I. Jakarta.
Sumarmo Sunaryo Poorwo Soedarmo. 1988. Demam Berdarah (Dengue) pada
Anak (Desertasi). UI Press, Jakarta. Hal: 18-26.
Sumarmo Poorwo Soedarmo. 2002. Infeksi Virus Dengue. Dalam: Sumarmo S.
Poorwo Soedarmo, Herry Garna, Sri Rezeki S. Hadinegoro. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Anak, Infeksi dan Penyakit Tropis. Edisi Pertama. Ikatan Dokter
Anak Indonesia. Jakarta. Hal: 176-208.
WHO. 1997. Vector Control: Methods for Use by Individuals and Communities.
Geneva. p: 1-65
WHO. 2004. Panduan Lengkap Pencegahan dan Pengendalian Dengue dan
Demam Berdarah. EGC. Jakarta.
Wikipedia. 2007. Pandanus amaryllifolius.
http://id.wikipedia.org/wiki/Pandan_wangi (27 Februari 2007 ).