BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1. Diabetes...

30
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1. Diabetes dan Arti Pentingnya Manajemen Diri Seiring dengan semakin meningkatnya kesejahteraan masyarakat, tingkat kejadian penyakit degeneratif di Indonesia semakin meningkat. Salah satu di antaranya adalah diabetes melitus (Tjokroprawiro, 2003; Waspadji, 2013a). Penyakit diabetes melitus, untuk selanjutnya disebut diabetes adalah sebuah penyakit kronik berbentuk gangguan metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak, disebabkan kurangnya sekresi atau adanya resistensi insulin (Taylor, 2006). Meskipun sebenarnya diabetes merupakan penyakit hormonal (insulin adalah hormon), namun manifestasi yang menonjol adalah penyakit metabolisme (WHO, 2000). Penyakit diabetes dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya keturunan, kurangnya kegiatan jasmani, kegemukan atau distribusi lemak, nutrisi berlebih, dan efek samping obat-obat atau hormon (Waspadji, 2013a; WHO, 2000). Jika mencermati faktor-faktor ini dapat dilihat bahwa kurangnya kegiatan jasmani, kegemukan, dan nutrisi berlebih merupakan faktor yang dapat diubah. Ini yang mendasari pandangan, seperti yang dikemukakan Sidartawan Soegondo, Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Diabetisi Indonesia dan Direktur Institut Diabetes Indonesia, bahwa diabetes adalah penyakit akibat gaya hidup atau dalam bahasa Inggris disebut lifestyle disease (Lyons & Chamberlain, 2006). Terkait dengan faktor yang dapat diubah, langkah yang perlu dilakukan untuk mengelola diabetes adalah mengubah gaya hidup (“Cegah Diabetes Sejak

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1. Diabetes...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

1. Diabetes dan Arti Pentingnya Manajemen Diri

Seiring dengan semakin meningkatnya kesejahteraan masyarakat, tingkat

kejadian penyakit degeneratif di Indonesia semakin meningkat. Salah satu di

antaranya adalah diabetes melitus (Tjokroprawiro, 2003; Waspadji, 2013a).

Penyakit diabetes melitus, untuk selanjutnya disebut diabetes adalah sebuah

penyakit kronik berbentuk gangguan metabolisme karbohidrat, protein, dan

lemak, disebabkan kurangnya sekresi atau adanya resistensi insulin (Taylor,

2006). Meskipun sebenarnya diabetes merupakan penyakit hormonal (insulin

adalah hormon), namun manifestasi yang menonjol adalah penyakit metabolisme

(WHO, 2000).

Penyakit diabetes dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya

keturunan, kurangnya kegiatan jasmani, kegemukan atau distribusi lemak, nutrisi

berlebih, dan efek samping obat-obat atau hormon (Waspadji, 2013a; WHO,

2000). Jika mencermati faktor-faktor ini dapat dilihat bahwa kurangnya kegiatan

jasmani, kegemukan, dan nutrisi berlebih merupakan faktor yang dapat diubah.

Ini yang mendasari pandangan, seperti yang dikemukakan Sidartawan

Soegondo, Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Diabetisi Indonesia dan

Direktur Institut Diabetes Indonesia, bahwa diabetes adalah penyakit akibat gaya

hidup atau dalam bahasa Inggris disebut lifestyle disease (Lyons & Chamberlain,

2006). Terkait dengan faktor yang dapat diubah, langkah yang perlu dilakukan

untuk mengelola diabetes adalah mengubah gaya hidup (“Cegah Diabetes Sejak

2

Dini”, 2008), misalnya dengan melakukan perencanaan makan dan kegiatan

jasmani (Waspadji, 2013b; WHO, 2000).

Diabetes merupakan penyebab kematian ke-14 di dunia dan

diperkirakan mendekati empat juta orang per tahun (WHO, 2002). Menurut survei

yang dilakukan WHO pada tahun 2000, Indonesia menempati urutan ke-4 jumlah

penyandang diabetes terbesar di dunia, yaitu sebesar 8,4 juta setelah India (31,7

juta), Cina (20,8 juta), dan Amerika Serikat (17,7 juta). Diperkirakan pada tahun

2030 penyandang diabetes di Indonesia akan meningkat sampai dengan

sejumlah 21,3 juta, meskipun tetap menempati peringkat ke-4 (Wild, Roglic,

Green, Sicree, & King, 2004). Menurut data Depkes tahun 2005, jumlah pasien

diabetes rawat inap maupun rawat jalan di rumah sakit menempati urutan

pertama dari seluruh penyakit endokrin (Epidemiologi, t.t). Data yang berasal dari

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2007 menunjukkan, bahwa

prevalensi nasional diabetes adalah 5,7 persen, berdasarkan hasil pengukuran

glukosa darah pada penduduk usia lebih dari 15 tahun, yang tinggal di perkotaan

(Departemen Kesehatan RI, 2008). Data terbaru Riskesdas 2013 menunjukkan

prevalensi diabetes pada penduduk usia lebih dari 15 tahun sebesar 6,9%

(Kementerian Kesehatan RI, 2013). Berarti terjadi kenaikan 1,2 % dalam waktu

enam tahun.

Di Amerika lebih banyak orang terkena diabetes Tipe II dibandingkan

dengan Tipe I. Diabetes Tipe II ini bertambah dengan sangat cepat (Taylor,

2006). Diabetes Tipe II ini berjumlah sekitar 90 persen dari semua kasus di

Amerika (Glasgow & Nutting, 2004). Data di Indonesia tidak memilahkan antara

diabetes Tipe I dan II. Namun demikian, menurut Suyono (2013) di Indonesia

penyandang diabetes Tipe I sangat jarang. Oleh karena itu penelitian ini

dilakukan pada pasien diabetes Tipe II.

3

Dampak diabetes dari aspek ekonomi cukup besar. Di Amerika pada

tahun 2007 tercatat sebesar 174 milyar dolar Amerika untuk ongkos berobat

akibat penyakit diabetes, termasuk biaya tidak langsung karena terjadi

disabilitas, kehilangan jam kerja, dan kematian dini (Diabetes Statistics, 2011).

Meskipun di Indonesia belum dihitung kerugian tidak langsung akibat diabetes,

misal hilangnya produktivitas, diperkirakan kerugian tidak langsung jauh lebih

tinggi daripada biaya pengobatan penyakit itu sendiri. Tjokroprawiro (2003)

memperkirakan biaya perawatan minimal untuk penyandang diabetes rawat jalan

di Indonesia sekitar 1,5 milyar rupiah per hari atau 500 milyar rupiah per tahun.

Seperti telah disebutkan pada alinea pertama dari tulisan ini, diabetes

merupakan penyakit kronik. Penyakit kronik dapat berupa penyakit ringan

misalnya kehilangan sebagian pendengaran hingga penyakit berat dan

mengancam kehidupan, seperti kanker, jantung, dan diabetes termasuk di

dalamnya (Taylor, 2006). Penyakit kronik akan memengaruhi aspek-aspek

kehidupan pasien. Hal ini terjadi karena penyakit kronik akan mengakibatkan

penyandangnya mengalami perubahan-perubahan sementara maupun

permanen pada aktivitas fisik, pekerjaan, maupun sosial. Oleh karena itu,

penyandang penyakit kronik secara psikologik akan belajar untuk hidup bersama

dengan penyakitnya. Penelitian disertasi pada pasien diabetes ini merupakan

salah satu usaha untuk mempelajari aspek psikologik pada salah satu penyakit

kronik.

Sebagai penyakit kronik, diabetes berhubungan dengan komplikasi

penyakit lain. Menurut Tjokroprawiro (2004), komplikasi diabetes dapat

menyerang seluruh alat tubuh, mulai dari rambut sampai dengan ujung kaki,

termasuk semua alat tubuh di dalamnya. Sejalan dengan Tjokroprawiro (2004),

Darmono (2005) juga menyatakan, bahwa hiperglikemi kronik yang terjadi pada

diabetes selalu diikuti dengan komplikasi penyempitan vaskuler di seluruh tubuh.

4

Akibatnya, terjadi perubahan berupa kemunduran sampai dengan kegagalan

fungsi beberapa organ tubuh, dan yang paling sering adalah terjadinya

kerusakan otak, mata, jantung, ginjal, dan gangren.

Berkaitan dengan komplikasi, Wild, Roglic, Green, Sicree dan King (2006)

pada tahun 1990 dan 2000 meneliti munculnya jenis kompilikasi yang sama,

yaitu kebutaan akibat retinopati, gangguan kaki, neuropati dan amputasi. Bahkan

komplikasi ini mengakibatkan kematian. Salah satu contoh, kematian akibat

kebutaan yang disebabkan oleh retinopati dan atau di antara pasien diabetes

dengan retinopati diperkirakan 1,76 kali dibandingkan kasus diabetes yang tidak

mengalami komplikasi. Data dari American Diabetes Association (ADA) (dalam

Taylor, 2006) menunjukkan bahwa 65% kematian pasien diabetes disebabkan

oleh adanya penyakit jantung dan stroke. Data tahun 2008 dari Rumah Sakit

Cipto Mangunkusumo (RSCM) menunjukkan bahwa lima dari enam pasien

amputasi terjadi karena komplikasi diabetes. Bahkan data tahun 2010 dari RSCM

menyebutkan bahwa hanya 50% pasien amputasi yang dapat bertahan hidup

hingga lima tahun (“Amputasi”, 2011).

Komplikasi tersebut tidak akan muncul apabila perawatan diabetes

dilaksanakan dengan baik, tertib, dan teratur (Tjokroprawiro, 2004). Waspadji

(dalam “Amputasi”, 2011) juga menyatakan bahwa amputasi tidak terhindarkan,

jika kadar glukosa dalam darah tidak dikendalikan secara ketat. Penelitian

Holman dan Turner, serta Johnson, Wolf, dan Kabadi (dalam Koro, Bowlin,

Bourgeois, & Fedder, 2004) menunjukkan bahwa diet, olahraga, suntik insulin,

atau pengobatan oral akan memperbaiki kadar glukosa dalam darah. Penelitian

lain berikut ini juga menunjukkan hasil yang sama, bahwa kontrol glukosa buruk

akan mengakibatkan munculnya komplikasi. Maryanto (2009) dalam

penelitiannya pada 54 pasien diabetes Tipe II rawat jalan maupun rawat inap di

Rumah sakit Dr Sardjito, mendapatkan hasil bahwa glukosa darah tidak

5

terkontrol meningkatkan risiko terjadinya nyeri neuropati 2,6 kali dibandingkn

dengan glukosa darah terkontrol. Dari 54 pasien yang diteliti, sebanyak 40 orang

(74,1%) mempunyai glukosa darah tidak terkontrol dan hanya 14 orang (25,9%)

mempunyai glukosa darah terkontrol.

Berdasarkan kenyataan tersebut, pengelolaan atau manajemen diabetes

merupakan hal yang sangat penting. Bahkan menurut Taylor (2006), jika suatu

penyakit merupakan penyakit kronik (dibaca: termasuk diabetes) dan tidak dapat

disembuhkan, maka satu-satunya cara adalah melakukan manajemen diri. Atau

dengan kata lain, manajemen diri ini menjadi kunci strategi untuk mengelola

kesehatan bagi penyandang diabetes (Wellard, Rennie, & King, 2008).

Manajemen diri merupakan hal yang lebih menonjol pada diabetes Tipe II

dibandingkan dengan Tipe I mengingat bahwa munculnya diabetes Tipe II lebih

banyak dipicu oleh gaya hidup, sehingga pasien dengan Tipe II ini mempunyai

kondisi yang lebih baik apabila memperbaiki gaya hidupnya (Taylor, 2006).

Selanjutnya Taylor (2006) menyebutkan bahwa faktor gaya hidup yang dapat

diubah adalah kebiasaan berolah raga, menurunkan berat badan bagi mereka

yang mempunyai berat badan berlebih, manajemen stres, dan mengontrol diet.

Pada diabetes Tipe I, suntik insulin sangat berperan dalam manajemen diri,

sedangkan pada diabetes Tipe II manajemen diri dapat dilakukan dengan

berbagai cara (ADA, 2005). Seperti yang dinyatakan Taylor (2006), ADA (2005)

juga menyebutkan bahwa pada diabetes Tipe II mengatur asupan makanan dan

berolahraga dapat dilakukan pasien untuk menjaga agar kadar glukosa tetap

normal, sebelum dibantu oleh obat atau insulin. Dengan demikian, penjelasan

tersebut merupakan penguat alasan penelitian manajemen diri ini dilakukan pada

diabetes Tipe II.

Pentingnya manajemen penyakit tampak dari area penelitian tentang

diabetes. Gonder-Frederick, Cox, dan Ritterband (2002) melakukan reviu

6

terhadap penelitian-penelitian diabetes dan menemukan ada empat area dalam

penelitian diabetes. Empat area itu adalah manajemen diri diabetes,

penyesuaian sosial dan kualitas hidup, dampak neuropsikologik, dan

pengembangan intervensi psikobehavioral. Sedemikian pentingnya kajian

tentang manajemen diabetes juga terlihat dari pernyataan Siminerio, Ruppert,

dan Gabbay (2013), yang menyatakan bahwa “diabetes is a self-management

disease” atau diabetes adalah penyakit manajemen diri.

Gonder-Frederick et al. (2002) menemukan kajian manajemen diri

diabetes meliputi faktor-faktor psikososial yang memengaruhi manajemen diri.

Faktor-faktor psikososial tersebut dibagi tiga, yaitu faktor individu, faktor sosial

dan faktor lingkungan. Sebagai contoh, faktor individu, misalnya efikasi diri,

kontrol, coping, distres, kecemasan; faktor sosial, misal dukungan, karakteristik

keluarga, interaksi dengan profesional kesehatan, dampak diabetes terhadap

orang penting dalam kehidupan pasien; dan faktor lingkungan, antara lain akses

terhadap pusat kesehatan, hambatan dalam olahraga dan diet, serta faktor

budaya. Temuan Gonder-Frederick et al. (2002) tersebut sesuai dengan

pendapat Wysocki dan Buckloh (2004), yang menyatakan bahwa salah satu

yang perlu dipertimbangkan dalam manajemen diri adalah faktor-faktor

psikologik.

Menurut Fisher, Delamater, Bertelson, dan Kirkley (1982), salah satu

alasan munculnya perhatian yang besar dari psikologi terhadap diabetes yaitu

adanya kenyataan bahwa diabetes merupakan penyakit kronik, yang

mempunyai muatan psikologik dan perilaku. Diabetes mempunyai muatan

psikologik dan perilaku, karena dalam diabetes terdapat suatu proses regulasi

diri, yaitu pasien perlu meregulasi proses metabolik, seperti memantau dan

‘menyesuaikan’ kadar glukosa darah (Gonder-Frederick & Cox; Wing, Epstein,

Nowalk, Lamparski, dalam Cox & Gonder-Frederick, 1992). Ketika pasien

7

mengikuti petunjuk dokter, maka mereka dihadapkan dengan kondisi psikologik

mereka sendiri yang tidak mudah. Kondisi psikologik mereka tidak mudah,

karena mereka harus teratur melakukan diet, olahraga, pengobatan, dan tes

kadar gula (Glasgow & Nutting, 2004). Dengan kata lain pasien dituntut untuk

mengikuti petunjuk dalam manajemen diabetes tersebut. Selain aktivitas rutin

tersebut, pasien sekaligus juga harus menyadari bahwa munculnya komplikasi

akibat diabetes hampir tidak mungkin dihindari (Gonder-Frederick & Cox; Wing,

et al., dalam Cox & Gonder-Frederick, 1992; Glasgow & Nutting, 2004).

Berdasarkan gambaran tersebut, tampak bahwa manajemen diri bukan

hanya sebuah ‘perjuangan’ bagi pasien, namun juga merupakan ‘tantangan’ bagi

profesional kesehatan. Menurut profesional kesehatan, diabetes merupakan

penyakit yang lebih sulit untuk dirawat dibandingkan kondisi penyakit kronik lain,

seperti hipertensi dan penyakit jantung (Larme & Pugh, dalam Heinrich, 2011).

Banyak penelitian telah dilakukan terkait dengan manajemen diri

diabetes. Dua penelitian besar dalam dunia diabetes adalah sebagai berikut.

Penelitian longitudinal dilakukan oleh The Diabetes Control and Complications

Trial (DCCT) Research Group pada pasien diabetes Tipe I, di Amerika pada

tahun 1993 (dalam Wysocki & Buckloh, 2004; Glasgow, 2002) dan The United

Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) Group pada tahun 1998 (dalam

Wysocki & Buckloh, 2004) pada pasien diabetes Tipe II. Penelitian tersebut

dilakukan untuk menentukan apakah mempertahankan glukosa darah mendekati

normal dalam waktu panjang akan menurunkan onset dan memburuknya

komplikasi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh DCCT Research Group tersebut

menunjukkan bahwa, kontrol glukosa darah pasien lebih baik pada kelompok

terapi intensif dibandingkan terapi konvensional, pada setiap tahun pengukuran.

Pada DCCT Research Group, terapi intensif juga dapat mengurangi mulai

munculnya dan memburuknya komplikasi sampai dengan 50% hingga

8

70%.Terapi intensif berisi usaha untuk tetap mempertahankan glukosa darah

mendekati normal dengan pemberian insulin lebih sering melalui penyuntikan

atau pompa insulin, lebih sering memantau kadar glukosa darah dibandingkan

terapi konvensional, dan menggunakan data glukosa darah untuk

mempertimbangkan seberapa insulin yang dibutuhkan dan diet. Selain itu pasien

juga berkonsultasi dengan perawat, ahli gizi, dan psikolog. Terapi konvensional

dilakukan dengan cara insulin disuntikkan satu atau dua kali sehari dan

memantau kadar glukosa darah setiap hari. Berdasarkan hasil penelitian ini,

DCCT dan UKPDS menyarankan agar manajemen diabetes dilakukan dengan

lebih intensif. Pasien diharapkan terampil menguasai manajemen diri.

Secara umum manajemen diri adalah keterlibatan pasien terhadap

seluruh aspek dalam penyakit kroniknya dan implikasinya, termasuk manajemen

medis, perubahan dalam peran sosial dan pekerjaan, serta coping (Taylor, 2006).

Schoenberg dan Drungle (2001), menyatakan bahwa manajemen diri merupakan

aktivitas perawatan kesehatan berupa pencegahan atau pengobatan,

bekerjasama dengan profesional kesehatan.

Istilah manajemen diri atau self-management sering dipertukarkan

dengan istilah perawatan diri atau self-care (dalam Rahim-Williams, 2004).

Menurut Pols, Battersby, dan Blunden (2006), perawatan diri merupakan suatu

hal yang dikerjakan pasien dengan caranya sendiri, sedangkan manajemen diri

merupakan hasil dari hubungan kolaboratif antara pasien, dokter, dan tenaga

kesehatan lain, serta kelompok lain. Oleh karena itu, dalam penelitian ini

digunakan istilah manajemen diri. Istilah manajemen diri lebih tepat mengingat

pasien dalam melakukan perawatan diri mendapat informasi dari dokter maupun

perawat, juga ahli gizi. Selain itu jika pasien bergabung dalam kelompok sesama

penyandang diabetes, pasien juga mendapatkan informasi tentang perawatan

diabetes dari pasien lain. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa terjadi

9

hubungan kolaboratif antar mereka (pasien dengan dokter dan atau perawat, ahli

gizi; antar pasien). Dalam penelitian ini manajemen diri yang dimaksud adalah

manajemen diri terhadap penyakit diabetes atau biasa disebut sebagai

manajemen diri diabetes.

Ada beberapa komponen dalam manajemen diri diabetes. Penelitian ini

mengacu pada Cox dan Gonder-Frederick (1992), Glasgow dan Nutting (2004),

serta Hill-Briggs (2003) bahwa manajemen diri diabetes terdiri dari pengobatan,

diet, olahraga, dan pemantauan kadar glukosa dalam darah.

Dalewitz, Khan, dan Hershey, serta Rubin dan Peyrot (dalam Keers et al.,

2004) menyebutkan bahwa banyak pasien mengalami kesulitan untuk melakukan

manajemen diri diabetes, sehingga mengakibatkan kontrol glukosa buruk.

Penelitian Hasanat (2008) untuk mengetahui aspek psikologik pasien diabetes

ketika mereka melakukan manajemen diri dengan menggunakan Focus Group

Discussion (FGD) pada subjek 20 pasien diabetes rawat jalan menemukan,

bahwa sebagian dari mereka mempunyai perasaan tidak nyaman ketika

menjalani pengobatan, takut pada saat awal harus diet, mempunyai kesulitan

dalam menjalankan diet. Kesulitan ini antara lain kesulitan dalam mengendalikan

diri, mengontrol keinginan, mengatur 3J (jenis, jumlah, jadwal) makan, merasa

jenuh, dan bosan berolah raga. Kesulitan-kesulitan tersebut antara lain dapat

dilihat dalam kutipan berikut ini (Hasanat, 2008):

Ketidak nyamanan pasien ketika menjalani pengobatan:

Tadinya memang ada pengalaman ini saya. Waktu itu saya dinyatakan “wah ini anu obatnya seumur hidup”...rasanya kayak agak shock gitu ya..”ah masak iya..mau diinsulin kan saya nggak mau “ah, nggak mau, dibilang diinsulin”..tapi ini minum obatnya seumur hidup... Pasien mengalami kesulitan ketika menjalani diet dan mengatur 3J: ...saya pikir saya sudah bisa tahu sendiri...yang saya tanyakan, kenapa kok saya nggak bisa diet? Lha kuwi lho, tahu 3 J tapi prakteknya sulit..itu yang mau saya tanyakan...kenapa kok saya itu...

Pasien merasa bosan berolah raga: ....kalau sudah e...olah raga, rutin, semakin lama semakin bosan itu...sering-sering saya “ya sudahlah saya terima” begitu...

10

Penelitian Ayusmi (2008) ketika melakukan pelatihan manajemen stres

untuk meningkatkan manajemen diri pada penyandang diabetes Tipe II di salah

satu Puskesmas Sleman, menemukan salah satu peserta sebelum pelatihan

dilakukan telah berusaha mengelola diabetes yang dialaminya dengan makan,

minum obat secara teratur, olahraga serta periksa rutin ke rumah sakit. Namun

demikian, usaha yang dilakukan pasien tersebut sering gagal, terutama sering

makan tidak teratur dan minum obat tidak rutin. Penelitian lain dilakukan oleh

Budiyani (2010) yang melakukan pelatihan manajemen diri untuk meningkatkan

kepatuhan diet pada penyandang diabetes Tipe II di salah satu Puskesmas

Sleman. Sebelum pelatihan dilakukan, tiga peserta mengalami kesulitan untuk

menjalani diet (salah satu komponen dalam manajemen diri diabetes), terkait

dengan jumlah, jadwal, dan jenis makanan yang dikonsumsi. Berdasarkan data-

data tersebut dapat dilihat bahwa kesulitan melakukan manajemen diri diabetes

selain terjadi di masyarakat Barat juga terjadi di masyarakat Indonesia, sehingga

semakin menguatkan alasan peneliti untuk meneliti manajemen diri diabetes di

Indonesia.

Pada seseorang yang menyandang penyakit kronik, kualitas hidup

mendapat perhatian ketika pasien melakukan manajemen terhadap penyakitnya,

yaitu seberapa jauh penyakit dan tritmennya mempengaruhi aktivitas kehidupan

sehari-hari, misal tidur, makan, bekerja, serta aktivitas rekreasional (Taylor,

2006). Kualitas hidup adalah seberapa besar seseorang merasa kehidupannya

baik atau buruk (Sing & Bradley, 2006). Pentingnya kualitas hidup pasien

diabetes ini tampak dari perhatian dari profesional kesehatan, yang memandang

kualitas hidup sebagai hasil dari manajemen diabetes (Sing & Bradley, 2006).

Manajemen diabetes yang baik merupakan hal yang penting untuk mencapai

kontrol kadar gula dan menurunkan komplikasi diabetes, dan selanjutnya akan

menghasilkan kualitas hidup yang baik (Misra & Lager, 2008). Oleh karena itu

11

penelitian manajemen diri diabetes ini merupakan langkah awal penting agar

selanjutnya dapat mengetahui kualitas hidup pasien.

2. Faktor-Faktor Psikososial yang Memengaruhi Manajemen Diri

Diabetes

Berdasarkan kajian yang sudah disebutkan sebelumnya, tampak bahwa

manajemen diri terhadap diabetes merupakan proses yang kompleks, yang

menuntut tanggung jawab pasien, sehingga dalam penelitian diabetes sejumlah

variabel psikologik yang relevan dengan manajemen diri diidentifikasi. Menurut

Cox dan Gonder-Frederick (1992), identifikasi terhadap variabel psikologik ini

penting, sebagai dasar untuk melakukan intervensi agar pasien diabetes dapat

meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan fisik. Variabel psikologik yang

dibahas oleh Cox dan Gonder-Frederick (1992) ini adalah karakteristik pasien,

faktor sosial dan keluarga, faktor lingkungan dan kontingensi perilaku (behavioral

contingencies). Kontingensi perilaku ini perlu diperhatikan mengingat dari

perspektif perilaku, kemajuan dalam manajemen diri, tetapi disertai dengan

kegagalan dalam mencapai glukosa darah normal, akan berdampak pada usaha

pasien berikutnya untuk melakukan manajemen diri.

Menurut Baumeister, Tice, dan Heatherton (1994) prinsip dasar agar

efektif dalam melakukan manajemen diri diabetes adalah mengetahui kekuatan

dan kelemahan pasien serta menyusun komitmen, sehingga faktor psikososial

penting dipertimbangkan dalam manajemen diabetes (Delamater, Jacobson,

Anderson, Cox, Fisher, Lustman et al., 2001). Bahkan Feifer dan Tansman

(1999) menyatakan bahwa manajemen diabetes yang lebih baik akan tercapai

jika komponen psikologik secara eksplisit masuk ke dalam tritmen diabetes.

Sebenarnya, ADA (dalam Feifer & Tasman, 1999) pada tahun 1998

sudah menyusun standar perawatan diabetes. Pada standar tersebut ADA

12

menyarankan agar dokter bekerja secara tim, termasuk dengan profesional

kesehatan mental agar perawatan diabetes dapat optimal. Pada standar tersebut

ADA juga sudah mencantumkan standar medik dengan mengatasi aspek-aspek

psikologik pasien yang memengaruhi manajemen diabetes. Namun demikian,

menurut Feifer dan Tasman (1999) rekomendasi tersebut belum cukup karena

cara untuk mengatasi masalah psikologik belum ditulis secara operasional dan

membiarkan petugas kesehatan untuk melakukan interpretasi dan

mengembangkan caranya sendiri.

Pada standar ADA tahun 2005 (ADA, 2005) cara mengatasi masalah

psikologik sudah lebih rinci dicantumkan, meskipun belum operasional. Sebagai

contoh, salah satu rekomendasi menyebutkan perlunya skrining masalah-

masalah psikososial, seperti depresi, gangguan makan, dan hendaya kognitif

apabila kepatuhan terhadap aturan-aturan medis rendah. Rekomendasi tersebut

menganjurkan bahwa tritmen psikologik hendaknya dimasukkan ke dalam

perawatan rutin daripada menunggu identifikasi adanya masalah psikologis pada

pasien. Standar ADA tersebut menyebutkan bahwa salah seorang ahli dalam tim

perawatan medik bagi pasien diabetes adalah seorang profesional dalam

kesehatan mental dan yang berminat dalam diabetes. Pada tahun 2013

rekomendasi tersebut sudah ditambahkan dengan menyebutkan bahwa

hendaknya dokter merujuk kepada profesional jika pasien perlu mendapatkan

tritmen psikologis (ADA, 2013).

Di Indonesia dalam buku “Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu”

(Pusat Diabetes dan Lipid, 2013) bagian kedua, yaitu materi penyuluhan pasien,

hanya terdapat satu materi tentang “stres emosional pada penyandang diabetes”

di antara sembilan materi (Semiardji, 2013). Hal ini menunjukkan masih

kurangnya perhatian pada aspek psikologik pasien, meskipun dalam materi

strategi edukasi diabetes sudah disebutkan bahwa salah satu anggota tim

13

edukator adalah psikolog (Soegondo, 2013a). Menurut peneliti, dengan

dicantumkannya aspek psikologik pada penatalaksanaan diebetes di Indonesia

dan secara eksplisit telah disebutkan bahwa psikolog merupakan edukator

diabetes, seharusnya psikolog menjadi salah satu anggota tim perawatan

diabetes pasien. Namun sejauh pengamatan peneliti, hal tersebut belum

terealisasi, sehingga aspek psikologik pasien dalam perawatan atau manajemen

diabetes belum sepenuhnya mendapat perhatian.

Cox dan Gonder-Frederick (1992) dalam tulisannya tentang

perkembangan riset diabetes dari sisi ilmu perilaku, menyebutkan ada bukti

bahwa variabel psikososial merupakan buffer atau penyangga efek negatif dari

stres terhadap glukosa darah. Variabel itu adalah dukungan sosial, kompetensi

sosial, coping style. Penelitian Glasgow, Toobert, dan Gillette (2001)

memfokuskan pada tiga konstrak psikologik dan dua faktor sosial/interpersonal

yang secara teoretik penting dan dapat diterapkan dalam kedokteran perilaku,

serta merupakan faktor penghambat untuk mencapai manajemen diri dan

kualitas hidup. Tiga konstrak psikologik tersebut, yaitu efikasi diri, personal illness

models (misal keyakinan tentang konsekuensi menyandang diabetes dan

efektivitas tritmen) dan health beliefs, serta depresi. Faktor sosial yang diteliti

adalah stres dan dukungan dari teman dekat dan keluarga. Glasgow et al. (2001)

menyebut faktor psikologik dan sosial/interpersonal sebagai faktor psikososial.

Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa konstrak yang paling kuat dan

secara konsisten berhubungan dengan rendahnya manajemen diri dan kualitas

hidup adalah rendahnya efikasi diri dan rendahnya dukungan sosial, yang

berasal dari keluarga.

Pada tulisan Landel-Graham, Yount, Rudnicki (2003), disebutkan dan

dibahas enam faktor psikososial dalam manajemen diabetes, yaitu pengetahuan

pasien tentang diabetes, stres, depresi, dukungan sosial, hubungan antara

14

dokter dengan pasien, serta hambatan dalam menjalani manajemen yang

dipersepsi oleh pasien dan gaya coping. Pemilihan keenam faktor tersebut

berdasarkan alasan bahwa sejumlah penelitian fokus pada faktor tersebut,

intervensi yang dilakukan juga banyak yang memfokuskan pada faktor tersebut,

dan relevansi secara klinis, yaitu banyaknya kasus yang ditemukan di lapangan.

Selain penelitian dan kajian yang telah disebutkan, Delamater et al.

(2001) melakukan reviu penelitian ilmu perilaku terkait faktor psikososial dan

terapi dalam diabetes. Dalam reviu tersebut ditemukan faktor-faktor yang sering

digunakan oleh peneliti-peneliti terkait manajemen diri diabetes, yaitu adjustment,

depresi, faktor keluarga seperti stres, konflik organisasi dan kohesivitas, serta

keterampilan komunikasi dalam keluarga sebagai faktor psikososial. Selain itu

penelitian tersebut juga menggunakan coping, health beliefs, efikasi diri, learned

helplessness (ketidakberdayaan yang dipelajari), dukungan, dan kualitas hidup.

Delamater et al. (2001) menyimpulkan bahwa faktor psikososial berperan dalam

manajemen diri diabetes pada anak dan dewasa.

Penelitian Sarkar, Fisher, dan Schillinger (2006) menemukan ada

hubungan yang signifikan antara efikasi diri dengan perilaku manajemen

diabetes, yaitu diet, olah raga, pemantauan glukosa darah, dan perawatan kaki.

Efikasi diri adalah keyakinan seseorang terhadap kemampuannya untuk

mengorganisir dan melakukan tindakan untuk mencapai performansi (Bandura,

1989). Performansi dalam hal ini terkait dengan manajemen diri diabetes.

Ketika seseorang mengalami diabetes, lingkungan keluarga merupakan

penentu potensial yang memengaruhi adaptasi pasien (Anderson, 2002). Oleh

karena itu hubungan interpersonal di dalam keluarga berpengaruh terhadap

manajemen diri diabetes. Salah satu kajian yang banyak dilakukan adalah

expressed-emotion (EE), yang didefinisikan sebagai spontanitas keluarga secara

emosional dalam membicarakan pasien (Butzlaff & Hooley, 1998). Konsep awal

15

EE meliputi emosi positif dan negatif, namun pada penelitian-penelitian EE

selanjutnya lebih fokus pada emosi negatif (Wearden, Tarrier, Barrowclough,

Zastowny, & Rahill, 2000a). Menurut Heltz dan Templeton (dalam Koeniegsberg,

Klausner, Chung, Pelino, & Campbell, 1995), kontrol glukosa dipengaruhi oleh

faktor emosi keluarga. Keluarga dengan EE tinggi dipandang sebagai sumber

stres oleh pasien dan selanjutnya akan memengaruhi kadar glukosa darah

melalui mekanisme endokrin (Goetsch, dalam Wearden, Tarrier, dan Davies,

2000b). Stres akan mengakibatkan bertambahnya hormon yang dapat

menaikkan kadar gula darah (Sapolsky et al., dalam Musselman, Bowling, Giles,

Larsen, Betan, & Phillips, 2007).

Penelitian Wearden et al. (2000b) menemukan bahwa pasien diabetes

dengan pasangan yang mempunyai EE tinggi, yaitu memberikan komentar kritis

(critical comments) dan keterlibatan yang berlebihan (emotional-overinvolvement)

mempunyai manajemen diri rendah. Wearden et al. (2000b) menjelaskan bahwa

pasien dengan pasangan EE tinggi akan mempunyai penyesuaian antar mereka

(dyadic adjustment) yang buruk, memandang penyakit diabetes yang dialami

sebagai sesuatu hal yang buruk, dan mengalami depresi karena merasa tidak

efektif dalam melakukan manajemen diabetes.

Penelitian awal Hasanat (2010) tentang EE pada pasien diabetes dengan

menggunakan metode FGD pada 10 orang pasien diabetes menemukan bahwa

berbeda dengan hasil penelitian di negara Barat, EE dari keluarga berpengaruh

positif terhadap manajemen diri. Penelitian Wearden et al. (2000b) seperti yang

telah disebut di depan menunjukkan bahwa ketika keluarga pasien diabetes

mengekspresikan komentar kritis (critical comments) dan keterlibatan yang

berlebihan (emotional over-involvement), misal sangat khawatir, akan

mengakibatkan manajemen diri mereka rendah. Pada penelitian Hasanat (2010)

ditemukan bahwa ketika keluarga pasien sangat khawatir, maka pasien akan

16

berhati-hati dalam melakukan manajemen diri. Ada kemungkinan di Indonesia

apabila keluarga sangat khawatir maka dianggap sebagai bentuk perhatian. Hal

ini sesuai dengan pendapat Bhugra dan McKenzie (2003) yang menyatakan

bahwa keterlibatan yang berlebihan dari keluarga di dunia Barat dianggap

sebagai patologis, karena “menyerang” individu, sedangkan pada budaya lain

dianggap sebagai hal biasa. Bahkan, ketika keluarga memberikan komentar

kritis, dalam penelitian Hasanat (2010) ada pasien yang menganggap sebagai

kritik membangun.

Selain terkait dengan keluarga, pasien diabetes banyak berinteraksi

dengan orang lain selama mereka melakukan manajemen diri. Pasien akan

mendapatkan dukungan sosial, yang merupakan sumber daya berupa informasi

atau lainnya (Cohen & Syme, 1985). Dukungan sosial ini merupakan hubungan

timbal balik dari orangtua, pasangan, anggota keluarga lain, teman, dan kontak

sosial serta komunitas (Rietschih, dalam Taylor, 2006). Sebagai contoh, dalam

penelitian Hasanat (2008) ditemukan dukungan sosial yang berasal antara lain

dari keluarga, dokter, maupun dari komunitas sesama pasien diabetes.

Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah disebutkan di depan, dapat

disimpulkan bahwa variabel-variabel yang diteliti dapat dikelompokkan menjadi

faktor psikologik dan sosial/interpersonal. Mengacu pada Glasgow, et al. (2001)

dan Gonder-Frederick et al. (2002), dalam penelitian ini variabel psikologik dan

sosial/interpersonal disebut sebagai faktor psikososial.

Pemilihan variabel yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan hasil

penelitian Hasanat (2008, 2010). Tidak semua variabel yang ditemukan dalam

penelitian tersebut digunakan dalam penelitian ini. Faktor psikologik yang dipilih

adalah depresi berdasarkan hasil temuan Hasanat (2008) bahwa pasien merasa

sedih, frustrasi, mudah tersinggung pada saat mereka melakukan manajemen

diabetes. Gejala-gejala ini merupakan sebagian dari ciri-ciri individu depresi

17

(Beck, 1985). Pemilihan variabel depresi juga diperkuat oleh banyaknya temuan

yang menunjukkan bahwa pasien diabetes mengalami depresi (Goldney, Phillips,

Fisher, & Wilson, 2004; Lustman, Griffth, Gavard, & Clouse; Kovacs, Goldston,

Obrosky, & Bonar, dalam Wysocki & Buckloch, 2004). Penelitian Donsu (2014)

menemukan sebagian besar subjek penelitiannya, yaitu pasien diabetes Tipe 2

mengalami depresi sedang, sedangkan penelitian Listiana (2005) menemukan

sebagian besar subjek penelitiannya mengalami depresi berat. Ketika seseorang

menyandang diabetes dan kemudian mengalami depresi, maka depresi yang

dialami dapat mengakibatkan mereka mengalami hambatan untuk menjalani

tritmen (Lustman, Griffth, & Clouse, dalam Wysocki & Buckloh, 2004), dalam hal

ini melakukan manajemen diri.

Faktor personal lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah efikasi

diri. Temuan Hasanat (2008) menunjukkan bahwa pasien mengalami kesulitan

dalam menjalani manajemen diri, sehingga penulis mengambil efikasi diri, untuk

melihat keyakinan pasien terhadap kemampuannya untuk melakukan

manajemen diri. Di sisi lain, ditemukan hubungan positif antara efikasi diri

dengan kepatuhan terhadap swakelola makanan (Fathiyah, 2004). Swakelola

makanan adalah kata lain dari manajemen diri dalam hal makanan atau diet.

Pemilihan variabel efikasi diri ini diperkuat oleh pernyataan Taylor (2006) bahwa

efikasi diri merupakan fokus penting dalam semua pasien penyakit kronik,

khususnya diabetes. Demikian juga hasil penelitian Sarkar et al. (2006) serta

Wagner, Tennen, dan Osborn (2010) menunjukkan terdapat hubungan antara

efikasi diri dengan manajemen diri pada pasien diabetes.

Faktor sosial/interpersonal dalam penelitian ini dipilih expressed-emotion,

sesuai dengan hasil penelitian Hasanat (2010), juga didukung hasil penelitian

Koenigsberg et al. (1995), serta Wearden et al. (2000b). Faktor sosial/

interpersonal lain adalah dukungan sosial. Hal ini sesuai dengan temuan

18

Hasanat (2010), yaitu ada dukungan sosial ketika pasien melakukan manajemen

diri, serta hasil penelitian lainnya (Lanting et al., 2008; Skarbek, 2006; Skinner &

Hampson, 1998; Skinner, John & Hampson, 2000), yang menunjukkan ada

hubungan antara dukungan sosial dan manajemen diri pada pasien diabetes.

Rangkuman penelitian-penelitian faktor-faktor psikososial yang memengaruhi

manajemen diri pada pasien diabetes dapat dilihat pada Tabel 1 dan Lampiran A.

Tabel 1 Rangkuman Penelitian Faktor-Faktor Psikososial yang Memengaruhi Manajemen Diri pada Pasien Diabetes

Faktor Psikososial Peneliti

1. Adjustment Delamater et al. (2001) 2. Coping Delamater et al. (2001) 3. Depresi Delamater et al. (2001); Glasgow et

al. (2001); Goldney et al. (2004); Hasanat (2008); Lustman et al.; Kovacs et al. (dalam

Wysocki & Buckloch, 2004) 4. Dukungan sosial Anderson et al. (dalam Landel-

Graham et al., 2003); Delamater et al. (2001);

Glasgow et al. (2001); Hasanat (2008); Lanting et al. (2008);

Skarbek (2006);??>< Skinner & Hampson (1988); Skinner et al. (2000)

5. Efikasi diri Delamater et al. (2001) Glasgow et al. (2001); Sarkar et al.

(2006); Wagner et al. (2010) 6. Expressed-emotion Koenigsberg et al. (1995)

Hasanat (2010); Wearden et al. (2000b)

7. Faktor keluarga Delamater et al. (2001) 8. Health belief Delamater et al. (2001) 9. Hubungan antara pasien

dan dokter Kaplan et al. (dalam Landel-Graham et al., 2003)

10. Kualitas hidup Delamater et al. (2001) 11. Learned helplessness Delamater et al. (2001) 12. Pengetahuan Beeney et al. (dalam Landel-Graham

et al., 2003) 13. Personal Illness Model Glasgow et al. (2001) 14. Stres Cox & Gonder-Frederick, 1992)

Glasgow et al. (2001)

Seperti telah disebutkan di depan, banyak penelitian menemukan bahwa

pasien diabetes mengalami depresi (Goldney, Phillips, Fisher, & Wilson, 2004;

19

Lustman, Griffth, Gavard, & Clouse; Kovacs, Goldston, Obrosky, & Bonar, dalam

Wysocki & Buckloch, 2004). Penelitian-penelitian juga menemukan faktor-faktor

yang memengaruhi depresi pada pasien diabetes, yaitu efikasi diri (Grey,

Sullivan-Bolyai, Boland, Yu & Tamborlane, serta Grey & Boland et al., dalam

Howells, 2002; Padgett, 1991), ketegaran/hardiness dan dukungan sosial

(Listiana, 2005), dukungan sosial (Connell et al., 1994; Dewi, 2011; Listiana,

2005; Skinner & Hampson, 1998), dan expressed-emotion (Wearden et al.,

2000a, 2000b). Pada penelitian disertasi ini kontribusi efikasi diri, dukungan

sosial, dan expressed-emotion terhadap depresi juga dilihat.

Berdasarkan kajian faktor-faktor yang memengaruhi manajemen diri

diabetes dan faktor-faktor yang memengaruhi depresi tersebut di depan, maka

dapat disimpulkan bahwa terdapat faktor-faktor yang berpengaruh langsung

terhadap manajemen diri dan faktor-faktor yang berpengaruh langsung terhadap

depresi. Penelitian disertasi ini menggunakan desain survei cross-sectional, yang

bersifat korelasional (Shaughnessy, Zechmeister, & Zechmeister, 2007). Dengan

demikian dalam penelitian ini, diuji hubungan secara langsung efikasi diri,

dukungan sosial, expressed-emotion, dan depresi dengan manajemen diri dan

hubungan langsung efikasi diri, dukungan sosial, dan expressed-emotion

terhadap depresi. Berdasarkan pertimbangan adanya pengaruh langsung

langsung efikasi diri, dukungan sosial, expressed-emotion terhadap depresi dan

pengaruh langsung depresi terhadap manajemen diri diabetes, maka peneliti

meletakkan variabel depresi sebagai mediator. Dengan demikian dalam disertasi

ini diuji pula hubungan tidak langsung antara efikasi diri, dukungan sosial, dan

expressed-emotion dengan manajemen diri diabetes melalui depresi.

Selain faktor-faktor psikososial yang memengaruhi manajemen diri

diabetes tersebut, ada aspek lain yang perlu diperhatikan. Sundberg,

Winebarger, dan Taplin (2002) menyatakan bahwa seseorang bersedia

20

mengikuti petunjuk medik dipengaruhi antara lain oleh usia dan jenis kelamin.

Misalnya, remaja kurang patuh (catatan: Sundberg et al. menggunakan kata

kepatuhan atau adherensi) untuk mengikuti diet atau menyuntik insulin bagi

remaja penyandang diabetes yang tergantung insulin. Pada usia lansia, misal 75

tahun ke atas, ketidak patuhan kemungkinan karena pasien lupa dengan

petunjuk yang sudah diberikan pihak medik. Contoh lain, wanita di Amerika

(dalam Sundberg et al., 2002) kurang mematuhi petunjuk (misal meminum obat

penurun kadar gula darah), yang diyakini akan menaikkan berat badan. Faktor

lain yang peneliti duga memengaruhi manajemen diri yaitu lama sakit. Sebagai

penyakit kronis, pasien akan melakukan manajemen diri diabetes secara terus-

menerus. Oleh karena itu peneliti menduga lama sakit akan memengaruhi

manajemen diri yang dilakukan. Penelitian-penelitian yang telah disebutkan

sebelumnya juga menunjukkan adanya penggunaan jenis pengobatan yang

berbeda pada pasien diabetes, yaitu obat oral dan insulin. Oleh karena itu aspek

usia, jenis kelamin, lama sakit, serta jenis pengobatan diperhatikan dalam

analisis data.

3. Permasalahan Teoretik yang Mendasari Manajemen Diri Diabetes

Ada beberapa teori yang digunakan untuk menjelaskan perilaku sehat.

Teori-teori tersebut antara lain Social Cognitive Theory (SCT) dari Bandura, The

Health Belief Model (HBM), The Theory of Reasoned Action (TRA) dan The

Theory of Planned Behavior (TPB), dan The Health Action Process Approach

(HAPA).

Apabila dibandingkan antara teori satu dengan teori lainnya, terjadinya

perilaku sehat dapat dijelaskan secara ringkas sebagai berikut: SCT memandang

faktor perilaku, personal dan lingkungan saling memengaruhi (Bandura, 1989);

HBM lebih fokus melihat bahwa perilaku terjadi karena keyakinan seseorang

21

tentang beratnya penyakit yang diterima dan kerentanan terhadap penyakit

(Becker, dalam Doherty, James, & Roberts, 2000); TRA dan TPB fokus pada

intensi (Ajzen, 1991); HAPA menekankan pentingnya ekspektasi terhadap hasil

dan efikasi diri (dalam Doherty et al., 2000). Berdasarkan tulisan tersebut,

menurut penulis, selain SCT, teori-teori lain lebih berfokus pada faktor personal

sebagai faktor yang memengaruhi munculnya perilaku. Oleh karena itu penulis

memandang manajemen diri dalam penelitian ini lebih tepat dijelaskan dari sudut

pandang SCT atau Teori Kognitif Sosial, karena lebih lengkap dalam

memandang munculnya perilaku.

Alasan lain menggunakan Teori Kognitif Sosial -yang memerhatikan

unsur lingkungan- ,sebagai dasar penelitian disertasi ini yaitu bahwa sebagian

besar proses manajemen diri diabetes dilakukan oleh pasien. Anderson dan

Funnel (2002) menyatakan bahwa lebih dari 98% manajemen diri tersebut

dilakukan oleh pasien. Artinya, ada kemungkinan pasien melakukan manajemen

diri ketika berada di tengah keluarga bukan dalam situasi perawatan di Rumah

Sakit. Penelitian Hasanat (2008) pada keluarga pasien diabetes menunjukkan

bahwa keluarga (anak, suami/isteri) berperan dalam manajemen diri pasien. Oleh

karena itu dengan berlandaskan Teori Kognitif Sosial penelitian disertasi ini

memperhatikan unsur lingkungan, antara lain keluarga dalam mendampingi

pasien melakukan manajemen diri.

Menurut Bandura (1989), faktor perilaku, kognisi, dan faktor personal

lainnya, serta faktor lingkungan saling memengaruhi satu sama lain. Kekuatan

Teori Kognitif Sosial terletak pada kelengkapan faktor yang membangun perilaku,

yaitu faktor personal dan lingkungan, bukan hanya dari satu faktor personal atau

lingkungan saja. Selain itu, faktor-faktor tersebut tidak berdiri sendiri, namun

saling berinteraksi dan bahkan saling memengaruhi untuk memunculkan

perilaku. Artinya, faktor personal dapat memengaruhi perilaku dan lingkungan

22

dan sebaliknya faktor perilaku dan lingkungan memengaruhi personal. Selain

kekuatan tersebut, terdapat kelemahan Teori Kognitif Sosial. Salah satu kritik

terhadap Teori Kognitif Sosial mengatakan bahwa teori tersebut kurang

mempertimbangkan emosi (http://sphweb.bumc.bu.edu/otlt/MPH-Modules/SB/

SB721-Models/SB721-Models 5.html). Oleh karena itu, dalam penelitian disertasi

ini melibatkan variabel depresi, sebagai salah satu bentuk emosi.

Berdasarkan Teori Kognitif Sosial ini, dapat dilihat bahwa manajemen diri

diabetes (perilaku) dipengaruhi oleh faktor personal (efikasi diri; depresi), serta

faktor lingkungan (dukungan sosial; expressed-emotion keluarga), atau dalam

penelitian ini disebut faktor psikososial. Dengan demikian faktor psikososial yang

akan diteliti adalah efikasi diri, depresi, dukungan sosial dan expressed-emotion

keluarga. Dukungan sosial dan expressed-emotion keluarga diukur dari persepsi

pasien diabetes, yaitu persepsi terhadap dukungan sosial dan persepsi terhadap

ekspresi emosi keluarga.

Variabel efikasi diri, dukungan sosial, dan depresi merupakan variabel

yang sering diteliti pengaruhnya terhadap manajemen diri diabetes (lihat Tabel

1). Berbeda dengan variabel-variabel tersebut, sepanjang pengetahuan penulis,

expressed-emotion merupakan variabel yang belum banyak diteliti dalam

kaitannya dengan manajemen diri diabetes. Expressed-emotion merupakan

konsep yang dikembangkan sejak tahun 1960 untuk menjelaskan dan

memprediksi penyakit mental dan fisik dalam berbagai budaya (Bhugra &

McKenzie, 2003). Hasil metaanalisis 27 penelitian dengan subjek skizofrenia

menunjukkan bahwa EE merupakan prediktor yang signifikan dan kuat terhadap

kambuhnya skizofrenia di negara Barat (Bhugra & McKenzie, 2003). Penelitian di

Inggris pada keluarga Asia menunjukkan bahwa EE tinggi pada keluarga bukan

merupakan prediktor kambuhnya skizofrenia (Bhugra & McKenzie, 2003).

Meskipun contoh yang disebutkan merupakan penelitian pada skizofrenia, bukan

23

pada diabetes, namun berdasarkan lamanya sakit, diabetes dapat disejajarkan

dengan skizofrenia, yaitu sebagai penyakit kronik. Artinya, hasil penelitian

expressed-emotion pada pasien skizofrenia dapat digunakan untuk memprediksi

hasil penelitian pada pasien diabetes. Telah disebutkan di depan, penelitian awal

Hasanat (2010) menemukan bahwa EE dari keluarga mempunyai kontribusi

positif terhadap manajemen diri diabetes. Dengan demikian, ketika variabel EE

dilibatkan dalam penelitian ini, terdapat hasil penelitian baru yang dapat

menjelaskan kontribusi EE terhadap manajemen diri pada pasien diabetes Tipe II

di Indonesia.

B. Perumusan Masalah

Diabetes, sebagai salah satu penyakit kronik, memerlukan pengelolaan

agar tidak terjadi komplikasi. Pengelolaan ini dikenal dengan istilah manajemen

diri diabetes, yang terdiri dari pengobatan, diet, olahraga dan pemantauan kadar

glukosa dalam darah. Manajemen diri ini lebih kuat untuk dilakukan oleh pasien

diabetes Tipe II daripada Tipe I, mengingat munculnya diabetes Tipe II lebih

banyak dipicu oleh gaya hidup, Kondisi pasien diabetes Tipe II akan lebih baik

apabila pasien mengubah gaya hidupnya melalui manajemen diri.

Manajemen diri diabetes yang dilakukan pasien dipengaruhi oleh faktor

psikososial. Oleh karena itu, dalam penelitian ini diteliti faktor-faktor psikososial

yang mempunyai kontribusi terhadap manajemen diri diabetes Tipe II. Faktor-

faktor psikososial yang diteliti yaitu efikasi diri, depresi, dukungan sosial dan

expressed-emotion. Dengan demikian muncul pertanyaan: apakah faktor

psikososial yang diteliti mempunyai kontribusi terhadap manajemen diri

diabetes? Seberapa besar kontribusi masing-masing faktor psikososial tersebut

terhadap manajemen diri diabetes? Apabila pertanyaan-pertanyaan tersebut

24

terjawab, maka akan tersusun sebuah model manajemen diri diabetes dengan

mempertimbangkan faktor psikososial yang mempunyai kontribusi terhadap

manajemen diri diabetes tersebut.

C. Tujuan

Penelitian ini dengan tema utama manajemen diri pada pasien diabetes

dilakukan sebagai bagian dari usaha untuk mengetahui sebagian tema tentang

manajemen diri pada pasien penyakit kronik. Penelitian ini bertujuan untuk

menjelaskan faktor-faktor psikososial yang berkontribusi terhadap manajemen

diri diabetes pada pasien diabetes Tipe II secara empirik. Penelitian ini juga

bertujuan untuk mengetahui model kontribusi expressed-emotion terhadap

manajemen diri pada pasien diabetes Tipe II di Indonesia.

D. Manfaat

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Teoretik.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk pengembangan

ilmu, terutama Psikologi Klinis-Kesehatan, serta menambah khazanah

pengetahuan di bidang Psikologi Kesehatan. Penelitian ini sekaligus

menunjukkan peran nyata Psikologi dalam bidang kesehatan, khususnya dalam

manajemen diabetes.

2. Praktis.

Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk memberikan rekomendasi

kepada tim medik dan edukator diabetes pentingnya memperhatikan faktor

psikososial pasien dalam membantu pasien mengelola penyakitnya. Selain itu

25

hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan edukasi bagi pasien diabetes

dalam mengelola penyakitnya.

E. Keaslian Penelitian

Berikut ini penelitian-penelitian manajemen diri yang sudah dilakukan oleh

peneliti sebelumnya:

1. Disertasi Skarbek (2006) dengan judul “psychosocial predictors of self-care

behaviors in type 2 diabetes mellitus patients: analysis of social support, self-

efficacy, and depression”, menggunakan istilah self-care (perawatan diri) secara

bergantian dengan self-management (manajemen diri). Tujuan dari penelitian

yang dilakukan Skarbek (2006) yaitu untuk menguji peran dukungan sosial,

efikasi diri dan depresi dalam perilaku perawatan diri pasien diabetes Tipe II.

Penelitian tersebut menggunakan pendekatan kuantitatif. Penelitian ini juga

menggunakan tiga variabel tersebut dan menggunakan pendekatan kuantitatif,

namun menambah satu variabel, yaitu expressed-emotion.

Penambahan variabel EE ini menjadi penting artinya dalam penelitian ini,

mengingat dalam hasil penelitian awal Hasanat (2010) tentang EE yang telah

disebutkan di depan menunjukkan perbedaan dengan temuan penelitian di

negara Barat. Pada penelitian Hasanat tersebut ditemukan bahwa keterlibatan

yang berlebihan dari keluarga terhadap pasien diabetes, berupa perasaan

sangat khawatir, dimaknai oleh pasien sebagai bentuk perhatian keluarga

kepadanya. Di negara Barat (Bughra & McKenzie, 2003), keterlibatan keluarga

yang berlebihan dianggap sebagai patologis. Oleh karena itu penelitian dalam

disertasi ini diharapkan menghasilkan temuan baru tentang EE pada subjek

pasien diabetes di Indonesia.

Pada penelitian ini, dukungan sosial tidak dibedakan menjadi dukungan

sosial positif dan negatif seperti pada penelitian Skarbek (2006), namun terdiri

26

beberapa jenis dukungan sosial, yaitu dukungan informasi, emosional, penilaian

dan instrumental, serta terbagi sumber dukungan sosial yang berasal dari

keluarga/pasangan, teman dan sesama pasien, serta dari dokter dan perawat.

2. Disertasi Xu (2005) dengan judul “understanding the factors influencing

diabetes self-management in Chinese people with type 2 diabetes using

structural equation modeling”, bertujuan untuk menguji sebuah model yang

menggambarkan pengaruh faktor individu dan lingkungan pada manajemen diri

diabetes dengan menggunakan analisis structural equation modeling (SEM). Xu

(2005) menyamakan istilah self-management dengan self-care. Faktor individu

yang digunakan dalam penelitian tersebut yaitu pengetahuan, kepercayaan

terhadap tritmen, dan efikasi diri khusus diabetes. Faktor lingkungan yang

digunakan yaitu dukungan sosial dan komunikasi antara dokter dengan pasien.

Analisis yang digunakan dalam disertasi ini menggunakan analisis jalur

untuk menguji faktor-faktor psikososial yang berkontribusi terhadap manajemen

diri diabetes. Analisis jalur mempunyai fungsi yang sama dengan analisis SEM.

Analisis jalur dapat menguji beberapa variabel eksogen dan endogen sekaligus,

sehingga memungkinkan untuk menguji variabel mediator atau intervening/

antara. Analisis jalur juga dapat digunakan untuk mengukur hubungan langsung

antar variabel maupun hubungan tidak langsung (Ghozali, 2008; Maruyama,

1998). Perbedaannya yaitu pada analisis dengan SEM memasukkan kesalahan

pengukuran (measurement error) pada model, sedangkan pada analisis jalur

tidak memasukkan kesalahan pengukuran ini.

Variabel yang digunakan dalam penelitian disertasi ini berbeda dengan

Xu (2005). Pada penelitian disertasi ini, efikasi diri dan depresi merupakan faktor

individu atau personal, sedangkan dukungan sosial, expressed-emotion keluarga

terhadap pasien, merupakan faktor lingkungan.

27

2. Tesis Merrill (2008), dengan judul “perceived spousal criticism, self-

efficacy, and adherence to diet and exercise self-care behaviors in adults with

type 2 diabetes”, meneliti pengaruh kritik pasangan, efikasi diri terhadap

kepatuhan diet dan olah raga. Kritik pasangan diukur dengan empat macam

pengukuran.

Berbeda dengan penelitian tersebut, disertasi ini menguji kontribusi

expressed-emotion terhadap manajemen diri dan bukan kepatuhan. Selain itu

expressed-emotion tidak hanya terbatas menggunakan ekspresi emosi berupa

kritik pasangan, namun juga ekspresi lain yang berasal dari keluarga dekat

pasien, yaitu berupa EOI (emotional over-involvement) atau keterlibatan

berlebihan dan hostility (permusuhan), serta memasukkan warmth (kehangatan)

dan positive remarks (ungkapan positif).

3. Disertasi Rahim-Williams (2004), dengan judul “African American women

with type 2 diabetes: Understanding self-management”, merupakan disertasi

dengan pendekatan kualitatif. Dalam penelitian tersebut penulisan manajemen

diri (self-management) secara bergantian digunakan secara bersamaan dengan

self-care atau perawatan diri. Penelitian tersebut bertujuan untuk mendapatkan

gambaran cara wanita keturunan campuran Afrika-Amerika dalam mengelola dan

memahami penyakitnya. Pengumpulan data dalam penelitian tersebut

menggunakan wawancara mendalam, observasi, dan alat ukur berupa Self-

Management Survey. Tema dan fokus penelitian tersebut sama dengan

penelitian dalam disertasi ini, yaitu manajemen diri diabetes, namun Rahim-

Williams ingin mengetahui bagaimana manajemen diri dilakukan oleh subjek,

sedangkan penelitian dalam disertasi ini meneliti faktor psikososial yang

berkontribusi terhadap manajemen diri. Pada penelitian Rahim-Williams tersebut

alat ukur yang digunakan tidak melalui proses ujicoba. Pada penelitian ini semua

alat ukur yang digunakan melalui proses validasi.

28

4. Disertasi Chlewbowy (2002), yang berjudul “impact of social support, self-

efficacy, and outcome expectations on self-care behaviors and glycemic control

in Caucasian and African-American adults with type 2 diabetes mellitus”, menguji

hubungan variabel psikososial, yaitu dukungan sosial, efikasi diri, dan harapan

terhadap hasil dengan perilaku perawatan diri diabetes dan kontrol glikemik.

Persamaan dengan penelitian ini adalah penggunaan dua variabel

dukungan sosial dan efikasi diri. Perbedaan antara penelitian tersebut dengan

disertasi ini adalah pada penelitian tersebut menggunakan istilah perawatan diri,

pada penelitian ini menggunakan istilah manajemen diri. Selain itu Chlewbowy

menggunakan variabel harapan terhadap hasil, sedangkan penelitian ini

memasukkan variabel depresi dan expressed-emotion.

5. Tesis Ayusmi (2008) berjudul “pelatihan manajemen stres untuk

meningkatkan manajemen diri diabetes pada penderita diabetes mellitus tipe 2” ,

menguji pengaruh pelatihan manajemen stres terhadap peningkatan manajemen

diri. Sama dengan penelitian dalam disertasi ini, penelitian Ayusmi menggunakan

variabel dependen manajemen diri diabetes. Perbedaan kedua penelitian itu

yaitu, pada penelitian disertasi ini dilakukan dengan menggunakan metode survei

dan menggunakan variabel independen efikasi diri, dukungan sosial, expressed-

emotion, dan depresi, sedangkan penelitian Ayusmi (2008) variabel

independennya adalah pelatihan manajemen stres dan metode yang dilakukan

berupa metode eksperimen.

6. Tesis Budiyani (2010) dengan judul “pelatihan manajemen diri untuk

meningkatkan kepatuhan diet pada penderita diabetes melitus tipe II” menguji

pengaruh pelatihan manajemen diri untuk meningkatkan kepatuhan diet pada

penderita diabetes melitus tipe II. Variabel independen yang digunakan Budiyani

(2010) adalah pelatihan manajemen diri, sedangkan disertasi ini menggunakan

manajemen diri sebagai variabel dependen. Metode penelitian yang digunakan

29

oleh Budiyani (2010) yaitu metode eksperimen. Baik Budiyani maupun disertasi

ini berpijak pada Teori Kognitif Sosial.

7. Tesis Ningrum, R.P. (2011) meneliti peran persepsi sakit dan strategi

koping terhadap manajemen diri penyandang diabetes mellitus tipe 2.

Persamaan penelitian Ningrum (2011) dengan disertasi ini ada pada variabel

dependen, yaitu manajemen diri, namun berbeda pada variabel independen yang

digunakan. Ningrum menggunakan peran sakit dan strategi koping sebagai

variabel dependen, sedangkan disertasi ini meneliti efikasi diri, dukungan sosial,

expressed- emotion, dan depresi. Metode penelitian yang digunakan sama, yaitu

metode survei.

8. Disertasi Donsu, J.D.T. (2014) meneliti peran faktor-faktor psikologis

terhadap depresi pada diabetes mellitus tipe-2 (DM-2). Kata “faktor-faktor

psikologis” yang digunakan oleh Donsu (2014) mirip dengan yang digunakan

dalam disertasi ini, yaitu “faktor-faktor psikososial”. Berbeda dengan Donsu

(2014), yang menggunakan variabel depresi sebagai variabel dependen,

disertasi ini menempatkan depresi sebagai salah satu variabel independen.

Ada beberapa catatan penulis terhadap karya ilmiah yang telah

disebutkan dalam Keaslian Penelitian. Catatan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Pada penelitian Rahim-Williams (2004), Rahim-Williams menggunakan

konsep “The Cultural Construction and Explanatory Model of Health and Illness”,

sedangkan Chlewboy (2002), Merril (2005), Skarbek (2006), Xu (2005),

menyebut Teori Kognitif Sosial dari Bandura karena menggunakan variabel

efikasi diri, yang berasal dari konsep Bandura. Namun demikian, Teori Kognitif

Sosial tidak digunakan untuk menjelaskan konsep penelitian mereka secara

utuh. Penelitian disertasi ini menggunakan landasan teori berdasarkan Teori

Kognitif Sosial dari Bandura (1986, 1989).

30

2. Dari sembilan karya ilmiah yang telah disebutkan, satu menggunakan

metode kualitatif dan delapan lainnya menggunakan metode kuantitatif, dua

diantaranya menggunakan metode eksperimen. Pada disertasi Rahim-Wiiliams

(2004) jenis metode kualitatif yang digunakan adalah grounded. Tiga karya ilmiah

(Merril, 2005; Chlewboy, 2002, Skarbek, 2006) menggunakan analisis statistik

korelasi, t-test, untuk menganalisis variabel satu per satu. Tiga tesis lainnya,

yaitu Ayuzmi (2008) menggunakan anava, Budiyani (2010) menggunakan

analisis non parametrik untuk menguji perbedaan kepatuhan diet subjek sebelum

dan sesudah pelatihan, dan Ningrum (2011) menggunakan analisis mediasi. Dua

disertasi (Donsu, 2014; Xu, 2005) menggunakan Structural Equation Model

(SEM). Pada penelitian disertasi ini analisis data menggunakan analisis jalur.