BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/957/BAB...
-
Upload
vuonghuong -
Category
Documents
-
view
219 -
download
2
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/957/BAB...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia sebagai makhluk sosial, terkadang dalam memandang
hubungannya dengan manusia lain serasa dibatasi oleh sekat-sekat perbedaan
secara fisik. Masyarakat berperilaku berdasarkan dengan pola pikir yang telah
dikondisikan secara sosialkultural bahwa memiliki kelebihan dari orang lain
adalah wajar. Hal tersebut karena manusia dilahirkan dengan membawa gen
bawaannya masing-masing. Apabila dari perbedaan ini sampai memunculkan
prasangka, maka dapat mengakibatkan fungsi bermasyarakat kita menjadi
terganggu. Perasaan dan prasangka akan kelebihan serta perbedaan tersebut
kemudian mengendap dan berpotensi melahirkan rasisme.
Rasisme adalah suatu sistem kepercayaan atau doktrin yang menyatakan
bahwa perbedaan biologis yang melekat pada ras manusia menentukan
pencapaian budaya atau individu – bahwa suatu ras tertentu lebih superior dan
memiliki hak untuk mengatur yang lainnya (Wikipedia). Istilah rasisme
sering kali gunakan untuk menggambarkan permusuhan dan perasaan negatif
suatu kelompok etnis terhadap kelompok etnis lain. Pengertian rasisme klasik
menekankan perbedaan yang tajam terhadap warna kulit, hitam atau putih.
Kenyataannya, dalam kehidupan kita sehari-hari, rasisme justru berkembang
luas dan merambah dimensi-dimensi lain bahkan hingga perbedaan kodrati
2
yaitu gender, perempuan atau laki-laki. Sikap antipati terhadap suatu
kelompok, tidak lagi sekedar wacana, tetapi telah menjurus pada sikap dan
pola perilaku destruktif, melebihi prasangka awalnya. Sekarang rasismepun
mengalami penambahan kata, yaitu menunjukkan kelompok etnis tertentu
(etnosentris), ketakutan terhadap orang asing (xenofobia), penolakan terhadap
hubungan antar ras (miscegenation), dan generalisasi terhadap suatu
kelompok orang tertentu (stereotipe). Tindakan rasisme paling terkenal yaitu
sistem apartheid di Afrika yang mendiskriminasi orang kulit hitam saat itu
dan ideologi fasis der fuhrer (Hitler) di Jerman dengan Holocaust-nya yang
menelan korban enam juta jiwa.
Wilkinson dalam bukunya New Fasists mengemukakan bahwa coretan-
coretan bernada merendahkan pada sinagog dan serangan pada komunitas
imigran, serta tindakan kekerasan di Bologna, Munich, dan Paris adalah
sebuah pengingat tragis bahwa penaklukan militer yang menghancurkan
berbagai negara fasis pada Perang Dunia Kedua tidak benar-benar mampu
memusnahkan ambisi, sikap, dan kepercayaan kaum fasis. Selain itu, pada
tanggal 14 Oktober 2010, Sihem Souid - polisi wanita Prancis, meluncurkan
sebuah buku yang mengungkap rahasia kelam yang ada di dalam kepolisian
negara itu. Buku yang berjudul Omerta Dans La Police (Omerta di
Kepolisian) itu mengungkap rasisme dan diskriminasi penegakan hukum
yang kerap dilakukan kepolisian terhadap orang-orang Arab dan afrika
(Republika Online). Fakta-fakta tersebut membuktikan bahwa sampai saat ini
tindakan rasisme masih terjadi.
3
Sebagai warisan ideologi kolonial, rasisme harus terus diwaspadai,
karena ia selalu siap meracuni sendi-sendi bermasyarakat dan melunturkan
nilai-nilai kemanusiaan. Rasisme bisa tumbuh subur di mana-mana termasuk
di kepala kita masing-masing. Namun, rasisme tidak begitu saja timbul secara
spontan dalam masyarakat. Prasangka etnis dan ideologi-ideologinya
dipelajari, umumnya melalui proses komunikasi, baik berupa teks maupun
pembicaraan. Representasi mental rasis diformulasikan, dipertahankan, dan
diekspresikan dalam wacana. Hal ini menjadi dasar bagaimana rasisme
dipelajari di masyarakat. Setiap wacana memiliki ideologi yang pada
akhirnya wacana akan berperan sebagai distributor ideologi tersebut dan
selanjutnya ideologi itu akan mempengaruhi beragam bentuk representasi
sosial dalam masyarakat (Darma, 2009: 129).
Wacana, selain secara lisan, dapat pula direalisasikan dalam bentuk
karangan utuh (buku/novel, seri ensiklopedi, majalah, koran, dsb), paragraf,
kalimat atau kata yang membawa amanat lengkap. Dengan kata lain media
massa mengandung wacana baik lisan maupun tulisan dalam bentuk cetak
dan elektronik. Salah satu media massa yang memiliki peran penting dalam
penyebaran ideologi yaitu buku/novel. Seperti bentuk media lain, buku/novel
adalah teks yang tidak dapat dilepaskan sama sekali dari teks lain. Teks dalam
pengertian umum adalah dunia semesta ini, bukan hanya teks tertulis atau
teks lisan. Adat istiadat, kebudayaan, film, drama, secara pengertian umum
adalah teks. Demikian pula Rowling dan hasil karyanya, novel Harry Potter.
Di dalam novel Harry Potter yang penuh dengan fantasi dan imajinasi ini
4
terdapat berbagai respon Rowling terhadap berbagai teks yang dia hadapi di
dunia nyata. Seperti hasil karya sastra anak lain, novel ini pun tidak lepas dari
ideologi penulisnya.
Buku/novel Harry Potter (terbagi dalam tujuh seri) karya penulis Inggris
J.K Rowling ini berkisah tentang seorang anak laki-laki bernama Harry
Potter yang dibesarkan dan hidup bersama paman dan bibinya serta
sepupunya yang tidak memperlakukan dia dengan baik. Sikap tidak ramah
keluarga bibinya itu disebabkan karena ia, Harry Potter, adalah keturunan
penyihir dari orang tuanya yang juga penyihir terkenal, James Potter (darah
murni) dan Lily Potter (muggle). Pada ulang tahunnya yang ke-11, Harry
akhirnya mengetahui bahwa ia seorang penyihir dan bersekolah di Sekolah
Sihir Hogwarts. Di sana ia berteman dengan Ron Weasly (darah murni) dan
Hermione Granger (muggle). Penyihir "berdarah-murni" (mereka yang
keluarganya seluruhnya adalah penyihir) dianggap sebagai yang paling tinggi,
penyihir "berdarah-campuran" (mereka yang memiliki keturunan penyihir dan
Muggle) pada tingkat menengah, dan "kelahiran-Muggle" (mereka yang tanpa
keturunan penyihir) sebagai yang terendah. Cerita berpusat pada pertarungan
Harry dan teman-temannya melawan penyihir jahat Lord Voldemort, yang
menggunakan Ilmu Hitam untuk membunuh orang tua Harry serta berambisi
menguasai dunia sihir dengan menyingkirkan penyihir "berdarah-campuran"
dan "kelahiran-Muggle". Para pendukung kemurnian-darah percaya bahwa
hanya mereka yang "berdarah-murni"-lah yang berhak mengontrol dunia sihir
dan tidak menganggap bahwa penyihir "kelahiran-Muggle" sebagai penyihir
5
yang sesungguhnya. Beberapa dari mereka bahkan bertindak terlalu jauh
dengan membunuhi para "kelahiran-Muggle" agar tidak dapat mempelajari
sihir.
Sejak kemunculannya yang pertama, Harry Potter telah banyak
memenangkan penghargaan, di antaranya Whitaker Platinum Books Award,
Nestle Smarties Book Prize, Children’s Book of the Year Award, atau Scottish
Arts Council Book Award. Saat ini, Harry Potter bisa disebut sebagai ikon
budaya populer dalam sastra anak. Ia menjadi simbol bacaan anak-anak di
seluruh dunia dan menginspirasi terbitnya buku/novel lain yang sejenis. Ia
telah mementahkan pendapat banyak kalangan dan ahli pendidikan yang
mengatakan bahwa buku bacaan anak-anak mesti tipis dan bergambar. Harry
Potter and the Order of Phoenix, misalnya, memiliki 896 halaman dan
mereka rela antri panjang mendapatkannya. Tanggal 20 Juni 2003 ribuan
orang mengantri untuk membeli. Harganya juga tergolong selangit untuk
novel anak-anak; rata-rata serial tersebut berharga Rp 200.000/eksemplar dan
terjual sebanyak 15 juta eksemplar dalam 24 jam pertama.
Selain kesuksesan, novel Harry Potter juga menuai banyak kontroversi.
Di kalangan agama kisah Harry dianggap mengajarkan okultisme dan disebut
sebagai “Handbook of Magic and Occult” karena mengisahkan dunia sihir
dan mistis yang bertentangan dengan nilai ketuhanan. Ada juga beberapa
pihak yang menyatakan bahwa Harry Potter berdasarkan Kabbalah dan
sangat Yahudi. Lalu tak sedikit pula yang menafsirkan kisah Harry Potter
merepresentasikan prasangka etnis atau nilai-nilai rasisme. Novel anak
6
tersebut pun tidak lepas dari isu-isu rasisme. Ini merupakan salah satu alasan
penulis meneliti novel seri Harry Potter yang fenomenal dan kontroversial itu
disamping kegemaran penulis terhadap buku/novel. Selain itu, buku
merupakan salah satu media massa yang relevan bagi kajian analisis wacana
mengenai ideologi dan realitas sosial masyarakat.
Selanjutnya dijelaskan oleh Wright dalam Baran & Davis (2009: 292)
bahwa media massa dibagi menjadi empat fungsi yang dikenal dengan The
Classic Four Functions of The Media, yakni:
1. Surveillance of the environment
Surveillance dalam Kamus Inggris-Indonesia karangan John M.
Echols dan Hassan Shadily diartikan sebagai pengawasan atau
penjagaan. Jadi di sini media massa memiliki fungsi pengontrol
lingkungan sosial masyarakat.
2. Correlation of the parts of society
Media massa menjadi penghubung bagian antar masyarakat dengan
lingkungan sekitar. Media mempunyai fungsi untuk menyalurkan
informasi dari satu tempat ke tempat lain, atau dari satu individu ke
individu lain.
3. Transmission of the social heritage
Media massa memiliki kemampuan mengkomunikasikan nilai- nilai,
norma, dan gaya hidup dari satu generasi ke generasi lain.
7
4. Entertainment
Media massa memiliki fungsi untuk menghibur masyarakatnya tanpa
mengharapkan efek-efek tertentu.
Fungsi surveilance dari novel Harry Potter yaitu secara tersirat
memberikan informasi akan adanya nilai-nilai rasisme dalam kisahnya.
Fungsi Correlation buku/novel tersebut adalah menjadi sarana interpretasi
terhadap makna dibalik kisah Harry Potter akan nilai rasis sehingga
masyarakat dapat mengkorelasikannya terhadap pengetahuan yang dimiliki.
Fungsi transmission-nya, novel ini mengkomunikasikan bahwa rasisme masih
ada di masyarakat serta memberikan pendidikan moral melaui kisah fantasi.
Sedangkan fungsi entertainment novel Harry Potter ini sangat jelas karena
menyajikan sebuah kisah fantasi baru tentang dunia sihir berbeda dari yang
umumnya diceritakan di buku cerita anak yang lain.
Media massa cetak meliputi koran (harian mingguan, tabloid), majalah
(berita, khusus, hiburan), buletin atau terbitan berkala, buku/novel
(pengetahuan, cerita, komik), dan selebaran lepas. Jelas bahwa novel Harry
Potter merupakan salah satu bentuk media dalam komunikasi massa. Buku
sama halnya dengan koran dan majalah menjadi konsumsi publik karena
dicetak dan disebarluaskan ke khalayak, sehingga terjadi komunikasi massa
antara penulis buku/novel dengan masyarakat/konsumen/pembaca.
Buku menjadi salah satu kajian analisis wacana yang menggunakan
bahasa dalam teks untuk dianalisis. Bahasa dianalisis bukan dengan
menggambarkan semata dari aspek kebahasaan, tetapi juga menghubungkan
8
dengan konteks (Eriyanto, 2009: 7). Menurut Fairlough dan Wodak dalam
Eriyanto (2009: 7), praktik wacana bisa juga menampilkan efek ideologi
mengenai realitas sosial. Melalui wacana, sebagai contoh, keadaan yang rasis,
seksis, atau ketimpangan dari kehidupan sosial dipandang sebagai suatu
kewajaran/alamiah. Dengan demikian, buku dengan penggunaan bahasa yang
luas dan bebas mengekpresikan ideologi penulisnya. Melalui kisah dalam
novel Harry Potter, J.K Rowling, menyalurkan pandangannya akan realitas
sosial secara tidak langsung. Analisis wacana mencoba mengkaji dan
mengungkap fungsi dan makna di balik penggunaan teks/unsur bahasa,
struktur sosial, serta mengapa dan bagaimana konteks tersebut diproduksi dan
dikonsumsi.
Salah satu seri novel Harry Potter yang menarik yaitu seri ke-lima Harry
Potter and The Order of The Phoenix atau Harry Potter dan Orde Phoenix,
selain merupakan seri paling tebal di antara tujuh seri dengan 1200 halaman,
seri ke-lima ini juga menghadirkan masalah yang lebih kompleks
dibandingkan dengan enam seri lainnya. Mulai dari bangkitnya Voldemort,
yang menjadi titik awal menuju klimaks cerita, pergolakan batin Harry
sebagai seorang remaja, pertarungan Dumbledore dan Voldemort, hingga
kematian ayah baptis Harry, Sirius Black. Selain itu, surat kabar Amerika,
USA Today, mengatakan bahwa sebagian besar kritikan negatif terhadap seri
ke-lima novel Harry Potter yaitu mengenai adanya isu kekerasan dan moral
pada keseluruhan novel tersebut.
9
Berdasarkan hal-hal yang dipaparkan di atas, penulis memilih untuk
mengkaji seri ke-lima dari novel Harry Potter ke dalam bentuk skripsi
dengan judul:
ANALISIS WACANA KRITIS NILAI-NILAI RASISME DALAM
NOVEL SERI HARRY POTTER DAN ORDE PHOENIX
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pokok-pokok pemikiran pada pemaparan sebelumnya, maka
penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana representasi nilai rasisme dalam seri novel Harry Potter
dan Orde Phoenix?
2. Bagaimana konstruksi ideologi J.K Rowling dalam seri novel Harry
Potter dan Orde Phoenix?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui representasi nilai rasisme dalam seri novel
Harry Potter dan Orde Phoenix.
b. Untuk mengetahui konstruksi ideologi J.K Rowling dalam seri
novel Harry Potter dan Orde Phoenix.
10
2. Kegunaan Penelitian
a. Secara Teoritis
a) Sebagai masukan bagi perkembangan ilmu pengetahuan
khususnya ilmu komunikasi, terutama pengetahuan tentang
analisis wacana buku.
b) Sebagai bahan referensi mengenai komunikasi massa dan
analisis teks media.
c) Sebagai bahan rujukan bagi mahasiswa komunikasi yang
ingin mengkaji tentang analisis wacana.
b. Secara Praktis
a) Untuk menambah pengetahuan dalam bidang jurnalistik dan
pengembangan ilmu komunikasi.
b) Untuk menambah literatur kepustakaan atau referensi
mengenai analisis wacana, khususnya yang menyangkut
nilai rasisme.
c) Untuk masukan kepada pembaca terutama yang tertarik
dengan pembahasan analisis wacana pada buku.
D. Kerangka Konseptual
a. Bahasa, Teks, Konteks, dan Makna
Bahasa, bagi linguistik, yaitu sistem tanda bunyi yang disepakati untuk
dipergunakan oleh para anggota kelompok masyarakat tertentu dalam
bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri (Kushartanti,
11
2009: 3). Jelasnya bahwa bahasa memiliki fungsi yang bergantung pada
faktor siapa, apa, kepada siapa, tentang siapa, dimana, bilamana, beberapa
lama, untuk apa, dan dengan apa bahasa itu diujarkan. Bahasa itu
bermakna, berkaitan dengan segala aspek kehidupan dan alam sekitar
masyarakat yang memakainya.
Manusia mengucapkan pikirannya lewat bahasa, pikiran memakai
bahasa sebagai alat untuk mengekspresikan suatu hal. Dalam falsafat
bahasa, suatu realitas dibentuk dan diciptakan oleh manusia lewat bahasa
dengan mengungkap hal-hal tersembunyi menjadi nyata. Menurut Halliday
dalam Sobur (2009: 17), ketika kita menggunakan bahasa, maka bahasa itu
digunakan untuk menggambarkan pengalaman dunia nyata, termasuk
dunia dalam dan dari kesadarannya sendiri, tentang proses, orang-orang,
keadaan, hubungan, dan sebagainya.
Teks adalah suatu kesatuan bahasa yang memiliki isi dan bentuk, baik
lisan maupun tulisan yang disampaikan oleh seorang pengirim kepada
penerima untuk menyampaikan pesan tertentu. Dalam teori bahasa, teks
tidak lebih dari himpunan huruf yang membentuk kata dan kalimat yang
dirangkai dalam sistem tanda yang disepakati oleh masyarakat, sehingga
ketika dibaca dapat mengungkapkan makna yang dikandungnya. Teks
berkaitan dengan apa yang secara aktual dilakukan, dimaknai, dan
dikatakan oleh masyarakat dalam situasi nyata.
Bagi Barthes dalam Sobur (2009: 52 - 53), teks adalah sebuah objek
kenikmatan, seperti yang ia lukiskan: “What I enjoy in a story, is not
12
derictly its content, nor even its structure, but the abrasion I impose on the
fine surface: I speed ahead, I skip, I look up, I dip in again” (Apa yang
aku senangi dalam sebuah cerita, bukan secara langsung isinya, bahkan
bukan pula strukturnya, tetapi pengikisan yang aku terapkan pada
permukaan dasarnya: aku ngebut ke depan, aku lewatkan, aku perhatikan,
aku cari, aku masuk ke dalam lagi). Dengan membaca kembali dan
berulang-ulang sebuah teks dengan memotong-motongnya dan
menyusunnya kembali, Barthes menemukan kenikmatan yang dimaksud.
Jika sebuah teks tidak diteliti dan diinterogasi secara kritis, bisa-bisa
kesadaran kognitif kita akan dijajah oleh teks. Pembaca perlu “curiga” atau
kritis terhadap diri sendiri dan terhadap teks, agar terjadi wacana yang
cerdas dan se-objektif mungkin antara pihak pembaca dan penulis
(Hidayat, dalam Sobur, 2009: 55)
Konteks adalah kondisi dimana suatu keadaan terjadi. Ada beberapa
jenis konteks. Konteks fisik meliputi ruangan, obyek nyata, pemandangan,
dan lain sebagainya. Konteks menurut faktor sosio-psikologis menyangkut
faktor-faktor seperti status orang-orang yang terlibat dalam hubungan
komunikasi, peran mereka, dan tingkat kesungguhannya. Dimensi
pemilihan waktu atau tempo suatu konteks meliputi hari dan rentetan
peristiwa yang dirasakan terjadi sebelum peristiwa komunikasi
(Wikipedia).
Menurut Guy Cook, konteks memasukkan semua situasi dan hal yang
berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti
13
partisipan dalam bahasa, situasi dimana teks tersebut diproduksi, fungsi
yang dimaksudkan, dan sebagainya. Studi mengenai bahasa memasukkan
konteks karena bahasa selalu berada dalam konteks dan tidak ada tindakan
komunikasi tanpa partisipan, interteks, situasi, dan lainnya. (Eriyanto,
2001: 9)
Menurut Syafi’ie dalam Sobur (2009: 57), pada dasarnya konteks
pemakaian bahasa dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu:
1) Konteks fisik yang meliputi tempat terjadinya pemakaian bahasa dalam
suatu komunikasi, objek yang disajikan dalam peristiwa kemunikasi itu
dan tindakan atau perilaku dari para peran dalam peristiwa komunikasi.
2) Konteks epistemis atau latar belakang pengetahuan yang sama-sama
diketahui oleh pembicara maupun pendengar.
3) Konteks linguistik yang terdiri atas kalimat-kalimat atau tuturan-tuturan
yang mendahului satu kalimat atau tuturan tertentu dalam peristiwa
komunikasi.
4) Konteks sosial yaitu relasi sosial dan latar belakang yang melengkapi
hubungan antara pembicara dengan pendengar.
Makna ada dalam diri manusia tidak terletak pada kata-kata. Menurut
De Vito: “Kita menggunakan kata-kata untuk mendekati makna yang ingin
kita komunikasikan. Tetapi kata-kata tidak secara sempurna dan lengkap
menggambarkan makna yang kita maksudkan. Demikian pula, makna yang
didapat pendengar dari pesan-pesan kita akan sangat berbeda dengan
makna yang ingin kita komunikasikan. Komunikasi adalah proses yang
14
kita pakai untuk mereproduksi, di benak pendengar, apa yang ada dalam
benak kita. Reproduksi ini hanyalah sebuah proses parsial dan selalu bisa
salah” (dalam Sobur, 2009: 20).
Bahasa bukan hanya diterima secara apa adanya, tetapi ditanggapi
sebagai pengungkapan maksud dan makna tersembunyi dari orang yang
mengemukakan suatu pernyataan. Menurut Alfred Schutz dalam Sobur
(2009: 22), untuk dapat memahami tindakan manusia dengan baik, kita
harus memahami pula motif dasarnya dengan cara menempatkan diri kita
pada posisi sang pembicara. Sebelum kita menjelaskan suatu kata atau
istilah, terlebih dahulu kita memeriksa dalam situasi yang bagaimana kata
itu dipergunakan agar tidak terjebak dalam kerancuan bahasa karena suatu
kata bergantung pada penggunaan kalimat dan arti kalimat bergantung
pada penggunaan bahasa.
Pengetahuan dan pengalaman manusia sebagai sumber informasi
disimpan dalam otak sebagai kesatuan mental yang disebut konsep. Makna
merupakan kesatuan mental pengetahuan dan pengalaman yang terkait
dengan lambang bahasa yang mewakilinya. Analisis makna dapat
dilakukan melalui prototipe. Prototipe adalah representasi mental yang
mewakili contoh terbaik satu konsep tertentu. Pembentukan prototipe
dipengaruhi latar belakang sosial budaya dan lingkungan suatu masyarakat
bahasa (Kushartanti, 2009: 121 – 122).
Broadbeck, seperti dikutip dalam Sobur (2009: 25), mengemukakan
tiga pengertian tentang konsep makna, yaitu: 1). Makna referensial, makna
15
suatu istilah adalah objek, pikiran, ide, atau konsep yang ditunjukkan oleh
istilah tersebut; 2). Makna istilah, lambang atau istilah “berarti” sejauh ia
berhubungan secara “sah” dengan istilah yang lain, konsep yang lain. Jika
tidak dihubungkan dengan berbagai konsep lain, ia tidak mempunyai arti;
3). Makna intentional, bahwa arti suatu istilah atau lambang bergantung
pada apa yang dimaksudkan pemakai dengan arti lambang itu.
Jenis makna pada umumnya dibedakan atas makna yang bersifat
denotatif dan makna kata yang bersifat konotatif. Kata yang tidak
mengandung makna atau perasaan-perasaan tambahan disebut kata
denotatif. Sedangkan makna kata yang mengandung arti tambahan,
perasaan tertentu atau nilai rasa tertentu di samping makna dasar yang
umum, disebut kata konotatif (Keraf, 2010: 27 – 31).
b. Wacana dan Konstruksi Realitas
Wacana adalah kesatuan makna antarbagian di dalam suatu bangun
bahasa. Dengan kesatuan makna, wacana dilihat sebagai bentuk bahasa
yang utuh karena setiap bagian di dalam wacana itu berhubungan secara
padu. Di samping itu, wacana juga terikat pada konteks. Wacana
dibedakan atas teks, tuturan, bacaan, tulisan yang mengacu pada makna
yang sama, yaitu wujud konkret yang terlihat, terbaca, atau terdengar. Jika
kita menggunakan fungsi bahasa dari Leech dalam Kushartanti (2009: 93 –
94), wacana diklasifikasikan atas:
a) Wacana informasional, apabila wacana itu bersumber pada
pesan/informasi, seperti wacana berita dalam media massa;
16
b) Wacana estetik, apabila wacana itu bersumber pada pesan dengan
tekanan keindahan pesan, seperti wacana puisi dan lagu;
Jika ditinjau dari segi realitas, sebuah wacana berbentuk rangkaian
kebahasaan dengan semua kelengkapan struktural bahasa seperti adanya.
Pengaruh terhadap wacana dari pribadi penulis dalam bentuk kepentingan
idealis, ideologis, dan sebagainya. Untuk melakukan konstruksi realitas,
pelaku kontstruksi memakai suatu strategi tertentu. Strategi ini mencakup
pilihan bahasa mulai dari kata hingga paragraf, pilihan fakta, dan pilihan
teknik menampilkan wacana di depan publik/khalayak. Hasil dari proses
tersebut adalah wacana atau realitas yang dikonstruksikan berupa tulisan,
ucapan, dan tindakan.
Proses Konstruksi Realitas dalam Pembentukan wacana
1.1 Hamad dalam Darma (2009: 8)
Realitas pertama: kesadaran, benda, pikiran, orang, peristiwa...
Dinamika internal &
eksternal pelaku
konstruksi
Sistem komunikasi
yang berlaku
Strategi mengonstruksi
realitas
Faktor internal:
ideologis, idealis..
Faktor eksternal:
pasar, sponsor..
Realitas yang
dikonstruksikan
(teks, talk, act, artifact)
Makna, citra, dan kepentingan di balik wacana
Proses
konstruksi
realitas oleh
pelaku
Fungsi bahasa
Strategi framing
17
Pada kenyataannya, realitas sosial tidak berdiri sendiri tanpa kehadiran
individu baik dalam maupun luar realitas tersebut. Realitas sosial itu
memiliki makna ketika realitas sosial dikonstruksi dan dimaknakan secara
subjektif oleh individu. Jadi individu mengonstruksi realitas sosial dan
merekonstruksikannya dalam dunia nyata serta memantapkan realitas itu
berdasarkan pandangan subjektif individu. Konstruksi juga sarat dengan
kepentingan, masyarakat selalu berupaya mengenalkan diri mereka melalui
hal-hal yang mereka miliki. Menurut Berger dan Luckmann dalam Bungin
(2010: 7), realitas sosial adalah pengetahuan yang bersifat keseharian yang
hidup dan berkembang di masyarakat seperti konsep, kesadaran umum,
wacana publik, sebagai hasil dari konstruksi sosial.
Pekerjaan media pada hakikatnya adalah mengonstruksi realitas dengan
bahasa sebagai perangkatnya, maka seluruh isi media merupakan realitas
yang dikonstruksikan. Sedangkan bahasa bukan saja alat untuk
merepresentasikan realitas, namun juga bisa menentukan bentuk seperti
apa yang akan diciptakan oleh bahasa tentang realitas tersebut. Bahasa
bukan cuma mampu mencerminkan realitas, tetapi sekaligus menciptakan
realitas. Oleh karena itu, media massa melakukan berbagai tindakan dalam
konstruksi realitas dimana hasil akhirnya berpengaruh terhadap
pembentukan makna suatu realitas. Media massa tidak hanya dianggap
sebagai penghubung antara pengirim pesan kepada penerima pesan.
Intinya terletak pada bagaimana pesan/teks berinteraksi dengan orang
untuk memproduksi makna. (Fiske, dalam Sobur, 2009: 93).
18
c. Pendekatan Wacana Kritis
Analisis wacana adalah studi tentang struktur pesan dalam komunikasi
atau telaah mengenai aneka fungsi (pragmatik) bahasa. Analisis wacana
lahir dari kesadaran bahwa persoalan yang terdapat dalam komunikasi
bukan terbatas pada penggunaan kalimat, fungsi ucapan, tetapi juga
mencakup struktur pesan yang lebih kompleks yang disebut wacana
(Littlejohn, dalam Sobur, 2009: 48). Analisis wacana lebih bisa melihat
makna yang tersembunyi dari suatu teks, menekankan pada pemaknaan
teks karena dasar analisis wacana adalah interpretasi dan penafsiran
peneliti. Analisis wacana memfokuskan pada pesan tersembunyi dengan
fokus terhadap muatan, nuansa, dan makna dalam teks media.
Adapun analisis wacana kritis yang dijadikan perangkat analisis adalah
analisis wacana kritis Teun A. Van Dijk. Menurut Van Dijk (Eriyanto,
2009: 221), penelitian atas wacana tidak cukup hanya didasarkan pada
analisis atas teks, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi yang
harus juga diamati. Dalam hal ini dapat dilihat bagaimana suatu teks
diproduksi sehingga diperoleh suatu pengetahuan kenapa teks bisa
semacam itu. Model analisis Van Dijk sebagai berikut:
1.2. Sumber: diadopsi dari Eriyanto (2009: 225)
Konteks
Kognisi Sosial
Teks
19
Wacana oleh Van Dijk digambarkan mempunyai tiga dimensi: teks,
kognisi sosial, dan konteks sosial, lalu menggabungkannya ke dalam satu
kesatuan analisis. Dalam dimensi teks, yang diteliti adalah bagaimana
sturktur teks dan strategi wacana yang dipakai untuk menegaskan suatu
tema tertentu. Pada level kognisi sosial, proses produksi teks atau
kesadaran mental penulis dalam membuat suatu teks. Pada aspek ketiga
mempelajari bentuk wacana yang berkembang dalam masyarakat akan
suatu masalah. Titik perhatian Van Dijk terutama pada studi mengenai
rasialisme serta bagaimana kognisi dan kesadaran membentuk dan
mempengaruhi teks tertentu.
Secara umum, ada tiga tingkatan analisis wacana, yaitu analisis mikro,
fokus analisis pada teks terutama unsur bahasa yang digunakan; analisis
makro, analisis struktur sosial, ekonomi, politik, dan budaya masyarakat;
dan analisis meso, analisis pada diri individu/khalayak sebagai penghasil
dan konsumen teks. Berdasarkan penjelasan di atas, berikut ini adalah
skema atau kerangka penelitan penulis:
1.3 Kerangka Konseptual
Konstruksi
Realitas Sosial
Representasi Nilai-nilai
Rasisme
Novel Harry Potter
1. Teks
2. Kognisi Sosial
3. Konteks
Analisis Wacana
Van Dijk
20
E. Definisi Operasional
1. Wacana adalah komunikasi lisan atau tulisan yang dilihat dari titik
pandang kepercayaan, nilai, dan kategori yang masuk di dalamnya;
kepercayaan di sini mewakili pandangan dunia; sebuah organisasi atau
representasi dari pengalaman ( Roger Fawler dalam Eriyanto, 2001: 2)
2. Analisis wacana merupakan studi tentang struktur pesan dalam
komunikasi atau telaah melalui aneka fungsi bahasa (Sobur, 2001: 48).
Analisis wacana mengkaji muatan pesan, nuansa, dan makna yang
tersembunyi dalam sebuah teks.
3. Rasisme adalah suatu sistem kepercayaan atau doktrin yang menyatakan
bahwa perbedaan biologis yang melekat pada ras manusia menentukan
pencapaian budaya atau individu – bahwa suatu ras tertentu lebih superior
dan memiliki hak untuk mengatur yang lainnya. Rasisme telah menjadi
faktor pendorong diskriminasi sosial dan kekerasan rasial, termasuk
genosida. Istilah rasis telah digunakan dengan konotasi buruk paling tidak
sejak 1940-an dan identifikasi suatu kelompok atau orang sebagai rasis
sering bersifat kontroversial. (Wikipedia)
4. Buku/novel Harry Potter merupakan novel fantasi karangan J.K Rowling
mengenai seorang anak laki-laki bernama Harry Potter dan
pertarungannya melawan penyihir jahat Lord Voldemort yang
menggunakan Ilmu Hitam untuk membunuh orang tua Harry. Buku/novel
ini terbagi atas tujuh seri dan telah diangkat menjadi film layar lebar.
21
F. Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian
Tipe penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif.
Pendekatan ini merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif yang menghasilkan kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang
dan perilaku yang dapat diamati (Bogdan&Taylor dalam Moeloeng, 2002:
3). Adapun sifat dari penelitian ini adalah deskriptif. Metode deskriptif
dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki
dengan menggambarkan/melukiskan keadaan subyek/obyek penelitian
(seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain) pada saat sekarang
berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Data yang
dikumpulkan berupa kata-kata/gambar dan bukan angka-angka. Hal ini
dilakukan seperti orang merajut sehingga setiap bagian ditelaah satu demi
satu (Moeloeng, 2002: 6). Format deskriptif kualitatif bertujuan untuk
menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, situasi, atau fenomena
realitas sosial dalam masyarakat yang menjadi objek penelitian dan
berupaya menarik realitas itu ke permukaan sebagai suatu ciri, karakter,
sifat, model, tanda, atau gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun
fenomena tertentu. (Bungin, 2010: 68).
2. Objek Penelitian dan Waktu Penelitian
a. Objek Penelitian
Objek penelitian yang dimaksud, yaitu tujuh buah buku/novel seri
Harry Potter karya J.K Rowling yang berjudul:
22
“Harry Potter dan Orde Phoenix”
b. Waktu Penelitian
Waktu penelitian dimulai dari bulan Pebruari sampai Juni tahun
2011.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis adalah melalui:
a. Pengumpulan data berupa novel Harry Potter dan Orde Phoenix
serta sejumlah data yang berkaitan dengan objek penelitian
tersebut, seperti berita-berita terkait, biografi penulis/penerjemah
dan dokumen-dokumen lainnya.
b. Penelitian pustaka dengan mengkaji dan mempelajari berbagai
literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti untuk
mendukung asumsi sebagai landasan teori permasalahan yang
dibahas.
c. Penelusuran data online, yaitu menelusuri data dari media online
seperti internet sehingga peneliti dapat memanfaatkan data
informasi online secepat dan semudah mungkin serta dapat
dipertanggungjawabkan secara akademis. Peneliti memilih
sumber-sumber data online mana yang kredibel dan dikenal
banyak kalangan.
4. Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kategotri
Analisis Wacana dalam Kelompok Metode Analisis Teks dan Bahasa.
23
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara menganalisis
teks tentang nilai-nilai rasisme dalam novel Harry Potter dan Orde
Phoenix karya J.K Rowling. Berdasarkan kerangka model Van Dijk,
penelitian ini menggabungkan analisis teks, yaitu menganalisis
bagaimana strategi wacana dan strategi tekstual yang dipakai untuk
menggambarkan seseorang atau peristiwa tertentu; analisis kognisi sosial,
yaitu menganalisis bagaimana kognisi penulis dalam memahami
seseorang atau peristiwa tertentu; dan analisis konteks sosial, yaitu
menganalisis bagaimana wacana yang berkembang dalam masyarakat,
proses produksi dan reproduksi seseorang atau peristiwa digambarkan.
Dalam mengungkapkan makna sebuah wacana tidak hanya dilihat dari
teks yang ada, tetapi mengaitkan dengan konteks yang melingkupi
kehadiran teks tersebut.
Van Dijk melihat suatu wacana terdiri atas berbagai struktur
/tingkatan; 1) Struktur makro, merupakan makna global/umum dari suatu
teks yang dapat diamati dengan melihat topik suatu teks. Tema wacana ini
bukan hanya isi, tetapi juga sisi tertentu dari suatu peristiwa, 2)
Superstruktur adalah kerangka suatu teks, bagaimana stuktur dan elemen
wacana itu disusun dalam teks secara utuh, dan 3) struktur mikro adalah
makna yang dapat diamati dengan menganalisis kata, kalimat, proposisi,
anak kalimat, para frase yang dipakai, dan sebagainya. Struktur wacana
Van Dijk dapat digambarkan sebagai berikut:
24
STRUKTUR WACANA HAL YANG DIAMATI UNIT ANALISIS
Struktur Makro
Tematik
(apa yang dikatakan)
Elemen: Topik/tema
Teks
Superstruktur
Skematis
(bagaimana pendapat disusun
dan dirangkai)
Elemen: Skema
Teks
Struktur Mikro
Semantik
(apa arti pendapat yang ingin
disampaikan?)
Elemen: latar, detail, maksud,
pengandaian, penalaran
Paragraf
Struktur Mikro
Sintaksis
(bagaimana pendapat
disampaikan?)
Elemen: koherensi,
nominalisasi, abstraksi, bentuk
kalimat, kata ganti
Kalimat proposisi
Struktur Mikro
Stilistik
(pilihan kata apa yang dipakai?)
Elemen: leksikon, kata kunci,
pemilihan kata
Kata
Struktur Mikro
Retoris
(dengan cara apa pendapat
disampaikan?)
Elemen: gaya, interaksi,
ekspresi, metafora, visual image
Kalimat proposisi
1.1 Struktur Analisis Teks
Dalam kerangka analisis wacana Van Dijk, perlu ada penelitian
mengenai kognisi sosial: kesadaran mental penulis (media cetak) yang
membentuk teks tersebut. Setiap teks pada dasarnya dihasilkan lewat
kesadaran, pengetahuan, prasangka, atau pengetahuan tertentu atas suatu
peristiwa. Bagaimana suatu peristiwa dipahami dan dimengerti didasarkan
pada skema/model. Skema bekerja untuk mengkonstruksi realitas,
membantu memandu apakah yang harus dipahami, maknai, dan diingat
25
tentang sesuatu. Model adalah suatu kerangka berpikir individu dalam
memandang dan memahami suatu masalah. Keyakinan dan pandangan
masyarakat mempengaruhi pandangan penulis sangat bergantung pada
pengalaman, memori, interpretasi penulis. Ini berhubungan dengan proses
psikologis individu penulis. Dimensi ketiga Van Dijk adalah analisis
sosial/konteks sosial. Dilakukan penelitian bagaimana wacana atau isu
rasisme diproduksi dan berkembang di masyarakat.
Baik struktur teks, kognisi sosial, maupun konteks sosial adalah
bagian yang penting dalam kerangka Van Dijk, maka skema penelitian
dan metode yang dilakukan sebagai berikut:
STRUKTUR METODE
Teks
Menganalisis bagaimana strategi wacana atau
tekstual yang dipakai dalam novel Harry Potter
untuk menggambarkan seseorang atau peristiwa
tertentu, dalam hal ini nilai rasisme.
Critical linguistik
Kognisi Sosial
Menganalisis bagaimana kognisi individu J.K
Rowling dalam memahami nilai rasisme yang
ditulis dalam novelnya.
Riwayat penulis
atau biografi
penulis (J.K
Rowling)
Konteks Sosial
Menganalisis bagaimana wacana rasis yang
berkembang dalam masyarakat, proses produksi
dan reproduksi rasisme yang digambarkan.
Studi pustaka dan
penulusuran
sejarah
1.2 Metode Analisis Wacana Kritis
Jika suatu teks mempunyai ideologi atau kecenderungan tertentu,
maka itu berarti menandakan dua hal. Pertama, penulis (J.K Rowling)
menghasilkan buku/novel kemungkinan mempunyai pandangan tertentu
mengenai rasisme. Kedua, kemungkinan teks tersebut merefleksikan