BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/957/BAB...

26
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial, terkadang dalam memandang hubungannya dengan manusia lain serasa dibatasi oleh sekat-sekat perbedaan secara fisik. Masyarakat berperilaku berdasarkan dengan pola pikir yang telah dikondisikan secara sosialkultural bahwa memiliki kelebihan dari orang lain adalah wajar. Hal tersebut karena manusia dilahirkan dengan membawa gen bawaannya masing-masing. Apabila dari perbedaan ini sampai memunculkan prasangka, maka dapat mengakibatkan fungsi bermasyarakat kita menjadi terganggu. Perasaan dan prasangka akan kelebihan serta perbedaan tersebut kemudian mengendap dan berpotensi melahirkan rasisme. Rasisme adalah suatu sistem kepercayaan atau doktrin yang menyatakan bahwa perbedaan biologis yang melekat pada ras manusia menentukan pencapaian budaya atau individu bahwa suatu ras tertentu lebih superior dan memiliki hak untuk mengatur yang lainnya (Wikipedia). Istilah rasisme sering kali gunakan untuk menggambarkan permusuhan dan perasaan negatif suatu kelompok etnis terhadap kelompok etnis lain. Pengertian rasisme klasik menekankan perbedaan yang tajam terhadap warna kulit, hitam atau putih. Kenyataannya, dalam kehidupan kita sehari-hari, rasisme justru berkembang luas dan merambah dimensi-dimensi lain bahkan hingga perbedaan kodrati

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/957/BAB...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia sebagai makhluk sosial, terkadang dalam memandang

hubungannya dengan manusia lain serasa dibatasi oleh sekat-sekat perbedaan

secara fisik. Masyarakat berperilaku berdasarkan dengan pola pikir yang telah

dikondisikan secara sosialkultural bahwa memiliki kelebihan dari orang lain

adalah wajar. Hal tersebut karena manusia dilahirkan dengan membawa gen

bawaannya masing-masing. Apabila dari perbedaan ini sampai memunculkan

prasangka, maka dapat mengakibatkan fungsi bermasyarakat kita menjadi

terganggu. Perasaan dan prasangka akan kelebihan serta perbedaan tersebut

kemudian mengendap dan berpotensi melahirkan rasisme.

Rasisme adalah suatu sistem kepercayaan atau doktrin yang menyatakan

bahwa perbedaan biologis yang melekat pada ras manusia menentukan

pencapaian budaya atau individu – bahwa suatu ras tertentu lebih superior dan

memiliki hak untuk mengatur yang lainnya (Wikipedia). Istilah rasisme

sering kali gunakan untuk menggambarkan permusuhan dan perasaan negatif

suatu kelompok etnis terhadap kelompok etnis lain. Pengertian rasisme klasik

menekankan perbedaan yang tajam terhadap warna kulit, hitam atau putih.

Kenyataannya, dalam kehidupan kita sehari-hari, rasisme justru berkembang

luas dan merambah dimensi-dimensi lain bahkan hingga perbedaan kodrati

2

yaitu gender, perempuan atau laki-laki. Sikap antipati terhadap suatu

kelompok, tidak lagi sekedar wacana, tetapi telah menjurus pada sikap dan

pola perilaku destruktif, melebihi prasangka awalnya. Sekarang rasismepun

mengalami penambahan kata, yaitu menunjukkan kelompok etnis tertentu

(etnosentris), ketakutan terhadap orang asing (xenofobia), penolakan terhadap

hubungan antar ras (miscegenation), dan generalisasi terhadap suatu

kelompok orang tertentu (stereotipe). Tindakan rasisme paling terkenal yaitu

sistem apartheid di Afrika yang mendiskriminasi orang kulit hitam saat itu

dan ideologi fasis der fuhrer (Hitler) di Jerman dengan Holocaust-nya yang

menelan korban enam juta jiwa.

Wilkinson dalam bukunya New Fasists mengemukakan bahwa coretan-

coretan bernada merendahkan pada sinagog dan serangan pada komunitas

imigran, serta tindakan kekerasan di Bologna, Munich, dan Paris adalah

sebuah pengingat tragis bahwa penaklukan militer yang menghancurkan

berbagai negara fasis pada Perang Dunia Kedua tidak benar-benar mampu

memusnahkan ambisi, sikap, dan kepercayaan kaum fasis. Selain itu, pada

tanggal 14 Oktober 2010, Sihem Souid - polisi wanita Prancis, meluncurkan

sebuah buku yang mengungkap rahasia kelam yang ada di dalam kepolisian

negara itu. Buku yang berjudul Omerta Dans La Police (Omerta di

Kepolisian) itu mengungkap rasisme dan diskriminasi penegakan hukum

yang kerap dilakukan kepolisian terhadap orang-orang Arab dan afrika

(Republika Online). Fakta-fakta tersebut membuktikan bahwa sampai saat ini

tindakan rasisme masih terjadi.

3

Sebagai warisan ideologi kolonial, rasisme harus terus diwaspadai,

karena ia selalu siap meracuni sendi-sendi bermasyarakat dan melunturkan

nilai-nilai kemanusiaan. Rasisme bisa tumbuh subur di mana-mana termasuk

di kepala kita masing-masing. Namun, rasisme tidak begitu saja timbul secara

spontan dalam masyarakat. Prasangka etnis dan ideologi-ideologinya

dipelajari, umumnya melalui proses komunikasi, baik berupa teks maupun

pembicaraan. Representasi mental rasis diformulasikan, dipertahankan, dan

diekspresikan dalam wacana. Hal ini menjadi dasar bagaimana rasisme

dipelajari di masyarakat. Setiap wacana memiliki ideologi yang pada

akhirnya wacana akan berperan sebagai distributor ideologi tersebut dan

selanjutnya ideologi itu akan mempengaruhi beragam bentuk representasi

sosial dalam masyarakat (Darma, 2009: 129).

Wacana, selain secara lisan, dapat pula direalisasikan dalam bentuk

karangan utuh (buku/novel, seri ensiklopedi, majalah, koran, dsb), paragraf,

kalimat atau kata yang membawa amanat lengkap. Dengan kata lain media

massa mengandung wacana baik lisan maupun tulisan dalam bentuk cetak

dan elektronik. Salah satu media massa yang memiliki peran penting dalam

penyebaran ideologi yaitu buku/novel. Seperti bentuk media lain, buku/novel

adalah teks yang tidak dapat dilepaskan sama sekali dari teks lain. Teks dalam

pengertian umum adalah dunia semesta ini, bukan hanya teks tertulis atau

teks lisan. Adat istiadat, kebudayaan, film, drama, secara pengertian umum

adalah teks. Demikian pula Rowling dan hasil karyanya, novel Harry Potter.

Di dalam novel Harry Potter yang penuh dengan fantasi dan imajinasi ini

4

terdapat berbagai respon Rowling terhadap berbagai teks yang dia hadapi di

dunia nyata. Seperti hasil karya sastra anak lain, novel ini pun tidak lepas dari

ideologi penulisnya.

Buku/novel Harry Potter (terbagi dalam tujuh seri) karya penulis Inggris

J.K Rowling ini berkisah tentang seorang anak laki-laki bernama Harry

Potter yang dibesarkan dan hidup bersama paman dan bibinya serta

sepupunya yang tidak memperlakukan dia dengan baik. Sikap tidak ramah

keluarga bibinya itu disebabkan karena ia, Harry Potter, adalah keturunan

penyihir dari orang tuanya yang juga penyihir terkenal, James Potter (darah

murni) dan Lily Potter (muggle). Pada ulang tahunnya yang ke-11, Harry

akhirnya mengetahui bahwa ia seorang penyihir dan bersekolah di Sekolah

Sihir Hogwarts. Di sana ia berteman dengan Ron Weasly (darah murni) dan

Hermione Granger (muggle). Penyihir "berdarah-murni" (mereka yang

keluarganya seluruhnya adalah penyihir) dianggap sebagai yang paling tinggi,

penyihir "berdarah-campuran" (mereka yang memiliki keturunan penyihir dan

Muggle) pada tingkat menengah, dan "kelahiran-Muggle" (mereka yang tanpa

keturunan penyihir) sebagai yang terendah. Cerita berpusat pada pertarungan

Harry dan teman-temannya melawan penyihir jahat Lord Voldemort, yang

menggunakan Ilmu Hitam untuk membunuh orang tua Harry serta berambisi

menguasai dunia sihir dengan menyingkirkan penyihir "berdarah-campuran"

dan "kelahiran-Muggle". Para pendukung kemurnian-darah percaya bahwa

hanya mereka yang "berdarah-murni"-lah yang berhak mengontrol dunia sihir

dan tidak menganggap bahwa penyihir "kelahiran-Muggle" sebagai penyihir

5

yang sesungguhnya. Beberapa dari mereka bahkan bertindak terlalu jauh

dengan membunuhi para "kelahiran-Muggle" agar tidak dapat mempelajari

sihir.

Sejak kemunculannya yang pertama, Harry Potter telah banyak

memenangkan penghargaan, di antaranya Whitaker Platinum Books Award,

Nestle Smarties Book Prize, Children’s Book of the Year Award, atau Scottish

Arts Council Book Award. Saat ini, Harry Potter bisa disebut sebagai ikon

budaya populer dalam sastra anak. Ia menjadi simbol bacaan anak-anak di

seluruh dunia dan menginspirasi terbitnya buku/novel lain yang sejenis. Ia

telah mementahkan pendapat banyak kalangan dan ahli pendidikan yang

mengatakan bahwa buku bacaan anak-anak mesti tipis dan bergambar. Harry

Potter and the Order of Phoenix, misalnya, memiliki 896 halaman dan

mereka rela antri panjang mendapatkannya. Tanggal 20 Juni 2003 ribuan

orang mengantri untuk membeli. Harganya juga tergolong selangit untuk

novel anak-anak; rata-rata serial tersebut berharga Rp 200.000/eksemplar dan

terjual sebanyak 15 juta eksemplar dalam 24 jam pertama.

Selain kesuksesan, novel Harry Potter juga menuai banyak kontroversi.

Di kalangan agama kisah Harry dianggap mengajarkan okultisme dan disebut

sebagai “Handbook of Magic and Occult” karena mengisahkan dunia sihir

dan mistis yang bertentangan dengan nilai ketuhanan. Ada juga beberapa

pihak yang menyatakan bahwa Harry Potter berdasarkan Kabbalah dan

sangat Yahudi. Lalu tak sedikit pula yang menafsirkan kisah Harry Potter

merepresentasikan prasangka etnis atau nilai-nilai rasisme. Novel anak

6

tersebut pun tidak lepas dari isu-isu rasisme. Ini merupakan salah satu alasan

penulis meneliti novel seri Harry Potter yang fenomenal dan kontroversial itu

disamping kegemaran penulis terhadap buku/novel. Selain itu, buku

merupakan salah satu media massa yang relevan bagi kajian analisis wacana

mengenai ideologi dan realitas sosial masyarakat.

Selanjutnya dijelaskan oleh Wright dalam Baran & Davis (2009: 292)

bahwa media massa dibagi menjadi empat fungsi yang dikenal dengan The

Classic Four Functions of The Media, yakni:

1. Surveillance of the environment

Surveillance dalam Kamus Inggris-Indonesia karangan John M.

Echols dan Hassan Shadily diartikan sebagai pengawasan atau

penjagaan. Jadi di sini media massa memiliki fungsi pengontrol

lingkungan sosial masyarakat.

2. Correlation of the parts of society

Media massa menjadi penghubung bagian antar masyarakat dengan

lingkungan sekitar. Media mempunyai fungsi untuk menyalurkan

informasi dari satu tempat ke tempat lain, atau dari satu individu ke

individu lain.

3. Transmission of the social heritage

Media massa memiliki kemampuan mengkomunikasikan nilai- nilai,

norma, dan gaya hidup dari satu generasi ke generasi lain.

7

4. Entertainment

Media massa memiliki fungsi untuk menghibur masyarakatnya tanpa

mengharapkan efek-efek tertentu.

Fungsi surveilance dari novel Harry Potter yaitu secara tersirat

memberikan informasi akan adanya nilai-nilai rasisme dalam kisahnya.

Fungsi Correlation buku/novel tersebut adalah menjadi sarana interpretasi

terhadap makna dibalik kisah Harry Potter akan nilai rasis sehingga

masyarakat dapat mengkorelasikannya terhadap pengetahuan yang dimiliki.

Fungsi transmission-nya, novel ini mengkomunikasikan bahwa rasisme masih

ada di masyarakat serta memberikan pendidikan moral melaui kisah fantasi.

Sedangkan fungsi entertainment novel Harry Potter ini sangat jelas karena

menyajikan sebuah kisah fantasi baru tentang dunia sihir berbeda dari yang

umumnya diceritakan di buku cerita anak yang lain.

Media massa cetak meliputi koran (harian mingguan, tabloid), majalah

(berita, khusus, hiburan), buletin atau terbitan berkala, buku/novel

(pengetahuan, cerita, komik), dan selebaran lepas. Jelas bahwa novel Harry

Potter merupakan salah satu bentuk media dalam komunikasi massa. Buku

sama halnya dengan koran dan majalah menjadi konsumsi publik karena

dicetak dan disebarluaskan ke khalayak, sehingga terjadi komunikasi massa

antara penulis buku/novel dengan masyarakat/konsumen/pembaca.

Buku menjadi salah satu kajian analisis wacana yang menggunakan

bahasa dalam teks untuk dianalisis. Bahasa dianalisis bukan dengan

menggambarkan semata dari aspek kebahasaan, tetapi juga menghubungkan

8

dengan konteks (Eriyanto, 2009: 7). Menurut Fairlough dan Wodak dalam

Eriyanto (2009: 7), praktik wacana bisa juga menampilkan efek ideologi

mengenai realitas sosial. Melalui wacana, sebagai contoh, keadaan yang rasis,

seksis, atau ketimpangan dari kehidupan sosial dipandang sebagai suatu

kewajaran/alamiah. Dengan demikian, buku dengan penggunaan bahasa yang

luas dan bebas mengekpresikan ideologi penulisnya. Melalui kisah dalam

novel Harry Potter, J.K Rowling, menyalurkan pandangannya akan realitas

sosial secara tidak langsung. Analisis wacana mencoba mengkaji dan

mengungkap fungsi dan makna di balik penggunaan teks/unsur bahasa,

struktur sosial, serta mengapa dan bagaimana konteks tersebut diproduksi dan

dikonsumsi.

Salah satu seri novel Harry Potter yang menarik yaitu seri ke-lima Harry

Potter and The Order of The Phoenix atau Harry Potter dan Orde Phoenix,

selain merupakan seri paling tebal di antara tujuh seri dengan 1200 halaman,

seri ke-lima ini juga menghadirkan masalah yang lebih kompleks

dibandingkan dengan enam seri lainnya. Mulai dari bangkitnya Voldemort,

yang menjadi titik awal menuju klimaks cerita, pergolakan batin Harry

sebagai seorang remaja, pertarungan Dumbledore dan Voldemort, hingga

kematian ayah baptis Harry, Sirius Black. Selain itu, surat kabar Amerika,

USA Today, mengatakan bahwa sebagian besar kritikan negatif terhadap seri

ke-lima novel Harry Potter yaitu mengenai adanya isu kekerasan dan moral

pada keseluruhan novel tersebut.

9

Berdasarkan hal-hal yang dipaparkan di atas, penulis memilih untuk

mengkaji seri ke-lima dari novel Harry Potter ke dalam bentuk skripsi

dengan judul:

ANALISIS WACANA KRITIS NILAI-NILAI RASISME DALAM

NOVEL SERI HARRY POTTER DAN ORDE PHOENIX

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pokok-pokok pemikiran pada pemaparan sebelumnya, maka

penulis merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana representasi nilai rasisme dalam seri novel Harry Potter

dan Orde Phoenix?

2. Bagaimana konstruksi ideologi J.K Rowling dalam seri novel Harry

Potter dan Orde Phoenix?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui representasi nilai rasisme dalam seri novel

Harry Potter dan Orde Phoenix.

b. Untuk mengetahui konstruksi ideologi J.K Rowling dalam seri

novel Harry Potter dan Orde Phoenix.

10

2. Kegunaan Penelitian

a. Secara Teoritis

a) Sebagai masukan bagi perkembangan ilmu pengetahuan

khususnya ilmu komunikasi, terutama pengetahuan tentang

analisis wacana buku.

b) Sebagai bahan referensi mengenai komunikasi massa dan

analisis teks media.

c) Sebagai bahan rujukan bagi mahasiswa komunikasi yang

ingin mengkaji tentang analisis wacana.

b. Secara Praktis

a) Untuk menambah pengetahuan dalam bidang jurnalistik dan

pengembangan ilmu komunikasi.

b) Untuk menambah literatur kepustakaan atau referensi

mengenai analisis wacana, khususnya yang menyangkut

nilai rasisme.

c) Untuk masukan kepada pembaca terutama yang tertarik

dengan pembahasan analisis wacana pada buku.

D. Kerangka Konseptual

a. Bahasa, Teks, Konteks, dan Makna

Bahasa, bagi linguistik, yaitu sistem tanda bunyi yang disepakati untuk

dipergunakan oleh para anggota kelompok masyarakat tertentu dalam

bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri (Kushartanti,

11

2009: 3). Jelasnya bahwa bahasa memiliki fungsi yang bergantung pada

faktor siapa, apa, kepada siapa, tentang siapa, dimana, bilamana, beberapa

lama, untuk apa, dan dengan apa bahasa itu diujarkan. Bahasa itu

bermakna, berkaitan dengan segala aspek kehidupan dan alam sekitar

masyarakat yang memakainya.

Manusia mengucapkan pikirannya lewat bahasa, pikiran memakai

bahasa sebagai alat untuk mengekspresikan suatu hal. Dalam falsafat

bahasa, suatu realitas dibentuk dan diciptakan oleh manusia lewat bahasa

dengan mengungkap hal-hal tersembunyi menjadi nyata. Menurut Halliday

dalam Sobur (2009: 17), ketika kita menggunakan bahasa, maka bahasa itu

digunakan untuk menggambarkan pengalaman dunia nyata, termasuk

dunia dalam dan dari kesadarannya sendiri, tentang proses, orang-orang,

keadaan, hubungan, dan sebagainya.

Teks adalah suatu kesatuan bahasa yang memiliki isi dan bentuk, baik

lisan maupun tulisan yang disampaikan oleh seorang pengirim kepada

penerima untuk menyampaikan pesan tertentu. Dalam teori bahasa, teks

tidak lebih dari himpunan huruf yang membentuk kata dan kalimat yang

dirangkai dalam sistem tanda yang disepakati oleh masyarakat, sehingga

ketika dibaca dapat mengungkapkan makna yang dikandungnya. Teks

berkaitan dengan apa yang secara aktual dilakukan, dimaknai, dan

dikatakan oleh masyarakat dalam situasi nyata.

Bagi Barthes dalam Sobur (2009: 52 - 53), teks adalah sebuah objek

kenikmatan, seperti yang ia lukiskan: “What I enjoy in a story, is not

12

derictly its content, nor even its structure, but the abrasion I impose on the

fine surface: I speed ahead, I skip, I look up, I dip in again” (Apa yang

aku senangi dalam sebuah cerita, bukan secara langsung isinya, bahkan

bukan pula strukturnya, tetapi pengikisan yang aku terapkan pada

permukaan dasarnya: aku ngebut ke depan, aku lewatkan, aku perhatikan,

aku cari, aku masuk ke dalam lagi). Dengan membaca kembali dan

berulang-ulang sebuah teks dengan memotong-motongnya dan

menyusunnya kembali, Barthes menemukan kenikmatan yang dimaksud.

Jika sebuah teks tidak diteliti dan diinterogasi secara kritis, bisa-bisa

kesadaran kognitif kita akan dijajah oleh teks. Pembaca perlu “curiga” atau

kritis terhadap diri sendiri dan terhadap teks, agar terjadi wacana yang

cerdas dan se-objektif mungkin antara pihak pembaca dan penulis

(Hidayat, dalam Sobur, 2009: 55)

Konteks adalah kondisi dimana suatu keadaan terjadi. Ada beberapa

jenis konteks. Konteks fisik meliputi ruangan, obyek nyata, pemandangan,

dan lain sebagainya. Konteks menurut faktor sosio-psikologis menyangkut

faktor-faktor seperti status orang-orang yang terlibat dalam hubungan

komunikasi, peran mereka, dan tingkat kesungguhannya. Dimensi

pemilihan waktu atau tempo suatu konteks meliputi hari dan rentetan

peristiwa yang dirasakan terjadi sebelum peristiwa komunikasi

(Wikipedia).

Menurut Guy Cook, konteks memasukkan semua situasi dan hal yang

berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti

13

partisipan dalam bahasa, situasi dimana teks tersebut diproduksi, fungsi

yang dimaksudkan, dan sebagainya. Studi mengenai bahasa memasukkan

konteks karena bahasa selalu berada dalam konteks dan tidak ada tindakan

komunikasi tanpa partisipan, interteks, situasi, dan lainnya. (Eriyanto,

2001: 9)

Menurut Syafi’ie dalam Sobur (2009: 57), pada dasarnya konteks

pemakaian bahasa dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu:

1) Konteks fisik yang meliputi tempat terjadinya pemakaian bahasa dalam

suatu komunikasi, objek yang disajikan dalam peristiwa kemunikasi itu

dan tindakan atau perilaku dari para peran dalam peristiwa komunikasi.

2) Konteks epistemis atau latar belakang pengetahuan yang sama-sama

diketahui oleh pembicara maupun pendengar.

3) Konteks linguistik yang terdiri atas kalimat-kalimat atau tuturan-tuturan

yang mendahului satu kalimat atau tuturan tertentu dalam peristiwa

komunikasi.

4) Konteks sosial yaitu relasi sosial dan latar belakang yang melengkapi

hubungan antara pembicara dengan pendengar.

Makna ada dalam diri manusia tidak terletak pada kata-kata. Menurut

De Vito: “Kita menggunakan kata-kata untuk mendekati makna yang ingin

kita komunikasikan. Tetapi kata-kata tidak secara sempurna dan lengkap

menggambarkan makna yang kita maksudkan. Demikian pula, makna yang

didapat pendengar dari pesan-pesan kita akan sangat berbeda dengan

makna yang ingin kita komunikasikan. Komunikasi adalah proses yang

14

kita pakai untuk mereproduksi, di benak pendengar, apa yang ada dalam

benak kita. Reproduksi ini hanyalah sebuah proses parsial dan selalu bisa

salah” (dalam Sobur, 2009: 20).

Bahasa bukan hanya diterima secara apa adanya, tetapi ditanggapi

sebagai pengungkapan maksud dan makna tersembunyi dari orang yang

mengemukakan suatu pernyataan. Menurut Alfred Schutz dalam Sobur

(2009: 22), untuk dapat memahami tindakan manusia dengan baik, kita

harus memahami pula motif dasarnya dengan cara menempatkan diri kita

pada posisi sang pembicara. Sebelum kita menjelaskan suatu kata atau

istilah, terlebih dahulu kita memeriksa dalam situasi yang bagaimana kata

itu dipergunakan agar tidak terjebak dalam kerancuan bahasa karena suatu

kata bergantung pada penggunaan kalimat dan arti kalimat bergantung

pada penggunaan bahasa.

Pengetahuan dan pengalaman manusia sebagai sumber informasi

disimpan dalam otak sebagai kesatuan mental yang disebut konsep. Makna

merupakan kesatuan mental pengetahuan dan pengalaman yang terkait

dengan lambang bahasa yang mewakilinya. Analisis makna dapat

dilakukan melalui prototipe. Prototipe adalah representasi mental yang

mewakili contoh terbaik satu konsep tertentu. Pembentukan prototipe

dipengaruhi latar belakang sosial budaya dan lingkungan suatu masyarakat

bahasa (Kushartanti, 2009: 121 – 122).

Broadbeck, seperti dikutip dalam Sobur (2009: 25), mengemukakan

tiga pengertian tentang konsep makna, yaitu: 1). Makna referensial, makna

15

suatu istilah adalah objek, pikiran, ide, atau konsep yang ditunjukkan oleh

istilah tersebut; 2). Makna istilah, lambang atau istilah “berarti” sejauh ia

berhubungan secara “sah” dengan istilah yang lain, konsep yang lain. Jika

tidak dihubungkan dengan berbagai konsep lain, ia tidak mempunyai arti;

3). Makna intentional, bahwa arti suatu istilah atau lambang bergantung

pada apa yang dimaksudkan pemakai dengan arti lambang itu.

Jenis makna pada umumnya dibedakan atas makna yang bersifat

denotatif dan makna kata yang bersifat konotatif. Kata yang tidak

mengandung makna atau perasaan-perasaan tambahan disebut kata

denotatif. Sedangkan makna kata yang mengandung arti tambahan,

perasaan tertentu atau nilai rasa tertentu di samping makna dasar yang

umum, disebut kata konotatif (Keraf, 2010: 27 – 31).

b. Wacana dan Konstruksi Realitas

Wacana adalah kesatuan makna antarbagian di dalam suatu bangun

bahasa. Dengan kesatuan makna, wacana dilihat sebagai bentuk bahasa

yang utuh karena setiap bagian di dalam wacana itu berhubungan secara

padu. Di samping itu, wacana juga terikat pada konteks. Wacana

dibedakan atas teks, tuturan, bacaan, tulisan yang mengacu pada makna

yang sama, yaitu wujud konkret yang terlihat, terbaca, atau terdengar. Jika

kita menggunakan fungsi bahasa dari Leech dalam Kushartanti (2009: 93 –

94), wacana diklasifikasikan atas:

a) Wacana informasional, apabila wacana itu bersumber pada

pesan/informasi, seperti wacana berita dalam media massa;

16

b) Wacana estetik, apabila wacana itu bersumber pada pesan dengan

tekanan keindahan pesan, seperti wacana puisi dan lagu;

Jika ditinjau dari segi realitas, sebuah wacana berbentuk rangkaian

kebahasaan dengan semua kelengkapan struktural bahasa seperti adanya.

Pengaruh terhadap wacana dari pribadi penulis dalam bentuk kepentingan

idealis, ideologis, dan sebagainya. Untuk melakukan konstruksi realitas,

pelaku kontstruksi memakai suatu strategi tertentu. Strategi ini mencakup

pilihan bahasa mulai dari kata hingga paragraf, pilihan fakta, dan pilihan

teknik menampilkan wacana di depan publik/khalayak. Hasil dari proses

tersebut adalah wacana atau realitas yang dikonstruksikan berupa tulisan,

ucapan, dan tindakan.

Proses Konstruksi Realitas dalam Pembentukan wacana

1.1 Hamad dalam Darma (2009: 8)

Realitas pertama: kesadaran, benda, pikiran, orang, peristiwa...

Dinamika internal &

eksternal pelaku

konstruksi

Sistem komunikasi

yang berlaku

Strategi mengonstruksi

realitas

Faktor internal:

ideologis, idealis..

Faktor eksternal:

pasar, sponsor..

Realitas yang

dikonstruksikan

(teks, talk, act, artifact)

Makna, citra, dan kepentingan di balik wacana

Proses

konstruksi

realitas oleh

pelaku

Fungsi bahasa

Strategi framing

17

Pada kenyataannya, realitas sosial tidak berdiri sendiri tanpa kehadiran

individu baik dalam maupun luar realitas tersebut. Realitas sosial itu

memiliki makna ketika realitas sosial dikonstruksi dan dimaknakan secara

subjektif oleh individu. Jadi individu mengonstruksi realitas sosial dan

merekonstruksikannya dalam dunia nyata serta memantapkan realitas itu

berdasarkan pandangan subjektif individu. Konstruksi juga sarat dengan

kepentingan, masyarakat selalu berupaya mengenalkan diri mereka melalui

hal-hal yang mereka miliki. Menurut Berger dan Luckmann dalam Bungin

(2010: 7), realitas sosial adalah pengetahuan yang bersifat keseharian yang

hidup dan berkembang di masyarakat seperti konsep, kesadaran umum,

wacana publik, sebagai hasil dari konstruksi sosial.

Pekerjaan media pada hakikatnya adalah mengonstruksi realitas dengan

bahasa sebagai perangkatnya, maka seluruh isi media merupakan realitas

yang dikonstruksikan. Sedangkan bahasa bukan saja alat untuk

merepresentasikan realitas, namun juga bisa menentukan bentuk seperti

apa yang akan diciptakan oleh bahasa tentang realitas tersebut. Bahasa

bukan cuma mampu mencerminkan realitas, tetapi sekaligus menciptakan

realitas. Oleh karena itu, media massa melakukan berbagai tindakan dalam

konstruksi realitas dimana hasil akhirnya berpengaruh terhadap

pembentukan makna suatu realitas. Media massa tidak hanya dianggap

sebagai penghubung antara pengirim pesan kepada penerima pesan.

Intinya terletak pada bagaimana pesan/teks berinteraksi dengan orang

untuk memproduksi makna. (Fiske, dalam Sobur, 2009: 93).

18

c. Pendekatan Wacana Kritis

Analisis wacana adalah studi tentang struktur pesan dalam komunikasi

atau telaah mengenai aneka fungsi (pragmatik) bahasa. Analisis wacana

lahir dari kesadaran bahwa persoalan yang terdapat dalam komunikasi

bukan terbatas pada penggunaan kalimat, fungsi ucapan, tetapi juga

mencakup struktur pesan yang lebih kompleks yang disebut wacana

(Littlejohn, dalam Sobur, 2009: 48). Analisis wacana lebih bisa melihat

makna yang tersembunyi dari suatu teks, menekankan pada pemaknaan

teks karena dasar analisis wacana adalah interpretasi dan penafsiran

peneliti. Analisis wacana memfokuskan pada pesan tersembunyi dengan

fokus terhadap muatan, nuansa, dan makna dalam teks media.

Adapun analisis wacana kritis yang dijadikan perangkat analisis adalah

analisis wacana kritis Teun A. Van Dijk. Menurut Van Dijk (Eriyanto,

2009: 221), penelitian atas wacana tidak cukup hanya didasarkan pada

analisis atas teks, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi yang

harus juga diamati. Dalam hal ini dapat dilihat bagaimana suatu teks

diproduksi sehingga diperoleh suatu pengetahuan kenapa teks bisa

semacam itu. Model analisis Van Dijk sebagai berikut:

1.2. Sumber: diadopsi dari Eriyanto (2009: 225)

Konteks

Kognisi Sosial

Teks

19

Wacana oleh Van Dijk digambarkan mempunyai tiga dimensi: teks,

kognisi sosial, dan konteks sosial, lalu menggabungkannya ke dalam satu

kesatuan analisis. Dalam dimensi teks, yang diteliti adalah bagaimana

sturktur teks dan strategi wacana yang dipakai untuk menegaskan suatu

tema tertentu. Pada level kognisi sosial, proses produksi teks atau

kesadaran mental penulis dalam membuat suatu teks. Pada aspek ketiga

mempelajari bentuk wacana yang berkembang dalam masyarakat akan

suatu masalah. Titik perhatian Van Dijk terutama pada studi mengenai

rasialisme serta bagaimana kognisi dan kesadaran membentuk dan

mempengaruhi teks tertentu.

Secara umum, ada tiga tingkatan analisis wacana, yaitu analisis mikro,

fokus analisis pada teks terutama unsur bahasa yang digunakan; analisis

makro, analisis struktur sosial, ekonomi, politik, dan budaya masyarakat;

dan analisis meso, analisis pada diri individu/khalayak sebagai penghasil

dan konsumen teks. Berdasarkan penjelasan di atas, berikut ini adalah

skema atau kerangka penelitan penulis:

1.3 Kerangka Konseptual

Konstruksi

Realitas Sosial

Representasi Nilai-nilai

Rasisme

Novel Harry Potter

1. Teks

2. Kognisi Sosial

3. Konteks

Analisis Wacana

Van Dijk

20

E. Definisi Operasional

1. Wacana adalah komunikasi lisan atau tulisan yang dilihat dari titik

pandang kepercayaan, nilai, dan kategori yang masuk di dalamnya;

kepercayaan di sini mewakili pandangan dunia; sebuah organisasi atau

representasi dari pengalaman ( Roger Fawler dalam Eriyanto, 2001: 2)

2. Analisis wacana merupakan studi tentang struktur pesan dalam

komunikasi atau telaah melalui aneka fungsi bahasa (Sobur, 2001: 48).

Analisis wacana mengkaji muatan pesan, nuansa, dan makna yang

tersembunyi dalam sebuah teks.

3. Rasisme adalah suatu sistem kepercayaan atau doktrin yang menyatakan

bahwa perbedaan biologis yang melekat pada ras manusia menentukan

pencapaian budaya atau individu – bahwa suatu ras tertentu lebih superior

dan memiliki hak untuk mengatur yang lainnya. Rasisme telah menjadi

faktor pendorong diskriminasi sosial dan kekerasan rasial, termasuk

genosida. Istilah rasis telah digunakan dengan konotasi buruk paling tidak

sejak 1940-an dan identifikasi suatu kelompok atau orang sebagai rasis

sering bersifat kontroversial. (Wikipedia)

4. Buku/novel Harry Potter merupakan novel fantasi karangan J.K Rowling

mengenai seorang anak laki-laki bernama Harry Potter dan

pertarungannya melawan penyihir jahat Lord Voldemort yang

menggunakan Ilmu Hitam untuk membunuh orang tua Harry. Buku/novel

ini terbagi atas tujuh seri dan telah diangkat menjadi film layar lebar.

21

F. Metode Penelitian

1. Tipe Penelitian

Tipe penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif.

Pendekatan ini merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data

deskriptif yang menghasilkan kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang

dan perilaku yang dapat diamati (Bogdan&Taylor dalam Moeloeng, 2002:

3). Adapun sifat dari penelitian ini adalah deskriptif. Metode deskriptif

dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki

dengan menggambarkan/melukiskan keadaan subyek/obyek penelitian

(seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain) pada saat sekarang

berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Data yang

dikumpulkan berupa kata-kata/gambar dan bukan angka-angka. Hal ini

dilakukan seperti orang merajut sehingga setiap bagian ditelaah satu demi

satu (Moeloeng, 2002: 6). Format deskriptif kualitatif bertujuan untuk

menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, situasi, atau fenomena

realitas sosial dalam masyarakat yang menjadi objek penelitian dan

berupaya menarik realitas itu ke permukaan sebagai suatu ciri, karakter,

sifat, model, tanda, atau gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun

fenomena tertentu. (Bungin, 2010: 68).

2. Objek Penelitian dan Waktu Penelitian

a. Objek Penelitian

Objek penelitian yang dimaksud, yaitu tujuh buah buku/novel seri

Harry Potter karya J.K Rowling yang berjudul:

22

“Harry Potter dan Orde Phoenix”

b. Waktu Penelitian

Waktu penelitian dimulai dari bulan Pebruari sampai Juni tahun

2011.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis adalah melalui:

a. Pengumpulan data berupa novel Harry Potter dan Orde Phoenix

serta sejumlah data yang berkaitan dengan objek penelitian

tersebut, seperti berita-berita terkait, biografi penulis/penerjemah

dan dokumen-dokumen lainnya.

b. Penelitian pustaka dengan mengkaji dan mempelajari berbagai

literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti untuk

mendukung asumsi sebagai landasan teori permasalahan yang

dibahas.

c. Penelusuran data online, yaitu menelusuri data dari media online

seperti internet sehingga peneliti dapat memanfaatkan data

informasi online secepat dan semudah mungkin serta dapat

dipertanggungjawabkan secara akademis. Peneliti memilih

sumber-sumber data online mana yang kredibel dan dikenal

banyak kalangan.

4. Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kategotri

Analisis Wacana dalam Kelompok Metode Analisis Teks dan Bahasa.

23

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara menganalisis

teks tentang nilai-nilai rasisme dalam novel Harry Potter dan Orde

Phoenix karya J.K Rowling. Berdasarkan kerangka model Van Dijk,

penelitian ini menggabungkan analisis teks, yaitu menganalisis

bagaimana strategi wacana dan strategi tekstual yang dipakai untuk

menggambarkan seseorang atau peristiwa tertentu; analisis kognisi sosial,

yaitu menganalisis bagaimana kognisi penulis dalam memahami

seseorang atau peristiwa tertentu; dan analisis konteks sosial, yaitu

menganalisis bagaimana wacana yang berkembang dalam masyarakat,

proses produksi dan reproduksi seseorang atau peristiwa digambarkan.

Dalam mengungkapkan makna sebuah wacana tidak hanya dilihat dari

teks yang ada, tetapi mengaitkan dengan konteks yang melingkupi

kehadiran teks tersebut.

Van Dijk melihat suatu wacana terdiri atas berbagai struktur

/tingkatan; 1) Struktur makro, merupakan makna global/umum dari suatu

teks yang dapat diamati dengan melihat topik suatu teks. Tema wacana ini

bukan hanya isi, tetapi juga sisi tertentu dari suatu peristiwa, 2)

Superstruktur adalah kerangka suatu teks, bagaimana stuktur dan elemen

wacana itu disusun dalam teks secara utuh, dan 3) struktur mikro adalah

makna yang dapat diamati dengan menganalisis kata, kalimat, proposisi,

anak kalimat, para frase yang dipakai, dan sebagainya. Struktur wacana

Van Dijk dapat digambarkan sebagai berikut:

24

STRUKTUR WACANA HAL YANG DIAMATI UNIT ANALISIS

Struktur Makro

Tematik

(apa yang dikatakan)

Elemen: Topik/tema

Teks

Superstruktur

Skematis

(bagaimana pendapat disusun

dan dirangkai)

Elemen: Skema

Teks

Struktur Mikro

Semantik

(apa arti pendapat yang ingin

disampaikan?)

Elemen: latar, detail, maksud,

pengandaian, penalaran

Paragraf

Struktur Mikro

Sintaksis

(bagaimana pendapat

disampaikan?)

Elemen: koherensi,

nominalisasi, abstraksi, bentuk

kalimat, kata ganti

Kalimat proposisi

Struktur Mikro

Stilistik

(pilihan kata apa yang dipakai?)

Elemen: leksikon, kata kunci,

pemilihan kata

Kata

Struktur Mikro

Retoris

(dengan cara apa pendapat

disampaikan?)

Elemen: gaya, interaksi,

ekspresi, metafora, visual image

Kalimat proposisi

1.1 Struktur Analisis Teks

Dalam kerangka analisis wacana Van Dijk, perlu ada penelitian

mengenai kognisi sosial: kesadaran mental penulis (media cetak) yang

membentuk teks tersebut. Setiap teks pada dasarnya dihasilkan lewat

kesadaran, pengetahuan, prasangka, atau pengetahuan tertentu atas suatu

peristiwa. Bagaimana suatu peristiwa dipahami dan dimengerti didasarkan

pada skema/model. Skema bekerja untuk mengkonstruksi realitas,

membantu memandu apakah yang harus dipahami, maknai, dan diingat

25

tentang sesuatu. Model adalah suatu kerangka berpikir individu dalam

memandang dan memahami suatu masalah. Keyakinan dan pandangan

masyarakat mempengaruhi pandangan penulis sangat bergantung pada

pengalaman, memori, interpretasi penulis. Ini berhubungan dengan proses

psikologis individu penulis. Dimensi ketiga Van Dijk adalah analisis

sosial/konteks sosial. Dilakukan penelitian bagaimana wacana atau isu

rasisme diproduksi dan berkembang di masyarakat.

Baik struktur teks, kognisi sosial, maupun konteks sosial adalah

bagian yang penting dalam kerangka Van Dijk, maka skema penelitian

dan metode yang dilakukan sebagai berikut:

STRUKTUR METODE

Teks

Menganalisis bagaimana strategi wacana atau

tekstual yang dipakai dalam novel Harry Potter

untuk menggambarkan seseorang atau peristiwa

tertentu, dalam hal ini nilai rasisme.

Critical linguistik

Kognisi Sosial

Menganalisis bagaimana kognisi individu J.K

Rowling dalam memahami nilai rasisme yang

ditulis dalam novelnya.

Riwayat penulis

atau biografi

penulis (J.K

Rowling)

Konteks Sosial

Menganalisis bagaimana wacana rasis yang

berkembang dalam masyarakat, proses produksi

dan reproduksi rasisme yang digambarkan.

Studi pustaka dan

penulusuran

sejarah

1.2 Metode Analisis Wacana Kritis

Jika suatu teks mempunyai ideologi atau kecenderungan tertentu,

maka itu berarti menandakan dua hal. Pertama, penulis (J.K Rowling)

menghasilkan buku/novel kemungkinan mempunyai pandangan tertentu

mengenai rasisme. Kedua, kemungkinan teks tersebut merefleksikan

26

wacana masyarakat tentang rasisme. Untuk itu diperlukan analisis yang

luas, bukan hanya analisis pada teks tetapi juga terhadap kognisi individu

dan masyarakat.