BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uir.ac.id/470/1/bab1.pdfDefinisi ini juga...

27
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peredaran kosmetik yang tidak memenuhi persyaratan saat ini dilihat semakin menghawatirkan. Produk-produk kosmetik yang ada di pasar Indonesia saat ini banyak yang berasal dari produk impor yang tidak terdaftar dan tidak mencantumkan zat-zat yang terkandung di dalamnya. 1 Kosmetik yang menjadi salah satu kebutuhan bagi kehidupan manusia juga mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Sama seperti perkembangan teknologi yang terus mengalami modernisasi, kosmetik dan alat-alat kosmetik yang ada saaat ini juga mengalami perkembangan dengan kecanggihan teknologi yang ada. Kosmetik sebagai salah satu kebutuhan bagi manusia, selalu di cari untuk dipakai sehari-hari bagi banyak orang. Bagi kaum wanita, kosmetik sudah menjadi suatu kebutuhan pokok yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari- hari. Pada saat ini, tidak hanya kaum wanita tetapi kaum pria juga sudah banyak yang menggunakan kosmetik sebagai salah satu penunjang penampilannya. Kosmetik merupakan kebutuhan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Bahkan pada zaman saat ini banyak masyarakat yang mengganggap bahwa kosmetik tidak hanya menjadi kebutuhan sekunder saja, melainkan sudah menjadi kebutuhan primer. Kosmetik yang diedarkan di Indonesia harus mempunyai izin 1 https://jhonisamual.blogspot.co.id/2015/04/akibat-hukum-terhadap-produk-kosmetik. html, diakses tanggal 29 November 2016

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uir.ac.id/470/1/bab1.pdfDefinisi ini juga...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Peredaran kosmetik yang tidak memenuhi persyaratan saat ini dilihat

semakin menghawatirkan. Produk-produk kosmetik yang ada di pasar Indonesia

saat ini banyak yang berasal dari produk impor yang tidak terdaftar dan tidak

mencantumkan zat-zat yang terkandung di dalamnya.1

Kosmetik yang menjadi salah satu kebutuhan bagi kehidupan manusia juga

mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Sama seperti perkembangan

teknologi yang terus mengalami modernisasi, kosmetik dan alat-alat kosmetik

yang ada saaat ini juga mengalami perkembangan dengan kecanggihan teknologi

yang ada.

Kosmetik sebagai salah satu kebutuhan bagi manusia, selalu di cari untuk

dipakai sehari-hari bagi banyak orang. Bagi kaum wanita, kosmetik sudah

menjadi suatu kebutuhan pokok yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-

hari. Pada saat ini, tidak hanya kaum wanita tetapi kaum pria juga sudah banyak

yang menggunakan kosmetik sebagai salah satu penunjang penampilannya.

Kosmetik merupakan kebutuhan yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Bahkan pada zaman saat ini banyak masyarakat yang mengganggap bahwa

kosmetik tidak hanya menjadi kebutuhan sekunder saja, melainkan sudah menjadi

kebutuhan primer. Kosmetik yang diedarkan di Indonesia harus mempunyai izin

1 https://jhonisamual.blogspot.co.id/2015/04/akibat-hukum-terhadap-produk-kosmetik.

html, diakses tanggal 29 November 2016

2

edar berupa notifikasi yang dikeluarkan oleh BPOM. Notifikasi sangat dibutuhkan

karena dengan adanya notifikasi menandakan bahwa kosmetik tersebut aman

untuk digunakan. Sayangnya masih banyak ditemukan kosmetik salah satunya

kosmetik perawatan wajah yang tidak memiliki notifikasi.2

Salah satu kosmetik yang banyak di pakai oleh masyarakat saat ini adalah

krim untuk wajah, baik krim untuk pemutih, pencerah wajah, penghilang jerawat

ataupun yang lainnya. Peredaran krim ini banyak terdapat di pasar, baik pasar

tradisional ataupun pasar modern. Namun pada saat ini, banyak krim tersebut

yang diperjual belikan di klinik-klinik kecantikan.

Kosmetik adalah zat perawatan yang digunakan untuk meningkatkan

penampilan atau aroma tubuh manusia. Kosmetik umumnya merupakan campuran

dari beragam senyawa kimia, beberapa terbuat dari sumber-sumber alami dan

kebanyakan dari bahan sintetis. Perihal atau tata cara menggunakan kosmetik

disebut dengan tata rias atau make up.

Di Amerika Serikat, Food and Drug Administration (FDA), badan yang

mengatur industri kosmetik, mendefinisikan kosmetik sebagai "produk yang

dimaksudkan untuk digunakan pada tubuh manusia untuk membersihkan,

mempercantik, mempromosikan daya tarik, atau mengubah penampilan tanpa

mempengaruhi struktur atau fungsi tubuh". Definisi ini juga mencakup bahan

apapun yang digunakan sebagai komponen produk kosmetik. FDA secara khusus

2

Galuh Mekar Kuncoro, Perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran

kosmetik perawatan wajah tanpa notifikasi, Jurnal Novum Vol 1, 06 November 2016

3

mengecualikan sabun dari kategori ini, meskipun secara luas sabun juga tergolong

kosmetik.3

Kosmetika merupakan suatu bahan yang dapat digunakan untuk

mempercantik atau merawat diri. Secara definitif kosmetika diartikan sebagai

suatu ilmu yang mempelajari kandungan bahan dan manfaat yang dihasilkan oleh

pemakaian bahan tersebut terhadap penampilan dan kecantikan seseorang.

Gencarnya penawaran produk kosmetik baik melalui iklan di koran, radio,

dan televisi seolah-olah produk kosmetik tersebut nomor satu dan aman untuk

dipergunakan, dilakukan semata-mata agar masyarakat tertarik untuk membelinya.

Hal ini jelas amat berbahaya karena kosmetik tersebut mengandung bahan kimia

berbahaya dan tidak teruji secara klinis.

Masyarakat diharapkan dapat memilih mana yang baik atau tidak, padahal

hal tabu tersebut sangat sulit untuk masyarakat awam. Biasanya masyarakat hanya

berpatokan pada khasiat kosmetik yang mujarab, cepat terlihat khasiatnya, dan

ekonomis tanpa melihat efek samping dari penggunaan kosmetik tersebut. Kasus

ini banyak sekali terjadi seperti contoh kasus pengrebekan pusat kosmetik home

industri yang mengandung bahan kimia obat yang dilarang pada bulan Mei 2013.

Bahan kosmetik yang disita BPOM Semarang di Purwokerto, diperkirakan

mengandung obat terlarang. Kepala BPOM Semarang, Dra Zulaimah MSi Apt,

menyebutkan hasil uji laboratorium krim kecantikan yang disita dari satu satu

rumah produksi di Kompleks Perumahan Permata hijau tersebut, memang masih

belum selesai. Bahkan baku yang dipergunakan sebagai bahan baku krim tersebut,

3 https://id.wikipedia.org/wiki/Kosmetik, diakses tanggal 20 November 2016

4

antara lain berupa Bahan Kimia Obat (BKO) seperti obat-obatan jenis antibiotik,

deksametason, hingga hidrokuinon.

Penggerebekan rumah produksi krim kecantikan itu, dilakukan karena

rumah produksi tersebut belum memiliki izin produksi dari BPOM. Sementara

penggunaan bahan baku kosmetik harus mendapat pengawasan ketat, karena

penggunaan bahan baku yang tidak semestinya bisa membahayakan konsumen.

Krim pemutih hasil produksi warga Purwokerto ini, dijual ke klinik dan salon

kecantikan di seluruh wilayah Tanah Air. Pemilik rumah produksi yang berinisial

S, sudah dalam pengawasan petugas BPOM dan akan dikenai hukum pelanggaran

dalam bidang POM sesuai UU No 35 tahun 2009 bisa dikenai sanksi pidana

maksimal 15 tahun atau denda Rp 1,5 miliar.4

Sehubungan dengan hal kasus di atas, berikut ini penulis kemukakan

beberapa contoh kandungan yang berbahaya dalam kosmetik, yaitu:

1. Kosmetik pemutih kulit isi merkuri

Ammoniated mercury 1-5% dalam ointment direkomendasikan

sebagai bahan pemutih kulit karena berpotensi sebagai bahan pereduksi

(pemucat) warna kulit. Tetapi kosmetik pemutih berisi merkuri ini ternyata

toksisitasnya terhadap organ-organ tubuh seperti ginjal, saraf dan

sebagainya sangat besar. Ada dua jenis reaksi negative yang terlihat, reaksi

iritasi, kemerahan, pembengkakan kulit dan reaksi alergi, berupa

perubahan warna kulit sampai menjadi keabu-abuan atau kehitam-hitaman,

setempat atau tersebar merata.

2. Kosmetik pemutih kulit isi hidrokinon

Hidrokinon (hydroquinone) dan derivatnya serta hidrokortison

direkomendasikan oleh ahli kulit sebagai preparat pemutih kulit atau

preparat peluntur pigmen kulit. Tetapi ternyata preparat-preparat itu dapat

menyebabkan dermatitis kontak dalam bentuk bercak warna putih yang

disebabkan oleh over bleaching, atau sebaliknya, menimbulkan reaksi

hiperpigmentasi.5

4 Enny Yuli Nuraini, Penggunaan bahan kimia obat pada kosmetik, jurnal diploma

farmasi, kamis 23 Oktober 2014 5 http: //nurkosmetikunpacti.blogspot.co.id /2011/02/ kosmetik - dan- penggolongannya.

html, diakses tanggal 11 Desember 2016

5

Istilah kosmetik sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu Kosmetikos yang

berarti keahlian dalam menghias. Uraian di atas menjelaskan bahwa yang

dimaksud kosmetika adalah suatu campuran bahan yang digunakan pada tubuh

bagian luar dengan berbagai cara untuk merawat dan mempercantik diri sehingga

dapat menambah daya tarik dan menambah rasa percaya diri pemakaian dan tidak

bersifat mengobati atau menyembuhkan suatu penyakit tertentu.

Sekarang ini telah banyak produk kosmetika yang beredar di pasaran

dengan berbagai macam merk dan bentuk. Kosmetika tersebut memiliki bentuk

dan fungsi yang berbeda-beda, seperti halnya kosmetika penghilang bau badan

yang kini dibuat dengan berbagai bentuk, misalnya parfum berbentuk spray yang

penggunaannya dengan cara disemprotkan, splash cologne dengan bentuk cair

uang penggunaanya dengan cara dipercikkan dan deodorant berbentuk roll on

yang penggunaannya dengan cara dioleskan.

Kosmetika yang beredar di pasaran sekarang ini dibuat dengan berbagai

jenis bahan dasar dan cara pengolahannya. Menurut bahan yang digunakan dan

cara pengolahannya, kosmetika dapat dibagi menjadi 2 golongan besar yaitu

kosmetika tradisional dan kosmetika modern.

Kosmetika yang beredar di pasaran Indonesia ada tiga macam, yaitu

kosmetika tradisional, kosmetika modern, dan kosmedics cosmetics medicated.

1. Kosmetika Tradisional

Kosmetika Tradisional adalah kosmetika alamiah atau kosmetika

asli yang dapat dibuat sendiri langsung dari bahan-bahan segar atau yang

telah dikeringkan, buah-buahan dan tanam-tanaman disekitar kita. Cara

6

tradisional ini merupakan kebiasaan atau tradisi yang diwariskan turun-

temurun dari leluhur atau nenek moyang kita.

2. Kosmetika Modern

Kosmetika Modern adalah kosmetika yang diproduksi secara

pabrik (laboratorium), dimana telah dicampur dengan zat-zat kimia untuk

mengawetkan kosmetika tersebut agar tahan lama, sehingga tidak cepat

rusak.

Perlindungan hukum merupakan unsur yang harus ada di dalam negara.

Setiap pembentukan pasti di dalamnya ada hukum untuk mengatur warga

negaranya. Dalam suatu negara, pasti terjadi hubungan antara negara dan warga

negaranya. Hubungan inilah yang melahirkan hak dan kewajiban. Perlindungan

hukum akan hak bagi warga negara. Di sisi lain perlindungan hukum menjadi

kewajiban bagi negara. Negara wajib memberi perlindungan hukum bagi warga

negaranya.

Dalam negara hukum seperti Indonesia yang mengukuhkan sebagai negara

hukum yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3) yang

berbunyi : Indonesia adalah negara hukum. Ini berarti bahwa negara Indonesia

adalah negara yang berdasarkan atas hukum. Dengan sendirinya perlindungan

hukum menjadi unsur esensial serta menjadi konsekuensi dalam negara hukum.

Negara wajib menjamin hak-hak warga negaranya.6

Hukum perlindungan konsumen dewasa ini mendapat cukup perhatian

karena menyangkut aturan-aturan guna mensejahterakan masyarakat, bukan saja

6 Muktie, A. Fadjar, Type Negara Hukum, Bayumedia Publishing, Malang, 2005, hlm. 34

7

masyarakat selaku konsumen saja yang mendapat perlindungan, namun pelaku

usaha juga mempunyai hak yang sama untuk mendapat perlindungan, masing-

masing ada hak dan kewajiban. Pemerintah berperan mengatur, megawasi, dan

mengontrol, sehingga tercipta system yang kondusif saling berkaitan satu dengan

yang lain dengan demikian tujuan menyejahterakan masyarakat secara luas dapat

tercapai.

Perlindungan hukum terhadap konsumen yang diberikan negara haruslah

segera dapat diimplementasikan dalam kerangka kehidupan ekonomi. Hal ini

penting, mengingat bahwa perlinungan konsumen haruslah menjadi salah satu

perhatian yang utama karena berkaitan erat dengan kesehatan dan keselamatan

masyarakat sebagai konsumen. Ada beberapa pakar menyebutkan bahwa hukum

perlindungan konsumen merupakan cabang dari hukum ekonomi. Alasannya

permasalahan yang diatur dalam hukum perlindungan konsumen berkaitan erat

dengan pemenuhan kebutuhan barang dan/atau jasa. Ada pula yang mengatakan

bahwa hukum konsumen digolongkan dalam hukum bisnis atau hukum dagang

karena dalam rangkaian pemenuhan kebutuhan barang dan/atau jasa selalu

berhubungan dengan aspek bisnis atau perdagangan. Serta terdapat pula yang

menggolongkan hukum konsumen dalam hukum perdata, karena hubungan antara

produsen dan konsumen/pelaku usaha dalam aspek pemenuhan barang dan/atau

jasa yang merupakan hubungan perdata. 7

Perlindungan konsumen mempunyai cakupan yang luas meliputi

perlindungan terhadap konsumen barang dan jasa, yang berawal dari tahap

7

N. H. T. Siahan, Hukum Konsumen, Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab

Produk, Cetakan Ke 1, Pentai Rei, 2005, hlm. 34

8

kegiatan untuk mendapatkan barang dan jasa hingga ke akibat-akibat dari

pemakaian barang dan jasa itu. Cakupan perlindungan konsumen dalam dua

aspeknya itu, dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Perlindungan terhadap kemungkinan diserahkan kepada konsumen

barang dan atau jasa yang tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati

atau melanggar ketentuan Undang-undang.

2. Perlindungan terhadap diberlakukannya kepada konsumen syarat-syarat

yang tidak adil. Dalam kaitan ini termasuk persoalan-persoalan promosi

dan periklanan, standar kontrak, harga, layanan purnajual, dan

sebagainya.8

Fokus gerakan perlindungan konsumen (konsumerisme) dewasa ini

sebenarnya masih paralel dengan gerakan pertengahan abad ke-20. Di Indonesia,

gerakan perlindungan konsumen menggema dari gerakan serupa di Amerika

Serikat. YLKI yang secara popular dipandang sebagai perintis advokasi konsumen

di Indonesia berdiri pada kurun waktu itu, yakni 11 Mei 1973. Gerakan di

Indonesia ini termasuk cukup responsif terhadap keadaan, bahkan mendahului

Resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (Ecosoc) No. 2111 Tahun 1978 tentang

Perlindungan Konsumen.9

Sekalipun demikian, tidak berarti sebelum ada YLKI perhatian terhadap

konsumen di Indonesia sama sekali terabaikan beberapa produk hukum yang ada

bahkan yang diberlakukan sejak zaman colonial menyinggung sendi-sendi penting

perlindungan konsumen. Dilihat dari kuantitas dan materi muatan muatan produk

hukum itu dibandingkan dengan keadaan di Negara-negara maju terutama

Amerika Serikat, kondisi di Indonesia masih jauh dari menggembirakan.

8 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti,

Bandung, hlm. 10 9

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar grafika ,

Jakarta,2014, hlm.1

9

Walaupun begitu, keberadaan peraturan hukum bukan satu-satunya ukuran untuk

menilai keberhasilan gerakan perlindungan konsumen. Gerakan ini seharusnya

bersifat missal dan membutuhkan kemauan politik yang besar untuk

mengaplikasikannya.

Pemberlakuan suatu peraturan perundang-undangan, pada dasarnya

dimaksudkan untuk merubah atau mengarahkan prilaku atau situasi tertentu, dari

yang semula dinilai tidak baik dipandang sebagai masalah menuju situasi yang

ideal. Dengan kata lain, menyelesaikan berbagai masalah yang ada dengan

melakukan perubahan-perubahan baik terhadap prilaku maupun situasi tertentu,

itulah yang pada dasarnya dijadikan sebagai landasan mengapa suatu peraturan

perundang-undangan diberlakukan.

Sebagai upaya untuk menyelesaikan masalah-masalah tertentu, maka

didalam peraturan tentunya akan disertai pula dengan penetapan tentang kondisi

ideal yang ingin dicapai serta strategi yang ditempuh untuk merubah kondisi yang

tidak baik menuju kondisi ideal yang diharapkan.

Pada tahapan selanjutnya guna mendukung strategi yang dipilih, maka

dirumuskan berbagai norma-norma hukum yang diperlukan untuk itu. Melalui

perumusan norma-norma sebagai bagian untuk mendukung strategi yang telah

dipilih, maka anggota masyarakat yang menjadi addresat hukum, diarahkan untuk

berbuat atau tidak berbuat sebagaimana yang dikehendaki oleh norma-norma

tersebut, sehingga lambat laun terjadi perubahan perilaku dari anggota

masyarakat, dari perilaku yang semula tidak baik berubah menjadi baik. Demikian

10

pula dengan situasi tertentu, dengan ditetapkannya norma-norma tertentu, maka

situasi yang semula tidak baik diharapkan akan berubah menjadi lebih baik.

Hukum perlindungan konsumen menurut Nasution, merupakan bagian dari

hukum konsumen yang lebih luas. Secara definisi beliau mengemukakan “hukum

perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang memuat

asas-asas atau kaidah-kaidah bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat

melindungi kepentingan konsumen.

Adapun hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas atau

kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dari masalah antara berbagai pihak satu

sama lain berkaitan dengan barang dan atau jasa konsumen, di dalam pergaulan

hidup.

Nasution mengakui asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur

hubungan dan masalah konsumen itu tersebar dalam berbagai bidang hukum, baik

tertulis maupun tidak tertulis. Ia menyebutkan seperti hukum perdata, hukum

dagang, hukum pidana, hukum administrasi Negara dan hukum internasional,

terutama konvensi-konvensi yang berkaitan dengan kepentingan-kepentingan

konsumen.

Dikarenakan posisi konsumen yang lemah maka ia harus dilindungi oleh

hukum. Salah satu sifat, sekaligus tujuan hukum itu adalah memberikan

perlindungan kepada masyarakat. Jadi sebenarnya hukum konsumen dan hukum

perlindungan konsumen adalah dua bidang hukum yang sulit dipisahkan dan

ditarik batasnya.

11

Dengan demikian, sebaiknya dikatakan bahwa hukum konsumen berskala

lebih luas karena didalamnya meliputi berbagai aspek hukum yang terdapat

kepentingan pihak konsumen. Kata aspek hukum ini sangat bergantung pada

kemauan kita mengartikan hukum, termasuk juga hukum diartikan sebagai asas

dan norma. Salah satu bagian dari hukum konsumen adalah aspek

perlindungannya, misalnya bagaimana cara mempertahankan hak-hak konsumen

terhadap gangguan pihak lain.

Berdasarkan paparan diatas, maka dapat diketahui bahwa ruang lingkup

hukum perlindungan konsumen pada dasarnya berfokus pada hubungan hukum

antara konsumen dengan pelaku usaha, didalam berbagai tahap kegiatan ekonomi,

yaitu kegiatan produksi, distribusi maupun konsumsi. Dalam persepektif hukum,

hal ini menimbulkan konsekuensi, pembahasan terhadap materi hukum

perlindungan konsumen tidaklah hanya cukup bila dilakukan dari satu aspek

bidang saja, akan tetapi meliputi berbagai bidang hukum seperti hukum

administrasi Negara, hukum pidana, dann hukum perdata (termasuk hukum

dagang), baik yang berupa hukum materiil maupun hukum formil.

Sebagai pengguna kosmetik, konsumen seharusnya berhak mendapatkan

kualitas yang bagus terhadap apa yang dipakainya untuk wajah mereka, namun

pada kenyataannya pada saat ini banyak konsumen yang merasa kecewa terhadap

apa yang mereka gunakan. Dengan banyak nya beredar kosmetik dengan berbagai

bahan yang mengandung zat-zat yang dapat menyebabkan kerusakan pada tubuh

tentunya ini akan merugikan konsumen. Khususnya terhadap krim yang di beli

12

dari klinikklinik kecantikan tersebut, tidak sedikit konsumen yang harus

merasakan dampak dari pemakaian krim tersebut.

Di wilayah Kota Pekanbaru banyak terdapat klinik-klinik kecantikan untuk

tempat melakukan perawatan kecantikan sekaligus tempat membeli kosmetik

untuk dipakai diwajah. Kosmetik yang dibeli dari klinik-klinik kecantikan tersebut

tidak jarang pemakainya merasakan hal-hal yang tidak mengenakan saat dipakai.

Seperti muka terasa perih, gatal-gatal, muka memerah dan lainnya.

Klinik kecantikan yang ada di kota Pekanbaru tidak semuanya yang

terdaftar di BPOM dan Dinas Kesehatan, ada juga pemilik klinik-klinik yang

belum mendafttarkan klinik-klinik mereka ke BPOM dan Dinas Kesehatan.

Adapun klinik kecantikan yang sudah di periksa oleh pihak BPOM adalah

sebanyak 20, namun ada 5 klinik kecantikan yang tidak memenuhi syarat dari

BPOM. Klinik kecantikan yang terdaftar di Dinas Kesehatan tahun 2017 terdapat

16 Klinik Kecantikan yang terdaftar izinnya. Secara tidak langsung apabila

kosmetik yang tidak terdaftar di BPOM dan Dinas Kesehatan akan merugikan

konsumen. Apabila klinik tersebut tidak terdaftar tentunya kosmetik yang ada

disana tidak jelas mutu dan kualitas barangnya. Sehingga inilah yang

megakibatkan konsumen merasa dirugikan.

Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik mengangkat masalah

dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Atas Penggunaan

Kosmetik Ilegal Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen di Kota Pekanbaru”.

13

B. Masalah Pokok

Berdasarkan keterangan di atas, maka penulis merumuskan masalah

sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pelaksanaan perlindungan hukum terhadap pengguna

kosmetik yang ada di klinik kecantikan?

2. Bagaimanakah penyelesaian sengketa antara konsumen dengan pemilik

klinik kecantikan ?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan

perlindungan hukum dan mengetahui penyelesaian sengketa antara

konsumen dengan pemilik klinik kecantikan.

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini, untuk menjadi acuan bagi para penulis,

terutama penulis yang mempunyai kesamaan yakni pelaksanaan

perlindungan hukum terhadap hak-hak konsumen pemakai kosmetik,

memberi pengetahuan kepada masyarakat tentang perlindungan konsumen.

D. Kerangka Teori

Teori adalah merupakan suatu prinsip atau ajaran pokok yang dianut untuk

mengambil suatu tindakan atau memecahkan suatu masalah. Landasan teori

merupakan ciri penting bagi penelitian untuk mendapatkan data. Teori merupakan

14

alur penalaran atau logika (flow of reasoning/logic), terdiri dari seperangkat

konsep atau variable, defenisi dan proposisi yang disusun secara sistematik.10

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala

spesifik atau proses tertentu terjadi. Suatu teori harus diuji dengan

menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak

benarannya.11

Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan

atau petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.

Terdapat beberapa teori perlindungan hukum yang diutarakan oleh para

ahli, seperti Setiono yang menyatakan bahwa perlindungan hukum merupakan

tindakan untuk melindungi masyarakat dari kesewenang-wenangan penguasa yang

tidak sesuai dengan aturan yang berlaku untuk mewujudkan ketenteraman dan

ketertiban umum. Tetapi yang paling relevan untuk Indonesia adalah teori dari

Philipus M.Hadjon. Dia menyatakan bahwa perlindungan hukum bagi rakyat

berupa tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan represif. Bersifat preventif

artinya pemerintah lebih bersikap hati-hati dalam pengambilan dan pembuatan

keputusan karena masih dalam bentuk tindakan pencegahan. Sedangkan bersifat

represif artinya pemerintah harus lebih bersikap tegas dalam pengambilan dan

pembuatan keputusanatas pelanggaran yang telah terjadi.

Perlindungan hukum preventif merupakan hasil teori perlindungan hukum

berdasarkan Philipus. Perlindungan hukum ini memiliki ketentuan-ketentuan dan

ciri tersendiri dalam penerapannya. Pada perlindungan hukum preventif ini,

10

J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Rineka Cipta, Jakarta, 2003,

hlm.194 11

JJ.M.Wuisman, Peneliti Ilmu-ilmu Sosial, Jilid I, UI Press, Jakarta, 1996 , hlm.203

15

subyek hukum mempunyai kesempatan untuk mengajukan keberatan dan

pendapatnya sebelum pemerintah memberikan hasil keputusan akhir.

Perlindungan hukum ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan

yang berisi rambu-rambu dan batasan-batasan dalam melakukan sesuatu.

Perlindungan ini diberikan oleh pemerintah untuk mencegah suatu pelanggaran

atau sengketa sebelum hal tersebut terjadi. Karena sifatnya yang lebih

menekankan kepada pencegahan, pemerintah cenderung memiliki kebebasan

dalam bertindak sehingga mereka lebih hati-hati dalam menerapkannya. Belum

ada peraturan khusus yang mengatur lebih jauh tentang perlindungan hukum

tersebut di Indonesia.

Perlindungan hukum represif juga merupakan hasil teori dari Philipus,

tetapi ini memiliki ketentuan-ketentuan dan ciri yang berbeda dengan

perlindungan hukum preventif dalam hal penerapannya. Pada hukum represif ini,

subyek hukum tidak mempunyai kesempatan untuk mengajukan keberatan karena

ditangani langsung oleh peradilan administrasi dan pengadilan umum. Selain itu,

ini merupakan perlindungan akhir yang berisi sanksi berupa hukuman penjara,

denda dan hukum tambahan lainnya.Perlindungan hukum ini diberikan untuk

menyelesaikan suatu pelanggaran atau sengketa yang sudah terjadi dengan konsep

teori perlindungan hukum yang bertumpu dan bersumber pada pengakuan dan

perlindungan terhadap hak-hak manusia dan diarahkan kepada pembatasan-

pembatasan masyarakat dan pemerintah.12

12

http://www.ilmuhukum.net/2015/09/teori-perlindungan-hukum-menurut-para.html,

diakses tanggal 16 Desember 2016

16

Teori yang juga digunakan dalam penelitian ini adalah teori keseimbangan

hak dan kewajiban antara konsumen dengan produsen kosmetik dan teori

perlindungan konsumen yang menjadi pedoman dalam penulisan ini adalah segala

upaya untuk menjamin adanya kepastian hukum dan adanya perlindungan hukum

yang diberikan kepada konsumen.

Hukum dapat memberikan keadilan, ketertiban, kemanfaatan terhadap

pelaksanaan hak dan kewajiban yang dimiliki oleh konsumen. Perlindungan

hukum terhadap konsumen juga dituangkan dalam Undang-Undang Dasar 1945

yakni :

Pasal 27 ayat (1) yang berbunyi :

“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan

pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan

tidak ada kecualinya.”

Sedangkan Pasal 28 D ayat (1) yang berbunyi :

“ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, pelindungan dan kepastian

hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”

Keadilan terbagi menjadi 3 (tiga) kategori yaitu :13

a. Keadilan Kumutatif;

Keadilan Kumutatif merupakan suatu keputusan yang konstan

untuk memberikan setiap orang haknya (to give each one his due)

dengan tujuan untuk menyesuaikan atau menyeimbangkan interaksi

antar individu, sehingga masing-masing bisa memperoleh haknya

secara sama. Jadi keadilan kumutatif merupakan keadilan yang berasal

13

Munir Fuady, Dinamika Teori Hukuum, Ghalia Indonesia,Ciawi-Bogor, hlm.110

17

dari suatu kebajikan yang khusus dan pada prinsipnya memberlakukan

asas “sama rata sama rasa” tanpa melihat pada kualifikasi pencari

keadilan tersebut, jadi keadilan kumutatif memberlakukan orang secara

sama (equal).

b. Keadilan Distributif

Keadilan Distributif diartikan sebagai suatu keputusan yang

konstan dari negara sebagai otoritas kekuasaan untuk memberikan

setiap orang akan haknya, dengan tujuan untuk mendistribusikan

barang-barang yang dapat dimiliki dalam jenis dan jumlah yang

masing-masing bervariasi, sesuai dengan jasa baik (merits),

kecurangan/ketercelaan (demerits), kemampuan dan kebutuhan dari

setiap individu dalam suatu masyarakat. Sehingga terhadap keadilan

distributif ini ada yang menganggap sebagai bagian dari “keadilan

untuk memberi hasil (remunerative justice) atau keadilan untuk

memppertahankan hak (vindicative justice). Dalam hal ini, keadilan

distributive memberikan setiap orang sesuai prestasinya, atau

memberikan setiap orang sesuai tingkat keaslahannya, karena itu

berbeda dengan keadilan kumutatif yang menekankan kepada

pengertian “kesamaan”, sedangkan keadilan distributif lebih

menekankan kepada pengertian “proposional”.

c. Keadilan Hukum

Keadilan Hukum (legal justice) berarti keadilan telah

dirumuskan oleh hukum dalam bentuk hak dan kewajiiban, dimana

pelanggaran terhadap keadilan ini akan ditegakkan lewat proses

18

hukum, umumnya oleh pengadilan. Namun ada pengertian lain dari

keadilan hukum ini yang sebenarnya lebih merupakan keadilan social,

yaitu suatu keputusan yang konstan dari warga negara untuk

memberikan kepada negara hak dari negara tersebut, dengan tujuan

untuk menyesuaikan setiap tindakan individu dengan kepentingan

bersama dalam negara.14

Pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang saling memerlukan.

Pelaku usaha perlu menjual barang dan jasanya kepada konsumen. Sebaliknya

konsumen memerlukan barang dan/atau jasa yang dihasilkan dan dijual oleh

pelaku usaha guna memenuhi keperluannya sehingga kedua belah pihak saling

memperoleh manfaat atau keuntungan.

Dalam prakteknya sering kali konsumen dirugikan oleh pelaku usaha yang

tidak jujur, nakal yang ditinjau dari aspek hukum merupakan tindakan

pelanggaran hukum. Akibatnya konsumen menerima barang dan/atau jasa tidak

sesuai dengan kualitas, kuantitas dan harganya. Di sisi lain karena ketidak tahuan

dan kekurang sadaran konsumen akan hak-haknya maka konsumen menjadi

korban pelaku usaha.15

Lemahnya posisi konsumen dibandingkan posisi produsen juga

disebabkan karena mulai dari proses sampai hasil produksi barang dan/atau jasa

yang dihasilkan tanpa campur tangan konsumen sedikitpun.16

14

Ibid, hlm.118 15

Abdul Halim Barkatullah, Hukum Perlindungan Konsumen, FH.Unlam Press,

Banjarmasin, 2008, hlm.5 16

Husni Syawali, Hukum Perlindungan konsumen, PT.Mandar Maju, Bandung, 2000,

hlm.7

19

Langkah untuk meningkatkan martabat dan kesadaran konsumen harus

diawali dengan upaya untuk memahami hak-hak pokok konsumen, yang dapat

dijadikan sebagai landasan perjuangan untuk mewujudkan hak-hak tersebut.

Hak konsumen sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 UU No.8 Tahun 1999

adalah sebagai berikut :17

a. Hak atas kenyamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang

dan/atau jasa;

b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang

dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta

jaminan yang dijanjikan;

c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa;

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa

yang digunakan;

e. Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan dan upaya

penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif;

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian,

apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan

perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

lainnya.

Disamping hak-hak dalam Pasal 4, juga terdapat hak-hak konsumen yang

dirumuskan dalam pasal-pasal berikutnya, khususnya dalam Pasal 7 yang

mengatur tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan

anatomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha dapat dilihat sebagai hak

konsumen.18

17

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen 18

Celina Tri Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, 2014,

hlm.31-32

20

Keperluan adanya hukum untuk memberikan perlindungan kepada

konsumen, meupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari, sejalan dengan tujuan

pembangunan nasional kita yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.

Membahas keperluan hukum untuk memberikan perlindungan bagi konsumen

Indonesia, hendaknya terlebih dahulu kita lihat situasi peraturan Perundang-

undangan Indonesia khusunya atau keputusan yang memberikan perlindungan

bagi masyarakat, sehingga bentuk hukum perlindungan konsumen yang

ditetapkan sesuai dengan yang diperlukan bagi konsumen Indonesia dan

keberadaannya tepat apabila diletakkan didalam kerangka system hukum nasional

Indonesia.19

Kewajiban pelaku usaha :

1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi

dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan

penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur secara

tidak diskriminatif;

4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau

diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau

jasa yang berlaku;

5. Member kesempatan kepada konsumen untuk menguji jaminan

dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan;

6. Member kompensasi, ganti rugi dan/atau jasa pergantian barang

dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan

perjanjian.20

Selain kewajiban pelaku usaha, di dalam Undang-Undang Perlindungan

Konsumen juga diatur berbagai larangan bagi pelaku usaha sesuai dengan Pasal 8

UUPK. Secara garis besar larangan yang dikenakan dalam Pasal 8 Undang-

19

Op.Cit,hlm.39 20

Kelik Wardiono, Hukum Perlindungan Konsumen, Ombak, Yogyakarta, 2014,hlm.60-

61

21

Undang Perlindungan Konsumen tersebut dapat dibagi kedalam dua larangan

pokok, yaitu :

a. Larangan mengenai produk itu sendiri, yang tidak memenuhi syarat

dan standar yang layak untuk dipergunakan atau dipakai atau

dimanfaatkan oleh konsumen;

b. Larangan mengenai ketersediaan informasi yang tidak benar, dan tidak

akurat, yang menyesatkan konsumen.

Berbagai larangan bagi pelaku usaha sesuai dengan Pasal 8 Undang-

Undang Perlindungan Konsumen baik larangan mengenai kelayakan produk,

berupa barang dan/atau jasa pada dasarnya berhubungan erat dengan karakteristik

dan sifat dari barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. Kelayakan produk

tersebut merupakan “standar minimum’ yang harus dipenuhi atau dimiliki oleh

suatu barang dan/atau jasa tersebut dapat diperdagangkan untuk dikonsumsi

masyarakat luas.21

Sebagai konsekuensi hukum dari pelanggaran yang diberikan Undang-

Undang tentang perlindungan konsumen dan sifat perdata dari hubungan antara

pelaku usaha dan konsumen maka setiap pelanggaran yang dilakukan pelaku

usaha yang merugikan konsumen memberikan hak kepada konsumen yang

dirugikan tersebut untuk meminta pertanggung jawaban dari pelaku usaha yang

merugikan serta menuntut rugi atas kerugian yang diderita oleh konsumen.22

21

Lihat Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen 22

Gunawan Widjaja, Ahmad Yani, Hukum Perlindungan Konsumen, Gramedia Pustaka

Utama, Jakarta, 2008,hlm.3

22

E. Konsep Operasional

Konsep operasional digunakan untuk memberikan pegangan pada proses

penelitian. Oleh karena itu, dalam rangka penelitian ini, perlu dirumuskan

serangkaian defenisi operasional atas beberapa variable yang digunakan, sehingga

demikian tidak akan menimbulkan perbedaan penafsiran atas sejumlah istilah dan

masalah yang dibahas. Disamping itu, dengan adanya penegasan kerangka konsep

operasional ini, diperoleh suatu persamaan pandangan dalam menganalisa

masalah yang diteliti, baik dipandang dari aspek yuridis, maupun dipandang dari

aspek sosiologis.

Untuk menghinndari terjadinya salah pengertian dan pemahaman yang

berbeda tentang tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini, maka kemudian

dikemukakan konsep operasional dalam berupa defenisi sebagai berikut :

1. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/jasa yang tersedia

dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,

maupun makhuluk hidup lain dan tidak utnuk diperdagangkan.23

2. Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik

yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan

dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara

Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian

menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.24

23

Celina Tri Siwi Kritiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika,Jakarta,

2014,hlm.27 24

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen

23

3. Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik

bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat

dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau

dimanfaatkan oleh konsumen.25

4. Perlindungan konsumen adalah segala upaya menjamin adanya kepastian

hukum untuk member perlinndungan kepada konsumen.26

F. Metode Penelitian

Dalam penelitian penulis mempergunakan metode penelitian sebagai

berikut :

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Ditinjau dari jenisnya, maka penelitian ini termasuk jenis

penelitian observational research dengan cara survei. Penelitian survei

adalah penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan

menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data yang pokok.27

Sedangkan dilihat dari sifatnya adalah diskriptif analitis, yaitu suatu

penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan, dan

menganalisis hukum baik dalam bentuk teori maupun praktek dengan

cara melakukan wawancara di saat penelitian di lapangan bertujuan untuk

mendeskripsikan atau menggambarkan dan menganalisis data yang

diperoleh secara sistematis, factual, dan akurat, termasuk didalamnya

25

Pasal 1 ayat (4) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen 26

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen 27

Masri Singabirun dan Sofian Effendi (Eds), Metode Penelitian Survei, Pustaka LP3ES

Indonesia, Jakarta, 2008, hlm.3

24

peraturan perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori

hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang menyangkut dalam

permasalahan di atas.

2. Obyek Penelitian

Adapun obyek dari penelitian ini adalah Perlindungan Hukum

Terhadap Konsumen Atas Penggunaan Kosmetik Ilegal Berdasarkan

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

di Kota Pekanbaru.

3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada kota Pekanbaru Provinsi Riau,

dengan alasan dan pertimbangan di wilayah tersebut meupakan kota

dengan masyarakat yang cukup banyak menggunakan kosmetik yang

berasal dari klinik-klinik kecantikan sehingga menarik diteliti mengenai

perlindungan hukum terhadap konsumen atas penggunaan kosmetik

ilegal berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen di Kota Pekanbaru.

4. Populasi dan Sampel

Dalam penulisan ini responden mewakili populasi dan menjadi

subjek penelitian secara langsung. Populasi atau universe ialah jumlah

keseluruhan dari unit analisa yang ciri-cirinya akan diduga. Sedangkan

responden atau sampel mewakili populasi dan menjadi subjek peneliti

secara langsung dilapangan guna mendapatkan data, bahan-bahan dan

informasi yang diperlukan dalam penulisan.

25

Adapun yang menjadi populasi dan sampel / responden ini antara

lain perwakilan Kantor Badan Pengawasan Obat dan Makanan kota

Pekanbaru. Sedangkan dari pihak klinik kecantikan memilih sampel /

responden adalah 3 klinik kecantikan dengan alasan mengambil satu

klinik dari setiap kecamatan yang banyak masyarakat menggunakan

kosmetik dari klinik-klinik kecantikan, yakni antara lain Kecamatan

Pekanbaru Kota, Kecamatan Tampan, Kecamatan Sail. Dari pihak

masyarakat dengan jumlah yang tidak terhingga dan memilih jumlah

sampel/responden dari pihak masyarakat yakni 25 orang. Untuk

mengetahui lebih jauh dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel I.1

Populasi dan Sampel Pengguna Kosmetik Ilegal di Kota Pekanbaru

No Kriteria Populasi Jumlah

Teknik Penentuan

Responden

Sampel Sensus

1 Kantor Badan Pengawasan

Obat dan Makanan 1 1 orang -

2 Klinik kecantikan 3 3 orang -

3 Masyarakat

pengguna kosmetik

illegal ∞

(tak terhingga)

25 orang -

4 Kantor Dinas

Kesehatan Kota

Pekanbaru

1 1 orang -

Jumlah 30 Orang - Sumber : Data Lapangan setelah Diolah Pada Tahun 2017

26

5. Data dan Sumber Data

Sebagai sumber data dalam penelitian ini adalah :

a. Data Primer adalah data utama yang diperoleh dai hasil wawancara di

lapangan pada saat penelitian melalui responden yang berhubungan

langsung dengan permasalahan di atas.

b. Data sekunder adalah yang diperoleh dari buku-buku, pendapat para

ahli di dalam berbagai literatur yang berhubungan langsung dengan

permasalahan yang diteliti.

6. Alat Pengumpul Data

Sebagai alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Observasi

Observasi merupakan teknik pengumpulan data yang

dilakukan dengan cara pengamatan langsung terhadap objek penelitian

yaitu terhadap kesadaran hukum masyarakat atas Perlindungan

Hukum Terhadap Konsumen Atas Penggunaan Kosmetik Ilegal

Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen di Kota Pekanbaru.

b. Kuesioner

Kuesioner yakni mengumpulkan data dengan menyebarkan

angket yang berisi daftar-daftar pertanyaan baik daftar pertanyaan

secara terbuka maupun secara tertutup. Kuesioner pada penelitian ini

diajukan kepada pemilik klinik kecantikan dan masyarakat pengguna

kosmetik illegal di Kota Pekanbaru.

27

c. Wawancara yakni mengumpulkan data dengan mengajukan

pertanyaan-pertanyaan melalui tanya jawab secara langsung kepada

responden yang disesuaikan dengan permasalahan yang dibahas.

Dalam penelitian ini wawancara dilakukan kepada perwakilan Kantor

Badan pengawasan Obat dan Makanan di kota Pekanbaru.

7. Analisis Data

Dalam penelitian ini setelah data terkumpul melalui wawancara dan

kuesioner maka akan dikelompokkan berdasarkan permasalahan pokok

untuk kemudian disajikan dalam bentuk tabel dan dalam bentuk kalimat

yang menjelaskan hasil-hasil data. Data yang telah diolah kemudian akan

dihubungkan dengan teori-teori, pendapat para ahli atau tulisan-tulisan dari

buku-buku maupun peraturan perundang-undangan yang berhubungan

dengan penelitian ini.

8. Metode Penarikan Kesimpulan

Dalam penelitian ini penarikan kesimpulan dilakukan dengan cara

deduktif yakni cara penarikan kesimpulan dari hal-hal yang umum

kepada hal-hal yang khusus. Hal umum menurut peraturan-peraturan

yang yang ada hingga kepada hal khususnya berupa praktek mengenai

analisa kesadaran hukum masyarakat atas Perlindungan Hukum

Terhadap Konsumen Atas Penggunaan Kosmetik Ilegal Berdasarkan

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan konsumen

di kota Pekanbaru.