BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uir.ac.id/470/1/bab1.pdfDefinisi ini juga...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uir.ac.id/470/1/bab1.pdfDefinisi ini juga...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Peredaran kosmetik yang tidak memenuhi persyaratan saat ini dilihat
semakin menghawatirkan. Produk-produk kosmetik yang ada di pasar Indonesia
saat ini banyak yang berasal dari produk impor yang tidak terdaftar dan tidak
mencantumkan zat-zat yang terkandung di dalamnya.1
Kosmetik yang menjadi salah satu kebutuhan bagi kehidupan manusia juga
mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Sama seperti perkembangan
teknologi yang terus mengalami modernisasi, kosmetik dan alat-alat kosmetik
yang ada saaat ini juga mengalami perkembangan dengan kecanggihan teknologi
yang ada.
Kosmetik sebagai salah satu kebutuhan bagi manusia, selalu di cari untuk
dipakai sehari-hari bagi banyak orang. Bagi kaum wanita, kosmetik sudah
menjadi suatu kebutuhan pokok yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-
hari. Pada saat ini, tidak hanya kaum wanita tetapi kaum pria juga sudah banyak
yang menggunakan kosmetik sebagai salah satu penunjang penampilannya.
Kosmetik merupakan kebutuhan yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Bahkan pada zaman saat ini banyak masyarakat yang mengganggap bahwa
kosmetik tidak hanya menjadi kebutuhan sekunder saja, melainkan sudah menjadi
kebutuhan primer. Kosmetik yang diedarkan di Indonesia harus mempunyai izin
1 https://jhonisamual.blogspot.co.id/2015/04/akibat-hukum-terhadap-produk-kosmetik.
html, diakses tanggal 29 November 2016
2
edar berupa notifikasi yang dikeluarkan oleh BPOM. Notifikasi sangat dibutuhkan
karena dengan adanya notifikasi menandakan bahwa kosmetik tersebut aman
untuk digunakan. Sayangnya masih banyak ditemukan kosmetik salah satunya
kosmetik perawatan wajah yang tidak memiliki notifikasi.2
Salah satu kosmetik yang banyak di pakai oleh masyarakat saat ini adalah
krim untuk wajah, baik krim untuk pemutih, pencerah wajah, penghilang jerawat
ataupun yang lainnya. Peredaran krim ini banyak terdapat di pasar, baik pasar
tradisional ataupun pasar modern. Namun pada saat ini, banyak krim tersebut
yang diperjual belikan di klinik-klinik kecantikan.
Kosmetik adalah zat perawatan yang digunakan untuk meningkatkan
penampilan atau aroma tubuh manusia. Kosmetik umumnya merupakan campuran
dari beragam senyawa kimia, beberapa terbuat dari sumber-sumber alami dan
kebanyakan dari bahan sintetis. Perihal atau tata cara menggunakan kosmetik
disebut dengan tata rias atau make up.
Di Amerika Serikat, Food and Drug Administration (FDA), badan yang
mengatur industri kosmetik, mendefinisikan kosmetik sebagai "produk yang
dimaksudkan untuk digunakan pada tubuh manusia untuk membersihkan,
mempercantik, mempromosikan daya tarik, atau mengubah penampilan tanpa
mempengaruhi struktur atau fungsi tubuh". Definisi ini juga mencakup bahan
apapun yang digunakan sebagai komponen produk kosmetik. FDA secara khusus
2
Galuh Mekar Kuncoro, Perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran
kosmetik perawatan wajah tanpa notifikasi, Jurnal Novum Vol 1, 06 November 2016
3
mengecualikan sabun dari kategori ini, meskipun secara luas sabun juga tergolong
kosmetik.3
Kosmetika merupakan suatu bahan yang dapat digunakan untuk
mempercantik atau merawat diri. Secara definitif kosmetika diartikan sebagai
suatu ilmu yang mempelajari kandungan bahan dan manfaat yang dihasilkan oleh
pemakaian bahan tersebut terhadap penampilan dan kecantikan seseorang.
Gencarnya penawaran produk kosmetik baik melalui iklan di koran, radio,
dan televisi seolah-olah produk kosmetik tersebut nomor satu dan aman untuk
dipergunakan, dilakukan semata-mata agar masyarakat tertarik untuk membelinya.
Hal ini jelas amat berbahaya karena kosmetik tersebut mengandung bahan kimia
berbahaya dan tidak teruji secara klinis.
Masyarakat diharapkan dapat memilih mana yang baik atau tidak, padahal
hal tabu tersebut sangat sulit untuk masyarakat awam. Biasanya masyarakat hanya
berpatokan pada khasiat kosmetik yang mujarab, cepat terlihat khasiatnya, dan
ekonomis tanpa melihat efek samping dari penggunaan kosmetik tersebut. Kasus
ini banyak sekali terjadi seperti contoh kasus pengrebekan pusat kosmetik home
industri yang mengandung bahan kimia obat yang dilarang pada bulan Mei 2013.
Bahan kosmetik yang disita BPOM Semarang di Purwokerto, diperkirakan
mengandung obat terlarang. Kepala BPOM Semarang, Dra Zulaimah MSi Apt,
menyebutkan hasil uji laboratorium krim kecantikan yang disita dari satu satu
rumah produksi di Kompleks Perumahan Permata hijau tersebut, memang masih
belum selesai. Bahkan baku yang dipergunakan sebagai bahan baku krim tersebut,
3 https://id.wikipedia.org/wiki/Kosmetik, diakses tanggal 20 November 2016
4
antara lain berupa Bahan Kimia Obat (BKO) seperti obat-obatan jenis antibiotik,
deksametason, hingga hidrokuinon.
Penggerebekan rumah produksi krim kecantikan itu, dilakukan karena
rumah produksi tersebut belum memiliki izin produksi dari BPOM. Sementara
penggunaan bahan baku kosmetik harus mendapat pengawasan ketat, karena
penggunaan bahan baku yang tidak semestinya bisa membahayakan konsumen.
Krim pemutih hasil produksi warga Purwokerto ini, dijual ke klinik dan salon
kecantikan di seluruh wilayah Tanah Air. Pemilik rumah produksi yang berinisial
S, sudah dalam pengawasan petugas BPOM dan akan dikenai hukum pelanggaran
dalam bidang POM sesuai UU No 35 tahun 2009 bisa dikenai sanksi pidana
maksimal 15 tahun atau denda Rp 1,5 miliar.4
Sehubungan dengan hal kasus di atas, berikut ini penulis kemukakan
beberapa contoh kandungan yang berbahaya dalam kosmetik, yaitu:
1. Kosmetik pemutih kulit isi merkuri
Ammoniated mercury 1-5% dalam ointment direkomendasikan
sebagai bahan pemutih kulit karena berpotensi sebagai bahan pereduksi
(pemucat) warna kulit. Tetapi kosmetik pemutih berisi merkuri ini ternyata
toksisitasnya terhadap organ-organ tubuh seperti ginjal, saraf dan
sebagainya sangat besar. Ada dua jenis reaksi negative yang terlihat, reaksi
iritasi, kemerahan, pembengkakan kulit dan reaksi alergi, berupa
perubahan warna kulit sampai menjadi keabu-abuan atau kehitam-hitaman,
setempat atau tersebar merata.
2. Kosmetik pemutih kulit isi hidrokinon
Hidrokinon (hydroquinone) dan derivatnya serta hidrokortison
direkomendasikan oleh ahli kulit sebagai preparat pemutih kulit atau
preparat peluntur pigmen kulit. Tetapi ternyata preparat-preparat itu dapat
menyebabkan dermatitis kontak dalam bentuk bercak warna putih yang
disebabkan oleh over bleaching, atau sebaliknya, menimbulkan reaksi
hiperpigmentasi.5
4 Enny Yuli Nuraini, Penggunaan bahan kimia obat pada kosmetik, jurnal diploma
farmasi, kamis 23 Oktober 2014 5 http: //nurkosmetikunpacti.blogspot.co.id /2011/02/ kosmetik - dan- penggolongannya.
html, diakses tanggal 11 Desember 2016
5
Istilah kosmetik sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu Kosmetikos yang
berarti keahlian dalam menghias. Uraian di atas menjelaskan bahwa yang
dimaksud kosmetika adalah suatu campuran bahan yang digunakan pada tubuh
bagian luar dengan berbagai cara untuk merawat dan mempercantik diri sehingga
dapat menambah daya tarik dan menambah rasa percaya diri pemakaian dan tidak
bersifat mengobati atau menyembuhkan suatu penyakit tertentu.
Sekarang ini telah banyak produk kosmetika yang beredar di pasaran
dengan berbagai macam merk dan bentuk. Kosmetika tersebut memiliki bentuk
dan fungsi yang berbeda-beda, seperti halnya kosmetika penghilang bau badan
yang kini dibuat dengan berbagai bentuk, misalnya parfum berbentuk spray yang
penggunaannya dengan cara disemprotkan, splash cologne dengan bentuk cair
uang penggunaanya dengan cara dipercikkan dan deodorant berbentuk roll on
yang penggunaannya dengan cara dioleskan.
Kosmetika yang beredar di pasaran sekarang ini dibuat dengan berbagai
jenis bahan dasar dan cara pengolahannya. Menurut bahan yang digunakan dan
cara pengolahannya, kosmetika dapat dibagi menjadi 2 golongan besar yaitu
kosmetika tradisional dan kosmetika modern.
Kosmetika yang beredar di pasaran Indonesia ada tiga macam, yaitu
kosmetika tradisional, kosmetika modern, dan kosmedics cosmetics medicated.
1. Kosmetika Tradisional
Kosmetika Tradisional adalah kosmetika alamiah atau kosmetika
asli yang dapat dibuat sendiri langsung dari bahan-bahan segar atau yang
telah dikeringkan, buah-buahan dan tanam-tanaman disekitar kita. Cara
6
tradisional ini merupakan kebiasaan atau tradisi yang diwariskan turun-
temurun dari leluhur atau nenek moyang kita.
2. Kosmetika Modern
Kosmetika Modern adalah kosmetika yang diproduksi secara
pabrik (laboratorium), dimana telah dicampur dengan zat-zat kimia untuk
mengawetkan kosmetika tersebut agar tahan lama, sehingga tidak cepat
rusak.
Perlindungan hukum merupakan unsur yang harus ada di dalam negara.
Setiap pembentukan pasti di dalamnya ada hukum untuk mengatur warga
negaranya. Dalam suatu negara, pasti terjadi hubungan antara negara dan warga
negaranya. Hubungan inilah yang melahirkan hak dan kewajiban. Perlindungan
hukum akan hak bagi warga negara. Di sisi lain perlindungan hukum menjadi
kewajiban bagi negara. Negara wajib memberi perlindungan hukum bagi warga
negaranya.
Dalam negara hukum seperti Indonesia yang mengukuhkan sebagai negara
hukum yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3) yang
berbunyi : Indonesia adalah negara hukum. Ini berarti bahwa negara Indonesia
adalah negara yang berdasarkan atas hukum. Dengan sendirinya perlindungan
hukum menjadi unsur esensial serta menjadi konsekuensi dalam negara hukum.
Negara wajib menjamin hak-hak warga negaranya.6
Hukum perlindungan konsumen dewasa ini mendapat cukup perhatian
karena menyangkut aturan-aturan guna mensejahterakan masyarakat, bukan saja
6 Muktie, A. Fadjar, Type Negara Hukum, Bayumedia Publishing, Malang, 2005, hlm. 34
7
masyarakat selaku konsumen saja yang mendapat perlindungan, namun pelaku
usaha juga mempunyai hak yang sama untuk mendapat perlindungan, masing-
masing ada hak dan kewajiban. Pemerintah berperan mengatur, megawasi, dan
mengontrol, sehingga tercipta system yang kondusif saling berkaitan satu dengan
yang lain dengan demikian tujuan menyejahterakan masyarakat secara luas dapat
tercapai.
Perlindungan hukum terhadap konsumen yang diberikan negara haruslah
segera dapat diimplementasikan dalam kerangka kehidupan ekonomi. Hal ini
penting, mengingat bahwa perlinungan konsumen haruslah menjadi salah satu
perhatian yang utama karena berkaitan erat dengan kesehatan dan keselamatan
masyarakat sebagai konsumen. Ada beberapa pakar menyebutkan bahwa hukum
perlindungan konsumen merupakan cabang dari hukum ekonomi. Alasannya
permasalahan yang diatur dalam hukum perlindungan konsumen berkaitan erat
dengan pemenuhan kebutuhan barang dan/atau jasa. Ada pula yang mengatakan
bahwa hukum konsumen digolongkan dalam hukum bisnis atau hukum dagang
karena dalam rangkaian pemenuhan kebutuhan barang dan/atau jasa selalu
berhubungan dengan aspek bisnis atau perdagangan. Serta terdapat pula yang
menggolongkan hukum konsumen dalam hukum perdata, karena hubungan antara
produsen dan konsumen/pelaku usaha dalam aspek pemenuhan barang dan/atau
jasa yang merupakan hubungan perdata. 7
Perlindungan konsumen mempunyai cakupan yang luas meliputi
perlindungan terhadap konsumen barang dan jasa, yang berawal dari tahap
7
N. H. T. Siahan, Hukum Konsumen, Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab
Produk, Cetakan Ke 1, Pentai Rei, 2005, hlm. 34
8
kegiatan untuk mendapatkan barang dan jasa hingga ke akibat-akibat dari
pemakaian barang dan jasa itu. Cakupan perlindungan konsumen dalam dua
aspeknya itu, dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Perlindungan terhadap kemungkinan diserahkan kepada konsumen
barang dan atau jasa yang tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati
atau melanggar ketentuan Undang-undang.
2. Perlindungan terhadap diberlakukannya kepada konsumen syarat-syarat
yang tidak adil. Dalam kaitan ini termasuk persoalan-persoalan promosi
dan periklanan, standar kontrak, harga, layanan purnajual, dan
sebagainya.8
Fokus gerakan perlindungan konsumen (konsumerisme) dewasa ini
sebenarnya masih paralel dengan gerakan pertengahan abad ke-20. Di Indonesia,
gerakan perlindungan konsumen menggema dari gerakan serupa di Amerika
Serikat. YLKI yang secara popular dipandang sebagai perintis advokasi konsumen
di Indonesia berdiri pada kurun waktu itu, yakni 11 Mei 1973. Gerakan di
Indonesia ini termasuk cukup responsif terhadap keadaan, bahkan mendahului
Resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (Ecosoc) No. 2111 Tahun 1978 tentang
Perlindungan Konsumen.9
Sekalipun demikian, tidak berarti sebelum ada YLKI perhatian terhadap
konsumen di Indonesia sama sekali terabaikan beberapa produk hukum yang ada
bahkan yang diberlakukan sejak zaman colonial menyinggung sendi-sendi penting
perlindungan konsumen. Dilihat dari kuantitas dan materi muatan muatan produk
hukum itu dibandingkan dengan keadaan di Negara-negara maju terutama
Amerika Serikat, kondisi di Indonesia masih jauh dari menggembirakan.
8 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti,
Bandung, hlm. 10 9
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar grafika ,
Jakarta,2014, hlm.1
9
Walaupun begitu, keberadaan peraturan hukum bukan satu-satunya ukuran untuk
menilai keberhasilan gerakan perlindungan konsumen. Gerakan ini seharusnya
bersifat missal dan membutuhkan kemauan politik yang besar untuk
mengaplikasikannya.
Pemberlakuan suatu peraturan perundang-undangan, pada dasarnya
dimaksudkan untuk merubah atau mengarahkan prilaku atau situasi tertentu, dari
yang semula dinilai tidak baik dipandang sebagai masalah menuju situasi yang
ideal. Dengan kata lain, menyelesaikan berbagai masalah yang ada dengan
melakukan perubahan-perubahan baik terhadap prilaku maupun situasi tertentu,
itulah yang pada dasarnya dijadikan sebagai landasan mengapa suatu peraturan
perundang-undangan diberlakukan.
Sebagai upaya untuk menyelesaikan masalah-masalah tertentu, maka
didalam peraturan tentunya akan disertai pula dengan penetapan tentang kondisi
ideal yang ingin dicapai serta strategi yang ditempuh untuk merubah kondisi yang
tidak baik menuju kondisi ideal yang diharapkan.
Pada tahapan selanjutnya guna mendukung strategi yang dipilih, maka
dirumuskan berbagai norma-norma hukum yang diperlukan untuk itu. Melalui
perumusan norma-norma sebagai bagian untuk mendukung strategi yang telah
dipilih, maka anggota masyarakat yang menjadi addresat hukum, diarahkan untuk
berbuat atau tidak berbuat sebagaimana yang dikehendaki oleh norma-norma
tersebut, sehingga lambat laun terjadi perubahan perilaku dari anggota
masyarakat, dari perilaku yang semula tidak baik berubah menjadi baik. Demikian
10
pula dengan situasi tertentu, dengan ditetapkannya norma-norma tertentu, maka
situasi yang semula tidak baik diharapkan akan berubah menjadi lebih baik.
Hukum perlindungan konsumen menurut Nasution, merupakan bagian dari
hukum konsumen yang lebih luas. Secara definisi beliau mengemukakan “hukum
perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang memuat
asas-asas atau kaidah-kaidah bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat
melindungi kepentingan konsumen.
Adapun hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas atau
kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dari masalah antara berbagai pihak satu
sama lain berkaitan dengan barang dan atau jasa konsumen, di dalam pergaulan
hidup.
Nasution mengakui asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur
hubungan dan masalah konsumen itu tersebar dalam berbagai bidang hukum, baik
tertulis maupun tidak tertulis. Ia menyebutkan seperti hukum perdata, hukum
dagang, hukum pidana, hukum administrasi Negara dan hukum internasional,
terutama konvensi-konvensi yang berkaitan dengan kepentingan-kepentingan
konsumen.
Dikarenakan posisi konsumen yang lemah maka ia harus dilindungi oleh
hukum. Salah satu sifat, sekaligus tujuan hukum itu adalah memberikan
perlindungan kepada masyarakat. Jadi sebenarnya hukum konsumen dan hukum
perlindungan konsumen adalah dua bidang hukum yang sulit dipisahkan dan
ditarik batasnya.
11
Dengan demikian, sebaiknya dikatakan bahwa hukum konsumen berskala
lebih luas karena didalamnya meliputi berbagai aspek hukum yang terdapat
kepentingan pihak konsumen. Kata aspek hukum ini sangat bergantung pada
kemauan kita mengartikan hukum, termasuk juga hukum diartikan sebagai asas
dan norma. Salah satu bagian dari hukum konsumen adalah aspek
perlindungannya, misalnya bagaimana cara mempertahankan hak-hak konsumen
terhadap gangguan pihak lain.
Berdasarkan paparan diatas, maka dapat diketahui bahwa ruang lingkup
hukum perlindungan konsumen pada dasarnya berfokus pada hubungan hukum
antara konsumen dengan pelaku usaha, didalam berbagai tahap kegiatan ekonomi,
yaitu kegiatan produksi, distribusi maupun konsumsi. Dalam persepektif hukum,
hal ini menimbulkan konsekuensi, pembahasan terhadap materi hukum
perlindungan konsumen tidaklah hanya cukup bila dilakukan dari satu aspek
bidang saja, akan tetapi meliputi berbagai bidang hukum seperti hukum
administrasi Negara, hukum pidana, dann hukum perdata (termasuk hukum
dagang), baik yang berupa hukum materiil maupun hukum formil.
Sebagai pengguna kosmetik, konsumen seharusnya berhak mendapatkan
kualitas yang bagus terhadap apa yang dipakainya untuk wajah mereka, namun
pada kenyataannya pada saat ini banyak konsumen yang merasa kecewa terhadap
apa yang mereka gunakan. Dengan banyak nya beredar kosmetik dengan berbagai
bahan yang mengandung zat-zat yang dapat menyebabkan kerusakan pada tubuh
tentunya ini akan merugikan konsumen. Khususnya terhadap krim yang di beli
12
dari klinikklinik kecantikan tersebut, tidak sedikit konsumen yang harus
merasakan dampak dari pemakaian krim tersebut.
Di wilayah Kota Pekanbaru banyak terdapat klinik-klinik kecantikan untuk
tempat melakukan perawatan kecantikan sekaligus tempat membeli kosmetik
untuk dipakai diwajah. Kosmetik yang dibeli dari klinik-klinik kecantikan tersebut
tidak jarang pemakainya merasakan hal-hal yang tidak mengenakan saat dipakai.
Seperti muka terasa perih, gatal-gatal, muka memerah dan lainnya.
Klinik kecantikan yang ada di kota Pekanbaru tidak semuanya yang
terdaftar di BPOM dan Dinas Kesehatan, ada juga pemilik klinik-klinik yang
belum mendafttarkan klinik-klinik mereka ke BPOM dan Dinas Kesehatan.
Adapun klinik kecantikan yang sudah di periksa oleh pihak BPOM adalah
sebanyak 20, namun ada 5 klinik kecantikan yang tidak memenuhi syarat dari
BPOM. Klinik kecantikan yang terdaftar di Dinas Kesehatan tahun 2017 terdapat
16 Klinik Kecantikan yang terdaftar izinnya. Secara tidak langsung apabila
kosmetik yang tidak terdaftar di BPOM dan Dinas Kesehatan akan merugikan
konsumen. Apabila klinik tersebut tidak terdaftar tentunya kosmetik yang ada
disana tidak jelas mutu dan kualitas barangnya. Sehingga inilah yang
megakibatkan konsumen merasa dirugikan.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik mengangkat masalah
dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Atas Penggunaan
Kosmetik Ilegal Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen di Kota Pekanbaru”.
13
B. Masalah Pokok
Berdasarkan keterangan di atas, maka penulis merumuskan masalah
sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pelaksanaan perlindungan hukum terhadap pengguna
kosmetik yang ada di klinik kecantikan?
2. Bagaimanakah penyelesaian sengketa antara konsumen dengan pemilik
klinik kecantikan ?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan
perlindungan hukum dan mengetahui penyelesaian sengketa antara
konsumen dengan pemilik klinik kecantikan.
2. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini, untuk menjadi acuan bagi para penulis,
terutama penulis yang mempunyai kesamaan yakni pelaksanaan
perlindungan hukum terhadap hak-hak konsumen pemakai kosmetik,
memberi pengetahuan kepada masyarakat tentang perlindungan konsumen.
D. Kerangka Teori
Teori adalah merupakan suatu prinsip atau ajaran pokok yang dianut untuk
mengambil suatu tindakan atau memecahkan suatu masalah. Landasan teori
merupakan ciri penting bagi penelitian untuk mendapatkan data. Teori merupakan
14
alur penalaran atau logika (flow of reasoning/logic), terdiri dari seperangkat
konsep atau variable, defenisi dan proposisi yang disusun secara sistematik.10
Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala
spesifik atau proses tertentu terjadi. Suatu teori harus diuji dengan
menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak
benarannya.11
Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan
atau petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.
Terdapat beberapa teori perlindungan hukum yang diutarakan oleh para
ahli, seperti Setiono yang menyatakan bahwa perlindungan hukum merupakan
tindakan untuk melindungi masyarakat dari kesewenang-wenangan penguasa yang
tidak sesuai dengan aturan yang berlaku untuk mewujudkan ketenteraman dan
ketertiban umum. Tetapi yang paling relevan untuk Indonesia adalah teori dari
Philipus M.Hadjon. Dia menyatakan bahwa perlindungan hukum bagi rakyat
berupa tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan represif. Bersifat preventif
artinya pemerintah lebih bersikap hati-hati dalam pengambilan dan pembuatan
keputusan karena masih dalam bentuk tindakan pencegahan. Sedangkan bersifat
represif artinya pemerintah harus lebih bersikap tegas dalam pengambilan dan
pembuatan keputusanatas pelanggaran yang telah terjadi.
Perlindungan hukum preventif merupakan hasil teori perlindungan hukum
berdasarkan Philipus. Perlindungan hukum ini memiliki ketentuan-ketentuan dan
ciri tersendiri dalam penerapannya. Pada perlindungan hukum preventif ini,
10
J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Rineka Cipta, Jakarta, 2003,
hlm.194 11
JJ.M.Wuisman, Peneliti Ilmu-ilmu Sosial, Jilid I, UI Press, Jakarta, 1996 , hlm.203
15
subyek hukum mempunyai kesempatan untuk mengajukan keberatan dan
pendapatnya sebelum pemerintah memberikan hasil keputusan akhir.
Perlindungan hukum ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan
yang berisi rambu-rambu dan batasan-batasan dalam melakukan sesuatu.
Perlindungan ini diberikan oleh pemerintah untuk mencegah suatu pelanggaran
atau sengketa sebelum hal tersebut terjadi. Karena sifatnya yang lebih
menekankan kepada pencegahan, pemerintah cenderung memiliki kebebasan
dalam bertindak sehingga mereka lebih hati-hati dalam menerapkannya. Belum
ada peraturan khusus yang mengatur lebih jauh tentang perlindungan hukum
tersebut di Indonesia.
Perlindungan hukum represif juga merupakan hasil teori dari Philipus,
tetapi ini memiliki ketentuan-ketentuan dan ciri yang berbeda dengan
perlindungan hukum preventif dalam hal penerapannya. Pada hukum represif ini,
subyek hukum tidak mempunyai kesempatan untuk mengajukan keberatan karena
ditangani langsung oleh peradilan administrasi dan pengadilan umum. Selain itu,
ini merupakan perlindungan akhir yang berisi sanksi berupa hukuman penjara,
denda dan hukum tambahan lainnya.Perlindungan hukum ini diberikan untuk
menyelesaikan suatu pelanggaran atau sengketa yang sudah terjadi dengan konsep
teori perlindungan hukum yang bertumpu dan bersumber pada pengakuan dan
perlindungan terhadap hak-hak manusia dan diarahkan kepada pembatasan-
pembatasan masyarakat dan pemerintah.12
12
http://www.ilmuhukum.net/2015/09/teori-perlindungan-hukum-menurut-para.html,
diakses tanggal 16 Desember 2016
16
Teori yang juga digunakan dalam penelitian ini adalah teori keseimbangan
hak dan kewajiban antara konsumen dengan produsen kosmetik dan teori
perlindungan konsumen yang menjadi pedoman dalam penulisan ini adalah segala
upaya untuk menjamin adanya kepastian hukum dan adanya perlindungan hukum
yang diberikan kepada konsumen.
Hukum dapat memberikan keadilan, ketertiban, kemanfaatan terhadap
pelaksanaan hak dan kewajiban yang dimiliki oleh konsumen. Perlindungan
hukum terhadap konsumen juga dituangkan dalam Undang-Undang Dasar 1945
yakni :
Pasal 27 ayat (1) yang berbunyi :
“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya.”
Sedangkan Pasal 28 D ayat (1) yang berbunyi :
“ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, pelindungan dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”
Keadilan terbagi menjadi 3 (tiga) kategori yaitu :13
a. Keadilan Kumutatif;
Keadilan Kumutatif merupakan suatu keputusan yang konstan
untuk memberikan setiap orang haknya (to give each one his due)
dengan tujuan untuk menyesuaikan atau menyeimbangkan interaksi
antar individu, sehingga masing-masing bisa memperoleh haknya
secara sama. Jadi keadilan kumutatif merupakan keadilan yang berasal
13
Munir Fuady, Dinamika Teori Hukuum, Ghalia Indonesia,Ciawi-Bogor, hlm.110
17
dari suatu kebajikan yang khusus dan pada prinsipnya memberlakukan
asas “sama rata sama rasa” tanpa melihat pada kualifikasi pencari
keadilan tersebut, jadi keadilan kumutatif memberlakukan orang secara
sama (equal).
b. Keadilan Distributif
Keadilan Distributif diartikan sebagai suatu keputusan yang
konstan dari negara sebagai otoritas kekuasaan untuk memberikan
setiap orang akan haknya, dengan tujuan untuk mendistribusikan
barang-barang yang dapat dimiliki dalam jenis dan jumlah yang
masing-masing bervariasi, sesuai dengan jasa baik (merits),
kecurangan/ketercelaan (demerits), kemampuan dan kebutuhan dari
setiap individu dalam suatu masyarakat. Sehingga terhadap keadilan
distributif ini ada yang menganggap sebagai bagian dari “keadilan
untuk memberi hasil (remunerative justice) atau keadilan untuk
memppertahankan hak (vindicative justice). Dalam hal ini, keadilan
distributive memberikan setiap orang sesuai prestasinya, atau
memberikan setiap orang sesuai tingkat keaslahannya, karena itu
berbeda dengan keadilan kumutatif yang menekankan kepada
pengertian “kesamaan”, sedangkan keadilan distributif lebih
menekankan kepada pengertian “proposional”.
c. Keadilan Hukum
Keadilan Hukum (legal justice) berarti keadilan telah
dirumuskan oleh hukum dalam bentuk hak dan kewajiiban, dimana
pelanggaran terhadap keadilan ini akan ditegakkan lewat proses
18
hukum, umumnya oleh pengadilan. Namun ada pengertian lain dari
keadilan hukum ini yang sebenarnya lebih merupakan keadilan social,
yaitu suatu keputusan yang konstan dari warga negara untuk
memberikan kepada negara hak dari negara tersebut, dengan tujuan
untuk menyesuaikan setiap tindakan individu dengan kepentingan
bersama dalam negara.14
Pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang saling memerlukan.
Pelaku usaha perlu menjual barang dan jasanya kepada konsumen. Sebaliknya
konsumen memerlukan barang dan/atau jasa yang dihasilkan dan dijual oleh
pelaku usaha guna memenuhi keperluannya sehingga kedua belah pihak saling
memperoleh manfaat atau keuntungan.
Dalam prakteknya sering kali konsumen dirugikan oleh pelaku usaha yang
tidak jujur, nakal yang ditinjau dari aspek hukum merupakan tindakan
pelanggaran hukum. Akibatnya konsumen menerima barang dan/atau jasa tidak
sesuai dengan kualitas, kuantitas dan harganya. Di sisi lain karena ketidak tahuan
dan kekurang sadaran konsumen akan hak-haknya maka konsumen menjadi
korban pelaku usaha.15
Lemahnya posisi konsumen dibandingkan posisi produsen juga
disebabkan karena mulai dari proses sampai hasil produksi barang dan/atau jasa
yang dihasilkan tanpa campur tangan konsumen sedikitpun.16
14
Ibid, hlm.118 15
Abdul Halim Barkatullah, Hukum Perlindungan Konsumen, FH.Unlam Press,
Banjarmasin, 2008, hlm.5 16
Husni Syawali, Hukum Perlindungan konsumen, PT.Mandar Maju, Bandung, 2000,
hlm.7
19
Langkah untuk meningkatkan martabat dan kesadaran konsumen harus
diawali dengan upaya untuk memahami hak-hak pokok konsumen, yang dapat
dijadikan sebagai landasan perjuangan untuk mewujudkan hak-hak tersebut.
Hak konsumen sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 UU No.8 Tahun 1999
adalah sebagai berikut :17
a. Hak atas kenyamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang
dan/atau jasa;
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
jaminan yang dijanjikan;
c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa;
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa
yang digunakan;
e. Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Disamping hak-hak dalam Pasal 4, juga terdapat hak-hak konsumen yang
dirumuskan dalam pasal-pasal berikutnya, khususnya dalam Pasal 7 yang
mengatur tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan
anatomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha dapat dilihat sebagai hak
konsumen.18
17
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen 18
Celina Tri Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, 2014,
hlm.31-32
20
Keperluan adanya hukum untuk memberikan perlindungan kepada
konsumen, meupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari, sejalan dengan tujuan
pembangunan nasional kita yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.
Membahas keperluan hukum untuk memberikan perlindungan bagi konsumen
Indonesia, hendaknya terlebih dahulu kita lihat situasi peraturan Perundang-
undangan Indonesia khusunya atau keputusan yang memberikan perlindungan
bagi masyarakat, sehingga bentuk hukum perlindungan konsumen yang
ditetapkan sesuai dengan yang diperlukan bagi konsumen Indonesia dan
keberadaannya tepat apabila diletakkan didalam kerangka system hukum nasional
Indonesia.19
Kewajiban pelaku usaha :
1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan
penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur secara
tidak diskriminatif;
4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau
jasa yang berlaku;
5. Member kesempatan kepada konsumen untuk menguji jaminan
dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan;
6. Member kompensasi, ganti rugi dan/atau jasa pergantian barang
dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian.20
Selain kewajiban pelaku usaha, di dalam Undang-Undang Perlindungan
Konsumen juga diatur berbagai larangan bagi pelaku usaha sesuai dengan Pasal 8
UUPK. Secara garis besar larangan yang dikenakan dalam Pasal 8 Undang-
19
Op.Cit,hlm.39 20
Kelik Wardiono, Hukum Perlindungan Konsumen, Ombak, Yogyakarta, 2014,hlm.60-
61
21
Undang Perlindungan Konsumen tersebut dapat dibagi kedalam dua larangan
pokok, yaitu :
a. Larangan mengenai produk itu sendiri, yang tidak memenuhi syarat
dan standar yang layak untuk dipergunakan atau dipakai atau
dimanfaatkan oleh konsumen;
b. Larangan mengenai ketersediaan informasi yang tidak benar, dan tidak
akurat, yang menyesatkan konsumen.
Berbagai larangan bagi pelaku usaha sesuai dengan Pasal 8 Undang-
Undang Perlindungan Konsumen baik larangan mengenai kelayakan produk,
berupa barang dan/atau jasa pada dasarnya berhubungan erat dengan karakteristik
dan sifat dari barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. Kelayakan produk
tersebut merupakan “standar minimum’ yang harus dipenuhi atau dimiliki oleh
suatu barang dan/atau jasa tersebut dapat diperdagangkan untuk dikonsumsi
masyarakat luas.21
Sebagai konsekuensi hukum dari pelanggaran yang diberikan Undang-
Undang tentang perlindungan konsumen dan sifat perdata dari hubungan antara
pelaku usaha dan konsumen maka setiap pelanggaran yang dilakukan pelaku
usaha yang merugikan konsumen memberikan hak kepada konsumen yang
dirugikan tersebut untuk meminta pertanggung jawaban dari pelaku usaha yang
merugikan serta menuntut rugi atas kerugian yang diderita oleh konsumen.22
21
Lihat Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen 22
Gunawan Widjaja, Ahmad Yani, Hukum Perlindungan Konsumen, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 2008,hlm.3
22
E. Konsep Operasional
Konsep operasional digunakan untuk memberikan pegangan pada proses
penelitian. Oleh karena itu, dalam rangka penelitian ini, perlu dirumuskan
serangkaian defenisi operasional atas beberapa variable yang digunakan, sehingga
demikian tidak akan menimbulkan perbedaan penafsiran atas sejumlah istilah dan
masalah yang dibahas. Disamping itu, dengan adanya penegasan kerangka konsep
operasional ini, diperoleh suatu persamaan pandangan dalam menganalisa
masalah yang diteliti, baik dipandang dari aspek yuridis, maupun dipandang dari
aspek sosiologis.
Untuk menghinndari terjadinya salah pengertian dan pemahaman yang
berbeda tentang tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini, maka kemudian
dikemukakan konsep operasional dalam berupa defenisi sebagai berikut :
1. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,
maupun makhuluk hidup lain dan tidak utnuk diperdagangkan.23
2. Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik
yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan
dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.24
23
Celina Tri Siwi Kritiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika,Jakarta,
2014,hlm.27 24
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen
23
3. Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik
bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat
dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau
dimanfaatkan oleh konsumen.25
4. Perlindungan konsumen adalah segala upaya menjamin adanya kepastian
hukum untuk member perlinndungan kepada konsumen.26
F. Metode Penelitian
Dalam penelitian penulis mempergunakan metode penelitian sebagai
berikut :
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Ditinjau dari jenisnya, maka penelitian ini termasuk jenis
penelitian observational research dengan cara survei. Penelitian survei
adalah penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan
menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data yang pokok.27
Sedangkan dilihat dari sifatnya adalah diskriptif analitis, yaitu suatu
penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan, dan
menganalisis hukum baik dalam bentuk teori maupun praktek dengan
cara melakukan wawancara di saat penelitian di lapangan bertujuan untuk
mendeskripsikan atau menggambarkan dan menganalisis data yang
diperoleh secara sistematis, factual, dan akurat, termasuk didalamnya
25
Pasal 1 ayat (4) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen 26
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen 27
Masri Singabirun dan Sofian Effendi (Eds), Metode Penelitian Survei, Pustaka LP3ES
Indonesia, Jakarta, 2008, hlm.3
24
peraturan perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori
hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang menyangkut dalam
permasalahan di atas.
2. Obyek Penelitian
Adapun obyek dari penelitian ini adalah Perlindungan Hukum
Terhadap Konsumen Atas Penggunaan Kosmetik Ilegal Berdasarkan
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
di Kota Pekanbaru.
3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada kota Pekanbaru Provinsi Riau,
dengan alasan dan pertimbangan di wilayah tersebut meupakan kota
dengan masyarakat yang cukup banyak menggunakan kosmetik yang
berasal dari klinik-klinik kecantikan sehingga menarik diteliti mengenai
perlindungan hukum terhadap konsumen atas penggunaan kosmetik
ilegal berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen di Kota Pekanbaru.
4. Populasi dan Sampel
Dalam penulisan ini responden mewakili populasi dan menjadi
subjek penelitian secara langsung. Populasi atau universe ialah jumlah
keseluruhan dari unit analisa yang ciri-cirinya akan diduga. Sedangkan
responden atau sampel mewakili populasi dan menjadi subjek peneliti
secara langsung dilapangan guna mendapatkan data, bahan-bahan dan
informasi yang diperlukan dalam penulisan.
25
Adapun yang menjadi populasi dan sampel / responden ini antara
lain perwakilan Kantor Badan Pengawasan Obat dan Makanan kota
Pekanbaru. Sedangkan dari pihak klinik kecantikan memilih sampel /
responden adalah 3 klinik kecantikan dengan alasan mengambil satu
klinik dari setiap kecamatan yang banyak masyarakat menggunakan
kosmetik dari klinik-klinik kecantikan, yakni antara lain Kecamatan
Pekanbaru Kota, Kecamatan Tampan, Kecamatan Sail. Dari pihak
masyarakat dengan jumlah yang tidak terhingga dan memilih jumlah
sampel/responden dari pihak masyarakat yakni 25 orang. Untuk
mengetahui lebih jauh dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel I.1
Populasi dan Sampel Pengguna Kosmetik Ilegal di Kota Pekanbaru
No Kriteria Populasi Jumlah
Teknik Penentuan
Responden
Sampel Sensus
1 Kantor Badan Pengawasan
Obat dan Makanan 1 1 orang -
2 Klinik kecantikan 3 3 orang -
3 Masyarakat
pengguna kosmetik
illegal ∞
(tak terhingga)
25 orang -
4 Kantor Dinas
Kesehatan Kota
Pekanbaru
1 1 orang -
Jumlah 30 Orang - Sumber : Data Lapangan setelah Diolah Pada Tahun 2017
26
5. Data dan Sumber Data
Sebagai sumber data dalam penelitian ini adalah :
a. Data Primer adalah data utama yang diperoleh dai hasil wawancara di
lapangan pada saat penelitian melalui responden yang berhubungan
langsung dengan permasalahan di atas.
b. Data sekunder adalah yang diperoleh dari buku-buku, pendapat para
ahli di dalam berbagai literatur yang berhubungan langsung dengan
permasalahan yang diteliti.
6. Alat Pengumpul Data
Sebagai alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Observasi
Observasi merupakan teknik pengumpulan data yang
dilakukan dengan cara pengamatan langsung terhadap objek penelitian
yaitu terhadap kesadaran hukum masyarakat atas Perlindungan
Hukum Terhadap Konsumen Atas Penggunaan Kosmetik Ilegal
Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen di Kota Pekanbaru.
b. Kuesioner
Kuesioner yakni mengumpulkan data dengan menyebarkan
angket yang berisi daftar-daftar pertanyaan baik daftar pertanyaan
secara terbuka maupun secara tertutup. Kuesioner pada penelitian ini
diajukan kepada pemilik klinik kecantikan dan masyarakat pengguna
kosmetik illegal di Kota Pekanbaru.
27
c. Wawancara yakni mengumpulkan data dengan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan melalui tanya jawab secara langsung kepada
responden yang disesuaikan dengan permasalahan yang dibahas.
Dalam penelitian ini wawancara dilakukan kepada perwakilan Kantor
Badan pengawasan Obat dan Makanan di kota Pekanbaru.
7. Analisis Data
Dalam penelitian ini setelah data terkumpul melalui wawancara dan
kuesioner maka akan dikelompokkan berdasarkan permasalahan pokok
untuk kemudian disajikan dalam bentuk tabel dan dalam bentuk kalimat
yang menjelaskan hasil-hasil data. Data yang telah diolah kemudian akan
dihubungkan dengan teori-teori, pendapat para ahli atau tulisan-tulisan dari
buku-buku maupun peraturan perundang-undangan yang berhubungan
dengan penelitian ini.
8. Metode Penarikan Kesimpulan
Dalam penelitian ini penarikan kesimpulan dilakukan dengan cara
deduktif yakni cara penarikan kesimpulan dari hal-hal yang umum
kepada hal-hal yang khusus. Hal umum menurut peraturan-peraturan
yang yang ada hingga kepada hal khususnya berupa praktek mengenai
analisa kesadaran hukum masyarakat atas Perlindungan Hukum
Terhadap Konsumen Atas Penggunaan Kosmetik Ilegal Berdasarkan
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan konsumen
di kota Pekanbaru.