BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...

30
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaku tindak pidana pada umumnya berusaha menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang merupakan hasil dari tindak pidana dengan berbagai cara agar harta kekayaan hasil tindak pidananya susah ditelusuri oleh aparat penegak hukum sehingga dengan leluasa memanfaatkan Harta Kekayaan tersebut baik untuk kegiatan yang sah maupun tidak sah. 1 Karena itu, perbuatan menyembunyikan menyamarkan asal-usul harta kekayaan atau kegiatan pencucian uang tidak hanya mengancam stabilitas dan integritas sistem perekonomian dan sistem keuangan, tetapi juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2 Kegiatan pencucian uang sudah menjadi bagian yang integral dari kehidupan dunia kejahatan. 3 Hal yang sangat sering dirasakan akan tetapi sukar untuk dibuktikan, dan dikenal dengan nama money laundering, yang merupakan bentuk kejahatan yang seringkali inheren dengan kejahatan kerah putih atau white collar crime. 4 Membuktikan adanya suatu money laundering bukanlah hal yang mudah, 1 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5164). 2 Ibid. 3 Harkristuti Harkrisnowo, 2004, “Kriminalisasi Pencucian Uang ( Money Laundering), Tinjauan terhadap Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 dan Amandemennya”, Makalah, Video Confrence Nasional mengenai Undang-Undang Anti Pencucian Uang, Kenali Nasabah Anda dan Pelaporan Transaksi Keuangan, PPATK, BI, UI, UGM, USU, UNDIP, UNAIR, ELIPS, Jakarta, hlm. 1. 4 Ibid.

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pelaku tindak pidana pada umumnya berusaha menyembunyikan atau

menyamarkan asal usul harta kekayaan yang merupakan hasil dari tindak pidana

dengan berbagai cara agar harta kekayaan hasil tindak pidananya susah ditelusuri

oleh aparat penegak hukum sehingga dengan leluasa memanfaatkan Harta

Kekayaan tersebut baik untuk kegiatan yang sah maupun tidak sah.1 Karena itu,

perbuatan menyembunyikan menyamarkan asal-usul harta kekayaan atau kegiatan

pencucian uang tidak hanya mengancam stabilitas dan integritas sistem

perekonomian dan sistem keuangan, tetapi juga dapat membahayakan sendi-sendi

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.2

Kegiatan pencucian uang sudah menjadi bagian yang integral dari kehidupan

dunia kejahatan.3 Hal yang sangat sering dirasakan akan tetapi sukar untuk

dibuktikan, dan dikenal dengan nama money laundering, yang merupakan bentuk

kejahatan yang seringkali inheren dengan kejahatan kerah putih atau white collar

crime.4 Membuktikan adanya suatu money laundering bukanlah hal yang mudah,

1 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan

TPPU (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5164). 2 Ibid. 3 Harkristuti Harkrisnowo, 2004, “Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Laundering), Tinjauan

terhadap Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 dan Amandemennya”, Makalah, Video Confrence

Nasional mengenai Undang-Undang Anti Pencucian Uang, Kenali Nasabah Anda dan Pelaporan

Transaksi Keuangan, PPATK, BI, UI, UGM, USU, UNDIP, UNAIR, ELIPS, Jakarta, hlm. 1. 4 Ibid.

2

karena kegiatan money laundering dilakukan dengan sangat kompleks.5

Kriminalisasi pencucian uang diharapkan juga harus mempunyai tujuan yang lebih

luas, seperti menjaga stabilitas keuangan, dan kepercayaan terhadap lemabaga

keuangan. Mengingat sifatnya sebagai tindak pidana lanjutan (follow up crimes)

maka kriminalisasi pencucian uang sebagai tindak pidana pencucian uang (TPPU)

pada akhirnya diharapkan untuk menanggulangi kejahatan utamanya (core

crimes).6

Berdasarkan Laporan Hasil Riset Tipologi terkait Kasus-kasus yang sudah

menjadi Putusan TPPU Periode Januari-Desember 2014 oleh PPATK, terdapat

beberapa pola transaksi yang dilakukan oleh pelaku TPPU pada tahun 2013 dan

2014 untuk menyamarkan asal-usul Harta Kekayaan yang merupakan hasil dari

tindak pidana dengan rincian sebagai berikut:

Tabel 1.

Jumlah Putusan TPPU tahun 2014 dan 2013 menurut Pola Transaksi7

No. Keterangan 2014 2013 %

1 Sektor tunai 19 7 171

2 Tarik tunai 14 3 367

5 Hazel Carol memberikan karakteristik tindak pidana pencucian uang sebagai salah satu bentuk

white collar crime, yaitu; tidak kasat mata, sangat kompleks, ketidakjelasan korban, aturan hukum

yang samar atau tidak jelas serta sulit dideteksi dan dituntut, dalam Robinson, “Mewaspadai

Pencucian Uang melalui Pasar Modal”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 3, Maret, 2003, hlm. 53 6 Yenti Ganarsih, 2003, Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Loundering), Program Pasca Sarjana

Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 73. 7 Direktorat Pemeriksaan dan Riset Deputi Bidang Pemberantasan Pusat Pelaporan dan Analisis

Transaksi Keuangan, 2015, “Tipologi terkait Kasus-Kasus yang sudah menjadi Putusan TPPU

Periode Januari - Desember 2014” Laporan Hasil Riset Tipologi Semester I Tahun 2015, Pusat

Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Jakarta, hlm. 33.

3

3 Transfer via Internet Banking dari rekening giro 1 0 100

4 Transfer via Internet Banking ke rekening tabungan 3 0 300

5 Ditransfer ke rekening lain yang bukan milik pelaku 2 3 -33

6 RTGS 12 1 1100

8 Transfer via m-banking 2 0 200

9 Transfer via ATM 7 6 17

10 Setoran Pemindahan 5 1 400

11 Tarikan pemindahan - 3 -100

12 Pindah Buku 33 0 3300

13 Pembelian via EDC 33 0 300

14 Pencairan cek/BG 6 0 600

15 Transaksi pemberian uang secara tunai antar para

pihak

5 0 500

16 Penukaran valuta asing 2 0 200

Berbagai macam pola transaksi tersebut membuktikan bahwa TPPU

merupakan kejahtan yang kompleks dan sulit pembuktiannya karena terdakwa

memang dengan maksud untuk menyembunyikan asal-usul harta hasil tindak

pidana dan oleh karenanya mengancam stabilitas ekonomi dan keuangan nasional

karena berhubungan dengan kepercayaan pada lembaga keuangan.

4

TPPU merupakan follow up crimes. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor

8 tahun 2010 mengatur mengenai core crimes dari TPPU dengan menyatakan

bahwa hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana:

korupsi; penyuapan; narkotika; psikotropika; penyelundupan tenaga kerja;

penyelundupan migran; di bidang perbankan; di bidang pasar modal; di bidang

perasuransian; kepabeanan; cukai; perdagangan orang; perdagangan senjata gelap;

terorisme; penculikan; pencurian; penggelapan; penipuan; pemalsuan uang;

perjudian; prostitusi; di bidang perpajakan; di bidang kehutanan; di bidang

lingkungan hidup; di bidang kelautan dan perikanan; atau tindak pidana lain yang

diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di

wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan

Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana

menurut hukum Indonesia.

Berdasarkan basis data 65 terdakwa yang didapatkan dari 61 putusan terkait

TPPU selama tahun 2014, dapat diuraikan tindak pidana asalnya sebagaimana dapat

dilihat pada tabel di bawah ini.8

Tabel 2.

Putusan Pengadilan berdasarkan Tindak Pidana Asal9

No. Tindak Pidana Asal Jumlah Putusan %

1 Korupsi 21 34,43

8 Ibid, hlm. 10. 9 Ibid.

5

2 Tidak disebutkan tindak pidana asalnya 10 16,39

3 Penipuan 7 11,48

4 Narkotika 7 11,48

5 Perbankan 4 6,56

6 Pemalsuan surat 6 9,84

7 Penggelapan 4 6,56

8 Pembalakan liar 1 1,64

9 Perjudian 1 1,64

Total 61 100

Hasil tindak pidana yang dapat dikualifikasikan sebagai TPPU diantaranya

ialah hasil tindak pidana narkotika.10 Tindak pidana narkotika diatur dalam

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Undang-Undang

Nomor 8 tahun 2010 sangat berhubungan dengan Undang-Undang tindak pidana

asal yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang tersebut, yang berarti

bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 berhubungan dengan Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2009. Menarik untuk dicermati bahwa dalam kedua

Undang-Undang a quo yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 sebagai follow

up crime, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 core crime dari TPPU mengatur

10 Pasal 1 angka 1 jo. Pasal 2 ayat (1), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010.

6

ketentuan pidana dengan rumusan delik yang hampir sama yaitu mengatur

perbuatan yang dilarang mengenai pencucian uang.

Ketentuan pidana dengan rumusan delik yang hampir sama yang diatur oleh

kedua Undang-Undang a quo ialah sebagai berikut:

Pertama, ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 dengan

Pasal 137 huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 yang pada intinya

mengatur mengenai TPPU aktif. Rumusan delik yang hampir sama yang diatur oleh

kedua Undang-Undang tersebut ialah sebagai berikut:

1. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010

Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan,

membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa

ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau

surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang

diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan

menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan

dipidana karena TPPU.

2. Pasal 137 huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

Menempatkan, membayarkan atau membelanjakan, menitipkan,

menukarkan, menyembunyikan atau menyamarkan, menginvestasikan,

menyimpan, menghibahkan, mewariskan, dan/atau mentransfer uang,

harta, dan benda atau aset baik dalam bentuk benda bergerak maupun

tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud yang berasal dari tindak

pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika.

Kedua, ketentuan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010

dengan Pasal 137 huruf b Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 yang pada

intinya mengatur TPPU pasif, rumusan delik yang hamir sama yang diatur oleh

ketiga Undang-Undang tersebut ialah sebagai berikut:

1. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010

Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan,

pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran,

atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut

7

diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 2 ayat (1).

2. Pasal 137 huruf b Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

Menerima penempatan, pembayaran atau pembelanjaan, penitipan,

penukaran, penyembunyian atau penyamaran investasi, simpanan atau

transfer, hibah, waris, harta atau uang, benda atau aset baik dalam

bentuk benda bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak

berwujud yang diketahuinya berasal dari tindak pidana Narkotika

dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika.

Persamaan rumusan delik yang diatur oleh kedua Undang-Undang a quo akan

menimbulkan permasalahan dalam penerapan praktik peradilan jika terjadi tindak

pidana yang memenuhi seluruh unsur rumusan delik pada ketiga Undang-Undang

a quo, mengingat seluruh Undang-Undang a quo merupakan Undang-Undang

pidana yang bersifat khusus. Persoalan multi-kriminalisasi yang bersifat khusus

tersebut, tidak terlalu mudah pemecahan arah solusinya mengingat sebagai tindak

pidana yang berada di luar KUHP, tidak saja diperlukan pemahaman dan

pengalaman praktik, tetapi suatu relasi antara praktik yang selalu dilandasi legalitas

pemahaman nalar akademis dan praktek berdasarkan asas-asas Hukum Pidana,

terutama keterkaitan asas Lex Speciaslis derogate legi generalis (berikut

perkembangannya), asas Concursus maupun asas Deelneming (penyertaan) apabila

memang ada keterkaitannya.11

Undang-Undang a quo merupakan Undang-Undang hukum pidana khusus.

Kendati demikian terdapat perbedaan terhadap sifat kekhususan kedua Undang-

Undang tersebut. Produk Undang-Undang yang memuat “ketentuan pidana” pada

11 Indrianto Seno Adji, 2014, “Administrative Penal Law: kearah Konstruksi Pidana Limitatif”,

Makalah, Pelatihan Hukum Pidana & Kriminologi dengan Topik “Asas Asas Hukum Pidana &

Kriminologi Serta Perkembangannya Dewasa Ini” Mahasiswa Hukum Pidana dan Kriminologi,

Yogyakarta, hlm. 8.

8

hakikatnya dapat dikualifikasikan sebagai Undang-Undang pidana khusus. Hal

tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Sudarto bahwa Undang-Undang pidana

khusus merupakan Undang-Undang pidana selain Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP) yang merupakan induk peraturan hukum pidana.12 Sudarto

menjelaskan lebih lanjut bahwa apabila Undang-Undang Pidana dibagi menurut

sifatnya, maka Undang-Undang pidana itu dapat dibagi menjadi Undang-Undang

pidana “dalam arti sesungguhnya” dan peraturan-peraturan hukum pidana dalam

Undang-Undang tersendiri. Undang-Undang pidana “dalam arti sesungguhnya”

merupakan Undang-Undang yang menurut tujuannya dimaksudkan mengatur hak

memberi pidana dari negara dan contohnya adalah KUHP. Sedangkan peraturan-

peraturan hukum pidana dalam Undang-Undang tersendiri merupakan peraturan-

peraturan yang hanya dimaksudkan untuk memberi sanksi pidana terhadap aturan-

aturan mengenai salah satu bidang yang terletak di luar hukum pidana, misalnya

Undang-Undang Pokok Agraria.13 Bertolak dari pandangan Sudarto tersebut dapat

disimpulkan bahwa Undang-Undang pidana khusus di luar KUHP mencakup

Undang-Undang pidana dalam arti sesungguhnya dan Undang-Undang

administrasi yang di dalamnya memuat ketentuan pidana.14

Dengan menggunakan nomenklatur yang berbeda, Indrianto Seno Adjie

menyebut Undang-Undang Pidana Khusus di luar KUHP dalam arti sesungguhnya

di atas sebagai hukum pidana khusus yang bersifat “intra aturan pidana”. Undang-

12 Sudarto, 2006, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hlm. 59-60. 13 Ibid, hlm. 63-64. 14 Supriyadi, “Penetapan Tindak Pidana sebagai Kejahatan dan Pelanggaran dalam Undang-Undang

Pidana Khusus”, Jurnal Mimbar Hukum, Volume 27, Nomor 3, Oktober, 2015, hlm. 390-391.

9

Undang pidana yang dapat dimasukkan sebagai hukum pidana khusus yang bersifat

intra aturan pidana yaitu Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

Pencegahan dan Pemberantasan TPPU, dan Undang-Undang Pemberantasan

Tindak Pidana Terorisme. Sedangkan Undang-Undang administrasi yang di

dalamnya memuat ketentuan pidana disebut sebagai hukum pidana khusus yang

bersifat “ekstra aturan pidana”. Undang-Undang pidana yang dapat dimasukkan

sebagai hukum pidana khusus yang bersifat ekstra aturan pidana yaitu Undang-

Undang Kehutanan, Undang-Undang Keimigrasian, Undang-Undang Perbankan,

Undang-Undang Ketenagalistrikan dan lain-lain.15 Undang-Undang pidana inilah

yang disebut administrative penal law.16

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 merupakan Undang-Undang pidana

khusus yang bersifat intra hukum pidana sementara Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009 merupakan Undang-Undang pidana khusus yang bersifat ekstra hukum

pidana atau biasa disebut juga sebagai administrative penal law.

Persoalan dan pertanyaan muncul ketika pelanggaran terhadap produk

Administrative Penal Law (sebagai Hukum Pidana bersifat Khusus yang Ekstra)

dipersepsikan sebagai Tindak Pidana Khusus lainnya. Pertanyaan yang primat

adalah: dapatkah pelanggaran terhadap administrative penal law adalah sebagai

absorsif perbuatan tindak pidana ekstra dengan pola-pola yang dinamakan satu

materiele daad dan materiele daad-nya adalah sama, dalam perspektif pelanggaran

beberapa perundang-undangan? Jawaban pertanyaan ini tidak sekedar persoalan

15 Ibid, hlm 391. 16 Ibid.

10

pengalaman praktik, tetapi keterkaitan dan kekuatan pemahaman penegak hukum

terhadap asas-asas Hukum Pidana (Buku I KUHP) yang sangat dinamis dalam

implementasi penyelesaian kasus-kasus dinamis yang demikian.17

Berdasarkan penelusuran penulis mengenai putusan terkait TPPU dan tindak

pidana narkotika pada tahun 2014 di website direktori putusan Mahkamah Agung,

terdapat satu putusan dengan terdakwa yang didakawa dengan Pasal 137 huruf a

dan Pasal 137 huruf b Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 dan juga didakwa

dengan Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. Putusan

tersebut ialah Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 61/PID/2014/PT.DKI

selain itu terdapat pula putusan terkait perkara tersebut tetapi Penuntut Umum lebih

memilih mendakwa terdakwa dengan Pasal 3 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor

8 Tahun 2010 yaitu Putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor

01/PID.B/2014/PN.Plg rincian kedua putusan tersebut ialah sebagai berikut:

Pertama, Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor

61/PID/2014/PT.DKI atas nama terdakwa Afdar. Terdakwa didakwa dengan

dakwaan kombinasi yaitu: Kesatu Primair Pasal 137 huruf a Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2009 Dan Kedua Primair Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8

Tahun 2010 Subsidair Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Lebih

Subsidair Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010.

Penuntut Umum menuntut Terdakwa dengan menyatakan bahwa Terdakwa

terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana berdasarkan

17 Indrianto Seno Adji, Op. Cit., hlm. 9.

11

Pasal 137 huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 dan tindak pidana

berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. Menghukum terdakwa

dengan pidana penjara selama 14 tahun dan pidana denda satu miliar rupiah

subsidair pidana penjara selama satu tahun.

Pengadilan tingkat pertama No. 2236/PID.SUS/2012/PN.JKT.BAR

menyatakan bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah

melakukan tindak pidana berdasarkan Pasal 137 huruf a Undang-Undang Nomor

35 Tahun 2009. Menyatakan Dakwaan Kedua: Primair, Subsidair dan lebih

Subsidair tidak dapat diterima. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa dengan

pidana penjara selama delapan tahun dan denda Rp.800.000.000,- subsidair pidana

penjara selama satu tahun.

Pengadilan tingkat banding membatalkan putusan a quo dengan menyatakan

bahwa Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan

tindak pidana berdasarkan Dakwaan Kesatu Primair yaitu Pasal 137 huruf a

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 dan Dakwaan Kedua Primair yaitu Pasal 3

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. Menjatuhkan pidana penjara 18 tahun serta

Pidana denda sejumlah Rp.1.000.000.000,- subsidair satu tahun kurungan.

Kedua, Putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor

01/PID.B/2014/PN.Plg atas nama terdakwa Hj.Nurhayati Alias Nur binti

H.M.Arifin. Terdakwa didakwa dengan dakwaan gabungan kombinasi yaitu:

Kesatu Primair Pasal 114 ayat (2) jo. Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009 Subsidair Pasal 131 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Dan

Kedua Primair Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 jo. Pasal 64 ayat (1)

12

Ke-1 KUHP Subsidair Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 jo. Pasal 64

ayat (1) Ke-1 KUHP.

Penuntut Umum menuntut Terdakwa dengan menyatakan bahwa terdakwa

terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana berdasarkan

Pasal 114 ayat (2) jo. Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 jo. Pasal 64 ayat (1) Ke-1

KUHP. Menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama seumur hidup.

Majelis hakim menjatuhkan putusan dengan menyatakan bahwa terdakwa

telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana

berdasarkan Pasal 114 ayat (2) jo. Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 jo. Pasal 64 ayat

(1) Ke-1 KUHP. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa dengan pidana penjara

selama 18 tahun dan denda Rp.2.000.000.000,- subsidair pidana penjara selama satu

tahun.

Berdasarkan kedua putusan a quo dapat dilihat terjadi perbedaan penerapan

hukum pidana terkait Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 dengan Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 2010. Putusan pertama antara ketentuan Pasal 137 huruf a

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 dan Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 2010 dikumulatifkan sehingga seluruh unsur dalam

ketentuan Undang-Undang a quo harus dibuktikan. Putusan Kedua Jaksa Penuntut

Umum tidak mendakwa terdakwa dengan Pasal 137 huruf a ataupun Pasal 137

huruf b Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tetapi mendakwa terdakwa dengan

dakwaan subsidairitas yaitu Pasal 3 Subsidair Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8

13

Tahun 2010, padahal rumusan kedua pasal tersebut hampir sama jika terdakwa

didakwa dengan salah satu Pasal dari salah satu ketentuan Undang-Undang tersebut

maka perbuatan yang dilakukan terdakwa patut diduga memenuhi seluruh rumusan

ketentuan pidana dalam kedua Undang-Undang tersebut.

Penulis juga menemukan perbedaan penerapan hukum pidana dalam putusan

terkait TPPU dan tindak pidana narkotika pada tahun 2013 dalam putusan tersebut

terdakwa didakwa dengan mengalternatifkan ketentuan Pasal 137 huruf b Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2009 atau Pasal 5 ayat (1) jo. Pasal 2 ayat (1) huruf c

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 dan Majelis Hakim pada perkara a quo lebih

memilih untuk membuktikan unsur Pasal 137 huruf b Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009 yang mana hal tersebut berbanding terbalik seperti perkara pada

putusan kedua di atas, rincian putusan tersebut ialah sebagai berikut:

Ketiga, Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor

438/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Sel. atas nama Terdakwa Zakiyah. Terdakwa didakwa

dengan dakwaan kombinasi sebagai berikut: Kesatu Primair Pasal 114 ayat (2) jo.

Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009. Subsidair Pasal 112

ayat (2) jo. Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Dan Kedua

Pertama Pasal 137 huruf b Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Atau Kedua

Pasal 5 ayat (1) jo. Pasal 2 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010.

Penuntut Umum menuntut terdakwa dengan menyatakan terdakwa terbukti

secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana berdasarkan Pasal

Kesatu Subdidiair Pasal 112 ayat (2) jo. Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor

35 Tahun 2009 dan Kedua Pertama Pasal 137 huruf b Undang-Undang Nomor 35

14

Tahun 2009. Menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama 17 tahun dan

pidana denda sejumlah Rp1.000.000.000,00 subsidair tiga bulan penjara.

Majelis Hakim juga mengadili terdakwa dengan menyatakan bahwa

Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak

pidana berdasarkan Pasal Pasal 114 ayat (2) Jo. Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2009 pada dakwaan Kesatu Primair dan Pasal 137 huruf b

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 dakwaan Kedua Alternatif Pertama.

Menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama 15 tahun dan pidana denda

sejumlah Rp1.000.000.000,00 subsidair dua bulan penjara.

Berdasarkan ketiga putusan a quo telah terjadi perbedaan penerapan hukum

pidana terhadap perkara pidana sejenis karena tindak pidana yang dilakukan oleh

terdakwa diatur oleh lebih dari satu Undang-Undang. Perbedaan tersebut

diantaranya ialah perbedaan bentuk dakwaan, perbedaan penerapan undang-undang

terhadap perbuatan terdakwa dan juga perbedaan penerapan sanksi pidana.

Core crimes dari TPPU sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU,

diatur dalam berbagai Undang-Undang, dan Undang-Undang yang mengatur coor

crimes dari TPPU tersebut tidak ada yang mengatur tindak pidana mengenai

pencucian uang kecuali Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dan Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009. Perbedaan penerapan hukum pidana pada Undang-Undang Nomor 18

Tahun 2013 tidak menjadi bahan kajian dalam penulisan hukum ini, dikarenakan

belum ada perkara pidana dengan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap

15

terhadap TPPU yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang kehutanan yang

menggunakan ketentuan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013.

Perbedaan penerapan perundang-undangan hukum pidana khusus tersebut

yang diakibatkan karena, diaturnya satu jenis tindak pidana oleh lebih dari satu

Undang-Undang pidana khusus, membuat penulis tertarik untuk mengkaji

bagaiamana seharusnya penerapan peraturan perundang-undangan terhadap

perkara TPPU yang diperoleh dari hasil tindak pidana narkotika dalam praktek

peradilan, dan juga bagaimana seharusnya prospek pengaturan peraturan

perundang-undangan yang ideal terhadap TPPU yang diperoleh dari hasil tindak

pidana narkotika di masa yang akan datang.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, maka yang akan menjadi

fokus permasalahan dalam penulisan hukum ini adalah:

1. Bagaimanakah penerapan peraturan perundang-undangan terhadap perkara

TPPU yang diperoleh dari hasil tindak pidana narkotika dalam putusan

pengadilan?

2. Bagaimanakah seharusnya pengaturan terhadap TPPU yang diperoleh dari

hasil tindak pidana narkotika untuk berlaku di masa yang akan datang?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini terdiri dari tujuan subjektif dan tujuan objektif yaitu

sebagai berikut:

16

1. Tujuan Subjektif

Memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum,

Universitas Gadjah Mada.

2. Tujuan Objektif

Berdasarkan permasalahan yang diteliti, tujuan objektif dari penelitian ini

adalah:

a. Untuk mengetahui dan menganalisis peraturan perundang-undangan yang

diterapkan terhadap perkara TPPU yang diperoleh dari hasil tindak pidana

narkotika dalam putusan pengadilan (ius operatum).

b. Untuk menganalisis dan mengkaji prospek pengaturan terhadap TPPU yang

diperoleh dari hasil tindak pidana narkotika di masa yang akan datang (ius

constituendum).

D. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik dari segi

teoritis maupun dari segi praktis sebagai berikut:

1. Manfaat teoritis

Secara teoritis hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangsih bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya ilmu hukum pidana

dikarenakan hasil penelitian ini memberikan kejelasan mengenai peraturan

perundang-undangan yang diterapkan terhadap perkara TPPU yang berasal dari

hasil tindak pidana narkotika serta penjelasan mengenai prospek pengaturan

17

terhadap TPPU yang berasal dari hasil tindak pidana narkotika di masa yang akan

datang.

2. Manfaat praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat kepada

pembentuk undang-undang dan aparat penegak hukum, sebagai berikut:

a. Pembentuk Undang-Undang karena hasil dari penelitian ini memberi

penjelasan mengenai prospek pengaturan yang ideal di masa yang akan

datang mengenai tidak pidana pencucian uang yang diperoleh dari hasil

tindak pidana narkotika.

b. Aparat penegak hukum karena hasil penelitian ini memberi penjelasan dan

pedoman mengenai peraturan perundang-undangan yang seharusnya

diterapkan terhadap ketentuan pidana dengan rumusan delik yang hampir

sama yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 dan Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2009 jika dalam praktik peradilan terjadi tindak

pidana yang memenuhi seluruh rumusan delik yang diatur dalam kedua

Undang-Undang tersebut.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang penulis lakukan, belum pernah

ada penelitian maupun penulisan hukum yang berjudul Penerapan Hukum Pidana

terhadap Perkara TPPU yang diperoleh dari Hasil Tindak Pidana Narkotika. Namun

ditemukan beberapa penelitian yang membahas mengenai tema yang sama dengan

penelitian yang penulis lakukan, antara lain:

18

1. Lina M. Ibrahim, 2005, “Upaya Penegakan Hukum atas TPPU sebagai Hasil

Tindak Pidana Insider Trading di Pasar Modal”, Tesis, Program Pascasarjana

Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.18

Rumusan permasalahan dalam penelitian hukum tersebut ialah Tindak Pidana

Insider Trading di Pasar Modal Indonesia sebagai predicate crime yang merupakan

dasar dilakukannya TPPU. Kesimpulan dari rumusan permasalahan penelitian

tersebut ialah: pertama, tindak pidana pasar modal merupakan salah satu predicate

crime (tindak pidana asal) bagi TPPU/money loundering sebagaimana disebutkan

dalam Pasal 2 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003. Dalam Pasal

1 angka 1 Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa pencucian uang adalah

perbuatan menempatkan, mentransfer, mambayarkan, membelanjakan,

menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri,

menukarkan, atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau

patut diduga merupakan Hasil Tindak Pidana dengan maksud untuk

menyembunyikan, atau menyamarkan asal-usul Harta Kekayaan sehingga seolah-

olah menjadi Harta Kekayaan yang sah. Dari pengertian tersebut jika dihubungkan

dengan bunyi Pasal 2 ayat (1) yang mengatur tentang predicate crime, maka ada

garis hubung yang dapat ditarik bahwa harta kekayaan yang dapat dijadikan objek

tidak pidana pencucian uang adalah harta kekayaan yang dihasilkan dari tindak

pidana yang disebutkan dalam Pasal 2 tersebut dimana salah satunya adalah harta

kekayaan yang didapat dari tindak pidana pasar modal. Penulis mengangkat tema

18 Lina M. Ibrahim, 2005, “Upaya Penegakan Hukum atas TPPU sebagai Hasil Tindak Pidana

Insider Trading di Pasar Modal”, Tesis, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas

Indonesia, Jakarta.

19

mengenai insider trading termasuk sebagai salah satu tindak pidana pasar modal,

maka insider trading merupakan predicate crime dan harta kekayaan yang

merupakan hasil kejahatan insider trading merupakan objek bagi TPPU.

TPPU di pasar modal dapat terjadi melalui dua cara, pertama, hasil tindak

pidana selain tindak pidana pasar modal masuk ke dalam sistem pasar modal (dicuci

melalui transaksi yang dilakukan di pasar modal), yang kedua, hasil tindak pidana

pasar modal dicuci melalui sistempasar modal jug. Jika yang terjadi adalah bentuk

yang kedua, maka kejahatan dan proses pencucian uang dilakukan dalam satu

medium yang sama yaitu pasar modal. Kedua, dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1)

Undang-Undang TPPU disebutkan bahwa “Terhadap Harta Kekayaan yang diduga

merupakan hasil tindak pidana tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana

asalnya untuk dapat dimulainya pemeriksaaan TPPU”. Dari penjelasan Pasal 3 ayat

(1) tersebut dapat diartikan bahwa permulaan pemeriksaan TPPU tidak bergantung

pada dapat/tidaknya tindak pidana asal (predicate cruime) itu dibuktikan, atau

dengan kata lain permulaan pemeriksaaan TPPU dapat terus dilakukan walaupun

harta kekayaan yang diduga merupakan hasil tindak pidana belum dan atau tidak

terbukti sebagai harta hasil tindak pidana.

Khusus untuk kasus insider trading, yang pembuktiannya cukup sulit, dimana

seseorang yang dituduh telah melakukan insider trading dalam suatu transaksi

perdagangan saham dan ternyata insider trading tersebut tidak dapat dibuktikan

oleh Bapepam, maka tidak perlu lagi dibuktikan asal uang yang didapat orang

tersebut, karena transaksi yang dilakukan merupakan transaksi yang wajar,

sehingga uang yang dihasilkan pun merupakan uang yang sah. Dengan demikian,

20

menurut hemat penulis, pemeriksaaan terhadap dugaan TPPU sebagai hasil dari

tindak pidana insider trading yang dilakukan oleh Kepolisisan berdasarkan laporan

dari PPATK tidak dapat dilanjutkan karena objek TPPU tersebut tidak ada (tindak

pidana insider trading tidak terbukti/tidak ada tindak pidana, maka uang yang

dihasilkan dari suatu transaksi adalah uag yang sah dan UUPM tidak mengatur

mengenai dimungkinkannya dilakukan pembuktian terbalik terhadap kasus insider

trading). Dengan demikian upaya penegakan hukum TPPU terhadap kasus insider

trading yang tidak terbukti tidak dapat dilakukan.

Ketiga, oleh karena TPPU tidak dapat berdiri sendiri melainkan tergantung

dari adanya predicate crime, maka kerjasama antar PPATK dengan lembaga

lainnya sangat diperlukan. Dalam melakukan penegakan hukum TPPU sebagai

hasil tindak pidana pasar modal, PPATK telah melakukan kerjasama dengan

Bapepam sebagai otoritas pasar modal melalui MOU yang telah ditandatangani

oleh kedua belah pihak. Dengan ditandatanganinya MOU antara Bapepam dan

PPATK maka dalam hal ada dugaan terjadinya TPPU di pasar modal, Bapepam dan

PPATK dapat melakukan kerjasama, dimana Bapepam dapat melakukan

pemeriksaan apakah telah terjadi tindak pidana di pasar modal, sementara PPATK

melalui kepolisian tetap melakukan pemeriksaaan atas kemungkinan adanya TPPU

di pasar modal. Dengan adanya kerjasama yang baik antara Bapepam, PPATK dan

Kepolisian, maka penanganan atas setiap kasus pencucian uang sebagai akibat

tindak pidana di pasar modal dapat diatasi bersama secara lebih baik dan penegakan

hukum bisa dilakukan semaksimal mungkin.

21

Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian hukum yang penulis lakukan

ialah yang pertama, penulis melakukan analisis terhadap Tidak Pidana Pencucian

Uang yang predicate crimenya Tindak Pidana Narkotika sementara penelitian

hukum di atas menganalisis TPPU yang predicate crimenya Tindak Pidana Pasar

Modal. Kedua dalam melakukan analisis terhadap TPPU, Undang-Undang yang

penulis gunakan sebagai bahan hukum primer ialah Undang-Undang Nomor 8

Tahun 2010 sementara dalam penelitian hukum di atas yang digunakan sebagai

bahan hukum primer ialah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 karena tahun

penelitian hukum tersebut dilakukan pada tahun 2005 sebelum Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 2010 diundangkan. Dengan demikian penelitian hukum di atas

berbeda dengan penelitian hukum yang penulis lakukan.

2. Mega Dwi Sartika, 2013, “Tinjauan Umum terhadap Tindak Pidana

Perdagangan Anak sebagai Predicate Crime dalam Undang-Undang Tindak

Pidana Pencucian Uang”, Tesis, Program Studi Ilmu Hukum Kekhususan

Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.19

Rumusan masalah dalam penelitian hukum tersebut ialah: Pertama,

bagaimanakah pengaturan praktik kejahatan perdagangan anak yang ada di

Indonesia. Kedua, bagaimanakah mencegah dan memberantas kejahatan

perdagangan anak sebagai predicate crime dalam UU TPPU.

19 Mega Dwi Sartika, 2013, “Tinjauan Umum terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak sebagai

Predicate Crime dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang”, Tesis, Program Studi

Ilmu Hukum Kekhususan Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.

22

Kesimpulan dari rumusan permasalahan penelitian tersebut ialah: Pertama,

pegaturan kejahatan perdagangan anak di Indonesia secara global dapat

disimpulkan dan berawal dari beberapa hal yang menjadi penyebab terdapatnya

pekerja dalam usia anak adalah antara lain karena persepsi bekerja membantu

pendapatan keluarga, kemiskinan dan gaya hidup konsumerisme, krisis ekonomi

dan lemahnya penegakan hukum serta kondisi keluarga karena pendidikan rendah.

Pemerintah dalam Keputusan Presiden Nomor 88 Tahun 2002 telah menetapkan

Rencana Aksi Nasional Penghapusan Trafficking Perempuan dan Anak.

Perlindungan dengan mewujudkan norma hukum dan tindakan hukum terhadap

pelaku trafficking. Pencegahan segala bentuk trafficking, rehabilitasi dan reitegrasi

sosial bagi korban trafficking serta mewujudkan kerjasama dan koordinasi dalam

penanggulangan trafficking.

Pengaturan praktik kejahatan anak telah menjadi perhatian Perserikatan

Bangsa-Bangsa. Beberapa usulan untuk menentang perdagangan anak telah

dikembangkan atas bantuan Dewan Jenderal dan Komisi Fungsional, Dewan Sosial

dan Ekonomi dengan memberikan bantuan dana kepada negara-negara peserta

(termasuk Indonesia) berupa advokasi oleh lembaga Swadaya Masyarakat

bekerjasama dengan pemerintah. Berbagai instrumen internasional dalam

memerangi dan menghapus eksploitasi seksual komersial telah disetujui oleh

pemerintah dan dalam penyusunan rencana aksi nasional merujuk kepada

kesepakatan yang terutang dalam instrumen internasional tersebut antara lain:

Konvensi Hak-hak Anak telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Keputusan

presiden Nomor 36 Tahun 1990. Deklarasi dan Agenda Stockholm tahun 1996.

23

Komiten dan Rencana Aksi Regional Kawasan Asia Timur dan Pasifik melawan

Eksploitasi Seksual Komersial Anak Tahun 2001. Komitmen global yokohama

tahun 2001. Konvensi ILO Nomor 182 telah diratifikasi oleh Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO. Optional Prootocol ti the

Sale of Children, Child Prostitution and Child Phornography ditandatangani pada

tanggal 24 September 2001. Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking

in Persons, Especially Women and Children Supplementing to UN Convention

against Transnational Organized Crime ditandatangani pada tanggal 12 Desember

2012.

Pengaturan hukum perdagangan orang termasuk terhadap anak di bawah

umur yang diatur dalam peraturan yang berbeda pada hakikatnya merupakan suatu

perkembangan yang positif, namun tetap dirasakan belum memadai dan belum

sempurna untuk menjawab tantangan perkembangan masyarakat. Pengaturan yang

berbeda dan tidak dalam satu sistem akan dapat menyulitkan dan rumit dalam

penerapannya. Salah satu kendala sederhana untuk menanggulangi kejahatan ini

adalah belum diketahui secara pasti pengertian yuridis dan kejahatan

memperniagakan dan mengenai batasan tentang usia di bawah umur.

Kedua, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Keputusan Presiden

Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan

Perempuan dan Anak (RAN-P3A) sebagai salah satu kebijakan dalam bidang

hukum pidana untuk menanggulangi kejahatan perdagangan anak.

Pencegahan dan Pemberantasan antara lain dengan telah disahkannya

Undang-Undang Pemberantasan dan Pencegahan TPPU yaitu Undang-Undang

24

Nomor 15 Tahun 2002 dan kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 25

Tahun 2003 dan kemudian dicabut dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010.

Undang-Undang TPPU merupakan sarana untuk mewujudkan harapan banyak

pihak sebagai hukum untuk mengantisipasi berbagai pola kejahatan yang mengarah

pada kegiatan pencucian uang. Adapun yang menjadi sasaran dalam Undang-

undang TPPU ini adalah mencegah dan memberantas sistem atau proses pencucian

uang dalam bentuk placement, layering dan integration. Sasaran utama dalam

kegiatan pencucian uang adalah lembaga keuangan bank ataupun non bank, maka

sasaran pengaturan dari Undang-Undang TPPU ini meliputi peranan-peranan aktif

dari lembaga-lembaga ini untuk mengantisipasi kejahatan pencucian uang.

Proses pendeteksian kejahatan kegiatan pencucian uang baik pada tahap

placement, layering maupun integration akan menjadi dasar untuk merekonstruksi

asosiasi antara uang atau harta hasil kejahatan dengan si penjahat. Apabila telah

terdeteksi dengan baik, proses hukum dapat segera dimulai, baik dalam rangka

mendakwa tindak pidana pencucian uang maupun kejahatan asalnya yang terkait.

Inilah yang menjadi alasan utama mengapa PJK diwajibkan melaporkan transaksi

keuangan mencurigakan (STR-sucipious transaction report) dan transaksi

keuangan tunai (CTR-cash transaction report).

Peran industri perbankan dalam mencegah dan memberantas tindak pidana

pencucian uang sangat menonjol. Perbankan dan penyedia jasa keuangan lainnya

merupakan ujung tombak dalam rejim anti pencucian uang. Lembaga keuangan

bersama-sama dengan karyawannya berada di lini terdepan dalam upaya

memerangi aktifitas keuangan ilegal. Oleh karena itu industri perbankan harus

25

mengambil langkah-langkah konkrit untuk melakuan identifikasi, memperkecil dan

mengelola setiap risiko yang berasal dari uang haram yang mengancam individual

bank dan industri perbankan. Untuk dapat melakukan hal itu, perbankan harus

memiliki mekanisme kontrol dan mekanisme manajemen risikio dan juga meniliki

sumber daya yang cukup agar mampu dan taat pada peraturan perundang-undangan

dan pedoman tentang anti pencucian uang. Kewajiban bank ini antara lain harus

menerapkan prinsip mengenal nasabah dan melaporkan transaksi keuangan

mencurigakan. Di samping itu, penerapan prinsip ini dimaksudkan untuk mencegah

dipergunakannya bank sebagai sarana pencucian uang oleh nasabah bank. Bank

diwajibkan menyusun Pedoman Pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah dan

menyampaikan kepada Ban Indonesia dan melaporkan setiap perubahan atas

pedoman tersebut kepada Bank Indonesia.

Dalam rangka mencegah dan memberantas TPPU. UU TPPU membentuk

PPATK suatu lembaga ndependen yang bertanggungjawab kepada presiden.

PPATK pada dasarnya adalah unit intelijen keunagan. Pentingnya PPATK

dilatarbelakangi kesadaran bahwa untuk memrangi pencucian uang dibutuhkan

keahlian khusus. Pendirian unit intelijen keuangan yang bertugas menerima dan

memproses informasi keuangan dari penyedia jasa keuangan harus dilihat dari latar

belakang phenomena semakin meningkatnya kebutuhan akan pentingnya keahlian

khsus tersebut.

Cara efektif dalam memberantas tindak pidana adalah kerjasama yang efektif

antara penegak hukum para penegak hukum yang selama ini terkesan agak terpisah-

pisah. Untuk itu, diperlukan persamaan persepsi dan kerjasama dalam

26

menggunakan pendekatan baru follow the money sebagai pelengkap pendekatan

konvensional follow the suspect. Diperlukan adanya pelatihan bersama di antara

para penegak hukum sehingga melahirkan persepsi yang sama. Untuk dapat bekerja

sama, sudah tentu diperlukan sikap saling percaya, singkirkan egoisme

kelembagaan dan danaya komunikasi yang insentif. Sedapat mungkin diupayakan

adanya komunikasi antara para penegak hukum sejak mulai penyidikan. Dengan

begitu, kalau ada perbedaan segera dapat diatasi. Untuk dapat melakukan

pendekatan follow the money dengan melakukan financial investigation, selain

diperlukan pendidikan khusus, juga dapat meminta bantuan dari akuntan publik

atau akuntan dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan.

Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian hukum yang penulis lakukan

ialah: Pertama, penulis melakukan analisis terhadap Tidak Pidana Pencucian Uang

yang predicate crimenya Tindak Pidana Narkotika sementara penelitian hukum di

atas menganalisis TPPU yang predicate crimenya Tindak Pidana Perdagangan

Anak. Kedua yang menjadi pokok pembahasan dalam penelitian hukum di atas

ialah bagaimana cara memberantas core crimes melalui Undang-Undang TPPU

sebagai follow up crimes sementara penelitian hukum yang penulis lakukan pokok

pembahasannya ialah lebih meitiberatkan pada penerapan Undang-Undang pidana

khusus yang mana yang seharusnya digunakan dalam praktik peradilan karena

terdapat pengaturan terhadap satu jenis tindak pidana oleh lebih dari satu Undang-

Undang sebagai core crimes dan follow up crimes. Dengan demikian penelitian

hukum di atas berbeda dengan penelitian hukum yang penulis lakukan.

27

3. Adi Freddy Bawaeda, 2014, “Pertanggungjawaban Pidana Partai Politik

dalam TPPU”, Tesis, Magister Hukum Litigasi Fakultas Hukum Universitas

Gadjah Mada, Yogyakarta. 20

Rumusan permasalahan dalam penelitian hukum tersebut ialah yang pertama

mengenai formulasi pengaturan pertanggungjawaban pidana partai politik dalam

TPPU. Kedua, pertanggungjawaban pidana partai politik menurut Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 2010 dan ketiga mengenai reformulasi pertanggungjawaban pidana

partai politik dalam TPPU yang ideal dimasa yang akan datang.

Kesimpulan dari rumusan permasalahan penelitian hukum tersebut ialah:

pertama, Formulasi pengaturan pertanggungjawaban pidana partai politik dalam

TPPU di Indonesia dimulai sejak diundangkannya Undang- Undang Nomor 15

Tahun 2002, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun

2003, dalam kedudukannya sebagai korporasi. Tujuh tahun kemudian kedua

undang-undang tersebut diganti dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010.

Kedudukan korporasi di dalam ketiga undang-undang tersebut adalah sebagai

subjek tindak pidana. Hanya saja di dalam undang-undang sebelumnya (Undang-

Undang Nomor 15 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003),

menganut teori identifikasi atau teori organ dalam arti sempit. Oleh karena itu untuk

dapat dikatakan korporasi melakukan tindak pidana apabila dilakukan oleh

pengurus (pejabat senior) korporasi. Berbeda dengan kedua undang-undang

sebelumnya, dalam Undang-Undang yang berlaku saat ini (Undang-Undang Nomor

20 Adi Freddy Bawaeda, 2014, “Pertanggungjawaban Pidana Partai Politik dalam TPPU”, Tesis,

Magister Hukum Litigasi, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

28

8 Tahun 2010), directing mind korporasi tidak hanya pejabat senior saja. Terkait

sanksi pidana, korporasi dapat dijatuhi pidana penjara, kurungan, denda, dan pidana

tambahan.

Kedua, Partai politik yang melakukan TPPU dapat dipidana dalam

kedudukannya sebagai korporasi. Namun demikian terdapat beberapa ketentuan

dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 yang tidak bisa diterapkan, misalnya

terkait dengan pidana tambahan. Dalam ketentuan Pasal 7 ayat (2) diatur mengenai

jenis sanksi pidana tambahan terhadap korporasi, akan tetapi beberapa diantaranya

tidak dapat dijatuhkan terhadap partai politik. Selain itu terkait dengan ketentuan

Pasal 6 ayat (2). Ketentuan pasal tersebut, khususnya huruf b akan sulit dipenuhi

dalam konteks partai politik. Tidak dapat diterapkannya sejumlah ketentuan

terhadap partai politik dikarenakan partai politik walaupun sebagai badan hukum

(korporasi), tetapi rezimnya berbeda dengan pencucian uang sehingga terdapat

beberapa ketentuan yang sulit atau tidak dapat diterapkan kepada partai politik.

Permasalahan lainnya juga terletak pada Undang-Undang TPPU itu sendiri.

Walaupun dalam pendefinisian korporasi itu sendiri diformulasikan secara luas,

namum dalam penjabaran ketentuan lainnya masih dibatasi pada korporasi yang

bergerak di bidang tertentu saja (bidang usaha). Ternyata dari kalangan partai

politik itu sendiri belum paham akan kedudukan partai politik dalam TPPU sebagai

korporasi. Ketiga, Dalam memformulasikan pertanggungjawaban pidana partai

politik (korporasi) dalam TPPU kedepannya perlu diperhatikan beberapa catatan

penting. Pertama, reformulasi dilakukan terhadap ketentuan yang menyatakan

kapan korporasi dikatakan melakukan TPPU. Kedua, reformulasi terhadap

29

ketentuan sanksi pidana, baik pidana pokok maupun pidana tambahan. Kedua

catatan ini penting untuk dipertimbangkan mengingat tindak pidana pencucian

sangatlah masif. Artinya TPPU tidak hanya terjadi di sektor usaha saja, tetapi bisa

mencakup lintas sektor.

Perbedaan penelitian hukum di atas dengan penelitian hukum yang penulis

lakukan ialah yang pertama penulis melakukan analisis terhadap penerapan perkara

TPPU yang berasal dari hasil Tindak Pidana Narkotika, berbeda dengan penelitian

di atas yang menganalisis peranggungjawaban pidana partai politik yang

melakukan TPPU. Kedua, penelitian hukum penulis melakukan analisis terhadap

pengaturan yang ideal pada masa yang akan datang mengenai TPPU yang berasal

dari Hasil Tindak Pidana Narkotika. Berbeda dengan penelitian di atas yang

menganalisis pengaturan yang ideal pada masa yang akan datang mengenai

pertanggungjawaban partai politik dalam TPPU.

F. Sistematika Penulisan

Penulisan hukum ini disajikan ke dalam lima bab. Secara sistematis ke lima

bab dimaksud terdiri dari bab I berisi pendahuluan, bab II berisi tinjauan pustaka

tentang variabel dalam penelitian, bab III berisi metode yang dialakukan dalam

penelitian, bab IV berisi hasil penelitian dan pembahasan terhadap rumusan

masalah, bab V berisi penutup berupa kesimpulan dan saran. Rincian dari kelima

bab tersebut diuraikan sebagai berikut.

Bab I tentang pendahuluan. Penulis berusaha memaparkan berbagai alasan

yang melatarbelakangi perlunya penelitian dan penulisan hukum tentang penerapan

30

hukum pidana terhadap perkara TPPU yang berasal dari hasil tindak pidana

narkotika. Di samping itu, pada bab pendahuluan disajikan pula rumusan

permasalahan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penelitian

dan sistematika penelitian.

Bab II tentang tinjauan pustaka. Penulis menguaraikan beberapa hal terkait

variabel penelitian yaitu: pertama, tinjauan tentang TPPU yaitu mengenai sejarah,

pengertian dan tipologi dari TPPU. Kedua, tinjauan tentang tindak pidana

narkotika, yaitu mengenai pengertian, dan sejarah tindak pidana narkotika. Ketiga,

tinjauan tentang penerapan hukum pidana yaitu mengenai penerapan hukum,

hukum pidana dan penerapan hukum pidana.

Bab III tentang metode penelitian. Penulis menguaraikan mengenai mtode

yang digunakan dalam penelitian ini mulai dari jenis penelitian, bahan penelitian,

cara dan alat penelitian, analisis hasil penelitian, jalnnya penelitian dan kendala

dalam melakukan penelitian ini.

Bab IV tentang hasil penelitian dan pembahasan. Penulis melakukan

pembahasan terhadap dua rumusan masalah pada penelitian ini yaitu: pertama,

pembahasan tentang penerapan hukum pidana terhadap perkara TPPU yang berasal

dari tindak pidana narkotika dalam praktik peradilan. Kedua, pembahasan tentang

prospek pengaturan TPPU yang berasal dari tindak pidana narkotika untuk berlaku

di masa yang akan datang. Akhir bab IV disajikan analisis data

Bab V tentang Penutup. Penulis memberikan kesimpulan dan saran terkait

hasil penelitian yang telah penulis lakukan.