BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78401/potongan/S1...1 BAB I...

24
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Uji disolusi dan difusi in vitro memiliki peran penting dalam pengembangan formulasi obat dan kontrol kualitas. Hal ini tidak hanya dapat digunakan sebagai alat utama untuk memantau konsistensi dan stabilitas produk obat tetapi juga sebagai teknik yang relatif cepat dan murah untuk memprediksi penyerapan in vivo suatu sediaan obat (Zhang et al., 2010). Uji disolusi memberikan gambaran perubahan jumlah zat aktif yang terlarut di dalam medium (Fudholi, 2013). Uji difusi dapat digunakan untuk memperoleh parameter kinetik transpor obat melalui membran usus, serta mempelajari pengaruh komponen penyusun sediaan terhadap profil transpor obat (Deferme, 2008). Kedua uji tersebut dapat digunakan untuk mengevaluasi sistem penghantaran obat yang sedang berkembang yaitu SNEEDS. Self Nano Emulsifying Drug Delivery System (SNEDDS) adalah campuran isotropik minyak, surfaktan, dan ko-surfaktan yang secara spontan membentuk emulsi minyak dalam air (O/W) ketika dimasukkan ke dalam medium air dengan penggojogan ringan (Patel et al., 2008). Komponen penyusun obat dapat meningkatkan ketersediaan hayati relatif obat-obat yang bersangkutan sebagai akibat dari modifikasi membran tempat absorbsi (Sudjaswadi, 1995). Komponen penyusun SNEDDS yang digunakan dalam penelitian ini adalah olive oil (minyak zaitun) sebagai minyak, Tween 80 sebagai surfaktan dan PEG 400 sebagai kosurfaktan.

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78401/potongan/S1...1 BAB I...

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78401/potongan/S1...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Uji disolusi dan difusi in vitro memiliki peran penting

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Uji disolusi dan difusi in vitro memiliki peran penting dalam

pengembangan formulasi obat dan kontrol kualitas. Hal ini tidak hanya dapat

digunakan sebagai alat utama untuk memantau konsistensi dan stabilitas produk

obat tetapi juga sebagai teknik yang relatif cepat dan murah untuk memprediksi

penyerapan in vivo suatu sediaan obat (Zhang et al., 2010). Uji disolusi

memberikan gambaran perubahan jumlah zat aktif yang terlarut di dalam medium

(Fudholi, 2013). Uji difusi dapat digunakan untuk memperoleh parameter kinetik

transpor obat melalui membran usus, serta mempelajari pengaruh komponen

penyusun sediaan terhadap profil transpor obat (Deferme, 2008). Kedua uji

tersebut dapat digunakan untuk mengevaluasi sistem penghantaran obat yang

sedang berkembang yaitu SNEEDS.

Self Nano Emulsifying Drug Delivery System (SNEDDS) adalah campuran

isotropik minyak, surfaktan, dan ko-surfaktan yang secara spontan membentuk

emulsi minyak dalam air (O/W) ketika dimasukkan ke dalam medium air dengan

penggojogan ringan (Patel et al., 2008). Komponen penyusun obat dapat

meningkatkan ketersediaan hayati relatif obat-obat yang bersangkutan sebagai

akibat dari modifikasi membran tempat absorbsi (Sudjaswadi, 1995). Komponen

penyusun SNEDDS yang digunakan dalam penelitian ini adalah olive oil (minyak

zaitun) sebagai minyak, Tween 80 sebagai surfaktan dan PEG 400 sebagai

kosurfaktan.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78401/potongan/S1...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Uji disolusi dan difusi in vitro memiliki peran penting

2

Tween 80 merupakan komponen surfaktan non-ionik yang diketahui

memiliki tingkat toksisitas rendah jika dibandingkan dengan surfaktan ionik

namun dapat menyebabkan perubahan secara reversible terhadap permeabilitas

membran intestinal (Patel et al., 2008). PEG 400 sebagai kosurfaktan, merupakan

pelarut semipolar yang dapat berinteraksi dengan obat kemudian meningkatkan

jumlah obat terlarut dengan cara menurunkan lipofilisitas obat tersebut

(Sudjaswadi, 1995). Menurunnya lipofilisitas obat menyebabkan obat akan

semakin sulit untuk berdifusi melewati membran usus (Shargel et al., 2005).

Pada penelitian ini dilakukan uji in vitro dissolusi dan difusi SNEDDS

dengan senyawa obat simvastatin yang tersusun atas variasi kadar Tween 80 dan

PEG 400. Uji disolusi menggunakan alat apparatus I (basket) sedangkan uji difusi

menggunakan alat using chamber dengan metode side by side diffusion.

Selanjutnya dilakukan analisis data untuk melihat pengaruh komposisi tween 80

dan PEG 400 terhadap parameter disolusi dan difusi SNEDDS simvastatin dengan

pembanding yaitu simvastatin murni.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengaruh variasi kadar Tween 80 dan PEG 400 terhadap disolusi

SNEDDS simvastatin?

2. Bagaimana pengaruh variasi kadar Tween 80 dan PEG 400 terhadap difusi

SNEDDS simvastatin?

3. Pada kombinasi berapakah Tween 80 dan PEG 400 akan memberikan

parameter disolusi dan difusi SNEDDS simvastatin yang paling baik?

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78401/potongan/S1...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Uji disolusi dan difusi in vitro memiliki peran penting

3

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui pengaruh variasi kadar Tween 80 dan PEG 400 terhadap disolusi

SNEDDS simvastatin.

2. Mengetahui pengaruh variasi kadar Tween 80 dan PEG 400 terhadap difusi

SNEDDS simvastatin.

3. Mengetahui formula SNEDDS simvastatin yang akan memberikan parameter

disolusi dan difusi paling baik.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pengaruh

variasi kadar Tween 80 dan PEG 400 terhadap parameter disolusi dan difusi

sediaan SNEDDS simvastatin sehingga dapat membantu meningkatkan efektifitas

penggunaan simvastatin secara peroral sebagai obat anti kolesterol.

E. Tinjauan Pustaka

1. Simvastatin

Simvastatin merupakan obat yang berkhasiat menurunkan kadar

kolesterol dan merupakan hasil sintesa fermentasi Aspergillus terreus. Simvastatin

termasuk kedalam BCS kelas II dengan karakteristik kelarutan yang rendah

namun memiliki permeabilitas yang tinggi (Abdelbary, 2012). Koefisien partisi

simvastatin adalah 4,68. Simvastatin bersifat asam lemah dengan nilai pKa ± 5,5.

Kelarutan simvastatin didalam air adalah 0.03 g/L (Katy and Magdassi, 2009).

Karakteristik tersebut berdampak pada rendahnya ketersediaan hayati simvastatin

didalam tubuh.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78401/potongan/S1...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Uji disolusi dan difusi in vitro memiliki peran penting

4

Gambar 1. Struktur Kimia Simvastatin (USP Convention, 2007)

Simvastatin secara farmakologi merupakan inactive pro-drug yang secara

cepat dimetabolisme menjadi simvastatin β-hydroxy acid dengan konsentrasi

maksimum yang dapat dicapai setelah 1,3-2,4 jam setelah penggunaan secara

peroral. Senyawa obat utuh dan metabolitnya di ekskresi diurin sebanyak 13% dan

difeses sebanyak 60% (Raesuddin, 2011).

Pemerian simvastatin yaitu berwarna putih atau berbentuk kristal putih.

Simvastatin tidak larut dalam air (0,03g/L), n-hexane (0,15 g/L) dan asam

hidroklorida (0,1 M). Larut dalam kloroform (610 g/L), dimetil sulfoksid (540

g/L), methanol (200 g/L), etanol (160 g/L), polietieln glikol (70 g/L), solium

hidroksid (0,1 M) (70 g/L) dan propilen glikol (30 g/L). Simvastatin mengandung

tidak kurang dari 90,0% dan tidak lebih dari 110,0% dari C25H18O5. Penyimpanan

simvastatin harus terlindung dari cahaya. Pengguaan dosis harian berada pada

rentang 10-80 mg (Raesuddin, 2011).

2. Self Nano Emulsifying Drug Delivery System

Self Nano Emulsifying Drug Delivey System merupakan campuran dari

minyak natural atau sintetis, surfaktan, kosurfaktan, dan dengan satu atau lebih

pelarut. Penggunaan self-emulsifying lipid formulations lebih disukai karena

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78401/potongan/S1...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Uji disolusi dan difusi in vitro memiliki peran penting

5

kemampuannya untuk melarutkan obat yang bersifat lipofil, serta dapat

menyelesaikan permasalahan terkait absorpsi obat dan bioavailabilitasnya (Patel

et al, 2008). Selain itu, formulasi ini mampu meningkatkan bioavailabilitas dari

zat aktif atau obat yang termasuk kedalam BCS (Biopharmaceutical Classification

System) Kelas II. BCS Kelas II memiliki karakteristik rendahnya kelarutan dalam

air tetapi memiliki permeabilitas yang tinggi. Sehingga diharapkan dengan sistem

formulasi SNEDDS akan mampu meningkatkan beberapa parameter in vivo

seperti susunan misel mampu mencegah terjadinya presipitasi obat karena adanya

pengaruh cairan gastro intestinal sehingga merubah sistem menjadi emulsi dan

meningkatkan absorpsi obat. Kemudian adanya pengaruh fase minyak yang akan

secara selektif memudahkan obat melalui sirkulasi limfatik sehingga menurunkan

kemungkinan obat melalui first-pass effect (Raesuddin, 2011).

Pembentukan emulsi O/W terbentuk secara spontan ketika fase minyak

menemui fase air di dalam lambung. SNEDDS akan secara langsung menyebar di

dalam saluran GI dan karena pengaruh motilitas lambung maka secara langsung

memfasilitasi terjadinya self emulsification. Sistem ini memberikan keuntungan

obat yang terlarut dalam sistem memiliki ukuran droplet yang lebih kecil serta

memberikan luas permukaan yang besar untuk bersentuhan dengan area absorpsi

obat sehingga absorbsi obat dapat lebih cepat terjadi (Raesuddin, 2011).

Dibandingkan dengan sistem emulsi biasa yang sangat mudah

terpengaruh kondisi pH dan kurang stabil, SNEDDS memberikan formula yang

lebih stabil serta mudah dibuat. Untuk obat yang bersifat lipofil dengan dibuat

kedalam sistem SNEDDS akan memberikan disolusi yang baik serta

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78401/potongan/S1...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Uji disolusi dan difusi in vitro memiliki peran penting

6

meningkatkan absorpi serta memberikan data profil darah vs waktu yang

reprodusibel (Raesuddin, 2011).

3. Minyak

Minyak didalam formulasi SNEDDS berperan dalam menentukan ukuran

tetesan nanoemulsi, dan kelarutan obat. Minyak yang digunakan untuk SNEDDS

ditentukan oleh jenis obatnya. Jenis obat yang berbeda memerlukan jenis minyak

yang berbeda pula (Anton et al., 2008; Bouchemal et al., 2004; Gursoy and

Benita, 2004; Lopez-Montilla, 2002; Pouton and Porter, 2008). Minyak dengan

banyak komponen rantai hidrokarbon seperti trigliserida rantai panjang lebih

susah teremulsi dibandingkan trigliserida rantai menengah atau monogliserida

rantai menengah (Sadurní et al., 2005). Namun trigliserida rantai panjang

memiliki keunggulan diantaranya mampu meningkatkan transpor obat melalui

limfatik sehingga mengurangi metabolisme first pass effect, sementara trigliserida,

digliserida ataupun monogliserida rantai medium memiliki kemampuan

melarutkan obat lipofilik yang lebih baik (Anton and Vandamme, 2009; Lundin et

al., 1997). Minyak nabati yang umum digunakan dalam formulasi yaitu olive oil,

corn oil, soya bean oil, dan virgin coconut oil (Patel et al, 2008). Pada penelitian

ini digunakan olive oil (minyak zaitun).

Minyak zaitun merupakan campuran dari asam lemak gliserida. Analisis

minyak zaitun menunjukkan beberapa asam lemak tidak jenuh seperti asam

palmitat (20%), asam palmitoleat (5%), asam stearat (5%), asam oleat (55%),

asam linoleat (21%), dll. (Rowe et al., 2009). Asam oleat (C18H34O2) merupakan

asam lemak tidak jenuh dengan 18 rantai karbon dan satu ikatan rangkap antara

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78401/potongan/S1...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Uji disolusi dan difusi in vitro memiliki peran penting

7

karbon nomor 9 dan karbon nomor 10 (Win, 2005). Struktur asam oleat dapat

dilihat pada gambar 2.

Gambar 2. Struktur Kimia Asam Oleat (Rowe et al., 2009)

Secara struktur kimia, Asam oleat memiliki rumus struktur

CH3(CH2)7CHCH(CH2)7COOH. Asam lemak ini pada suhu ruangan berupa cairan

kental dengan warna kuning pucat atau kuning kecoklatan. Asam ini memilki

aroma yang khas. Ia tidak larut dalam air, titik leburnya 15,30C dan titik didihnya

3600C. Asam oleat dapat melarutkan obat yang bersifat lipofil sehingga dapat

digunakan dalam sediaan SNEDDS. Sebagai asam, lemak, oleat adalah salah satu

yang lebih baik untuk dikonsumsi. Manfaatnya antara lain sebagai pengganti

lemak jenuh lain, dapat menurunkan jumlah kolesterol dan meningkatkan kadar

high density lipoprotein (HDL) sambil menurunkan low density lipoprotein

(LDL). Hal tersebut mendukung simvastatin sebagai anti kolesterol.

4. Surfaktan

Surfaktan non ionik dengan nilai HLB yang tinggi digunakan dalam

formulasi SNEDDS seperti tween, labrasol, labrafak, dan kremofor. Surfaktan

dengan nilai HLB dan hidrofilisitas yang tinggi membantu mempercepat

terbentuknya droplet O/W (Kumar et al., 2010). Surfaktan non ionik diketahui

memiliki tingkat toksisitas yang rendah jika dibandingkan dengan surfaktan

ionik, namun dapat menyebabkan perubahan secara reversible terhadap

permeabilitas membran intestinal (Patel et al., 2008). Jumlah surfaktan yang besar

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78401/potongan/S1...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Uji disolusi dan difusi in vitro memiliki peran penting

8

dapat mengiritasi saluran usus. Oleh karena itu aspek keamanan dari surfaktan

perlu dipertimbangkan (Rahman et al., 2012). Surfaktan yang berasal dari alam

lebih aman dalam penggunaannya dibanding surfaktan sintetis. Namun, surfaktan

alami mempunyai kemampuan self-emulsification yang lebih rendah sehingga

jarang digunakan untuk formulasi SNEDDS (Singh et al., 2009).

Surfaktan bekerja dengan cara menurunkan tegangan permukaan antara

fase minyak dan fase air. Zat ini akan berada dipermukaan cairan atau antar muka

2 cairan dengan cara teradsorpsi. Gugus hidrofil akan berada pada bagian air

sedangkan gugus lipofil akan berada pada bagian minyak. Surfaktan bersifat

amfifilik di alam dan dapat melarutkan kebanyakan obat hidrofobik (Raesuddin,

2011). Fungsi lain dari surfaktan yaitu untuk mencegah terjadinya presipitasi

didalam lumen saluran usus dan untuk memperpanjang keberadaan obat dalam

bentuk molekul terlarut sehingga proses absorpsi dapat berjalan secara efektif

(Patel et al., 2008).

Pemilihan surfaktan harus mampu mengurangi tegangan permukaan yang

dapat memfasilitasi proses dispersi selama preparasi SNEDDS (Rahman et al.,

2012). Polioksietilen-20-sorbitan monooleat (Tween 80) adalah salah satu

surfaktan yang umum digunakan. Tween 80 mampu melarutkan obat-obat dengan

kelarutan rendah dalam air sehingga dijadikan pertimbangan dalam formulasi

SNEDDS.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78401/potongan/S1...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Uji disolusi dan difusi in vitro memiliki peran penting

9

Gambar 3. Struktur Kimia Tween 80 (USP Convention, 2007)

Tween 80 dapat meningkatkan permeasi dengan cara menurunkan

tegangan antar muka mendekati nol (Ghosh et al,. 2006). Tween 80 dapat

meningkatkan permeabilitas dengan cara melonggarkan tight junction (Kumar and

Rajeshwarrao, 2011). Semakin besar konsentrasi surfaktan yang digunakan maka

ukuran droplet akan semakin kecil (Abdelbary, 2012). Meningkatkan ukuran

partikel dari mikroemulsi dapat menurunkan disolusi obat sehingga disolusi obat

dapat dikontrol dengan mengatur ukuran partikel rata-rata (Kang, et al., 2004).

Terdapat hubungan antara ukuran droplet dengan konsentrasi dari

surfaktan yang digunakan. Dilaporkan bahwa droplet dengan ukuran yang lebih

kecil dapat diperoleh dengan meningkatkan konsentrasi surfaktan. Ukuran droplet

merupakan faktor kritis didalam performa self emulsification karena hal tersebut

menentukan kecepatan dan tingkat obat yang terlepas hingga berpengaruh

terhadap absorbsinya (Abdelbary et al, 2012).

5. Ko-surfaktan

Ko-surfaktan ditambahkan dengan tujuan meningkatkan drug loading,

mempercepat emulsification time, dan mengatur ukuran tetesan emulsi

(Wulandari, 2013). Pelarut organik yang sesuai untuk penggunaan secara peroral

(ethanol, propilen glikol, polietilen glikol, dll) dapat menolong pelarutan surfaktan

hidrofilik atau obat didalam pembawa minyak dalam jumlah yang besar. Namun

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78401/potongan/S1...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Uji disolusi dan difusi in vitro memiliki peran penting

10

penggunaan alkohol sebagai kosurfaktan dapat melarutkan kapsul gelatin

sehingga menyebabkan presipitasi obat. Disisi lain, kelarutan obat lifofilik dalam

formula yang tidak menggunakan alkohol menjadi terbatas. Pelepasan obat dari

formula meningkat dengan meningkatkan jumlah kosurfkatan. (Patel et al., 2008).

Gambar 4. Struktur Kimia PEG 400 (Rowe et al, 2009)

6. Uji in vitro disolusi

Disolusi in vitro memainkan peran penting dalam pengembangan

formulasi obat dan kontrol kualitas. Hal ini dapat digunakan tidak hanya sebagai

alat utama untuk memantau konsistensi dan stabilitas produk obat tetapi juga

sebagai teknik yang relatif cepat dan murah untuk memprediksi penyerapan in

vivo dari formulasi obat (Zhang et al., 2010). Dalam sistem biologis, disolusi obat

adalah atribut penting sebelum penyerapan sistemik (Dressman et al., 1998). Uji

disolusi harus mencerminkan perbedaan signifikan dalam bioavailabilitas yang

timbul dari perbedaan disolusi dan perbedaan faktor formulasi seperti polimer,

luas permukaan partikel, karakteristik fisik dan kimia dari obat (Hörter and

Dressman, 2001). Ketika pengujian disolusi digunakan untuk meramalkan kinerja

in vivo obat, sangat penting bahwa pengujian harus meniru kondisi in vivo

semaksimal mungkin (Singla et al., 2009).

Untuk obat lipofilik yang tidak menunjukkan ketergantungan pH larutan

pendekatan untuk meningkatkan kecepatan disolusi adalah dengan penambahan

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78401/potongan/S1...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Uji disolusi dan difusi in vitro memiliki peran penting

11

zat pembasah, agen pelarut, atau surfaktan untuk media disolusi (Singla et al.,

2009). Penggunaan surfaktan dalam media disolusi obat lipofilik, secara fisiologis

relevan dan telah dilakukan penelitian sebelumnya. medium disolusi yang

mengandung Surfaktan dapat lebih mensimulasikan lingkungan saluran

pencernaan daripada media yang mengandung pelarut organik atau zat

nonphysiological lainnya (Zhao et al., 2010). Penambahan sejumlah kecil

surfaktan dibawah critical micelle concentration (CMC) seringkali cukup untuk

melarutkan produk obat tertentu (Noory et al., 2000). Dalam beberapa kasus,

konsentrasi surfaktan yang lebih tinggi dapat memberikan disolusi yang lebih

cepat, namun memiliki efek negatif terhadap kinerja in vivo (Singla et al., 2009).

Uji disolusi memiliki berbagai macam alat diantaranya adalah dissolution

apparatus I tipe basket.

Dissolution apparatus tipe basket digunakan untuk uji disolusi kapsul

dengan kecepatan putar pengaduk pada 100 rpm. Uji disolusi dilakukan sejak

sediaan dimasukkan kedalam alat sampai waktu tertentu. Untuk immediate release

dosage forms waktu pengamatan berkisar dari 30 sampai 60 menit. Jumlah bahan

aktif terlarut dalam medium dari sediaan tipe ini pada umumnya mencapai 85%

sampai 100% setelah waktu 30 sampai 45 menit (Fudholi, 2013).

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78401/potongan/S1...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Uji disolusi dan difusi in vitro memiliki peran penting

12

Gambar 5. Dissolution apparatus type I Basket (USP Convention, 2007)

Penetapan konsentrasi bahan aktif yang terlarut dapat dilakukan dengan

menggunakan spektrofotometer. Keuntungannya adalah hasil pengamatan yang

diperoleh cepat didapat, mudah dikerjakan, dan solven yang digunakan hanya

sedikit (Fudholi, 2013).

7. Analisa uji in vitro disolusi

a. Tetapan disolusi (K) menggunakan software DDSolver

DDSolver merupakan menu add-in tambahan didalam piranti lunak

Excel. DDSolver merupakan program yang dikembangkan untuk

memfasilitasi dan membandingkan data disolusi. Program ini dapat melakukan

fitting pelepasan obat menggunakan optimasi non-linear. Program ini

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78401/potongan/S1...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Uji disolusi dan difusi in vitro memiliki peran penting

13

dilaporkan merupakan yang pertama kali dalam menguji kemiripan diantara

profil disolusi dan juga digunakan untuk mempercepat kalkulasi, mengurangi

kesalahan pengguna, dan menyediakan cara yang nyaman untuk melaporkan

data disolusi secara cepat dan mudah.

Untuk fitting model disolusi kedalam data non-transformed, DDSolver

menggunakan teknik nonlinear least-squares curve-fitting, yang menentukan

nilai parameter dengan meminimalkan sum of square ( SS ) atau weighted sum

of square (WSS) :

(1)

Wi adalah weighting factor, yang secara opsional dapat ditetapkan

sebagai 1, 1/yi_obs atau 1/yi_obs2 untuk fitting data disolusi, yi_obs adalah ith

observed y value , dan yi_pre adalah ith predicted y value.

Nilai awal untuk setiap parameter dalam persamaan harus disediakan

sebelum melakukan optimasi berulang. Perkiraan yang baik untuk untuk nilai

awal akan menghasilkan konvergensi cepat. DDSolver menyediakan sejumlah

metode untuk memperoleh nilai awal yang tepat, termasuk regresi linier

sederhana, regresi linier berganda, trial and error, metode empiris, dan

berbagai kombinasi tersebut. Untuk model persamaan yang dapat disusun

kembali menjadi bentuk linier, metode regresi linier sederhana lebih disukai.

Metode tersebut merupakan cara yang efektif untuk mendapatkan nilai awal

yang tepat pada sebagian besar model disolusi. Peneliti menggunakan model

orde nol dan orde satu (Zhang et al., 2010)

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78401/potongan/S1...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Uji disolusi dan difusi in vitro memiliki peran penting

14

Kinetika orde nol (K0) menjelaskan disolusi obat dari sediaan terjadi

secara perlahan. Model ini memperlihatkan grafik fraksi disolusi obat terbentuk

linier terhadap waktu jika kondisi yang ditetapkan telah terpenuhi. Kinetika orde

nol digunakan untuk menggambarkan disolusi obat pada beberapa jenis sediaan

seperti sistem transdermal, tablet matriks dengan obat kelarutan rendah, bentuk

salut, sistem osmosis, dan lain-lain. Sediaan tersebut melepaskan obat dengan

jumlah yang sama tiap unit waktu dan metode ini ideal untuk menggambarkan

efek terapi prolonged (Costa and Lobo, 2000).

Qt = Q0 + K0t (2)

Qt merupakan jumlah obat terdisolusi pada waktu t, Q0 adalah jumlah

obat awal, dan K0 adalah konstanta disolusi orde nol.

kinetika orde satu digunakan untuk menggambarkan proses absorpsi dan

eliminasi beberapa obat, meskipun sulit untuk membuat konsep mekanisme ini

secara teoritis. Model ini menampilkan grafik logaritma desimal dari jumlah

obat terdisolusi terhadap waktu yang linier. Kinetika orde satu

menggambarkan disolusi obat sebanding dengan jumlah obat yang tersisa pada

sediaan atau dengan kalimat lain, jumlah obat yang terdisolusi per satuan

waktu semakin berkurang (Costa and Lobo, 2000).

ln Qt = ln Q0 + K1t (3)

Qt merupakan jumlah obat terdisolusi pada waktu t, Q0 adalah jumlah

obat awal, dan K1 adalah konstanta disolusi orde satu.

Pemilihan model yang cocok untuk data disolusi merupakan tahapan

penting karena tidak hanya digunakan dalam evaluasi kuantitatif karakteristik

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78401/potongan/S1...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Uji disolusi dan difusi in vitro memiliki peran penting

15

pelepasan obat tetapi juga untuk membandingkan profil disolusi menggunakan

beberapa model pendekatan. DDSolver menyediakan sejumlah kriteria

statistik untuk mengevaluasi godnes of fit, koefisien korelasi (R_obs-pre),

koefisien determinasi (Rsqr, R2, atau COD), koefisien determinasi yang

disesuaikan (Rsqr_adj atau R2Adj), mean square error (MSE), standar deviasi

dari residual (MSE_root atau Sy.x), SS, WSS, Akaike Information Criterion

(AIC), dan model selection criterion(MSC. Di antara kriteria evaluasi ini,

yang paling populer dalam bidang identifikasi model disolusi adalah R2

adjusted

dan AIC.

Untuk model drug release dengan jumlah yang parameter sama,

koefisien determinasi (R2) dapat digunakan untuk membedakan model yang

paling tepat. Namun ketika membandingkan model dengan jumlah parameter

yang berbeda, R2Adj harus digunakan. Hal ini karena R

2 akan selalu

meningkat dengan bertambahnya parameter yang disertakan, sedangkan R2Adj

dapat menurun ketika over-fitting terjadi. Oleh karena itu, model terbaik

adalah salah satu model dengan nilai R2Adj tertingi dibandingkan nilai R

2

tertinggi.

(4)

n adalah jumlah titik data dan p adalah jumlah parameter dalam model.

The Akaike Information Criterion (AIC) telah digunakan dalam

penentuan model yang optimal selama lebih dari 35 tahun. Penerapan umum

dan kesederhanaan membuatnya menjadi kriteria populer untuk berbagai

kepentingan, termasuk analisis data disolusi obat. AIC sebagaimana

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78401/potongan/S1...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Uji disolusi dan difusi in vitro memiliki peran penting

16

didefinisikan di bawah tergantung pada besarnya data serta jumlah titik data.

Persamaan AIC sebagai berikut :

AIC = n.ln (WSS) + 2.p (5)

n adalah jumlah titik data , WSS adalah weighted sum of square, dan p

adalah jumlah parameter dalam model.

Ketika membandingkan dua model dengan jumlah parameter yang

berbeda, model dengan nilai AIC yang lebih rendah dapat dianggap sebagai

model yang lebih baik, namun seberapa rendah nilai yang diperlukan untuk

membuat perbedaan diantara model disolusi secara signifikan, tidak dapat

ditentukan karena distribusi dari nilai-nilai AIC yang tidak diketahui (Zhang et

al., 2010).

b. Disolusi efisiensi (DE)

Disolusi efisiensi (DE) adalah perbandingan luas dibawah kurva disolusi

dengan luas segi empat seratus persen zat aktif larut dalam medium pada saat

tertentu. Untuk sediaan kapsul, waktu pengamatan DE bisa dilakukan setelah

kapsul dimasukkan dalam wadah, termasuk lag time-nya (waktu yang

diperlukan untuk hancurnya kapsul dalam medium), dan dapat pula waktu

yang dipilih diluar lag time-nya. Walaupun demikian, penggunaan waktu

termasuk lag time, akan menunjukkan hasil yang lebih mendekati gambaran

proses yang sebenarnya. Penggunaan disolusi efisiensi (DEt %) dalam

pengungkapan hasil uji disolusi zat aktif dalam suatu medium, mempunyai

banyak keuntungan sebagai berikut :

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78401/potongan/S1...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Uji disolusi dan difusi in vitro memiliki peran penting

17

1. Dengan satu ekspresi dapat terungkap semua titik yang ada didalam kurva

uji disolusi, sehingga dapat digunakan untuk membandingkan hasil uji

disolusi antara banyak formula uji.

2. Hasil/data yang diungkapkan identik dengan pengungkapan data secara in-

vivo. Dasar pertimbangannya adalah diasumsikan bahwa :

a. Tingkat absorbsi obat yang terjadi secara in vivo sebandingan dengan

konsentrasi obat yang terlarut dalam medium gastrik.

b. Tingkat absorbsi obat yang terjadi secara in vivo sebanding dengan

waktu kontak larutan zat aktif dalam medium gastro intestinal.

Untuk mengukur besarnya luas dibawah kurva zat aktif terlarut, dapat

dilakukan dengan metode trapesium. Metode trapesium diwujudkan dengan

menjumlahkan luas trapesium-trapesium yang terbentuk, ditambah dengan

luas segitiga yang ada, apabila kurva dipotong-potong sebagai daerah-daerah

kecil dengan alas yang sejajar dari kurva yang ada (Fudholi, 2013).

8. Uji In Vitro difusi

Uji difusi secara in vitro dilakukan untuk mengetahui profil difusi dari

formula SNEDDS Simvastatin. Uji difusi ini menggunakan alat using chamber

dengan prinsip side by side diffusion. Uji difusi ini dapat digunakan untuk

memperoleh parameter kinetik transpor obat melalui membran usus, serta

mempelajari pengaruh bahan terhadap profil transpor obat (Deferme, 2008).

Keunggulan dan keterbatasan uji difusi dengan menggunakan metode side by side

diffusion (Ussing chamber) disampaikan pada tabel I.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78401/potongan/S1...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Uji disolusi dan difusi in vitro memiliki peran penting

18

Tabel I. Keunggulan dan keterbatasan metode side by side diffusion (Deferme, 2008)

Keunggulan Keterbatasan

Model skrining yang baik Viabilitas jaringan

Korelasi yang baik dengan data

permeabilitas in vivo

Ketersediaan jaringan

(manusia)

Memungkinkan untuk mengevaluasi semua

saluran GI

Terdapat lapisan otot

melingkar

Mengevaluasi mekanisme transpor Kesulitan pada proses

pengadukan

Mengevaluasi enhancer

Usus tikus yang terisolasi digunakan sebagai sel difusi pada Ussing

chamber tipe horizontal yang terbagi dalam dua kompartemen yaitu kompartemen

mukosal (donor) dan kompartemen serosal (akseptor). Penggunaan tikus dengan

ras dan jenis kelamin yang sama, serta usia yang kurang lebih sama pada uji difusi

bertujuan untuk mengendalikan variasi absorpsi melalui membran usus. Pengujian

terhadap daya absorpsi obat dengan isolasi usus tikus dilakukan sebagai studi

pendahuluan obat yang tertranspor di usus dan untuk mengestimasi level first pass

metabolism melewati kompartemen pada sel epitel usus.

9. Analisa uji in vitro difusi

Difusi melalui membran biologis merupakan langkah penting bagi obat

untuk memasuki (absorpsi) atau meninggalkan (eliminasi) tubuh. Difusi dapat

terjadi secara transeluler melalui sel-sel lipoid dua lapis (lipoidal bilayer) dan

paraseluler melalui ruang antarsel yang berdekatan. Gaya penggerak terjadinya

difusi diantaranya adalah difusi pasif. Difusi pasif adalah suatu proses

perpindahan massa molekul individual suatu substrat yang dilakukan dengan

gerakan molekul acak & berhubungan dengan gradien konsentrasi. Untuk obat-

obat yang ditransport secara difusi pasif peranan membran usus dalam transfer

obat hanya sebagai membran difusi. Tenaga pendorong pada difusi pasif yaitu

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78401/potongan/S1...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Uji disolusi dan difusi in vitro memiliki peran penting

19

perbedaan konsentrasi pada kedua sisi membran sel. Menurut hukum Fick I,

molekul obat berdifusi dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah (Shargel and

Yu, 1999).

J = (6)

J atau fluks menggambarkan jumlah obat yang melewati suatu membrane

tiap satu satuan luas pada waktu tertentu. Besarnya fluks berbanding lurus dengan

gradien kadar dC/dx dan koefisien difusi obat dalam membran, D.

J = (7)

Tanda negatif pada persamaan 4 menggambarkan bahwa proses difusi

terjadi dalam arah yang berlawanan dengan kenaikan konsentrasi. Jadi difusi

terjadi dalam arah penurunan konsentrasi difusan. Difusi akan berhenti jika tidak

terdapat lagi gradien konsentrasi. Dua persamaan di atas dapat digabung menjadi

sebuah persamaan baru, yaitu:

= (8)

Jika dC = C2 – C1 dan dx = h (Sinco, 2006), maka:

J = = (9)

Besarnya C1 dan C2 tidak dapat dihitung secara langsung, karena

merupakan kadar obat yang ada di dalam membran. Namun demikian, besarnya

C1 dan C2 dapat diperhitungkan dari besarnya Cd (kadar obat dalam donor) dan

Ca (kadar obat dalam akseptor).

C1 = Cd x K (10)

C2 = Ca x K (11)

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78401/potongan/S1...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Uji disolusi dan difusi in vitro memiliki peran penting

20

Jika persamaan tersebut disubstitusikan ke persamaan (6), dengan K

adalah koefisien partisi, maka diperoleh persamaan:

J = = (12)

Proses difusi dalam tubuh ke saluran sistemik selalu dalam kondisi sink

dimana kadar obat dalam akseptor (pembuluh darah) selalu jauh lebih kecil

dibanding kadar obat dalam donor (Ca < 0,1 Cd), sehingga Ca dapat diabaikan

(Ca = 0). Jika permeabilitas, P = DK/h, maka:

(13)

Jika diinginkan sebuah persamaan linear, maka dapat dilakukan integrasi

dari M0 ke Mt untuk dM dan dari tlag ke t untuk dt dengan M0 = 0.

(14)

Diperoleh sebuah persamaan linear antara waktu perlakuan (t) dan jumlah

obat yang tertranspor (Mt) dengan slope (P.Cd.S) dan intersep (tlag.P.Cd.S).

Persamaan ini mengasumsikan bahwa kadar di dalam kompartemen donor (Cd)

konstan dan tanpa memperhitungkan volume kompartemen donor (Vd).

Jika asumsi Cd konstan ditolak, dapat menggunakan persamaan jumlah

obat sama dengan kadar dikalikan volume, maka:

(15)

Jika diinginkan sebuah persamaan linear, maka dapat dilakukan integrasi

dari t0 sampai t baik untuk dCd maupun dt dengan t0 = 0.

(16)

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78401/potongan/S1...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Uji disolusi dan difusi in vitro memiliki peran penting

21

Didapatkan persamaan linear antara waktu perlakuan (t) dan logaritma

natural kadar obat di dalam kompartemen donor (ln Cd(t)) dengan slope (P.S/Vd)

dan intersep ln Cd(0) (Wahyudi, 2013).

10. WinSAAM

Metode pendekatan berbasis kompartemen memandang transpor obat

melalui membran usus sebagai serangkaian proses perpindahan obat dari fase

donor (kondisi in vitro) menuju membran usus, selanjutnya obat dari membran

berpindah menuju fase aseptor (kondisi in vitro) atau ke dalam darah (kondisi in

vivo). Membuat prediksi menggunakan model kompartemen tersebut memerlukan

persamaan linear dan atau non linear yang berbeda. Hal ini memerlukan beberapa

algoritma. Untuk sistem kompartemen yang memerlukan lebih dari 3

kompartemen, pendekatan yang mungkin dilakukan adalah menggunakan

Komputer. Oleh karena itu diperlukan software yang mampu memberikan model

terhadapa data eksperimen. Secara umum software tersebut harus mampu untuk

mensimulasikan sistem, memberikan model yang sesuai terhadap data, dapat

memperhitungkan dan mengestimasi parameter, dan mudah untuk digunakan.

WinSAAM merupakan program modeling dengan keistimewaan tersebut.

WinSAAM merupakan sistem yang mampu memberikan modeling terhadap

sistem biologis. Keistimewaan winsam adalah mampu memberikan modeling

sistem metabolik, simulasi terhadap suatu eksperimen dan fitting model atas suatu

data (Stefanovski et al, 2003).

WinSAAM merupakan permodelan sistem biologi yang berbasis

Windows dengan menggunakan model matematis. Keunggulan WinSAAM antara

Page 22: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78401/potongan/S1...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Uji disolusi dan difusi in vitro memiliki peran penting

22

lain: mudah dioperasikan, untuk sistem linier dan nonlinier dikerjakan dengan

perintah umum, otomatis fitting data tanpa perlu menerjemahkan model

konstruksi, secara otomatis menentukan parameter linier atau nonlinier sesuai

model konstruksi, fleksibel untuk berbagai model, fasilitas spreadsheet

memungkinkan output hasil pengolahan data dapat diekspor secara langsung ke

excel atau sistem spreadsheet lainnya (Linares and Boston, 2010).

Analisis data menggunakan WinSAAM dimulai dengan membuat

prediksi model kompartemen. Evaluasi goddnes of fit dilakukan terhadap prediksi

model kompartemen apakah sudah mampu memberikan gambaran proses difusi

melewati membran usus. Analisis selanjutnya adalah listing yang terdiri dari

estimasi nilai awal, batas minimum, dan maksimum, serta penulisan parameter-

parameter model yang disusun secara sistematis sesuai dengan konvensi yang ada.

Tahapan setelah listing adalah decking yang merupakan proses penerjemahan

listing program ke dalam bahasa WinSAAM. Tahapan selanjutnya adalah solve

yang merupakan pemecahan model dan persamaan diferensial terkait. Proses

pencarian parameter model terbaik dilakukan dengan proses pencarian berulang

(iteration).

F. Landasan Teori

Uji in vitro disolusi dan difusi dapat dilakukan untuk mengevaluasi

sistem penghantaran yang saat ini sedang berkembang yaitu self emulsifying drug

delivery system (SNEDDS). SNEDDS adalah campuran isotropik minyak,

surfaktan, dan ko-surfaktan, yang secara spontan membentuk emulsi minyak

dalam air (O/W) ketika dimasukkan ke dalam medium air dengan penggojogan

Page 23: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78401/potongan/S1...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Uji disolusi dan difusi in vitro memiliki peran penting

23

ringan. Komponen penyusun SNEDDS dapat meningkatkan ketersediaan hayati

relatif obat-obat yang bersangkutan sebagai akibat dari modifikasi membran

tempat absorbsi. Komponen surfaktan dan kosurfaktan yang umum digunakan

dalam SNEDDS adalah tween 80 dan PEG 400.

Tween 80 dapat meningkatkan permeabilitas dengan cara melonggarkan

tight junction. Semakin besar konsentrasi Tween 80 yang digunakan maka ukuran

droplet akan semakin kecil. Dengan ukuran partikel yang kecil, maka difusi obat

secara paraselular akan lebih mudah terjadi. Selain itu Tween 80 dapat mencegah

terjadinya presipitasi didalam lumen saluran usus dan memperpanjang keberadaan

obat dalam bentuk molekul terlarut sehingga proses absorpsi dapat berjalan lebih

efektif. Namun dengan meningkatnya komposisi surfaktan yang digunakan akan

memiliki emulsification time yang lebih lama.

Emulsification time dipengaruhi oleh komponen ko-surfaktan yaitu PEG

400. Emulsification time berdampak pada kecepatan disolusi SNEDDS

simvastatin. Dengan emulsification time yang cepat diharapkan dapat

mempercepat proses disolusi SNEDDS simvastatin dilambung sehingga obat bisa

segera menuju ke dalam usus untuk selanjutnya diabsorbsi. Proses disolusi

merupakan rate limiting step pada absorbsi obat. Penggunaan sediaan SNEDDS

simvastatin dengan komponen penyusun minyak zaitun, tween 80, dan PEG 400

diharapkan dapat meningkatkan kemampuan disolusi dan difusi simvastatin dalam

uji disolusi dan difusi secara in vitro.

Page 24: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78401/potongan/S1...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Uji disolusi dan difusi in vitro memiliki peran penting

24

G. Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini berupa :

1. Self Nano emulsifying drug delivery system (SNEEDS) simvastatin dengan

variasi kadar Tween 80 dan PEG 400 dapat meningkatkan disolusi

simvastatin.

2. Self Nano emulsifying drug delivery system (SNEEDS) simvastatin dengan

variasi kadar Tween 80 dan PEG 400 dapat meningkatkan difusi simvastatin.

3. Formula Self Nano emulsifying drug delivery system (SNEEDS) simvastatin

dengan kadar Tween 80 sebanyak 70 % dan PEG 400 sebanyak 20 % akan

memberikan parameter disolusi dan difusi yang paling baik.