BAB I PENDAHULUAN A. Latar...

19
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pegertian anak sah menurut Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 (UUP) adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Menurut Pasal 44 UUP seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat dari perzinahan tersebut. Jadi apabila penyangkalan tersebut diputuskan oleh pengadilan maka status anak yang disangkal menjadi anak luar kawin Menurut Ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatur bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu” dan ayat (2) mengatur bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam ketentuan tersebut diatas selain menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan sesuai dengan hukum agama, disamping itu adanya keharusan untuk mencatatkan peristiwa perkawinan itu, agar segala akibat hukum yang timbul mendapatkan perlindungan serta pengakuan hukum dari negara. Jika perkawinan yang dilakukan tidak dicatat maka negara tidak mengakui adanya perkawinan tersebut, demikian juga terhadap anak yang dilahirkan

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pegertian anak sah menurut Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan

Nomor 1 Tahun 1974 (UUP) adalah anak yang dilahirkan dalam atau

sebagai akibat perkawinan yang sah. Menurut Pasal 44 UUP seorang

suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya

bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu

akibat dari perzinahan tersebut. Jadi apabila penyangkalan tersebut

diputuskan oleh pengadilan maka status anak yang disangkal menjadi anak

luar kawin

Menurut Ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 mengatur bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan

menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu” dan

ayat (2) mengatur bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Dalam ketentuan tersebut diatas selain

menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan sesuai

dengan hukum agama, disamping itu adanya keharusan untuk mencatatkan

peristiwa perkawinan itu, agar segala akibat hukum yang timbul

mendapatkan perlindungan serta pengakuan hukum dari negara. Jika

perkawinan yang dilakukan tidak dicatat maka negara tidak mengakui

adanya perkawinan tersebut, demikian juga terhadap anak yang dilahirkan

2

dari perkawinan itu dianggap anak yang dilahirkan di luar perkawinan

yang sah menurut negara.

Mengenai kedudukan anak luar kawin Undang-Undang

Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 43 ayat (1) mengatur bahwa

„anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan

perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya‟ , frasa „hanya‟ pada pasal

tersebut membatasi hubungan perdata anak luar kawin. Jadi antara anak

luar kawin dan „Ayah biologis‟ tidak mempunyai hubungan keperdataan.

Sejalan dengan ketentuan yang ada dalam UUP, ketentuan dalam

Instuksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi

Hukum Islam juga mengatur mengenai kedudukan anak, baik mengenai

anak yang sah maupun anak yang lahir di luar perkawinan. Menurut

ketentuan Kompilasi Hukum Islam Pasal 99 bahwa “anak yang sah adalah

: a. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah dan b.

hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh

istri tersebut”. Jika ditafsirkan secara a contrario maka anak yang tidak

sah adalah anak yang lahir di luar perkawinan atau akibat dari perkawinan

yang tak sah, atau lahir dalam perkawinan yang sah akan tetapi disangkal

oleh suaminya dengan sebab li’an sebagaimana Pasal 101 Kompilasi

Hukum Islam.

Anak luar kawin tidak mempunyai hubungan nasab kepada ayah

biologisnya karena menurut ketentuan Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam

yang mengatur bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya

3

mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Jadi

anak yang lahir di luar perkawinan termasuk anak lahir dalam perkawinan

tetapi diingkari/disangkal (li’an) menurut Kompilasi Hukum Islam hanya

mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Nasab merupakan hal yang sangat penting dan merupakan salah

satu dari lima tujuan agama (maqasid asy-syariah) yaitu menjaga agama,

jiwa, akal, harta dan keturunan1 maka untuk memelihara dan menjaga

nasab, disyariatkan nikah sebagai cara yang yang dipandang sah untuk

menjaga dan memelihara kemurnian nasab. Di samping itu, nasab juga

merupakan hak yang paling pertama yang harus diterima oleh seorang

anak sebelum hak-hak lain yaitu hak radha’ untuk mendapatkan ASI, hak

hadanah untuk mendapatkan perawatan, pemeliharaan dan pendidikan

secara baik serta hak mendapatkan warisan serta hak perwalian yang

diperoleh dari kedua orang tuanya2

Dalam hukum Islam para ulama sepakat bahwa nasab seseorang

kepada ibunya terjadi dengan sebab kehamilan sebagai akibat hubungan

seksual yang dilakukan dengan seorang lelaki, baik hubungan itu

dilakukan berdasarkan akad nikah yang sah maupun melalui perzinahan,

sedangkan menurut Wahbah aZ-zuhaili yang dikutip oleh Nurul irfan3

bahwa nasab anak terhadap ayah kandungnya hanya bisa terjadi dan

memungkinkan dibentuk melalui tiga jalan yaitu pertama melalui

1 Abdul Ghofur Anshori & Yulkarnain Harahab, 2008, Hukum Islam Dinamika dan

perkembangannya di Indonesia, Total media, Yogyakarta, hlm 32. 2 Nurul Irfan, 2012, Nasab & Status Anak dalam Hukum Islam, Amzah, Jakarta, hlm 23

3 Ibid, hlm 79

4

perkawinan yang sah, kedua melalui perkawinan yang fasid atau batil,

termasuk dalam nikah dibawah tangan dan ketiga, melalui hubungan

badan secara subhat. Selain tiga jalan tersebut ada yang berpendapat

bahwa dimungkinkan terjadi hubungan nasab dengan jalan

istilhaq/pengakuan.4

Pada tanggal 17 Februari 2012 Mahkamah Konstitusi dengan

putusan nomor 46/PUU-VIII/2010 telah mengabulkan sebagian

permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan. Pengujian dilakukan terhadap Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43

ayat (1) sedangkan yang dikabulkan hanya pengujian Pasal 43 ayat (1)

yang dalam amar putusannya disebutkan antara lain :

“Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang

perkawinan (lembaran Negara republik Indonesia tahun 1974 nomor

1; Tambahan lembaran Negara republik Indonesia nomor 3019) yang

menyatakan : “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya

mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”

Bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan

perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu

pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum

ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat

tersebut harus dibaca : “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan

mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya

serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan

berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain

menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan

perdata dengan keluarga ayahnya”.

Mahkamah konstitusi sebagai lembaga pengawal konstitusi dengan

keputusannya dapat membatalkan norma (negative legislature) yang

4 Lihat Abdul Manan, 2012, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Fajar

Interpratama, Jakarta, hlm 9, dan Nurul Irfan, Op.cit hlm 125

.

5

termuat dalam Undang-undang jika bertentangan dengan Undang-Undang

Dasar 1945. Artinya keputusan mahkamah konstitusi setara dengan

Undang-undang karena dapat membatalkan Undang-undang.

Secara teoritis seolah-olah putusan Mahkamah Konstitusi tersebut

membuat norma baru (positif legislature) dalam tata hukum di Indonesia

khususnya dalam hukum keluarga. karena positif legislature dipahami

sebagai kewenangan dari para legislator bukan pengadilan. Padahal

menurut Hens Kelsen yang dikutip oleh Jimly5 dalam konteks melakukan

pengujian Undang- undang atas konstitusi, Mahkamah Konststitusi

berfungsi sebagai negative legislature (membatalkan norma), yaitu

berwenang mengesampingkan dan bahkan membatalkan undang-undang

yang terbukti bertentangan dengan konstitusi.

Putusan Mahkamah Konstitusi berlaku sebagai undang-undang

sehingga bersifat general, tidak individual, dan tidak kasuistis (Pasal 56

ayat (3) jo Pasal 57 ayat (1) UUMK). Putusan ini dipergunakan oleh para

hakim untuk menyelesaikan kasus-kasus yang bertalian dengan asal-usul

anak dengan segala akibat hukumnya. Dengan adanya putusan MK ini,

maka: setiap anak yang dilahirkan mempunyai hubungan perdata baik

dengan ibunya dan keluarga ibunya maupun dengan ayahnya dan keluarga

ayahnya, baik ia lahir dari perkawinan yang sah, perkawinan yang batal,

hubungan badan yang syubhat, perkawinan tidak tercatat, ataupun lahir di

luar perkawinan.

5 Jimly Assiddiqie, 2005, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbogai Negara,

Konstitusi Press, Jakarta , hlm 4

6

Perubahan yang terjadi dengan putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 46/PUU-VIII/2010 dianggap membawa pengaruh yang cukup

signifikan dalam hukum keluarga di Indonesia khususnya mengenai anak

luar kawin akan berdampak pada antara lain : kedudukan hukum anak

yang lahir di luar perkawinan, pengakuan/penetapan asal-usul anak yang

lahir di luar perkawinan maupun penyebutan orang tua anak dalam akta

kelahiran, yang nantinya berpengaruh terhadap hak keperdataan seorang

anak.

Secara alamiah tidaklah mungkin seorang perempuan hamil tanpa

terjadinya pertemuan antara ovum dan spermatozoa, baik melalui

hubungan seksual maupun melalui cara lain berdasarkan perkembangan

teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan (contoh : bayi

tabung). Dengan demikian logikanya adalah setiap anak yang lahir sudah

pasti mempunyai ibu dan ayah biologis, yang menyebabkan

keberadaannya

Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi itu maka anak luar

kawin juga dapat mempunyai hubungan perdata dengan ayah biologisnya

jika dapat dibuktikan antara anak yang dilahirkan di luar perkawinan dan

ayah biologisnya mempunyai hubungan darah melalui ilmu pengetahuan

dan teknologi dan/atau alat bukti lainnya.

Namun apakah dengan lahirnya hubungan perdata sebagaimana

putusan Mahkamah Konstitusi secara otomatis lahir juga hubungan nasab

antara anak luar kawin dengan ayah biologisnya? Tentu ada yang

7

berpendapat demikian, maka dari itu lahir pro dan kontra di masayarakat

karena tidak adanya keseragaman penafsiran antara hubungan perdata dan

hubungan nasab. Menurut Mahfud MD6 bahwa masih ada kesalahpahaman

terkait putusan MK, bahwa anak luar nikah tidak memiliki nasab (dengan

ayah biologis) tetapi memiliki hubungan keperdataan, tidak sama antara

hubungan nasab dengan hubungan keperdataan, kalau hubungan

keperdataan anak memiliki hak kepada orang tuanya.

Tidak lama setelah putusan Mahkamah Konstitusi dibacakan,

Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 10 maret 2012

mengeluarkan fatwa Nomor 11 Tahun 2012 tentang Kedudukan Anak

Hasil Zina Dan Perlakuan Terhadapnya yang keputusannya antara lain

menetapkan bahwa : Anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab,

wali nikah, waris dan nafaqah dengan lelaki yang menyebabkan

kelahirannya, anak hasil zina hanya mempunyai hubungan nasab, waris

dan nafaqah dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Dari fatwa MUI tersebut diketahui bahwa anak hasil zina tidak

mempunyai hubungan nasab, wali nikah, waris dan nafaqah dengan ayah

biologisnya. Dapat diartikan bahwa hubungan perdata yang lahir

berdasarkan putusan MK adalah hubungan perdata selain dari yang

disebutkan dalam fatwa MUI, selanjutnya timbul pertanyaan, sejauh mana

hubungan perdata yang lahir antara anak luar kawin dan ayah biologisnya.

6 Mahbib Khoiron, “Polemik UU Perkawinan, MK: Hubungan Perdata Menyangkut Hak

Kemanusiaan”, http://www.nu.or.id, diakses pada tanggal 20 maret 2014

8

Asal usul anak merupakan dasar untuk menunjukan adanya

hubungan perdata maupun hubungan nasab dengan ayahnya, asal usul

anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran atau alat bukti lainnya

namun jika akta kelahiran atau alat bukti lainnya tidak ada maka

pengadilan agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul

seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan

bukti-bukti yang sah7

Untuk membuktikan asal usul anak, dalam rangka menentukan

siapa ayah seorang anak, maka masalahnya harus dibawa ke Pengadilan.

Secara teoritis hal ini dapat berbentuk volunter (permohonan) yang produk

pengadilannya nanti akan berbentuk penetapan atau berbentuk contentius

(gugatan) yang produk pengadilannya nanti berbentuk putusan.

Asal usul anak diajukan secara volunter apabila ayah dan ibu

biologis dari anak luar nikah mengajukan penetapan asal usul anak ke

pengadilan secara bersama-sama sebagai para pemohon. Asal usul anak

diajukan secara contentius apabila orang tua biologis anak luar nikah

terdapat sengketa, salah satu dari orang tua biologis menghendaki

penentuan asal usul anak dan pihak yang lain tidak menghendaki

penentuan asal usul anak. Biasanya yang menjadi penggugat adalah ibu

anak luar nikah dan yang menjadi tergugat adalah ayah biologis anak luar

nikah.

7 Lihat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 55, bandingkan dengan Kompilasi

Hukum Islam Pasal 103.

9

Imbas putusan Mahkamah Konstitusi ini diperkirakan akan

membuat pengadilan agama (Islam) dan pengadilan negeri (non-Islam)

kebanjiran perkara. Prediksi ini dikatakan Ketua Pengadilan Tinggi

Agama DKI Jakarta Khalilurrahman. Ia khawatir putusan itu akan

memberi peluang bagi orang untuk mengajukan gugatan. “Dampak

lanjutan putusan Mahkamah Konstitusi ini akan banyak gugatan ke

pengadilan agama dari anak luar kawin ini untuk memperoleh hak waris

setelah bapaknya ditetapkan sebagai ayah biologisnya lewat sidang

permohonan penetapan pengesahan asal-usul anak”.8

Pengadilan Agama sebagai salah satu badan pelaksana kekuasaan

kehakiman, mempunyai tugas menerima, memeriksa dan mengadili serta

menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Wewenang

Pengadilan Agama untuk memberikan pelayanan hukum dan keadilan

dalam bidang hukum keluarga dan perkawinan bagi mereka

yang beragama Islam, berdasarkan hukum Islam

Bahwa perkara tentang penetapan asal usul anak adalah merupakan

bagian dari perkara perkawinan yang menjadi kewenangan atau

kompetensi pengadilan agama (untuk yang beragama Islam) sebagaimana

diatur dalam penjelasan Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1989, yang telah di amandemen pertama dengan Undang-Undang Nomor

3 Tahun 2006.

8

Hukum Online, “Pengadilan Bisa „Kebanjiran‟ Perkara Akibat Putusan MK”

http://www.hukumonline.com, diakses pada tanggal 20 Februari 2014

10

Maka penelitian ini dilakukan di pengadilan agama dengan

meneliti putusan/penetepan dalam menentukan status dan asal usul anak

luar kawin baik sebelum maupun sesudah keluarnya putusan MK apakah

berpengaruh dengan putusan tersebut.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang tersebut diatas maka dapat dirumuskan

permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana Konstruksi yuridis hubungan keperdataan antara anak luar

kawin dengan ayah biologisnya menurut putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dan Fatwa Majelis Ulama

Indonesia Nomor 11 tahun 2012 ?

2. Bagaimana implikasi yuridis putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

46/PUU-VIII/2010 terhadap penetapan asal usul anak luar kawin dan

hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya di Pengadilan Agama

di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab apa yang menjadi

pertanyaan pada rumusan masalah yaitu :

1. Untuk mengetahui dan mengkaji konstruksi yuridis hubungan

keperdataan antara anak luar kawin dengan ayah biologisnya menurut

putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dan Fatwa

Majelis Ulama Indonesia Nomor 11 tahun 2012.

11

2. Untuk mengetahui dan mengkaji implikasi yuridis putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 terhadap penetapan asal usul

anak luar kawin dan hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya

di Pengadilan Agama di Indonesia.

D. Manfaat Penelitian

Faedah atau manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini

nantinya dibagi menjadi dua, yaitu :

1. Faedah penelitian secara toritis

Secara teoritis diharapkan hasil penelitian ini nantinya dapat

berguna bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan hukum

keluarga pada khususnya, atau setidak-tidaknya sebagai wacana yang

dapat memperkaya pemikiran hukum di indonesia yakni yang terkait

dengan persoalan penetapan asal-usul anak luar kawin dan hubungan

keperdataan antara anak luar kawin dengan ayah biologisnya pasca

putusan Mahkamah Konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010.

2. Faedah penelitian secara praktis

Secara praktis diharapkan hasil penelitian ini nantinya dapat

berguna sebagai bahan masukan bagi para praktisi hukum (Hakim,

Notaris dan pegawai pencatatan sipil) juga sebagai bahan kepustakaan

bagi penelitian lebih lanjut yang relevan dengan masalah yang akan

diteliti saat ini.

12

E. Keaslian Penelitian

Dari penelusuran penulis ditemukan bcberapa karya ilmiah yang

berkaitan dengan judul yang penulis teliti antara lain :

1. Politik Hukum Kedudukan Anak Luar Kawin Dalam Sistem Hukum

Pewarisan Di Indonesia9 Dengan rumusan masalah 1. Bagaimanakah

latar belakang terbitnya putusan mahkamah Konstitusi Nomor

46/PUU-VIII/2010, 2. Bagiamanakah proses terbitnya putusan

mahkamah konstitusi, 3. Bagaimanakah kedudukan produk hukum

putusan mahkamah konstitusi dalam system hukum di Indonesia, 4.

Bagaimanakah idealnya penyelesaian sengketa waris anak luar kawin

setelah adanya putusan mahkamah konstitusi.

Hasil Penelitiannya adalah sebagai berikut :

a. Permohonan pengujian yudicial review diajukan oleh Machica

Mochtar, artis yang menikah secara sirri dengan mantan menteri

sekertaris negara di era orde baru Moerdiono. Machica

memohonkan agar pasal 2 yat (2) yang mengatur masalah

pencatatan perkawinandan pasal 43 yat (1) yang mengatur

masalah keperdataan ana luar kawin UU nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan dinyatakan bertentangan dengan konstitusi

dan harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum dengan

segala akibatnya. Machica dan putranya Muhammad Iqbal

Ramadhan merasa dirugikan hak konstitusionalnya oleh ketentuan

9

Erlyanti, “Politik Hukum Kedudukan Anak Luar Kawin Dalam Sistem Hukum

Pewarisan Di Indonesia”, Tesis, Magister llmu Hukum, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 2013.

13

pasal tersebut. hal ini karena perkawinan antara Machica Mochtar

dengan Moerdiono tidak diakui menurut hukum positif, sehingga

anaknya (Iqbal), tidak mempunyai hubungan perdata dengan

ayahnya (Moerdiono) dan keluarga ayahnya.

b. Terhadap permohonan uji materil terhadap ketentuan pasal 3 ayat

(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

yang diajukan machica mochtar tersebut, mahkamah konstitusi

memberikan putusan mengabulkan permohonan untuk sebagian

sebagaimana tertuang di dalam Putusan Nomor 46/PUU-

VIII/2010. Dalam putusan tersebut MK menyatakan ketentuan

pasal 43 ayat (1) conditionally unconstitutional atau

konstitusional bersyarat. Artinya ketentuan pasal 43 ayat (1)

inkonstitusional sepanjang ayat tersebit dimaknai menghilangkan

hubungan perdata dengan laki-laki yang secara ilmu pengetahuan

dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan

darah sebagai ayahnya sehinnga harus dibaca : anak yang

dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata

dengan ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat

dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau

alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah

termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.

c. Putusan MK bersifat final dan mengikat (final and binding) pasal

24C ayat (1) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa putusan MK

14

bersifat final. Artinya tidak ada peluang menempuh upaya hukum

berikutnya paska putusan itu sebagaimana putusan pengadilan

biasa yang masih memungkinkan kasasi dan peninjauan kembali,

selain itu juga ditentukan putusan MK memiliki kekuatan hukum

tetapa sejak dibacakan dalam persidangan MK. Putusan MK ini

berlaku sebagai “hukum baru” yang berlaku secara nasional. Pada

sisi ini, dalam konteks hukum sebagai alat rekayasa sosial (law is

a tool of social engenering) putusan MK sarat dengan nilai-nilai

hukum progresif. Walaupun demikian, perkembangan mutakhir

dari kasus ini putusan dari mejelis hakim Pengadilan Agama

Jakarta Selatan mengeluarkan putusan atas nama Muhammmad

Iqbal Ramadhan, yang menyatakan anak Machica Mochtar itu

tidak mendapatkan hak perdata atas Moerdiono, sehingga tak

berhak atas hak waris.Pengadilan Agama masih berpegang pada

UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Di mana dalam putusan

tersebut majelis menolak hubungan keperdataan dari Iqbal dengan

Moerdiono dan keluarga, status Iqbal tak bisa dinyatakan

berdasarkan putusan MK (di mana hukum tidak dapat berlaku

surut), soal hubungan perdata dengan ayah dan keluarga ayahnya,

sehingga tidak berhak mendapat waris.

d. Putusan MK terkait tema pembahasan tesis ini tidak memberikan

penjelasan ketika ada pihak yang bersengketa waris dan terhalang

oleh istilah “anak luar kawin” sebagaimana yang telah dibatalkan

15

oleh Mahkamah Konstitusi ini sebagai yurisprudensi, terlepas

bahwa dia beragama islam atau tidak, sehingga masih terdapat

kekosongan hukum mangaai masalah pewarisan anak luar kawin

paska putusan MK tersebut, maka menurut hemat penulis

pengaturannya tetap menggunakan KUHPerdata (bagi penduduk

yang tunduk pada KUHPerdata). Menurut KUHPerdata seorang

anak dapat dipanggil sebagai ahli waris apabila mempunyai

hubungan darah sebagai pewaris (pasal 823 KUHPerdata) baik

sebagai anak sah maupun anak luar kawin yang telah diakui sah

melalui akta-akta otentik

2. Tinjauan Yuridis Mengenai Kedudukan Anak Luar Kawin Dengan

Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VlII/20l010

Rumusan masalah : 1, anak luar kawin yang dimaksud dalam putusan

mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, 2. Apa akibat

hukum putusan mahkamah konstitusi terhadap anak luar kawin dalam

hal alimentasi, perwalian dan kewarisan.

Hasil penelitiannya adalah sebagai berikut :

a. Anak luar kawin yang dimaksud dalam Putusan MK adalan anak

yang keabsahan perkawinan orang tuanya masih

dipersengketakan atau dengan kata lain anak hasi perkawina yang

tidak dicatatkan atau perkawinan siri. Hal tersebut berdasarkan

pertimbangan majelis hakim MK dan alasan berbeda yang

10

Ansi Widya, “Tinjauan Yuridis Mengenai Kedudukan Anak Luar Kawin Dengan

Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VlII/20l0”, Skripsi, Fakultas Hukum

UGM, Yogyakarta, 2012.

16

dikemukakan hakim MK, Maria Farida Indrati, yang keduanya

lebih menekankan pada keberadaan anak luar kawin yang

keabsahan perkawinan orang tuanya masih dipersengketakan,

serta klarifikasi Mahfud MD mengenai pengertian frasa “anak di

luar perkawinan”

b. Melihat bahwa anak luar kawin yang dimaksud dalam putusan

mahkamah konstitusi tersebut adalah anak luar kawin hasil

penikahan siri, maka sudah seharusnya bila hubungan perdata

yang dimaksud dalam putusan tersebut adalah hubungan nasab.

Anak luar kawin siri, dalam konteks agama islam, mempunyai

hubungan nasab dengan sang ayah yang terikat perkawinan secara

siri dengan ibu yang melahirkan anak tersebut. anak luar kawin

tersebut kedudukannya adalah seperti anak sah bagi ayahnya.

Timbul hak dan kewijiban alimentasi diantara keduanya yang

bersifat timbal balik. Anak berada di bawah kekuasaan orang tua

yang terikat perkawinan secara siri, dengan demikian, berlaku

ketentuan mengenai perwalian terhadap anak tersebut sesuai

dengan ketentuan hukum. Anak tersebut juga menjadi ahli waris

apabila sang ayah meninggal dunia menurut ketentuan hukum

waris islam.

3. Peranan Notaris Dalam Pembuatan Akta Waris Terhadap Anak Luar

Kawin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-

17

VIII/201011

Rumusan masalah : 1. Bagaimana peran notaris di dalam

pembuatan akta waris terhadap anak luar kawin pasca putusan mk, 2.

Bagaimanakah besar pembagian harta warisan terhadap anak luar

kawin pasca putusan MK.

Hasil penelitiannya adalah sebagai berikut :

a. Peran notaris di dalam pembuatan akta waris terhadap anak luar

kawin pasca ptusan MK adalam membuatkan sebuah akta yang

menyatakan anak luar kawin tersebut adalah ahli waris dari laki-

laki yang mempunyai hubungan biologis dengannya dan

menghitung besaran harta warisan yang diperoleh oleh anak luar

kawin tersebut.

b. Besar pembagian harta warisan terhadap anak luar kawin pasca

putusan MK adalah di besarnya bagian warisan yang diperoleh

anak luar kawin tergantung bersama-sama dengan siapa anak luar

kawin itu mewaris atau dengan golongan ahli waris yang mana

anak luar kawin itu mewaris.

1) ALK bersama golongan I bagiannya adalah 1/3 dari

bagiannya seandainya ia anak sah

2) ALK bersama golongan II bagiannya ½ dari seluruh harta

warisan

3) ALK bersama golongan IV bagiannya ¾ dari seluruh harta

warisan.

11

Lydia Amelia, “Peranan Notaris Dalam Pembuatan Akta Waris Terhadap Anak Luar

Kawin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010”, Tesis, Magister

Kenotariatan Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 2013.

18

4. Status Hukum Anak Luar Kawin Berdasarkan Hukum Waris Islam

Dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata12

Rumusan Masalah 1.

Bagaimanakah status hukum anak luar kawin menurut hukum Islam

dan KUHPerdata, 2, Bagaimanakah hak atas harta warisan bagi anak

luar kawin menurut hukum Islam dan perdata.

Hasil penelitiannya adalah sebagai berikut :

a. Status hukum anak luar kawin menurut hukum islam dan

KUHPerdata maka anak luar kawin hanya memiliki hubungan

hukum dengan ibunya yang melahirkan, sedangkan dalam

hubungan hukum dengan ayahnya terdapat perbedaan menurut

hukum islam anak zina tidak bisa dinasabkan kepada ayahnya

atau keluarga ayahnya karena dalam hukum islam tidak mengenal

adanya pengakuan. Sedangkkan menurut KUHPerdata, anak luar

kawin bisa memiliki hubungan perdata dengan ayahnya apabila

ada pengakuan

b. Hak atas warisan bagi anak luar kawin menurut hukum islam dan

KUHPerdata, maka menurut hukum islam anak luar kawin tidak

mendapatkan warisan dari ayahnya. Anak luar kawin hanya

meneriman harta peninggalan dari ayahnya apabila ada wasiat

sebelum ayahnya meninggal atau dengan hibah. Dalam hukum

waris islam tidak diaturbesarnya warisan bagi anak luar kawin

dari ayahnya karena dianggap sebagi anak zina. Anak luat kawin

12

Erla Pratidina, “Status Hukum Anak Luar Kawin Berdasarkan Hukum Waris Islam Dan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”, Tesis, Magister Kenotariatan Fakultas Hukum UGM,

Yoyakarta, 2012.

19

dalam KUHPerdata akan menerima warisan apabila diakui. Besar

bagiannya tergantung dengan golongan yang mana anak luar

kawin menerima warisan.

Dari beberapa karya ilmiah di atas tentunya terdapat perbedaan

dengan apa yang akan penulis teliti, yaitu mengenai Implikasi putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor : 46/PUU-VIII/2010 terhadap Penetapan

asal-usul dan hak keperdataan anak luar kawin di Pengadilan Agama.

Perbedaan pokok antara penelitian ini dengan keempat penelitian

diatas, adalah fokus untuk meneliti bagaimana implikasi yuridis putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010 terhadap penetapan asal

usul anak luar kawin di Pengadilan Agama, serta akan mengkaji

bagaimana Kontruksi Yuridis hubungan keperdataan anak luar kawin

menurut Undang-Undang Perkawinan dan hubungan keperdataan anak

luar kawin menurut Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 11 tahun 2012

setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/ 2010.

Jadi lebih kepada perubahan Norma hukum dan bagaimana penerapan

norma hukum setelah terjadi perubahan dengan adanya putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 serta bagaimana

penerapan hukumnya di Pengadilan Agama dalam memutus

permohonan/perkara asal usul anak.