BAB I PENDAHULUAN A. Latar...

23
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penggunaan jahe sebagai salah satu obat tradisional di masyarakat Indonesia sudah banyak dilakukan. Jahe dikenal memiliki berbagai khasiat seperti anti muntah (antiemetic), anti batuk (antitussive/expectorant), merangsang pengeluaran keringat, dan menghangatkan tubuh (Kimura et al., 2005). Selain itu, rimpang jahe juga memiliki efek anti muntah,pemberi rasa pada obat, dan mengatasi terkilir (Wahyoedi, 1994). Jahe (fam. Zingiberaceae) memiliki kandungan zat pedas dalam jahe, yaitu 6-gingerol sebagai kandungan utama jahe dan 6-shogaol yang merupakan hasil dehidrasi dari 6-gingerol akan memengaruhi khasiat dari jahe. Kedua senyawa yang terkandung dalam jahe ini dilaporkan memiliki beberapa efek farmakologi. Weng et al. (2010) menemukan adanya potensi aktivitas anti-invasif pada sel hepatoma dengan penghambatan (MMP)-9 dan induksi (TIMP)-1 yang dapat dijadikan sebagai terapi kanker hati. Hasil penelitian secara in vitro yang dilakukan oleh Nalbantsoy et al. (2008) menemukan adanya aktivitas penghambatan proliferasi sel fibroblas tikus (L929) dari ekstrak kloroform jahe, yaitu pada nilai IC50 87,28 μg/mL dan aktivitas ini akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang diberikan. Kim et al.(2008) melaporkan bahwa ekstrak metanol rimpang jahe memiliki aktivitas sitotoksik secara bermakna terhadap berbagai kultur sel tumor manusia (A549, SK-OV-3, SK-MEL-2, dan HCT 15) dan dilaporkan bahwa senyawa aktif sitotoksik terkonsentrasi pada

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penggunaan jahe sebagai salah satu obat tradisional di masyarakat Indonesia

sudah banyak dilakukan. Jahe dikenal memiliki berbagai khasiat seperti anti

muntah (antiemetic), anti batuk (antitussive/expectorant), merangsang

pengeluaran keringat, dan menghangatkan tubuh (Kimura et al., 2005). Selain itu,

rimpang jahe juga memiliki efek anti muntah,pemberi rasa pada obat, dan

mengatasi terkilir (Wahyoedi, 1994). Jahe (fam. Zingiberaceae) memiliki

kandungan zat pedas dalam jahe, yaitu 6-gingerol sebagai kandungan utama jahe

dan 6-shogaol yang merupakan hasil dehidrasi dari 6-gingerol akan memengaruhi

khasiat dari jahe. Kedua senyawa yang terkandung dalam jahe ini dilaporkan

memiliki beberapa efek farmakologi.

Weng et al. (2010) menemukan adanya potensi aktivitas anti-invasif pada sel

hepatoma dengan penghambatan (MMP)-9 dan induksi (TIMP)-1 yang dapat

dijadikan sebagai terapi kanker hati. Hasil penelitian secara in vitro yang

dilakukan oleh Nalbantsoy et al. (2008) menemukan adanya aktivitas

penghambatan proliferasi sel fibroblas tikus (L929) dari ekstrak kloroform jahe,

yaitu pada nilai IC50 87,28 μg/mL dan aktivitas ini akan meningkat seiring

dengan peningkatan dosis yang diberikan. Kim et al.(2008) melaporkan bahwa

ekstrak metanol rimpang jahe memiliki aktivitas sitotoksik secara bermakna

terhadap berbagai kultur sel tumor manusia (A549, SK-OV-3, SK-MEL-2, dan

HCT 15) dan dilaporkan bahwa senyawa aktif sitotoksik terkonsentrasi pada

2

fraksi kloroform.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wang et al. (2003) menemukan adanya

aktivitas penghambatan ekspresi Bcl-2 pada sel HL-60 yang mengakibatkan

terjadinya apoptosis pada sel ini. Sel HL-60 ini merupakan sel yang terlibat pada

penyakit leukemia.

Kim et al. (2005) dalam penelitiannya menemukan bahwa 6-gingerol mampu

menghambat pertumbuhan tumor dan metastasis melalui aktivitas

antiangiogenesis. Sementara itu, hasil penelitian secara in vitro yang dilakukan

oleh Ling et al. (2010) juga menemukan adanya aktivitas antimetastasis pada sel

kanker payudara dari senyawa 6-shogaol.

Wei et al. (2005) menemukan adanya aktivitas sitotoksik dan apoptosis yang

signifikan pada sel leukemia promyelositik manusia yang diberi beberapa ekstrak

jahe dimana di dalamnya terkandung diarylheptanoids dan beberapa turunan

gingerol. Miyoshi et al.(2003) menemukan adanya aktivitas induksi apoptosis

pada Human T lymphoma Jurkat Cells pada kandungan Japanese Ginger

(Zingiber mioga Rosc.), yaitu galanal A dan galanal B. Adanya beberapa aktivitas

sitotoksik yang ditemukan sebagai akibat pemberian ekstrak jahe ini

mengakibatkan penelitian terkait keamanan sediaan obat menjadi hal yang penting

dilakukan sebelum sediaan obat digunakan oleh masyarakat luas, terlebih pada

penggunaan selama masa kehamilan.

Selama masa kehamilan terjadi proses organogenesis dan perkembangan janin

yang melibatkan berbagai proses pembentukan struktur tubuh dan organ yang

melibatkan interaksi lokal antara sel dan perubahan morfogenetik pada jaringan,

3

bentuk, dan susunan sel. Sehingga, penggunaan ekstrak jahe yang berlebihan

dikhawatirkan akan mengganggu perkembangan janin.

Hingga saat ini, penelitian keteratogenikan ekstrak sampel DLBS 5447

tinjauan gros morfologi janin belum pernah dilakukan. Melalui penelitian ini akan

didapatkan informasi mengenai keamanan ekstrak sampel DLBS 5447 bila

digunakan pada masa kehamilan.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, dapat

dirumuskan beberapa rumusan masalah sebagai berikut.

a) Apakah pemberian suspensi ekstrak sampel DLBS 5447pada tikus bunting

galur SD secara oral selama 17 hari masa kebuntingan akan menimbulkan

efek teratogenik pada janin?

b) Apakah pemberian suspensi ekstrak sampel DLBS 5447 pada tikus bunting

galur SD secara oral selama 17 hari masa kebuntingan memengaruhi gros

morfologi janin?

c) Senyawa apa sajakah yang terkandung pada ekstrak sampel DLBS 5447

yang kemungkinan dapat menimbulkan efek teratogenik berupa cacat gros

morfologis janin?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek teratogenik sebagai akibat dari

pemberian suspensi ekstrak sampel DLBS 5447 secara oral jika diberikan selama

17 hari masa kebuntingan pada tikus Sprague-Dawley tinjauan gros morfologi

4

janin, sehingga dapat diketahui keamanan sediaan bila digunakan selama masa

kebuntingan. Selain itu, penelitian ini juga akan menunjukkan senyawa yang

terkandung dalam ekstrak sampel DLBS 5447 yang kemungkinan bertanggung

jawab pada efek teratogen melalui profil kromatografi lapis tipis ekstrak.

D. Tinjauan Pustaka

1. Klasifikasi jahe

Jahe (Zingiber officinale Rosc.; Ginger) merupakan salah satu komoditas

ekspor rempah-rempah Indonesia yang banyak digunakan dalam makanan sebagai

penambah aroma dan pengobatan. Di India dan Cina, teh jahe yang dibuat dari

jahe segar dapat mengurangi berat badan dan membantu pencernaan. Bubuk jahe

dapat digunakan untuk mengobati demam dingin (Hernani dan Winarti, 2001).

Klasifikasi tanaman jahe secara umum adalah sebagai berikut.

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Monocotyledonae

Bangsa : Zingiberales

Suku : Zingiberaceae

Marga : Zingiber

Jenis : Zingiber officinale Rosc.

Sinonim : Zingiber majus Rumph.

(Anonimd, 2001)

5

2. Kandungan kimia jahe

Jahe mengandung banyak minyak atsiri. Menurut European Medicine Agency

(2012), komponen minyak atsiri sebanyak 1-4% yang terkandung di dalamnya

memberikan aroma yang khas pada jahe. Lebih dari 100 senyawa diidentifikasi

dan sebagian besar merupakan golongan terpenoid terutama seskuiterpenoid (α-

zingiberen, β-seskuifellandren, β-bisabolene, α-farnesen, ar-kurkumen

(zingiberol) dan beberapa monoterpenoid seperti kamfen, β-fellandren, sineol,

geraniol, kurkumen, sitral, terpineol, dan borneol. Komposisi minyak atsiri pada

jahe sangat tergantung pada asal-usul bahan (Afzal et al., 2001; Ali et al., 2008;

HMPC, 2012). Zat-zat pedas pada jahe, yaitu turunan gingerol (4-7,5%) adalah

serangkaian homolog fenol. Salah satunya adalah 6-gingerol. Turunan gingerol

yang lain seperti 8-gingerol dan 10-gingerol terdapat dalam jumlah yang lebih

kecil. Selama pengeringan dan penyimpanan, gingerol yang sebagian terdehidrasi

menjadi shogaol dan pada pengurangan lebih lanjut akan membentuk paradol

(Afzal et al., 2001; Jolad et al., 2005; Kim et al., 2008). Konstituen lainnya adalah

pati, hingga 50%, lipid 6-8%, protein, dan senyawa anorganik.

Golongan minyak atsiri dan turunannya yang menjadi komponen metabolit

terbesar yang terkandung dalam jahe. Gingerol merupakan cairan berminyak yang

tersusun dari homolog fenol dengan komponen utama 6-gingerol dengan struktur

kimia yang dapat dilihat pada gambar 1. Karakteristik gingerol ini stabil bila

berada dalam lingkungan yang banyak mengandung air dan dapat bertahan sampai

suhu 100oC. Namun pada suhu di atas 100

oC, gingerol tidak stabil dan akan

berubah menjadi shogaol dengan lebih cepat (Bhattarai et al., 2001). Hal ini

6

disebabkan karena adanya gugus fungsional β-hidroksi keto yang labil dalam

pemanasan (Purnomo et al., 2010; Wohlmuth et al., 2005).

Sementara itu, 6-shogaol merupakan bentuk gingerol yang terdehidrasi pada

gugus OH atom C5 dan membentuk ikatan rangkap antara atom C4 dan C5.

Selain merupakan zat aktif yang terbentuk dalam jahe secara alami, senyawa ini

juga terbentuk dari gingerol pada medium dengan pH 2,5-7,2 disertai pemanasan

pada jangka waktu yang lama. Adanya interaksi dengan silika gel dan alumina

pada analisis kromatografi juga memungkinkan terbentuknya senyawa ini (Jolad

et al., 2004).

Gambar 1. Struktur kimiawi 6-gingerol (atas) dan 6-shogaol (bawah) (Weng et al., 2010)

3. Khasiat dan efek farmakologi jahe

Selama ini, jahe menjadi tumbuhan obat utama di China, Ayuverda, dan Tibb-

Unani untuk pengobatan katarak, reumatik, gingivitis, sakit gigi, asma, stroke,

konstipasi, dan diabetes (Ali et al., 2007). Grzanna et al. (2005) menemukan

bahwa jahe juga dapat memiliki aktivitas sebagai agen anti-inflammasi. Ekstrak

metanolik dari jahe ini memiliki aktivitas sebagai antihiperlipidemia,

7

antihiperglikemia, dan antihiperinsulin. Pemberian ekstrak metanolik jahe pada

tikus yang diinduksi pemacu obesitas selama 8 minggu menunjukkan adanya

penurunan level glukosa dan insulin (Goyal dan Kadnur, 2006). Pada dosis

500mg/kg ekstrak jahe ini efektif secara signifikan dalam menurunkan level

glukosa, kolesterol, dan triasilgliserida yang berpotensi untuk dikembangkan pada

terapi penyakit diabetes (Al-Amin et al., 2006).

Salah satu kandungan metabolit sekunder yang terdapat pada jahe adalah

gingerdion. Senyawa ini terbukti memiliki aksi sebagai inhibitor siklooksigenase,

suatu enzim yang berperan dalam proses inflammasi atau peradangan (Charlier

dan Michaux, 2003; Martel-Pelletier et al., 2003).

Selain itu, aktivitas farmakologi dari ekstrak jahe sebagai antimual dan

muntah juga telah banyak diteliti. Ekstrak aseton dan ekstrak etanolik 50% jahe

dengan pemberian pada dosis 100, 200, dan 500 mg/kg secara signifikan

memengaruhi kecepatan pengosongan lambung. Aksi dari senyawa yang

terkandung dalam ekstrak aseton jahe ini menyerupai aksi Ondansentron, obat

yang beraksi pada reseptor 5HT-3 yang berperan dalam respon mual muntah.

Sehingga, penggunaan ekstrak jahe ini dapat diberikan pada pasien paska operasi

untuk mengurangi resiko mual-muntah (Malhotra dan Singh, 2003).

4. Kromatografi lapis tipis

Kromatografi didefinisikan sebagai prosedur pemisahan zat terlarut oleh suatu

proses migrasi diferensial dinamis dalam sistem yang terdiri dari dua fase atau

lebih, salah satu diantaranya bergerak secara berkesinambungan dalam arah

8

tertentu dan di dalamnya zat-zat itu menunjukkan perbedaan mobilitas sebagai

akibat adanya perbedaan dalam adsorpsi, partisi, kelarutan, tekanan uap, ukuran

molekul, atau kerapatan muatan ion (Anonima, 1995)

Kromatografi lapis tipis atau KLT merupakan salah satu bentuk kromatografi

planar selain kromatografi kertas dan elektroforesis yang digunakan dalam

pemisahan berbagai kandungan kimia dari tumbuhan.

Metode ini merupakan metode kromatografi cair yang paling sederhana dalam

analisis kromatografi. Pemisahan yang terjadi pada KLT ini didasarkan pada

adanya dua fase yang berbeda karakteristik polaritasnya, yaitu fase diam

(stationary phase) dan fase gerak (mobile phase). Komponen senyawa yang

dianalisis akan dibawa oleh fase gerak bermigrasi ketika dilakukan

elusi/pengembangan. Penggunaan KLT ini dapat diaplikasikan pada analisis

kualitatif, kuantitatif, dan preparatif (Gritter et al., 1991).

a. Analisis kualitatif. Analisis ini digunakan untuk menunjukkan ada

tidaknya senyawa tertentu yang terkandung dalam suatu cuplikan atau sampel uji.

Pada kromatografi lapis tipis, analisis dilakukan dengan membandingkan senyawa

murni dengan sampel uji, baik dalam bentuk tunggal maupun campuran. Selain

itu, analisis ini banyak digunakan untuk menetapkan fingerprint dari sampel uji

berupa campuran yang rumit, sebagai contoh sampel dari ekstrak jaringan, urine,

darah, maupun bahan kimia dasar/obat (Gritter et al., 1991).

b. Analisis kuantitatif. Analisis ini akan menentukan banyaknya masing-

masing senyawa yang terkandung dalam sampel uji, kadar relatifnya teradap

senyawa lain, maupun sebagai kadar mutlak jika dibandingkan dengan standar

9

(pembanding) pada kalibrasi yang sesuai. Metode ini sangat tepat digunakan

dalam pengendalian mutu (Quality Control) suatu industri (Gritter et al., 1991).

c. Analisis preparatif. Analisis kromatografi preparatif digunakan untuk

memperoleh komponen campuran dalam jumlah yang memadai dalam keadaan

murni dan bisa digunakan untuk analisis berikutnya (Gritter et al., 1991).

Parameter pemisahan dengan kromatografi lapis tipis ini berupa nilai Rf

(Retardation Factor) dimana

Rf =

Nilai Rf ini bervariasi antara 0 hingga 1. Selain dinyatakan dalam Rf,

parameter utama kromatografi lapis tipis ini juga dapat dinyatakan dengan hRf

yang bernilai 0-100 (Sherma dan Fried, 1996).

Deteksi dengan KLT dapat dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif.

Deteksi kualitatif dilakukan dengan menggunakan bantuan sinar UV pada panjang

gelombang 254 dan 366 nm, dimana adanya senyawa yang terjerap pada fase

diam akan menyebabkan terjadinya penyerapan pada daerah UV pendek (radiasi

utama pada 254 nm) atau fluoresensi pada daerah UV panjang (366 nm). Ketika

deteksi dengan cara ini belum terlihat adanya bercak senyawa, dapat dilakukan

reaksi kimia. Reaksi kimia ini menggunakan berbagai macam pereaksi semprot

yang ketika disemprotkan pada senyawa akan membentuk warna. Contoh

pereaksi warna yang dapat digunakan dalam deteksi kualitatif KLT adalah

anisaldehid-H2SO4, pereaksi vanillin, AlCl3, FeCl3, dan KOH 10%.

Pembentukan warna yang optimum sering kali memerlukan peningkatan suhu dan

10

waktu tertentu. Pemanasan sebaiknya dilakukan dengan pemanas yang dilengkapi

dengan thermostat yang akan menjaga suhu tetap pada 120oC (Stahl, 1985).

Deteksi kuantitatif KLT dilakukan dengan menggunakan alat densitometer.

Densitometer merupakan pelacak kuantitatif yang dilengkapi dengan

spektrofotometer yang panjang gelombangnya dapat diatur antara 200-700 nm

(TLC-Scanner). Prinsip kerja alat ini adalah pengukuran intensitas sinar, baik

yang diserap dan diteruskan, maupun sinar yang dipantulkan atau dipendarkan.

Banyaknya senyawa dinyatakan dengan perhitungan luas atau tinggi puncak

(Sastroamidjojo, 1985).

5. Toksikologi dan uji toksikologi

Ada beberapa definisi yang menjelaskan makna dari toksikologi. Toksikologi

merupakan suatu cabang ilmu yang mempelajari aksi berbahaya zat kimia atas

system biologis (Donatus, 2001). Uji toksikologi dibagi menjadi dua golongan,

yaitu:

a. Uji ketoksikan tak khas. Uji ketoksikan tak khas adalah uji toksikologi

yang dirancang untuk mengevaluasi spektrum efek toksik suatu senyawa pada

aneka ragam hewan uji. Uji toksikologi yang termasuk dalam uji ini adalah uji

ketoksikan akut, subkronis, dan kronis.

b. Uji ketoksikan khas. Uji ketoksikan khas merupakan suatu uji toksikologi

yang dirancang untuk mengevaluasi secara rinci efek yang khas sebagai akibat

dari pemberian suatu senyawa pada berbagai jenis hewan uji. Salah satu contoh

dari uji ketoksikan khas adalah uji keteratogenikan.

11

Uji keteratogenikan adalah uji ketoksikan suatu obat yang diberikan selama

masa organogenesis pada hewan bunting. Toksisitas pada hakekatnya

menjelaskan tentang kerusakan / cidera pada organisme yang diakibatkan oleh

suatu materi, substansi, atau energi. Definisi lain menyebutkan bahwa toksisitas

merupakan proses kerjanya racun, tidak saja efeknya, tetapi juga mekanisme

terjadinya efek tersebut (Lu, 1995).

Uji keteratogenikan ini dilakukan untuk menentukan pengaruh suatu senyawa

terhadap janin dalam hewan bunting (Donatus, 2001). Pada uji keteratogenikan,

hewan uji yang digunakan paling tidak dua jenis, roden dan nirroden. Pemilihan

hewan uji harus memerhatikan beberapa faktor diantaranya umur, berat badan,

keteraturan daur estrus, dan kerentanan hewan uji terhadap senyawa yang

diberikan.

6. Teratologi

Teratologi berasal dari bahasa Yunani Teras (Monster) dan Logos (Ilmu).

Ilmu yang mempelajari penyebab, mekanisme, dan manifestasi perkembangan

kematian fetus, malformasi konginetal, gangguan fungsional, atau gangguan

pertumbuhan (Haschek dan Rousseaux, 1991).

Teratogenesis merupakan proses yang mencakup gangguan perkembangan

normal embrio atau janin dalam uterin, yang mengakibatkan kelainan atau cacat

bawaan bayi baik makroskopik maupun mikroskopik. Keadaan ini mencakup

perubahan struktural maupun fungsional (Donatus, 2001). Adanya pemberian

suatu xenobiotika pada masa organogenesis atau embriogenesis akan

12

menimbulkan efek toksik pada janin.

Efek toksik yang dihasilkan sangat bergantung pada waktu pemejanan

senyawa dan periode kebuntingan. Efek ini dapat berupa kematian, kelainan

bawaan atau cacat bawaan, perlambatan pertumbuhan, dan gangguan fungsional

tubuh (Donatus, 2001). Mekanisme teratogenesis dari suatu senyawa dapat dibagi

menjadi beberapa kemungkinan, yakni melalui mutasi genetik, penyimpangan

kromosomal, gangguan miotik, gangguan asam-asam nukleat, kekurangan hara,

kekurangan pasok energi, hambatan enzim, perubahan osmolaritas, dan perubahan

permeabilitas membran.

7. Sistem reproduksi tikus

Sistem reproduksi mamalia khususnya tikus melingkupi organ reproduksi dan

siklus reproduksinya.

a. Organ reproduksi. Organ-organ reproduksi secara umum dapat

dikelompokkan menjadi 2, yaitu organ reproduksi utama dan alat reproduksi

tambahan. Pada tikus betina, organ reproduksi utama berupa ovarium dan organ

reproduksi tambahan terdiri atas saluran-saluran reproduksi seperti terlihat pada

gambar 2.

1) Vagina

Vagina pada tikus betina berupa suatu kanal otot yang pendek yang

menghubungkan uterus/rahim tikus dengan bagian luar tubuh. Dinding

vagina dilapisi dengan mukosa membran yang akan melindungi dan

menjaga kelembaban vagina. Vagina akan menjadi jalan masuknya sperma

13

pada proses fertilisasi dan jalan keluarnya janin pada waktu kelahiran.

Gambar 2. Organ reproduksi tikus betina (Anonimf, 2008)

2) Ovarium

Organ ini terletak pada bagian ujung uterus dan berada di dekat ginjal.

Ovarium ini akan memproduksi sel telur dan beberapa hormon. Sel telur

yang matang kemudian akan dikeluarkan ovarium melalui oviduk yang

merupakan penghubung antara ovarium dan uterus tikus.

3) Uterus

Ketika masa ovulasi selesai yang ditandai dengan lepasnya sel telur dari

ovarium, sel telur akan menempel pada dinding uterus. Tikus memiliki 2

uterus, yaitu uterus kanan dan uterus kiri yang dikenal dengan istilah

bicornuate uterus. Adanya struktur bikornuat pada uterus tikus ini

menjadikan tikus memiliki kebuntingan yang lebih banyak (multiple).

14

4) Kelenjar Mammal

Kelenjar ini akan memroduksi susu/kolostrum yang sangat berguna bagi

perkembangan janin tikus. Kelenjar ini terdiri atas sel-sel alveoli yang

berhubungan dengan sel epitelial yang memproduksi susu.

5) Cervix (Mulut Rahim)

Mulut rahim ini menjadi penghubung antara vagina dan rahim. Pada organ

ini memiliki dinding sel yang kuat dan terbuka ketika tikus memasuki

periode kelahiran. Adanya mulut rahim ini berperan dalam perlindungan

uterus.

6) Klitoris

Organ ini merupakan homolog dari penis tikus jantan. Klitoris berlokasi di

atas uretra (Anonime, 2008).

b. Daur estrus. Masa perkawinan pada mamalia dapat diketahui dengan

mengetahui daur estrusnya. Daur estrus merupakan daur seksual pada mamalia

yang bukan sebangsa manusia atau primata dimana keteraturan dari daur estrus ini

akan mendukung fertilitas betina.

Siklus estrus tikus normal terjadi selama 4 hingga 5 hari dan berlangsung

sejak permulaan pubertas hingga tua, termasuk selama masa pasca kelahiran.

Dalam siklus estrus ini melibatkan beberapa jenis sel yang secara spesifik

berkorelasi dengan kondisi di sekitar mukosa vagina, uterus (rahim), dan ovarium.

Siklus estrus terdiri dari 4 fase, yaitu proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus

(Bennett dan Vickery, 1970; Lohmiller dan Swing, 2006).

15

1) Fase Proestrus

Fase proestrus ini berlangsung selama 1 hari dan ditandai dengan keberadaan

sel epitel berinti dalam bentuk granul di bawah mikroskop.

2) Fase Estrus

Fase estrus berlangsung sangat singkat. Ketika siklus sudah memasuki fase

ini, pada cairan vagina akan muncul dalam jumlah besar sel kornified, sel non

kornified, dan leukosit.

3) Fase Metestrus

Fase metestrus menggambarkan masa peralihan ke fase diestrus 1 yang

terkarakterisir dengan adanya leukosit, sel epitel kornified, dan sel epitel

biasa.

4) Fase Diestrus.

Hari ke-2 dari fase diestrus akan terlihat sejumlah kecil sel epitel berinti dan

sel strand (Goldman et al., 2007).

Gambar 3. Kenampakan sel pada cairan vagina (Goldman et al., 2007)

16

Keterangan :

A,B = sel proestrus cenderung muncul dalam rumpun dan memiliki penampilan

granular

C = sel proestrus alternatif dapat hadir sebagai strand

D = sel estrus, sel keratin klasik, sel seperti jarum

E = sel estrus, sel alternatif dapat muncul bulat, dengan tepi bergerigi tidak teratur

F = sel metestrus, kombinasi atau bulat 'sel trotoar', beberapa sel seperti jarum, dan

leukosit lebih kecil sedikit yang bisa hadir selama masa transisi selama bagian

awal hari pertama diestrus

G = sel diestrus, leukosit dapat muncul dalam kombinasi dengan berbagai sel bulat

yang lebih besar

H = sel diestrus; smear leukocytic klasik dengan beberapa sel epitel bulat yang lebih

besar

8. Fertilisasi dan periode perkembangan janin tikus

Sel telur yang telah mengalami pembuahan akan berkembang menjadi embrio.

Embrio yang terbentuk mengalami berbagai tahapan perkembangan sebelum

menjadi janin, mulai dari pembentukan zigot, blastulasi, gastrulasi, organogenesis,

dan pertumbuhan-perkembangan janin. Menurut Hogan et al. (1994), tahapan

perkembangan janin pada tikus dapat dibagi sebagai berikut.

a. Pembentukan zigot dan blastulasi (Cleavage and Blastulation). Setelah

fertilisasi terjadi, sel telur yang telah dibuahi sel sperma akan melebur dan

membelah menjadi 2 sel. Pada masa ini terjadi ekspresi gen zigot yang merupakan

gabungan dari gen induk. Pembelahan terus terjadi selama 4 hari kebuntingan

hingga terbentuk blastosit.

b. Gastrulasi dan organogenesis awal. Blastosit yang terbentuk ini kemudian

membentuk zona pelusida yang nantinya akan menjadi kantong plasenta. Pada

hari ke-5 hingga 6 kebuntingan, mulai terjadi pembentukan cairan amniotik.

Organogenesis merupakan tahap pembentukan struktur tubuh dan organ yang

melibatkan interaksi lokal antara sel dan perubahan morfogenetik pada jaringan,

bentuk sel, dan susunan sel. Dalam organogenesis, perubahan terbentuk secara

17

induksi. Sel-sel induk (germ layer cell) akan menginduksi sel induk tetangganya

untuk mengubah karakteristik sel itu dan berkembang membentuk jaringan atau

organ (Murphy, 2013).

c. Pembentukan gastrula. Gastrulasi merupakan proses perkembangan

embrio setelah terbentuk blastula dan berkembang tiga lapisan sel, yaitu

ektoderm, mesoderm, dan endoderm. Lapisan ektoderm membentuk epidermis

kulit, epitel rongga mulut termasuk hidung, sistem saraf, dan organ-organ indera.

Mesoderm akan membentuk otot dan jaringan ikat, tulang, dan komponen lain

yang berperan pada sistem peredaran darah, sistem urinaria, dan sistem genital.

Lapisan endoderm akan membentuk mukosa epitelium dan kelenjar pada sistem

pencernaan dan pernapasan (Fletcher dan Weber, 2013).

d. Perkembangan allantois (Allantois formation). Allantois merupakan

prekursor embrionik dari tali pusar pada mamalia dan salah satu bagian dari area

embrio. Allantois memiliki peran penting dalam pembentukan plasenta

choriallantoic melalui vaskulogenesis, remodeling vaskuler, dan angiogenesis

(Arora dan Pappaioannou, 2012). Pembentukan allantois ini terjadi pada hari ke-7

kebuntingan.

e. Neurulasi dan pembentukan jaringan saraf. Pada hari ke-8, sel saraf pada

janin mulai berkembang yang disebut dengan neurulasi. Neurulasi ini mengacu

pada transformasi notokord yang terinduksi ektoderm menjadi jaringan saraf.

Proses dimulai dari pembentukan jaringan saraf pada bagian otak depan dan

kemudian merambat hingga sumsum tulang belakang.

f. Perkembangan telinga dalam. Pada hari ke-9, Beberapa sel pada labirin

18

bermembran berkembang menjadi reseptor dan reseptor ini dapat ditemukan pada

maculae dan ampullae. Kapsul otik kartilago ini akan berkembang membentuk

labirin yang selanjutnya akan menjadi bagian dari tulang temporal kepala.

g. Perkembangan lengan depan (forelimb bud) dan lengan belakang

(hindlimb bud). Pada hari ke-9 hingga 10 kebuntingan, perkembangan lengan

pada janin tikus berasal dari dinding somatopleure. Lengan dihasilkan dari

proliferasi dan penjenuhan mesenkim, bagian permukaan lapisan ektoderm.

Bagian lengan meliputi bagian proksimal (bahu yang berkembang pertama) dan

bagian distal (footplate).

h. Perkembangan organ paru-paru. Perkembangan paru-paru diawali dengan

evaginasi embrio dari tunas epitel avaskular yang merambat ke jaringan

mesenchymal di sekitarnya. Selama embriogenesis, pada semua spesies mamalia,

perkembangan paru-paru dibagi menjadi tiga tahap, yaitu pseudoglandular,

kanalikular, dan sakkular. Meskipun perkembangan paru-paru pada manusia dan

tikus cukup identik, namun waktu untuk setiap tahap berbeda. Gambar 4

menunjukan skema perbandingan waktu yang dibutuhkan dalam perkembangan

paru-paru pada tikus dan manusia (Pinkerton dan Joan, 2005). Pada tikus,

perkembangan paru-paru dimulai sejak hari ke-15 masa kebuntingan yang diawali

dengan perkembangan pseudoglandular hingga hari ke-18. Kemudian memasuki

hari ke-18 hingga 20 kebuntingan, tahapan sudah memasuki fase kanalikular

hingga pada hari ke-21, paru-paru pada janin sudah terbentuk (fase sakkular).

Setelah kelahiran, saluran pernafasan dan alveolar terbentuk sempurna dan mulai

berfungsi sejak hari ke-28 pasca kelahiran. Berbeda dengan tikus, pada manusia

19

paru-paru mulai bisa berfungsi normal ketika bayi memasuki usia 2-8 tahun.

Ada beberapa faktor yang memengaruhi perkembangan paru-paru normal,

diantaranya faktor transkripsi, sinyal molekuler, dan faktor larut yang terlibat

secara genetik dalam merancang perkembangan saluran pernafasan pada embrio.

i. Pembentukan lensa mata dan mata. Pada permukaan lapisan ektoderm

akan berkembang placode lensa dan vesikel lensa yang akan menjadi lensa mata.

Sementara itu, bola mata/celah optik dibentuk oleh invaginasi dari permukaan

ventral dari cangkir optik dan optik tangkai (Fletcher dan Weber, 2013).

Gambar 4. Skema perbandingan periode perkembangan paru-paru: secara umum (a.),

pada tikus (b.), dan pada manusia (c.) (Pinkerton dan Joad, 2005)

j. Perkembangan ginjal, kelamin, dan pigmen pada retina. Pada hari ke-11,

lapisan mesoderm bagian intermediate (bagian yang berdekatan selom

mesotelium) akan membentuk lekukan urogenital. Lekukan urogenital ini terdiri

dari 2 lekukan, yaitu jaringan nefrogenik (Nephrogenic Cord) dan

Mediallypositioned Gonad Ridge. Jaringan nefrogenik lateral akan berkembang

menjadi ginjal & ureter ). Sementara itu, Mediallypositioned Gonad Ridge akan

berkembang menjadi organ reproduksi (ovarium, testis &saluran kelamin) pada

a.

b.

c.

20

hari ke-12. Sistem kemih dan sistem reproduksi memiliki asal embrio yang sama,

sehingga perkembangan saluran umum (ureter maupun saluran kelamin) juga

sama (Fletcher dan Weber, 2013). Sementara itu, pembentukan retina terjadi

diantara saraf dan lapisan berpigmen luar retina (inner dan dinding luar cangkir

optik) yang tidak menyatu, akan tetapi terbentuk oleh tekanan dari vitreous tubuh.

k. Pembentukan kelopak mata, sel darah merah, dan humerus. Pada hari ke-

13, kelopak mata dibentuk oleh lipatan atas dan bawah dari ektoderm, yang

masing-masing lipatan merupakan bagian dari inti mesenkim. Pada hari ke-15,

lipatan-lipatan ini saling terikat satu sama lain sehingga kelopak mata yang

terbentuk ini menutup. Pada karnivora, kelopak ini akan terpisah baik sekitar dua

minggu setelah kelahiran (Fletcher dan Weber, 2013).

l. Pembentukan tulang. Sebagian besar tulang berasal dari chondroblast,

suatu prekursor dari tulang kartilago. Untuk bagian tengkorak dan wajah,

perkembangan tulang terjadi di dalam membran, dimana sel osteoblast secara

langsung terbentuk dari dominansi sel ektomesenkim dibandingkan chondroblast.

Selain itu, penulangan humerus atau tulang lengan atas juga termasuk dalam

tahapan ini.

m. Perkembangan kanal semisirkularis dan penarikan hernia umbilikal. Kanal

semisirkularis merupakan saluran setengah lingkaran yang berperan sebagai organ

keseimbangan dinamis dalam memberikan respons terhadap pemutaran

tubuh.Perkembangan ini terjadi pada hari ke-16 kebuntingan.

n. Pembentukan tulang pendengaran. Pengerasan tulang pendengaran secara

endochondrally berasal dari lengkung faringeal I (malleus dan incus) dan II

21

(stapes). Sel ektomesenkim mengisi lengkung faringeal tado dan membentuk

jaringan penghubung, kartilago, dan tulang. Sementara itu, otot rangka terbentuk

dari adanya migrasi somitomere/somite myotomes ke dalam lengkung faringeal

tadi. (Fletcher dan Weber, 2013)

o. Periode Kelahiran. Memasuki hari ke-21 kebuntingan, tikus bunting akan

mengalami fase kelahiran untuk mengeluarkan janinnya.

9. Gros morfologi

Pengamatan gros morfologi ini merupakan pengamatan adanya cacat

makroskopis pada tubuh janin. Dalam hal ini, pengamatan dilakukan dengan

pengecekan kelengkapan dan kelainan pada tarsal, karpal, ekor, telinga, mata,

bibir, kelamin, dan adanya kemungkinan hematoma maupun kekerdilan (Murti,

2000).

Parameter gros morfologi juga dapat menunjukkan tingkat kecacatan janin

yang dilahirkan, serta pengaruh fungsional yang ditimbulkan sebagai akibat

pemberian senyawa uji (Jacobson-Kram dan Keller, 2006).

10. Hematoma

Meski pada awal kejadiannya hematoma dapat hanya berupa lubang kecil,

hematoma dapat berkembang menjadi pembengkakan yang signifikan. Secara

alami, sel-sel pada dinding pembuluh darah akan melakukan perbaikan sel ketika

terjadi luka dengan aktivasi cascade pembekuan darah, namun kemungkinan

perdarahan lanjutan akan tetap terjadi terutama jika tekanan dalam pembuluh

22

darah besar. Gejala hematoma ini akan tergantung pada lokasi, ukuran, dan ada

tidaknya hubungan dengan edema.

Berdasarkan lokasi terjadinya, hematoma dibagi menjadi beberapa tipe,

diantaranya:

a. Hematoma epidural. Hematoma ini terjadi di luar dura atau selaput otak.

b. Hematoma subdural. Berbeda dengan hematoma epidural, hematoma ini

terjadi di daerah subdural ruang bawah dura.

c. Hematoma intraserebral. Hematoma tipe ini merupakan hematoma yang

terjadi di dalam jaringan otak dan merupakan tipe hematoma yang paling

berbahaya. Penyakit stroke dan tekanan darah tinggi dapat memacu timbulnya

hematoma ini.

d. Hematoma kulit kepala. Hematoma ini terjadi pada bagian luar tengkorak

dan dapat berupa benjolan di kepala.

e. Hematoma telinga. Hematoma ini terjadi pada struktur heliks atau tulang

rawan luar telinga. Hematoma ini dapat mengurangi aliran darah ke tulang rawan

yang mengakibatkan sel tulang rawan akan mengerut dan mati hingga terbentuk

telinga luar yang cacat.

f. Hematoma hidung.

g. Cedera ortopedi dan patah tulang panggul. Faktur tulang dapat dikaitkan

dengan munculnya hematoma pada tulang.

h. Hematoma otot. Perdarahan yang terjadi pada otot akan mengakibatkan

stok pasokan darah dari otot berkurang dan otot termasuk saraf dapat mengalami

23

kerusakan secara permanen. Hematoma tipe ini sering terlihat pada kaki bagian

bawah dan lengan.

i. Hematoma subungual. Hematoma ini terjadi di bawah kuku,baik kuku

tangan maupun kaki.

j. Hematoma subkutan. Hematoma subkutan atau ecchymosis merupakan

memar yang disebabkan oleh trauma atau luka pada pembuluh darah superfisial di

bawah kulit.

k. Hematoma intra-abdomen. Hematoma tipe ini kemungkinan disebabkan

oleh berbagai cedera atau penyakit yang ditandai dengan peritonitis atau iritasi

pada lapisan perut. Hematoma ini dapat ditemukan pada organ pada seperti hati,

limpa, atau ginjal (Wendro dan Nettleman, 2013).

E. Keterangan Empirik

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang bersifat eksploratif

untuk memberikan gambaran pengaruh pemberian ekstrak sampel DLBS 5447

selama 17 hari masa kebuntingan pada tikus betina Sprague Dawley bunting.

Tinjauan dilakukan secara kualitatif, baik terhadap gros morfologi janin maupun

terhadap kandungan kimia ekstrak jahe dengan pembuatan profil kromatografi

lapis tipis ekstraknya.