BAB I PENDAHULUAN A. Latar...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit Demam Berdarah Dengue merupakan penyakit yang
disebabkan oleh virus dengue, dengan media transmisi (vektor) nyamuk
Aedes aegypti. Setiap tahun angka kejadian DBD belum menunjukan
penurunan yang signifikan, hal tersebut menunjukan sulitnya
mempertahankan kontinuitas program pencegahan penanggulangan
Demam Berdarah Dengue. Sejauh ini sudah dilakukan berbagai upaya
pemberantasan sarang nyamuk Demam Berdarah Dengue, bahkan kejadian
Luar Biasa (KLB) masih sering terjadi. Pencegahan terhadap serangan
infeksi virus dengue dengan memanfaatkan vaksin dengue nampaknya
belum menunjukkan keberhasilan yang diharapkan. (Djunaedi, 2006)
Demam Berdarah Dengue masih menjadi tantangan yang serius,
karena Demam Berdarah Dengue dapat mengakibatan kejadian luar biasa
(KLB), jika tidak dilakukan pencegahan dan pemberantasan secara dini
akan mengakibatkan kematian. Kenaikan yang dialami sebanyak 30 kali
lipat selama 50 tahun terakhir. Berdasarkan WHO (2016) awal mulanya
ditemukan penyakit DBD terjadi di wilayah Asia Tenggara pada tahun
1954 tepatnya di Filipina, lalu menyebar ke berbagai negara. Angka kasus
tertinggi terjadi di Amerika, Asia Tenggara dan Pasifik Barat mencapai
lebih dari 1,2 juta kasus di tahun 2008 dan lebih dari 2,3 juta kasus di
2010. Pada tahun 2013 sebanyak 2,35 juta kasus di Amerika dan sebanyak
37.687 mengalami penyakit DBD berat. . Berdasarkan data yang dimiliki
WHO 2016, pada wilayah Asia Pasifik ditemukan sebanyak 15,2 juta
kejadian DBD yang terjadi pada tahun 2016 (WHO, 2016).
Data jumlah penderita DBD di Indonesia dari tahun 2014-2016
sebagai berikut, pada tahun 2014 sebanyak 100.347 kasus menjadi
2
129.650 kasus pada tahun 2015. Sedangkan data jumlah penderita DBD
tahun 2016 mengalami peningkatan menjadi 201.885 kasus . Sedangkan
angka kesakitan DBD tahun 2017 menurun dibandingkan tahun 2016,
yaitu dari 78,85 menjadi 26,10 per 100.000 penduduk. Namun, penurunan
case fatality rate (CFR) dari tahun sebelumnya tidak terlalu tinggi, yaitu
0,78% pada tahun 2016 menjadi 0,72% pada tahun 2017. Berikut tren
angka kesakitan DBD selama kurun waktu 2010-2017. (Profil Kesehatan
Indonesia, 2017)
G
Grafik I.1 Agka Kesakitan DBD Tahun 2010- 2017
Kematian CFR akibat DBD lebih dari 1% dikategorikan tinggi.
Walaupun secara umum CFR tahun 2017 menurun dibandingkan tahun
sebelumnya, terdapat 10 provinsi yang memiliki CFR tinggi salah satunya
Provinsi Jawa Timur. Pada tahun 2017 kasus DBD di Jawa Timur
berjumlah 68.407 kasus, dengan jumlah kematian sebanyak 493 orang.
Salah satu indikator yang digunakan untuk upaya pengendalian penyakit
DBD yaitu angka bebas jentik (ABJ). Sampai dengan tahun 2017, ABJ
secara nasional belum mencapai target program yang sebesar ≥ 95%.
(Profil Kesehatan Indonesia, 2017)
Penyakit DBD di kota Madiun juga masih merupakan masalah
yang krusial . Hal ini terbukti dengan kasus DBD selalu terjadi pada setiap
tahunnya. Pada 3 wilayah kecamatan yang ada di Kota Madiun yakni
3
Kartoharjo, Taman, dan Manguharjo merupakan wilayah yang endemis
dan terjadi selama 3 tahun terturut-turut. Jumlah total 27 kelurahan yang
ada, terdapat 24 kelurahan (88,8%) dan hanya 3 kelurahan (11,2%)
termasuk kelurahan sporadic. (Profil Kesehatan Madiun, 2017)
Kasus DBD Tahun 2017 terjadi penurunan kasus DBD
dibandingkan tahun 2016 yaitu dari 267 kasus (IR : 152,04/100.000
penduduk) menjadi 45 kasus (IR : 25,6/100.000 penduduk). Angka ini
dibawah target nasional (IR :≤49/100.000 penduduk). Salah satu yang
endemis terletak di wilayah kerja Puskesmas Manguharjo terletak di
sebelah barat kota Madiun ,pada wilayah kerja kecamatan Manguharjo
angka kejadian penyakit DBD dari 5 tahun terakhir sebanyak 141 kasus.
Tahun 2014 sebanyak 27 kasus, 2015 sebanyak 29 kasus, tahun 2016
sebanyak 56 kasus, tahun 2017 sebanyak 16 kasus, tahun 2018 sebanyak
13 kasus. (Profil Kesehatan Madiun , 2017)
Gambar I.1 Status Endemisitas DBD Kelurahan Kota Madiun Tahun 2017
Naik turunya kasus DBD ini disebabkan oleh perubahan iklim saat
ini, faktor lingkungan baik lingkungan fisik biologi, mobilitas, ABJ yang
4
rendah, minimnya partisipasi masyarakat dalam memberantas sarang
nyamuk, serta melemahnya pelayanan kesehatan masyarakat yang
memungkinkan menjadi faktor penyebab kejadian DBD. Mengingat
fenomena perubahan iklim yang berubah-ubah terus terjadi hingga tahun
2019 ini, jika tidak dilakukan penanganan upaya sejak dini angka kejadian
DBD mengalami peningkatan sehingga menimbulkan KLB. Maka, dalam
upaya penanggulangan Demam Berdarah Dengue, pemerintah mempunyai
4 (empat) pilar strategi, salah saatunya pilar ketiga yakni meningkatkan
upaya pengendalian vektor secara terpadu. (P2PL, 2011)
Dalam rangka mendukung pelaksanaan strategi pemerintah
tersebut, maka dilakukan upaya pemeriksaan atau pemantauan jentik Aides
aegypti. Pemantauan jentik Aides aegypti merupakan suatu strategi untuk
meningkatkan peran serta masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam
program pencegahan dan pemberantasan DBD. Dalam teori H. L Blum
perilaku manusia mempunyai kontribusi yang lebih besar, hal itu
dikarenakan selain mempunyai pengaruh langsung terhadap kesehatan,
berpengaruh pula secara tidak langsung melalui faktor lingkungan, sosial
budaya, dan fasilitas kesehatan. Jika masyarakat tidak memperdulikan
upaya pemberantasan sarang nyamuk melalui gerakan 3M Plus dapat
menyebabkan peningkatan penyebaran vektor penyakit Demam Berdarah
Dengue.
Maka, perlu ditinjaunya faktor- faktor risiko kejadian DBD, salah
satunya pembarantasan sarang nyamuk. Diketahui, bahwa terdapat
kemungkinan kejadian DBD di Wilayah Manguharjo disebabkan oleh
faktor pemberantasan sarang nyamuk, karena dengan peran serta
masyarakat dalam upaya PSN, mampu mencegah terjadinya penularan
penyakit DBD, sehingga dapat menurunkan angka kejadian penyakit DBD
di Madiun. Menyadarkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat agar
mau memperhatikan kebersihan lingkungannya dan memahami tentang
mekanisme terjadinya penularan penyakit DBD sehingga dapat berperan
secara aktif menanggulangi penyakit DBD ( Soegijanto, 2004).
5
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dilakukan penelitian dengan
judul “Hubungan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan kejadian
DBD di Wilayah Puskesmas Manguharjo Kota Madiun pada Tahun 2019”
B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah
1. Identfikasi Masalah
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu
masalah kesehatan masyarakat di Indonesia yang cenderung meningkat
jumlah penderitanya serta semakin luas penyebarannya, terutama di
wilayah kerja Puskesmas Manguharjo Kota Madiun yang endemis
DBD.
Wilayah kerja Puskesmas Manguharjo terletak di sebelah barat
kota Madiun yang terdiri dari 4 kelurahan yakni kelurahan Nambangan
kidul, kelurahan Nambangan Lor, kelurahan Winongo, dan kelurahan
Manguharjo. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Madiun pada
bulan Oktober, November, Desember, dan Januari penderita DBD
sebanyak 28 penderita. Penyakit DBD masih menjadi tantangan yang
sangat serius mengingat DBD dapat mengakibatan kejadian luar biasa
(KLB), jika tidak dilakukan pencegahan & pemberantasan secara dini
akan mengakibatkan kematian. Berdasarkan survei pendahuluan,
wilayah kerja puskesmas Manguharjo sudah dilakukan pemeriksaan
jentik Aedes aegypti yang dilakukan oleh kader jumantik selama 3
bulan sekali. Beberapa faktor risiko seperti angka ABJ yang rendah,
kepadatan penduduk, partisipasi masyarakat dalam upaya
pemberantasan sarang nyamuk yang masih minim, serta faktor
lingkungan baik lingkugan biologi fisik maupun sosial merupakan
faktor risiko kejadian DBD. Dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Faktor host (manusia)
Faktor Demografi :
1. Usia 3. Pekerjaan
2. Jenis kelamin
Faktor perilaku
6
- Pengetahuan, sikap, dan tindakan akan menimbulkan resiko terjadinya
transmisi penularan penyakit DBD di dalam masyarakat
b. Angka bebas jentik yang rendah
c. Pemberantasan Sarang Nyamuk
d. Lingkungan fisik rumah
Lingkungan fisik berupa
- Jarak rumah, tata rumah
- Ketinggian tempat dan iklim (suhu dan kelembaban, curah hujan ,
dan kecepatan angin)
e. Lingkungan biologi
- Banyaknya Tanaman di Lingkungan Rumah
- Pengaruh binatang
- Keberadaan vektor yakni, jentik Aedes aegypti.
f. Kepadatan penduduk
g. Yankes
Terselengaranya pemeriksaan atau pemantauan jentik Aedes
aegypti secara berkala diharapkan masyarakat sadar akan pentingnya
penanggulangan DBD, tetapi kenyatannya di Wilayah Kerja Puskesmas
Manguharjo tersebut masih banyak angka kejadian DBD.
3. Pembatasan masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka peniliti membastasi
masalah ini yakni Pemberantasan Sarang Nyamuk, karena faktor
perilaku merupakan faktor determinan dalam menentukan derajat
kesehatan masyarakat.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut dapat dibuat rumusan masalah
sebagai berikut : “Apakah ada hubungan antara Pemberantasan Sarang
Nyamuk dengan Kejadian DBD di Wilayah Puskesmas Manguharjo
Kota Madiun Tahun 2019 ?”
7
D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara pemberantasan sarang nyamuk dengan
kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Manguharjo Kota
Madiun Tahun 2019
2. Tujuan Khusus
a. Menilai kegiatan kebiasaan menutup TPA, mengubur barang
bekas serta pemanfaatan barang-barang bekas, menguras bak
mandi, kebiasaan menanggunakan bubuk abate, pemakaian obat
nyamuk dan lotion anti nyamuk,serta kebiasaan menggantung
pakaian di Wilayah Kerja Puskesmas Manguharjo Kota Madiun.
b. Mengukur kejadian penyakit Demam Berdarah Dengue di
Wilayah Kerja Puskesmas Manguharjo Kota Madiun.
c. Mengidentifikasi kebiasaan menutup TPA, mengubur barang
bekas serta pemanfaatan barang-barang bekas, menguras bak
mandi, kebiasaan menanggunakan bubuk abate, pemakaian obat
nyamuk dan lotion anti nyamuk,serta kebiasaan menggantung
pakaian di Wilayah Kerja Puskesmas Manguharjo Kota Madiun.
d. Menganalisis hubungan antara kebiasaan menutup bak
penampungan air dengan kejadian DBD di Wilayah Kerja
Puskesmas Manguharjo Kota Madiun 2019.
e. Menganalisis hubungan antara kebiasaan mengubur barang bekas
serta pemanfaaatan kembali barang yang berpotensi untuk jadi
tempat perindukan nyamuk dengan kejadian DBD di Wilayah
Kerja Puskesmas Manguharjo Kota Madiun 2019.
f. Menganalisis hubungan antara kebiasaan menguras TPA di
dengan kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Manguharjo
Kota Madiun 2019.
g. Menganalisis hubungan kebiasaan menggunakan abate dengan
kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Manguharjo Kota
Madiun 2019.
8
h. Menganalisis hubungan kebiasaan penggunaan obat nyamuk dan
lotion anti nyamuk dengan kejadian DBD di Wilayah Kerja
Puskesmas Manguharjo Kota Madiun 2019.
i. Menganalisis hubungan kebiasaan menggantung pakaian dengan
kejadian penyakit DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Manguharjo
Kota Madiun 2019.
E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Pemerintah
Memberikan informasi bagi instasi terkait guna meningkatkan
pengendalian terhadap kejadian DBD dan mengembangkan
program penyuluhan khususnya tentang program pemberantasan
sarang nyamuk .
2. Bagi Masyarakat
Memberikan masukan kepada masyarakat dari hasil penelitian
tentang pentingnya partisipasi masyarakat dalam menanggulangi
terjadinya penyakit DBD dan dengan adanya informasi tersebut
diharapkan mampu mencegah timbulnya penyakit berbasis
lingkungan.
3. Bagi Peneliti
Menambah wawasan tentang pemberantasan sarang nyamuk dan
penyakit DBD serta dapat menambah pengalaman dalam
penelitian.
4. Bagi Peneliti Lain
Dari hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi bagi
peneliti lain untuk melaksanakan penelitian lanjutan dan dapat
digunakan sebagai acuan untuk melakukan penelitian.
F. Hipotesis
H1 : Ada hubungan antara Pemberantasan Sarang Nyamuk dengan
Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Manguharjo
Kota Madiun.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hasil Penelitian Terdahulu
1. Luluk Lidya Ayun, 2015
Penelitian ini berjudul “Hubungan antara Faktor
Lingkungan Fisik dan Perilaku dengan Kejadian DBD di
Wilayah Kerja Puskesmas Sekaran, Kecamatan Gungpati
Kota Semarang Tahun 2015”. Peneliti menyimpulkan
bahwa ada hubungan yang bermakna antara keberadaan kawat
kasa dengan p=0,024 , keberadaan tempat perindukan p=0,012,
kebiasaan menguras TPA p=0,002, kebiasaan menggantung
pakaian di kamar p=0,002, kebiasaan memakai lotion anti
nyamuk p=0,041, dan kebiasaan menyingkirkan barang bekas
p=0,026 dengan kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas
Sekaran Kecamatan Gunungpati Kota Semarang tahun 2015.
Kemudian, tidak ada hubungan yang bermakna antara
kebiasaan menggunakan kelambu dan kebiasaan tidur siang
dengan kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Sekaran
Kecamatan Gunungpati Kota Semarang tahun 2015.
Maka, dari hasil penelitian didapatkan bahwa faktor risiko
kejadian DBD adalah variabel keberadaan kawat kasa dengan
OR=4,545 (95% CI 1,370-15,077) menunjukan bahwa sampel
yang tidak memasang kawat kasa mempunyai risiko 4,545
lebih besar untuk menderita DBD dibandingkan sampel yang
memasang kawat kasa, tempat perindukan dengan OR=5,127
(95% CI 1,568–16,765), Kebiasaan menguras TPA dengan
OR=8,800 (95% CI 2,336 - 33,152), Kebiasaan menggantung
pakaian di kamar OR = 7,933 (95% CI 2,236-28,151),
10
Kebiasaan memakai lotion anti nyamuk OR =4,200 (95% CI
1,213 – 14,541), kemudaian kebiasaan menyingkirkan barang
bekas OR= 4,250 (95% CI 1,332-13,562).
Faktor risiko keberadaan tempat perindukan dengan
OR=5,127 menunjukan bahwa kelompok sampel yang di
sekitar rumahnya terdapat tempat perindukan mempunyai
risiko 5,127 kali lebih besar menderita DBD dibandingkan
dengan kelompok yang disekitar rumahnya tidak terdapat
tempat perindukan. Begitu juga dengan 4 variabel yang juga
merupakan faktor risiko yakni kebiasaan menguras TPA
dengan OR=8,800 (95% CI 2,336 - 33,152) , kebiasaan
menggantung pakaian di kamar dengan OR=7,933 (95% CI
2,236-28,151), kebiasaan memakai lotion anti nyamuk dengan
OR=4,200 (95% CI 1,213 – 14,541) , kebiasaan
menyingkirkan barang bekas, OR=4,250 (95% CI 1,332-
13,562).
2. Ririn Sumantri, Petrus Hasibuan, Virhan Novianry (2013)
Penelitian berjudul “Hubungan PSN dan kebiasaan
keluarga dengan kejadian DBD di Kota Pontianak Tahun
2013”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara
pemberantasan sarang nyamuk berupa kebiasaan menutup tempat
penampungan air (TPA), menguras TPA, mengubur barang-barang
bekas, tidak menggantung pakaian bekas pakai didalam rumah,
penggunaan kelambu, penggunaan lotion anti nyamuk, menabur
bubuk abate, dan memelihara ikan pemakan jentik dengan kejadian
DBD pada masyarakat Kota Pontianak tahun 2013.
Penelitian ini menggunakan metode analitik dengan
pendekatan case control. Penelitian ini dilakukan selama bulan Juli
2014. Total sampel sebanyak 100 rumah yang terdiri dari 50 kasus
dan 50 kontrol. Pengumpulan data menggunakan instrumen
kuesioner dan diambil dengan metode consecutive sampling untuk
11
kasus dan purposive sampling untuk kontrol. Data akan dianalisis
dengan teknik Chi square.
Hasil menunjukan terdapat hubungan bermakna antara
kebiasaan menutup TPA dengan kejadian DBD (p=0,000),
kebiasaan menguras TPA (p=0,002), kebiasaan memakai lotion
anti nyamuk (p=0,001), menabur bubuk abate (p=0,000).
Kebiasaan menutup TPA, menguras TPA , memakai lotion anti
nyamuk dan menabur bubuk abate memiliki hubungan yang
bermakna dengan kejadian DBD.
3. Sondang Pasaribu1, Devi Nuraini Santi Indra Chahaya (2012)
Penelitian ini berjudul “Hubungan pemberantasan sarang
nyamuk dengan kejadian demam berdarah dengue pada periode
Januari-Desember di Kota Medan pada tahun 2012”
Hasil penelitian tersebut menunjukkan terdapat hubungan sedang (r =
0,491) dan berpola positif antara PSN dengan kejadian DBD, yang
artinya semakin tinggi pemberantasan sarang nyamuk akan semakin
tinggi jumlah kejadian demam berdarah dengue. Hasil uji statistik
didapatkan tidak ada hubungan yang signifikan antara pemberantasan
sarang nyamuk dengankejadian demam berdarah (p=0,105).
Sedangkan hubungan angka bebas jentik dengan kejadian
demam berdarah dengue pada periode Januari-Desember di Kota
Medan pada tahun 2012 menunjukkan hubungan sangat rendah (r =
-0,200) dan berpola negatif yang artinya semakin tinggi angka
bebas jentik akan semakin rendah jumlah kejadian demam
berdarah dengue. Hasil uji statistik didapatkan tidak ada hubungan
yang signifikan antara angka bebas jentik dengan kejadian demam
berdarah (p=0,800).
12
4. Dewi Mustika Jaya1, Erniwati Ibrahim1, Anwar. Jurusan
Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat,
UNHAS, Makassar
Penelitian ini berjudul “Hubungan PSN dengan
keberadaan larva Aedes aegypti di wilayah endemis DBD
Kelurahan Kassi-Kassi Kota Makassar”. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui hubungan pemberantasan sarang
nyamuk (PSN) DBD dengan keberadaan larva Aedes aegypti. Jenis
penelitian yang digunakan adalah observasional dengan desain
cross sectional study. Populasi adalah seluruh rumah yang ada di
Kelurahan Kassi-Kassi sebanyak 3908 rumah, dengan jumlah
sampel 100 rumah, sampel diambil dengan metode Proporsional
Sampling. Data disajikan dalam bentuk tabel distribusi dan
dianalisis statistik dengan uji chi Square.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keberadaan larva
57.0%, menguras TPA (Tempat Penampungan Air) 50.0%,
mengubur barang-barang bekas yang dapat menampung air 84.0%,
menutup TPA 25.0%, menabur bubuk abate 0%, dan memelihara
ikan pemakan jentik 5.0%. Penelitian ini menunjukkan bahwa
menguras TPA (p=0.000) dan menutup TPA (p=0.000)
berhubungan dengan keberadaan larva Aedes aegypti, sedangkan
mengubur barang bekas yang dapat menampung air (p=0.947) dan
memelihara ikan pemakan jentik tidak berhubungan dengan
keberadaan larva Aedes aegypti. Penelitian ini menyarankan
masyarakat Kelurahan Kassi-Kassi Kecamatan Rappocini agar
lebih sering mengupayakan untuk melakukan pemberantasan
sarang nyamuk demam berdarah dengue (PSN DBD) yaitu dengan
menguras TPA dan menutup rapat TPA
13
5. Aghnes T. Booroto, Woodford B. S. Joseph, dan Ardiansa
Tucunan (2014)
Penelitian ini berjudul “Hubungan antara
tindakan PSN denga keberadaaan jentik nyamuk Aedes sp di
Lingkungan I Kelurahan Teling Atas, Kecamatan Wanea
Kota Manado” Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui
hubungan antara tindakan pemberantasan sarang nyamuk (PSN)
dengan keberadaan jentik nyamuk Aedes sp. di Lingkungan I
Kelurahan Teling Atas, Kecamatan Wanea Kota Manado.
Jenis penelitian ini merupakan survei analitik dengan
rancangan cross sectional (potong melintang). Penelitan
dilaksanakan di Lingkungan I Kelurahan Teling Atas, Kecamatan
Wanea Kota Manado. Populasi penelitian yaitu seluruh kepala
keluarga yang tinggal di Lingkungan I yang berjumlah 640 kepala
Keluarga di Kelurahan Teling Atas. Penentuan jumlah sampel
menggunakan rumus menurut Taro Yamane jumlah sampel
minimum sebanyak 87 KK. Peneliti mengambil 100 KK sebagai
responden, Sampel diambil secara systematic random sampling
(teknik acak sistematis) dengan menggunakan nilai interval 7.
Analisis bivariat kategori tidak baik dan positif jentik dirumahnya
38 orang, sedangkan tindakan tidak baik dan negatif jentik
dirumahnya yaitu 16 orang. Hal ini berarti masih banyak responden
yang mengabaikan pentingnya tindakan PSN demi mencegah atau
menekan perkembangbiakan jentik nyamuk.
Hasil chi square test, nilai p didapatkan sebesar 0,037 nilai
ini lebih kecil daripada 0,05 (p<0,05), artinya ada hubungan antara
tindakan pemberantasan sarang nyamuk dan keberadaan jentik
nyamuk Aedes sp. Nilai OR (2,375), artinya responden dengan
tindakan pemberantasan sarang nyamuk yang tidak baik memiliki
peluang ada jentik nyamuk Aedes sp di rumahnya 2,37 kali lebih
14
besar, daripada responden dengan tindakan pemberantasan sarang
nyamuk baik, dan CI 1,044-5,402.
6. Shafrina Sekar Puspita 2019
Perbedaan dari penelitian yang terdahulu yaitu daerah atau
lokas survei yang berbeda dari yang sebelumnya sehingga memiliki
karakteristik populasi yang berbeda pula. Kondisi tersebut
berpengaruh terhadap upaya pemberantasan sarang nyamuk.
Penambahan Variabel Independent dan Perbedaan Variabel
Dependent. Penyempurnaan metode penelitian yakni menggunakan
cross sectional
15
Tabel II.1 Penelitian-Penelitian yang Relevan
No. Nama Peneliti Judul Penelitian Lokasi Penelitian Variabel Penelitian Jenis Penelitian dan
Rancangan Penelitian Hasil Penelitian
1. Luluk Lidya
Ayun
(2015)
Hubungan antara
Faktor Lingkungan
Fisik dan Perilaku
dengan Kejadian DBD
di Wilayah Kerja
Puskesmas Sekaran,
Kecamatan Gungpati
Kota Semarang Tahun
2015
Sekaran
Kecamatan
Gungpati Kota
Semarang Tahun
2015
Variabel independent
:
Faktor Lingkungan
Fisik dan PSN
- Keberadaan kawat
kasa,
- Keberadaan tempat
perindukan
PSN
- Kebiasaan menguras
TPA
- Kebiasaan
menggantung
pakaian di kamar
- Kebiasaan memakai
lotion anti nyamuk
- Kebiasaan
menyingkirkan
barang bekas
Jenis penelitian:
Penelitian study observasional.
Rancangan penelitian:
Pendekatan case control (kasus
kontrol)
Populasi penelitian adalah
seluruh penderita DBD pada
bulan Januari-Maret Tahun
2015, berdasarkan rekam medik
Puskesmas Sekaran berjumlah
29 orang. Sampel penelitian
yaitu 26 kasus dan 26 kontrol.
Data analisis secara univariat
dan bivariat dengan uji chi
square. Instrumen penelitian
berupa kuesioner dan lembar
observasi.
• Ada hubungan yang
bermakna antara
keberadaan kawat kasa,
keberadaan tempat
perindukan, kebiasaan
menguras TPA, kebiasaan
menggantung pakaian di
kamar, kebiasaan
memakai lotion anti
nyamuk, dan kebiasaan
menyingkirkan barang
bekas dengan kejadian
DBD di wilayah kerja
Puskesmas Sekaran
Kecamatan Gunungpati
Kota Semarang tahun
2015.
• Tidak ada hubungan yang
bermakna antara
kebiasaan menggunakan
kelambu dan kebiasaan
16
Variabel dependent:
Kejadian DBD
berjumlah 29 orang
tidur siang dengan
kejadian DBD di wilayah
kerja Puskesmas Sekaran
Kecamatan Gunungpati
Kota Semarang tahun
2015.
• Faktor risiko
1. Keberadaan kawat
kasa dengan
OR=4,545 (95% CI
1,370-15,077),
2. Tempat perindukan
dengan OR=5,127
(95% CI 1,568–
16,765).
3. Kebiasaan menguras
TPA dengan
OR=8,800 (95% CI
2,336 - 33,152)
4. Kebiasaan
menggantung pakaian
di kamar OR = 7,933
(95% CI 2,236-
28,151)
5. Kebiasaan memakai
lotion anti nyamuk
OR =4,200 (95% CI
1,213 – 14,541)
6. Kebiasaan
menyingkirkan barang
17
bekas OR= 4,250
(95% CI 1,332-
13,562)
2. Ririn Sumantri,
Petrus
Hasibuan,
Virhan
Novianry
(2013)
“Hubungan PSN dan
kebiasaan keluarga
dengan kejadian DBD
di Kota Pontianak
Tahun 2013”
Kota Pontianak Variabel independent:
tindakan PSN berupa
- Tempat
penampungan air
(TPA)
- Menguras TPA,
mengubur barang-
barang bekas
- Tidak
menggantung
pakaian bekas
pakai didalam
rumah
- Penggunaan
kelambu
- Penggunaan lotion
anti nyamuk
- Menabur bubuk
abate
- Memelihara ikan
pemakan jentik
Jenis penelitian analitik
observasional dengan
pendekatan case control.
Penelitian ini dilakukan selama
bulan Juli 2014. Total sampel
sebanyak 100 rumah yang
terdiri dari 50 kasus dan 50
kontrol. Pengumpulan data
menggunakan instrumen
kuesioner dan diambil dengan
metode consecutive sampling
untuk kasus dan purposive
sampling untuk kontrol.
Data akan dianalisis dengan
teknik Chi square.
Hasil menunjukan terdapat
hubungan bermakna antara
kebiasaan menutup TPA
dengan kejadian DBD
(p=0,000) (OR=5,76)
kebiasaan menguras TPA
(p=0,002) OR=3,84,
kebiasaan memakai lotion
anti nyamuk (p=0,001),
menabur bubuk abate
(p=0,000) (OR=4,512)
• Hasil analisis Multivariat
menunjukan bahwa
probabilitas seseorang
menderita DBD jika
tidak menguras TPA,
memakai lotion anti
nyamuk dan menabur
bubuk abate adalah
sebesar 92%
• Kebiasaan menutup
TPA, menguras TPA ,
memakai lotion anti
nyamuk dan menabur
bubuk abate memiliki
hubungan yang
18
bermakna dengan
kejadian DBD.
3. Sondang
Pasaribu1, Devi
Nuraini Santi
Indra Chahaya
(2012)
“Hubungan Frekuensi
Pemberantasan
Sarang Nyamuk dan
Angka Bebas Jentik
dengan Kejadian
DBD pada Periode
Januari-Desember
Tahun 2012 di Kota
Medan”
Di seluruh
kelurahan
Medan
berjumlah 39
kelurahan
Variabel Inependent:
Frekuensi
Pemberantasan
Sarang Nyamuk dan
Angka Bebas Jentik
variabel Dependent:
Kejadian DBD
Jenis Penelitian
survei analitik
Rancangan Penelitian:
case control
Uji statistik
yang digunakan yaitu uji
Korelasi
Spearman dikarenakan data
tidak
berdistribusi normal.
• Hubungan pemberantasan
sarang nyamuk dengan
kejadian demam berdarah
dengue pada periode
Januari-Desember di Kota
Medan pada tahun 2012
menunjukkan hubungan
sedang (r = 0,491) dan
berpola positif yang
artinya semakin tinggi
pemberantasan sarang
nyamuk akan semakin
tinggi jumlah kejadian
demam berdarah dengue.
• Hasil uji statistik
didapatkan tidak ada
hubungan yang signifikan
antara pemberantasan
sarang nyamuk
dengankejadian demam
berdarah (p=0,105).
4. Dewi Mustika
Jaya1,
Erniwati
Ibrahim1,
Anwar.
(2013)
“Hubungan PSN
dengan
keberadaan
larva Aedes
aegypti di
wilayah endemis
Kelurahan
Kassi-
Kassi
Makassar
Varabel
Independent:
PSN
- Mengubur
barang bekas
- Menutup bak
Jenis penelitian :
observasional analitik
Rancangan :
case control study.
Populasi :
seluruh rumah yang ada di
- Penelitian ini
menunjukkan bahwa
menguras TPA (p=0.000)
dan menutup TPA
(p=0.000) berhubungan
dengan keberadaan larva
19
DBD Kelurahan
Kassi-Kassi
Kota
Makassar”.
mandi
- Memelihara
ikan
- Menggunakan
bubuk abate
- Menguras bak
mandi
Variabel
Dependent:
Keberadaan
larva Aedes
Kelurahan Kassi-Kassi
sebanyak 3908 rumah,
dengan jumlah sampel 100
rumah,
Metode sampling:
Proporsional Sampling.
Data disajikan dalam bentuk
tabel distribusi dan dianalisis
statistik dengan uji chi
Square.
Aedes aegypti, sedangkan
mengubur barang bekas
yang dapat menampung
air (p=0.947) dan
memelihara ikan
pemakan jentik tidak
berhubungan dengan
keberadaan larva Aedes
aegypti.
5. Aghnes T.
Booroto,
Woodford B. S.
Joseph, dan
Ardiansa
Tucunan
(2014)
“Hubungan antara
tindakan PSN
denga keberadaaan
jentik nyamuk
Aedes sp
di Lingkungan
I Kelurahan Teling
Atas, Kecamatan
Wanea Kota
Manado”
Dilaksanakan
di Lingkungan I
Kelurahan
Teling Atas,
Kecamatan
Wanea Kota
Manado.
Tindakan
pemberantasan sarang
nyamuk (PSN)
meliputi:
3M Plus
Variabel Dependen
Keberadaan Jentik
Nyamuk Aedes sp.
Jenis ➢ Hasil chi square test,
nilai p 0,037 artinya ada
hubungan antara tikan PSN
dengan keberadaan jentik
nyamuk Aedes sp. Nilai OR
(2,375)
20
B. Telaah Pustaka yang Relevan
1. Peran Serta Masyarakat
a. Pengertian
Menurut Notoatmodjo (2007), peran serta atau partisipasi
masyarakat adalah ikut sertanya seluruh anggota masyarakat dalam
memecahkan permasalahan-permasalahan masyarakat tersebut.
Peran serta dibidang kesehatan berarti keikut sertaan seluruh
anggota masyarakat dalam memecahkan masalah kesehatan mereka
sendiri. Hal ini masyarakat sendirilah yang aktif memikirkan,
memecahkan, melaksanakan dan mengevaluasikan program-
program kesehatan. Institusi kesehatan hanya sekedar memotivasi
dan membimbingnya.
b. Tingkat Peran Serta Masyarakat
Mengembangkan dan membina partisipasi masyarakat bukan
pekerjaan mudah. Partisipasi masyarakat memerlukan kemampuan,
kesempatan, dan motivasi. Menurut Nurul Hidayah (2013)
,berbagai tingkatan partisipasi/peran serta masyarakat antara lain:
1) Peran serta karena perintah/karena terpaksa.
2) Peran serta karena imbalan. Adanya peran serta karena imbalan
tertentu yang diberikan baik dalam bentuk imbalan materi atau
imbalan kedudukan.
3) Peran serta karena identifikasi atau rasa ingin memiliki
4) Peran serta karena kesadaran. Peran serta atas dasar kesadaran
tanpa adanya paksaan atau harapan dapat imbalan
5) Peran serta karena tuntutan akan hak dan tanggung jawab
2. Pemberantasan Sarang Nyamuk
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) adalah kegiatan
yang dilakukan oleh masyarakat dalam membasmi jentik nyamuk
penular demam berdarah. Tujuan Gerakan PSN demam berdarah
adalah membina peran serta masyarakat dalam pemberantasan
penyakit demam berdarah, terutama dalam memberantas jentik
21
nyamuk penularnya, sehingga penularan penyakit demam berdarah
dapat dicegah dan dibatasi.Sasaran PSN demam berdarah yang
paling diprioritaskan adalah di wilayah kecamatan endemis dan
sporadis demam beradarah agar semua keluarga dan pengelola
tempat-tempat mum melaksanakan PSN demam beradarah serta
menjaga kebersihan di lingkungan masing-masing, sehingga bebas
jentik nyamuk Aedes aegypti. (Depkes RI, 2005)
a. Tahapan penggerakan PSN demam berdarah
1) Penyuluhan
a) Penyuluhan keluarga dengan mengunjungi rumah-rumah
oleh petugas puskesmas dan atau kader.
b) Penyuluhan kelompok melalui pertemuan berbagai
organisasi sosial kemasyarakatan termasuk organisasi
wanita, organisasi profesi, dsb.
c) Penyuluhan massal melalui berbagai media komunikasi
massa seperti: radiotelevisi, bioskop dan pertunjukkan lain,
mobil unit penerangan, pemasangan spanduk dsb.
2) Kampanye PSN
Kampanye dilakukan di seluruh wilayah/kota, pada berbagai
kesempatan terutama menjelang musim penularan demam
berdarah dengan melaksanakan antara lain:
a) Penerangan dan penyuluhan kepada masyarakat melalui
berbagai jalur informasi dan media komunikasi
penggerakan masyarakat untuk melakukan PSN (3M)
secara serentak di seluruh wilayah/kota.
b) Pemantauan di rumah (tempat pemukiman) dan sekolah
Pemantauan dilaksanakan secara berkala berupa
pemeriksaan jentik, pengelolaan dan analisa serta
penyampaian hasil pemeriksaan.
c) Pemantauan di rumah (tempat pemukiman) Pemeriksaan
dilakukan oleh petugas puskesmas atau tenaga lain setiap 3
22
bulan. Pemeriksaan dilakukan dengan melihat ada/tidaknya
jentik ditempat penampungan air atau tempat lainnya. Pada
pemeriksaan ini petugas juga memberikan penyuluhan
seperlunya. Setiap kelurahan diperiksa plus minus 100
rumah yang dipilih secara acak (random sample). Hasil
pemeriksaan dianalisa untuk menghitung indikator
keberhasilan tiap RW, kelurahan dan kecamaatan. Indikator
keberhasilan (IK) tiap RW disampaikan kepada lurah, IK
tiap kelurahan kepada camat dan IK tiap kelurahan dan
kecamatan disampaikan kepada Bupati / Walikota untuk
tindak lanjut peningkatan gerakan PSN.
b. Pemberantasan Sarang Nyamuk / PSN-DBD
Pengendalian Vektor DBD yang paling efisien dan
efektif adalah dengan memutus rantai penularan melalui
pemberantasan jentik. Pelaksanaannya di masyarakat dilakukan
melalui upaya Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam
Berdarah Dengue (PSN-DBD) dalam bentuk kegiatan 3 M plus.
Untuk mendapatkan hasil yang diharapkan, kegiatan 3 M Plus
ini harus dilakukan secara luas atau serempak dan terus menerus
atau berkesinambungan. Tingkat pengetahuan, sikap dan
tindakan yang sangat beragam sering menghambat suksesnya
gerakan ini. Untuk itu sosialisasi kepada masyarakat/ individu
untuk melakukan kegiatan ini secara rutin serta penguatan peran
tokoh masyarakat untuk mau secara terus menerus
menggerakkan masyarakat harus dilakukan melalui kegiatan
promosi kesehatan, penyuluhan di media masa, serta reward
bagi yang berhasil melaksanakannya.
c. Sasaran
Semua tempat perkembangbiakan nyamuk penular DBD :
1) Tempat penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari.
23
2) Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari
(non-TPA).
3) Tempat penampungan air alamiah
d. Ukuran keberhasilan
Keberhasilan kegiatan PSN DBD antara lain dapat diukur
dengan Angka Bebas Jentik (ABJ), apabila ABJ lebih atau sama
dengan 95% diharapkan penularan DBD dapat dicegah atau
dikurangi.
e. Cara PSN DBD
Berdasarkan Depkes (2005), PSN DBD dilakukan dengan cara
‘3M-Plus’, 3M yang dimaksud yaitu:
1) Menguras dan menyikat tempat-tempat penampungan air,
seperti bak mandi/wc, drum, dan lain-lain seminggu sekali
(M1).
2) Menutup rapat-rapat tempat penampungan air, seperti gentong
air/tempayan, dan lain-lain (M2).
3) Memanfaatkan atau mendaur ulang barang-barang bekas yang
dapat menampung air hujan (M3).
4) Mengganti air vas bunga, tempat minum burung atau tempat-
tempat lainnya yang sejenis seminggu sekali.
5) Memperbaiki saluran pembuangan air limbah.
6) Memperbaiki talang air yang tidak lancar/rusak
7) Menutup lubang-lubang pada potongan bambu/pohon, dan
lain-lain (dengan tanah, dan lain-lain).
8) Menggunakan bubuk abate, misalnya di tempat-tempat yang
sulit kuras atau di daerah yang sulit air.
9) Memelihara ikan pemakan jentik di kolam/bak-bak
penampungan air.
10) Memasang kawat kasa.
11) Menghindari kebiasaan menggantung pakaian dalam kamar.
12) Mengupayakan pencahayaan.
24
13) Ventilasi ruang yang memadai menggunakan kelambu.
14) Memakai obat yang dapat mencegah gigitan nyamuk.
f. Pelaksanaan
1) Di rumah dilaksanakan oleh anggota keluarga.
2) Tempat - tempat umum dilaksanakan oleh petugas yang
ditunjuk oleh pimpinan atau pengelola tempat - tempat umum.
3. Penyakit Berbasis Lingkungan
Penyakit adalah suatu kondisi patologis berupa kelainan
fungsi dan atau morfologi suatu organ dan atau jaringan tubuh.
Lingkungan adalah segala sesuatu yg ada disekitarnya berupa
benda hidup, mati, nyata, abstrak, serta suasana yg terbentuk
karena terjadi interaksi antara elemen-elemen di alam tersebut.
(Achmadi, 2005).
Menurut Achamdi (2005), Penyakit Berbasis Lingkungan
adalah suatu kondisi patologis berupa kelainan fungsi atau
morfologi suatu organ tubuh yang disebabkan oleh interaksi
manusia dengan segala sesuatu disekitarnya yang memiliki potensi
penyakit. Interaksi antara lingkungan dan manusia menentukan
terjadi atau tidaknya penyakit pada suatu populasi.Indikator-
indikator kesehatan lingkungan diterapkan pada media-media
lingkungan seperti air, udara, pangan, dan vektor. Tingginya
kejadian penyakit – penyakit berbasis lingkungan disebabkan oleh
masih buruknya kondisi rumah yang belum memenuhi syarat berup
kondisi fisik, sanitasi dasar terutama air bersih, jamban, kurang
hygienisnya pengelolaan makanan, rendahnya perilaku hidup
bersih dan sehat (PHBS) masyarakat. Menurut Achmadi (2005),
penyakit berbasis lingkungan memiliki hubungan yang erat dengan
lingkungan dan kependudukan.
a. Penyakit Berbasis Lingkungan Bersumber Vektor
b. Penyakit Berbasis Lingkungan Bersumber Udara
25
c. Penyakit Berbasis Lingkungan Bersumber Air
d. Penyakit Berbasis Lingkungan Bersumber Makanan
4. Etiologi Penyakit DBD
a. Pengertian
Sampai saat ini penyakit demam berdarah dengue
(DBD) masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dan
endemis di Indonesia. Penyakit ini dapat mengakibatkan
Kejadian Luar Biasa (KLB) di beberapa daerah endemis yang
terjadi hampir setiap tahunnya pada musim penghujan.
Demam Berdarah Dengue (DBD) dalam bahasa asing disebut
Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit yang
disebabkan oleh Arbovirus (arthropod born virus) dan
ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes (Aedes albopictus
dan Aedes aegepty). Penyakit DBD merupakan infeksi virus
akut yang disebabkan oleh virus dengue.
Demam berdarah dengue (DBD) disebabkan oleh virus
dengue yang termasuk kelompok B Arthropod Borne Virus
(Arboviroses) yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus,
family Flaviviridae dan mempunyai empat jenis serotipe, yaitu
DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 (Irianto, 2014).
b. Faktor Penyebab DBD
Virus dengue memiliki empat serotype, yaitu tipe DEN- 1,
DEN- 2, DEN- 3, dan DEN- 4. Keempat serotipe tersebut
saling berkaitan sifat antigennya dan keempat tipe virus
tersebut sudah ditemukan di berbagai daerah di Indonesia.
26
Tipe virus yang banyak berkembang di masyarakat adalah
virus dengue dengan tipe 1 dan tipe 3 (Akhsin, 2011:145).
c. Epidemiologi DBD
Timbulnya suatu penyakit dapat diterangkan melalui
konsep segitiga epidemiologik, yaitu adanya agen (agent),
host dan lingkungan (environment).
1. Agen
Agen penyebab penyakit DBD berupa virus dengue
dari Genus Flavivirus (Arbovirus Grup B) salah satu Genus
Familia Togaviradae. Virus dengue mempunyai empat
serotipe yakni dengue-1, dengue-2, dengue-3 dan dengue-4.
Virus dengue termasuk dalam group B Artropod Borne
Virus (Arbovirus). Keempat serotipe ini telah ditemukan di
berbagai daerah di Indonesia. Hasil penelitian di Indonesia
menunjukkan bahwa dengue-3 sangat berkaitan dengan
kasus DBD berat dan merupakan serotipe yang paling luas
distribusinya disusul oleh dengue-2, dengue-1 dan dengue-
4 (Depkes, 2005).
2. Vektor Penular Penyakit DBD
Vektor utama penyabab penyakit Demam Berdarah
Dengue di Indonesia adalah nyamuk Aedes aegypti, Aedes
albopictus dan Aedes scutelaris. Akan tetapi dari ketiga
jenis nyamuk tersebut yang lebih berperan dalam penularan
penyakit Demam Berdarah Dengue ialah nyamuk Aedes
aegypti (Depkes RI, 2007).
Vektor DBD di Indonesia adalah nyamuk Aedes
(Stegomya) aegypti dan albopictus (Djunaedi, 2006).
Klasifikasi Nyamuk Aedes aegypti
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
27
Subphylum : Uniramia
Kelas : Insecta
Ordo : Diptera
Subordo : Nematosera
Familia : Culicidae
Sub famili : Culicenae
Tribus : Culicini
Genus : Aedes
Spesies : Aeges aegypti
1) Morfologi
Masa pertumbuhan dan perkembangan nyamuk Aedes
aegypti mengalami metamorfosis sempurna sehingga dapat dibagi
menjadi 4 tahap yaitu telur, larva, pupa dan nyamuk dewasa.
a) Telur
Telur nyamuk Aedes aegypti berbentuk elips berwarna
hitam, ukuran telur kurang lebih 0,5 mm, dan terpisah satu
dengan yang lain. Telur nyamuk aedes sekali bertelur 100
sampai 300 butir, diletakkan satu persatu, telur tidak
mempunyai alat pelampung, diletakkan pada benda-benda yang
terapung di air atau pada dinding bejana permukaan air. Telur
menetas dalam 1 sampai 2 hari menjadi larva.
Gambar II.1 Telur Aides aegypti
b) Larva
Larva yang berbentuk siphon besar dan pendek yang terdapat
pada abdomen terakhir bentuk comb seperti sisir.
28
Larva yang baru menetas masih halus panjang kira-kira 1,5
mm dan belum dapat diidentifikasi. Selama pertumbuhannya
larva mengalami pelepasan kulit sebanyak empat kali.
Tingkatan-tingkatan setelah pelepasan kulit dinamakan instar.
Dalam pertumbuhannya dikenal empat instar larva sehingga
dikenal larva instar pertama, kedua, ketiga dan keempat.
Perkembangan dari instar satu kurang lebih satu hari dengan
berukuran paling kecil, yaitu 1-2 mm, instar kedua kurang lebih
satu sampai dua hari dengan berukuran 2,5 - 3,8 mm, instar
ketiga kurang lebih dua hari dengan berukuran lebih besar
sedikit dari larva instar dua dan instar keempat kurang lebih dua
sampai tiga hari dengan berukuran paling besar 10 mm. Larva
bernafas melalui dua lubang yang disebut spriracle, waktu yang
diperlukan untuk pertumbuhan larva antara 8-14 hari
tergantung suhu air, keadaan makanan larva
Gambar II.2 Larva Aedes aegypti
Sumber : medent.usyd.edu.au & fmel.ifas.ufl.edu
c) Pupa
Pupa tingkatan tidak makan, sebagai tingkatan untuk
perubahan baik morfologis maupun fisiologis dari larva untuk
nyamuk dewasa. Pupa berbentuk koma terdiri dari bagian bulat
dan ekor. Bagian bulat adalah gabungan antara kepala dan
dada, sedang ekor adalah abdomen. Pupa tetap bergerak dan
mampu bergerak cepat bila terganggu. Pernapasan melalui
29
sepasang trompet yang berbentuk dari bagian dada, disebut
trompet pernapasan dan berakhir dengan lubang pada
permukaan air, menetas dalam 1-2 hari menjadi nyamuk dan
pada umumnya nyamuk jantan menetas terlebih dahulu dari
pada nyamuk betina
Gambar II.3 Pupa Aedes aegypti
Sumber: fmel.ifas.ufl.edu & medent.usyd.edu.au
d) Nyamuk Dewasa
Setelah alat-alat tubuh nyamuk dewasa lengkap, keluarlah
nyamuk dewasa dan meninggalkan kulit pupa. Yang keluar
pertama kali adalah bagian dada, dan karena tekanan dari dalam
makin besar maka keluarlah nyamuk dari kulit pupa. Setelah
keluar, nyamuk istirahat di kulit pupa untuk sementara waktu.
Beberapa saat setelah itu sayap menjadi keras, sehingga
nyamuk mampu terbang. Pada waktu itu nyamuk meninggalkan
lingkungan air dan masuk ke lingngkungan udara dan darat.
Jumlah nyamuk jantan dan nyamuk betina yang menetas sama
banyak (1:1), dan perkawinan nyamuk biasanya terjadi pada
waktu senja, cukup hanya sekali, sebelum nyamuk betina pergi
untuk menghisap darah
30
Gambar II.4 Nyamuk Dewasa Aedes aegypti
Sumber: ilmukesmas.com
Ciri-ciri Nyamuk Aedes aegypti
Menurut Nadezul (2007), nyamuk Aedes aegypti telah
lama diketahui sebagai vektor utama dalam penyebaran
penyakit DBD, adapun cirri cirinya adalah sebagai berikut:
1. Badan kecil berwarna hitam dengan bintik-bintik putih.
Jarak terbang nyamuk sekitar 100 meter.
2. Umur nyamuk betina dapat mencapai sekitar 1 bulan.
3. Menghisap darah pada pagi hari sekitar pukul 09.00-
10.00 dan sore hari pukul 16.00-17.00
4. Nyamuk betina menghisap darah unuk pematangan sel
telur, sedangkan nyamuk jantan memakan sari-sari
tumbuhan.
5. Hidup di genangan air bersih bukan di got atau
comberan.
6. Di dalam rumah dapat hidup di bak mandi, tempayan,
vas bunga, dan tempat air minum burung.
7. Di luar rumah dapat hidup di tampungan air yang ada di
dalam drum, dan ban bekas.
3. Host (Pejamu)
Host adalah manusia yang peka terhadap infeksi virus
dengue.
31
4. Lingkungan
Lingkungan sangat berpengaruh terhadap distribusi
kasus DBD. Lingkungan dibagi menjadi 3 yakni:
- Lingkungan fisik
- Lingkungan biologi
- Lingkungan sosial
d. Cara Penularan
Penularan penyakit DBD memiliki tiga faktor yang
memegang peranan pada penularan infeksi virus, yaitu
manusia, virus dan vektor perantara (Hadinegoro et al,
2001). Lebih jelasnya Depkes RI, 2005 menjelaskan
mekanisme penularan penyakit DBD dan tempat potensial
penularannya.
- Mekanisme Penularan DBD
Virus dengue masuk ke dalam tubuh nyamuk pada saat
menggigit manusia yang sedang mengalami viremia,
kemudian virus dengue ditularkan kepada manusia melalui
gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang
infeksius. Seseorang yang di dalam darahnya mengandung
virus dengue merupakan sumber penular DBD. Virus
dengue berada dalam darah selama 4-7 hari mulai 1-2 hari
sebelum demam (masa inkubasi instrinsik). Bila penderita
DBD digigit nyamuk penular, maka virus dalam darah
akan ikut terhisap masuk ke dalam lambung nyamuk.
Selanjutnya virus akan memperbanyak diri dan tersebar di
berbagai jaringan tubuh nyamuk, termasuk di dalam
kelenjar liurnya. Kira-kira 1 minggu setelah menghisap
darah penderita, nyamuk tersebut siap untuk menularkan
kepada orang lain (masa inkubasi ekstrinsik). Virus ini
akan berada dalam tubuh nyamuk sepanjang hidupnya.
Oleh karena itu, nyamuk Aedes aegypti yang telah
32
menghisap virus dengue menjadi penular sepanjang
hidupnya. Penularan ini terjadi karena setiap kali nyamuk
menusuk (menggigit), sebelumnya menghisap darah akan
mengeluarkan air liur melalui alat tusuknya (proboscis),
agar darah yang dihisap tidak membeku, bersamaan air
liur tersebut virus dengue dipindahkan dari nyamuk ke
orang lain
- Tempat potensial bagi penularan DBD
Penularan DBD dapat terjadi di semua tempat yang
terdapat nyamuk penularnya. Oleh karena itu tempat yang
potensial untuk terjadi penularan DBD adalah:
a. Wilayah yang banyak kasus DBD (rawan/endemis).
b. Tempat-tempat umum yang menjadi tempat
berkumpulnya orang - orang yang datang dari berbagai
wilayah sehingga kemungkinan terjadinya pertukaran
beberapa tipe virus dengue yang cukup besar seperti:
sekolah, RS/Puskesmas dan sarana pelayanan kesehatan
lainnya, tempat umum lainnya (hotel, pertokoan, pasar,
restoran, tempat ibadah dan lain-lain).
c. Pemukiman baru di pinggir kota, penduduk pada
lokasi ini umumnya barasal dari berbagai wilayah
maka ada kemungkinan diantaranya terdapat
penderita yang membawa tipe virus dengue yang
berbeda dari masing-masing lokasi.
e. Bionomik
Bionomik adalah kesenangan nyamuk yang meliputi: tempat
bertelur (breeding habit), kesenangan menggigit (feeding
habit), kesenangan tempat istirahat (resting habit), jarak
terbang.
33
f.
g.
Gambar II.5 Bionomik Nyamuk Aedes aegypti
a. Kesenangan tempat perindukan nyamuk
Tempat perindukan yang disukai oleh nyamuk
berupa genangan air yang tertampung disuatu tempat atau
bejana. Nyamuk Aedes aegypti meletakkan telurnya pada
tempat penampungan air yang berwarna gelap, terbuka,
dan terletak di tempat yang terlindung sinar matahari
langsung. Nyamuk Aedes aegypti meletakkan telurnya di
dalam rumah (indoor) diantaranya dispendser, bak mandi,
bak air WC, tandon dan sebagainya.
b. Kesenangan nyamuk menggigit
Nyamuk Aedes aegypti betina bersifat antrofilik
yaitu menghisap darah manusia Kebiasaan menghisap
darah dilakukan pada pagi hari jam 08.00-12.00 dan sore
hari jam 15.00-17.00. Kebiasaan menghisap darah
dilakukan dengan berpindah-pindah antar individu. Hal ini
disebabkan karena manusia beraktivitas pada siang hari
yang menyebabkan nyamuk tidak bisa secara bebas
menghisap darah hingga merasa kenyang, kegiatan
berpindah antar indiviu inilah yang menyebabkan
penularan penyakit deam berdarah dengue mudah tersebar.
c. Kesenangan nyamuk istirahat
Nyamuk Aedes aegypti beristirahat di dalam
rumah yaitu pada benda-benda yang bergantung
misalnya gantungan pakaian dan tempat yang gelap.
Tempat
Bertelur
Tempat Hospes
(Makan) Tempat
Istirahat
34
Kegiatan nyamuk beristirahat adalah menunggu
pematangan telurnya. Setelah proses pematangan telur
selesai, selanjutnya nyamuk akan mencari tempat
perkembangbiakan telur di permukaan air untuk
meletakkan telurnya
Nyamuk Aedes aegypti sebelum dan sesudah
menggigit akan beristirahat terlebih dahulu. Sebelum
menggigit nyamuk akan beristirahat untuk dapat mengenali
mangsanya karena nyamuk ini tidak sembarangan dalam
memilih mangsanya. Sesudah menggigit nyamuk ini juga
akan beristirahat, setelah menggigit tubuhnya akan lebih
berat karena terisi banyak darah sehingga nyamuk
membutuhkan waktu beristirahat untuk memulihkan
tenaganya. Nyamuk betina membutuhkan waktu 2 – 3 hari
untuk beristirahat dan mematangkan telurnya. Tempat
istirahat yang paling disukai adalah tempat yang lembab
dan kurang terang, pada baju yang digantung, tirai atau
kelambu, sedangkan di luar rumah seperti pada tanaman
yang terlindung dari sinar matahari secara langsung
h. Masa inkubasi
Masa inkubasi selama 3 – 15 hari sejak seseorang terserang
virus dengue
i. Gejala Penyakit
1. Tanda dan gejala demam berdarah sebagai berikut:
2. Demam tinggi yang mendadak 2 – 7 hari ( 38 – 40 derajat
Celsius ).
3. Pada pemeriksaan uji tomiquet, tampak adanya jentik
(pupura) perdarah.
4. Adanya perdarahan dikelopak mata bagian dalam
(konjungtiva), mimisan (Epitaksis), buang air besar
35
dengan kotoran (Peaces) berupa lender bercampur darah
(melena) dan lain – lainnya.
5. Terjadi pembesaran hati (Hepatomegali).
6. Tekanan darah menurun sehingga menyebabkan syok.
7. Pada pemeriksaan laboratorium (darah) hari 3 – 7 terjadi
penurunan trombosit dibawah 100.000/mm3
(Trombositopeni), terjadi peningkatan nilai hematokrit
diatas 20% dari nilai normal (Hemokonsentrasi).
8. Timbulnya beberapa gejala klinik yang menyertai seperti
mual, muntah, penurunan nafsu makan (Anoreksia), sakit
perut, diare, menggigil, kejang dan sakit kepala.
9. Mengalami pendarahan pada hidung (mimisan) dan gusi.
10. Demam yang dirasakan penderita menyebabkan keluhan
pegal/sakit pada persendian.
11. Munculnya bintik – bintik merah pada kulit akibat
pecahnya pembuluh darah.
5. Faktor Risiko Kejadian DBD
1. Kebiasaan menutup TPA
Tempat penampungan air cenderung memiliki kondisi
air yang bersih karena tidak terpengaruh oleh kondisi cuaca
luar rumah. Nyamuk Aedes sp suka meletakkan telurnya pada
air bening atau bersih dan tidak suka meletakkan telurnya
bersentuhan langsung dengan tanah. Kebiasaan membuka
TPA memungkinkan nyamuk Aedes sp berkembangbiak di
dalam TPA, dimana kontainer tersebut menjadi media
berkembangbiak nyamuk Aedes agypti. Kembangbiak
nyamuk didukung ukuran tempat penampungan air yang
cukup besar dan air yang berada didalamnya cukup lama.
Kebiasan untuk menutup rapat-rapat tempat
penampungan air merupakan faktor risiko DBD. Berdasarkan
penelitian Fajrin Nur Azizah, Ema Hermawati , Dewi
36
Susanna1 (2018) menunjukan hasil bahwa ada hubungan
yang bermakna antara menutup container dengan keberadaan
jentik (p-value 0,041) dengan OR 2,0 (95% CI 1,076 –
3,718), artinya kebiasaan tidak menutup kontainer
mempunyai peluang terdapat jentik 2 kali lebih besar
dibandingkan dengan kebiasaan menutup kontainer.
Kebiasaan masyarakat terutama di pedesaaan
cenderung tidak menutup kontainer atau TPA dikarenakan
memiliki permukaan tutup yang cukup luas sehingga
masyarakat jarang menutup bak. Kembangbiak nyamuk
didukung ukuran tempat penampungan air yang cukup besar
dan air yang berada didalamnya cukup lama.
2. Pengurasan TPA
Perkembangan jentik membutuhkan asupan makanan.
Mikroorganisme yang tumbuh pada dinding tempat
penampungan air merupakan sumber makanan bagi jentik.
Kegiatan menguras juga dapat mengurangi asupan makanan
bagi jentik. Kebiasaan menguras tanpa penyikatan dan sabun
tidak menghilangkan telur-telur yang menempel di dinding
tempat penampungan air.
Masyarakat yang tidak sering menguras bak mandi
dikarenakan bak memiliki volume yang cukup besar. Ukuran
yang besar menyebabkan responden malas dan jarang
membersihkan. Pengurasan dilakukan minimal seminggu
sekali untuk mengurangi kesempatan nyamuk bertahan hidup
dalam waktu beberapa bulan.
Landasan teori tentang Pengurasan kontainer (TPA)
menunjukkan hubungan yang bermakna dengan keberadaan
jentik Aedes aegypti. Semakin TPA sering dikuras,
keberadaan jentik nyamuk semakin kecil. Teori tersebut di
dukung oleh penelitian menunjukkan bahwa responden yang
37
tidak melakukan pengurasan kontainer berpeluang terdapat
jentik pada kontainer 2,2 kali lebih besar dibanding
responden yang menguras container.
Namun, perlu diingat bahwa kebiasaan masyarakat
seringkali hanya membersihkan tempat penampungan air
yang dapat dijangkau saja padahal tindakan PSN
membersihkan tempat penampungan sisa air dispenser dan
penampungan sisa air kulkas merupakan suatu langkah yang
mudah dilaksanakan untuk menekan perkembangbiakan
nyamuk Aedes sp. Apabila pelaksanaan PSN dilaksanakan
pada kontainer tersebut dengan baik maka perbandingan
keberadaan jentik yang tadinya tinggi dalam penlitian dapat
terbalik menjadi sedikit yang terdapat jentik di rumahnya.
Keberadaan dispenser dan kulkas yang berada di dalam
rumah mengakibatkan perkembangbiakan jentik dan
penularan DBD
3. Mengubur barang-barang bekas dan memanfaaatan
kembali barang yang berpotensi untuk jadi tempat
perindukan nyamuk
Tempat perkembangbiakan nyamuk selain pada
barang bekas juga di tempat penampungan yang
memungkinkan air hujan dapat tergenang dan tidak
beralaskan tanah, seperti kaleng bekas, ban bekas, botol,
tempurung kelapa, plastik, dan lain-lain yang dibuang pada
sembarangan tempat (Depkes RI, 2010:14 ). Maka dari itu
memanfaatkan kembali barang yang ada dapat mengurangi
tempat perindukan nyamuk, agar tidak berserakan di depan
lingkungan sekitar rumah
4. Kebiasaan menggunakan bubuk abate
Penggunaan abate dengan keberadaan jentik aman bagi
kesehatan karena bubuk akan segera menempel di dinding
38
penampung air, Daya tempel mampu bertahan 2 sampai 3
bulan sehingga penggunaan abate dapat diulangi setiap 2-3
bulan sekali. Keberadaan jentik menggunakan abate
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti suhu, air.
5. Kebiasaan penggunaan obat nyamuk dan lotion anti
nyamuk
Kebiasaan menggunakan obat nyamuk dan lotion anti
nyamuk merupakan pencegahan yang dapat dilakukan untuk
mencegah gigitan nyamuk. Hal tersebut dapat diterapkan pada
saat aktivitas menggigit nyamuk, mencapai puncak saat
perubahan intensitas cahaya tetapi bisa menggigit sepanjang
hari dan tertinggi sebelum matahari terbenam yaitu pada pukul
08.00-12.00 an 15.00-17.00. Pada jam tersebut merupakan
waktu berakrifitas bagi masyarakat baik di dalam maupun di
luar rumah. Apabila digigit nyamuk maka penularan virus
dengue oleh nyamuk Aedes sp. dapat terjadi hal ini berbahaya
bagi orang dewasa terutama anak-anak yang rentan terhadap
virus dengue.
6. Kebiasaan menggantung pakaian
Kebiasaan menggantung pakaian merupakan faktor
determinan dalam penerapan PSN. Kebiasaan menggantung
pakaian di dalam rumah merupakan indikator tempat
beristirahat nyamuk Aedes aegypti. Menurut Suroso dan Umar
nyamuk lebih menyukai benda-benda yang tergantung di
dalam rumah seperti gorden, kelambu dan baju/pakaian. Maka
dari itu pakaian yang tergantung di balik pintu sebaiknya
dilipat dan disimpan dalam almari, karena nyamuk Aedes
aegypti senang hinggap dan beristirahat di tempat-tempat gelap
dan kain yang tergantung untuk berkembangbiak, sehingga
nyamuk berpotensi untuk bisa mengigit manusia. (Yatim 2007)
39
Faktor Risiko Lain Kejadian DBD
1. Faktor Demografi
a. Umur
Umur dapat mempengaruhi suatu perilaku dan tindakan
seseorang dalam melakukan suatu aktivitas atau kegiatan. Hasil
penelitian Monintja tahun 2015 diperoleh bahwa umur < 46
tahun sebanyak 34 responden (53,1%) memiliki tindakan PSN
yang kurang, sedangkan umur > 46 tahun sebanyak 47
responden (70,1%) memiliki tindakan PSN yang baik. Pada
penelitian Umaya dkk bahwa Adanya hubungan antara
golongan umur terhadap kejadian DBD pada responden ini
dikarenakan kebiasaan tidur siang pada golongan umur muda
terutama pada anak-anak, selain itu kepekaan anak-anak
terhadap gigitan nyamuk juga masih kurang karena ketika
bermain anak-anak cenderung bergerak aktif sehingga gigitan
nyamuk sering terabaikan, kemudian suhu tubuh
tinggi/panas/demam pada anak baru akan diketahui apabila anak
tersebut berinteraksi dengan orang tuanya, sehingga sering kali
demam pada anak tidak dapat di deteksi secara dini (Umaya,
Faisya, & Sunarsih, 2013).
Dengan demikian, umur memiliki pengaruh terhadap
kejadian DBD , apabila responden memiliki umur yang
termasuk dalam kategori umur muda maka risiko terkena DBD
besar, dan sebaliknya apabila responden memiliki umur yang
termasuk dalam kategori umur tua maka risiko terkena DBD
kecil (Umaya, Faisya, & Sunarsih, 2013).
b. Jenis kelamin
Jenis kelamin merupakan salah satu faktor manusia yang
dapat berpengaruh terhadap kejadian DBD. Tetapi hasil
penelitian Nisa, Notoatmojo & Rohmani (2013) didapatkan
penderita DBD pada jenis kelamin perempuan 45 orang (52,3%)
40
dan pada laki-laki 41 orang (47,7%). Secara keseluruhan
perbedaan proporsi antara jenis kelamin laki-laki dan
perempuan tidak terlampau jauh. (Rimaruliani marali, 2018)
7. Faktor Lingkungan Fisik
a. Keberadaan container
Kepadatan nyamuk merupakan faktor risiko
terjadinya penularan DBD. Semakin tinggi kepadatan
nyamuk Aedes aegypti, semakin tinggi pula risiko
masyarakat untuk tertular penyakit DBD. Hal ini berarti
apabila di suatu daerah yang kepadatan Aedes aegypti tinggi
terdapat seorang penderita DBD, maka masyarakat sekitar
penderita tersebut berisiko untuk tertular. Kepadatan
nyamuk dipengaruhi oleh adanya kontainer baik itu berupa
bak mandi, tempayan, vas bunga, kaleng bekas yang
digunakan sebagai tempat perindukan nyamuk. Agar
kontainer tidak menjadi tempat perindukan nyamuk maka
harus di kuras satu minggu satu kali secara teratur dan
mengubur barang bekas.
Namun , ada penelitian yang menunjukan bahwa
jumlah container tidak berpengaruh untuk keberadaan
jentik. Hal ini disebabkan, walaupun jumlah yang banyak
namun kondisi kontainer baik seperti terdapat kondisi air,
ada penutup, bahan kontainer, pengelolaan yang tepat dan
diberikan larvasida kimiawi atau biologi maka jentik tidak
muncul. Sebagian besar kontainer berbahan plastik. Bahan
kontainer dari keramik dan plastik memiliki angka positif
jentik Aedes sp yang rendah karena bahan ini tidak mudah
berlumut, mempunyai permukaan yang halus dan licin serta
tidak berpori sehingga lebih mudah untuk dibersihkan
41
dibandingkan bahan dari semen dan tanah. (Fajrin Nur
Azizah, Ema Hermawati , Dewi Susanna 2018)
b. Jarak rumah
Nyamuk Aedes aegypti merupakan nyamuk yang jarak
terbangnya pendek (100 meter). Oleh karena itu nyamuk
tersebut bersifat domestik. Apabila rumah penduduk saling
berdekatan maka nyamuk dapat dengan mudah berpindah
dari satu rumah ke rumah lainnya. Apabila penghuni salah
satu rumah ada yang terkena DBD, maka virus tersebut
dapat ditularkan kepada tetangganya.
c. Pengaruh Iklim
Pengaruh Iklim terhadap nyamuk lebih banyak
berpengaruh pada nyamuk dewasa dari pada terhadap
stadium pradewasa, oleh karena pemilahan tempat bertelur
sebagai tempat nyamuk sebelum dewasa ditentukan oleh
nyamuk betina. Iklim adalah salah satu komponen pokok
lingkungan fisik yang terdiri dari : suhu, kelembaban, curah
hujan, cahaya, dan angin.
a) Pengaruh suhu udara
Suhu rata-rata optimum perkembangan nyamuk
adalah 250C-270C, nyamuk dapat bertahan pada suhu
rendah tetapi metabolismnya menurun. Pertumbuhan
nyamuk akan terhenti pada suhu kurang 100C atau lebih
dari 400C.
b) Pengaruh kelembaban nisbi udara
Kelembaban nisbi udara adalah banyaknya
kandungan uap air dalam udara yang dinyatakan dalam
persen (%). Kalau dalam udara ada kekurangan uap air
yang besar, maka udara ini mempunyai daya penguapan
42
yang besar. Nyamuk bernafas dengan menggunakan
trachea dengan lubang-lubang dinding tubuh yang disebut
spiracle. Kelambaban yang tinggi menyebabkan nyamuk
cepat payah, kurang kuat dan pada waktu kering
menyebabkan kematian. Spiracle yang terbuka lebar tanpa
ada mekanisme pengaturan membatasi penyebaran atau
jarak terbangnya. Pada kelembaban kurang dari 60% umur
nyamuk akan menjadi pendek sehingga tidak cukup untuk
siklus pertumbuhan parasit didalam tubuhnya
c) Pengaruh curah hujan
Hujan dapat mempengaruhi kehidupan nyamuk
dengan dua cara, yaitu menyebabkan naiknya kelembaban
udara dan menambah tempat perindukan. Setiap 1 mm
curah hujan menambah kepadatan nyamuk satu ekor, akan
tetapi curah hujan dalam seminggu sebesar 140 mm, maka
akan hanyut dan mati.
d) Pengaruh angin
Secara langsung pengaruh angin sangat
mempengaruhi penerbangan nyamuk. Bila kecepatan
angin 11-14 meter per detik atau 25-31 mil per jam akan
menghambat penerbangan nyamuk. Secara tidak langsung
angin akan mempengaruhi penguapan (evaporasi) air dan
suhu udara (konveksi). Dalam keadaan tenang mungkin
suhu tubuh nyamuk ada beberapa fraksi satu derajat lebih
tinggi dari suhu lingkungan bila ada angin evaporasi baik
dan juga konveksi baik maka suhu tubuh nyamuk akan
turun beberapa frakdi satu derajat lebih rendah dari suhu
lingkungan.
8. Faktor lingkungan biologis
- Pengaruh tumbuhan
43
Tumbuh-tumbuhan sangat mempengaruhi kehidupan
nyamuk antara lain sebagai tempat meletakkan telur, tempat
berlindung dan tempat mencari makan jentik nyamuk serta
tempat berlindung dan tempat hinggap istirahat nyamuk
dewasa selama menunggu siklus gonotropik dan selain itu
adanya suatu jenis tumbuhan atau berbagai jenis tumbuhan
atau berbagai jenis tumbuhan pada suatu tempat dapat pula
dipakai sebagai indikator
a) Tempat meletakkan telur
Nyamuk meletakkan telurnya di tempat-tempat
terbuka dan terkena sinar matahari langsung. Nyamuk
aedes aegypti meletakkan telur-telurnya pada tumbuh-
tumbuhan yang terapung atau yang menjulang di
permukaan
b) Tempat berlindung dan tempat mencari makan jentik
Penyebaran jentik nyamuk biasanya di sekitar
tumbuh-tumbuhan yang ada di air. Ditempat tersebut
jentik akan terlindung dari musuh-musuhnya di air.
Tumbuhan dan binatang kecil sebagai makanan jentik
biasanya juga banyak terdapat di sekitar tumbuhan air.
c) Tempat hinggap istirahat nyamuk
Pada siang hari nyamuk akan mencari tempat
untuk beristirahat dan berlindung dari panas matahari.
Tempat-tempat yang demikian lebih banyak ditemukan
di bawah tumbuhan dari pada di dalam rumah.
d) Sebagai indikator
Adanya jenis-jenis tumbuhan tertentu pada
suatu tempat bisa juga dipakai sebagai indikator untuk
memperkirakan keadaan tempat atau adanya jenis-jenis
nyamuk tertentu di tempat tersebut, yakni pohon bakau-
bakau berarti daerah pasang surut, air payau, pohon
44
besar yang rindang dibawahnya ada pohon kecil dan
semak-semak bisa berarti tempat istirahat nyamuk,
ohon pisang atau pohon tales subur diperkirakan air
tanah dangkal hujan sedikit bisa menambah genangan
air untuk berkembangbiak nyamuk.
- Pengaruh binatang
Adanya binatang sebagai predator alami bagi Aedes
aegypti yang mempengaruhi kehidupannya. Binatang tersebut
memangsa nyamuk antara lain : serangga (capung, lalat
predator dll), laba-laba, mites, cecak, burung, kelelawar.
Sedangkan predator jentik antara lain : coelenterate, larva
Dytisscidae dan Hydropolidae, serta golongan vetebrata
(kepala timah, beunter, cecereh, gendol jantan, gendol betina,
julung-julung, cupang dan sepat)
9. Faktor Perilaku
- Pengetahuan
Hasil penelitian Wati, Astuti, & Sari (2016)
menunjukan antara pengetahuan orang tua tentang upaya
pencegahan dengan kejadian DBD pada anak yaitu sebagian
besar anak positif DBD dengan persentase pengetahuan
kurang sebanyak 18 responden (79,5%). Hal ini menunjukkan
bahwa masih banyak orang tua yang tidak mengetahui
bahaya penyakit DBD dan kaitannya dengan pentingnya
melaksanakan pencegahan terhadap kejadian DBD melalui
usaha-usaha PSN ataupun dengan cara 3M Plus.
- Sikap
Hasil penelitian Paendong, Nursalam, & Makausi
(2015) menunjukkan bahwa sebagian besar responden
memiliki sikap positif pada pencegahan penyakit demam
berdarah. Semakin positif sikap terhadap pencegahan
45
penyakit DBD, maka semakin baik pula tindakan pencegahan
penyakit
- Tindakan
Dalam penelitian Aryati dkk (2014) menunjukan
bahwa hasil tentang tindakan pemberantasan nyamuk demam
berdarah, sebagian besar responden menyatakan telah
melakukan 3M dan sejumlah responden menyatakan dengan
menjaga kebersihan lingkungan, gotong royong, melakukan
tindakan dengan mengubur ke dalam tanah, ada juga yang
menyatakan dibakar dan dijual ke pemulung. Akan tetapi
ketika diamati secara langsung tindakan yang dilakukan
sehari-hari tidak seusai dengan apa yang dikatakan. Hasil
penelitian tindakan yang kurang baik itu menyebabkan
adanya kejadian DBD.
10. ABJ
Kepadatan nyamuk merupakan faktor risiko terjadinya
penularan DBD. Semakin tinggi kepadatan nyamuk Aedes
aegypti, semakin tinggi pula risiko masyarakat untuk tertular
penyakit DBD. Hal ini berarti apabila di suatu daerah yang
kepadatan Aedes aegypti tinggi terdapat seorang penderita
DBD, maka masyarakat sekitar penderita tersebut berisiko
untuk tertular. Kepadatan nyamuk dipengaruhi oleh adanya
kontainer baik itu berupa bak mandi, tempayan, vas bunga,
kaleng bekas yang digunakan sebagai tempat perindukan
nyamuk. Agar kontainer tidak menjadi tempat perindukan
nyamuk maka harus di kuras satu minggu satu kali secara
teratur dan mengubur barang bekas.
11. Kepadatan penduduk
Nyamuk Aedes aegypti merupakan nyamuk yang jarak
terbangnya pendek (100 meter). Oleh karena itu nyamuk
46
tersebut bersifat domestik. Apabila rumah penduduk saling
berdekatan maka nyamuk dapat dengan mudah berpindah dari
satu rumah ke rumah lainnya. Apabila penghuni salah satu
rumah ada yang terkena DBD, maka virus tersebut dapat
ditularkan kepada tetangganya.
Nyamuk Aedes aegypti merupakan nyamuk yang sangat
aktif mencari makan, nyamuk tersebut dapat menggigit banyak
orang dalam waktu yang pendek. Oleh karena itu bila dalam satu
rumah ada penghuni yang menderita DBD maka penghuni lain
mempunyai risiko untuk tertular penyakit DBD.
47
Kerangka Teori
Faktor Perilaku Masyarakat
Upaya Pemberantasan Sarang
Nyamuk - Kebiasaan menguras bak mandi
- Kebiasaan menutup
penampungan air
- Pemanfaaatan kembali barang
yang berpotensi untuk jadi
tempat perindukan nyamuk
- Kebiasaan menggunakan bubuk
abate
- Kebiasaan penggunaan obat dan
lotion anti nyamuk
- Kebiasaan menggantung pakaian
-
Kejadian DBD
Faktor Lingkungan
- Fisik
1. Jarak rumah, tata letak
2. Ketinggian tempat
3. Iklim (suhu,
kelembaban, curah
hujan, pengaruh angin,
curah hujan
- Biologi
1. Pengaruh tumbuhan
2. Pengaruh hewan
YANKES
(Preventif,
Kuratif, Promotif,
Rehabilitatif)
- Faktor Demografi
1. Umur
2. Jenis kelamin
3. Pekerjaan
Faktor Lain
1. Mobilitas
2. Kepadatan
penduduk
ABJ
48
Kerangka Konsep
➢ Upaya PSN
1. Kebiasaan menutup TPA
2. Kebiasaan menguras bak mandi
3. Mengubur barang bekas seta
pemanfaaatan kembali barang yang
berpotensi untuk jadi tempat
perindukan nyamuk
4. Kebiasaan menggunakan bubuk
abate
5. Kebiasaan penggunaan obat anti
nyamuk
6. Kebiasaan menggantung pakaian
Faktor Lain
➢ Faktor Lingkungan Fisik
Jarak rumah, tata letak,
ketinggian tempat, iklim
(suhu, kelembaban, curah
hujan, pengaruh angin, curah
hujan
➢ Faktor Demografi
Umur ,Jenis kelamin,
Pekerjaan
➢ ABJ
➢ Kepadatan penduduk
Kejadian
Penyakit
DBD
49
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
penelitian analitik observasional, penelitian untuk menganalisis
hubungan sebab akibat antara pemberantasan sarang nyamuk
dengan kejadian DBD. Penelitian ex post facto bertujuan untuk
melacak kembali apa yang menjadi faktor penyebab terjadinya
Penyakit DBD. (Malik S, 2011)
2. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan cross sectional, salah satu bentuk
dari studi observasional (non ekspreimental) untuk menentukan
hubungan antara PSN dengan DBD. Menurut Hasmi (2016),
studi ini dilakukan tanpa mengikuti perjalanan penyakit, tetapi
hanya dilakukan dilakukan pada suatu periode tertentu dan
setiap subyek studi hanya dilakukan satu kali pengamatan
selama penelitian. Kedua variabel dikumpulkan yaitu variabel
independen (faktor resiko) dengan variabel dependen (efek)
dimana adanya suatu observasi atau pengumpulan data sekaligus
pada sekelompok masyarakat wilayah kerja puskesmas
Manghuarjo untuk menentukan apakah pemberantasan sarang
nyamuk berkaitan dengan DBD. (Notoatmodjo, 2005)
Populasi
Sampel
Sakit DBD
(+)
Tidak Sakit (-)
PSN (-)
PSN (+)
PSN (-)
PSN(+)
50
Alur Penelitian
Hasil
Kesimpulan
n
Mengolah data dengan
program SPSS
Analisis
SPSS
Melakukan penilaian dari
lembar observasi tersebut
Ke Puskesmas Manguharjo
Kota Madiun
Mendapatkan Data Penyakit
DBD Manguharjo
Penentuan Lokasi Penyakit
DBD tertinggi di wilayah
kerja Puskesmas Manguharjo
Melakukan observasi mengenai
tindakan PSN masyarakat
observasi.
Observasi/survey ke Desa
penderita DBD
Menentukan lokasi penelitian
Studi Pendahuluan
mendapatkan data sekunder
51
B. Lokasi , Waktu Penelitian dan Biaya
1. Lokasi
Lokasi penelitian ini dilakukan di Kecamatan Manguharjo,
alasan pemilihan lokasi penelitian di Kecamatan
Manguharjo Kota Madiun karena pada data di Dinas
Kesehatan Kota Madiun, kecamatan Manguharjo merupakan
wilayah endemis DBD. Selain itu, wilayah ini belum pernah
dilakukan penelitian tentang pemberantasan sarang nyamuk
terhadap kejadian penyakit DBD.
2. Waktu Penelitian
Waktu penelitian dilakukan pada bulan Februari– Maret 2019.
Matriks penelitian (Terlampir)
3. Biaya
Biaya selama penelitan dilaksanakan sebesar Rp. 760. 000,00.
Rencana anggaran biaya (Terlampir)
C. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi Penelitian
Populasi penelitian adalah keseluruhan objek penelitian atau
objek yang diteliti. Populasi penelitian ini adalah seluruh
penduduk kecamatan Manguharjo Kota Madiun sebanyak
12.266 penduduk.
2. Sampel penelitian
Sampel merupakan sebagian yang diambil dari keseluruhan obyek
yang diteliti dan dapat mewakili dari seluruh populasi tersebut
(Notoatmodjo, 2005).
a. Besar sampel
Pada penelitian survey ini menggunakan rumus dari Lemeshow.
n =
Keterangan :
52
n = besar sampel
N = besar populasi Z21-α/2= Statistik Z (Z = 1,96 dengan α
0,05)
P = Perkiraan Proporsi (Prevalensi) variabel dependent pada
populasi (0,5)
d = Data Presisi Absolut atau Margin of Error yang diinginkan
diketahui sisi proporsi (10%)
Dengan pengambilan derajat kemaknaan 95% dan proporsi 10%
maka besar sampel pada penelitian ini adalah :
n =
=
=
=
=
=
= 95,2 = 95 sampel
b. Teknik Pengambilan Sampel
Penelitian ini menerapkan pengambilan sampel berupa fixed
disease sampling yaitu
1. Keseluruhan penderita yang positif DBD di wilayah kerja
Puskesmas Manguharjo Kota Madiun yang telah
ditentukan oleh pemeriksaan lab dan ditetapkan oleh
53
petugas puskesmas wilayah kerja Manguharjo selama 3
bulan terakhir .
2. Non penderita yang memiliki rumah berjarak 100 m dari
rumah penderita DBD , yang memiliki karakter sosial
ekonomi yang sama dan bersedia menjadi responden.
D. Variabel dan Definisi Operasional
1. Variabel bebas adalah pemberantasan sarang nyamuk yang
meliputi kebiasaan menutup TPA, mengubur barang bekas
serta pemanfaatan barang-barang bekas, menguras bak mandi,
kebiasaan menanggunakan bubuk abate, pemakaian obat
nyamuk dan lotion anti nyamuk, kebiasaan menggantung
pakaian.
2. Variabel terikat dari penelitian ini adalah kejadian Penyakit
DBD.
Tabel III.1 Definisi Operasional
No Variabel Definisi Operasional Cara ukur Kategori Skala
1.
Pemberantasan
Sarang
Nyamuk
Kegiatan yang dilakukan
oleh masyarakat dalam
membasmi jentik
nyamuk yang berupa
kegiatan menutup TPA,
mengubur barang –
barang bekas serta
memanfaatkan kembali
barang yang sudah tidak
dipakai, menguras bak
mandi, kebiasaan
menggunakan bubuk
abate, pemakaian obat
nyamuk dan anti lotion,
serta kebiasaan
menggantung pakaian di
Wilayah Kerja
Puskesmas Manguharjo
Kota Madiun Tahun
2019 di dapat dari hasil
observasi dengan alat
lembar observasi.
Observasi
2.Baik
Jika memenuhi
kriteria:
Sudah
menerapkan
gerakan 3M
(kegiatan
menutup TPA,
mengubur barang
– barang bekas
serta
memanfaatkan
kembali barang
yang sudah tidak
dipakai, menguras
bak mandi)
1.Buruk
Apabila tidak
menerapkan 3M
(Profil Kesehatan
Indonesia)
Nominal
54
2.
Kebiasaan
menutup TPA,
Aktivitas responden atau
kebiasaan sehari-hari
yang dilakukan
responden dalam
kegiatan menutup tempat
penampungan air.
Observasi 1. Terbuka
2. Tertutup
Nominal
3. Mengubur
barang bekas
serta
pemanfaatan
barang-barang
bekas
Aktivitas responden atau
kebiasaan sehari-hari
yang dilakukan
responden dalam
kegiatan mengubur
barang – barang bekas
yang berpotensi menjadi
tempat
perkembangbiakan
nyamuk Aedes aegypti
contoh barang barang
bekas yang berpotensi
menampung air
mengakibatkan
perkembangbiakan
nymuk Aedes aegypti
sepertii kaleng bekas,
ban bekas, botol,
tempurung kelapa,
plastik yang dibuang
pada sembarangan luar
rumah.
pemanfaatan kembali
barang-barang tersebut
yang sudah tidak terpakai
Observasi 1. Terdapat
barang bekas
yang dapat
menampung
air di sekitar
lingkungan
rumah dan
tidak
memanfaatkan
barang-barang
bekas tersebut
dengan baik
2. Bersih, tidak
ada barang
bekas yang
berada di
sekitar
lingkungan
rumah, serta
memanfaatkan
barang-barang
bekas tersebut
dengan baik.
Nominal
4. Menguras bak
mandi
Aktivitas responden atau
kebiasaan sehari-hari
yang dilakukan
responden dalam
kegiatan menguras bak
mandi atau penampungan
air, seperti bak
mandi/wc, drum
dilakukan dengan cara
disikat pada dinding-
dindingnya
menggunakan sabun,
selama minimal 1 kali
dalam seminggu atau 2 x
Observasi
Perhitungan
frekuensi
menguras bak
mandi
1. Tidak dikuras
selama
minimal 1 x
dalam
semingggu
2. Menguras bak
mandi minimal
1 x seminggu
Nominal
55
E. Sumber Data dan Jenis Data
1. Jenis Data
Jenis data yang digunakan terdiri dari data sekunder dan data
primer, sebagai berikut :
a. Data Primer
dalam seminggu.
5. Kebiasaan
meggunakan
bubuk abate
Aktivitas responden atau
kebiasaan sehari-hari
yang dilakukan
responden dalam
menggunakan bubuk
abate yang dilakukan 2
atau 3 bulan sekali
dengan cara meletakkan
bubu abate ke dalam
plastik klip yang diberi
lubang-lubang kecil.
Observasi 1. Tidak
memakai
bubuk abate
2. Memakai
bubuk abate
Nominal
6. Pemakaian
obat nyamuk
dan lotion anti
nyamuk
Aktivitas responden atau
kebiasaan sehari-hari
yang dilakukan
responden dalam
kegiatan memakai obat
nyamuk dan lotion anti
nyamuk saat waktu
nyamuk feeding pada
saat jam 09.00-10.00
atau saat sore hari pukul
16.00-17.00
Observasi
1. Tidak
memakai obat
nyamuk dan
lotion anti
nyamuk
2. Memakai obat
nyamuk dan
lotion anti
nyamuk
Nominal
7. Kebiasaan
menggantung
pakaian
Aktivitas responden atau
kebiasaan sehari-hari
yang dilakukan
responden dalam
kegiatan menggantung
pakaian yang berwarna
gelap.
Observasi 1. Banyak
pakaian yag
tergantung
2. Tidak terdapat
pakaian yang
menggantung
Nominal
8. Kejadian
Demam
Berdarah
Dengue
Penderita Demam
Berdarah Dengue di
wilayah kerja Puskesmas
Manguharjo berdasarkan
data Dinas Kesehatan
Kota Madiun
Data Sekunder
dari Dinas
Kesehatan
Madiun
- Sakit
- Tidak sakit
Nominal
56
Data primer dikumpulkan dengan observasi terhadap
tindakan pemberantasan sarang nyamuk yang meliputi
kebiasaan menutup TPA, mengubur barang bekas serta
pemanfaatan barang-barang bekas, menguras bak
mandi, kebiasaan menggunakan bubuk abate,
pemakaian obat nyamuk dan lotion anti nyamuk, dan
kebiasaan menggantung pakaian terhadap penderita
DBD.
b. Data Sekunder
Data sekunder didapatkan dari laporan tahunan tentang
DBD dari tahun ketahun dari data Profil Keshatan
Indonesia.
Data dari klinik sanitasi tentang jumlah kunjungan DBD di
Puskesmas selain itu data tentang angka kematian DBD,
jumlah penderita DBD, data penyebaran DBD yaitu dari
Profil Kesehatan Kota Madiun yang di peroleh dari Dinas
Kesehatan Kota Madiun. Serta data kependudukan
Manguharjo.
F. Teknik Pengumpulan Data
Observasi dilakukan untuk mengetahui tindakan pemberantasan
sarang nyamuk yang dinilai dengan mengisi lembar observasi.
G. Metode Pengolahan, danAnalisis Data
1. Pengolahan data
Data yang telah terkumpul selanjutnya akan diolah dengan
(editing, coding, entry, tabulating data, cara penilaian).
a. Entry data
Entry data adalah memasukkan data pada program komputer
untuk dilakukan analisis lanjut yaitu dengan menggunakan
program SPSS 17
b. Tabulating
57
Tabulating adalah memasukkan data ke dalam tabel agar
mudah untuk dibaca dan mudah untuk ditarik kesimpulan
serta mengelompokkan data berdasarkan variabelnya.
2. Analisis data
a. Analisis Deskriptif Univariat
Menganalisa antara variable bebas dengan variable terikat
untuk mengetahui hubungan masing-masing variabel, yaitu:
1) Menganalisa penderita DBD.
2) Menganalisa tindakan pemberantasan sarang nyamuk
3) Menganalisa hubungan tindakan pemberantasan sarang
nyamuk dengan kejadian DBD dengan menggunakan
table kontigensi 2x2.
Analisis tabel menggunakan tabulasi silang
Tabel III.2Analisis Univariat
Tindakan Pemberantasan Sarang
Nyamuk
Kejadian DBD Jumlah
Sakit Tidak sakit
Faktor
Risiko
Buruk A B a+b
Baik C D c+d
Jumlah a+c b+d a+b+c+d
Keterangan:
a = Kasus yang mengalami paparan
b = Kontrol yang mengalami paparan
c = Kasus yang tidak mengalami paparan
d = kontrol yang tidak mengalami paparan
Analisis dilakukan dengan tabel silang 2 x 2 untuk
menghitung nilai Rasio Prevalansi dan nilai confidence interval
(CI). Uji statistik yang digunakan adalah chi square dengan
menggunakan tingkat kepercayaan 95% (α = 5%). Faktor resiko
kejadian DBD yang berhubungan dengan PSN dianalisis dengan
Rasio pravelansi.
Dimana :
58
RP = :
Ket: = Proporsi (Prevalensi) subyek yang mempunyai faktor
risiko yang mengalami efek
= Proporsi (Prevalensi) subyek tanpa faktor risiko yang
mengalami efek
CI =Var [In (RP)]
=
Interpretasi hasil analisis data :
- Apabila nilai rasio prevalens = 1 berarti variabel yang diduga
merupakan faktor resiko tidak ada pengaruhnya untuk terjadinya
DBD, dengan kata lain bersifat netral.
- Apabila nilai rasio perevalens > 1, berarti variabel tersebut
merupakan faktor resiko untuk timbulnya penyakit DBD
- Apabila nilai rasio prevalens < 1, berarti faktor yang diteliti
tersebut justru mengurangi kejadian penyakit DBD, dengan
perkataan lain variabel yang diteliti tersebut merupakan faktor
protektif.
b. Analisis Uji Statistikn Bivariat
Analisis bivariate untuk menganalisis data dua variabel
penelitian. Penelitian terhadap dua variabel biasanya mempunyai
tujuan untuk mendiskripsikan distribusi data, meguji perbedaan dan
mengukur hubungan antara dua variabel yang diteliti. Disisi lain
menguji hasil analisis menggunakan statistik non parametrik karena
variabel yang diteliti menggunakan lebih dari dua kelompok
In (RP) ± Z1 – [In (RP)]
59
sampel, termasuk tipe analisis bivariat, statistiknya independent
dan data berskala nominal sehingga uji yang digunakan adalah Uji
Chi-Square.
Rumus
Keterangan :
n : Total sampel
abcd : Frekuensi dalam sel-sel
Kesimpulan penelitian :
Dasar pengambilan keputusan penerimaan hipotesis berdasarkan
tingkat signifikan nilai α = 0,05 dengan CI sebesar 95% :
a. Hipotesis penelitian (H1) diterima, jika nilai p< α (0,05), berarti
terdapat hubungan antara kebiasaan menutup TPA dengan kejadian
DBD.
b. Hipotesis penelitian (H1) diterima, jika nilai p< α (0,05), berarti
terdapat hubungan antara mengubur barang bekas serta pemanfaatan
barang-barang bekas dengan kejadian DBD.
c. Hipotesis penelitian (H1) diterima, jika nilai p< α (0,05), berarti
terdapat hubungan antara menguras TPA dengan kejadian DBD.
d. Hipotesis penelitian (H1) diterima, jika nilai p< α (0,05), berarti
terdapat hubungan antara kebiasaan menggunakan bubuk abate
dengan kejadian DBD.
e. Hipotesis penelitian (H1) diterima, jika nilai p< α (0,05), berarti
terdapat hubungan antara pemakaian obat nyamuk dan lotion dan
anti nyamuk dengan kejadian DBD.
f. Hipotesis penelitian (H1) diterima, jika nilai p< α (0,05), berarti
terdapat hubungan antara kebiasaan menggantung pakaian dengan
kejadian DBD
X2 =
60
g. Hipotesis penelitian (H1) ditolak jika nilai p> α (0,05), berarti tidak
terdapat hubungan antara kebiasaan menutup TPA dengan kejadian
DBD.
h. Hipotesis penelitian (H1) ditolak jika nilai p> α (0,05), berarti tidak
terdapat hubungan antara mengubur barang bekas serta pemanfaatan
barang-barang bekas dengan kejadian DBD
i. Hipotesis penelitian (H1) ditolak jika nilai p> α (0,05), berarti tidak
terdapat hubungan antara menguras TPA dengan kejadian DBD
j. Hipotesis penelitian (H1) ditolak jika nilai p> α (0,05), berarti tidak
terdapat hubungan antara kebiasaan menggunakan bubuk abate
dengan kejadian DBD
k. Hipotesis penelitian (H1) ditolak jika nilai p> α (0,05), berarti tidak
terdapat hubungan antara pemakaian obat dan lotion anti nyamuk
dengan kejadian DBD
l. Hipotesis penelitian (H1) ditolak jika nilai p> α (0,05), berarti tidak
terdapat hubungan antara kebiasaan menggantung pakaian dengan
kejadian DBD
m. Uji mengetahui kekuatan hubungan adalah uji C atau Koefisien
kontigensi merupakan uji lanjutan dari Chi-square dengan rumus
sebagai berikut :
C =
Keterangan :
C :Koefisien kontigensi
61
X2 : Hasil hitungan Chi-Square
N : Jumlahsampel
n. Uji kekuatan hubungan interval koefisien dengan rumus sebagai
berikut :
Tabel III.3
Uji kekuatan Hubungan
Interval Koefisien Tingkat Hubungan
0,00 – 0,199 Hubungan sangat rendah
0,20 – 0,399 Hubungan rendah
0,40 – 0,599 Hubungan sedang
0,40 – 0,799 Hubungan kuat
0,80 – 1,00 Hubungan sangat kuat
Sumber :Sugiyono, 2010
62
BAB IV
HASIL DAN ANALISIS PENELITIAN
A. Gambaran Umum Lokasi
1. Keadaan Geografis
Puskesmas Manguharjo merupakan Puskesmas yang berada di Jl.
Gajahmada No. 124, Manguharjo, Kecamatan Manguharjo, Kota Madiun.
Secara geografis terletak pada dataran rendah dengan suhu udara rata-rata
yaitu 26 - 28 oC.
Puskesmas Manguharjo terletak di sebelah barat Kota Madiun, terdapat
sungai madiun yang membujur di hulu paling selatan di wilayah Kelurahan
Nambangan Kidul dan hilir utara di wilayah Kelurahan Sogaten dan
Patihan, dengan batas wilayah sebagai berikut:
➢ Sebelah Utara : Kabupaten Madiun
➢ Sebelah Timur : Kecamatan Kartoharjo
➢ Sebelah Barat : Kecamatan Manguharjo
➢ Sebelah Selatan : Kecamatan Taman
Wilayah Kerja Puskesmas Manguharjo terdiri dari 4 kelurahan, yaitu:
- Nambangan kidul
- Nambangan Lor
- Manguharjo
- Winongo
2. Luas Wilayah dan Wilayah Administrasi
a. Kecamatan : Manguharjo
b. Kota : Madiun
c. Provinsi : Jawa Timur
d. Luas Wilayah : 10,657 KM 2 terdiri dari 9 kelurahan
e. Jumlah Rumah : 7693
f. Jenis Puskesmas : Non Perawatan
3. Data Kependudukan
a. Jumlah Kepala Keluarga : .4.662 jiwa
b. Adapun jumlah penduduk : 12.266 jiwa
63
Laki- laki : 6.217
Perempuan : 6.049
c. Kepadatan penduduk : 5257.01 per km2
d. Jumlah RT : 180 RT
e. Jumlah RW : 50 RW
Tabel IV.1. Jumlah RT RW Berdasarkan Kelurahan di
Puskesmas Manguharjo Kota Madiun Tahun 2019
B. Karakteristik Responden
Variabel yang diteliti pada penelitian ini adalah beberapa faktor
tindakan PSN yang berhubungan dengan kejadian DBD di Wilayah Kerja
Puskesmas Manguharjo Tahun 2019, dengan sampel sebanyak 95 responden.
Namun, sebelum dilakukan pembahasan pada setiap variabel penelitian,
terlebih dahulu mendiskripsikan mengenai karakteristik responden yang
bertujuan untuk mengetahui gambaran umum responden di Wilayah Kerja
Puskesmas Maguharjo Kota Madiun berdasarkan atas umur, jenis pekerjaan,
jenis pendidikan, jenis kelamin. Berdasarkan hasil penelitian tentang
distribusi frekuensi responden diperoleh sebagai berikut
1. Umur responden
Distribusi frekuensi responden berdasarkan kelompok umur responden di
Wilayah Kerja Puskesmas Manguharjo Kota Madiun Tahun 2019 adalah
sebagai berikut :
Tabel IV.2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kelompok Umur
di Wilayah Kerja Puskesmas Manguharjo Kota Madiun Tahun 2019
No Umur Frekuensi Persentase (%)
1. 17 - 22 Tahun 3 3,2%
2. 23 - 28 Tahun 7 7,4%
No Kelurahan RW RT
1. Nambangan Kidul 15 46
2. Nambangan Lor 16 69
3. Winongo 11 36
Jumlah 60 180
64
3.
4.
5.
6.
7.
8.
29 - 34 Tahun
35 - 40 Tahun
41 - 46 Tahun
47 - 52 Tahun
53 – 58 Tahun
>59 Tahun
15
28
27
10
4
1
15,8%
29,5%
28,4%
10,5%
4,2%
1,1%
Jumlah 95 100%
Kelompok usia responden kejadian penyakit DBD pada penelitian ini
dibagi menjadi beberapa 8 kelompok usia yakni mulai dari kelompok usia
17 tahun sampai usia >59 tahun. Maka dapat disimpulkan, frekuensi yang
paling banyak terdapat pada umur 35 – 40 tahun, frekuensi terkecil
terdapat pada umur >59 tahun.
2. Jenis Pekerjaan
Distribusi frekuensi responden berdasarkan kelompok jenis pekerjaan di
Wilayah Kerja Puskesmas Manguharjo Kota Madiun Tahun 2019 adalah
sebagai berikut:
Tabel IV.3. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kelompok
Jenis Pekerjaan di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Madiun Tahun
2019
NO Pekerjaan Frekuensi Persentase
1.
2.
3.
4.
5.
6.
PNS / TNI / POLRI
Karyawan swasta
Pedagang / wiraswasta
Petani
Buruh
Lain - lain
14
24
27
6
3
21
14.7
25.3
28.4
6.3
3.2
22.1
Jumlah 95 100%
Berdasarkan tabel dapat diketahui bahwa jenis pekerjaan responden
paling banyak adalah pedagang /wiraswasta yaitu sebanyak 27 responden
dengan persentase sebesar 28.4% dan yang paling sedikit bekerja sebagai
buruh yaitu sebanyak 3 responden dengan persentase 3.2%.
3. Pendidikan
65
Distribusi frekuensi responden berdasarkan kelompok jenis pendidikan di
Wilayah Kerja Puskesmas Manguharjo Kota Madiun Tahun 2019 adalah
sebagai berikut:
Tabel IV.4. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis
Pendidikan di Wilayah Kerja Puskesmas Manguharjo Kota Madiun
Tahun 2019
No Pendidikan Frekuensi Persentase (%)
1. Sekolah Dasar (SD) 11 11.6
2. Sekolah Menengah Pertama (SMP) 12 12.6
3. Sekolah Menengah Atas (SMA) 52 54.7
4. Perguruan Tinggi 20 21.1
Jumlah 95 100
Berdasarkan tabel diketahui bahwa endidikan responden paling banyak
adalah SMA yaitu sebanyak 52 responden dengan persentase sebesar
54,7% dan yang paling sedikit yaitu SD sebanyak 11 responden dengan
Persentase 11,6%
4. Jenis Kelamin
Distribusi frekuensi responden berdasarkan kelompok jenis kelamin di
Wilayah Kerja Puskesmas Manguharjo Kota Madiun Tahun 2019 adalah
sebagai berikut:
Tabel IV.5. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kelompok
Jenis Kelamin di Puskesmas Manguharjo Kota Madiun Tahun 2019
No Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (%)
1. Laki – laki 36 37.9
2. Perempuan 58 62.1
Jumlah 95 100
Berdasarkan tabel diketahui bahwa jenis kelamin responden paling
banyak adalah perempuan yaitu sebanyak 58 responden dengan persentase
sebesar 62.1% dan yang paling sedikit yaitu laki-laki sebanyak 36
responden dengan persentase 37.9%.
Komposisi yang tidak seimbang antara perempuan dan laki-laki
pada saat penelitian telah diantisipasi dengan melaksanakan pengambilan
66
data pada Hari Sabtu dan Minggu. Waktu tersebut dipilih agar akses pada
responden laki-laki lebih baik sehingga komposisi diharapkan dapat lebih
seimbang. Namun saat dilakukan pengumpulan data, calon responden laki-
laki melimpahkan pertanyaan kepada calon responden perempuan yang
berada di rumah sehingga menyebabkan didominasi oleh responden
perempuan. Hasil yang menunjukkan bahwa perempuan menjadi
mayoritas responden penelitian ini menjadi sangat penting untuk diamati.
Secara tradisional perempuan menjadi pemain utama dalam menjaga
rumah dan lingkungannya sehingga apabila perempuan tidak mempunyai
pengetahuan yang cukup dan melakukan aktivitas yang berhubungan
dengan dengue dengan baik maka program demam berdarah terutama
dalam PSN tidak tercapai.
C. Hasil Peneletian
1. Distribusi Frekuensi Kejadian Demam Berdarah Dengue di Wilayah
Kerja Puskesmas Manguharjo Kota Madin Tahun 2019
Tabel IV.6. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan
Kelompok Jenis Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas
Manguharjo Kota Madiun Tahun 2019
Kejadian DBD Jumlah Jumlah
Sakit
Tidak Sakit
28
67
47%
70,53%
Jumlah 95 100%
Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Manguharjo terdapat
responden yang sakit sebanyak 28 responden dengan persentase 29,47%
dan yang tidak sakit sebanyak 67 responden dengan persentase 70,53%
67
2. Distribusi Frekuensi Tindakan Pemberantasan Sarang Nyamuk di
Wilayah Kerja Puskesmas Manguharjo Kota Madin Tahun 2019
Tabel IV.7. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kelompok
Kategori Tindakan PSN di Wilayah Kerja Puskesmas Manguharjo
Kota Madiun Tahun 2019
Tindakan PSN Jumlah Jumlah
Buruk
Baik
42
53
44,21%
55,79%
Jumlah 95 100%
Tindakan PSN dibagi menjadi kategori kurang dan baik , jumlah kategori
responden yang kurang sebanyak 42 responden dengan persentase 44,21 %
sedangkan responden yang berkategori baik sebanyak 53 responden
dengan persentase 55,79%
2 Hubungan antara Tindakan PSN dengan Kejadian DBD di Wilayah
Kerja Puskesmas Manguharjo Kota Madiun Tahun 2019.
Tabel IV.8 Distribusi Hubungan Tindakan PSN dengan Kejadian
DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Manguharjo Kota Madiun Tahun
2019
Tindakan PSN
Kejadian DBD
Jumlah Sakit Tidak Sakit
Buruk 20
21,05%
9
9,47%
29
30,52%
Baik 8
8,42%
58
61,05%
66
69,48%
Jumlah 28
29,46%
67
70,54%
95
100%
Berdasarkan data tabel IV.8 di atas menunjukkan bahwa tindakan
responden di Wilayah Kerja Puskesmas Manguharjo Tahun 2019 dengan
kategori buruk sebanyak 29 responden (30,52 %), dan yang baik sebanyak
66 responden (69,48%).
68
D. Hubungan antara Tindakan PSN dengan Kejadian Demam Berdarah
Dengue di Wilayah Kerja Puskesmas Manguharjo Tahun 2019 Kota
Madiun
Berdasarkan analisis hubungan antara Tindakan PSN yang mempengaruhi
kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Manguharjo Kota Madiun Tahun
2019 di dapatkan hasil sebagai berikut :
1. Hubungan antara menutup tempat penampungan air (TPA) dengan
kejadian Demam Berdarah Dengue
Hasil penelitian tentang menutup tempat penampungan air adalah sebagai
berikut:
Tabel IV.9 Hubungan antara Menutup Tempat Penampungan
Air TPA dengan Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas
Manguharjo Kota Madiun Tahun 2019
Tindakan PSN
Kejadian DBD
Jumlah Sakit Tidak Sakit
Terbuka 21
22,1%
25
40,0%
46
48,4%
Tertutup 7
7,4%
42
44,2%
49
51,6%
Jumlah 28
29,5%
67
70,5%
95
100%
Berdasarkan tabel IV.9 menunjukan bahwa reponden yang
tempat penampungannya yang terbuka sebanyak 46 responden (48,4%)
dengan rincian reponden yang sakit sebanyak 21 responden dengan
persentase 22,1% dan responden yang tidak sakit sebanyak 25 dengan
persentase 26,3%. Sedangkan tempat penampungan air yang tertutup
sebanyak 49 responden (51,6%) dengan rincian reponden yang sakit
sebanyak 7 responden dengan persentase 7,4% dan responden yang
tidak sakit sebanyak 42 responden dengan persentase 44,2%.
Hasil uji koefisien contigensi didapatkan nilai p value = 0, 001.
Nilai RP sebesar 3,219 (CI: 1,200 - 8,268 ). Maka, dapat disimpulkan
bahwa menutup tempat penampungan air bermakna dengan kejadian
69
penyakit DBD. Variabel menutup TPA merupakan faktor resiko
timbulnya penyakit DBD. Responden yang tidak menutup TPA berisiko
terjadinya penyakit DBD sebanyak 3,219 kali lebih besar dibandingkan
dengan responden yang menutup TPA.
2. Hubungan antara mengubur barang bekas serta memanfaatan
barang-barang bekas dengan kejadian penyakit DBD
Hasil penelitian tentang menutup tempat penampungan air adalah sebagai
berikut
Tabel IV.10. Hubungan antara Mengubur Barang Bekas serta
Memanfaatan Barang-Barang Bekas dengan Kejadian Penyakit
DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Manguharjo Kota Madiun
Tahun 2019
Tindakan PSN
Kejadian DBD
Jumlah Sakit Tidak Sakit
Terdapat barang bekas dan
tidak dimanfaatkaan
8
8,4%
12
12,6 %
20
21,1%
Bersih, memanfaatkan
barang bekas
20
21,1%
55
57,9%
75
78,9%
Jumlah 28
28%
67
67%
95
100%
Berdasarkan tabel menunjukan bahwa responden yang di
sekitar rumahnya terdapat barang bekas dan tidak dimanfaatkaan
dengan baik sebanyak 20 responden (21,1%) dengan rincian reponden
yang sakit sebanyak 8 responden dengan persentase 8,4% dan
responden yang tidak sakit sebanyak 12 dengan persentase 12,6%.
Sedangkan hasil responden yang di sekitar rumahnya tidak terdapat
barang bekas dan mampu memanfaatkan barang bekas sebanyak 75
responden (78,9%) dengan rincian reponden yang sakit sebanyak 20
responden dengan persentase 21,1% dan responden yang tidak sakit
sebanyak 55 responden dengan persentase 57,9%.
70
Hasil uji statistic koefisien contigensi didapatkan nilai p value =
0,245. Nilai RP= 1,498 CI= 0,533-4,203). Hasil menunjukan bahwa
variabel mengubur barang bekas serta memanfaatan barang-barang
bekas belum tentu merupakan faktor resiko, sebab nilai rasio
prevalens dengan interval kepercayaan 95% tersebut terletak diantara
0,533 - 4,203 mencakup nilai 1. (Rasio prevalens = 1 menunjukkan
bahwa variabel mengubur barang bekas serta memanfaatan barang-
barang bekas bersifat netral)
3. Hubungan antara tindakan menguras bak mandi dengan kejadian
penyakit DBD
Hasil penelitian tentang hubungan antara tindakan menguras bak mandi
dengan kejadian penyakit DBD adalah sebagai berikut:
Tabel IV.11. Hubungan antara Tindakan Menguras Bak Mandi
dengan Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Manguharjo
Kota Madiun Tahun 2019
Tindakan PSN
Kejadian DBD
Jumlah Sakit Tidak Sakit
Tidak dikuras selama minimal 1 x
dalam semingggu 18
18,9%
9
9,5%
27
28,4% Menguras bak mandi minimal 1 x
seminggu 10
10,5%
58
61,1%
68
71,6%
Jumlah 28
28%
67
67%
95
100%
Berdasarkan tabel menunjukan bahwa responden yang tidak
menguras bak mandi minimal sekali dalam seminggu sebanyak 27
responden (28,4%) dengan rincian reponden yang sakit sebanyak 18
responden dengan persentase 18,9% dan responden yang tidak sakit
sebanyak 9 responden dengan persentase 9,5%. Sedangkan hasil
reponden yang menguras bak mandi minimal sekali dalam seminggu
sebanyak 68 responden (71,6%) dengan rincian reponden yang sakit
71
sebanyak 10 responden dengan persentase 10,5% dan responden yang
tidak sakit sebanyak 58 responden dengan persentase 61,1%.
Hasil uji statistic koefisien contigensi didapatkan nilai p value =
0,000. Nilai RP sebesar 4,507 (CI: 1,592-12,743). Maka dapat
disimpulkan bahwa tindakan menguras bak mandi mempunyai
hubungan yang bermakna dengan kejadian penyakit DBD. Variabel
menguras bak mandi merupakan faktor resiko timbulnya penyakit
DBD. Responden yang tidak menguras bak mandi minimal sekali
dalam seminggu berisiko terjadinya penyakit DBD sebanyak 4,507
kali lebih besar dibandingkan dengan responden yang menguras bak
mandi minimal sekali dalam seminggu.
4. Hubungan antara tindakan menggunakan bubuk abate dengan
kejadian penyakit DBD
Hasil penelitian tentang tindakan menggunakan bubuk abate dengan
kejadian penyakit DBD adalah sebagai berikut:
Tabel IV.12. Hubungan antara Tindakan Menggunakan Bubuk
Abate dengan Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas
Manguharjo Kota Madiun Tahun 2019
Tindakan PSN
Kejadian DBD
Jumlah Sakit Tidak Sakit
Tidak memakai
bubuk abate
26
27,4%
51
53,7%
77
81,1%
Menggunakan
bubuk abate
2
2,1%
16
16,8%
18
18,9%
Jumlah 28
29,5%
67
70,5%
95
100%
Berdasarkan tabel menunjukan bahwa responden yang tidak
memakai bubuk abate terdapat sebanyak 77 responden (81,1%) dengan
rincian reponden yang sakit sebanyak 26 responden dengan persentase
27,4 % dan responden yang tidak sakit sebanyak 51 responden dengan
persentase 53,7%. Sedangkan hasil responden yang menggunakan
72
bubuk abate sebanyak 18 responden (18,9%) dengan rincian reponden
yang sakit 2 sebanyak responden dengan persentase 2,1% dan
responden yang tidak sakit sebanyak 16 responden dengan persentase
16,8%.
Hasil uji statistic koefisien contigensi didapatkan nilai p value =
0,058. Nilai RP= 3,045 CI= 0,660-14,253). Berdasarkan hasil RP
menunjukan bahwa variabel menggunakan bubuk abate belum tentu
merupakan faktor resiko, sebab nilai rasio prevalens dengan interval
kepercayaan 95% tersebut terletak diantara 0,533- 4,203 mencakup
nilai 1. (Rasio prevalens = 1 menunjukkan bahwa variabel
menggunakan bubuk abate bersifat netral)
5. Hubungan antara tindakan menggunakan lotion nyamuk dan obat
anti nyamuk dengan Kejadian Penyakit Demam Berdarah Dengue
Hasil penelitian tentang hubungan antara tindakan menggunakan lotion
nyamuk dan obat anti nyamuk dengan kejadian penyakit DBD adalah
sebagai berikut
Tabel IV.13. hubungan antara tindakan menggunakan lotion
nyamuk dan obat anti nyamuk dengan kejadian DBD di Wilayah
Kerja Puskesmas Manguharjo Kota Madiun Tahun 2019
B
Berdasarkan tabel menunjukan bahwa terdapat reponden yang
tidak menggunakan lotion nyamuk dan obat anti nyamuk sebanyak 43
responden (45.3%) dengan rincian reponden yang sakit sebanyak 23
Tindakan PSN
Kejadian DBD
Jumlah Sakit Tidak Sakit
Tidak menerapkan
Menerapkan
23
24.2%
5
5.3%
20
21.1%
47
49.5%
43
45,3%
52
54.5%
Jumlah 28
29.5%
67
70.5%
95
100%
73
responden dengan persentase 24.2% dan responden yang tidak sakit
sebanyak 20 reponden dengan persentase 21.1%. Sedangkan hasil
responden yang menggunakan lotion nyamuk dan obat anti nyamuk
sebanyak 52 responden (54.7%) dengan rincian reponden yang sakit
sebanyak 5 responden dengan persentase 5,3% dan responden yang
tidak sakit sebanyak 47 responden dengan persentase 49.5%.
Hasil uji statistic koefisien contigensi didapatkan nilai p value =
0,000 maka Ha diterima, dapat disimpulkan bahwa mempunyai
hubungan yang bermakna dengan kejadian penyakit DBD. Nilai RP
sebesar 5,505 (CI: 1,834 – 16,494). Maka, variabel menggunakan lotion
nyamuk dan obat anti nyamuk merupakan faktor resiko timbulnya
penyakit DBD. Responden yang tidak menggunakan lotion nyamuk dan
obat anti nyamuk berisiko terjadinya penyakit DBD sebanyak 5,505 kali
lebih besar dibandingkan dengan responden yang menggunakan lotion
nyamuk dan obat anti nyamuk.
6. Hubungan antara kebiasaan mengantung pakaian dengan kejadian
penyakit DBD
Hasil penelitian tentang dengan kejadian penyakit DBD adalah sebagai
berikut:
Tabel IV.14. Hubungan antara Kebiasaan Menggantung Pakaian
dengan Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Manguharjo
Kota Madiun Tahun 2019
Tindakan PSN
Kejadian DBD
Jumlah Sakit Tidak Sakit
Banyak pakaian
yang tergantung
23
24.2%
19
20.0%
42
44.2%
Tidak terdapat
pakaian yang
tergantung
5
5,3%
48
50,5%
53
55,8%
Jumlah 28
29.5%
67
70.5%
95
100%
74
Berdasarkan tabel menunjukan bahwa terdapat responden yang
banyak menggantung pakaian sebanyak 42 responden (44,2%) dengan
rincian reponden yang sakit sebanyak 23 responden dengan persentase
24,2% dan responden yang tidak sakit sebanyak 19 responden dengan
persentase 20%. Sedangkan hasil reponden yang tidak banyak
menggantung pakaian sebanyak 53 responden (55,8%) dengan rincian
reponden yang sakit sebanyak 5 responden dengan persentase 5,3% dan
responden yang tidak sakit sebanyak 48 responden dengan persentase
50,5%.
Hasil uji statistic koefisien contigensi didapatkan nilai p value =
0,000. Nilai RP sebesar 5,829 (CI: 1,932-16,727) dapat disimpulkan
bahwa tindakan menggantung pakian mempunyai hubungan yang
bermakna dengan kejadian penyakit DBD. Maka, variabel menggunakan
lotion nyamuk dan obat anti nyamuk merupakan faktor resiko timbulnya
penyakit DBD. Responden yang banyak menggantung pakaian berisiko
terjadinya penyakit DBD sebanyak 5,829 kali lebih besar dibandingkan
dengan responden yang tidak menggantung pakaian.
75
BAB V
PEMBAHASAN
A. Tindakan Pemberantasan Nyamuk
Berdasarkan hasil penelitian, tindakan PSN dibagi menjadi 2
kategori yakni kategori kurang dan baik , jumlah kategori responden yang
tindakannya buruk sebanyak 29 responden sedangkan responden yang
berkategori baik sebanyak 66 responden. Tindakan PSN responden yang
sudah menutup TPA sebanyak 49 responden dengan persentase 51,6% ,
responden yang sudah menerapkan tindakan mengubur barang bekas serta
memanfaatan barang-barang bekas sudah memenuhi sebanyak 75
responden dengan persentase 78,9%, responden yang sudah menerapkan
tindakan menguras TPA minimal 1 kali dalam seminggu sebanyak 68
responden dengan persentase 71,6%, responden yang sudah menggunakan
bubuk abate sebanyak 18 responden dengan persentase 18,9% , responden
yang sudah menggunakan lotion dan obat anti nyamuk sebanyak 52
responden dengan persentase 54,5% dan responden yang sudah
menggantung pakaian dengan baik sebanyak 53 responden dengan
persentase 55,8%. Hasil perhitungan Rasio Prevalen dalam tindakan
pemberantasan sarang nyamuk diperoleh sebesar RP= 5,694 dan (CI:
1,937-16,727). Maka, tindakan pemberantasan sarang nyamuk terdapat
hubungan yang bermakna dengan kejadian DBD dan merupakan faktor
resiko timbulnya penyakit DBD. Responden yang tidak melakukan
tindakan pemberantasan sarang nyamuk berisiko terjadinya penyakit DBD
sebanyak 5,694 kali lebih besar dibandingkan dengan responden yang
melakukan tindakan pemberantasan sarang nyamuk
Menurut Kemenkes (2016) tindakan pemberantasan sarang nyamuk
DBD dilakukan dengan cara 3M PLUS yaitu Menguras bak mandi,
Menutup tempat penampungan air, dan Mendaur ulang barang-barang
bekas. Selain itu ditambah (plus) dengan cara lain, seperti mengganti air
vas bunga atau membuang air pada tempat-tempat lainnya yang sejenis
76
seminggu sekali, memperbaiki saluran air yang rusak atau tidak lancar,
menutup lubang-lubang pada potongan bambu/pohon dengan tanah,
menaburkan bubuk larvasida (abatisasi) di tempat-tempat yang sulit
dikuras, memelihara ikan pemakan jentik di kolam atau bak-bak
penampungan air, mengupayakan pencahayaan dan ventilasi ruang yang
memadai, memasang kawat kasa pada ventilasi rumah, menghindari
kebiasaan menggantung pakaian dalam kamar, dan memakai obat yang
dapat mencegah gigitan nyamuk atau biasa dikenal dengan memakai
lotion.
Berdasarkan penelitian Rimaruliani Marali, (2018) menunjukkan
bahwa hasil kelompok kasus cenderung memiliki tindakan pemberantasan
sarang nyamuk yang kurang baik sebanyak 24 orang (85,7%)
dibandingkan dengan kelompok kontrol 16 orang (57,1%), begitupun
dengan responden yang memiliki tindakan yang baik 12 orang (42,8%)
untuk kelompok kontrol dan sebanyak 4 orang (14,3%) untuk kelompok
kasus. Hasil uji koefisien kontigensi c diperoleh nilai p = 0,018 yang
berarti p< 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara tindakan pemberantasan sarang nyamuk dengan kejadian
DBD.
Hasil penelitian Rimaruliani Marali menunjukkan bahwa tindakan
yang kurang baik menyebabkan adanya kejadian DBD. Sebagian besar
responden menyatakan belum melakukan 3M (Menguras, Menutup,
Mengubur), menjaga kebersihan lingkungan, gotong royong, melakukan
tindakan dengan mengubur ke dalam tanah, membakar sampah. Namun
sebagian ada juga yang menyatakan menjual sampah ke pemulung tetapi
ketika diamati secara langsung tindakan yang dilakukan sehari-hari tidak
sesuai dengan apa yang responden katakan.
Berdasarkan hasil penelitian ini, tindakan responden dalam upaya
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) Aedes aegypti sebagai penyebab
penyakit Demam Berdarah Dengue di Wilayah Kerja Puskesmas
Manguharjo Tahun 2019 menunjukan sebagian responden sudah
77
IR = x K
melakukan PSN dengan baik terutama variabel memanfaatan barang-
barang bekas, karena masyarakat sadar bahwa bahan anorganik sulit diurai
dengan tanah tanah dalam jangka waktu yang panjang mengakibatkan
pencemaran. Disisi lain sebagian responden juga belum melakukan 3M
dengan benar teruatama dalam hal menguras, menutup dan meletekkan
pakaian di dalam lemari.
B. Kejadian penyakit Demam Berdarah Dengue di Wilayah Kerja
Puskesmas Manguharjo Kota Madiun.
Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Manguharjo terdapat
responden yang sakit sebanyak 28 responden dengan persentase 29,47%
dan yang tidak sakit sebanyak 67 responden dengan persentase 70,53%.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa tindakan responden
dalam upaya Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) Aedes aegypti sebagai
penyebab penyakit Demam Berdarah Dengue di Wilayah Kerja Puskesmas
Manguharjo Tahun 2019 dengan kategori baik sebanyak 42 responden
(44,21 %) dengan rincian responden yang sakit sebanyak 6 responden
(6,31%) dan responden yang tidak sakit sebanyak 36 responden (37,90%).
Sedangkan tindakan PSN yang kurang sebanyak 53 responden (55,79%),
dengan rincian responden yang sakit sebanyak 22 responden (23,15%),
dan responden yang tidak sakit sebanyak 31 responden (32,64%).
Mengukur Kejadian penyakit Demam Berdarah Dengue di Wilayah Kerja
Puskesmas Manguharjo Kota Madiun
Insiden Rate pada Wilayah Kerja Puskesmas Manguharjo Kota Madiun
pada Tahun 2018 sebagai berikut
78
Insiden Rate pada Wilayah Kerja Puskesmas Manguharjo Kota Madiun
pada Tahun 2019 sebagai berikut
Berdasarkan hasil perhitungan IR pada tahun 2018 menunjukan
hasil 138,59/ 100.000 angka ini diatas target nasional (IR :≤49/100.000
penduduk), artinya Insiden Rate di Wilayah Kerja Puskesmas
Manguharjo Kota Madiun tinggi. Sedangkan IR pada Tahun 2019
menunjukan hasil 89,67 / 100.000 artinya artinya Insiden Rate di
Wilayah Kerja Puskesmas Manguharjo Kota Madiun tinggi.
Incidence rate pada umumnya dipakai dalam mengukur besar atau
frekuensi suatu penyakit infeksi yang dialami suatu kelompok masyarakat.
Bila suatu kelompok masyarakat mempunyai incidence rate yang lebih
tinggi dari kelompok masyarakat lain, maka dapat dikatakan kelompok
pertama mempunya resiko lebih tinggi untuk mendapatkan kejadian
tertentu dibanding kelompok kedua. Dapat disimpulkan bahwa kelompok
pertama merupakan kelompok “resiko tinggi” secara relatif dibandingkan
kelompok kedua.
C. Hubungan antara Tindakan Pemberantasan Sarang Nyamuk dengan
kejadian Demam Berdarah Dengue di Wilayah Kerja Puskesmas
Manguharjo Kota Madiun Tahun 2019
1. Hubungan antara menutup tempat penampungan air (TPA)
dengan kejadian DBD
Berdasarkan hasil penelitian, responden yang tempat
penampungannya yang terbuka sebanyak 46 responden (48,4%)
sedangkan responden yang tempat penampungannya air yang
tertutup sebanyak 49 responden (51,6%). Hasil uji koefisien
contigensi didapatkan nilai p value = 0, 001. Nilai RP sebesar 3,219
(CI: 1,200 - 8,268 ). Maka, dapat disimpulkan bahwa menutup
79
tempat penampungan air bermakna dengan kejadian penyakit DBD.
Variabel menutup TPA merupakan faktor resiko timbulnya penyakit
DBD. Responden yang tidak menutup TPA berisiko terjadinya
penyakit DBD sebanyak 3,219 kali lebih besar dibandingkan dengan
responden yang menutup TPA.
Amrieds, E. T., Asfian, P., & Ainurafiq (2016) menunjukan
bahwa perilaku membersihkan lingkungan dan secara rutin
melakukan tindakan menutup TPA dapat mengurangi tempat
perkembangbiakan nyamuk. Tempat perkembangbiakan nyamuk
Aides aegypti cenderung memiliki kondisi air yang bersih karena
tidak terpengaruh oleh kondisi cuaca luar rumah, contohnya pada bak
mandi.
Nyamuk Aedes sp suka meletakkan telurnya pada air bening
atau bersih dan tidak suka meletakkan telurnya bersentuhan langsung
dengan tanah. Kebiasaan membuka TPA memungkinkan nyamuk
Aedes sp berkembangbiak di dalam TPA, dimana kontainer tersebut
menjadi media berkembangbiak nyamuk Aedes agypti. Kembangbiak
nyamuk didukung ukuran tempat penampungan air yang cukup besar
dan air yang berada didalamnya cukup lama. (Soewarno &
Kusumawati, 2015.)
Menutup rapat tempat penampungan air (TPA) memegang
peranan penting dalam pemberantasan sarang nyamuk demam
berdarah dengue yaitu keberadaan larva Aedes aegypti. Hasil
penelitian ini sejalan penelitian Supriyanto (2011) bahwa praktik
tentang pencegahan penyakit DBD dan PSN memiliki hubungan
yang bermakna dengan kejadian DBD (p= 0,000), Fajrin Nur
Azizah, Ema Hermawati , Dewi Susanna1 (2018) . Penelitian
tersebut menunjukan hasil bahwa ada hubungan yang bermakna
antara menutup container dengan keberadaan jentik (p-value 0,041)
dengan OR 2,0 (95% CI 1,076 – 3,718), artinya kebiasaan tidak
80
menutup kontainer mempunyai peluang terdapat jentik 2 kali lebih
besar dibandingkan dengan kebiasaan menutup kontainer.
Berdasarakan penelitian tersebut menutup kontainer adalah faktor
paling berpengaruh terhadap keberadaan jentik Aides aegypti.
Penelitian tersebut menunjukan lebih dari setengah responden
menjawab tidak pernah menutup wadah TPA setelah digunakan,
dengan beberapa alasan keterbasan penutup dan air yang digunakan
langsung untuk mandi jika air PDAM tidak mengalir. Kondisi
tersebut menandakan kurangnya kesadaran masyarakat dalam
mencegah terjadinya perkembangbiakan nyamuk khususnya dalam
menutup TPA.
Berdasarkan faktor tersebut, peran serta masyarakat sangat
diperlukan untuk mengurangi angka kejadian penyakit DBD.
Rendahnya partisipasi responden dalam upaya pemberantasan
sarang nyamuk (PSN) khususnya menutup TPA disebabkan karena
sebagian responden tidak memiliki permukaan tutup yang cukup
luas untuk tempat penampungan airnya sehingga responden jarang
menutup bak penampung air. Kembangbiak nyamuk didukung
ukuran tempat penampungan air yang cukup besar dan air yang
berada didalamnya cukup lama, dengan mengetahui habitat
perkembangbiakan nyamuk tersebut, maka TPA haruslah selalu
tertutup rapat agar nyamuk tidak dapat masuk dan menjadi tempat
perkembangbiakan, diharapkan dengan adanya perilaku menutup
TPA ini populasi nyamuk dapat berkurang sehingga menurunkan
angka kejadian DBD.
2. Hubungan antara mengubur barang bekas serta memanfaatan
barang-barang bekas dengan kejadian penyakit DBD
Berdasarkan hasil penelitian reponden yang terdapat barang bekas
dan tidak dimanfaatkaan dengan baik sebanyak 20 responden (21,1%),
sedangkan hasil responden yang di sekitar rumahnya tidak terdapat
81
barang bekas dan mampu memanfaatkan barang bekas sebanyak 75
responden (78,9%). Hasil uji statistic koefisien contigensi didapatkan
nilai p value = 0,245. Nilai RP= 1,498 CI= 0,533-4,203). Hasil
menunjukan bahwa variabel mengubur barang bekas serta memanfaatan
barang-barang bekas belum tentu merupakan faktor resiko, sebab nilai
rasio prevalens dengan interval kepercayaan 95% tersebut terletak
diantara 0,533 - 4,203 mencakup nilai 1. (Rasio prevalens = 1
menunjukkan bahwa variabel mengubur barang bekas serta
memanfaatan barang-barang bekas bersifat netral)
Notoatmodjo pada tahun 2007 menyebutkan bahwa perilaku
masyarakat mempunyai pengaruh terhadap lingkungan karena
lingkungan merupakan lahan untuk perkembangan perilaku tersebut.
Kurang baiknya perilaku/ tindakan PSN DBD masyarakat akan
menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perkembangbiakan nyamuk
Ae. aegypti.
Adi, A. A. (2015) tempat perindukan yang disukai oleh nyamuk
berupa genangan air yang tertampung disuatu tempat atau bejana.
Nyamuk Aedes aegypti meletakkan telurnya pada tempat penampungan
air yang berwarna gelap, terbuka, dan terletak di tempat yang terlindung
sinar matahari langsung, contohnya pada barang-barang bekas yang
memungkinkan dapat menampug air.
Tempat perkembangbiakan nyamuk selain pada barang bekas
juga di tempat penampungan yang memungkinkan air hujan dapat
tergenang dan tidak beralaskan tanah, seperti kaleng bekas, ban bekas,
botol, tempurung kelapa, plastik, dan lain-lain yang dibuang pada
sembarangan tempat (Herlyana, Sunarsih, & Ardillah, 2015).
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Luluk Lidya Ayun (2015) tentang hubungan antara
faktor lingkungan fisik dan perilaku dengan kejadian DBD di Wilayah
Kerja Puskesmas Sekaran Kecamatan Gungpati Kota Semarang
Tahun 2015, dalam penelitian tersebut diperoleh hasil terdapat
82
hubungan yang bermakna antara kebiasaan menyingkirkan barang
bekas dengan kejadian DBD (OR= 4,250 (95% CI 1,332-13,562).
Berdasarkan penelitian Luluk Lidya Ayun, pada variabel mengubur
atau mendaur ulang barang-barang bekas, sebagian besar responden
tidak pernah mendaur ulang barang-barang bekas, dikarenakan
responden tidak terbiasa mendaur ulang barang bekas dan berharap
petugas kebersihan untuk mengambil sampah yang ada di sekitaran
rumah responden dengan menggunakan truk sampah.
Sebagian besar responden sudah menyadari bahwa bahan
anorganik sulit diurai dengan tanah dalam jangka waktu yang panjang
mengakibatkan pencemaran tanah sehingga responden tidak
mengubur barang-barang bekas, sehingga alaman rumah responden
sudah terlihat bersih. Disisi lain terdapat petugas kebersihan setempat
yang mengangkut sampah milik masyarakat ke tempat pembuangan
sampah umum setiap harinya. Tindakan mengubur barang-barang
bekas dilakukan oleh masyarakat yang mempunyai halaman rumah
tanah terutama pada masyarakat pedesaan. Sedangkan dalam
penelitian ini semua responden di Wilayah Kerja Puskesmas
Manguharjo Kota Madiun umumnya tinggal di perkotaan, sehingga
lingkungan sekitar rumah responden sudah bersih tidak ada barang-
barang bekas karena umumnya telah diangkut oleh petugas
kebersihan. Maka dari itu perlu adanya sosialisasi yang berbeda dalam
pencegahan DBD antara masyarakat perkotaan, berbeda halnya
dengan masyarakat pedesaan.
3. Hubungan antara tindakan menguras TPA dengan kejadian
penyakit DBD.
Berdasarkan hasil uji statistic koefisien contigensi didapatkan nilai p
value = 0,000. Nilai RP sebesar 4,507 (CI: 1,592-12,743). Maka dapat
disimpulkan bahwa tindakan menguras bak mandi mempunyai
hubungan yang bermakna dengan kejadian penyakit DBD. Variabel
83
menguras bak mandi merupakan faktor resiko timbulnya penyakit DBD.
Responden yang tidak menguras bak mandi minimal sekali dalam
seminggu berisiko terjadinya penyakit DBD sebanyak 4,507 kali lebih
besar dibandingkan dengan responden yang menguras bak mandi
minimal sekali dalam seminggu.
PSN-DBD merupakan suatu kegiatan pemberantasan vektor
penyebab DBD, baik pemberantasan telur, jentik atau pupa untuk
memutus rantai perkembangbiakan nyamuk penyebab DBD
(Mubarokah, 2013). Salah satunya menguras tempat penampunga air
(TPA) merupakan salah satu cara pencegahan penyakit DBD, dengan
cara membersihkan tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti.
Pencegahan ini lebih sering dilakukan di tingkat rumah tangga..
Mikroorganisme yang tumbuh pada dinding tempat
penampungan air merupakan sumber makanan bagi jentik. Kegiatan
menguras juga dapat mengurangi asupan makanan bagi jentik.
Kebiasaan menguras tanpa penyikatan dan sabun tidak menghilangkan
telur-telur yang menempel di dinding tempat penampungan air. (P2PL,
2011)
Landasan teori tentang Pengurasan kontainer (TPA)
menunjukkan hubungan yang bermakna dengan kejadian DBD.
Semakin TPA sering dikuras, keberadaan jentik nyamuk semakin kecil.
Teori tersebut di dukung oleh penelitian Mauren, Nancy, Jootje tentang
“Analisis Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian DBD di
Puskesmas Gogagoman Kota Kotamobagu” yang menunjukkan bahwa
terdapat hubungan yang bermakna antara tindakan menguras bak mandi
dengan kejadian penyakit DBD (p=0,00) dan nilai OR 5.9 (CI :2.137–
16.342) artinya responden yang tidak melakukan pengurasan kontainer /
tempat penampungan air berpeluang terkena DBD 5.9 kali lebih besar
dibandingkan dengan responden yang menguras container / tempat
penampung air minimal sekali dalam seminggu. Hal ini disebabkan
karena secara umum nyamuk meletakkan telurnya pada dinding TPA,
84
oleh karena itu pada waktu pengurasan atau pembersihan TPA
dianjurkan menggosok atau menyikat dinding-dinding TPA.
Berdasarkan hasil kuisioner Mauren, Nancy, Jootje diperoleh jawaban
tindakan dari responden mengenai pernyataan menguras bak mandi
minimal seminggu sekali, sebagian besar responden kasus maupun
responden kontrol menjawab sering dan selalu melakukan pengurasan
pada bak mandi atau wadah penampungan air sekurang-kurangnya
seminggu sekali. Tetapi saat dilakukan observasi secara langsung, ada
bak mandi yang sudah hampir seluruh bagian dinding bak mandinya
berlumut. Maka hal ini berpotensi sangat besar untuk terkena penyakit
DBD.
Berdasarkan faktor diatas kesesuian pernyataan dengan
tindakan responden tidak sesuai dan menunjukan masih rendahnya
partisipasi masyarakat dalam menguras TPA. Beberapa faktor
rendahnya minat responden dalam menguras bak mandi dapat
disebabkan oleh bak penampung air memiliki volume yang cukup
besar, disisi lain sebagian bak mandi responden masih ada yang kotor
pada dinding penampungan air. Hal tersebut merupakan indikasi
pengurasan bak mandi tidak dilakukan dengan benar dengan cara
disikat dan menggunakan sabun. Selain itu ukuran volume bakyang
besar menyebabkan responden malas dan jarang membersihkan.
Pengurasan yang baik dilakukan minimal seminggu sekali untuk
mengurangi kesempatan nyamuk bertahan hidup dalam waktu beberapa
bulan.
4. Hubungan antara tindakan menggunakan bubuk abate dengan
kejadian DBD
Berdasarkan hasil penelitian fmenunjukan bahwa responden
yang tidak memakai bubuk abate terdapat sebanyak 77 responden
(81,1%). Sedangkan hasil responden yang menggunakan bubuk abate
sebanyak 18 responden (18,9%). Hasil uji statistic koefisien
contigensi didapatkan nilai p value = 0,058. Nilai RP= 3,045 CI=
85
0,660-14,253). Berdasarkan hasil RP menunjukan bahwa variabel
menggunakan bubuk abate belum tentu merupakan faktor resiko,
sebab nilai rasio prevalens dengan interval kepercayaan 95% tersebut
terletak diantara 0,533- 4,203 mencakup nilai 1. (Rasio prevalens = 1
menunjukkan bahwa variabel menggunakan bubuk abate bersifat
netral)
Berdasarkan Prasetyani (2015) mengemukakan bahwa cara
memberantas jentik Aedes aegypti secara kimiawi dengan
menggunakan insektisida pembasmi jentik yakni abate yang berupa
butiran pasir temefos 1%. Abatisasi pemakaian larvasida dapat
digunakan di TPA yang ada dalam rumah, seperti: bak mandi atau wc,
gentong, ember atau baskom, dan tempayan. (Mubarokah, 2013).
Penggunaan abate untuk mengurangi keberadaan jentik aman bagi
kesehatan karena bubuk akan segera menempel di dinding
penampung air. Daya tempel mampu bertahan 2 sampai 3 bulan
sehingga penggunaan abate dapat diulangi setiap 2-3 bulan sekali.
Keberadaan jentik menggunakan abate dipengaruhi oleh beberapa
faktor seperti suhu, air. (Fajrin Nur Azizah1 dkk, 2018)
Menurut Tamza (2013) penaburan bubuk abate sebaiknya
ditaburkan pada TPA yang sulit dikuras atau daerah yang sulit air.
Takarannya yaitu 1 gram bubuk Abate untuk 10 liter air (1 sendok
makan yang diratakan atasnya sama dengan 10 gram abate).
Penaburan bubuk abate di ulangi setiap 2-3 bulan sekali. Bubuk abate
digunakan untuk membunuh jentik-jentik nyamuk, bubuk tersebut
bekerja dengan melumpuhkan otot salah satunya adalah otot
pernapasan jentik nyamuk.
Berdasarkan penilitian Ririn Sumantri, Petrus Hasibuan,
Virhan Novianry (2013) menuujukan bahwa ada hubungan
penggunaan abate dengan kejadian DBD (p = 0,000) OR = 4,512
86
(1,888-10,78). Hasil yang didapat ini sesuai dengan pernyataan
Suroso bahwa tindakan ‘3M’ merupakan cara paling tepat dalam
pencegahan dan penanggulangan terjadinya KLB penyakit DBD.
Berdasarkan penelitian Ririn dkk (2013) responden dengan tindakan
PSN menaburkan bubuk abate yang menjawab sebagian besar tidak
pernah melakukannya. Hal ini dikarenakan bahwa responden tidak
mau menggunakan bubuk abate pada tempat penampungan air dengan
alasan responden tidak ingin mengeluarkan uang untuk membeli
bubuk abate yang sering ditawarkan oleh pihak-pihak yang tidak
bertanggung jawab.
Berdasarkan penelitian ini memang sebagian responden masih
merasa tidak aman untuk melakukan abatisasi karena air dalam TPA-
nya akan menjadi kotor, serta takut jika bubuk abate akan
memberikan dampak negatif bagi kesehatan. Disisi lain responden
pada uumnya tidak mempunyai bubuk abate. Maka, perlu adanya
faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain
berupa fasilitas, sehingga responden terdorong untuk abatisasi. Upaya
untuk memberikan informasi yang benar mengenai bubuk abate dan
cara penggunaannya. Selain informasi atau pengetahuan yang
diberikan dari pihak puskesmas adanya pembagian rutin bubuk abate
setiap bulannya (pada kategori wilayah tersebut endemik DBD)
menjadi salah satu solusi untuk menciptakan koordinasi antara
masyarakat dengan petugas Puskesmas.
5. Hubungan antara tindakan menggunakan lotion nyamuk dan
obat anti nyamuk dengan kejadian peyakit DBD
Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat
reponden yang tidak menggunakan lotion nyamuk dan obat anti
nyamuk sebanyak 43 responden (45.3%) Sedangkan hasil responden
yang menggunakan lotion nyamuk dan obat anti nyamuk sebanyak 52
responden (54.7%). Hasil uji statistic koefisien contigensi didapatkan
nilai p value = 0,000 maka Ha diterima, dapat disimpulkan bahwa
87
mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian penyakit
DBD. Nilai RP sebesar 5,505 (CI: 1,834 – 16,494). Maka, variabel
menggunakan lotion nyamuk dan obat anti nyamuk merupakan faktor
resiko timbulnya penyakit DBD. Responden yang tidak menggunakan
lotion nyamuk dan obat anti nyamuk berisiko terjadinya penyakit
DBD sebanyak 5,505 kali lebih besar dibandingkan dengan responden
yang menggunakan lotion nyamuk dan obat anti nyamuk.
Nyamuk memiliki kemampuan untuk mencari mangsa dengan
mencium bau karbondioksida, asam laktat dan bau lainnya yang
berasal dari kulit yang hangat dan lembab. (Respti dan Keman, 2007)
Lotion/minyak anti nyamuk umumnya bekerja dengan memanipulasi
bau yang berasal dari kulit. DEET memberikan proteksi. sampai 12
jam pada konsentrasi 100%, 3-6 jam pada konsentrasi 20-34% dan
kurang lebih 2 jam pada kensentrasi < 10%. (Pramono Putro Utomo,
2014) Konsentrasi DEET yang umumnya digunakan adalah <20%
untuk menghindari efek samping dari DEET tersebut. Sedangkan
lotion/minyak yang menggunakan bahan yang berasal dari tumbuh-
tumbuhan hanya memberikan perlindungan kurang dari 2 jam. (Wati,
Astuti, & Sari, 2016)
Terdapat berbagai macam lotion atau minyak anti nyamuk, baik
yang terbuat dari bahan kimia maupun ektrak minyak dari tumbuh-
tumbuhan seperti citronella (minyak sereh) . Senyawa kimia anti
nyamuk yang umumnya digunakan adalah N-diethyl-m-toluamide,
atau N-diethyl-3-methylbenzamide atau DEET. (Asikin Noor,2012)
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Ririn Sumantri,
Petrus Hasibuan, Virhan Novianry (2013) tentang “Hubungan PSN
dan Kebiasaan Keluarga dengan Kejadian DBD di Kota Pontianak
Tahun 2013” menunjukan hasil uji Chi-Square (X2) terdapat
hubungan bermakna antara kebiasaan memakai lotion anti nyamuk
dengan kejadian DBD (nilai p=0,001), sementara hasil perhitungan
OR didapat hasil OR=3,778 dengan Confidential Interval (CI) 95%=
88
1,650-8,651), dari hasil ini dapat di interpretasikan bahwa memakai
lotion anti nyamuk merupakan faktor resiko dari kejadian DBD.
Berdasarkan hasil dalam penelitian Ririn dkk, responden kasus sering
menggunakan obat anti nyamuk/repellent (semprot, bakar, elektrik
maupun lotion). Tetapi pada responden kontrol sebagian besar
menjawab tidak pernah menggunakan obat anti nyamuk, karena
mereka sering menggunakan kipas angin dan Air Conditioner (AC)
saat tidur.
Berbeda halnya dengan responden di Wilayah Kerja
Puskesmas Manguharjo Madiun bagi sebagian responden berpendapat
bahwa menggunakan lotion anti nyamuk dinilai efektif dan praktis
dibandingkan menggunakan larvasida.
6. Hubungan antara kebiasaan menggantung pakaian dengan
kejadian DBD
Berdasarkan hasil uji statistic koefisien contigensi didapatkan nilai
p value = 0,000. Nilai RP sebesar 5,829 (CI: 1,932-16,727) dapat
disimpulkan bahwa tindakan menggantung pakian mempunyai
hubungan yang bermakna dengan kejadian penyakit DBD. Maka,
variabel menggunakan lotion nyamuk dan obat anti nyamuk merupakan
faktor resiko timbulnya penyakit DBD. Responden yang banyak
menggantung pakaian berisiko terjadinya penyakit DBD sebanyak 5,829
kali lebih besar dibandingkan dengan responden yang tidak
menggantung pakaian.
Nyamuk memiliki kemampuan untuk mencari mangsa dengan
mencium bau karbondioksida, asam laktat dan bau lainnya yang berasal
dari kulit yang hangat dan lembab. Menurut Asikin Noor (2013)
nyamuk Aedes aegypti sebelum dan sesudah menggigit akan
beristirahat terlebih dahulu. Sebelum menggigit nyamuk akan
beristirahat untuk dapat mengenali mangsanya karena nyamuk ini tidak
sembarangan dalam memilih mangsanya. Sesudah menggigit nyamuk
ini juga akan beristirahat, setelah menggigit tubuhnya akan lebih berat
89
karena terisi banyak darah sehingga nyamuk membutuhkan waktu
beristirahat untuk memulihkan tenaganya. Nyamuk betina
membutuhkan waktu 2 – 3 hari untuk beristirahat dan mematangkan
telurnya.(WHO, 2016)
Tempat istirahat yang paling disukai adalah tempat yang
lembab dan kurang terang, pada baju yang digantung, tirai atau
kelambu, sedangkan di luar rumah seperti pada tanaman yang
terlindung dari sinar matahari secara langsung. (Depkes RI, 2016)
Kebiasaan menggantung pakaian memiliki peluang bisa terkena
penyakit DBD. Pakaian yang tergantung di balik lemari atau di balik
pintu sebaiknya dilipat dan disimpan dalam lemari karena nyamuk
Aedes aegypti senang hinggap dan beristirahat di tempat-tempat gelap
dan kain tergantung (Anwar & Adi, 2015).
Berdasarkan penelitian Luluk (2013) didapatkan hasil ada
hubungan yang bermakna kebiasaan menggantung pakaian dikamar
dengan kejadian DBD dengan p value = 0,002; OR = 7,933 (95% CI =
2,236– 28,151), menunjukkan bahwa sampel yang mempunyai
kebiasaan menggantung pakaian dikamar mempunyai risiko 7,933 kali
lebih besar menderita DBD daripada sampel yang tidak mempunyai
kebiasaan menggantung pakaian dikamar.
Sebagian di kamar responden banyak terdapat pakaian
tergantung di belakang pintu kamar dan di pintu lemari pakaian bahkan
di dinding, serta ada juga pakaian yang dibiarkan begitu saja berserakan
diatas tempat tidur. Pakaian yang tergantung merupakan tempat yang
disukai oleh nyamuk untuk hinggap, karena nyamuk memiliki
kemampuan untuk mencari mangsa dengan mencium bau
karbondioksida, asam laktat dan bau lainnya yang berasal dari kulit
yang hangat dan lembab. Dengan demikian, untuk mencegah agar tidak
dijadikan tempat peristirahatan nyamuk, maka sebaiknya pakaian yang
sudah dipakai diletakkan ditempat baju kotor dan pakaian yang belum
dipakai dilipat rapi didalam lemari, karena nyamuk Aedes aegypti
90
senang hinggap pada pakaian yang bergantungan dalam kamar untuk
beristirahat setelah menghisap darah manusia (Dinkes Jateng, 2004).
91
BAB VI
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil penelitian tindakan dalam Pemberantasan Sarang
Nyamuk (PSN) Aedes aegypti menunjukan sebagian masyarakat
wilayah kerja puskesmas Manguharjo Madiun sudah melakukan PSN
dengan baik terutama variabel memanfaatan barang-barang bekas.
Disisi lain sebagian belum melakukan 3M dengan benar teruatama
dalam hal menguras, menutup dan meletekkan pakaian di dalam lemari.
2. Insiden Rate di Wilayah Kerja Puskesmas Manguharjo Kota Madiun
pada Tahun 2018 dan Tahun 2019 diatas targer nasional, artinya angka
IR sangat tinggi.
3. Menutup tempat penampungan air merupakan faktor risiko terjadinya
penyakit DBD.
4. Mengubur barang bekas serta memanfaatan barang-barang bekas
bersifat netral terhadap pennyakit DBD.
5. Menguras bak mandi merupakan faktor risiko terjadinya penyakit DBD
6. Menggunakan bubuk abate bersifat netral terhadap pennyakit DBD.
7. Kebiasaan menggunakan obat nyamuk dan lotion anti nyamuk
merupakan faktor risiko terjadinya penyakit DBD.
8. Kebiasaan menggantung pakaian merupakan faktor risiko terjadinya
penyakit DBD.
B. SARAN
1. Bagi Petugas Kesehatan
a. Upaya untuk memberikan informasi yang benar mengenai bubuk
abate dan cara penggunaannya. Selain informasi atau pengetahuan
yang diberikan dari pihak puskesmas, adanya pembagian rutin bubuk
abate setiap bulannya juga menjadi salah satu solusi untuk
92
menciptakan koordinasi antara masyarakat dengan pegawai
Puskesmas.
b. Diharapkan pihak tenaga kesehatan terkhusus pihak Puskesmas
Manguharjo dapat meningkatkan kembali pengontrolan atau
memonitoring secara maksimal kepada masyarakat dalam melakukan
pemberantasan sarang nyamuk, terutama berkaitan dengan 3M yang
baik dan benar
2. Bagi Penderita
a. Diharapkan responden agar mengoptimalkan tindakan
pemberantasan sarang nyamuk agar terhindar dari tempat yang
berpotensi untuk berkembangbiaknya nyamuk, terutama tindakan
menguras tempat penampungan air (TPA) karena sebagian
responden tidak menyikat dengan benar menggunakan sabun.
b. Responden diharapkan menutup TPA dengan rapat, karena dengan
menutup TPA dapat mengurangi nyamuk Aedes sp berkembangbiak
di dalam TPA, dimana kontainer tersebut menjadi media
berkembangbiak nyamuk Aedes agypti
c. Responden diharapkan menggunakan obat nyamuk dan lotion anti
nyamuk untuk mencegah gigitan nyamuk. Hal tersebut dapat
diterapkan pada saat aktivitas menggigit nyamuk, mencapai puncak
saat perubahan intensitas cahaya tetapi bisa menggigit sepanjang hari
dan tertinggi sebelum matahari terbenam yaitu pada pukul 08.00-
12.00 an 15.00-17.00.
d. Sebaikanya responden melipat dan menyimpan pakaian dalam lemari
karena nyamuk Aedes aegypti senang hinggap dan beristirahat di
tempat-tempat gelap dan kain tergantung. Pakaian yang tergantung
merupakan tempat yang disukai oleh nyamuk untuk hinggap, karena
nyamuk memiliki kemampuan untuk mencari mangsa dengan
mencium bau karbondioksida, asam laktat dan bau lainnya yang
berasal dari kulit yang hangat dan lembab.
93
e. Responden diharapkan juga untuk melakukan tindakan pemberantasan
sarang nyamuk sesuai dengan informasi yang sudah diperoleh dari
pihak puskesmas atau media sosial lainnya mengenai cara pengendalian
pencegahan penyakit DBD.
3. Bagi penelitian selanjutnya
Diharapkan peneliti selanjutnya dapat meneliti pengetahuan dan sikap
masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Manguharjo