BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar...

25
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mutu pelayanan kesehatan semakin menjadi topik sentral dalam pengelolaan rumah sakit dewasa ini, terutama sejak meningkatnya perhatian global terhadap keselamatan pasien (Brook et al., 2000; Marguerez et al., 2001; Lee et al., 2002). Berbagai fakta empirik selama lebih kurang sepuluh tahun terakhir menunjukkan bahwa rumah sakit merupakan fasilitas pelayanan kesehatan yang penuh risiko dan berdampak terhadap keselamatan pasien. Beberapa studi mengenai keselamatan pasien berikut ini menunjukkan fakta awal yang melandasi munculnya perhatian global. Studi mengenai adverse event (kejadian yang tidak diinginkan/KTD) yang dilaksanakan oleh Harvard Medical Practice yang dilaporkan oleh Institute of Medicine (IOM) menemukan bahwa sekitar 4% pasien mengalami KTD selama dirawat di rumah sakit. Sebesar 70% di antaranya berakhir dengan kecacatan, sedangkan 14% berakhir dengan kematian (Brennan et al., 1991). IOM melaporkan bahwa di Amerika diperkirakan terdapat sekitar 44.000-98.000 pasien meninggal setiap tahun akibat tindakan medik selama perawatan di rumah sakit. Angka ini jauh melebihi angka kematian akibat kecelakaaan lalu lintas maupun kanker payudara dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) (Kohn et al., 2000). Kematian tersebut sebenarnya dapat dicegah. Sementara itu Departemen Kesehatan Inggris, pada tahun 2000 melaporkan data KTD sebesar 10% dari kunjungan rumah sakit atau 850.000 KTD setiap tahun (World Health Organization/WHO, 2004). Dalam laporan tahunan The Minnesota Department of Health (MDH)

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar...

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75271/potongan/S3-2014...dasar untuk mengembangkan indikator klinis yang merupakan salah satu dari pilar

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Mutu pelayanan kesehatan semakin menjadi topik sentral dalam

pengelolaan rumah sakit dewasa ini, terutama sejak meningkatnya perhatian

global terhadap keselamatan pasien (Brook et al., 2000; Marguerez et al., 2001;

Lee et al., 2002). Berbagai fakta empirik selama lebih kurang sepuluh tahun

terakhir menunjukkan bahwa rumah sakit merupakan fasilitas pelayanan

kesehatan yang penuh risiko dan berdampak terhadap keselamatan pasien.

Beberapa studi mengenai keselamatan pasien berikut ini menunjukkan

fakta awal yang melandasi munculnya perhatian global. Studi mengenai adverse

event (kejadian yang tidak diinginkan/KTD) yang dilaksanakan oleh Harvard

Medical Practice yang dilaporkan oleh Institute of Medicine (IOM) menemukan

bahwa sekitar 4% pasien mengalami KTD selama dirawat di rumah sakit.

Sebesar 70% di antaranya berakhir dengan kecacatan, sedangkan 14% berakhir

dengan kematian (Brennan et al., 1991). IOM melaporkan bahwa di Amerika

diperkirakan terdapat sekitar 44.000-98.000 pasien meninggal setiap tahun

akibat tindakan medik selama perawatan di rumah sakit. Angka ini jauh melebihi

angka kematian akibat kecelakaaan lalu lintas maupun kanker payudara dan

Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) (Kohn et al., 2000). Kematian

tersebut sebenarnya dapat dicegah. Sementara itu Departemen Kesehatan

Inggris, pada tahun 2000 melaporkan data KTD sebesar 10% dari kunjungan

rumah sakit atau 850.000 KTD setiap tahun (World Health Organization/WHO,

2004). Dalam laporan tahunan The Minnesota Department of Health (MDH)

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75271/potongan/S3-2014...dasar untuk mengembangkan indikator klinis yang merupakan salah satu dari pilar

2

tahun 2010, menemukan bahwa antara tanggal 7 Oktober 2008 sampai 6

Oktober 2009, sebanyak 301 adverse event dilaporkan ke MDH. Angka ini

sedikit mengalami penurunan dari 312 adverse event yang dilaporkan pada

siklus pelaporan sebelumnya. Data menunjukkan bahwa jumlah kejadian yang

dilaporkan per bulan bervariasi sepanjang tahun, rata-rata 25,1 peristiwa per

bulan atau sekitar 5,8 peristiwa per minggu (MDH Annual Report, 2010).

Studi lain yang dilakukan pada sepuluh rumah sakit di North Carolina

menemukan hasil bahwa dari 2.341 kunjungan ke rumah sakit, ditemukan 588

mengalami KTD dan 63,1% di antaranya sebenarnya dapat dicegah.

Diidentifikasi ada 13 menyebabkan kerusakan permanen, 35 yang mengancam

jiwa, dan 9 kejadian yang menyebabkan kematian pasien dari KTD yang dapat

dicegah (Landrigan et al., 2010). Suatu studi di Amerika pada tiga rumah sakit

tahun 2011 menemukan angka KTD sebesar 33,2% dari kunjungan rumah sakit

atau 91 kejadian per 1.000 pasien per hari. Beberapa pasien mengalami lebih

dari satu jenis KTD. Jenis KTD yang terbanyak ditemukan adalah yang

berhubungan dengan pengobatan, kemudian kesalahan operasi dan prosedur

serta infeksi nosokomial (Classen et al., 2011).

Medical error tidak hanya menimbulkan risiko kematian, tetapi juga

menimbulkan dampak ekonomi yang besar. Perkiraan biaya nasional yang harus

ditanggung Amerika Serikat akibat preventable adverse event yaitu US$17.000

juta dan US$29.000 juta per tahun, termasuk hilangnya penghasilan akibat

kecacatan, biaya medik tambahan dan perawatan pasca KTD. Hal ini berdampak

pada menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan

(Kohn et al., 2000). Biaya tambahan yang harus dikeluarkan akibat perpanjangan

lama rawat inap pasien yang mengalami KTD di Inggris adalah sekitar £200 juta

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75271/potongan/S3-2014...dasar untuk mengembangkan indikator klinis yang merupakan salah satu dari pilar

3

per tahun. Biaya ini belum termasuk biaya ganti rugi yang diklaim ke National

Health Service sebesar £400 juta ditambah sekitar £2.400 juta biaya lainnya

(WHO, 2004).

Di Indonesia, pendokumentasian permasalahan kesehatan yang tidak

tertata menyebabkan rendahnya perhatian masyarakat terhadap permasalahan

yang ditimbulkan oleh tenaga profesional kesehatan. Permasalahan baru

terdeteksi apabila melibatkan proses hukum atau dipublikasikan di media massa.

Jumlah kasus tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dengan keseluruhan kasus

di rumah sakit. Meskipun demikian, secara keseluruhan menunjukkan trend yang

meningkat seiring dengan meningkatnya kesadaran dan tuntutan keterbukaan

masyarakat. Dengan pertimbangan berbagai kelemahan di Indonesia, dari sisi

standar pelayanan, sistem keamanan pasien, lisensi, monitoring, audit,

kesadaran masyarakat, dan penegakan hukum, maka dapat diasumsikan

permasalahan serupa juga muncul di Indonesia, bahkan mungkin lebih berat

daripada di negara maju. Jumlah tersebut seperti fenomena gunung es.

Suatu studi yang dilakukan oleh Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan

(PMPK) Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (FK UGM) tahun 2000

pada 15 rumah sakit dan 12 puskesmas di Jawa Tengah menunjukkan bahwa

secara umum prevalensi KTD tinggi dengan variasi antara 1,82%-88,8%. Nilai

prevalensi error 1,82% adalah pada kesalahan diagnosis, sedangkan 80,84%

adalah kesalahan dalam penggunaan antibiotik. Angka kejadian kesalahan terapi

yang ditunjukkan oleh penggunaan antibiotik yang tidak tepat dalam penanganan

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di rumah sakit maupun puskesmas.

Angka tersebut menunjukkan jumlah yang tinggi (78% di rumah sakit dan 88,84%

di puskesmas). Demikian juga kesalahan diagnosis berjenis error of commission

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75271/potongan/S3-2014...dasar untuk mengembangkan indikator klinis yang merupakan salah satu dari pilar

4

di rumah sakit pada kasus appendiktomi dan tonsilektomi (84,4% dan 98,2%).

Diagnosis error di puskesmas ditunjukkan dengan ketidaksesuaian hasil

pembacaan sediaan hapusan darah pada kasus malaria dan tuberkulosis yaitu

sebesar 67,2% dan 59,1%. Kejadian error of ommision merupakan

permasalahan yang serius, sebagaimana ditunjukkan oleh minimnya informasi

rekam medik. Studi ini mengukur KTD di pelayanan keperawatan dengan

indikator dekubitus. Hampir 40% pasien yang dirawat di Intensive Care Unit

(ICU) atau Intensive Cardiac Care Unit (ICCU) mengalami dekubitus rerata pada

hari perawatan ketujuh (Utarini, 2000).

Studi yang dilakukan oleh Putri (2004) pada pasien operasi elektif di

bangsal kamar operasi Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Sardjito

menemukan error of commission waktu pemberian antibiotik profilaksis sebesar

60% dan error of omission 90,5%. Hulu et al. (2009) melakukan studi mengenai

penatalaksanaan malaria di Rumah Sakit Umum (RSU) Gunung Sitoli Nias

menemukan 98 kejadian kesalahan diagnosis, terdiri dari 16 kejadian error of

ommission (17,39%) dan 82 error of commission (89,13%). Selain itu, terdapat

92 kejadian kesalahan terapi, terdiri atas 19 kejadian error of commission

(20,65%) dan 73 kejadian error of ommission (79,35%).

Suatu studi yang dilakukan pada rumah sakit X tahun 2011 menemukan

angka KTD sebesar 26,3% dan kejadian nyaris cedera (KNC) sebesar 73,7%.

Adapun bentuk KTD dan KNC adalah ketidaksesuaian identifikasi pasien,

kesalahan dalam pemberian obat (salah pasien, jenis obat), sampel darah pasien

tertukar, dan pasien jatuh (Mustikawati, 2011). Data dari asuransi proteksi profesi

Bumi Putera Muda tahun 2007 dan Januari 2008 melaporkan bahwa klaim

terhadap tindakan medis dokter yang mengakibatkan ganti rugi di Jakarta Bogor

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75271/potongan/S3-2014...dasar untuk mengembangkan indikator klinis yang merupakan salah satu dari pilar

5

Tangerang Bekasi (JABOTABEK) selama tahun 2007 tercatat 37 kasus dan

pada bulan Januari 2008 ditemukan 12 kasus (Perhimpunan Rumah Sakit

Seluruh Indonesia/PERSI, 2009).

Berdasarkan taksonomi keselamatan pasien menurut Joint Commission

on Accreditation of Healthcare Organizations (JCAHO) (Chang et al., 2005

penyebab KTD dapat berupa kegagalan sistem dan kegagalan manusia.

Kegagalan sistem pada dasarnya dibedakan menjadi dua, yaitu penyebab

secara organisasi dan secara teknis. Penyebab dari aspek organisasi meliputi

aspek manajemen, budaya organisasi, protokol/proses, alih pengetahuan serta

faktor eksternal. Faktor eksternal dapat dikelompokkan dalam dua kategori

utama yaitu (1) regulasi dan legislasi; dan (2) ekonomi dan insentif. Regulasi dan

legislasi meliputi setiap bentuk kebijakan publik atau aspek legal seperti lisensi

atau sistem hukum. Ekonomi dan insentif lain mencakup kategori yang luas

seperti misalnya tindakan individu atau kolektif dari konsumen, norma dan nilai-

nilai yang dimiliki oleh tenaga profesional kesehatan, dan nilai sosial dari

komunitas atau suatu bangsa.

Regulasi dan legislasi dapat mempengaruhi mutu dari organisasi

pelayanan kesehatan dalam dua cara. Pertama, mendorong pihak manajemen

dalam organisasi untuk senantiasa mengedepankan peningkatan mutu pelayanan.

Melalui regulasi dan legislasi maka setiap defisiensi harus direspon secara

tepat oleh institusi yang bersangkutan. Jika tidak, maka institusi tersebut

(misalnya rumah sakit) dapat dikenai sanksi sesuai yang tertulis dalam

perundang-undangan yang berlaku. Sebagai contoh, dalam UU Praktek

Kedokteran nomor 20 tahun 2004 disebutkan bahwa setiap dokter atau dokter

gigi wajib memiliki catatan medik dari semua pasien. Jika hal ini tidak dipenuhi

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75271/potongan/S3-2014...dasar untuk mengembangkan indikator klinis yang merupakan salah satu dari pilar

6

maka yang bersangkutan dapat dikenakan kurungan selama satu tahun atau

denda sebesar Rp 50 juta. Kedua, adanya regulasi dan legislasi akan

mendorong organisasi pelayanan kesehatan untuk memenuhi persyaratan-

persyaratan minimal yang dapat menjamin terlaksananya pelayanan yang bermutu.

Disamping itu dengan legislasi dan regulasi juga dapat disusun model-model

disinsentif yang tepat sehingga siapapun yang terlibat dalam proses pelayanan

kesehatan harus tunduk pada regulasi yang ada.

Kegagalan yang langsung dirasakan oleh pasien adalah kegagalan

manusia. Kegagalan dari aspek manusia dibedakan antara penyebab dari

pasien, praktisi dokter, dan eksternal. Penyebab ekstenal yang dimaksud adalah

oleh institusi asuransi. Kuatnya institusi asuransi dalam ikut mengatur,

mengendalikan, dan bahkan mewajibkan institusi pelayanan kesehatan

untuk menerapkan konsep mutu, memegang peran yang tidak kecil dalam

terselenggaranya pelayanan kesehatan yang bermutu dan berpihak pada

pasien. Hal ini berdampak pada dokter dan petugas pelayanan kesehatan mau

tidak mau harus tunduk pada ketentuan mengenai mutu pelayanan dan

keselamatan pasien. Kelompok-kelompok profesional seperti ikatan dokter dan

asosiasi para spesialis juga memiliki peran yang besar dalam mendefinisikan

norma dan praktek standar serta mulai menerapkannya melalui berbagai

kegiatan continuing medical education. Jika hal ini diterapkan secara benar maka

diharapkan akan memenuhi pula harapan dari konsumen. Jika disimak lebih

jauh lagi maka UU tentang Praktik Kedokteran nomor 29 tahun 2004 juga telah

mengisyaratkan bahwa dokter dan dokter gigi dalam menjalankan

prakteknya wajib mengikuti standar pelayanan yang ada. Artinya bahwa di setiap

rumah sakit harus memiliki standar pelayanan medik yang baku yang harus dapat

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75271/potongan/S3-2014...dasar untuk mengembangkan indikator klinis yang merupakan salah satu dari pilar

7

dijadikan pedoman bagi para dokter dan dokter gigi dalam mengambil

keputusan klinik serta menentukan tindakan medik secara adekuat (Kohn et al.,

2000).

Untuk menurunkan atau mengurangi penyebab terjadinya KTD, terdapat

berbagai intervensi yang dapat dilakukan, khususnya di rumah sakit. The

Massachusetts Coalition for the Prevention of Medical Errors menginisiasi

peningkatan keselamatan pasien dan mengurangi KTD antara lain bar-coding,

computerized-physician order entry, sistem monitoring, evaluasi keselamatan

pasien, dan sebagainya (Massachusetts Hospital Association, 1999).

Selain keselamatan pasien, mutu pelayanan rumah sakit juga dapat

diukur dari berbagai dimensi. IOM menggunakan enam dimensi, yaitu: safety,

effectiveness, patient-centredness, timeliness, efficiency, dan equity (IOM, 2001).

Sedangkan WHO mengembangkan model penilaian kinerja untuk peningkatan

mutu rumah sakit yang terdiri dari enam dimensi, yaitu: clinical effectiveness,

safety, patient centredness, efficiency, staff orientation, responsive governance

(WHO, 2003). Berbagai dimensi mutu tersebut selanjutnya digunakan sebagai

dasar untuk mengembangkan indikator klinis yang merupakan salah satu dari

pilar utama dalam clinical governance (yaitu clinical performance and evaluation).

Kerangka clinical governance dipelopori oleh National Health Service (NHS)

Inggris (Nicholls et al., 2000). Clinical governance berfungsi sebagai penjamin

kontrol sistem manajemen mutu klinis. Jika dicermati, pelaksanaan clinical

governance akan mampu menghindarkan para spesialis dari KTD dan lebih

lanjut dari tuntutan hukum. Oleh karena itu clinical governance harus dibangun

pada sistem yang baik dan efektif.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75271/potongan/S3-2014...dasar untuk mengembangkan indikator klinis yang merupakan salah satu dari pilar

8

Indonesia secara spesifik belum memiliki kerangka clinical governance

yang komprehensif, baik bagi pelayanan kesehatan secara umum maupun

rumah sakit. Pada tahun 1999, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik

Indonesia (RI) pernah mengembangkan konsep pelayanan prima untuk

mengantisipasi masalah dan tantangan di bidang pelayanan kesehatan. Di

bidang perumahsakitan, pelayanan kepada pasien berdasarkan standar

keahlian untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan pasien, sehingga pasien

dapat memperoleh kepuasan yang akhirnya dapat meningkatkan kepercayaan

kepada rumah sakit. Melalui pelayanan prima, rumah sakit diharapkan dapat

menghasilkan keunggulan kompetentif (competentif advantage) melalui

pelayanan yang bermutu, efisien, inovatif, dan tanggap terhadap pelanggan.

Namun demikian, kerangka tersebut belum menekankan pada mutu pelayanan

klinis. Meskipun pengembangan kerangka clinical governance secara

menyeluruh belum dilakukan, akan tetapi beberapa komponen dalam clinical

governance telah pula diimplementasikan di Indonesia. Sebagai ilustrasi, Standar

Pelayanan Minimal bagi rumah sakit (SPM-RS) telah mencakup berbagai

indikator klinis untuk setiap pelayanan di rumah sakit. SPM-RS merupakan

pengembangan dari indikator kinerja rumah sakit yang disusun oleh Kemenkes

RI pada tahun 2005. Sebelumnya, Kemenkes RI juga telah menyusun indikator

mutu klinis rumah sakit pada tahun 2001.

Bentuk lain penerapan clinical governance di Indonesia adalah melalui

Clinical Performance Development and Management System (CPDMS). Sistem

yang komprehensif untuk meningkatkan mutu pelayanan oleh tenaga profesi

kesehatan ini dikembangkan oleh Kemenkes RI pada tahun 2005, bekerja sama

dengan WHO. Walaupun strategi ini terfokus pada tenaga kesehatan perawat

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75271/potongan/S3-2014...dasar untuk mengembangkan indikator klinis yang merupakan salah satu dari pilar

9

dan bidan, namun program ini merupakan penerapan dari strategi clinical

governance (Kuntjoro dan Hanevi, 2006). Selain peran tenaga perawat dan

bidan, dokter memainkan peran kunci untuk meningkatkan mutu pelayanan klinis

dan meminimalkan KTD. Selain itu dokter memiliki peran penting sebagai

pemimpin klinis dalam mempengaruhi tim pemberi pelayanan lainnya. Pemimpin

klinis adalah dokter yang melakukan peran sebagai klinisi dan pada saat yang

bersamaan, juga berpartisipasi dalam manajemen, termasuk pengelolaan

sumber daya (Wright et al., 2001).

Upaya mencapai mutu pelayanan dan mutu pelayanan klinis rumah sakit

yang optimal dapat dilakukan secara internal oleh rumah sakit maupun secara

eksternal oleh lembaga sertifikasi atau akreditasi. Secara internal, rumah sakit

mengembangkan Sistem Manajemen Mutu (SMM) dengan mengacu pada

berbagai model. Pengakuan terhadap sistem tersebut dilakukan melalui

mekanisme sertifikasi dan akreditasi.

Di Indonesia berbagai model sistem manajemen mutu telah banyak

dikembangkan, dimulai dari Total Quality Management (TQM) dengan Gugus

Kendali Mutu (GKM) sejak tahun 1986, dan Clinical Performance Development

and Management System (1996). Selanjutnya pada tahun 1995 dikembangkan

program akreditasi rumah sakit untuk lima jenis pelayanan, yang ditingkatkan

menjadi dua belas pelayanan pada tahun 1998 dan enam belas pelayanan pada

tahun 2002. Akreditasi merupakan salah satu mekanisme regulasi mutu

pelayanan yang dikembangkan pemerintah agar rumah sakit dapat memperbaiki

mutu pelayanannya. Selain melalui akreditasi rumah sakit, terdapat pula rumah

sakit di Indonesia yang mengadaptasi model SMM lainnya, seperti dengan

sertifikasi International Standard Organization (ISO) 9001, European Foundation

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75271/potongan/S3-2014...dasar untuk mengembangkan indikator klinis yang merupakan salah satu dari pilar

10

for Quality Management (EFQM), Malcolm Baldridge Quality Award (MBNQA),

akreditasi Joint Commission International (JCI) dan pada tahun 2012

Kementerian Kesehatan dan Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) telah

menyusun standar akreditasi baru dengan sistem akreditasi JCI. Perkembangan

model sistem manajemen mutu di Indonesia, dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Perkembangan model SMM di Indonesia

Akreditasi rumah sakit di Indonesia dinyatakan bersifat wajib dalam

Undang-Undang Rumah Sakit (UURS) dan telah dilaksanakan sejak tahun 1996,

tetapi sampai dengan tahun 2011, baru 876 dari 1.376 (63,5%) rumah sakit

terakreditasi. Dari 876 yang sudah terakreditasi, 574 telah terakreditasi 5 standar

pelayanan dan 195 yang terakreditasi 16 pelayanan. Sementara itu jumlah

rumah sakit per Desember 2012 telah meningkat menjadi 1.721 (Kemenkes,

2013).

QA

puskesmas

1994

1986

TQM/GKM

1995

Akreditasi 5

pelayanan

1998

Akreditasi 12

pelayanan

Manajemen

kinerja

1998

Akreditasi JCI

2011

2004

SMM IS0

Akreditasi 16

pelayanan

2002

2012

Akreditasi KARS

versi 2012

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75271/potongan/S3-2014...dasar untuk mengembangkan indikator klinis yang merupakan salah satu dari pilar

11

Implementasi akreditasi dirasakan kurang menyentuh aspek klinik. Hasil

evaluasi yang dilakukan oleh Badan Pelayanan Kesehatan (Bapelkes) Gombong

tahun 2000 terhadap pelaksanaan Quality Assurance (QA) dan TQM di Jawa

Tengah menyimpulkan bahwa pelaksanaan manajemen mutu rumah sakit lebih

menekankan pada pelayanan umum dan administrasi dibandingkan dengan

pelayanan klinik. Selain itu, masalah lain yang diidentifikasi adalah dokter

terutama dokter spesialis sulit dilibatkan dalam peningkatan mutu, kesulitan

dalam merumuskan indikator keberhasilan, orientasi pada proses, dan bukan

pada peningkatan kinerja serta kesulitan dalam mencari data (Kuntjoro, 2001).

Soepojo et al. (2002) yang melakukan studi benchmarking sistem

akreditasi rumah sakit di Indonesia dan Australia juga menemukan bahwa sistem

pengembangan mutu pelayanan rumah sakit di Australia oleh Australian Council

on Healthcare Standard (ACHS) dapat berjalan baik karena lembaga akreditasi

mempunyai orientasi untuk memenuhi standar dan memelihara kesinambungan

hasil yang sudah dicapai. Rumah sakit didorong untuk membuat indikator klinis

dan ACHS memfasilitasi rumah sakit untuk melakukan benchmarking. Hasil

benchmarking di Rumah Sakit Prince of Wales menunjukkan bahwa akreditasi

bukan suatu hal yang penting jika rumah sakit mampu menerapkan program

peningkatan mutu berkelanjutan. Hasil berbeda dengan Rumah Sakit John

Hunter di Australia, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Banyuwangi dan

Rumah Sakit St. Elisabeth di Indonesia diperoleh bahwa akreditasi diperlukan

sebagai pengawas eksternal untuk memantau mutu pelayanan (Soepojo et al.,

2002).

Studi oleh PMPK FK UGM di Jawa Tengah yang melakukan evaluasi

struktur, proses, dan output sistem akreditasi rumah sakit di Indonesia

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75271/potongan/S3-2014...dasar untuk mengembangkan indikator klinis yang merupakan salah satu dari pilar

12

menemukan hasil bahwa terdapat bukti kegiatan untuk menurunkan risiko klinis

sesudah akreditasi KARS. Namun kegiatan belum dilakukan secara sistematis

dan terprogram, seperti pengembangan gugus kendali mutu untuk keluhan

pasien, tetapi tidak menangani KTD secara efektif. Demikian juga tidak terdapat

bukti yang mengaitkan kepuasan pelanggan dengan akreditasi KARS. Mutu

pelayanan klinis yang rendah pada organisasi pelayanan kesehatan dapat dilihat

dari tingginya angka KTD di rumah sakit juga tidak terlepas dari status

akreditasinya (Utarini, 2000).

Temuan dari hasil penelitian evaluasi SMM di tingkat internasional juga

tidak jauh berbeda. Lee et al. (2002) menyatakan bahwa 98% sistem manajemen

mutu rumah sakit di Amerika telah berhasil meningkatkan kinerja klinis dan

melakukan pemeliharaan mutu secara berkesinambungan, tetapi rumah sakit di

Korea lebih lambat dalam pencapaian hal tersebut. Meskipun SMM telah

diterapkan secara luas di rumah sakit, namun tingkat keberlanjutan dan

keberhasilannya masih bervariasi (Lee et al., 2002; Francois et al., 2003;

Wardhani et al., 2009). Sebagian rumah sakit telah berhasil meningkatkan

mutunya, namun tidak sedikit yang gagal (Wardhani et al., 2009).

Fakta lain menunjukkan bahwa berbagai rumah sakit di seluruh dunia telah

memulai program akreditasi sebagai upaya pengembangan mutu, namun tidak

cukup bukti bahwa rumah sakit tersebut telah menggunakan sumber daya terbaik

untuk meningkatkan mutu pelayanan (Braithwaite et al., 2006). Dick (2000)

menemukan hal yang serupa dan menyatakan bahwa tidak terdapat fakta yang

signifikan dalam pencapaian organisasi setelah mengikuti SMM seperti ISO dan

akreditasi. Demikian pula Heuvel et al. (2005) menunjukkan bahwa tidak ada

perbedaan yang signifikan antara pencapaian standar keselamatan pasien pada

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75271/potongan/S3-2014...dasar untuk mengembangkan indikator klinis yang merupakan salah satu dari pilar

13

rumah sakit yang menerapkan SMM ISO 9001. Rumah sakit, baik yang

menerapkan maupun tidak menerapkan SMM ISO 9001, mengalami rerata

peningkatan pencapaian keselamatan pasien yang sama sebesar 49% dalam

kurun waktu tiga tahun. Hal ini membuktikan SMM ISO 9001 bukanlah

determinan peningkatan kinerja klinik. Sama halnya dengan tidak dapat

dibuktikannya efektivitas berbagai ragam SMM yang diadopsi dan

diimplementasikan di rumah sakit (Braithwaite et al., 2006).

Hasil penelitian di Indonesia juga mengindikasikan temuan yang serupa.

Berbagai upaya pengembangan mutu yang dilakukan rumah sakit ternyata belum

mampu menghasilkan peningkatan kinerja rumah sakit, terutama dalam hal

peningkatan kinerja klinik. Penelitian Yudani (2003) di RSU Banyumas

menunjukkan bahwa meskipun rumah sakit tersebut telah terakreditasi dua belas

pelayanan, tetapi indikator mutu pelayanan klinik sebagian besar mengalami

penurunan pada periode pascaakreditasi.

Penelitian yang dilakukan di fasilitas puskesmas untuk mengukur

pencapaian indikator mutu pelayanan menunjukkan tidak ada perbedaan secara

signifikan di antara puskesmas ISO dan puskesmas tanpa ISO. Bahkan pada

puskesmas yang telah ISO, waktu tunggu jauh lebih lama dibandingkan

puskesmas tanpa ISO. Kedua jenis puskesmas memiliki indeks kepuasan pasien

di bawah standar 80% walaupun tingkat kepuasan di puskesmas yang telah ISO

lebih tinggi daripada tanpa ISO (Ratutaga, 2007).

Literatur terkini masih memperdebatkan bukti-bukti tentang nilai dan

manfaat akreditasi dalam meningkatkan mutu klinis. Suatu kajian literatur tentang

proses akreditasi dan dampaknya yang dilakukan oleh Greenfield et al. (2008)

menemukan bahwa hubungan antara pengukuran mutu dan akreditasi sangatlah

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75271/potongan/S3-2014...dasar untuk mengembangkan indikator klinis yang merupakan salah satu dari pilar

14

kompleks dan beberapa penelitian lain bahkan tidak menunjukkan hubungan

antara hasil akreditasi dengan mutu pelayanan ataupun mutu klinis. Dalam kajian

literatur tersebut masih memperdebatkan bukti-bukti tentang nilai dan manfaat

akreditasi dalam meningkatkan mutu klinis dan keselamatan pasien (Barker et al,

2002; Miller et al., 2005). Beberapa studi menunjukkan hubungan yang lemah

antara akreditasi atau status sertifikasi dengan indikator mutu pelayanan (Chen

dan Rathore, 2003; Borenstein et al., 2004; Dean et al.,2005).

RSUP Dr. Sardjito adalah rumah sakit pendidikan kelas A dan rujukan

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah bagian selatan. RSUP Dr.

Sardjito merupakan rumah sakit pendidikan utama yang digunakan oleh fakultas

kedokteran UGM untuk memenuhi proses pendidikan dalam rangka mencapai

kompetensi di bidang kedokteran. Visi RSUP Dr. Sardjito menjadi salah satu

rumah sakit unggulan dalam bidang pelayanan, pendidikan dan penelitian di Asia

Tenggara yang bertumpu pada kemandirian. Sebagai rumah sakit pendidikan

utama, RSUP Dr.Sardjito bertanggung jawab terhadap pendidikan profesi dokter

dan dokter spesialis-sub spesialis, namun di sisi lain juga harus memberikan

pelayanan yang bermutu kepada masyarakat. Kenyataannya bahwa pemberi

pelayanan kesehatan utama di rumah sakit pendidikan adalah dokter residen.

Salah satu jenis pelayanan yang diberikan di RSUP Dr. Sardjito adalah

pelayanan kebidanan dan kandungan. Pelayanan kebidanan dan kandungan

menjadi hal penting mengingat bahwa angka kematian ibu dan angka kematian

bayi di Indonesia masih tinggi yaitu 34 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun

2007 (Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia/SDKI 2007) dan angka

kematian ibu melahirkan 228 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2007

(SDKI 2007). Selain itu masalah kematian ibu ini juga menjadi salah satu dari

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75271/potongan/S3-2014...dasar untuk mengembangkan indikator klinis yang merupakan salah satu dari pilar

15

tujuan pembangunan millenium (Millenium Development Goals/MDGs) Tahun

2015 yang sasarannya dan indikatornya adalah mengurangi angka kematian ibu

(AKI) sebesar ¾ dari AKI pada tahun 1990 menjadi 125/100.000 kelahiran hidup

dan mengurangi angka kematian bayi dan balita sebesar 2/3 dari tahun 1990

menjadi 25/1000 kelahiran hidup (Kemenkes RI, 2008).

Pelayanan kebidanan yang saat ini menjadi perhatian adalah pelayanan

persalinan sectio caesarea (SC). SC adalah cara melahirkan janin melalui insisi

pada dinding abdomen. Angka SC meningkat dalam dua dekade, baik pada

negara berkembang maupun negara maju. Di negara berkembang, proporsi

kelahiran SC berkisar 21,1% dari total kelahiran yang ada, sedangkan di negara

maju hanya 2%. Di Inggris angka SC meningkat dari 18% pada tahun 1997-

1998 menjadi 22% pada tahun 2000-2001 (Mayor, 2002), dan di Prancis pada

tahun 1981 sebesar 10,7% menjadi 15,3% tahun 1995. Suatu studi yang

dilakukan di Amerika juga menemukan peningkatan SC rate dari 45,8% menjadi

70,5% dari total kelahiran dari tahun 1995-2004 (Nazneen et al., 2010).

Di Indonesia angka persalinan SC juga mengalami peningkatan.

Berdasarkan hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2010, angka

melahirkan dengan metode SC di Indonesia sebesar 15,3%. Angka ini jauh lebih

tinggi dibandingkan data SDKI tahun 2007 angka melahirkan dengan SC yaitu

sebesar 6,8%. Berdasarkan hasil Riskesdas 2010 proporsi SC tertinggi di

Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta (27,2%) dan terendah di Sulawesi

Tenggara (5,5%). Provinsi DIY menempati urutan keempat untuk metode

persalinan dengan SC sebesar 20,8% (Badan Penelitian dan Pengembangan

Kesehatan/Balitbangkes, 2010). Angka ini jauh lebih tinggi dari yang ditetapkan

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75271/potongan/S3-2014...dasar untuk mengembangkan indikator klinis yang merupakan salah satu dari pilar

16

oleh WHO bahwa angka ideal SC pada suatu negara adalah 5%-15% (WHO,

2010).

Persalinan dengan SC bukan tanpa risiko, beberapa studi membuktikan

adanya peluang terjadi peningkatan masalah baik pada ibu dan bayinya. Tahun

2005, WHO melakukan suatu studi kohort prospektif kesehatan ibu dan perinatal,

pada 410 fasilitas kesehatan dari 24 daerah di delapan negara Amerika Latin

yang dipilih secara acak. Hasilnya diketahui bahwa ibu melahirkan dengan SC

terbukti secara bermakna meningkatkan kematian ibu dibandingkan persalinan

normal, risiko pada persalinan SC yang direncanakan/elektif lebih besar daripada

caesaria intrapartum. Di negara berkembang persalinan dengan SC juga

meningkatkan infant morbidity dan mortality (Duley & Hendersen, 2003; Du et al.,

2004; Ronsmans et al., 2009).

Dalam tiga tahun terakhir, sejak tahun 2007 sampai 2010 angka persalinan

dengan SC di RSUP Dr. Sarjito menunjukkan adanya peningkatan sebagaimana

Tabel 1 berikut:

Tabel 1Persentase Jumlah Tindakan Persalinan di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta,

Tahun 2007-2009

TahunPersalinan

pervaginumPersalinan dengan SC Jumlah

2007 1472 (73,5%) 531 (26,5%) 2003

2008 1533 (72,8%) 572 (27,2%) 2105

2009 1690 (71,9%) 659 (28,1%) 2349

Sumber : data sekunder RSUP dr. Sardjito

RSUP Dr. Sardjito sebagai rumah sakit pendidikan tak lepas dari harapan

masyarakat akan pelayanan yang bermutu. Dalam upaya meningkatkan mutu

pelayanan berbagai upaya telah dilakukan di RSUP Dr. Sardjito yang

berorientasi kepada keselamatan pasien dan kepuasan pelanggan. Adapun

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75271/potongan/S3-2014...dasar untuk mengembangkan indikator klinis yang merupakan salah satu dari pilar

17

program mutu yang dilakukan adalah akreditasi RS 16 pelayanan dengan

predikat excellent, sertifikasi ISO 9001:2008, Case Mix dan Ina DRGs, PSBH,

keselamatan pasien dan manajemen risiko klinik serta akreditasi internasional

Joint Commission Internasional (JCI) standar Academic Medical Standards

(AMC). Selain itu sejak tahun 2000, RSUP Dr. Sardjito telah menyusun dan

mengukur kinerja pelayanan klinis menggunakan indikator klinis yang disusun

berdasarkan pada Standar Pelayanan Minimal (SPM) rumah sakit dari Depkes RI

dan mengadopsi dari indikator ACHS (Komite Medik RSUP Dr.Sardjito, 2008).

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan sebelumnya maka peneliti ingin

mengetahui hubungan implementasi SMM ISO 9001 dan kinerja klinis pelayanan

SC di RSUP Dr. Sardjito.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas dapat diringkas fakta sebagai berikut:

1) Studi di luar negeri dan di Indonesia menunjukkan masalah keselamatan

pasien sebagai isu sentral pelayanan kesehatan saat ini, 2) Di Indonesia clinical

governance dan berbagai model SMM telah banyak dikembangkan agar rumah

sakit dapat memperbaiki mutu pelayanan, dan 3) Hasil penelitian evaluasi SMM

baik di tingkat nasional maupun internasional menunjukkan belum cukup bukti

yang ditemukan bahwa SMM dapat meningkatkan kinerja rumah sakit, terutama

kinerja klinis. 4) RSUP Dr. Sardjito adalah rumah sakit pendidikan yang sudah

mengimplementasikan berbagai SMM dan memberikan pelayanan SC.

Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini

adalah: apakah implementasi SMM ISO 9001 mempunyai hubungan dengan

kinerja klinis pelayanan SC di RSUP Dr. Sardjito?

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75271/potongan/S3-2014...dasar untuk mengembangkan indikator klinis yang merupakan salah satu dari pilar

18

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan Umum:

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan hubungan antara implementasi

SMM ISO 9001 dan kinerja klinis pelayanan SC di RSUP Dr. Sardjito.

Tujuan khusus:

1. Mengukur kinerja klinis pelayanan SC di RSUP Dr. Sardjito.

2. Menjelaskan implementasi SMM ISO 9001 pada unit yang terkait

pelayanan SC di RSUP Dr. Sardjito.

3. Menjelaskan hubungan antara implementasi SMM ISO 9001 dan kinerja

klinis pelayanan SC di RSUP Dr. Sardjito.

1.4. Keaslian Penelitian

Terdapat delapan penelitian yang secara langsung mengaitkan antara

SMM dan kinerja pelayanan. Deskripsi penelitian tersebut digambarkan pada

Tabel 2 berikut ini:

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75271/potongan/S3-2014...dasar untuk mengembangkan indikator klinis yang merupakan salah satu dari pilar

19

Tabel 2Penelitian Sistem Manajemen Mutu dan Kinerja

Penulis, tahun Setting Populasi dan Sampel Metode Hasil Utama

Shaw et al.

(2014)

Rumah sakit

di Eropa.

Populasi: 73 rumah

sakit (N=73) dengan

291 clinical pathway

untuk pasien dengan

AMI, fraktur tulang

pinggul, pelayanan

kebidanan dan stroke.

- Desain: crosssectional

- Analisis:multivariabel mixedlinear regression.

- Pada domain keahlian khusus, baikakreditasi maupun sertifikasi menunjukkanhubungan yang positif pada empat kondisiklinik (AMI, fraktur tulang pinggul, pelayanankebidanan dan stroke khususnya padarumah sakit dengan sertifikasi danakreditasi.

- Akreditasi dan sertifikasi menunjukkansedikit manfaat, kecuali dalam manajemenstres.

Rouzbahani et

al. (2013)

Rumah sakit

di Provinsi

Lorestan

Iran.

Populasi: pasien dan

staf rumah sakit

Sampel: 385 pasien

dan 119 staf rumah

sakit

- Desain: crosssectional study.

- Instrumen: kuesioneruntuk kepuasanpasien dankuesioner tentangpengurangankesalahan kerja staf.

- Analisis: statistiknonparametrikWilcoxon .

- Ada hubungan yang signifikan antaraimplementasi SMM ISO 9001-2000 dengantingkat kepuasan pasien di rumah sakitProvinsi Lorestan sebelum dan setelahimplementasi SMM.

- Ada hubungan antara implementasi SMMISO 9001-2000 dengan pengurangankesalahan yang berkaitan dengan pekerjaanstaf di rumah sakit, kesalahan kerjamenurun setelah implementasi ISO.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75271/potongan/S3-2014...dasar untuk mengembangkan indikator klinis yang merupakan salah satu dari pilar

20

Penulis, tahun Setting Populasi dan Sampel Metode Hasil Utama

Al-Qahtani et

al. (2012)

Rumah sakit

di Provinsi

Timur Saudi

Arabia.

Populasi: pasien rawat

inap dan rawat jalan.

Sampel: 420 pasien,

masing-masing 210

untuk setiap rumah

sakit

- Desain: crosssectional study

- Instrumen: kuesionerdiadaptasi dari Al-Qahtani terdiri dari39 pertanyaanmeliputi enambidang.

- Analisis: Uji beda tesMann-Whitney U.

- Rumah sakit yang terakreditasi, skorkepuasan untuk fasilitas pelayanan klinik,pelayanan umum, profesionalisme padaultrasound, dan kepuasan secara umumlebih tinggi dibandingkan rumah sakit tidakterakreditasi.

- Pada rumah sakit yang tidak terakreditasi,skor kepuasan pasien lebih tinggi hanyapada profesionalisme laboratorium,sedangkan pada aspek lain skornya lebihrendah.

- Terdapat perbedaan tingkat kepuasanpasien pada rumah sakit yang terakreditasidan yang tidak terakreditasi dalam bidangfasilitas pelayanan klinik, profesionalismeUSG, profesionalisme laboran dankepuasan keseluruhan.

Macinati (2008) Pelayanan

kesehatan di

Italia.

Populasi: seluruh

pemberi pelayanan

kesehatan publik Italia

(N = 353).

- Desain: kuantitatif

- Analisis: korelasi,

exploratory

- Metode: survei

nasional dengan

menggunakan

kuesioner via pos

- Sampel: 148

kuesioner (response

rate 41,9%) dan

setelah penyaringan

- Kinerja subjektif non-finansial secara positifberkorelasi dengan faktor independenpartisipasi pegawai dalam manajemen mutu,data mutu, pelaporan dan penggunaan,keberadaan dan peran dari departemenmutu, komitmen manajemen puncakterhadap strategi mutu, dan karakteristikrencana strategis manajemen mutu.

- Kinerja outcome objektif berkorelasi secarapositif dengan besarnya biaya untuk datamutu.

- Kinerja outcome objektif secara negatifberkorelasi dengan komitmen manajemenpuncak terhadap mutu strategis dankarakteristik rencana strategis manajemen

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75271/potongan/S3-2014...dasar untuk mengembangkan indikator klinis yang merupakan salah satu dari pilar

21

Penulis, tahun Setting Populasi dan Sampel Metode Hasil Utama

144 kuesioner dapat

digunakan.

mutu.- Ada hubungan antara kinerja organisasi

dengan elemen kunci SMM.- Penekanan hasil penelitian ini adalah pada

keberadaan dan peran departemen mutuyang merupakan faktor dasar penting dariSMM dan memiliki pengaruh positif terhadapkinerja subjektif.

El Jardali et al.

(2008)

Rumah sakit

di Lebanon.

- Populasi:perawat.Sampel:1048 orang perawatyang diambil dari 59rumah sakit yangmenjadi sampel(rumah sakit yangtelah suksesmelewati surveiakreditasi satu dandua.

- Jenis penelitian:survei dengandesain crosssectional study.

- Instrumen: kuesioneruntuk menilai mutupelayanan dan faktoryang berpengaruh.Terdiri dari sembilanitem pengukurandan berdasarkanlima poin skala likert.

- Nilai yang tinggi untuk variabel hasil mutumengindikasikan bahwa perawat merasakanada peningkatan mutu selama dan setelahproses akreditasi. Prediktor hasil mutu yanglebih baik adalah kepemimpinan, komitmendan dukungan, penggunaan data,manajemen mutu, keterlibatan staf danukuran rumah sakit.

- Variabel manajemen mutu, yang diukurdengan skala manajemen mutu, memilikidampak terbesar di rumah sakit berukuransedang, sementara pengukuran sub skalaketerlibatan staf mempunyai dampakterbesar di rumah sakit berukuran kecil.

Kunkel et al.

(2007)

Departemen/

bagian rumah

sakit di

Swedia.

- Populasi: 1757 unitrumah sakit.

- Sampel: 600 unitrumah sakit. Metode:simple randomsampling.

- Sampel: 386 unitrumah sakit, 75%respons rate.

- Desain: kuantitatif- Analisis: korelasi;

confirmatory factoranalysis danstructural equationmodeling dalamLISREL.

- Hubungan antara struktur, proses, dankeluaran diketahui merupakan model yangbaik dari sistem mutu di rumah sakit (p =0,095). Struktur memiliki korelasi yang kuatdengan proses (0,72) dan keluaran (0,60).Proses memiliki korelasi positif dengankeluaran (0,02). Model ini dapat digunakanuntuk menggambarkan dan mengevaluasisuatu SMM atau untuk membandingkanbeberapa SMM.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75271/potongan/S3-2014...dasar untuk mengembangkan indikator klinis yang merupakan salah satu dari pilar

22

Penulis, tahun Setting Populasi dan Sampel Metode Hasil Utama

Wagner et al.

(2006).

Rumah

perawatan di

Belanda.

- Populasi: stafmanajemen danpenghuni rumahperawatanBelanda.Metode:random sampling.

- Sampel: 12.377partisipan (stafmanajemen rumahperawatan danpenghuni) dari 65rumah perawatanBelanda (responserate = 64%).

- Desain: Cross-sectional

- Analisis: descriptivestatistics danmultilevel analisis.Data survei primertentangimplementasi SMMdan aktivitas QualityAssurance (QA),informasikarakteristikpenghuni, dankeluaran yang tidakdiinginkandikumpulkan tahun1994/1995 dan1998.

- Rumah perawatan yang memiliki nilaikeluaran yang tidak diinginkan paling rendah,keluaran yang tidak diinginkan terjadi kira-kira 10 kali lebih sedikit dibandingkan padarumah perawatan yang memiliki nilaitertinggi. Implementasi Quality ManagementSystem (QMS) dan keterlibatan client councilmemiliki pengaruh signifikan pada jumlahkeluaran yang tidak diinginkan. SMM danaktivitas QA dirancang untuk meningkatkankeluaran klinis bagi penghuni rumahperawatan dengan cara memperbaiki prosespenyediaan pelayanan kesehatan. Penelitianini menunjukkan bahwa SMM hasilimplementasi SMM hanya terlihat padajangka panjang, dan memerlukan waktusebelum SMM dapat mempengaruhi prosespelayanan, perilaku pemberi pelayanan, danoutcome klinis.

Li (1997) Rumah sakit

di tiga daerah

di USA

(Florida,

Ohio,

Oregon).

Populasi: 492

community hospital dari

tiga region di USA

(Florida, Ohio, Oregon).

- Desain: kuantitatif- Analisis: Path

analytical model- Instrumen: kuesioner- Proses dua tahap

dilakukan untukmengembangkanmodel manajemenmutu rumah sakitdan menentukankonstruksimanajemen muturumah sakit, yaitu

- Mutu pelayanan kesehatan secara langsungdan positif dipengaruhi oleh analisisinformasi/proses, pengembangan tenagakerja dan kepemimpinan teknologi.

- Kepemimpinan top manajemen memilikidampak langsung dan positif terhadapkoordinasi organisasional, kepemimpinanteknologi, dan pengembangan tenaga kerja.

- Kerja sama organisasional, pengembangantenaga kerja, investasi teknologi medis, dananalisis informasi/proses menjadi perantarahubungan antara mutu pelayanan kesehatandengan kepemimpinan manajemen puncak.

Page 23: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75271/potongan/S3-2014...dasar untuk mengembangkan indikator klinis yang merupakan salah satu dari pilar

23

Penulis, tahun Setting Populasi dan Sampel Metode Hasil Utama

melalui pengkajianliteratur yang luasdan wawancara dandiskusi denganprofesi di rumahsakit. Datadikumpulkan melaluisurvei via pos.

Koordinasi organisasional dankepemimpinan teknologi memiliki dampaksignifikan dan positif terhadap analisisinformasi/proses.

Page 24: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75271/potongan/S3-2014...dasar untuk mengembangkan indikator klinis yang merupakan salah satu dari pilar

24

Jika dibandingkan dengan studi-studi sebelumnya, maka kebaruan

penelitian ini terletak pada pemilihan kasus yaitu pelayanan SC. Pengukuran

kinerja klinis pada penelitian ini adalah kinerja klinis pelayanan SC. Berbeda

dengan penelitian sebelumnya, yang pengukuran kinerja adalah kinerja rumah

sakit bukan kinerja klinis pelayanan seperti penelitian oleh Macinati (2008) dan El

Jaldari et al. (2008). Pengukuran kinerja klinis pelayanan SC pada penelitian ini

dilakukan secara objektif dengan pengumpulan data secara longitudinal mulai

dari pasien masuk rumah sakit sampai tiga puluh hari sesudah SC. Jadi

pengukuran kinerja tidak menggunakan data sekunder dan tidak berdasarkan

persepsi pasien, klinisi ataupun manajer rumah sakit seperti yang dilakukan oleh

Wagner et al. (2006); Macinati (2008); Al-Qahtani et al. (2012); Rouzbahani et al.

(2013).

Kebaruan lainnya yaitu implementasi SMM ISO 9001 yang diteliti adalah

pada unit pelayanan yang terkait pelayanan SC di rumah sakit. Penelitian-

penelitian sebelumnya dilakukan di tingkat rumah sakit. Selain itu, penelitian ini

mempunyai kekuatan dalam kemampuan eksplanatori untuk menjelaskan

hubungan implementasi sistem manajemen mutu ISO 9001 dan kinerja klinis

pelayanan SC di rumah sakit dengan desain penelitian studi kasus dengan

rancangan multikasus terpancang. Data yang digunakan dalam studi kasus ini

adalah data kuantitatif dan kualitatif. Ini berbeda dengan penelitian yang

dilakukan sebelumnya yang mempunyai jenis penelitian kuantitatif dengan

metode survei (Li, 1997; Wagner et al., 2006; Kunkel et al., 2007; El Jaldari et al.,

2008; Macinati, 2008; Al-Qahtani et al., 2012; Rouzbahani et al., 2013).

Dengan demikian diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk

mengusulkan perbaikan implementasi SMM untuk meningkatkan kinerja klinis.

Page 25: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75271/potongan/S3-2014...dasar untuk mengembangkan indikator klinis yang merupakan salah satu dari pilar

25

1.5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini akan memberi manfaat yaitu:

1. Manfaat teoritik

Penelitian ini bermanfaat untuk memperluas cakrawala pemahaman dalam

manajemen mutu, khususnya hubungan implementasi SMM dengan kinerja

pelayanan rumah sakit, termasuk kinerja klinis.

2. Manfaat aplikatif

Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan masukan kepada pihak rumah

sakit dalam mengambil langkah-langkah perbaikan implementasi sistem

manajemen mutu yang sesuai baik di tingkat unit pelayanan maupun di

tingkat organisasi, sehingga dapat meningkatkan pencapaian kinerja klinis.