BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Mutu pelayanan kesehatan semakin menjadi topik sentral dalam
pengelolaan rumah sakit dewasa ini, terutama sejak meningkatnya perhatian
global terhadap keselamatan pasien (Brook et al., 2000; Marguerez et al., 2001;
Lee et al., 2002). Berbagai fakta empirik selama lebih kurang sepuluh tahun
terakhir menunjukkan bahwa rumah sakit merupakan fasilitas pelayanan
kesehatan yang penuh risiko dan berdampak terhadap keselamatan pasien.
Beberapa studi mengenai keselamatan pasien berikut ini menunjukkan
fakta awal yang melandasi munculnya perhatian global. Studi mengenai adverse
event (kejadian yang tidak diinginkan/KTD) yang dilaksanakan oleh Harvard
Medical Practice yang dilaporkan oleh Institute of Medicine (IOM) menemukan
bahwa sekitar 4% pasien mengalami KTD selama dirawat di rumah sakit.
Sebesar 70% di antaranya berakhir dengan kecacatan, sedangkan 14% berakhir
dengan kematian (Brennan et al., 1991). IOM melaporkan bahwa di Amerika
diperkirakan terdapat sekitar 44.000-98.000 pasien meninggal setiap tahun
akibat tindakan medik selama perawatan di rumah sakit. Angka ini jauh melebihi
angka kematian akibat kecelakaaan lalu lintas maupun kanker payudara dan
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) (Kohn et al., 2000). Kematian
tersebut sebenarnya dapat dicegah. Sementara itu Departemen Kesehatan
Inggris, pada tahun 2000 melaporkan data KTD sebesar 10% dari kunjungan
rumah sakit atau 850.000 KTD setiap tahun (World Health Organization/WHO,
2004). Dalam laporan tahunan The Minnesota Department of Health (MDH)
2
tahun 2010, menemukan bahwa antara tanggal 7 Oktober 2008 sampai 6
Oktober 2009, sebanyak 301 adverse event dilaporkan ke MDH. Angka ini
sedikit mengalami penurunan dari 312 adverse event yang dilaporkan pada
siklus pelaporan sebelumnya. Data menunjukkan bahwa jumlah kejadian yang
dilaporkan per bulan bervariasi sepanjang tahun, rata-rata 25,1 peristiwa per
bulan atau sekitar 5,8 peristiwa per minggu (MDH Annual Report, 2010).
Studi lain yang dilakukan pada sepuluh rumah sakit di North Carolina
menemukan hasil bahwa dari 2.341 kunjungan ke rumah sakit, ditemukan 588
mengalami KTD dan 63,1% di antaranya sebenarnya dapat dicegah.
Diidentifikasi ada 13 menyebabkan kerusakan permanen, 35 yang mengancam
jiwa, dan 9 kejadian yang menyebabkan kematian pasien dari KTD yang dapat
dicegah (Landrigan et al., 2010). Suatu studi di Amerika pada tiga rumah sakit
tahun 2011 menemukan angka KTD sebesar 33,2% dari kunjungan rumah sakit
atau 91 kejadian per 1.000 pasien per hari. Beberapa pasien mengalami lebih
dari satu jenis KTD. Jenis KTD yang terbanyak ditemukan adalah yang
berhubungan dengan pengobatan, kemudian kesalahan operasi dan prosedur
serta infeksi nosokomial (Classen et al., 2011).
Medical error tidak hanya menimbulkan risiko kematian, tetapi juga
menimbulkan dampak ekonomi yang besar. Perkiraan biaya nasional yang harus
ditanggung Amerika Serikat akibat preventable adverse event yaitu US$17.000
juta dan US$29.000 juta per tahun, termasuk hilangnya penghasilan akibat
kecacatan, biaya medik tambahan dan perawatan pasca KTD. Hal ini berdampak
pada menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan
(Kohn et al., 2000). Biaya tambahan yang harus dikeluarkan akibat perpanjangan
lama rawat inap pasien yang mengalami KTD di Inggris adalah sekitar £200 juta
3
per tahun. Biaya ini belum termasuk biaya ganti rugi yang diklaim ke National
Health Service sebesar £400 juta ditambah sekitar £2.400 juta biaya lainnya
(WHO, 2004).
Di Indonesia, pendokumentasian permasalahan kesehatan yang tidak
tertata menyebabkan rendahnya perhatian masyarakat terhadap permasalahan
yang ditimbulkan oleh tenaga profesional kesehatan. Permasalahan baru
terdeteksi apabila melibatkan proses hukum atau dipublikasikan di media massa.
Jumlah kasus tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dengan keseluruhan kasus
di rumah sakit. Meskipun demikian, secara keseluruhan menunjukkan trend yang
meningkat seiring dengan meningkatnya kesadaran dan tuntutan keterbukaan
masyarakat. Dengan pertimbangan berbagai kelemahan di Indonesia, dari sisi
standar pelayanan, sistem keamanan pasien, lisensi, monitoring, audit,
kesadaran masyarakat, dan penegakan hukum, maka dapat diasumsikan
permasalahan serupa juga muncul di Indonesia, bahkan mungkin lebih berat
daripada di negara maju. Jumlah tersebut seperti fenomena gunung es.
Suatu studi yang dilakukan oleh Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan
(PMPK) Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (FK UGM) tahun 2000
pada 15 rumah sakit dan 12 puskesmas di Jawa Tengah menunjukkan bahwa
secara umum prevalensi KTD tinggi dengan variasi antara 1,82%-88,8%. Nilai
prevalensi error 1,82% adalah pada kesalahan diagnosis, sedangkan 80,84%
adalah kesalahan dalam penggunaan antibiotik. Angka kejadian kesalahan terapi
yang ditunjukkan oleh penggunaan antibiotik yang tidak tepat dalam penanganan
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di rumah sakit maupun puskesmas.
Angka tersebut menunjukkan jumlah yang tinggi (78% di rumah sakit dan 88,84%
di puskesmas). Demikian juga kesalahan diagnosis berjenis error of commission
4
di rumah sakit pada kasus appendiktomi dan tonsilektomi (84,4% dan 98,2%).
Diagnosis error di puskesmas ditunjukkan dengan ketidaksesuaian hasil
pembacaan sediaan hapusan darah pada kasus malaria dan tuberkulosis yaitu
sebesar 67,2% dan 59,1%. Kejadian error of ommision merupakan
permasalahan yang serius, sebagaimana ditunjukkan oleh minimnya informasi
rekam medik. Studi ini mengukur KTD di pelayanan keperawatan dengan
indikator dekubitus. Hampir 40% pasien yang dirawat di Intensive Care Unit
(ICU) atau Intensive Cardiac Care Unit (ICCU) mengalami dekubitus rerata pada
hari perawatan ketujuh (Utarini, 2000).
Studi yang dilakukan oleh Putri (2004) pada pasien operasi elektif di
bangsal kamar operasi Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Sardjito
menemukan error of commission waktu pemberian antibiotik profilaksis sebesar
60% dan error of omission 90,5%. Hulu et al. (2009) melakukan studi mengenai
penatalaksanaan malaria di Rumah Sakit Umum (RSU) Gunung Sitoli Nias
menemukan 98 kejadian kesalahan diagnosis, terdiri dari 16 kejadian error of
ommission (17,39%) dan 82 error of commission (89,13%). Selain itu, terdapat
92 kejadian kesalahan terapi, terdiri atas 19 kejadian error of commission
(20,65%) dan 73 kejadian error of ommission (79,35%).
Suatu studi yang dilakukan pada rumah sakit X tahun 2011 menemukan
angka KTD sebesar 26,3% dan kejadian nyaris cedera (KNC) sebesar 73,7%.
Adapun bentuk KTD dan KNC adalah ketidaksesuaian identifikasi pasien,
kesalahan dalam pemberian obat (salah pasien, jenis obat), sampel darah pasien
tertukar, dan pasien jatuh (Mustikawati, 2011). Data dari asuransi proteksi profesi
Bumi Putera Muda tahun 2007 dan Januari 2008 melaporkan bahwa klaim
terhadap tindakan medis dokter yang mengakibatkan ganti rugi di Jakarta Bogor
5
Tangerang Bekasi (JABOTABEK) selama tahun 2007 tercatat 37 kasus dan
pada bulan Januari 2008 ditemukan 12 kasus (Perhimpunan Rumah Sakit
Seluruh Indonesia/PERSI, 2009).
Berdasarkan taksonomi keselamatan pasien menurut Joint Commission
on Accreditation of Healthcare Organizations (JCAHO) (Chang et al., 2005
penyebab KTD dapat berupa kegagalan sistem dan kegagalan manusia.
Kegagalan sistem pada dasarnya dibedakan menjadi dua, yaitu penyebab
secara organisasi dan secara teknis. Penyebab dari aspek organisasi meliputi
aspek manajemen, budaya organisasi, protokol/proses, alih pengetahuan serta
faktor eksternal. Faktor eksternal dapat dikelompokkan dalam dua kategori
utama yaitu (1) regulasi dan legislasi; dan (2) ekonomi dan insentif. Regulasi dan
legislasi meliputi setiap bentuk kebijakan publik atau aspek legal seperti lisensi
atau sistem hukum. Ekonomi dan insentif lain mencakup kategori yang luas
seperti misalnya tindakan individu atau kolektif dari konsumen, norma dan nilai-
nilai yang dimiliki oleh tenaga profesional kesehatan, dan nilai sosial dari
komunitas atau suatu bangsa.
Regulasi dan legislasi dapat mempengaruhi mutu dari organisasi
pelayanan kesehatan dalam dua cara. Pertama, mendorong pihak manajemen
dalam organisasi untuk senantiasa mengedepankan peningkatan mutu pelayanan.
Melalui regulasi dan legislasi maka setiap defisiensi harus direspon secara
tepat oleh institusi yang bersangkutan. Jika tidak, maka institusi tersebut
(misalnya rumah sakit) dapat dikenai sanksi sesuai yang tertulis dalam
perundang-undangan yang berlaku. Sebagai contoh, dalam UU Praktek
Kedokteran nomor 20 tahun 2004 disebutkan bahwa setiap dokter atau dokter
gigi wajib memiliki catatan medik dari semua pasien. Jika hal ini tidak dipenuhi
6
maka yang bersangkutan dapat dikenakan kurungan selama satu tahun atau
denda sebesar Rp 50 juta. Kedua, adanya regulasi dan legislasi akan
mendorong organisasi pelayanan kesehatan untuk memenuhi persyaratan-
persyaratan minimal yang dapat menjamin terlaksananya pelayanan yang bermutu.
Disamping itu dengan legislasi dan regulasi juga dapat disusun model-model
disinsentif yang tepat sehingga siapapun yang terlibat dalam proses pelayanan
kesehatan harus tunduk pada regulasi yang ada.
Kegagalan yang langsung dirasakan oleh pasien adalah kegagalan
manusia. Kegagalan dari aspek manusia dibedakan antara penyebab dari
pasien, praktisi dokter, dan eksternal. Penyebab ekstenal yang dimaksud adalah
oleh institusi asuransi. Kuatnya institusi asuransi dalam ikut mengatur,
mengendalikan, dan bahkan mewajibkan institusi pelayanan kesehatan
untuk menerapkan konsep mutu, memegang peran yang tidak kecil dalam
terselenggaranya pelayanan kesehatan yang bermutu dan berpihak pada
pasien. Hal ini berdampak pada dokter dan petugas pelayanan kesehatan mau
tidak mau harus tunduk pada ketentuan mengenai mutu pelayanan dan
keselamatan pasien. Kelompok-kelompok profesional seperti ikatan dokter dan
asosiasi para spesialis juga memiliki peran yang besar dalam mendefinisikan
norma dan praktek standar serta mulai menerapkannya melalui berbagai
kegiatan continuing medical education. Jika hal ini diterapkan secara benar maka
diharapkan akan memenuhi pula harapan dari konsumen. Jika disimak lebih
jauh lagi maka UU tentang Praktik Kedokteran nomor 29 tahun 2004 juga telah
mengisyaratkan bahwa dokter dan dokter gigi dalam menjalankan
prakteknya wajib mengikuti standar pelayanan yang ada. Artinya bahwa di setiap
rumah sakit harus memiliki standar pelayanan medik yang baku yang harus dapat
7
dijadikan pedoman bagi para dokter dan dokter gigi dalam mengambil
keputusan klinik serta menentukan tindakan medik secara adekuat (Kohn et al.,
2000).
Untuk menurunkan atau mengurangi penyebab terjadinya KTD, terdapat
berbagai intervensi yang dapat dilakukan, khususnya di rumah sakit. The
Massachusetts Coalition for the Prevention of Medical Errors menginisiasi
peningkatan keselamatan pasien dan mengurangi KTD antara lain bar-coding,
computerized-physician order entry, sistem monitoring, evaluasi keselamatan
pasien, dan sebagainya (Massachusetts Hospital Association, 1999).
Selain keselamatan pasien, mutu pelayanan rumah sakit juga dapat
diukur dari berbagai dimensi. IOM menggunakan enam dimensi, yaitu: safety,
effectiveness, patient-centredness, timeliness, efficiency, dan equity (IOM, 2001).
Sedangkan WHO mengembangkan model penilaian kinerja untuk peningkatan
mutu rumah sakit yang terdiri dari enam dimensi, yaitu: clinical effectiveness,
safety, patient centredness, efficiency, staff orientation, responsive governance
(WHO, 2003). Berbagai dimensi mutu tersebut selanjutnya digunakan sebagai
dasar untuk mengembangkan indikator klinis yang merupakan salah satu dari
pilar utama dalam clinical governance (yaitu clinical performance and evaluation).
Kerangka clinical governance dipelopori oleh National Health Service (NHS)
Inggris (Nicholls et al., 2000). Clinical governance berfungsi sebagai penjamin
kontrol sistem manajemen mutu klinis. Jika dicermati, pelaksanaan clinical
governance akan mampu menghindarkan para spesialis dari KTD dan lebih
lanjut dari tuntutan hukum. Oleh karena itu clinical governance harus dibangun
pada sistem yang baik dan efektif.
8
Indonesia secara spesifik belum memiliki kerangka clinical governance
yang komprehensif, baik bagi pelayanan kesehatan secara umum maupun
rumah sakit. Pada tahun 1999, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik
Indonesia (RI) pernah mengembangkan konsep pelayanan prima untuk
mengantisipasi masalah dan tantangan di bidang pelayanan kesehatan. Di
bidang perumahsakitan, pelayanan kepada pasien berdasarkan standar
keahlian untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan pasien, sehingga pasien
dapat memperoleh kepuasan yang akhirnya dapat meningkatkan kepercayaan
kepada rumah sakit. Melalui pelayanan prima, rumah sakit diharapkan dapat
menghasilkan keunggulan kompetentif (competentif advantage) melalui
pelayanan yang bermutu, efisien, inovatif, dan tanggap terhadap pelanggan.
Namun demikian, kerangka tersebut belum menekankan pada mutu pelayanan
klinis. Meskipun pengembangan kerangka clinical governance secara
menyeluruh belum dilakukan, akan tetapi beberapa komponen dalam clinical
governance telah pula diimplementasikan di Indonesia. Sebagai ilustrasi, Standar
Pelayanan Minimal bagi rumah sakit (SPM-RS) telah mencakup berbagai
indikator klinis untuk setiap pelayanan di rumah sakit. SPM-RS merupakan
pengembangan dari indikator kinerja rumah sakit yang disusun oleh Kemenkes
RI pada tahun 2005. Sebelumnya, Kemenkes RI juga telah menyusun indikator
mutu klinis rumah sakit pada tahun 2001.
Bentuk lain penerapan clinical governance di Indonesia adalah melalui
Clinical Performance Development and Management System (CPDMS). Sistem
yang komprehensif untuk meningkatkan mutu pelayanan oleh tenaga profesi
kesehatan ini dikembangkan oleh Kemenkes RI pada tahun 2005, bekerja sama
dengan WHO. Walaupun strategi ini terfokus pada tenaga kesehatan perawat
9
dan bidan, namun program ini merupakan penerapan dari strategi clinical
governance (Kuntjoro dan Hanevi, 2006). Selain peran tenaga perawat dan
bidan, dokter memainkan peran kunci untuk meningkatkan mutu pelayanan klinis
dan meminimalkan KTD. Selain itu dokter memiliki peran penting sebagai
pemimpin klinis dalam mempengaruhi tim pemberi pelayanan lainnya. Pemimpin
klinis adalah dokter yang melakukan peran sebagai klinisi dan pada saat yang
bersamaan, juga berpartisipasi dalam manajemen, termasuk pengelolaan
sumber daya (Wright et al., 2001).
Upaya mencapai mutu pelayanan dan mutu pelayanan klinis rumah sakit
yang optimal dapat dilakukan secara internal oleh rumah sakit maupun secara
eksternal oleh lembaga sertifikasi atau akreditasi. Secara internal, rumah sakit
mengembangkan Sistem Manajemen Mutu (SMM) dengan mengacu pada
berbagai model. Pengakuan terhadap sistem tersebut dilakukan melalui
mekanisme sertifikasi dan akreditasi.
Di Indonesia berbagai model sistem manajemen mutu telah banyak
dikembangkan, dimulai dari Total Quality Management (TQM) dengan Gugus
Kendali Mutu (GKM) sejak tahun 1986, dan Clinical Performance Development
and Management System (1996). Selanjutnya pada tahun 1995 dikembangkan
program akreditasi rumah sakit untuk lima jenis pelayanan, yang ditingkatkan
menjadi dua belas pelayanan pada tahun 1998 dan enam belas pelayanan pada
tahun 2002. Akreditasi merupakan salah satu mekanisme regulasi mutu
pelayanan yang dikembangkan pemerintah agar rumah sakit dapat memperbaiki
mutu pelayanannya. Selain melalui akreditasi rumah sakit, terdapat pula rumah
sakit di Indonesia yang mengadaptasi model SMM lainnya, seperti dengan
sertifikasi International Standard Organization (ISO) 9001, European Foundation
10
for Quality Management (EFQM), Malcolm Baldridge Quality Award (MBNQA),
akreditasi Joint Commission International (JCI) dan pada tahun 2012
Kementerian Kesehatan dan Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) telah
menyusun standar akreditasi baru dengan sistem akreditasi JCI. Perkembangan
model sistem manajemen mutu di Indonesia, dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Perkembangan model SMM di Indonesia
Akreditasi rumah sakit di Indonesia dinyatakan bersifat wajib dalam
Undang-Undang Rumah Sakit (UURS) dan telah dilaksanakan sejak tahun 1996,
tetapi sampai dengan tahun 2011, baru 876 dari 1.376 (63,5%) rumah sakit
terakreditasi. Dari 876 yang sudah terakreditasi, 574 telah terakreditasi 5 standar
pelayanan dan 195 yang terakreditasi 16 pelayanan. Sementara itu jumlah
rumah sakit per Desember 2012 telah meningkat menjadi 1.721 (Kemenkes,
2013).
QA
puskesmas
1994
1986
TQM/GKM
1995
Akreditasi 5
pelayanan
1998
Akreditasi 12
pelayanan
Manajemen
kinerja
1998
Akreditasi JCI
2011
2004
SMM IS0
Akreditasi 16
pelayanan
2002
2012
Akreditasi KARS
versi 2012
11
Implementasi akreditasi dirasakan kurang menyentuh aspek klinik. Hasil
evaluasi yang dilakukan oleh Badan Pelayanan Kesehatan (Bapelkes) Gombong
tahun 2000 terhadap pelaksanaan Quality Assurance (QA) dan TQM di Jawa
Tengah menyimpulkan bahwa pelaksanaan manajemen mutu rumah sakit lebih
menekankan pada pelayanan umum dan administrasi dibandingkan dengan
pelayanan klinik. Selain itu, masalah lain yang diidentifikasi adalah dokter
terutama dokter spesialis sulit dilibatkan dalam peningkatan mutu, kesulitan
dalam merumuskan indikator keberhasilan, orientasi pada proses, dan bukan
pada peningkatan kinerja serta kesulitan dalam mencari data (Kuntjoro, 2001).
Soepojo et al. (2002) yang melakukan studi benchmarking sistem
akreditasi rumah sakit di Indonesia dan Australia juga menemukan bahwa sistem
pengembangan mutu pelayanan rumah sakit di Australia oleh Australian Council
on Healthcare Standard (ACHS) dapat berjalan baik karena lembaga akreditasi
mempunyai orientasi untuk memenuhi standar dan memelihara kesinambungan
hasil yang sudah dicapai. Rumah sakit didorong untuk membuat indikator klinis
dan ACHS memfasilitasi rumah sakit untuk melakukan benchmarking. Hasil
benchmarking di Rumah Sakit Prince of Wales menunjukkan bahwa akreditasi
bukan suatu hal yang penting jika rumah sakit mampu menerapkan program
peningkatan mutu berkelanjutan. Hasil berbeda dengan Rumah Sakit John
Hunter di Australia, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Banyuwangi dan
Rumah Sakit St. Elisabeth di Indonesia diperoleh bahwa akreditasi diperlukan
sebagai pengawas eksternal untuk memantau mutu pelayanan (Soepojo et al.,
2002).
Studi oleh PMPK FK UGM di Jawa Tengah yang melakukan evaluasi
struktur, proses, dan output sistem akreditasi rumah sakit di Indonesia
12
menemukan hasil bahwa terdapat bukti kegiatan untuk menurunkan risiko klinis
sesudah akreditasi KARS. Namun kegiatan belum dilakukan secara sistematis
dan terprogram, seperti pengembangan gugus kendali mutu untuk keluhan
pasien, tetapi tidak menangani KTD secara efektif. Demikian juga tidak terdapat
bukti yang mengaitkan kepuasan pelanggan dengan akreditasi KARS. Mutu
pelayanan klinis yang rendah pada organisasi pelayanan kesehatan dapat dilihat
dari tingginya angka KTD di rumah sakit juga tidak terlepas dari status
akreditasinya (Utarini, 2000).
Temuan dari hasil penelitian evaluasi SMM di tingkat internasional juga
tidak jauh berbeda. Lee et al. (2002) menyatakan bahwa 98% sistem manajemen
mutu rumah sakit di Amerika telah berhasil meningkatkan kinerja klinis dan
melakukan pemeliharaan mutu secara berkesinambungan, tetapi rumah sakit di
Korea lebih lambat dalam pencapaian hal tersebut. Meskipun SMM telah
diterapkan secara luas di rumah sakit, namun tingkat keberlanjutan dan
keberhasilannya masih bervariasi (Lee et al., 2002; Francois et al., 2003;
Wardhani et al., 2009). Sebagian rumah sakit telah berhasil meningkatkan
mutunya, namun tidak sedikit yang gagal (Wardhani et al., 2009).
Fakta lain menunjukkan bahwa berbagai rumah sakit di seluruh dunia telah
memulai program akreditasi sebagai upaya pengembangan mutu, namun tidak
cukup bukti bahwa rumah sakit tersebut telah menggunakan sumber daya terbaik
untuk meningkatkan mutu pelayanan (Braithwaite et al., 2006). Dick (2000)
menemukan hal yang serupa dan menyatakan bahwa tidak terdapat fakta yang
signifikan dalam pencapaian organisasi setelah mengikuti SMM seperti ISO dan
akreditasi. Demikian pula Heuvel et al. (2005) menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan yang signifikan antara pencapaian standar keselamatan pasien pada
13
rumah sakit yang menerapkan SMM ISO 9001. Rumah sakit, baik yang
menerapkan maupun tidak menerapkan SMM ISO 9001, mengalami rerata
peningkatan pencapaian keselamatan pasien yang sama sebesar 49% dalam
kurun waktu tiga tahun. Hal ini membuktikan SMM ISO 9001 bukanlah
determinan peningkatan kinerja klinik. Sama halnya dengan tidak dapat
dibuktikannya efektivitas berbagai ragam SMM yang diadopsi dan
diimplementasikan di rumah sakit (Braithwaite et al., 2006).
Hasil penelitian di Indonesia juga mengindikasikan temuan yang serupa.
Berbagai upaya pengembangan mutu yang dilakukan rumah sakit ternyata belum
mampu menghasilkan peningkatan kinerja rumah sakit, terutama dalam hal
peningkatan kinerja klinik. Penelitian Yudani (2003) di RSU Banyumas
menunjukkan bahwa meskipun rumah sakit tersebut telah terakreditasi dua belas
pelayanan, tetapi indikator mutu pelayanan klinik sebagian besar mengalami
penurunan pada periode pascaakreditasi.
Penelitian yang dilakukan di fasilitas puskesmas untuk mengukur
pencapaian indikator mutu pelayanan menunjukkan tidak ada perbedaan secara
signifikan di antara puskesmas ISO dan puskesmas tanpa ISO. Bahkan pada
puskesmas yang telah ISO, waktu tunggu jauh lebih lama dibandingkan
puskesmas tanpa ISO. Kedua jenis puskesmas memiliki indeks kepuasan pasien
di bawah standar 80% walaupun tingkat kepuasan di puskesmas yang telah ISO
lebih tinggi daripada tanpa ISO (Ratutaga, 2007).
Literatur terkini masih memperdebatkan bukti-bukti tentang nilai dan
manfaat akreditasi dalam meningkatkan mutu klinis. Suatu kajian literatur tentang
proses akreditasi dan dampaknya yang dilakukan oleh Greenfield et al. (2008)
menemukan bahwa hubungan antara pengukuran mutu dan akreditasi sangatlah
14
kompleks dan beberapa penelitian lain bahkan tidak menunjukkan hubungan
antara hasil akreditasi dengan mutu pelayanan ataupun mutu klinis. Dalam kajian
literatur tersebut masih memperdebatkan bukti-bukti tentang nilai dan manfaat
akreditasi dalam meningkatkan mutu klinis dan keselamatan pasien (Barker et al,
2002; Miller et al., 2005). Beberapa studi menunjukkan hubungan yang lemah
antara akreditasi atau status sertifikasi dengan indikator mutu pelayanan (Chen
dan Rathore, 2003; Borenstein et al., 2004; Dean et al.,2005).
RSUP Dr. Sardjito adalah rumah sakit pendidikan kelas A dan rujukan
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah bagian selatan. RSUP Dr.
Sardjito merupakan rumah sakit pendidikan utama yang digunakan oleh fakultas
kedokteran UGM untuk memenuhi proses pendidikan dalam rangka mencapai
kompetensi di bidang kedokteran. Visi RSUP Dr. Sardjito menjadi salah satu
rumah sakit unggulan dalam bidang pelayanan, pendidikan dan penelitian di Asia
Tenggara yang bertumpu pada kemandirian. Sebagai rumah sakit pendidikan
utama, RSUP Dr.Sardjito bertanggung jawab terhadap pendidikan profesi dokter
dan dokter spesialis-sub spesialis, namun di sisi lain juga harus memberikan
pelayanan yang bermutu kepada masyarakat. Kenyataannya bahwa pemberi
pelayanan kesehatan utama di rumah sakit pendidikan adalah dokter residen.
Salah satu jenis pelayanan yang diberikan di RSUP Dr. Sardjito adalah
pelayanan kebidanan dan kandungan. Pelayanan kebidanan dan kandungan
menjadi hal penting mengingat bahwa angka kematian ibu dan angka kematian
bayi di Indonesia masih tinggi yaitu 34 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun
2007 (Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia/SDKI 2007) dan angka
kematian ibu melahirkan 228 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2007
(SDKI 2007). Selain itu masalah kematian ibu ini juga menjadi salah satu dari
15
tujuan pembangunan millenium (Millenium Development Goals/MDGs) Tahun
2015 yang sasarannya dan indikatornya adalah mengurangi angka kematian ibu
(AKI) sebesar ¾ dari AKI pada tahun 1990 menjadi 125/100.000 kelahiran hidup
dan mengurangi angka kematian bayi dan balita sebesar 2/3 dari tahun 1990
menjadi 25/1000 kelahiran hidup (Kemenkes RI, 2008).
Pelayanan kebidanan yang saat ini menjadi perhatian adalah pelayanan
persalinan sectio caesarea (SC). SC adalah cara melahirkan janin melalui insisi
pada dinding abdomen. Angka SC meningkat dalam dua dekade, baik pada
negara berkembang maupun negara maju. Di negara berkembang, proporsi
kelahiran SC berkisar 21,1% dari total kelahiran yang ada, sedangkan di negara
maju hanya 2%. Di Inggris angka SC meningkat dari 18% pada tahun 1997-
1998 menjadi 22% pada tahun 2000-2001 (Mayor, 2002), dan di Prancis pada
tahun 1981 sebesar 10,7% menjadi 15,3% tahun 1995. Suatu studi yang
dilakukan di Amerika juga menemukan peningkatan SC rate dari 45,8% menjadi
70,5% dari total kelahiran dari tahun 1995-2004 (Nazneen et al., 2010).
Di Indonesia angka persalinan SC juga mengalami peningkatan.
Berdasarkan hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2010, angka
melahirkan dengan metode SC di Indonesia sebesar 15,3%. Angka ini jauh lebih
tinggi dibandingkan data SDKI tahun 2007 angka melahirkan dengan SC yaitu
sebesar 6,8%. Berdasarkan hasil Riskesdas 2010 proporsi SC tertinggi di
Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta (27,2%) dan terendah di Sulawesi
Tenggara (5,5%). Provinsi DIY menempati urutan keempat untuk metode
persalinan dengan SC sebesar 20,8% (Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan/Balitbangkes, 2010). Angka ini jauh lebih tinggi dari yang ditetapkan
16
oleh WHO bahwa angka ideal SC pada suatu negara adalah 5%-15% (WHO,
2010).
Persalinan dengan SC bukan tanpa risiko, beberapa studi membuktikan
adanya peluang terjadi peningkatan masalah baik pada ibu dan bayinya. Tahun
2005, WHO melakukan suatu studi kohort prospektif kesehatan ibu dan perinatal,
pada 410 fasilitas kesehatan dari 24 daerah di delapan negara Amerika Latin
yang dipilih secara acak. Hasilnya diketahui bahwa ibu melahirkan dengan SC
terbukti secara bermakna meningkatkan kematian ibu dibandingkan persalinan
normal, risiko pada persalinan SC yang direncanakan/elektif lebih besar daripada
caesaria intrapartum. Di negara berkembang persalinan dengan SC juga
meningkatkan infant morbidity dan mortality (Duley & Hendersen, 2003; Du et al.,
2004; Ronsmans et al., 2009).
Dalam tiga tahun terakhir, sejak tahun 2007 sampai 2010 angka persalinan
dengan SC di RSUP Dr. Sarjito menunjukkan adanya peningkatan sebagaimana
Tabel 1 berikut:
Tabel 1Persentase Jumlah Tindakan Persalinan di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta,
Tahun 2007-2009
TahunPersalinan
pervaginumPersalinan dengan SC Jumlah
2007 1472 (73,5%) 531 (26,5%) 2003
2008 1533 (72,8%) 572 (27,2%) 2105
2009 1690 (71,9%) 659 (28,1%) 2349
Sumber : data sekunder RSUP dr. Sardjito
RSUP Dr. Sardjito sebagai rumah sakit pendidikan tak lepas dari harapan
masyarakat akan pelayanan yang bermutu. Dalam upaya meningkatkan mutu
pelayanan berbagai upaya telah dilakukan di RSUP Dr. Sardjito yang
berorientasi kepada keselamatan pasien dan kepuasan pelanggan. Adapun
17
program mutu yang dilakukan adalah akreditasi RS 16 pelayanan dengan
predikat excellent, sertifikasi ISO 9001:2008, Case Mix dan Ina DRGs, PSBH,
keselamatan pasien dan manajemen risiko klinik serta akreditasi internasional
Joint Commission Internasional (JCI) standar Academic Medical Standards
(AMC). Selain itu sejak tahun 2000, RSUP Dr. Sardjito telah menyusun dan
mengukur kinerja pelayanan klinis menggunakan indikator klinis yang disusun
berdasarkan pada Standar Pelayanan Minimal (SPM) rumah sakit dari Depkes RI
dan mengadopsi dari indikator ACHS (Komite Medik RSUP Dr.Sardjito, 2008).
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan sebelumnya maka peneliti ingin
mengetahui hubungan implementasi SMM ISO 9001 dan kinerja klinis pelayanan
SC di RSUP Dr. Sardjito.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat diringkas fakta sebagai berikut:
1) Studi di luar negeri dan di Indonesia menunjukkan masalah keselamatan
pasien sebagai isu sentral pelayanan kesehatan saat ini, 2) Di Indonesia clinical
governance dan berbagai model SMM telah banyak dikembangkan agar rumah
sakit dapat memperbaiki mutu pelayanan, dan 3) Hasil penelitian evaluasi SMM
baik di tingkat nasional maupun internasional menunjukkan belum cukup bukti
yang ditemukan bahwa SMM dapat meningkatkan kinerja rumah sakit, terutama
kinerja klinis. 4) RSUP Dr. Sardjito adalah rumah sakit pendidikan yang sudah
mengimplementasikan berbagai SMM dan memberikan pelayanan SC.
Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini
adalah: apakah implementasi SMM ISO 9001 mempunyai hubungan dengan
kinerja klinis pelayanan SC di RSUP Dr. Sardjito?
18
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan Umum:
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan hubungan antara implementasi
SMM ISO 9001 dan kinerja klinis pelayanan SC di RSUP Dr. Sardjito.
Tujuan khusus:
1. Mengukur kinerja klinis pelayanan SC di RSUP Dr. Sardjito.
2. Menjelaskan implementasi SMM ISO 9001 pada unit yang terkait
pelayanan SC di RSUP Dr. Sardjito.
3. Menjelaskan hubungan antara implementasi SMM ISO 9001 dan kinerja
klinis pelayanan SC di RSUP Dr. Sardjito.
1.4. Keaslian Penelitian
Terdapat delapan penelitian yang secara langsung mengaitkan antara
SMM dan kinerja pelayanan. Deskripsi penelitian tersebut digambarkan pada
Tabel 2 berikut ini:
19
Tabel 2Penelitian Sistem Manajemen Mutu dan Kinerja
Penulis, tahun Setting Populasi dan Sampel Metode Hasil Utama
Shaw et al.
(2014)
Rumah sakit
di Eropa.
Populasi: 73 rumah
sakit (N=73) dengan
291 clinical pathway
untuk pasien dengan
AMI, fraktur tulang
pinggul, pelayanan
kebidanan dan stroke.
- Desain: crosssectional
- Analisis:multivariabel mixedlinear regression.
- Pada domain keahlian khusus, baikakreditasi maupun sertifikasi menunjukkanhubungan yang positif pada empat kondisiklinik (AMI, fraktur tulang pinggul, pelayanankebidanan dan stroke khususnya padarumah sakit dengan sertifikasi danakreditasi.
- Akreditasi dan sertifikasi menunjukkansedikit manfaat, kecuali dalam manajemenstres.
Rouzbahani et
al. (2013)
Rumah sakit
di Provinsi
Lorestan
Iran.
Populasi: pasien dan
staf rumah sakit
Sampel: 385 pasien
dan 119 staf rumah
sakit
- Desain: crosssectional study.
- Instrumen: kuesioneruntuk kepuasanpasien dankuesioner tentangpengurangankesalahan kerja staf.
- Analisis: statistiknonparametrikWilcoxon .
- Ada hubungan yang signifikan antaraimplementasi SMM ISO 9001-2000 dengantingkat kepuasan pasien di rumah sakitProvinsi Lorestan sebelum dan setelahimplementasi SMM.
- Ada hubungan antara implementasi SMMISO 9001-2000 dengan pengurangankesalahan yang berkaitan dengan pekerjaanstaf di rumah sakit, kesalahan kerjamenurun setelah implementasi ISO.
20
Penulis, tahun Setting Populasi dan Sampel Metode Hasil Utama
Al-Qahtani et
al. (2012)
Rumah sakit
di Provinsi
Timur Saudi
Arabia.
Populasi: pasien rawat
inap dan rawat jalan.
Sampel: 420 pasien,
masing-masing 210
untuk setiap rumah
sakit
- Desain: crosssectional study
- Instrumen: kuesionerdiadaptasi dari Al-Qahtani terdiri dari39 pertanyaanmeliputi enambidang.
- Analisis: Uji beda tesMann-Whitney U.
- Rumah sakit yang terakreditasi, skorkepuasan untuk fasilitas pelayanan klinik,pelayanan umum, profesionalisme padaultrasound, dan kepuasan secara umumlebih tinggi dibandingkan rumah sakit tidakterakreditasi.
- Pada rumah sakit yang tidak terakreditasi,skor kepuasan pasien lebih tinggi hanyapada profesionalisme laboratorium,sedangkan pada aspek lain skornya lebihrendah.
- Terdapat perbedaan tingkat kepuasanpasien pada rumah sakit yang terakreditasidan yang tidak terakreditasi dalam bidangfasilitas pelayanan klinik, profesionalismeUSG, profesionalisme laboran dankepuasan keseluruhan.
Macinati (2008) Pelayanan
kesehatan di
Italia.
Populasi: seluruh
pemberi pelayanan
kesehatan publik Italia
(N = 353).
- Desain: kuantitatif
- Analisis: korelasi,
exploratory
- Metode: survei
nasional dengan
menggunakan
kuesioner via pos
- Sampel: 148
kuesioner (response
rate 41,9%) dan
setelah penyaringan
- Kinerja subjektif non-finansial secara positifberkorelasi dengan faktor independenpartisipasi pegawai dalam manajemen mutu,data mutu, pelaporan dan penggunaan,keberadaan dan peran dari departemenmutu, komitmen manajemen puncakterhadap strategi mutu, dan karakteristikrencana strategis manajemen mutu.
- Kinerja outcome objektif berkorelasi secarapositif dengan besarnya biaya untuk datamutu.
- Kinerja outcome objektif secara negatifberkorelasi dengan komitmen manajemenpuncak terhadap mutu strategis dankarakteristik rencana strategis manajemen
21
Penulis, tahun Setting Populasi dan Sampel Metode Hasil Utama
144 kuesioner dapat
digunakan.
mutu.- Ada hubungan antara kinerja organisasi
dengan elemen kunci SMM.- Penekanan hasil penelitian ini adalah pada
keberadaan dan peran departemen mutuyang merupakan faktor dasar penting dariSMM dan memiliki pengaruh positif terhadapkinerja subjektif.
El Jardali et al.
(2008)
Rumah sakit
di Lebanon.
- Populasi:perawat.Sampel:1048 orang perawatyang diambil dari 59rumah sakit yangmenjadi sampel(rumah sakit yangtelah suksesmelewati surveiakreditasi satu dandua.
- Jenis penelitian:survei dengandesain crosssectional study.
- Instrumen: kuesioneruntuk menilai mutupelayanan dan faktoryang berpengaruh.Terdiri dari sembilanitem pengukurandan berdasarkanlima poin skala likert.
- Nilai yang tinggi untuk variabel hasil mutumengindikasikan bahwa perawat merasakanada peningkatan mutu selama dan setelahproses akreditasi. Prediktor hasil mutu yanglebih baik adalah kepemimpinan, komitmendan dukungan, penggunaan data,manajemen mutu, keterlibatan staf danukuran rumah sakit.
- Variabel manajemen mutu, yang diukurdengan skala manajemen mutu, memilikidampak terbesar di rumah sakit berukuransedang, sementara pengukuran sub skalaketerlibatan staf mempunyai dampakterbesar di rumah sakit berukuran kecil.
Kunkel et al.
(2007)
Departemen/
bagian rumah
sakit di
Swedia.
- Populasi: 1757 unitrumah sakit.
- Sampel: 600 unitrumah sakit. Metode:simple randomsampling.
- Sampel: 386 unitrumah sakit, 75%respons rate.
- Desain: kuantitatif- Analisis: korelasi;
confirmatory factoranalysis danstructural equationmodeling dalamLISREL.
- Hubungan antara struktur, proses, dankeluaran diketahui merupakan model yangbaik dari sistem mutu di rumah sakit (p =0,095). Struktur memiliki korelasi yang kuatdengan proses (0,72) dan keluaran (0,60).Proses memiliki korelasi positif dengankeluaran (0,02). Model ini dapat digunakanuntuk menggambarkan dan mengevaluasisuatu SMM atau untuk membandingkanbeberapa SMM.
22
Penulis, tahun Setting Populasi dan Sampel Metode Hasil Utama
Wagner et al.
(2006).
Rumah
perawatan di
Belanda.
- Populasi: stafmanajemen danpenghuni rumahperawatanBelanda.Metode:random sampling.
- Sampel: 12.377partisipan (stafmanajemen rumahperawatan danpenghuni) dari 65rumah perawatanBelanda (responserate = 64%).
- Desain: Cross-sectional
- Analisis: descriptivestatistics danmultilevel analisis.Data survei primertentangimplementasi SMMdan aktivitas QualityAssurance (QA),informasikarakteristikpenghuni, dankeluaran yang tidakdiinginkandikumpulkan tahun1994/1995 dan1998.
- Rumah perawatan yang memiliki nilaikeluaran yang tidak diinginkan paling rendah,keluaran yang tidak diinginkan terjadi kira-kira 10 kali lebih sedikit dibandingkan padarumah perawatan yang memiliki nilaitertinggi. Implementasi Quality ManagementSystem (QMS) dan keterlibatan client councilmemiliki pengaruh signifikan pada jumlahkeluaran yang tidak diinginkan. SMM danaktivitas QA dirancang untuk meningkatkankeluaran klinis bagi penghuni rumahperawatan dengan cara memperbaiki prosespenyediaan pelayanan kesehatan. Penelitianini menunjukkan bahwa SMM hasilimplementasi SMM hanya terlihat padajangka panjang, dan memerlukan waktusebelum SMM dapat mempengaruhi prosespelayanan, perilaku pemberi pelayanan, danoutcome klinis.
Li (1997) Rumah sakit
di tiga daerah
di USA
(Florida,
Ohio,
Oregon).
Populasi: 492
community hospital dari
tiga region di USA
(Florida, Ohio, Oregon).
- Desain: kuantitatif- Analisis: Path
analytical model- Instrumen: kuesioner- Proses dua tahap
dilakukan untukmengembangkanmodel manajemenmutu rumah sakitdan menentukankonstruksimanajemen muturumah sakit, yaitu
- Mutu pelayanan kesehatan secara langsungdan positif dipengaruhi oleh analisisinformasi/proses, pengembangan tenagakerja dan kepemimpinan teknologi.
- Kepemimpinan top manajemen memilikidampak langsung dan positif terhadapkoordinasi organisasional, kepemimpinanteknologi, dan pengembangan tenaga kerja.
- Kerja sama organisasional, pengembangantenaga kerja, investasi teknologi medis, dananalisis informasi/proses menjadi perantarahubungan antara mutu pelayanan kesehatandengan kepemimpinan manajemen puncak.
23
Penulis, tahun Setting Populasi dan Sampel Metode Hasil Utama
melalui pengkajianliteratur yang luasdan wawancara dandiskusi denganprofesi di rumahsakit. Datadikumpulkan melaluisurvei via pos.
Koordinasi organisasional dankepemimpinan teknologi memiliki dampaksignifikan dan positif terhadap analisisinformasi/proses.
24
Jika dibandingkan dengan studi-studi sebelumnya, maka kebaruan
penelitian ini terletak pada pemilihan kasus yaitu pelayanan SC. Pengukuran
kinerja klinis pada penelitian ini adalah kinerja klinis pelayanan SC. Berbeda
dengan penelitian sebelumnya, yang pengukuran kinerja adalah kinerja rumah
sakit bukan kinerja klinis pelayanan seperti penelitian oleh Macinati (2008) dan El
Jaldari et al. (2008). Pengukuran kinerja klinis pelayanan SC pada penelitian ini
dilakukan secara objektif dengan pengumpulan data secara longitudinal mulai
dari pasien masuk rumah sakit sampai tiga puluh hari sesudah SC. Jadi
pengukuran kinerja tidak menggunakan data sekunder dan tidak berdasarkan
persepsi pasien, klinisi ataupun manajer rumah sakit seperti yang dilakukan oleh
Wagner et al. (2006); Macinati (2008); Al-Qahtani et al. (2012); Rouzbahani et al.
(2013).
Kebaruan lainnya yaitu implementasi SMM ISO 9001 yang diteliti adalah
pada unit pelayanan yang terkait pelayanan SC di rumah sakit. Penelitian-
penelitian sebelumnya dilakukan di tingkat rumah sakit. Selain itu, penelitian ini
mempunyai kekuatan dalam kemampuan eksplanatori untuk menjelaskan
hubungan implementasi sistem manajemen mutu ISO 9001 dan kinerja klinis
pelayanan SC di rumah sakit dengan desain penelitian studi kasus dengan
rancangan multikasus terpancang. Data yang digunakan dalam studi kasus ini
adalah data kuantitatif dan kualitatif. Ini berbeda dengan penelitian yang
dilakukan sebelumnya yang mempunyai jenis penelitian kuantitatif dengan
metode survei (Li, 1997; Wagner et al., 2006; Kunkel et al., 2007; El Jaldari et al.,
2008; Macinati, 2008; Al-Qahtani et al., 2012; Rouzbahani et al., 2013).
Dengan demikian diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk
mengusulkan perbaikan implementasi SMM untuk meningkatkan kinerja klinis.
25
1.5. Manfaat Penelitian
Penelitian ini akan memberi manfaat yaitu:
1. Manfaat teoritik
Penelitian ini bermanfaat untuk memperluas cakrawala pemahaman dalam
manajemen mutu, khususnya hubungan implementasi SMM dengan kinerja
pelayanan rumah sakit, termasuk kinerja klinis.
2. Manfaat aplikatif
Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan masukan kepada pihak rumah
sakit dalam mengambil langkah-langkah perbaikan implementasi sistem
manajemen mutu yang sesuai baik di tingkat unit pelayanan maupun di
tingkat organisasi, sehingga dapat meningkatkan pencapaian kinerja klinis.