BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kasus kecurangan korporasi dan pelanggaran organisasional telah menjadi
perhatian masyarakat dunia. Semakin banyaknya kasus-kasus besar yang terkait
dengan masalah keuangan yang melibatkan perusahaan-perusahaan besar dan
kantor akuntan publik telah membuat tingkat kepercayaan masyarakat terhadap
profesionalisma dan perilaku etis profesi akuntansi semakin menurun. Sikap
skeptis masyarakat tersebut sangat beralasan karena banyak laporan keuangan
suatu perusahaan yang mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian, tetapi pada
kemudian hari perusahaan tersebut mengalami kebangkrutan setelah opini tersebut
diperoleh (Setyadi, 2008).
Kasus Enron menarik perhatian masyarakat pada akhir tahun 2001 ketika
terungkap bahwa dalam laporan keuangan yang dilaporkan terdapat penipuan
akuntansi yang sistematis, terstruktur, dan direncanakan secara matang. Kasus ini
juga melibatkan kantor akuntan publik internasional, yaitu Arthur Anderson. Arthur
Anderson yang berperan sebagai auditor eksternal dan konsultan manajemen Enron
gagal untuk mendeteksi dan/atau mengungkap transaksi-transaksi keuangan Enron
yang dilakukan dengan cara mengalihkan aset-aset perusahaan kepada entitas
bertujuan khusus (special purpose entity), sehingga menyebabkan nilai perusahaan
tampak lebih besar daripada yang seharusnya (Duska dkk., 2011). Fenomena
pelanggaran etika atas skandal akuntansi dalam perusahaan Enron inilah yang
2
kemudian telah memicu Sherron Watkins yang menduduki jabatan sebagai Wakil
Presiden Enron menjadi seorang whistleblower dan mengungkapkan skandal
korporasi yang terjadi di Enron kepada publik.
Whistleblower bukan merupakan suatu hal yang baru melainkan hal yang
sudah lama ada. Sebagai contoh, Jeffrey Wigand adalah seorang whistleblower
yang sangat terkenal di Amerika Serikat sebagai pengungkap skandal dalam kasus
penambahan bahan karsinogenik (bahan berbahaya yang dapat menimbulkan
kanker) dalam ramuan rokok perusahaan The Big Tobbaco (Semendawai dkk.,
2011). Cynthia Cooper, seorang Wakil Presiden dalam divisi Audit Internal
perusahaan WorldCom, melaporkan praktik-praktik yang tidak etis yang
dilakukan oleh WorldCom ketika perusahaan tersebut gagal mencapai laba
ekspektasian. Praktik kecurangan akuntansi yang dilakukan tersebut
mengakibatkan restatement sebesar $9 miliar yang merupakan jumlah terbesar
sepanjang sejarah Amerika Serikat (Duska dkk., 2011).
Kasus-kasus whistleblowing banyak yang terkait dengan fraud. Pada tahun
2012, The Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) memproyeksikan
potensi kerugian yang diakibatkan oleh fraud adalah lebih dari $3,5 triliun, jumlah
tersebut setara dengan 5% dari pendapatan tahunan seluruh organisasi di dunia
(ACFE, 2012). Fraud sangat sulit terdeteksi karena individu yang melakukan
fraud cenderung berupaya menutupi tindak kejahatannya, fraud merupakan suatu
tindakan yang sulit diprediksi dan para auditor memiliki pengalaman yang
terbatas dalam mendeteksi fraud.
3
Fraud meliputi berbagai bentuk pelanggaran. Occupational fraud didefinisi
sebagai penggunaan pekerjaan seseorang untuk memperkaya diri sendiri melalui
penyalahgunaan sumber daya atau aset-aset organisasi yang dilakukan secara
sengaja (ACFE, 2012). ACFE membagi occupational fraud ke dalam tiga
kategori, yaitu penyalahgunaan aset, fraud laporan keuangan, dan korupsi.
Penggelapan aset terkait dengan tindakan karyawan mencuri atau
menyalahgunakan sumber daya organisasi. Fraud laporan keuangan terkait
dengan tindakan karyawan yang secara sengaja menyebabkan salah saji atau
menyembunyikan informasi yang material dalam laporan keuangan organisasi.
Korupsi terkait dengan tindakan karyawan yang menyalahgunakan pengaruhnya
dalam transaksi bisnis yang melanggar tanggung jawabnya kepada pemberi kerja
untuk memperoleh keuntungan secara langsung maupun tidak langsung (ACFE,
2012).
Menurut ACFE (2012), selama tahun 2012, diperkirakan besarnya
persentase kasus penyalahgunaan aset adalah sebesar 86,7% dengan median
kerugian sebesar $120.000. Perkiraan persentase kasus fraud laporan keuangan
adalah sebesar 7,6% dengan median kerugian sebesar $1.000.000. Perkiraan
persentase kasus korupsi adalah sebesar 33,4% dengan median kerugian sebesar
$250.000. Dari data tersebut diketahui bahwa walaupun fraud laporan keuangan
memiliki persentase kasus terkecil, yaitu sebesar 7,6%, tetapi menimbulkan
median kerugian terbesar, yaitu sebesar $1.000.000.
Berdasarkan data PricewaterhouseCoopers (2011), terkait dengan fraud,
diketahui bahwa 34% responden mengalami kejahatan ekonomik (economic
4
crime) selama tahun 2011, satu dari sepuluh orang yang melaporkan fraud
mengalami kerugian lebih dari US$5 juta, hampir sebagian besar eksekutif senior
tidak mengetahui bahwa di dalam organisasinya terdapat fraud, pengawasan
terhadap transaksi mencurigakan diupayakan sebagai metoda pendeteksian fraud
yang paling efektif, dan organisasi yang memiliki penilaian risiko terhadap fraud
lebih banyak mendeteksi dan melaporkan fraud.
Kasus-kasus whistleblowing banyak terjadi di Indonesia. Kasus-kasus yang
melibatkan peran whistleblower, antara lain Agus Condro dalam kasus suap Bank
Indonesia (BI) kepada Hamka Yamdu dan Yohanes Waworuntu dalam kasus
Sistem Administrasi Badan Hukum (Semendawai dkk., 2011). Pada kasus Agus
Condro, dia mengakui telah terlibat dalam kasus dugaan suap terkait pemilihan
Miranda Goeltom sebagai Deputi Senior Gubernur BI pada tahun 2004. Agus
Condro yang merupakan seorang mantan anggota DPR RI pada perioda 1999-
2004 mengakui telah menerima uang sebesar Rp500 juta dalam bentuk sepuluh
lembar travel cheque dari Dudhi Makmun Murod. Berdasarkan laporan dari Agus
Condro, akhirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan empat
orang tersangka, yaitu Dudhie Makmun Murod, Uju Juhaeri, Endin Sofi Hara, dan
Hamka Yandu. Mereka telah mendapatkan sanksi pidana. Pada Juni 2011, Agus
Condro divonis 1 tahun 3 bulan penjara ditambah dengan denda sebesar Rp50
juta. Vonis yang dikecam oleh banyak pihak mengingat peran penting Agus
Condro sebagai seorang whistleblower dalam skandal pemilihan Deputi Gubernur
BI pada tahun 2004 (Semendawai dkk., 2011).
5
Berbagai kasus whistleblowing yang terjadi di Indonesia telah mendorong
Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) untuk menerbitkan Pedoman
Sistem Pelaporan Pelanggaran atau Whistleblowing System (WBS) pada 10
November 2008. Pedoman Sistem Pelaporan Pelanggaran dapat digunakan oleh
perusahaan untuk mengembangkan sistem manual pelaporan pelanggaran pada
masing-masing perusahaan. Tujuan dari pedoman tersebut adalah sebagai
panduan bagi organisasi yang ingin membangun, menerapkan, dan mengelola
suatu Sistem Pelaporan Pelanggaran (SPP). Panduan ini bersifat generik, sehingga
perusahaan dapat menyesuaikan dengan kebutuhan dan keunikan pada masing-
masing perusahaan. Dengan adanya pedoman tersebut diharapkan dapat
meningkatkan pelaksanaan corporate governance dan meningkatkan partisipasi
karyawan dalam melaporkan pelanggaran. Sistem Pelaporan Pelanggaran yang
efektif akan mendorong partisipasi masyarakat dan karyawan untuk lebih berani
bertindak untuk mencegah terjadinya pelanggaran dengan melaporkan kepada
pihak yang mampu menanganinya.
Penerapan sistem whistleblowing yang efektif, transparan, dan bertanggung
jawab diharapkan dapat mengatasi keengganan karyawan melaporkan dugaan
pelanggaran yang diketahuinya dan diharapkan dapat meningkatkan partisipasi
karyawan dalam melaporkan dugaan pelanggaran. Sampai saat ini memang belum
banyak terlihat bagaimana peran sistem pelaporan dan perlindungan bagi
whistleblower dapat mendorong munculnya peran whistleblower pada sektor
pemerintah. Mekanisma pelaporan dan perlindungan terhadap pelapor atau
whistleblower belum sepenuhnya diatur dengan jelas dan tegas dengan produk
6
perundang-undangan. Namun demikian, beberapa kementerian/lembaga, misalnya
Kementerian Keuangan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Lembaga
Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), Badan Perencanaan dan
Pembangunan Nasional (Bappenas), Ombudsman, Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia (Komnas HAM), Komisi Yudisial (KY), Komisi Kepolisian Nasional
(Kompolnas), Komisi Kejaksaan, dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK) telah memiliki pedoman sistem pelaporan pelanggaran
(whisleblowing system).
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) adalah lembaga
independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak
pidana pencucian uang. Lembaga ini merupakan lembaga intelejen keuangan di
Indonesia yang memiliki kewenangan untuk melaksanakan kebijakan pencegahan
dan pemberantasan pencucian uang sekaligus membangun rezim antipencucian
uang dan kontrapendanaan terorisma di Indonesia.
Terdapat beberapa hal yang menjadi pertimbangan diperlukannya sistem
pelaporan pelanggaran di PPATK. Pertama, untuk mendorong partisipasi aktif
pimpinan, pegawai, dan pemangku kepentingan dalam upaya mencegah dan/atau
mengungkap praktik atau tindakan yang bertentangan dengan good governance
dalam upaya untuk meningkatkan kinerja organisasi. Kedua, dalam pelaksanaan
good governance, transparansi merupakan salah satu faktor penting yang dapat
memotivasi pimpinan, pegawai dan pemangku kepentingan untuk memberikan
kontribusi yang bermanfaat bagi kepentingan organisasi maupun para pemangku
kepentingan. Atas dasar pertimbangan tersebut, maka sejak tahun 2009 PPATK
7
telah menerapkan peraturan mengenai sistem whistleblowing yang tertuang dalam
Peraturan Kepala PPATK Nomor: Per-05/1.01/PPATK/04/09 tentang Pedoman
Sistem Pelaporan Pelanggaran.
Menurut Peraturan Kepala PPATK Nomor: Per-05/1.01/PPATK/04/09,
Sistem Pelaporan Pelanggaran adalah tindakan dan prosedur pengelolaan
penerimaan, analisis dan investigasi pelaporan pelanggaran yang dilakukan atau
diduga dilakukan oleh pimpinan dan/atau pegawai PPATK di dalam atau di luar
lingkungan PPATK, serta pemberian perlindungan kepada pelapor. Sistem
Pelaporan Pelanggaran berfungsi sebagai pedoman bagi pimpinan, pegawai, atau
pemangku kepentingan dalam menyampaikan pelaporan pelanggaran yang dapat
menghambat pelaksanaan fungsi dan tugas serta merugikan dan/atau
membahayakan PPATK.
Penerapan Sistem Pelaporan Pelanggaran di PPATK memiliki beberapa
tujuan (Peraturan Kepala PPATK Nomor: Per-05/1.01/PPATK/04/09). Pertama,
memotivasi pimpinan, pegawai atau pemangku kepentingan untuk menyampaikan
dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh pimpinan atau pegawai. Kedua,
meminimalisasi kemungkinan terjadinya risiko yang merugikan PPATK. Ketiga,
memberikan kepastian hukum akan adanya jaminan perlindungan bagi pelapor
yang dengan itikad baik melaporkan dugaan pelanggaran terhadap tindakan
balasan, perlakuan yang tidak wajar atau tidak adil. Keempat, mendorong
berkembangnya budaya keterbukaan, kejujuran, dan keadilan. Kelima,
meningkatkan efektivitas good governance, pengendalian internal, serta kinerja
pimpinan dan pegawai.
8
Pelaporan pelanggaran dalam Sistem Pelaporan Pelanggaran di PPATK
dapat dilakukan melalui mekanisma tidak langsung dan mekanisma langsung
(Peraturan Kepala PPATK Nomor: Per-05/1.01/PPATK/04/09). Mekanisma tidak
langsung dilakukan dengan cara:
a. Pelapor menyampaikan adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh
terlapor kepada atasan langsung atau direktur terkait;
b. dalam hal pelapor berpendapat bahwa pelaporan pelanggaran kepada atasan
langsung atau direktur terkait belum mendapat tindak lanjut yang memadai,
maka pelapor dapat menyampaikan laporan dugaan pelanggaran ke Direktur
Sumber Daya Manusia PPATK;
c. atasan langsung, direktur terkait atau Direktur Sumber Daya Manusia PPATK
dapat menyampaikan laporan pelanggaran ke pengelola Sistem Pengelola
Pelanggaran;
d. dalam hal pelapor berpendapat bahwa pelaporan pelanggaran kepada Direktur
Sumber Daya Manusia belum mendapat tindak lanjut yang memadai, maka
pelapor dapat menyampaikan laporan pelanggaran melalui mekanisma
langsung.
Mekanisma langsung dilakukan dengan cara pelapor menghubungi atau
menyampaikan dugaan pelanggaran kepada pengelola Sistem Pelaporan
Pelanggaran melalui surat, email, telepon, atau tatap muka. Dalam penyampaian
dugaan pelanggaran melalui mekanisma langsung, pelapor harus
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
a. Pelapor berpendapat bahwa penyelesaian atas pelanggaran belum memadai;
9
b. terdapat alasan yang mendasar bahwa terlapor akan menjadikan pelapor
sebagai korban intimidasi atau pemaksaan jika permasalahan yang terjadi
diungkapkan secara internal;
c. terdapat keyakinan bahwa pengungkapan melalui mekanisma tidak langsung
mengakibatkan penghilangan atau perusakan barang bukti;
d. pelapor berpendapat bahwa permasalahan yang dilaporkan merupakan suatu
hal yang serius dan pelapor tidak dapat mendiskusikan dengan atasan langsung,
direktur terkait atau Direktur Sumber Daya Manusia; dan/atau
e. pelapor berpendapat bahwa pelaporan pelanggaran melalui mekanisma tidak
langsung tidak sesuai untuk dilakukan.
Sistem Pelaporan Pelanggaran diyakini sebagai salah satu cara yang paling
efektif untuk mendorong partisipasi aktif pimpinan, pegawai, dan pemangku
kepentingan dalam upaya mencegah dan/atau mengungkap praktik atau tindakan
yang bertentangan dengan good governance di lingkungan PPATK. Dengan
adanya Sistem Pelaporan Pelanggaran diharapkan dapat lebih efektif dalam
mendeteksi pelanggaran dan waktu penindakan yang relatif lebih singkat
dibandingkan dengan cara lainnya.
1.2 Rumusan Masalah
Survei yang dilakukan oleh Institute of Business Ethics pada tahun 2007
yang dimuat dalam KNKG (2008) menyimpulkan bahwa satu di antara karyawan
mengetahui kejadian pelanggaran, tetapi lebih dari separuh (52%) dari yang
mengetahui terjadinya pelanggaran tersebut tetap diam dan tidak berbuat sesuatu.
10
Untuk meningkatkan partisipasi karyawan dalam melaporkan dugaan
pelanggaran, perusahaan dapat menerapkan sistem whistleblowing yang efektif.
Sistem whistleblowing merupakan bagian dari sistem pengendalian internal dalam
upaya mencegah praktik penyimpangan dan kecurangan serta memperkuat
penerapan praktik good governance di perusahaan.
Miceli dan Near (1994) menyatakan bahwa organisasi sebaiknya
menyediakan mekanisma yang jelas bagi pelaporan atas dugaan pelanggaran.
Near dkk. (1993) mengemukakan bahwa pada perusahaan yang para karyawannya
mengetahui mekanisma pelaporan atau dugaan pelanggaran akan melakukan
whistleblowing. Sims dan Keenan (1998) menyatakan bahwa diperlukan suatu
kebijakan organisasi yang jelas untuk menghadapi masalah-masalah etis yang
terjadi dalam organisasi.
Whistleblower memiliki dua mekanisma pelaporan pelanggaran
organisasional, yaitu mekanisma pelaporan internal dan eksternal. Eaton dan
Akers (2007) mengemukakan bahwa whistleblowing internal melibatkan
pelaporan informasi kepada sumber yang berada di dalam organisasi, sedangkan
whistleblowing eksternal melibatkan pelaporan informasi kepada sumber yang
berada di luar organisasi, misalnya media atau regulator.
Dworkin dan Baucus (1998) mengemukakan bahwa whistleblower eksternal
mengalami lebih banyak retaliasi daripada whistleblower internal dan terdapat
pola retaliasi yang berbeda-beda yang dilakukan oleh manajemen untuk merespon
whistleblower internal dan eksternal. Manajer akan cenderung melakukan
pemecatan terhadap whistleblower internal segera setelah whistleblower internal
11
melakukan pengungkapan pelanggaran, sedangkan terhadap whistleblower
eksternal, manajer akan lebih berhati-hati dan menunggu sedikit lebih lama untuk
memecat whistleblower eksternal serta melakukan pengucilan sebagai upaya
membuat diam whistleblower karena manajer beranggapan bahwa whistleblower
memiliki bukti-bukti pelanggaran yang lebih banyak. Pemilihan mekanisma
pelaporan internal atau eksternal tergantung pada tingkat pendidikan
whistleblower. Whistleblower yang berpendidikan tinggi cenderung menggunakan
mekanisma pelaporan internal, sedangkan whistleblower yang berpendidikan
rendah cenderung menggunakan mekanisma pelaporan eksternal (Miceli dan
Near, 1984). Whistleblower yang berpendidikan tinggi relatif memiliki
pengetahuan yang lebih banyak mengenai mekanisma pelaporan pelanggaran,
termasuk jalur pelaporan alternatif apabila laporan pelanggaran mereka tidak
direspon oleh manajemen. Whistleblower yang memiliki pendidikan rendah lebih
menyukai menggunakan mekanisma pelaporan eksternal karena mereka
menganggap bahwa mekanisma pelaporan internal adalah lebih berisiko, pihak
manajemen dapat memecat mereka, dan mereka dapat dianggap sebagai karyawan
yang tidak loyal oleh pihak manajemen.
Pengungkapan whistleblowing umumnya dilakukan secara rahasia. Sebagian
besar whistleblower adalah karyawan yang bekerja dalam organisasi itu sendiri
(pihak internal) akan tetapi tidak tertutup kemungkinan adanya pelapor yang
berasal dari pihak eksternal (pelanggan, pemasok, dan masyarakat).
Whistleblower internal mengungkapkan pelanggaran kepada pihak di dalam
organisasi yang memiliki kewenangan, sedangkan whistleblower eksternal
12
mengekspos pelanggaran kepada pihak di luar organisasi. Pelaporan pelanggaran
menggunakan mekanisma internal pada umumnya dilakukan melalui sistem
pelaporan whistleblowing yang sudah baku di dalam perusahaan. Sistem
pelaporan whistleblowing perlu disosialisasikan kepada seluruh karyawan agar
para karyawan dapat mengetahui autoritas yang mengelola sistem pelaporan
pelanggaran. Pelapor sebaiknya memberikan bukti, informasi, atau indikasi yang
jelas atas terjadinya pelanggaran yang dilaporkan, sehingga dapat ditelusuri atau
ditindaklanjuti. Tanpa informasi yang memadai laporan pelanggaran akan sulit
untuk ditindaklanjuti (KNKG, 2008).
Berdasarkan data PricewaterhouseCoopers (2011), selama tahun 2011,
sistem whistleblowing yang merupakan salah satu bentuk budaya korporat hanya
mampu mendeteksi 5% fraud yang terjadi dalam korporat, sehingga korporat
perlu untuk lebih meningkatkan keefektifan sistem whistleblowing dalam
mendeteksi terjadinya pelanggaran. Selama tahun 2011, berdasarkan profil
karyawan yang melakukan fraud pada internal perusahaan, terlihat bahwa pelaku
yang terbanyak melakukan fraud adalah manajemen menengah (41%), kemudian
diikuti oleh staf junior (39%), eksekutif senior (18%), dan karyawan lainnya (2%).
Karyawan merupakan salah satu faktor penting untuk mendeteksi
pelanggaran yang terjadi di dalam perusahaan. Trevino dan Victor (1992)
menyatakan bahwa kos yang muncul akibat perilaku tidak etis, misalnya fraud
manajemen atau pencurian yang dilakukan oleh karyawan relatif cukup tinggi,
sehingga karyawan yang mengetahui terjadinya pelanggaran berkeinginan untuk
13
melaporkan perilaku pelanggaran yang dilakukan oleh rekan kerja atau supervisor
mereka terhadap pihak manajemen.
Para karyawan memiliki tiga pilihan dalam menghadapi situasi yang tidak
menyenangkan dalam organisasi, yaitu keluar dari organisasi, menyuarakan
ketidakpuasan (whistleblowing), atau tetap diam (Mesmer-Magnus dan
Viswesvaran, 2005). Miceli dkk. (2009) mengemukakan bahwa para karyawan
enggan untuk melaporkan pelanggaran ketika mereka meyakini bahwa organisasi
tidak akan merespon laporan pelanggaran tersebut.
Menurut Nadler dan Schulman (2006), terdapat empat cara whistleblowing
dalam akuntabilitas pemerintahan. Pertama, melaporkan pelanggaran hukum
kepada pihak yang berwenang, misalnya supervisor, hotline, dan inspektorat
jenderal. Kedua, menolak untuk ikut serta dalam tindak pelanggaran di tempat
kerja. Ketiga, memberikan kesaksian dalam proses hukum. Keempat,
membeberkan bukti pelanggaran kepada media.
Beberapa penelitian tentang whistleblowing menunjukkan bahwa faktor
organisasional, misalnya status manajerial (Keenan, 2002a); faktor individual,
misalnya locus of control (Chiu, 2003; Near dan Miceli, 1985), personal cost (Jos
dkk., 1989), dan komitmen organisasional (Somers dan Casal, 1994); faktor
situasional, misalnya keseriusan pelanggaran (Kaplan dan Schultz, 2007; Somers
dan Casal, 2011) dan status pelanggar (Near dan Miceli, 1995); dan faktor
demografis, misalnya budaya (Schultz dkk,. 1993; Keenan, 2007) merupakan
keempat faktor yang dapat mempengaruhi perilaku pelaporan pelanggaran
14
korporat oleh karyawan dalam suatu organisasi. Walaupun beberapa penelitian
telah dilakukan, masih terdapat pertanyaan mengenai seberapa penting faktor
organisasional, individual, situasional, dan demografis mempengaruhi niat
pegawai untuk melakukan whistleblowing internal dalam lingkup
kementerian/lembaga di Indonesia. Keempat faktor tersebut perlu diuji kembali
dalam lingkungan yang berbeda, khususnya di Indonesia karena masih ditemukan
hasil-hasil penelitian yang beragam dan tidak konsisten terkait dengan pengaruh
faktor-faktor tersebut terhadap whistleblowing. Kuantitas dan kualitas penelitian
mengenai whistleblowing belum menghasilkan kesimpulan yang definitif,
sehingga masih perlu dilakukan lebih banyak penelitian untuk memperoleh
jawaban yang jelas mengenai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi niat
melakukan whistleblowing internal.
Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang menguji keempat
faktor tersebut kepada para akuntan manajemen, auditor, atau mahasiswa
Akuntansi/Bisnis, penelitian ini mempunyai fokus untuk menguji keempat faktor
tersebut kepada pegawai PPATK yang merupakan bagian dari aparatur negara
yang baik secara langsung maupun tidak langsung menghadapi banyak peluang
untuk melakukan perbuatan tidak etis dan pelanggaran organisasional dalam
pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya, sehingga perlu diketahui faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi niat melakukan whistleblowing internal. Tanggung
jawab untuk mengungkapkan dugaan pelanggaran telah melekat dalam deskripsi
pekerjaan mereka.
15
Penelitian mengenai whistleblowing di Indonesia masih relatif sedikit.
Sugianto dkk. (2011) menguji hubungan orientasi etika, komitmen profesional,
sensitivitas etis dengan whistleblowing perspektif mahasiswa akuntansi. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa: 1) orientasi etika idealisma menunjukkan
hubungan yang positif terhadap sensitivitas etis, orientasi etika relativisma
menunjukkan hubungan yang negatif terhadap sensitivitas etis, 2) orientasi etika
idealisma mahasiswa akuntansi memiliki hubungan yang positif terhadap
komitmen profesional, 3) komitmen profesional berhubungan positif dengan
persepsi mahasiswa akuntansi terhadap whistleblowing, 4) sensitivitas etis
mahasiswa akuntansi berhubungan negatif terhadap whistleblowing. Layn (2011)
menguji pengaruh komitmen profesional, antisipasi sosial, skeptisma profesional,
dan penalaran moral mahasiswa akuntansi terhadap whistleblowing. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa komitmen profesional berpengaruh terhadap
whistleblowing dari bentuk tindakan keseriusan terhadap jumlah kerugian sosial.
Antisipasi sosial tidak berpengaruh terhadap whistleblowing. Skeptisma
profesional berpengaruh terhadap whistleblowing dalam bentuk tindak
pertanggungjawaban pelaporan. Penalaran moral berpengaruh terhadap
whistleblowing dalam bentuk kemungkinan seseorang menjadi sadar ketika
tindakannya dipertanyakan dan dilaporkan kepada manajemen yang lebih tinggi.
Banda (2012) menguji pengaruh penalaran moral, sikap, normatif subjektif, dan
persepsi kontrol perilaku terhadap whistleblowing intention pada auditor internal.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penalaran moral dan persepsi kontrol
perilaku tidak berpengaruh terhadap whistleblowing intention, sedangkan sikap
16
dan norma subjektif berpengaruh terhadap whistleblowing intention. Jalil (2012)
menguji pengaruh komitmen profesional auditor eksternal terhadap intensi
melakukan whistleblowing dengan locus of control sebagai variabel pemoderasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa komitmen profesional tidak berpengaruh
terhadap intensi melakukan whistleblowing dan locus of control tidak memoderasi
hubungan komitmen profesional dan intensi melakukan whistleblowing. Putri
(2012) menguji keefektifan whistleblowing menggunakan pendekatan eksperimen.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jalur pelaporan non-anonimus dalam kondisi
reward model lebih efektif dibandingkan dengan jalur anonimus. Pada kondisi
structural model, baik jalur anonimus dan non-anonimus merupakan jalur yang
sama-sama efektif dalam mendorong seseorang melakukan whistleblowing.
Penelitian ini berfokus untuk menguji pengaruh faktor-faktor
organisasional, individual, situasional, dan demografis terhadap niat melakukan
whistleblowing internal. Penelitian ini penting untuk dilakukan karena hingga saat
ini belum ada penelitian empiris di Indonesia yang menguji pengaruh keempat
faktor tersebut terhadap niat melakukan whistleblowing internal pada pegawai
dalam lingkup kementerian/lembaga. Beberapa penelitian sebelumnya yang telah
dilakukan di Indonesia hanya menguji hubungan faktor-faktor individual dan
whistleblowing dengan menggunakan sampel para mahasiswa akuntansi/non-
akuntansi, auditor internal, dan auditor eksternal. Faktor-faktor organisasional,
individual, situasional, dan demografis sangat penting untuk diteliti karena
diyakini dapat mendorong partisipasi aktif pimpinan, pegawai, dan pemangku
kepentingan dalam upaya mencegah dan mengungkap praktik atau tindakan yang
17
bertentangan dengan good governance melalui budaya keterbukaan, kejujuran,
dan keadilan dan merupakan faktor-faktor penting yang dapat memotivasi
pimpinan, pegawai, dan pemangku kepentingan untuk memberikan kontribusi
bagi kepentingan organisasi. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengetahui
apakah faktor-faktor organisasional, individual, dan situasional, dan demografis
dapat mempengaruhi niat pegawai untuk melaporkan pelanggaran melalui
mekanisma whistleblowing internal dengan telah diterapkannya Sistem Pelaporan
Pelanggaran di PPATK yang diharapkan dapat meningkatkan efektivitas good
governance, pengendalian internal, dan kinerja para pimpinan dan pegawai.
Faktor organisasional berpengaruh terhadap niat karyawan melakukan
whistleblowing internal karena karyawan dapat membantu organisasi
memperbaiki kondisi kerja yang tidak nyaman dan dapat membantu
mengendalikan praktik-praktik pelanggaran, sehingga dapat menghindarkan
organisasi dari gugatan hukum dan publikasi negatif. Faktor individual
berpengaruh terhadap niat karyawan untuk melakukan whistleblowing internal
karena karyawan merasa memiliki tanggung jawab untuk melaporkan pelanggaran
yang dipengaruhi oleh persepsi mereka terhadap tanggung jawab sosial dan
komitmen terhadap organisasi. Faktor situasional berpengaruh terhadap niat
karyawan melakukan whistleblowing internal karena jenis kerugian yang
ditimbulkan akibat pelanggaran, misalnya kerugian fisik, ekonomik, dan
psikologis berpengaruh terhadap pembuatan keputusan etis (Collins, 1989).
Ketiga jenis kerugian tersebut mempengaruhi keputusan karyawan apakah akan
melaporkan pelanggaran kepada pihak internal organisasi. Faktor demografis
18
berpengaruh terhadap niat karyawan untuk melakukan whistleblowing internal
karena budaya di tempat kerja merupakan sebuah pemograman kolektif pikiran
yang membedakan satu kelompok dengan kelompok lainnya (Hofstede dalam
Schultz, 1993). Perilaku manusia merupakan hasil dari latar belakang sosial dan
budaya individu. Pegawai dengan budaya dan pengaruh sosial ekonomis yang
berbeda-beda memiliki perbedaan pandangan terhadap sesuatu hal yang dianggap
etis dan taketis. Perbedaan-perbedaan nilai juga dapat menyebabkan sesuatu yang
dianggap sebagai praktik bisnis yang dapat diterima di suatu organisasi dapat
dianggap sebagai suatu hal yang tidak dapat diterima di organisasi lain.
Penelitian ini mengacu pada penelitian Ahmad dkk. (2011) yang menguji
pengaruh faktor demografis (gender, usia, dan tenure) dan faktor individual
(pertimbangan etis, locus of control, dan komitmen organisasional) terhadap niat
melakukan whistleblowing internal pada para auditor internal di Malaysia. Hasil
penelitian menyatakan bahwa faktor demografis (gender, usia, dan tenure) dan
faktor individual (locus of control dan komitmen organisasional) gagal untuk
menjelaskan niat melakukan whistleblowing internal pada para auditor internal
karena gender, usia, tenure, locus of control, dan komitmen organisasional
menjadi faktor-faktor yang tidak relevan ketika berada dalam kondisi adanya
retaliasi. Responden merasa tidak nyaman untuk melaporkan dugaan fraud atau
pelanggaran karena meyakini bahwa tanggung jawab utama mereka adalah
menyelamatkan reputasi organisasi dengan cara menyembunyikan pelanggaran.
19
Penelitian ini juga mengacu pada penelitian Ahmad dkk. (2010) yang
menguji pengaruh faktor individual (gender, usia, dan tenure), faktor
organisasional (ukuran organisasi dan status manajerial), dan faktor situasional
(keseriusan pelanggaran dan status pelanggar) terhadap niat melakukan
whistleblowing internal pada para auditor internal di Malaysia. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa faktor individual (usia dan tenure), faktor organisasional
(status manajerial), dan faktor situasional (keseriusan pelanggaran) berpengaruh
terhadap niat melakukan whistleblowing internal pada para auditor internal.
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Ahmad dkk. (2010) dan
Ahmad dkk. (2011), penelitian ini menambahkan variabel personal cost ke dalam
faktor individual dan variabel suku bangsa ke dalam faktor demografis karena
personal cost dan suku bangsa diyakini merupakan variabel-variabel penting yang
berpengaruh terhadap niat melakukan whistleblowing internal. Personal cost
merupakan salah satu alasan utama yang menyebabkan responden tidak ingin
melaporkan dugaan pelanggaran karena mereka meyakini bahwa laporan mereka
tidak akan ditindak lanjuti, mereka akan mengalami pembalasan, atau manajemen
tidak akan melindungi mereka dari ancaman pembalasan, khususnya dalam jenis
pelanggaran yang melibatkan para manajer (Brown, 2008). Bentuk pembalasan
atau sanksi yang diberikan oleh manajemen atau rekan kerja terhadap
whistleblower merupakan faktor yang menjadi pertimbangan untuk memutuskan
apakah akan melaporkan dugaan pelanggaran dalam organisasi. Penelitian tentang
whistleblowing internal telah banyak dilakukan di negara-negara Barat yang
mempunyai dimensi budaya berbeda. Dengan mempertimbangkan aspek budaya
20
Indonesia yang mempunyai dimensi budaya yang berbeda dengan negara-negara
Barat (Hofstede, 1985), maka penelitian ini menguji variabel suku bangsa yang
diyakini mempengaruhi niat melakukan whistleblowing internal di Indonesia.
Variabel suku bangsa ini penting untuk diteliti karena bangsa Indonesia adalah
sebuah bangsa dengan masyarakat yang pluralistik dengan berbagai macam suku
bangsa. Setiap suku bangsa dibedakan dengan kelompok-kelompok etnis lain
didasarkan pada latar belakang sejarah, bahasa, dan kebudayaan. Setiap suku
bangsa memiliki kebudayaan masing-masing yang berbeda dengan suku bangsa
lain, sehingga identitas dan atribut suku bangsa langsung melekat dalam diri
setiap individu dan diharapkan dapat mendorong individu untuk merespon dan
melaporkan dugaan fraud atau pelanggaran.
Responden yang digunakan dalam penelitian ini juga berbeda dengan
penelitian yang dilakukan oleh Ahmad dkk. (2010) dan Ahmad dkk. (2011) yang
menggunakan responden para auditor internal di Malaysia. Penelitian ini
menggunakan responden para pegawai PPATK yang merupakan pegawai
kementerian/lembaga di Indonesia dan telah menerapkan Sistem Pelaporan
Pelanggaran. Para pegawai PPATK sebagai bagian dari aparatur negara
diharapkan dapat mencegah dan mengungkap perilaku ilegal, tidak bermoral, dan
tidak etis yang terjadi dalam lingkup pemerintah dalam upaya memperkuat
penerapan praktik good governance.
Penelitian ini menguji pengaruh faktor organisasional, individual, situasional,
dan demografis terhadap niat melakukan whistleblowing internal berdasar pada
perilaku prososial. Perilaku prososial dapat digunakan untuk menjelaskan
21
pembuatan keputusan etis individual yang terkait dengan niat melakukan
whistleblowing internal. Miceli dan Near (1988) mengemukakan bahwa
whistleblower melakukan pelaporan dugaan pelanggaran dalam upaya membantu
korban dan memberikan manfaat bagi organisasi karena mereka yakin bahwa
perbuatan pelanggaran tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut oleh
organisasi.
Perilaku whistleblowing berhubungan dengan norma profesional yang
dimiliki oleh individu, sedangkan norma berhubungan dengan peran individu
dalam melaksanakan kewajibannya. Whistleblowing merupakan suatu fenomena
yang kompleks yang melibatkan berbagai faktor organisasional, individual,
situasional dan demografis. Pemahaman terhadap faktor-faktor yang
mempengaruhi niat melakukan whistleblowing internal, misalnya status
manajerial, locus of control, komitmen organisasional, personal cost, keseriusan
pelanggaran, status pelanggar, dan suku bangsa diharapkan dapat menjelaskan
fenomena peningkatan praktik-praktik whistleblowing selama beberapa tahun
terakhir.
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, maka pertanyaan yang
diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah faktor organisasional, misalnya status manajerial berpengaruh
terhadap niat melakukan whistleblowing internal?
2. Apakah faktor individual, misalnya locus of control, komitmen
organisasional, dan personal cost, berpengaruh terhadap niat melakukan
whistleblowing internal?
22
3. Apakah faktor situasional, misalnya keseriusan pelanggaran dan status
pelanggar berpengaruh terhadap niat melakukan whistleblowing internal?
4. Apakah faktor demografis, misalnya suku bangsa berpengaruh terhadap niat
melakukan whistleblowing internal?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dijelaskan, tujuan dari penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk menguji secara empiris apakah faktor organisasional, misalnya status
manajerial berpengaruh terhadap niat melakukan whistleblowing internal.
2. Untuk menguji secara empiris apakah faktor individual, misalnya locus of
control, komitmen organisasional, personal cost, dan suku bangsa
berpengaruh terhadap niat melakukan whistleblowing internal.
3. Untuk menguji secara empiris apakah faktor situasional, misalnya keseriusan
pelanggaran dan status pelanggar berpengaruh terhadap niat melakukan
whistleblowing internal.
4. Untuk menguji secara empiris apakah faktor demografis, misalnya suku
bangsa berpengaruh terhadap niat melakukan whistleblowing internal.
1.4 Kontribusi Penelitian
Adapun kontribusi penelitian ini secara teoretis maupun praktis adalah
sebagai berikut:
23
1. Kontribusi secara teoretis
Dengan menguji pengaruh faktor-faktor organisasional, individual,
situasional, dan demografis terhadap niat melakukan whistleblowing internal,
penelitian ini diharapkan dapat memberikan hasil-hasil pengujian empiris
untuk melengkapi penelitian-penelitian mengenai whistleblowing. Penelitian
ini diharapkan dapat berkontribusi dalam menambah literatur akuntansi
mengenai whistleblowing, terutama dalam konteks Indonesia.
2. Kontribusi secara praktis
a. Bagi pimpinan PPATK dan pengelola sistem pelaporan pelanggaran,
penelitian ini memberikan kontribusi agar lebih mempertimbangkan
pentingnya faktor organisasional, individual, situasional, dan demografis
yang dapat mempengaruhi niat pegawai untuk melakukan whistleblowing
internal.
b. Bagi pimpinan PPATK, penelitian ini memberikan kontribusi agar lebih
meningkatkan komitmen organisasional dan kepedulian para pegawai
PPATK terhadap sistem pelaporan pelanggaran (whistleblowing system)
yang diharapkan dapat meningkatkan niat pegawai untuk melakukan
whistleblowing internal.
c. Bagi pengelola sistem pelaporan pelanggaran, adanya pengaruh
keseriusan pelanggaran terhadap niat melakukan whistleblowing internal
diharapkan akan dapat meningkatkan efektivitas pelaksanaan sistem
pelaporan pelanggaran sebagai bagian dari sistem pengendalian internal
dalam upaya mencegah praktik penyimpangan dan kecurangan,
24
memperkuat penerapan praktik good governance di organisasi, dan
meningkatkan jaminan perlindungan hukum bagi para whistleblower.
d. Bagi pimpinan PPATK, adanya pengaruh suku bangsa terhadap niat
melakukan whistleblowing internal menunjukkan bahwa budaya berperan
penting dalam organisasi. Hal ini berdampak pada pentingnya
pengelolaan sumber daya manusia pada para pegawai yang berasal dari
berbagai suku bangsa karena budaya dapat menjadi salah satu sumber
keefektifan organisasi jika dikelola dengan baik.
1.5 Sistematika Penulisan
Bab I: Bab ini membahas mengenai latar belakang yang mendasari penulisan
untuk melakukan penelitian ini, perumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II: Bab ini membahas teori yang relevan dan pengembangan hipotesis.
Bab III: Bab ini membahas sampel, metoda pengumpulan data, definisi
operasional dan pengukuran variabel, dan metoda pengujian hipotesis.
Bab IV: Bab ini membahas hasil analisis data dan pembahasannya.
Bab V: Bab ini membahas simpulan dan implikasi, keterbatasan penelitian, dan
saran bagi penelitian selanjutnya.