BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar...
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pada masa Orde Baru, PKI dan komunisme distigmatisasi secara negatif.
Sepanjang 1966-1998, melalui berbagai strategi politik dan budaya1, rezim Orde Baru
melakukan propaganda sejarah dan memori tentang PKI dan peristiwa 30 September
tersebut sehingga merugikan PKI, simpatisan, dan keluarganya secara politik dan
kultural (Hearman, 2013:15; Pellegrini, 2012; Adam, 2008:5; Heryanto, 2006).
Sementara itu, pembantaian massal terhadap 500.000 orang pengikut atau simpatisan
PKI dan pemenjaraan hampir sejuta orang tanpa peradilan selama Oktober 1965-
Maret 1966 yang dilakukan tidak hanya oleh militer, melainkan juga oleh kelompok
masyarakat sipil, seakan dihapuskan dari ingatan publik (Wardaya, 2013; Hearman,
2013; Pellegrini, 2012; Adam, 2008). Reformasi memberikan harapan bagi kelompok-
kelompok yang dirugikan oleh narasi sejarah Orde Baru untuk ‘meluruskan’ sejarah
dan memori. Namun, keruntuhan Orde Baru pada 1998 ternyata tidak mengikis
stigma negatif atas PKI dan komunisme.
Para sejarawan telah membuat berbagai penjelasan mengenai keganjilan
tersebut2 akan tetapi sejauh ini perspektif media belum banyak disinggung pada
1 Strategi itu antara lain pemberlakuan Tap MPR No. 25/1966, produksi buku-buku teks sejarah dengan perspektif tunggal, produksi film propaganda Pengkhianatan G30S/PKI, kampanye-kampanye seperti “bersih diri, bersih lingkungan”, serta berbagai bentuk memorialisasi dan ritual seperti peringatan Hari Kesaktian Pancasila setiap 1 Oktober. 2 Pertama, banyak bukti-bukti fisik seperti jasad-jasad, penjara-penjara, dan bangunan-bangunan yang menjadi kamp penampungan PKI telah terhapuskan oleh sebab alamiah maupun kesengajaan (Hearman, 2013:19). Kedua, memori bahwa PKI adalah musuh bangsa telah terlanjur menjadi bagian dalam narasi pembentukan identitas nasional sehingga klarifikasi mengenai peristiwa tersebut akan mengancam identitas Indonesia secara keseluruhan (Pellegrini, 2012). Ketiga, diskriminasi, stigmatisasi, dan memori atas PKI tidak lagi dikontrol oleh negara atau rezim melainkan sudah mengakar di masyarakat sehingga keruntuhan Orde Baru tidak secara signifikan mengubah memori publik yang berkembang di masyarakat atas PKI (Adam, 2008:18-19). Keempat, ide komunisme dipahami umum sebagai sama dengan ateisme sehingga penerimaan atas ide tersebut menjadi akan mengancam fondasi agama terutama dalam hal ini Islam (Budiawan, 2004).
2
wacana akademik maupun praksis dalam menjelaskan mengenai langgengnya anti-
komunisme di Indonesia pada era pos-Soeharto.
Memang, media massa di Indonesia sejauh ini dalam studi sejarah telah
disadari memiliki nilai-nilai moral tertentu yang mendasari konstruksinya atas suatu
fakta atau situasi yang sensitif. Hal itu terlihat dari Budiawan (2004) yang sempat
menyinggung penggunaan bahasa pada media online dan cetak3. Budiawan (2004)
memandang pembebasan eks-tapol itu ‘dikonstruksi’ (parafrase penulis) oleh media
massa sebagai tindakan kemanusiaan. Selain Budiawan (2004), koran-koran yang
terbit pada 1 Oktober 1965 sampai dengan bulan-bulan awal 1966 juga dirujuk oleh
Wieringa (2010) untuk melihat kampanye fitnah terhadap Gerwani. Sayangnya,
pembahasan mengenai media massa hanya menjadi bagian kecil dari studi sejarah
yang dilakukan Budiawan (2004) dan Wieringa (2010). Yang dilakukan oleh
keduanya sebagai sejarawan tersebut masih dalam kerangka sebagaimana yang
disampaikan oleh Zelizer (2008): media dan karya jurnalistik masih hanya dipandang
sebagai sebagai ‘naskah pertama dalam penulisan sejarah’ (the first draft of history)
sedangkan naskah terakhir ditulis oleh para sejarawan.
Penelitian ini bermaksud untuk melihat konstruksi frame media atas peristiwa
kekerasan yang terjadi pada masa pra- Orde Baru tersebut dalam berita-berita
retrospektif majalah Tempo yang terbit pada era otoritarian (Orde Baru) maupun
transisi demokrasi (Reformasi). Dinamika framing media atas tragedi masa lalu yang
sama akan semakin terlihat manakala framing dilakukan pada dua konteks politik
yang berlainan. Selain itu, penelitian ini juga tidak membandingkan berita
kontemporer dengan berita retrospektif seperti yang dilakukan Edy (2006), melainkan
mengamati berita-berita retropektif pada dua konteks sosial dan politik yang berbeda
di negara yang sama. Penelitian ini berargumen bahwa “perubahan konteks sosial dan
politik berpengaruh pada bagaimana media arus utama mengkonstruksi frame
peristiwa atau sesuatu hal di masa lalu. Sebab, konstruksi memori kolektif dalam Kelima, komunisme dicitrakan sebagai gerakan politik dan kebudayaan paling berbahaya yang mengancam demokasi oleh para intelektual Indonesia pro-Barat melalui pemelintiran ide-ide liberalisme Barat (Herlambang, 2013: 302). Keenam, dukungan negara atas penuntasan kasus 1965/66 melemah dengan dibatalkannya Undang-undang No. 27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) pada 2006 oleh Mahkamah Konstitusi (“Elsam dan Media”, di Elsam.or.id di http://www.elsam.or.id/new/index.php?id=641&lang=en&act=view&cat=c/301, dikunjungi pada 11 Desember 2013.) 3 Media-media tersebut memberitakan tentang pembebasan eks-tapol (PKI) pada masa pemerintahan Habibie: “(eks-tapol itu) telah jompo, menderita berbagai penyakit tua, dan diduga tidak mungkin lagi mengancam ‘kesatuan dan stabilitas nasional’” (Budiawan, 2004).
3
media didasarkan pada ideologi yang berkembang pada tiap konteks politik tersebut.
Ideologi merupakan sumber konstruksi frame media. Ideologi media dapat terlihat
pada konstruksi teks media dan bagaimana media menampilkan sponsor-sponsor
frame (pemilik ingatan), menggunakan common sense dan membentuk relasi antar
partisipan dalam teks.”
Untuk mengetahui frame dan konstruksi berita retrospektif PKI dan 1965 pada
Tempo Orde Baru dan Reformasi, analisis framing dan wacana diterapkan. Pada level
teks, untuk mengetahui frame media, peneliti menerapkan analisis frame dengan
mencermati roots, moral principles, consequences, sedangkan untuk mencermati
ideologi media, peneliti mengamati common sense, otoritas jurnalistik (narasumber)
yang hadir dan sponsor frame (pemilik ingatan) yang tidak hadir dalam teks, dan
relasi kuasa antar otoritas jurnalistik dalam teks maupun narator dengan pembaca
teks.
Memetakan interaksi Tempo, terutama Tempo Reformasi dengan sponsor-
sponsor frame amat penting dalam penelitian ini. Sebab, dengan mengetahui
pertimbangan-pertimbangan Tempo dalam memilih narasumber dapat mencerminkan
sejauh mana Tempo bersikap kritis atas dominasi memori Orde Baru tentang peristiwa
1965/66, atau Tempo Reformasi justru mendukung status quo dengan memilih
narasumber yang semata-mata dapat dihubungi, bersedia berbicara, dan memiliki
pendapat yang mainstream.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang tersebut, rumusan masalah penelitian
ini adalah:
1) Bagaimana transformasi konstruksi frame atas peristiwa 1965/66 dan PKI
Tempo dalam berita-berita retrospektif Tempo Orde Baru dan Era Reformasi?
2) Bagaimana kecenderungan ideologi media yang tampak dalam konstruksi
framing tersebut?
1.3. Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan penelitian merupakan penjabaran dari rumusan masalah di atas.
Terkait dengan rumusan masalah pada level konstruksi frame, dengan menggunakan
4
analisis frame Gamson & Lasch (1980), pertanyaan penelitiannya mencakup roots:
apakah yang dianggap menjadi penyebab dan masalah dalam argumen framing
tersebut; moral principles: nilai-nilai moral apakah yang menjadi argumen dalam
frame narasi memori tersebut; dan consequences: apakah konsekuensi dari frame
narasi memori tersebut.
Sementara itu, ideologi media nampak pada moral principles yang terkandung
dalam teks sebagaimana paparan Gamson & Lasch (1980) atau common sense dalam
pengertian Fulton (2005) dan Gramscian, dan siapa atau sponsor-sponsor frame
mana sajakah yang menjadi sumber otoritas jurnalistik maupun yang tidak; sumber-
sumber otoritas jurnalistik mana sajakah yang menjadi sumber faktual dan sumber
point of view; maupun relasi kuasa antar sumber otoritas jurnalistik dalam teks.
Karena perspektif Teori Kritis selalu menempatkan objek kajian pada sejarah
sosial, konteks sosial politik Orde Baru dan Reformasi menjadi penting untuk ditelisik
dalam kaitannya dengan organisasi media. Lokus konteks yang dimaksud pada
penelitian ini adalah proses produksi teks yang mencakup interaksi profesional Tempo
dengan sponsor-sponsor frame dan institusi-institusi sosial lainnya.
1.4. Tujuan Penelitian
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk:
(i) Memperlihatkan dinamika konstruksi frame peristiwa 1965/66 dan PKI pada
majalah yang sama namun terbit pada konteks politik berbeda serta
menjelaskan perbedaan atau persamaan konstruksi frame peristiwa dan parpol
tersebut;
(ii) Menemukan ideologi Tempo terhadap peristiwa 1965/66 maupun PKI.
Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk:
(i) Memetakan frame-frame yang digunakan dalam narasi memori peristiwa
1965/66 itu dan menunjukkan kontinuitas atau diskontinuitas yang terjadi;
(ii) Mengidentifikasi analisis kausal (roots) yang digunakan media;
(iii) Mengidentifikasi nilai moral atau common sense yang menjadi argumen
frame;
(iv) Mencermati konsekuensi dalam framing;
5
(i) Mencermati relasi kuasa antar sumber otoritas jurnalistik (partisipan dalam
teks).
1.5. Signifikansi Penelitian
Signifikansi penelitian atau mengapa penelitian ini penting merupakan sesuatu
yang terkait erat dengan orisinalitas penelitian dan kemampuan penelitian ini untuk
membuka ‘cakrawala baru’, atau mengisi kesenjangan pengetahuan (knowledge gap)
pada tubuh pengetahuan yang sudah ada baik di skala nasional maupun internasional.
Tubuh pengetahuan penelitian ini adalah memori tragedi masa lalu pada jurnalisme
media cetak.
Peneliti berharap penelitian ini dapat berkontribusi untuk: “menunjukkan
konsistensi/inkonsistensi representasi ideologi dan konstruksi frame atas peristiwa
1965/66 pada dua konteks sosial politik yang berbeda yaitu Orde Baru yang mana
hegemoni ingatan Orde Baru sangat kuat dan kedua, Reformasi yang mana dominasi
ingatan warisan Orde Baru masih bertahan namun mulai dilawan. ”
Pada wacana akademik di luar jurnalisme dan media, signifikansi penelitian
ini terletak pada kemampuannya untuk:
(i) Menjelaskan faktor penyebab berubahnya atau bertahannya memori warisan
Orde Baru masih relatif di masyarakat Indonesia pos-Soeharto melalui
perspektif media;
(ii) Menjadi salah satu indikator perubahan sosiologis dan politik atau justru
bertahannya status quo terkait dengan peristiwa 1965/66 sebagaimana yang
terrepresentasi melalui teks media.
Secara sosial, penelitian ini juga diperlukan. Beberapa pihak di masyarakat
menolak pemberitaan Tempo atas peristiwa 1965 yang dianggap menyudutkan
sejumlah elemen Islam di Indonesia.4 Apakah memang seperti itu (menyudutkan
elemen Islam)? Atas pertanyaan itulah penelitian ini bermaksud memberi konstribusi
sosial. Selain itu, manfaat praktis/ strategis penelitian ini adalah:
(i) Memberikan kritik dan masukan kepada media bersangkutan mengenai frame
dan framing memori peristiwa 1965/66 yang muncul, perspektif yang telah
4 “Buku Pengakuan Algojo Diterbitkan” di http://www.beritasatu.com/politik/141422-buku-pengakuan-algojo-1965-diterbitkan.html, dikunjungi pada Senin, 6 Oktober 2014.
6
terwakili dan belum terwakili tentang peristiwa tersebut, serta implikasinya
terhadap peran media dalam perubahan sosial dan politik Indonesia;
(ii) Memberikan masukan kepada pemerintah Indonesia dalam menyusun
kebijakan terkait anti-komunisme di Indonesia dengan memperlihatkan sejauh
mana diskursus tersebut terpotret di media dan perubahan-perubahan sosial
serta politik yang saat ini tengah berlangsung;
(iii) Memperkuat minat dan fokus peneliti pada studi media dan kaum marjinal.
1.6. Tinjauan Pustaka
Penelitian ini didasarkan pada sejumlah tinjauan pustaka terhadap beberapa
isu kajian akademik, yaitu kajian: relasi tragedi silam dan pers Indonesia, berita
retrospektif pada level internasional, dan pendekatan dalam riset berita retrospektif.
Sebagaimana yang telah disinggung pada bagian Latar Belakang, kajian jurnalisme
retrospektif atau studi relasi media dengan memori belum ada di Indonesia. Media
masih dianggap sebagai pencatat peristiwa kontemporer yang kemudian digunakan
para sejarawan untuk mengkonstruksi sejarah (Wardaya, 2013; Hearman, 2013). Hal
itu tidak dibahas pada subba ini. Subbab Tinjauan Pustaka hanya membahas temuan
penelusuran pustaka pada dua batang kajian yaitu kajian berita retrospektif pada level
internasional dan pendekatan untuk riset berita retrospektif selama ini.
Pada kajian berita retrospektif level internasional, riset-riset telah banyak
mendiskusikan relasi produksi teks dengan peristiwa silam dan konten media itu
sendiri dengan peristiwa silam. Pada pendekatan dalam riset berita retrospektif,
tinjauan pustaka menemukan bahwa pendekatan kritis paling jarang digunakan oleh
para peneliti.
Berita umumnya bertolak dari nilai aktualitas yang dipahami sebagai kejadian
atau isu terbaru atau kekinian (present) sehingga berita jarang menghadirkan kejadian
lampau. Berita yang semata-mata mengisahkan kejadian sekarang (present event) itu
–untuk membedakan dari “berita retrospektif” disebut sebagai berita kontemporer
(Simonetti, 2008). Sementara itu, “berita retrospektif” adalah berita yang terbit hari
ini yang menyebut, menyinggung, atau menampilkan peristiwa yang terjadi pada
masa silam dengan perantara memori individual, dan atau artefak sejarah/mnemonik
(Zelizer, 2008; Edy, 2006; Kitch, 2005). Pengertian “peristiwa silam” dalam konteks
7
berita retrospektif memang bersifat relatif, bisa berarti kejadian tahun lalu atau
puluhan tahun lalu, yang mana poin utamanya adalah “peristiwa silam” itu hanya bisa
‘diakses’ melalui persona-persona yang masih menyimpan memori tersebut maupun
benda-benda mnemonik (perantara memori). Yang jelas, “silam” di sini tidak berarti
peristiwa yang hari atau minggu kemarin baru saja terjadi.
Berdasarkan penelusuran peneliti pada artikel-artikel terkait berita retrospektif
di jurnal internasional Memory Studies, penelitian mengenai berita retrospektif dan
kekerasan masa lalu berkutat pada dua level studi, yaitu pada level produksi teks, dan
teks itu sendiri.
Pada level produksi teks, penelitian Sorensen (2009) mengambil konteks Cile,
negara berkembang yang keadaannya serupa dengan Indonesia. Terhadap media-
media arus utama, penelitian Sorensen (2009) tersebut lebih berfokus pada level
operasi media daripada teks media, yang mana Sorensen (2009) melihat hambatan-
hambatan dan peluang-peluang media arus utama dalam memberitakan kediktatoran
Pinochet pada masa lalu. Ketika kekuasaan Pinochet runtuh di Cile, warisan semangat
kediktatorannya tidak sepenuhnya lenyap dari negara itu sehingga Sorensen (2009)
mengajukan pertanyaan bagaimana warga Cile pada masa sekarang mengatasi era
kediktatoran dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi pada masa lalu
dan bagaimana media berperan dalam perubahan tersebut. Penelitian Sorensen (2009)
tersebut tidak melihat secara khusus bagaimana memori kedikatatoran Pinochet itu
dikonstruksi oleh media dan perubahan konstruksi tersebut dari masa ke masa.
Penelitian bagaimana sebuah peristiwa kerusuhan dibingkai secara berbeda
pada masa terbit berita yang berbeda telah diteliti oleh Jill A. Edy. Dalam
penelitiannya yang berjudul The Troubled Past: News, Collective Memory, and Social
Unrest (Nimkoff, 2009; Meyers, 2007) Edy menyimpulkan semakin otoritas politisi
dalam berita restrospektif kekerasan berkurang, jurnalis memiliki lebih banyak ruang
untuk menunjukkan otoritasnya dalam menyampaikan memori (Nimkoff, 2009).
Penelitian yang menggunakan metode analisis frame dan naratif itu mencermati
adanya ingatan dominan bersumber dari elit-elit politik manakala dominasi elit
berlangsung, dan jurnalis baru lebih longgar menggunakan otoritas jurnalistiknya
manakala perhatian elit politik terhadap krisis di New York (‘Watts riots’) pada 1965
dan Chicago (Chicago Democratioc National Convention) pada 1968. Penelitian Edy
(Nimkoff, 2009) tersebut meski menggunakan istilah “dominasi” dan “elit”, masih
8
menggunakan perspektif memori sebagai proses negosiasi sosial (Misztal, 2003),
bukan dalam pengertian hegemoni atau konter-hegemoni.5 Selain itu, konteks
peristiwa silam dalam penelitian Edy tersebut tidak ‘berkaitan langsung’ dengan
negara sebagai pelaku kekerasan atau kerusuhan tersebut. Oleh karena itu, perhatian
elit politik yang berkurang dari tahun ke tahun pasca kedua kerusuhan tersebut adalah
hal yang masuk akal.
Berkurangnya perhatian elit politik ‘berkurang’ tidaklah ‘masuk akal’
manakala negara bertanggungjawab langsung terhadap suatu tragedi. Namun
berkurangnya perhatian elit politik itu menjadi ‘masuk akal’ ketika hegemoni politik
dan budaya tengah berlangsung. Pada konteks Indonesia dengan tragedi 1965,
perhatian elit politik ‘berkurang’ disebabkan oleh hegemoni tersebut. Sejauh
penelitian-penelitian yang disebut di atas, belum ada penelitian mengenai bagaimana
suatu tragedi silam diingat oleh pers melalui berita-berita retrospektifnya manakala
negara melangsungkan/tidak melangsungkan hegemoni .
Penelitian-penelitian teks media terkait tragedi silam umumnya -alih-alih
menggunakan pendekatan Teori Kritis- menggunakan pendekatan perspektif negosiasi
(Misztal, 2008), misalnya menggunakan frame-frame yang bertujuan menguatkan
ritual untuk membentuk kembali komunitas, mengakrabkan berita atipikal agar
pembaca lebih mudah memahami, membantu pemulihan, serta menjelaskan peristiwa
atau kondisi kontemporer (Robinson, 2009; Berkowitz dan Raai, 2010; Lorenzo-Dus
& Bryan, 2011; Twomey, 2004).
1.7. Paradigma Penelitian
Paradigma penelitian ini adalah paradigma Teori Kritis. Penelitian ini tidak
menggunakan framing sebagai paradigma penelitian (Entman, 1993) melainkan
framing sebagai program riset (D’Angelo, 2002). Menurut D’Angelo (2002), Entman
5 Memori kolektif dalam jurnalisme retrospektif dipandang sebagai proses negosiasi antara para aktor yang memiliki kepentingan atas memori tersebut. Pandangan tersebut sesuai dengan pendekatan dinamika memori yang dilansir oleh Barbara Misztal (2003). Pendekatan dinamika memori melihat memori kolektif sebagai proses negosiasi yang berlangsung terus menerus sebab aktor-aktor diasumsikan memiliki akses terbatas pada masa lalu dan terbatas pula kuasa aktor untuk menyusun ulang masa lalu berdasarkan kepentingan mereka (Misztal, 2003: 67). Pendekatan dinamika memori yang dijabarkan Misztal (2005) mempertimbangkan bahwa “memori adalah produk kontingen dari aksi aksi-aksi sosial dan politik”.
9
telah melakukan kesalahan berpikir karena ia tidak membedakan “teori” dengan
“paradigma”. Akibatnya, framing seakan dianggap salah satu paradigma penelitian.
Menurut D’Angelo (2002) dengan menggunakan teori dari Thomas Kuhn,
penggunaan paradigma menciptakan sensasi adanya eksklusivitas psikologis yang
memungkinkan para peneliti dapat bersepakat menggunakan definisi, teori, dan
metode tertentu dalam menjalankan suatu penelitian. Oleh karena itu, paparan Entman
(1993) mengenai framing bukanlah framing sebagai paradigma, melainkan teori dan
operasionalisasi konsep framing.
Paradigma itu sendiri merupakan seperangkat keyakinan dasar atau metafisika
yang berhubungan dengan prinsip-prinsip utama dalam memahami natura dunia,
hubungan-hubungan yang mungkin antara dunia dengan individu-individu, atau
dengan kata lain pardigma merupakan kepercayaan (faith) yang tak perlu
dipertanyakan lagi (Guba & Lincoln, 1994: 119). Paradigma dalam penelitian terdiri
dari tiga pertanyaan yang perlu diajukan yaitu pertanyaan ontologis, epistemologis
dan metodologis. Pertanyaan ontologis adalah bentuk dan sifat dasar realitas yang
diteliti; pertanyaan epistemologis adalah sifat hubungan antara peneliti dengan realitas
yang diteliti; sedangkan pertanyaan metodologis adalah bagaimana peneliti dapat
mencari hal yang diyakini yang dapat diketahui tersebut (Guba & Lincoln, ibid.).
Paradigma Teori Kritis adalah salah satu paradigma penelitian yang dijabarkan
oleh Guba & Lincoln (1994) beserta keseluruhan pertanyaan filosofisnya. Menurut
Guba & Lincoln (1994: 110), ontologi paradigma Teori Kritis adalah realisme
historis. Realitas diasumsikan pernah dipahami secara plastis namun seiring dengan
berjalannya waktu, dibentuk oleh faktor-faktor sosial, politik, kultural, ekonomi,
etnik, dan gender lantas terkristalisasi atau terreifikasi menjadi serial struktur yang
saat ini (secara tidak sesuai) dianggap sebagai “real”, apa adanya, dan tak berubah
(Guba & Lincoln, ibid.). Pada aspek epistemologi, paradigma Teori Kritis bersifat
transaksional dan subjektivis. Transaksional berarti terjadi pertukaran nilai antara
peneliti dan pihak yang diteliti (Guba & Lincoln, 2004). Peneliti berupaya memahami
nilai-nilai yang diyakini dan pengalaman pihak yang diteliti dan bahkan menggunakan
nilai-nilai dan pengalaman tersebut untuk mengkritisi ketidakadilan. Subjektivis
berarti interpretasi peneliti atas informasi yang diterimanya dan situasi-situasi yang
diobservasi didasarkan pada subjektivitas peneliti. Implikasi ontologi dan
10
epistemologi paradigma Teori Kritis yang sedemikian rupa itu mengarah pada tidak
tegasnya batasan pandangan periset dengan objek penelitian (Guba & Lincoln, ibid.).
Pada level metodologis, paradigma Teori Kritis bersifat dialogis dan dialektis.
Karena adanya sifat transaksional penelitian yang membutuhkan adanya dialog antara
investigator dengan subjek-subjek penelitian, dialog tersebut harus dialektikal antara
peneliti dan objek penelitian dengan maksud untuk mengubah pengabaian (objek
penelitian) dan kesalahpahaman (peneliti) menjadi sesuatu kesadaran yang
terinformasi (enlightment) bagi kedua belah pihak (Guba & Lincoln, ibid.). Peneliti
tidak mengklaim kebenarannya sendiri dengan ukuran-ukuran yang ketat dan terbatas
melainkan kebenaran tersebut didapat melalui proses dialektif peneliti dengan objek
penelitian.
Pada level aksiologis, melalui penelitian berparadigma Teori Kritis, struktur-
struktur yang tidak berubah tersebut dapat disadari peneliti maupun objek penelitian
sebagai sesuatu yang mungkin dapat diubah dan mengilhami aksi untuk perubahan.
Secara lebih rinci, Guba & Lincoln (1994) memaparkan posisi paradigma Teori Kritis
terhadap isu-isu praktis sebagaimana yang terlihat pada Tabel 1.1.
Tabel 1.1. Posisi Paradigma pada Isu-isu Praktis Terseleksi menurut Guba & Lincoln (1994:112)
No Isu-isu Paradigma Teori Kritis
1 Tujuan Penelitian Kritik & transformasi; restitusi & emansipasi
2 Sifat Dasar Pengetahuan Pendalaman struktural atau historis
3 Akumulasi Pengetahuan Revisionisme historis; generalisasi atas dasar kemiripan
4 Kriteria Kualitas Ditempatkan pada arus sejarah;keacuhan terhadap
dominasi berkurang; merangsang aksi
5 Nilai-nilai Tercakup-formatif
6 Etika Bersifat intrinstik atau dimiliki oleh peneliti sebagai
sikap langsung atas paradigma yang dipilih (tidak
berasal dari eksternal, seperti dari lembaga profesi)
7 Aspirasi “Intelektual transformatif” sebagai advokat dan aktivis
8 Pelatihan Resosialisasi, kuantitatif dan kualitatif, sejarah, nilai-
nilai altruisme dan pemberdayaan
9 Akomodasi Tidak dapat dikombinasikan
10 Hegemoni Mencari rekognisi dan input
11
Posisi epistemologis, ontologis, dan metodologis paradigma Teori Kritis
tersebut diaplikasikan ke dalam penelitian. Pada level epistemologis, aplikasi
paradigma Teori Kritis nampak pada penggunaan teori Shoemaker & Reese (1996)
Senada dengan Croteau, Hoynes & Milan (2011), Curran, Gurevitch, dan Woollacott
(2011) untuk menjelaskan hubungan ideologi, lingkungan media, dan media.
Penggunaan teori-teori tersebut juga didasari oleh ontologi perspektif Kritis yaitu
objek penelitian tidak lepas dari realisme historis yang dialaminya. Pada level
metodologis, Teori Frame yang berperspektif Teori Kritis dari Carragee & Roefs
(2004) digunakan untuk membatasi pengertian “frame” dan “hegemoni”. Metode
analisis framing dari Gamson dan Lasch (1983) serta analisis wacana dari Fulton
(2005) yang mana keduanya berperspektif Teori Kritis digunakan dalam penelitian
ini. Implikasi pada metode adalah didalaminya konteks sosial politik pada masing-
masing edisi pemberitaan Tempo Orde Baru dan Reformasi. Selain itu, pada
pembacaan data, peneliti juga menempatkan diri (etik) pada posisi yang setara dengan
pihak yang diteliti (emik) serta bertujuan untuk membongkar status quo yang terdapat
pada ‘objek penelitian’.
1.8. Kerangka Teori
Penelitian ini berargumen bahwa ideologi merupakan sumber kultural bagi
“media dalam mengingat peristiwa lalu”, atau parafrase teknis ilmiahnya adalah
“framing memori kolektif dalam teks media.” Pada sisi lain, ideologi belum tentu selalu
ajeg. Hegemoni ideologi dari suatu kelompok dapat runtuh manakala kuasa berpindah
tangan. Alhasil, bagaimana media memframing peristiwa masa lalu pada suatu konteks
sosial politik secara asumtif akan berbeda pada konteks sosial politik yang lain.
Misalnya, pada konteks politik yang autoritarian, berita-berita tentang tragedi
masa lalu cenderung didominasi oleh framing yang pro-pemerintah. Hal itu barangkali
disebabkan oleh ideologi media yang memang berpihak pada perspektif pemerintah
(media terhegemoni) sehingga narasumber-narasumber yang dipilih adalah narasumber-
narasumber pro-pemerintah dalam berita-berita retrospektifnya. Sebaliknya, pada
konteks politik jelang maupun telah membebaskan pers, ideologi media bertransformasi
dan hal itu tampak pada ideologi dan framing tragedi masa lalu dalam berita-berita
retrospektifnya.
12
Khususnya untuk konteks Indonesia pada masa Orde Baru yang mana
masyarakat Indonesia dipimpin oleh rezim otoritarian, konten media amat dipengaruhi
oleh ideologi penguasa. Secara konseptual, pengaruh itu berlangsung melalui beberapa
cara. Pertama, adanya tekanan-tekanan dari pemerintah sebagai salah satu sponsor
frame terhadap institusi media melalui interaksi media dan jurnalis dalam proses
jurnalistik. Kedua, adanya pemberian makna atas realitas oleh jurnalis dengan
menggunakan nilai-nilai dan common sense yang beredar di masyarakat. Alhasil, pada
level teks, frame dan ideologi elit mendominasi wacana peristiwa 1965/66 dan PKI.
Pada konteks sosial politik Reformasi yang lebih membebaskan pers, terdapat
dua kemungkinan jurnalis mengkonstruksi memori kolektif 1965 dan PKI. Pertama,
jurnalis dapat mengkonstruksi frame berdasarkan ideologi media bersangkutan,
terutama hal tersebut dapat terlihat melalui prinsip objektivitas dan interaksi media
dengan sponsor-sponsor frame. Bahkan media atas kesadaran ideologinya tersebut
Tempo dapat melakukan perlawanan hegemoni memori elit tertentu dengan
menonjolkan memori kolektif yang pada Orde Baru terpinggirkan. Penelitian ini
berposisi bahwa pada Reformasi Tempo berupaya agar citra-citra yang ia sebarkan
dapat diterima oleh masyarakat sehingga media selalu melakukan intervensi atas
ideologi-ideologi yang tampil. Intervensi media itu sendiri juga merupakan ideologi
(Croteau & Hoynes, 2003.). Kemungkinan kedua adalah, jurnalis menganggap memori
kolektif alternatif tersebut sebagai sebuah devian alih-alih sebagai suatu upaya merevisi
hegemoni memori Orde Baru sehingga memori kolektif alternatif tetap terpinggirkan.
Ideologi atau nilai-nilai dan kuasa-kuasa yang menggerakkan proses
pembentukan teks media juga ditegaskan oleh Shoemaker & Reese (1996). Media,
menurut Shoemaker & Reese (1996:212), berfungsi secara ideologis, artinya media
beroperasi menurut ideologi atau mekanisme simbolik yang berperan menjadi dorongan
kohesif dan pemersatu di masyarakat. Berdasarkan ideologi tersebut, media melakukan
“pendefinisian situasi” dan memberikan label pada kelompok-kelompok maupun
individu-individu yang dianggap devian. Sebagai sebuah nilai, ideologi bekerja pada
suatu konteks masyarakat pada tataran paling abstrak dan hal tersebut digambarkan
oleh Shoemaker & Reese pada lapisan terluar dalam teori faktor-faktor pengaruh
konten media.
Menurut Shoemaker & Reese (Perry, 2002: 104), terdapat lima faktor yang
mempengaruhi konten media: para pekerja media, rutinitas media, organisasi media,
13
individu-individu dan organisasi-organisasi non media serta ideologi (lihat Diagram
1.1). Kategori-kategori tersebut ditata secara hirarkis dan setiap kelompok dipengaruhi
oleh kelompok yang melingkarinya yang mana ideologi terletak pada posisi terluar atau
puncak atau secara teoritis mempengaruhi kategori-kategori lainnya.
Pengaruh umum pada lapis pertama terdekat dengan konten berita berasal dari
karakteristik, sikap dan pengalaman-pengalaman individu-individu pekerja berita yang
menurut Shoemaker & Reese merupakan faktor pengaruh tidak langsung terhadap
konten berita (Perry, ibid.). Dalam model Shoemaker & Reese tersebut, rutinitas, cara-
cara mapan pekerja media dalam melaksanakan tugas-tugasnya, mempengaruhi berita
dalam cara mendefinisikan apa yang disebut dengan berita, nilai-nilai berita, dan peran-
peran individual para pekerja media (Perry, 2002: 104).
Diagram 1.1. Model hirarkis faktor-faktor berpengaruh atas konten media
Level organisasional menghambat pekerja dan rutinitas media melalui wewenang yang
dimiliki oleh pemilih media untuk membangun, misalnya, kebijakan redaksional (Perry,
ibid.). Tekanan-tekanan ekstra-media mempengaruhi konten media ketika pemerintah
mengatur kerja-kerja media atau kelompok-kelompok kepentingan melancarkan
tekanan (Perry, ibid.). Terakhir, ideologi mempengaruhi konten berita yang bisa
diamati dengan misalnya media meletakkan sebagian kelompok di luar arus utama dan
kelompok tersebut menerima liputan yang kurang menyenangkan (Perry, 2002:105).
Ideologi yang dominan di masyarakat juga tercermin pada struktur-struktur
kepemilikan, yang kemudian hal itu mempengaruhi konten (Perry, ibid.).
14
Pemikiran Shoemaker & Reese (1996), bahwa faktor-faktor ekstramedial
berpengaruh pada pembentukan teks tersebut, selaras dengan pemikiran bahwa teks
dapat dicermati melalui berbagai sudut pandang, yaitu teks sebagai refleksi produser,
teks sebagai refleksi preferensi audiens, teks sebagai refleksi masyarakat secara umum,
dan teks sebagai pengaruh terhadap audiens, maupun teks sebagai teks yang swa-
tertutup (self-enclosed text) (Croteau, Hoynes & Milan, 2011: 188-189). Bertolak dari
pemikiran Croteau, Hoynes & Milan (2011) tersebut, lokus penelitian ini terletak pada
level teks sebagai refleksi masyarakat secara umum. Sebagai refleksi masyarakat
secara umum, konten teks mencerminkan norma-norma, nilai-nilai, dan kepentingan
masyarakat secara umum. Karena teks dilihat sebagai representasi ideologi masyarakat
secara umum, penelitian teks perlu bergerak ke arah melampaui teks itu sendiri.
Dengan kata lain, untuk mencermati adanya hubungan teks dengan ideologi
masyarakat, pengamatan terhadap proses pembentukan teks perlu dilakukan.
Senada dengan Croteau, Hoynes & Milan (2011), Curran, Gurevitch, dan
Woollacott (2011) menyatakan konten media merupakan hasil dari hubungan simbiosis
organisasi media dengan lingkungannya. Menurut Curran, Gurevitch, & Woollacott
(2011:15) sebagian studi pada institusi media memiliki fokus pada ekstra-
organisasional yaitu memeriksa hubungan media dengan struktur-struktur dan
kepentingan-kepentingan di lingkungan mereka. Pengamatan anteseden teks tersebut
menurut Curran, Gurevitch, & Woollacott (ibid.) terutama difokuskan pada bagaimana
media memilih dan memanfaatkan ‘bahan-bahan mentah’ untuk konten media. Dalam
pandangan Marxis, institusi media secara relatif sekaligus marginal merupakan institusi
yang otonom. Media dianggap terkunci dalam struktur kuasa dan karenanya beroperasi
selaras dengan institusi-institusi dominan di masyarakat. Media mereproduksi
pandangan-pandangan dominan sebagai sesuatu yang sentral dan ‘alamiah’ (Curran,
Gurevitch, Woollacott (2011: 16). Oleh karena itu, bagaimana media memilih dan
memanfaatkan ‘bahan-bahan mentah’ untuk konten media tersebut berlangsung dalam
struktur kuasa.
Konsekuensi dari adanya proses anteseden teks sebagai refleksi ideologi
masyarakat itu adalah penelitian konten teks media alih-alih hanya terpaku pada
konstruksi frame secara tekstual, melainkan hingga pada level rutinitas institusi media,
yaitu terutama pada aspek bagaimana profesional media berinteraksi dengan sumber-
sumber eksternal (Shoemaker & Reese, 1996: 122) dalam mendapatkan ‘bahan-bahan
15
mentah’ untuk konten media. Titik interaksi profesional jurnalis dengan sumber-sumber
media merupakan titik krusial dalam mencermati sejauh mana pihak-pihak dominan di
luar organisasi media dapat mempengaruhi media. (Pihak-pihak di luar organisasi
media selanjutnya dipertukarkan dengan istilah ‘sponsor frame’). Penggambaran model
berpikir Shoemaker & Reese (1996) mengenai relasi teks, konteks media, dan sosial
politik dalam diagram linear adalah sebagai berikut:
Diagram 1.2. Relasi Teks, Konteks Organisasi Media, & Sosial Politik
III: Konteks Sosial Politik
Memori, Ideologi
Hegemonik
II: Konteks Organisasi Media:
Interaksi organisasi media-narasumber, Prinsip-
prinsip jurnalistik, judgment-judgment, memori dan
pandangan jurnalis
I: Teks Retrospektif
Frame dan ideologi media
atas PKI dan peristiwa
1965
Oleh karena itu, secara khusus perlu ditegaskan bahwa fokus penelitian ini
adalah konstruksi frame dan ideologi media pada teks retrospektif peristiwa 1965/66
dan PKI yang mana frame dan ideologi tersebut diselidiki melalui analisis teks dan
wawancara terhadap para jurnalis terutama pada aspek prinsip objekivitas dan interaksi
para jurnalis Tempo dengan sponsor-sponsor frame. Pendetailan hubungan memori
kolektif, frame, dan hegemoni terkait teks retrospektif dibahas secara lebih rinci pada
Bab II. Pada Bab ini, penulis memaparkan relasi tiga elemen yang membangun gagasan
penelitian ini yaitu frame media dan hegemoni terutama dalam kaitannya dengan
konteks organisasi media dan sosial politik.
1.8.1. Relasi Media, Ideologi, dan (Counter) Hegemoni
Istilah ideologi seringkali digunakan namun konsep itu paling kontroversial dan
jarang mendapatkan titik sepakat dalam ilmu sosial-humaniora (Gerring, 1997). Orang
kerap menghubungkan ideologi dengan –isme-isme seperti rasisme, anti-rasisme,
komunis, anti-komunis, ‘kesadaran palsu’, dominasi kelas dominan, dan seterusnya
(Van Dijk, 1998; Altheide, 1984). Purvis & Hunt (1993) mengakui pendapat Jorge
Larrain bahwa ideologi kerap diterjemahkan dalam konsepsi ‘negatif’ yaitu suatu
bentuk kesadaran yang memberikan suatu penggambaran yang tidak cukup, atau
terdistorsi, baik karena mengabaikan atau merepresentasikan dengan tidak tepat sesuatu
hal (Purvis & Hunt, 1993: 477).
16
Secara mendasar, ideologi merupakan sistem makna yang membantu
mendefinisikan dan menjelaskan dunia dan membuat penilaian-penilaian bobot tentang
dunia, serta terkait dengan konsep seperti pandangan dunia, sistem keyakinan, dan
nilai-nilai namun lebih luas daripada itu (Croteau, Hoynes, & Milan, 2011: 153).
Ideologi tidak semata-mata mengenai politik, melainkan keyakinan-keyakinan
mengenai cara-cara mendasar bagaimana dunia dipahami (Croteau, Hoynes & Milan,
ibid.). Para pemikir Marxis terutama mendefinisikn ideologi sebagai sistem-sistem
keyakinan yang membantu membenarkan aksi-aksi mereka yang berada di kekuasaaan
untuk melakukan misrepresentasi atas realitas (Croteau, Hoynes & Milan, ibid.). Oleh
karena itu, ideologi sangat mungkin menyajikan realitas yang terdistorsi dan
menguntungkan kelompok tertentu.
Dalam kecenderungan Marxis ortodoks, “ideologi” secara tipikal terkait dengan
bentuk-bentuk kesadaran yang mengarahkan orang untuk berjuang untuk membela
kepentingan-kepentingannya (Purvis & Hunt, 1993: 476). Ideologi diciptakan oleh
mereka yang berada di puncak masyarakat dan didistribusikan ke seluruh masyarakat
yang dicekoki dengan gambaran palsu tentang dunia dan media menjadi kendaraan bagi
reproduksi ideologi dominan (Williams, 2003: 147). Ideologi seakan tidak semata-mata
terkonstruksi secara sosial, melainkan mengandung aspek direksionalitas, yaitu
menguntungkan suatu pihak dan merugikan pihak lain (Purvis & Hunt, 1993: 478).6
Ideologi dalam konsepsi ini seakan-akan sudah hampir pasti dimiliki oleh sebagian
kelompok untuk mendominasi kelompok lain.
Pada kajian media, ketertarikan para sarjana terhadap isu ideologi terletak pada
upaya untuk membandingkan konten media dengan dunia “real”, yaitu “realitas” siapa
dan bagaimanakah “realitas” itu didefinisikan oleh media, dan menanyakan apa yang
disampaikan pesan-pesan media tentang diri kita dan masyarakat kita (Croteau,
Hoynes, Milan, 2011: 154). Croteau & Hoynes (2003) memaparkan setidaknya terdapat
dua kecenderungan pendapat mengenai media dan ideologi. Pertama, media
mengistimewakan seperangkat ide sementara mengabaikan yang lainnya, serta menjadi
pembawa pesan ideologis dari faksi dominan yaitu elit ekonomi dan politik ke
6 Oleh karena itu, Purvis & Hunt (1993, ibid.,) menambahkan, dalam proyek kritis teori ideologi lebih tertarik untuk menjelaskan bagaimana bentuk-bentuk kesadaran yang dihasilkan oleh pengalaman hidup kelas-kelas maupun kelompok sosial subordinat memfasilitasi reproduksi relasi-relasi sosial yang telah ada yang akhirnya tanpa disadari justru semakin mengaburkan subordinasi yang mereka alami. Kepentingan-kepentingan kelompok tertentu dapat terdisasosiasi dari lokasi spesifik mereka dan tampil menjadi sesuatu yang universal, natural, yang memelihara relasi-relasi sosial yang sudah ada (Purvis & Hunt, 1993 478.).
17
masyarakat7; dan kedua, media menjadi ruang bertarung ideologi atau -menggunakan
istilah Croteau & Hoynes- perang atau kontradiksi budaya (cultural warfare/
contradictions) berlangsung (Croteau & Hoynes, 2003: 161).
Bentuk pertama hubungan media dan ideologi yang disebut Croteau & Hoynes
(2003) tersebut bertolak dari tradisi kritis Althusserian yang mengasumsikan media
mereproduksi ideologi dominan (Williams, 2003: 150). Dalam pengertian Althusserian,
ideologi merupakan representasi hubungan imajiner antara individu-individu dengan
kondisi real atas eksistensi mereka dan media memproduksi gambaran imajiner atas
kondisi-kondisi real kapitalisme ke audiens dengan maksud untuk menutupi eksploitasi
nyata kapitalis (Williams, 2003: 148). Sayangnya, tradisi Althusserian tidak dengan
tegas menjelaskan hubungan antara ideologi dominan dan wacana (Hall, 2005: 74).
Selain itu, pembacaan Althusser yang anti-humanis atas Marx memarjinalkan
kemungkinan-kemungkinan agensi manusia (human agency) (karena subjek-subjek
semata-mata terreproduksi melalui berfungsinya aparat ideologis negara (ideological
state apparatuses)), dan mencipttakan bifurkasi antara ilmu (marxisme) dan ideologi
(humanisme) (Mumby, 1997: 365). Media, dalam logika Althusserian, merupakan salah
satu aparat ideologis negara yang semata-mata mereproduksi relasi kapitalis, pasif, dan
tidak mempertanyakan ideologi dominan (Mumby, 1997: 352).
Bentuk yang kedua dari paparan Croteau & Hoynes (2003) tersebut bertolak
dari tradisi kritis Gramscian yang masih melihat media memiliki peran dinamis dalam
memelihara hegemoni ataupun justru mendorong transformasi sosial (Williams, 2003.).
Pandangan Gramscian menolak ideologi borjuis menjadi dominan dengan kesediaan
(consent) dari pihak subordinat begitu saja, melainkan melalui hegemoni ideologi yaitu
kemampuan kelas pemimpin untuk mendapatkan kesediaan dari kelas subordinat
melalui proses negosiasi pandangan dan kepentingan maupun paksaan pada momen-
momen krisis agar keinginan kelas dominan tetap stabil tercapai (Williams, 2003: 150).
Pada pandangan Gramscian tersebut, media menjadi alat hegemoni elit atas kelompok
subordinat yang terus dipelihara dan diamankan meski juga terus dilawan oleh
hegemoni tandingan (counter-hegemony) (Williams, 2003: 150).
Sebelum beranjak lebih jauh mendiskusikan mengenai hegemoni dan resistensi
ideologi, apakah pengertian “hegemoni”? Pembahasan mengenai hegemoni (dan juga
7 Faksi dominan di masyarakat adalah kelompok-kelompok di masyarakat yang secara struktural memiliki akses lebih atas sumber-sumber daya politik dan ekonomi.
18
resistesi) mengikuti skema dari Leslie T. Good bahwa terdapat dua penggunaan istilah
hegemoni oleh para teoris sosial, yaitu (1) hegemoni sebagai teori kepatuhan (consent),
yang terfokus pada proses; dan (2) sebagai strategi politik, atau cara untuk mengakses
titik-titik perjuangan (1997: 517). Dalam penelitian ini, hegemoni dipahami sebagai
teori kepatuhan (consent).
Istilah hegemoni melampaui pemikiran kaum pluralis atas ide bahwa integrasi
sosial didapat melalui konsensus. Dalam perspektif hegemoni, bagaimana konsensus
diproduksi, siapa yang memproduksi, dan bagaimana kelompok-kelompok yang
dikuasai memberikan kepatuhan dengan sukarela kepada aturan pihak yang lebih kuat
(Good, 1997: 517). Konsep hegemoni memperbarui gagasan “dominasi” yang tak lagi
sebatas dalam bentuk koersi melainkan melalui proses yang lebih kompleks, subtil, dan
dinamis. Dalam pandangan Gramsci, hegemoni tidaklah pernah terbentuk sekali dan
selamanya melainkan selalu dalam proses negosiasi dan kontestasi di mana kelompok
penguasa selalu melunakkan kontradiksi-kontradiksi kelas dan menginkorporasi
tekanan-tekanan dan kelompok-kelompok yang secara potensi oposisional (Golding &
Murdock, 1997:526).
Menurut Gramsci, kelompok penguasa (ruling groups) dapat memelihara kuasa
mereka melalui paksaan seperti melalui militer dan kepolisian yang dapat melakukan
upaya kekerasan fisik atau ancaman kekerasan agar masyarakat tetap patuh; dan adanya
kepatuhan ideologi, atau kombinasi keduanya (Croteau, Hoynes, & Milan, 2011, Louw,
2001). Kepatuhan (consent) merupakan kata kunci konsep hegemoni Gramscian.
Menurut Gramsci, kuasa dapat diupayakan pada level budaya atau ideologi sebab pada
level budaya atau ideologi tersebut, kelompok penguasa secara aktif berupaya
pandangan dunia mereka diterima oleh masyarakat secara sukarela sebagai cara
berpikir universal yaitu melalui institusi-institusi seperti sekolah, agama, dan media
(Croteau, Hoynes, Milan, 2011: 159-160).
Hegemoni beroperasi pada common sense dalam asumsi-asumsi yang disusun
masyarakat tentang kehidupan sosial dan lansekap hal-hal yang dianggap sebagai
sesuatu yang “alamiah” dan “memang seperti itu sejak semula.” Masyarakat tidak
mengkritisi dan mengavaluasi common sense dan “semua orang sudah tahu”, atau
setidaknya semestinya tahu, sebab common sense tersebut berakar dalam pada
keyakinan-keyakinan kultural. Seringkali masyarakat menggunakan retorika common
sense untuk menghindari pendekatan-pendekatan alternatif yang melawan asumsi-
19
asumsi dasar tentang bagaimana sesuatu itu bekerja. Gramsci mengingatkan bahwa
cara-cara efektif untuk menguasai adalah melalui pembentukan asumsi-asumsi common
sense (Croteau, Hoynes, Milan, ibid.). Jadi, ketika seseorang menerima suatu common
sense, artinya ia juga menerima seperangkat keyakinan, ideologi mengenai relasi-relasi
sosial yang ada di masyarakat bersangkutan sebagai sesuatu yang natural. Natural atau
alamiah berasal dari kata “nature” atau “alam” yang dianggap sebagai sesuatu di luar
kontrol manusia, lebih awet dan stabil, bukanlah berdasarkan konstruksi sosial apalagi
dikreasi oleh masyarakat (Croteau, Hoynes & Milan, ibid.). Apabila struktur-struktur
sosial dan relasi-relasi sosial dianggap natural, struktur dan relasi tersebut telah
dianggap sebagai sesuatu yang permanen dan absah sehingga tidak lagi terkontestasi
(uncontested) (Croteau, Hoynes, & Milan, ibid.).
Pada pengertian hegemoni sebagai sebuah proses negosiasi kepatuhan,
perspektif Gramscian memandang media berperan sebagai produser, pemelihara,
sekaligus pelawan hegemoni. Media sebagai pelawan hegemoni bersifat kasuistik.
Secara umum, media mengadopsi asumsi-asumsi berdasar pada pandangan-pandangan
common sense yang diketahui banyak orang sehingga representasi media -meski tak
sepenuhnya tertutup dari perlawanan, cenderung mereproduksi nilai-nilai yang
memelihara hegemoni (Croteau, Hoynes, & Milan, ibid.).
Terinspirasi oleh Gramsci, Stuart Hall menegaskan bahwa media massa
merupakan salah satu situs prinsipal untuk kepemimpinan budaya, kerja hegemoni,
dipraktekkan. Hall menolak gagasan Althusserian yang menempatkan media sebagai
corong kelas dominan semata, dan juga menolak sebagian gagasan Gramscian yaitu
pada aspek media sebagai ruang kontestasi belaka (Williams, 2003.). Menurut Hall,
media membingkai realitas dalam cara yang melayani kepentingan-kepentingan kelas
dominan atau disebut Hall sebagai efek hegemonik media (Williams, ibid.). Media
terlibat dalam politik sigfnifikasi yaitu media memproduksi citra-citra dunia yang
memberikan suatu peristiwa makna-makna tertentu (Croteau, Hoynes & Milan, 2011.).
Media tidak semata-mata merefleksikan dunia, melainkan merepresentasikan dunia;
tidak sekadar mereproduksi “relitas dunia di luar sana”, melainkan media terlibat dalam
praktek-praktek yang medefinisikan dunia. Stuart Hall menegaskan representasi
mengindikasikan adanya kerja aktif memilih dan menyajikan, menyusun struktur dan
membentuk realitas, tidak semata-mata mentransmisikan makna yang kadung eksisting,
20
melainkan menjadi buruh aktif yang membuat sesuatu menjadi bermakna (Croteau,
Hoynes, & Milan, ibid.).
Menurut Stuart Hall, konsep hegemoni menjadi penting dalam studi-studi
komunikasi karena media bukanlah aktor sosial yang otonom atau bersifat reflektif atas
dominasi ideologi maupun konsensus, melainkan media menjadi aktor pemain dalam
produksi kepatuhan –sesekali bebas dari kontrol langsung kelompok-kelompok sosial
berkuasa sementara media juga terpasung untuk bekerja pada keterbatasan-keterbatasan
dan kondisi-kondisi yang tidak mereka pilih dan kontrol sendiri (Good, 518). Media
cenderung memberikan dukungan pada opini yang sudah terbangun dengan mapan
(yang mana mereka bantu pula untuk mapan) namun tidak karena paksaan dan
sebaliknya, tidak pula tidak problematis (Good, ibid.). Kecenderungan media
mereproduksi kemapanan dibuktikan oleh Todd Gitlin yang menunjukkan bahwa media
menggunakan perangkat framing konvensional untuk memarginalkan gerakan politik,
konflik sosial direproduksi dalam definisi realitas yang “common sense” (Good, ibid.).
Asumsi dasar hegemoni adalah hegemoni bukanlah keadaan yang statis dan
final. Gramsci menunjukkan bahwa selalu ada pihak-pihak di masyarakat yang
mungkin akan melawan ideologi hegemonis, berupaya mengubah sejarah, dan
mempertanyakan konsepsi-konsepsi dunia yang beredar di masyarakat. Penguasa yang
berupaya mempertahankan kuasa berupaya membawa stabilitas dan legitimasi untuk
menginkorporasi tekanan-tekanan oposisi ke dalam kerangka ideologi dasar (Croteau,
Hoynes, & Milan, 2011: 162). Menurut Gramsci, kerja ideologis melalui
kepemimpinan kultural (cultural leadership) adalah keharusan yang selalu berlanjut
terus menerus sebab kesediaan menerima common sense dan relasi sosial dan struktur
sosial yang dianggap natural harus dipelihara (Croteau, Hoynes, Milan, 2011: 161).
Pengalaman aktual masyarakat akan mengarahkan mereka untuk mempertanyakan
asumsi-asumsi ideologi dominan sebab masyarakat adalah agen-agen aktif dan penuh
kontradiksi sehingga hegemoni tidak akan pernah utuh atau menjadi final (Croteau,
Hoynes, Milan, ibid.). Karena pengalaman aktual masyarakat bisa jadi bersifat
kontradiktif dengan hegemoni, dominasi selalu menjadi sasaran untuk ditentang dan
dilawan. Ketika suatu ideologi kuat menghegemoni masyarakat, hadirnya wacana-
wacana dan praktek-praktek alternatif yang hidup pada wilayah-wilayah marginal
sudah cukup bagus (Louw, 2001:122).
21
Laiknya kehidupan, hegemoni memang memiliki daur hidup: ia tumbuh, menua,
dan melemah, dan pada saat-saat lemah itu suara-suara alternatif memiliki kesempatan
untuk hadir menyisipkan ideologinya. Menurut Louw (2001), hegemoni-hegemoni
berada pada saat terlemah justru ketika mereka setelah dilahirkan yaitu ketika mereka
telah menaturalisasikan wacana-wacana dan praktek-praktek, dan sebelum mereka
konsolidasikan cengkeraman mereka pada mekanisme-mekanisme kontrol di
masyarakat, juga saat ketika mereka menua dan lemah. Saat-saat lemah itu dapat dibaca
kelompok-kelompok oposisi ketika kelompok-kelomok dominan ‘mengkomunikasikan’
kelemahan itu, yaitu saat-saat di mana kelompok dominan kehilangan kapasitas untuk
membentuk agenda intelektual, menegosiasikan kesepakatan-kesepakatan maupun
aliansi-aliansi baru, mengawasi aneka ‘ranah’ di masyarakat (Louw, ibid.).
Kehadiran dan tumbuhnya celah-celah komunikatif di mana dominasi terpeleset
memberi daya pada pandangan-pandangan alternatif untuk mengkoloni ruang-ruang
komunikatif. Perlawanan (dan wacana-wacana dan praktek-praktek alternatif) baru
menjadi masalah atau menjadi dengan serius menantang kelompok hegemonik— hanya
pada momen-momen genting dan rawan (Louw, 2001:123). Atau, menurut Louw
(ibid.), hegemoni-hegemoni terlempar ketika terdapat kelompok-kelompok eksternal
yang lebih kuat yang memilih untuk mengintervensi atau menyingkirkan hegemoni
melalui perang atau sangsi-sangsi ekonomi. Menggunakan kelompok kuat eksternal
untuk bertindak atas nama kelompok resisten dapat mungkin terrealisasi ketika
kelompok resisten terlalu lemah untuk secara serius menentang kuasa kelompok
dominan (Louw, ibid.).
Meski media bukan aktor sosial yang otonom dari dominasi ideologi maupun
konsensus, media dapat berrelasi dengan aktor sosial yang lain dalam bentuk media
digunakan oleh pihak penguasa untuk memelihara hegemoni, atau sekaligus digunakan
oleh kelompok resisten untuk melakukan counter-hegemony. Terkait dengan upaya-
upaya perlawanan dalam proses memelihara hegemoni ideologi, terdapat beberapa
bentuk hubungan media dengan hegemoni sebagai strategi politik. Pertama, penguasa
mempertahankan kuasa atas media pada krisis hegemoni. Hall meyakini bahwa pada
saat terjadi ‘krisis hegemoni’, kelas penguasa menggunakan media untuk
memenangkan kerelaan populer demi menguatkan kontrol atas negara dan legislasi
(Williams, 2003: 151). Hal itu dapat dilakukan karena menurut Hall, akses dan
preferensi media pada situasi krisis hegemoni tersebut adalah penguasa yang menjadi
22
pemakna utama atas realitas bukan media (karena media memegang peran kedua)
(Williams, ibid.). Kedua, gerakan counter-hegemony berupaya melawan secara
fundamental pengeloaan institusional kuasa dan dominasi yang eksisting untuk secara
radikal mengubah masyarakat. Karena itu, proyek konter-hegemoni apa pun bentuknya
harus membangun politik media (Golding & Murdock, 1997: 526). “Teori artikulasi”
Hall mengingatkan bahwa melalui media, transformasi kultural dan adanya tawanan-
tawanan politik baru dapat muncul.
Secara umum, media menampilkan makna atas konten dalam cara yang
dianggap media disukai massa dominan meski begitu makna tersebut tidak selalu
tampil sendiri tanpa adanya alter. Media memproduksi ‘cara membaca yang disukai’
(preferred reading) mengenai apa yang sedang terjadi, bersama dengan makna-makna
yang lain sehingga ada kemungkinan kontrol hegemoni dapat terlepas dan kelas
penguasa harus bertarung untuk memastikan ‘preferred meaning’ atas peristiwa terus
diproduksi dan dipelihara (Williams, 2003.). Pada titik bahwa terjadi perebutan makna,
media merupakan bagian dari strategi politik kelompok-kelompok yang bertarung yaitu
digunakan oleh kelompok dominan dan subordinat untuk memelihara hegemoni dan
melakukan konter-hegemoni.
1.8.2. Frame & Hegemoni: Dua Tesis Saling Melengkapi
Carragee & Roefs (2004) membedakan pengertian frame dan framing. Dalam
tradisi kritis, frame dapat didefinisikan sebagai “hasil dari kerja-kerja jurnalistik untuk
melaporkan peristiwa-peristiwa berdasarkan nilai-nilai yang dianut oleh elit-elit
ekonomi dan politik” (D’Angelo, 2002: 876). Menurut Carragee & Roefs (2004: 215-
216), frame adalah pola pengorganisasian kisah-kisah berita dan wacana-wacana lain
melalui proses seleksi, penjabaran, interpretasi, dan eksklusi yang mana proses
ideologis-struktural tersebut melibatkan jurnalis, organisasi media, dan sumber-sumber
berita.
Bagi Carragee & Roefs (2004), adalah mustahil frame terlepas dari framing.
Framing melibatkan pemilihan beberapa aspek dari realitas dan mengubungkan realitas
tersebut menjadi suatu naratif yang mempromosikan interpretasi tertentu. Menurut
Entman (1993: 51), framing adalah: ....essentially involves selection and salience. To frame is to select some aspects of aperceived reality and make them more salient in a communicating text, in such a
23
way as to promote a particular problem definition, causal interpretation, moral evaluation, and/or treatment recommendation for the item described.
Oleh karena framing merupakan apa yang dikatakan dan bagaimana menyampaikan
informasi menjadi sesutu yang koheren pada teks berita tertentu, frame bisa menjadi
petunjuk atas jejak-jejak (imprints) dari kuasa dominan pada suatu wacana (Carragee &
Roefs, 2004: 222).
Penekanan lain yang dilakukan oleh Carragee & Roefs (2004) adalah framing
itu sendiri justru tidak memberi keistimewaan pada jurnalis untuk melakukan proses itu
sendirian dan vakum secara politis dari dunia sekitar. Frame media terbentuk melalui
pertarungan frame-frame para sponsor atau aktor-aktor sosial lain seperti para politisi,
organisasi-organisasi, dan gerakan sosial (Carragee & Roefs, 2004: 216). Konsekuensi
hal itu adalah frame menurut Carragee & Roefs (ibid.) bersifat ajeg sekaligus dinamis.
Suatu frame dapat berangsur hilang terselip pada perubahan sosial dan politik. Jurnalis
terus menerus mendefinisikan isu dari waktu ke waktu dan para sponsor frame dapat
merestrukturisasi isu frame tergantung pada kondisi-kondisi sosial politik, frame
berkembang: suatu frame bisa menjadi sorotan, frame lain dapat tenggelam.
Carragee & Roefs (2004: 216-217) menulis bahwa distribusi kuasa ekonomi,
sosial, dan politik mempengaruhi dukungan frame (frame sponsorships) dan kontes
frame. Oleh karena itu, --mengikuti asumsi paradigma Teori Kritis bahwa distribusi
kuasa di masyarakat bersifat asimetris meski tak selalu pada pihak yang sama,
sangatlah mungkin bahwa frame media merupakan frame dari sponsor yang paling dan
sedang berkuasa. Dengan kata lain, hubungan hegemoni dengan framing amatlah dekat,
yang sayangnya hal itu jarang menarik minat peneliti (Carragee & Roefs).
Menurut Carragee & Roefs (2004:222), tesis hegemoni dan tesis framing saling
melengkapi melalui dua aspek. Pertama, tesis hegemoni media secara langsung
menghubungkan proses framing dengan adanya unsur-unsur kuasa serta memeriksa
hubungan-hubungan antara media berita serta perubahan sosial. Mempelajari proses
framing dalam konteks produksi, distribusi, dan interpretasi makna-makna hegemonik
memungkinkan peneliti untuk menemukan hubungan media berita dengan relasi kuasa
pada suatu masyarakat (Carragee & Roefs, ibid.). Pada proses framing tersebut,
kontestasi ideologi tengah berlangsung atau hegemoni ideologi mengambil posisi yang
strategis dalam mensignifikasi peristiwa. Hubungan tesis hegemoni dan framing
tersebut secara generik dapat dicontohkan melalui tuturan Croteau, Hoynes, & Milan
24
(2011:106-107) bahwa ketergantungan reporter penambat (embedded reporters) pada
sumber-sumber militer Amerika Serikat selama di medan perang mengakibatkan
reporter mengidentifikasi masalah dan melakukan framing berita dari perspektif tentara
AS daripada pengamat yang tak berkepentingan. Dengan kata lain, proses dalam
jurnalisme menambat (embedded journalism) tersebut telah mengarahkan jurnalis untuk
memframing peristiwa berdasarkan frame militer AS.
Gagasan adanya faktor kuasa dalam pembentukan frame (Carragee & Roefs,
2004) itu serupa dengan tesis hegemoni mengenai pemaknaan. Hall (2005:73)
menyatakan bahwa peristiwa yang sama dapat dimaknai (signified) dalam beragam
cara. Pemaknaan atau signifikasi tersebut melibatkan bentuk-bentuk kerja (form of
labour), upaya-upaya spesifik, yaitu kerja dan upaya dalam memproduksi makna.
Pemaknaan, karenanya, tidak ditentukan oleh struktur realitas itu sendiri, melainkan
kondisional tergantung pada signifikasi yang berhasil dilakukan dalam praktek sosial.
Dengan kata lain, makna yang disematkan pada peristiwa bersifat kontingen,
bergantung pada relasi kuasa antara media dengan institusi-institusi sosial, politik, dan
ekonomi eksternal, yang mana dalam logika kritis Gramscian terdapat asimetri kuasa
pada pendukungan frame (frame sponsorship) dan kontestasi frame. Sebagaimana yang
dipaparkan oleh Shoemaker & Reese (1996:228), kontingensi frame dan makna
tersebut diakibatkan oleh bentuk interaksi media dengan institusi sosial politik lainnya.
Kedua, tesis framing menyediakan alat bagi tesis hegemoni untuk membuktikan
adanya konstruksi media berita secara umum sejalan sebangun dengan kepentingan
kelompok dominan (Carragee & Roefs, 2004: 222). Carragee & Roefs (ibid.) melihat
bahwa selama ini penelitian mengenai hegemoni media kesulitan dalam mengeksplorasi
jejak-jejak hegemoni pada teks dan audiens. Teori framing bermanfaat untuk tesis
hegemoni karena jejak-jejak kuasa itu dalam tesis framing nampak tidak hanya pada
“apa yang dikatakan” melainkan “bagaimana mengatakan hal tersebut”, hal yang tidak
banyak didiskusikan dalam tesis hegemoni (Carragee & Roefs, ibid.). Ideologi
hegemonik dapat terartikulasi melalui framing (Gamson & Lasch, 1983).
Di luar dua hal tersebut, menghubungkan tesis hegemoni dan framing juga
menarik perhatian pada wilayah yang selama ini tidak diperdebatkan (uncontested
realms) dalam wacana media yaitu frame-frame yang begitu dominan sehingga telah
dianggap laiknya sebagai sebuah “realitas telanjang”, “common sense” (Carragee &
Roefs, 2004:223). Menurut Shoemaker & Reese (1996: 228), nilai-nilai hegemoni
25
dalam berita nampak melalui ungkapan common sense, sebab common sense dibuat
seolah nampak natural dan ditempatkan tidak berdasarkan paksaan melainkan melalui
kerja-kerja normal rutinitas media dan interkoneksi media dengan pusat-pusat
kekuasaan yang lain (Shoemaker & Reese, 1996:228). Dominasi frame pada media
berita tersebut tentu saja merupakan hasil kerja ideologis. Namun dominasi frame
tersebut tidak berarti ajeg. Adakalanya petarung-petarung berhasil menyisipkan frame
dan konsensus elit mulai meluntur sehingga timbullah inkonsistensi dan kontradiksi
frame pada wacana media (Carragee & Roefs, ibid.).
Hubungan tesis hegemoni dan framing menurut Carragee & Roefs (2004)
tersebut turut menegaskan bahwa ideologi dan frame merupakan dua entitas yang
berbeda. Snow & Benford (2000: 9) menjabarkan beberapa hubungan ideologi dan
framing. Pertama, ideologi merupakan sumber kultural bagi aktivitas framing. Dalam
konteks gerakan sosial, ideologi menjadi sumber kultural yang dapat dieksploitasi
untuk mengkonstruksi frame-frame aksi kolektif, dan karenanya berfungsi secara
simultan untuk memfasilitasi atau menghambat proses framing (Snow & Benford,
ibid.). Framing bisa mencakup lebih dari satu ideologi. Framing juga menjadi
penghubung atas inkonsistensi, kontradiksi atau disjungsi antara keyakinan-keyakinan
dan pengalaman-pengalaman di dunia pada suatu kelompok (Snow & Benford, 2000:
10). Aspek lainnya yang tidak kalah penting adalah framing membungkam
kemungkinan adanya reifikasi ideologi sebab framing memicu sinyal-sinyal peringatan
tentang prospek reifikasi ideologi atau frame master yang eksisting (Snow & Benford,
ibid). Terakhir, framing, berbeda dari ideologi, merupakan aktivitas empiris yang dapat
diobservasi, tidak semata-mata aktivitas mental atau kognitif, sehingga bisa dicermati
dan dianalisis (Snow & Benford, 2000: 11).
.
1.8.3. Teori Framing Kritis
Paradigma merupakan rasionalitas yang mendasari penemuan ilmiah dan
membantu sebuah disiplin untuk mendiferensiasi schools of thought (D’Angelo, 2002).
D’Angelo (2002) menggunakan pembedaan tiga paradigma Benigner dan melakukan
pengkajian metatori atas teori-teori framing. Lantas, D’Angelo (2002) menyusun
perbedaan interaksi-interaksi antara frame-frame tekstual dan efek-efek framing ke
dalam tiga paradigma yaitu kognitivis, konstruksionis, dan kritis. Penelitian ini
cenderung menggunakan asumsi-asumsi kritis dalam memanfaatkan teori framing.
26
Robert Entman selain dikenal sebagai sarjana komunikasi yang mengadopsi teori
framing dalam kancah media dan komunikasi, juga penganut mazhab kritis dalam
formulasi teori framing-nya. Menurut Entman (1993:56), teori framing bermanfaat
untuk mengarahkan perhatian para sarjana mengenai bagaimana suatu teks
mengandung kuasa.
Senada dengan Entman (1993), Carragee dan Roefs (2004: 214-228) mengkritik
penelitian-penelitian framing selama ini telah mengabaikan hubungan antara framing
dengan isu-isu yang lebih luas yang telah mengabaikan hubungan antara framing media
dengan isu-isu yang lebih luas yang melibatkan kuasa sosial dan politik. Hal itu
disebabkan oleh permasalahan pada definisi dari frame, tak ada perhatian pada sponsor
frame (frame sponsorships), kegagalan untuk melihat kontestasi framing dalam konteks
sosial dan politik yang lebih besar, serta reduksi framing ke dalam bentuk studi efek
media. Kelompok-kelompok dominan memelihara hegemoninya, mencegah resistensi
dengan memproduksi makna-makna dan nilai-nilai melalui institusi-institusi kultural
termasuk media (Carragee & Roefs, 2004: 221). Carragee dan Roefs (2004:214-215)
menyarankan untuk melihat proses framing ke dalam konteks distribusi kuasa sosial
dan politik oleh karenanya perlu menempatkan framing berama dengan tesis hegemoni
media.
Lebih lanjut berdasarkan pembedaan imaji paradigmatis Paul D’Angelo (2002)
dan beberapa sarjana framing lainnya, asumsi-asumsi Teori Framing Kritis adalah
sebagai berikut:
1.8.3.a. Sumber Kultural Framing adalah Ideologi Hegemonik
Frame bersumber dari sesuatu yang dihayati bersama. Dalam Teori Framing
Kritis Gramscian, sesuatu yang dihayati bersama itu adalah ideologi hegemonik.
Croteau & Hoynes (2003: 159-160) menyebut bahwa ideologi adalah sistem makna
yang membantu mendefinisi dan menjelaskan dunia dan yang membuat penilaian
tentang dunia, karenanya ia terkait dengan worldview, belief sytem dan values namun
tetap lebih luas daripada itu. Dalam perspektif Teori Kritis Gramscian, nilai-nilai yang
telah diterima bersama itu menguntungkan suatu kelompok tertentu saja sehingga
kesenjangan relasi kuasa di masyarakat terpelihara.
Frame dihasilkan melalui proses framing. Karena frame bersumber dari
hegemoni ideologi, Snow & Benford (2000:9) menegaskan bahwa ideologi dan framing
27
adalah hal yang berbeda. Menurut Snow & Benford (ibid.), framing melibatkan
artikulasi dan aksentuasi atau amplifikasi elemen-elemen dari peristiwa, pengalaman,
dan keyakinan dan nilai-nilai, yang kesemuanya itu terkait dengan ideologi yang telah
ada (Snow & Benford, 200: 9). Pada konteks aksi kolektif, Snow & Benford (ibid.)
menyatakan bahwa salah satu unsur pembentuk ideologi adalah sumber daya kultural
yang dapat disadap dan dieksploitasi untuk tujuan mengkonstruksi frame-frame aksi
kolektif, dan karenanya ideologi juga berfungsi utuk secara simultan memfasilitasi
maupun menghambat proses framing. Dengan kata lain, frame yang muncul tidak akan
terlepas dari ideologi yang menjadi sumber sekaligus mengatur proses framing.
Menurut Carragee & Roefs (2004), tesis hegemoni dan framing justru saling
melengkapi pada dua dimensi. Pertama, pada proses framing yang mencakup
produksi, distribusi, dan interpretasi makna-makna itulah hegemoni dapat
teridentifikasi (Carragee & Roefs, ibid.). Kedua, tesis framing menyediakan alat bagi
tesis hegemoni untuk membuktikan adanya konstruksi media berita secara umum
sejalan sebangun dengan kepentingan kelompok dominan (Carragee & Roefs, 2004:
222). Oleh karena itu, membedakan frame-framing dari hegemoni ideologi adalah
penting.
Hegemoni ideologi, bagi Teori Framing Kritis, tidak hanya berfungsi sebagai
sumber kultural frame saja. Snow & Benford (2000) menyebutkan framing dapat
berfungsi sebagai pegangan konseptual untuk menjembatani disjungsi antara
keyakinan-keyakinan dan pengalaman-pengalaman agar terjadi koherensi, konsistensi
dan kontinuitas antara aksi dan keyakinan ketika lingkungan menyebabkan kedua aspek
terebut kontradiktif (Snow & Benford, 2000: 10). Aspek berikutnya adalah adanya
framing memungkinkan untuk terhindarkannya ideologi dari proses reifikasi
(pembongkaran dan pembentukan ulang) (Snow & Benford, 2000: 10). Artikulasi
framing mengarahkan perhatian pada proses-proses di mana orientasi interpretif
terbangun, berkembang, dan berubah sehingga artikulasi tersebut memicu sinyal-sinyal
peringatan tentang kemungkinan adanya reifikasi ideologi yang eksisting (Snow &
Benford, ibid.). Terakhir, framing -berbeda dari ideologi- adalah aktivitas yang lebih
siap dan mudah diobservasi daripada ideologi (Snow & Benford, ibid.). Istilah
“aktivitas” yang digunakan oleh Snow & Benford (2000) tersebut merujuk pada
manifestasi framing pada pertemuan-pertemuan dan debat-debat dalam aksi kolektif.
Framing maupuan frame-frame tidaklah semata-mata aktivitas mental atau kognitif
28
melainkan berakar pada interaksi sosial pada suatu kelompok yang bisa diamati
langsung, diperiksa, dan dianalisis.
1.8.3.b. Ideologi Hegemonik Membentuk Frame Media
Pada bagian sebelumnya telah disampaikan bahwa ideologi menjadi sumber
kultural bagi frame. Dari sekian banyak ideologi yang ada di masyarakat, baik
ideologi yang hegemonik maupun tandingan, bagaimanakah ideologi-ideologi
tersebut berhubungan dengan media hingga menjadi sebuah frame? Untuk menjawab
hal tersebut, diskusi perlu dimulai dari peran media.
Menurut D’Angelo (2002), frame dalam Teori Framing Kritis merupakan
representasi ideologi dominan yang ada di masyarakat. Berdasarkan refleksi Martin
dan Oshagen yang dikutip D’Angelo (2002: 877), framing kritis mengasumsikan
frame-frame elit politik dan ekonomi mendominasi liputan berita. Media berperan
lebih dari sekedar memberikan ruang bagi kontestasi frame. Alih-alih menjadi
penyedia ruang artikulasi ideologi secara univokal, media merepresentasikan
kepentingan-kepentingan berbeda disertai dengan kuasa yang tidak setara, dan terlibat
dalam kontestasi kuasa tersebut (Croteau & Hoynes, 2003: 161). Media menerima
sebagian ide sebagai sesuatu yang populer dan akrab sementara ide-ide yang lain
perlu mencari celah dan menunggu di pinggiran. Keyakinan yang berakar dari
paradigma kritis itu ditegaskan kembali oleh Carragee & Roefs (2004) yang melihat
bahwa kisah-kisah berita merupakan ranah kontestasi frame yaitu aktor-aktor politik
bertarung untuk mendominasi isu-isu yang mereka butuhkan. Media, dalam kontestasi
tersebut, tidaklah menjadi penyedia ruang semata melainkan cenderung telah memilih
ide-ide yang bertarung tersebut menjadi sesuatu yang dianggap populer, akrab, dan
dapat diterima (Croteau & Hoynes, 2003).
‘Diterimanya’ ideologi dominan sebagai sesuatu yang lumrah dalam media itu
dapat terjadi secara tidak disadari oleh media bersangkutan (Croteau & Hoynes, 2003;
Carragee & Roefs, 2004). Dominasi ideologi tertentu pada teks media merupakan
luaran dari proses jurnalistik yang tidak disadari maupun disadari oleh media.
Penerimaaan hegemoni ideologi oleh media secara ‘tidak disadari’ itu adalah pada
tiga ranah, yaitu:
29
(1) Ranah Sistem Nilai di Masyarakat
Media hidup di masyarakat dan hal itu membuatnya tidak lepas dari dinamika
kultural dan ideologi. Kuasa dapat bekerja melalui budaya atau ideologi yang
dihayati pada kehidupan sehari-hari, tak semata melalui paksaan (Croteau &
Hoynes, 2003:166). Kepemimpinan kultural (cultural leadership) yang disertai
dengan kerelaan (consent) warga untuk menghayati kultur dominan tersebut
adalah hegemoni (Croteau & Hoynes, ibid.). Kerelaan tersebut merupakan hal
yang dimenangkan, kelompok yang dominan di masyarakat secara aktif mencari
cara agar pandangan dunia mereka diterima oleh semua anggota masyarakat
sebagai cara berpikir yang universal melalui berbagai institusi salahsatunya
adalah media (Croteau & Hoynes, ibid.).
Wujud dari terdominasinya representasi media oleh kuasa elit adanya frame
yang bertolak dari ideologi yang dianggap sebagai “common sense” atau
“deskripsi nyata atas realitas”, bukan lagi “interpretasi” oleh media, dan yang
seakan-akan tak terkontestasi sesungguhnya adalah bentuk dominasi elit yang
telah mengalami status quo (Carragee dan Roefs, 2004.). Berbeda dari klaim
Gamson, et.al. (1992), ranah tak terkontestasi justru merupakan ranah di mana
dominasi ideologi tengah berlangsung (Carragee & Roefs, 2004: 223). Proses
hegemoni pada level “common sense”, “semua orang sudah tahu”, sesuatu yang
dianggap “natural”, “diterima apa adanya”, atau “sudah dari sononya”
sebenarnya justru mengabaikan pendekatan-pendekatan alternatif yang dapat
mempertanyakan asumsi-asumsi dasar yang sudah terlanjur diyakini itu (Croteau
& Hoynes, ibid.).
(2) Ranah Narasumber
Elit-elit politik yang memiliki sumber daya ekonomi dan budaya, dan
pengetahuan tentang praktek-praktek jurnalistik dapat membuat praktek-praktek
jurnalisme menyukai mereka sehingga kelompok tersebut seringkali sukses
mensponsori frame media (Carragee & Roefs, 2004). Kemampuan sponsor-
sponsor frame elit menghegemoni frame media tersebut dianggap sebagai sesuatu
hal yang lumrah oleh media berita. Hal itu juga disebabkan oleh sistem nilai yang
diyakini oleh media mengenai proses jurnalistik yaitu profesionalisme yang
mencakup objektivitas.
30
(3) Ranah Profesionalisme Media: Objektivitas
Hegemoni elit itu bekerja juga tanpa disengaja atau tanpa disadari melalui
ukuran ‘objektivitas.’ Ketika jurnalis dan media memakai tameng ‘objektivitas’
untuk mengukur kualitas berita dan profesionalitas, objektivitas itu tidak mungkin
terjadi. Menurut Fulton (2005: 231), objektivitas mengandung aspek
ketidakmungkinan (impossibility) dan aspek ketidakdiinginkan (undesirabilty).
Objektivitas tidak mungkin karena:
- tak ada realitas yang berada di luar ideologi sebab semua keadaan kejadian
dunia real semestinya terstruktur melalui sistem tanda seperti bahasa yang tak
terpisahkan dari ideologi;
- Tak ada keadaan relitas yang utuh atau secara utuh tepat dengan sendirinya,
kita semua memiliki impresi-impresi berbeda dan interpretasi berlainan mengenai
apa yang kita alami;
- Faktualitas selalu subjektif –menentukan apakah yang disebut degan fakta dan
apakah artinya itu bukanlah proses yang absolut;
- Semua peristiwa haruslah dikontekstualisasikan, atau ditempatkan dalam
frame referensi ebih luas yang dapat menghasilkan pemaknaan evaluatif ata
speristiwa tersebut;
- Berita diproduksi dalam sistem determinan-determinan internal maupun
eksternal –ekonomi, organisasional, teknis, profesonal- yang menstruktur dan
mengkomodifikasi kisah-kisah berita;
- Praktek-praktek institusional pengumpulan berita, gatekeeping, seleksi dan
agenda-setting melibatkan penilaian-penilaian dan evaluasi-evaluasi subjektif,
meski tidak disadari;
- Penghilangan atau pengaburan sebagaimana seleksi dan inklusi,
mengkonstruksi penilaian tentang realitas sosial, ‘commonsense’ dan ‘bagaimana
seharusnya’ secara implisit.
Objektivitas tidak diinginkan karena:
- Pandangan ‘objektif’ atas suatu peristiwa merupakan pandangan dominan atau
‘common sense’, mendukung hanya satu versi realitas yang melegitimasi dan
memelihara sistem-sistem kuasa;
31
- Kurangnya perspektif kritis menyebabkan klaim-klaim kebenaran disajikan
tanpa dipertanyakan, sehingga ideologi ternormalisasi seakan-akan fakta;
- Pelaporan objektif menghilangkan semangat jurnalis untuk mengambil
tanggungjawab atas apa yang telah ditampilkan, dan mendorong mereka untuk
berfokus hanya pada sumber-sumber yang bergengsi tinggi;
- Peran jurnalisme investigatif, berbasiskan isu, dan advokasi dikurangi;
- ‘Objektivitas’ dan kerja-kerja faktual lebih didewakan para jurnalis daripada
kisah berita lain seperti human-interest dan jurnalisme yang bertanggungjawab
sosial yang sebetulnya juga memiliki sumber-sumber informasi berharga.
Bahwa media secara ‘sengaja’ memilih ideologi dominan dalam pembentukan
frame dapat dilihat pada proses pemilihan sponsor frame. Paradigma kritis mengklaim
bahwa frame-frame merupakan hasil rutinitas liputan berita (newsgathering) yang
mana jurnalis-jurnalis menyebarluaskan informasi mengenai isu dan peristiwa-
peristiwa melalui perspektif yang dimiliki para elit ekonomi dan politik (D’Angelo,
2002: 876). Paradigma kritis juga mengasumsikan jurnalis memilih dan
menghilangkan informasi dengan sengaja dan beralasan ideologis. Adanya sponsor
frame yang nampak dalam berita bukanlah karena sumber-sumber informasi lainnya
tidak tersedia melainkan karena kesengajaan (D’Angelo, 2002).
Para sarjana kritis tidak memandang jurnalis berintensi untuk menyediakan
berbagai sudut pandang yang bermanfaat bagi publik dalam memahami isu-isu
kebijakan publik, melainkan para sarjana kritis memandang pemilihan sumber berita
merupakan proses dari hegemoni media dan semua informasi serta pandangan yang
kontras dari posisi hegemonik yang ada dianggap sebagai ebuah keanehan dan media
tidak mau menyebarluaskan pandangan-pandangan alternatif tersebut ke hadapan
audiens (D’Angelo, ibid.). Bahkan sarjana-sarjana kritis berargumen bahwa
organisasi-organisasi berita memilih informasi dan secara intensional menghilangkan
informasi dengan maksud untuk mengesankan frame-frame berbeda tidak hadir atau
frame-frame yang muncul mendukung dominasi frame-frame elit (D’Angelo, 2002:
876).
Suatu ideologi bukan berarti akan bertahan selamanya mendominasi frame
media. Suatu frame memiliki resonansi dengan nilai-nilai politik yang lebih luas
(Carragee dan Roefs, 2004). Karena jurnalis mendefinisikan isu dari waktu ke waktu
32
dan karena sponsor seringkali merestrukturisasi frame isu berdasarkan kondisi-kondisi
politik yang berubah, frame berevolusi dan frame tertentu boleh jadi memenangkan
atau kalah pamor dalam berita media (Carragee dan Roefs, ibid.).
1.8.3.c. Proses Framing Kritis: Frame Media adalah Hasil Interaksi dengan
Sponsor Frame
Bagian sebelumnya telah menyampaikan asumsi bahwa elit mendominasi
frame media. Terdominasinya frame media tersebut didahului oleh proses
pembentukan frame. Proses framing terkait degan proses-proses di balik berita,
Carragee & Roefs (2004: 224) memberikan perhatian pada proses pembentukan
framing di mana faktor kuasa politik, sosial, dan gerakan sosial berpeluang menjadi
sponsor-sponsor frame dominan/hegemonik atau resisten/tandingan. Interaksi media
dengan sponsor frame yang dilakukan sebagai individual maupun organisasional
merupakan faktor-faktor utama konstruksi berita sebagai aktivitas-aktivitas kuasa
(Fulton, 2005: 219). Posisi dan gengsi seorang jurnalis dapat dilihat dari kontak-
kontak yang dimilikinya: semakin prestisius kontak tersebut, posisi jurnalis di tempat
kerja semakin bergengsi (Fulton, ibid.).
Secara umum, organisasi-organisasi berita biasanya mendapatkan suplai
informasi dari sumber-sumber berikut:
- Sumber-sumber yang secara rutin dimonitor oleh media itu sendiri dengan
menugaskan sejumlah jurnalis pada titik-titik sumber informasi dalam giliran
tertentu. Sumber-sumber tersebut berokasi pada level institusional di masyarakat,
seperti kntor parlemen, kantor pemerintah, perkumpulan-perkumpulan lokal,
kanto polisi, lembaga pengadilan, dan jasa-jasa kedaruratan.
- Organisasi-organisasi yang memiliki kantor pers sendiri atau mempekerjakan
perusahaan public relations untuk mengeluarkan isu-isu reguler melalui buletin
mengenai aktivitas-aktivitas mereka. Organisasi-organisasi tersebut mencakup
departemen-departemen pemerintah, jasa-jasa publik seperti transportasi atau
kelistrikan, perusahaan-perusahaan besar, serikat-serikat dagang dan kerja, partai-
partai politik, organisasi hiburan dan hospitalitas.
- Organisasi-organisasi riset yang menyelenggarakan dan mempublikasikan
hasil survei dan riset. Organisasi ini mencakup lembaga pendidikan, riset, medis,
33
pollster, yang menghasilkan laporan riset dalam standar jurnal profesional yang
dapat diakses jurnalis secara online untuk mencapatkan ‘kisah.’
- Individu-individu elit mencari perhatian media, seperti selebritis-selebritis atau
eksekutif-eksekutif korporat yang mengirimkan rilis-rilis pers ke organiasi berita
utama melalui kantor pers atau perusahaan public relations.
- Peristiwa-peristiwa reguler, seperti festival-festival keagamaan, konvoi-
konvoi jalanan, pertandingan-pertandingan.
- Media lain. Jurnalis-jurnalis mengandalkan media lain untuk mendapatkan
informasi dengan perembangan terbaru dari hlaman-halaman internet, outlet-
outlet kantor berita lokal maupun internasional.
Beragamnya sumber berita seringkali harus berbenturan dengan rutinitas
media. Pencarian berita (newsgathering) merupakan tugas rutin jurnalis yang
seringkali diasosiasikan dengan monitoring reguler atas sumber-sumber spesifik dan
menuliskan ulang rilis-rilis pers maupun informasi lain yang disediakan oleh individu-
individu maupun organisasi-organisasi (Fulton, 2005: 220). Akibatnya, meski sumber
berita beragam, jurnalis kerapkali terjebak untuk memberitakan berbagai hal melalui
perspektif yang seragam (Fulton, ibid.). Pada saat yang sama, tradisi jurnalisme
investigatif yang membutuhkan waktu, biaya dan tenaga yang lebih besar, mulai
ditinggalkan dengan adanya kisah-kisah yang sudah tersedia oleh agensi-agensi
komunikasi (Fulton, ibid.). Fenomena tersebut tidaklah mustahil menggiring media
dan jurnalis memberitakan berbagai hal dalam frame-frame elit dan melanggengkan
status quo.
Memang, bukan tidak mungkin -sebagaimana yang telah dijelaskan pada
subbab sebelumnya- frame elit adakalanya runtuh. Proses kontestasi mendahului
keruntuhan tersebut. Untuk melihat kontestasi antar sponsor itu, menurut Carragee &
Roefs (2004: 224), adalah penting untuk mencermati interaksi media dengan gerakan
sosial dan berbagai kelompok kepentingan lain. Gagasan tersebut menunjukkan
perlunya cara pandang bahwa media bukanlah cermin dari dunia, melainkan sebagai
mediasi dari perubahan sosial, atau justeru menolak adanya perubahan itu (Conboy,
2013: 92).
Sumber-sumber atau sponsor-sponsor frame mana yang dipilih oleh media dan
bagaimana sumber tersebut ditampilkan media turut menentukan framing suatu isu
34
atau perstiwa. Lawrence C. Soley dalam The News Shapers: The Sources who Explain
the News (1992: 26) menyebut bahwa sumber-sumber yang dikutip media sebagai
seorang ahli atas suatu isu atau bidang merupakan komponen penting dalam berita
sebab merekalah yang memberikan pendapat latar belakang dan komentar tentang
suatu fenomena yang dianggap media dapat membantu konsumen berita untuk
memahami fenomena tersebut. Apabila konsumen berita dapat memahami fenomena
dengan mudah, kehadiran narasumber pengarah berita (news shapers) barangkali tak
lagi penting. Adanya narasumber ahli tersebut juga memberi kesan bahwa media telah
bertindak objektif, lain halnya jika media mengambil pendapat dari orang-orang di
jalanan (man on the street) (Soley, 1992: 26). Dalam konteks politik, ‘narasumber
ahli’ yang notabene adalah pengarah berita itu menyediakan pengetahuan superfisial
mengenai peristiwa-peristiwa dan hal itu berpotensi mengurangi keterlibatan warga
pada politik (Soleh, 1992: 27). Pengarah berita memproduksi pandangan elitis tentang
suatu hal yang menguatkan kedudukan mereka sebagai ahli dan mendorong
depolitisasi warga (Soley, ibid.). Para pengarah berita tersebut memiliki jarak dari
para pembuat berita (news makers) yang merupakan bagian dari suatu peristiwa
berita, misalnya para penjahat dan korban, pejabat pemerintah, para calon legislatif,
pemimpin militer, ketua lembaga swadaya masyarakat (Soley, 1992:2). Individu-
individu sebagai pembuat berita adalah mereka yang teridentifikasi merepresentasi
sisi-sisi spesifik pada situasi kontroversi atau konflik (Soley, ibid.). Laporan berita
biasanya meliput apa yang mereka perbuat atau ceritakan.
Kredibilitas menjadi masalah ketika pelabelan “ahli” atau “pengamat” pada
mereka yang berposisi sebagai pengarah berita dilakukan media secara sewenang-
wenang atau dengan standar yang terlalu fleksibel. Strategi yang paling objektif
adalah memberi label pada seorang yang ahli pada bidang tertentu apabila ia memiliki
latar belakang pendidikan yang mendukung, namun media juga kerap menyematkan
artibusi “ahli” pada mereka yang telah menggeluti suatu bidang cukup lama dan
dengan rekam jejak yang nyata dan lebih dari cukup (Soley, 1992: 18). Namun
seringkali media juga memberi label tersebut pada individu-individu yang keahlian
dan kompetensinya tidak terverifikasi dan bahkan di bawah standar (Soleh, ibid.).
35
1.8.3.d. Manifestasi Frame Hegemonik
Carragee & Roefs (2004) berpendapat bahwa selama ini terjadi kesalahkaprahan
dalam memahami frame. Mencermati berbagai penelitian, Carragee & Roefs (2004:
217- 218) mencermati frame dipahami secara kurang tepat, yaitu:
1) Konsep frame bukanlah METAFORA isu atau peristiwa.
Studi-studi dengan pemaknaan seperti ini biasanya muncul dengan pertanyaan
“bagaimana jurnalis memotret isu spesifik tertentu” atau “bagaimana kisah berita
mengkomunikasikan resiko”, namun mereka terlepas dari perhatian utama
framing.
2) Konsep frame bukanlah TOPIK ataupun TEMA berita.
Misalnya, beberapa studi mengidentifikasi ‘frame’ sebagai kejahatan,
kesejahteraan, dan ekonomi. Hal-hal itu adalah topik berita, bukan frame karena
peneliti mengkategori kisah berita berdasarkan subjek. Padahal, frame
mengkonstruksi makna-makna tertentu terhadap isu-isu yang dituju dengan
melihat pola-pola penonjolan (emphasis), interpretasi (interpretation), dan
pengaburan (exclusion).
3) Framing bukanlah tahap dua teori Agenda-Setting
Definisi framing dalam tradisi agenda-setting secara nyata berbeda dari konsep
framing Carragee & Roefs (2004) tersebut. Penelitian framing yang salah kaprah
dalam kategori ini dicontohkan Carragee & Roefs (ibid.) penelitian-penelitian
yang mereduksi frame menjadi topik dan atribut, mengabaikan isu-isu yang lebih
bermakna. Reduksi tersebut mengabaikan cara-cara bagaimana frame
mengkonstruksi makna-makna tertentu dan bagaimana mereka memperdalam
cara-cara spesifik dalam melihat isu (Carragee & Roefs, 2004: 218). Perspektif
yang salah kaprah itu juga meniadakan bagaimana frame tertentu dapat berlaku di
banyak isu dan bagaimana satu posisi isu dapat menjadi produk dari banyak
frame (Carragee & Roefs, 2004). Riset framing bermula dari penelitian sosiologis
Goffman dan sosologi media Tuchman dan Gitlin yang mana ketiganya berfokus
pada cara-cara framing menunjukkan proses produksi berita dan implikasi
ideologis pada framing (Carragee & Roefs, ibid.).
36
Apabila frame bukanlah semata-mata apa yang nampak di teks berita,
bagaimanakah manifestasi frame kritis yang sebenarnya? Framing berparadigma
kritis menerima gagasan bahwa makna atas frame dikonstruksi secara sosial yang
melibatkan produser dan audiens teks (Carragee & Roefs 2004). Pada perspektif
konstruksionis, teks manifestasi frame dalam berita adalah ide pokok yang
merangkum relasi-relasi dan fungsi-fungsi struktural maupun leksikal pada
elemen-elemen signifying menjadi suatu keutuhan koheren (Pan & Kosicki, 1993:
58-59). Karena frame dan framing berhubungan dengan kerangka budaya yang
lebih luas, frame (yang benar) tidak selalu terikat pada topik yang sama,
melainkan pada banyak topik atau situasi, sebaliknya, suatu topik dapat diframe
dalam beragam cara (Van Gorp, 2007: 66). Namun teori framing berparadigma
kritis menganggap pemahaman frame konstruksionis itu tidak cukup. Teks media
tidak dapat diterima apa adanya tanpa melihat kuasa sosial dan politik yang
tercermin melalui hubungan media dengan para frame sponsor (Carragee &
Roefs, 2004:218). Oleh karena itu, untuk menguak frame dominan dalam teks,
peneliti perlu menelusuri sponsor-sponsor frame berikut kuasa kultural dan
ekonomi yang berhasil maupun tidak berhasil mempengaruhi pembentukan frame
(Carrragee & Roefs, 2004: 220).
Meski pengertian frame terikat oleh paradigma yang dipilih peneliti (D’Angelo, 2002),
pemaparan Carter (2013: 4) mengenai elemen-elemen framing tetap relevan untuk
menggambarkan karakter umum frame, yaitu:
1) Pengorganisasian (organizing). Framing bervariasi dalam bagaimana framing
memframing informasi dengan sukses, komprehensif, dan lengkap. Bagaimana
frame diorganisasikan tidaklah sekedar rangkuman bagian-bagian pada kisah
tertentu melainkan frame-frame merupakan sesuatu yang lebih besar daripada
satu kisah saja sebab berita-berita peristiwa biasanya memiliki referensi ke
sesuatu yang serupa atau telah terjadi sebelumnya (Carter, ibid.).
2) Prinsip-prinsip (principles). Frame didasarkan pada prinsip-prinsip abstrak dan
tidak sama dengan teks-teks yang mana framing muncul memanifestasikan
dirinya. Frame memiliki kualitas-kualitas abstrak, alat atau ‘skemata’ interpretasi
yang mengarahkan pembacaan atas suatu isu atau peristiwa spesifik ke dalam
37
pemahaman tertentu (Carter, ibid.). Oleh karena frame mengorganisasi informasi,
mau tidak mau frame merupakan bagian dari seprangkat struktur atau ideologi
sosial yang dapat terbaca pada teks (Carter, ibid.) ;
3) Dihayati bersama (socially shared). Suatu frame pada derajat tertentu dapat
dipahami oleh banyak orang karena adanya penghayatan budaya yang sama.
Suatu peritwa diinterpretasi seeorang lalu hal itu dikisahkan ke orang lain dalam
frame tertentu. Adanya penghayatan bersama memungkinkan frame tersebut
dapat dipahami dan dianggap penting pula oleh –tak hanya penutur- pendengar
kisah tersebut (Carter, 2013: 5);
4) Ajeg (persistent). Signifikansi frame terletak pada durabilitas yaitu keajegan
dan penggunaan rutin dari waktu ke waktu. Frame-frame yang berpengaruh
adalah frame yang ajeg dari waktu ke waktu dan bukan tidak mungkin frame
yang sering muncul itu dianggap sebagai realitas itu sendiri (Carter, ibid.).
Keajegan, pengulangan terus menerus suatu frame menciptakan makna-makna
yang kebal akan perubahan. Informasi di masa depan yang terdiri dari peristwa
yang serupa akand iproses dand ibandingkan dengan kejadian masa lalu, yang
kemudian diinterpretasi oleh frame. Menurut Carter (ibid.), semakin ajeg suatu
frame, semakin frame serig digunakan sebagai komparator untuk informasi baru;
5) Simbolis (symbolically). Frame dapat dikenali pada bentuk-bentuk ekspresi
simbolis. Teknik-teknik frame bekerja dengan menggunakan simbol-simbol yang
diharapkan jurnalis dapat mempengaruhi audiens. Representasi-representas
simbolis itu dkomunikasikan pada berbagai level yang jauh di bawah
‘permukaan’ atau konten yang manifes (Carter, ibid.);
6) Struktur (structure). Frame-frame terorganisir dengan pola-pola atau struktur-
struktur, yang bervariasi pada kompleksitasnya. Ketika sebuah isu dibingkai
pertama kali, pola-pola mungkin belum terlihat. Namun ketika media meliput isu-
isu terkait peristiwa itu kemudian, pola frame muncul dan menjadi struktur
dominan yang mempengaruhi interpretasi (Carter, ibid.).
38
Hegemoni dan framing merupakan dua tesis yang saling melengkapi. Tesis
hegemoni dapat dibuktikan melalui pengamatan atas proses framing. Pengamatan
proses framing dapat menjelaskan adanya ketimpangan relasi di masyarakat yang
kemudian mempengaruhi framing media melalui tesis hegemoni. Oleh karena teori
framing kritis dibentuk oleh asumsi adanya hegemoni pada proses framing, analisis
framing perlu melihat tidak hanya pada teks (frame) melainkan juga proses sosial
dalam memproduksi frame (framing).
1.8.4. Hegemoni Media, Kapitalis, dan Negara
Salah satu karakter khas organisasi komunikasi massa adalah ambivalensi
hubungannya dengan kuasa-kuasa lain di masyarakat. Pada satu sisi, komunikator
massa merupakan kelompok sosial yang memiliki kuasa karena kelompok tersebut
memiliki akses terhadap sumber-sumber daya sosietal yang langka yaitu kanal-kanal
komunikasi yang dapat menjangkau massa luas (Gallagher, 2005: 151). Kuasa
organisasi media tersebut berpotensi mendisrupsi ide-ide dan pengetahuan-pengetahuan
umum yang telah mapan dan diterima. Akan tetapi, kuasa tersebut dipraktekkan dalam
konteks jejaring kontrol publik dan hambatan-hambatan eksternal organisasi sehingga
cenderung terintegrasi dengan hirarki kuasa dan kontrol sosial yang telah mapan
(Gallagher, 2005).
Menurut Louw (2001: 40), pada abad ke-19 dan 20 ini, terdapat dua pemain
utama yang mengontrol organisasi media yaitu negara dan kapitalis (Louw, 2001: 40).
Kontrol utama negara terhadap media muncul dalam bentuk media yang berlisensi
negara (state- licensed media) dan media disubsidi negara (state-subsidized media).
Praktek kontrol state-licensed media tersebut misalnya dalam bentuk koran-koran
dengan lisensi atau izin terbit dari pemerintah, sensor-sensor dari pemerintah, dan
kewajiban untuk mendapatkan pengesahan dari pemerintah untuk mempublikasikan
berita-berita tertentu (Louw, 2001: 43-44). Pada model media berlisensi negara,
pemerintah menjalankan media milik pemerintah dan mewajibkan lisensi dan
pensensoran untuk media non pemerintah. Dengan kata lain, lisensi dan pensensoran
merupakan bentuk kontrol pemerintah untuk menahan atau membatasi komunikasi pada
media yang tidak dijalankan oleh pemerintah (Louw, 2001:44). Model media berlisensi
39
negara tersebut menjadi fenomena media pers Indonesia Orde Baru. Untuk bisa terbit,
organisasi media pers membutuhkan izin pendirian usaha dan penerbitan pers.
Selain media berlisensi negara, media juga mendapat pengaruh tidak langsung
dari pemerintah dalam pembentukan makna melalui model media disubsidi negara.
Pemerintah menciptakan sistem-sistem susbsidi untuk membiayai media yang dianggap
berharga secara sosial namun tidak dapat bertahan jika dilempar di pasar tanpa bantuan
(Louw, 2001: 46). Model ini juga teraplikasi pada sistem media Orde Baru. Dalam
model media-disubsidi negara, parlemen mengalokasikan dana ke badan-badan
pengelola subsidi (Louw, 2001: 46), atau dalam konteks Indonesia Orde Baru adalah
pemerintah memberikan subsidi terhadap TVRI dan RRI, bahkan dapat dikatakan
pemerintah menganggarkan penuh pembiayaan TVRI dan RRI melalui Kementerian
Penerangan. Meski TVRI dan RRI tidak dibahas dalam riset ini, adanya pola
pembiayaan penuh dari pemerintah Orde Baru menunjukkan bagaimana rezim Orde
Baru mengontrol pembentukan makna dalam wacana publik masa itu, yang mana
media yang disubsidi bersikap konformistis terhadap konsensus sosial dan bekerja
dalam wacana dominan di masyarakatnya agar keberlangsungannya dapat diterima oleh
pemerintah.
Media juga dapat beroperasi di luar pengaruh sektor publik atau disebut dengan
“sistem media dimiliki kapitalis.” Sejak era 1990-an, industri media yang dimiliki
swasta tersebut menjadi pemain sentral dalam produksi dan sirkulasi makna secara
global yang mana audiens dipandang sebagai konsumen dan dorongan utama media
untuk berkembang adalah dorongan komersial (Louw, 2001: 47). Perkembangan
teknologi baru memungkinkan produksi jutaan artikel yang sama tidak hanya mungkin
(possible) melainkan ‘dibutuhkan’ yaitu untuk memenuhi permintaan audiens massa
yang besar (Louw, 2001: 48). Perkembangan itu mengubah bagaimana mankan-makna
diproduksi seiring dengan praktek-praktek kerja diindustrialisasikan yaitu produksi
massa bergerak dari memenuhi kepentingan kelompok terspesialisasi menuju ke
general (Louw, ibid.). ‘Sensasionalisme’ lantas dibutuhkan untuk dapat menarik ‘semua
orang’ dan tidak menyasar ‘seseorang secara khusus’ (Louw, ibid.). Berita-berita
seputar kekerasan, kriminal, seks, olah raga, konflik-konflik, dan hiburan mendapat
posisi penting dalam jagad produksi berita ketimbang berita-berita yang
mengedepankan substansi. Akibat kuasa kapitalis terhadap media, makna-makna
diproduksi secara uni-dimensional, artinya makna tersebut dengan sesedikit mungkin
40
menyerang orang sehingga berita tidak mengusir segmen-segmen audiens yang
potensial (Louw, 2001: 49). Implikasi dari uni-dimensionalitas itu adalah industri
media pers menempatkan sensasionalisme berita sebagai panglima, makna-makna yang
menyerang pihak-pihak pemasang iklan dihindari. Tidak mengherankan, kelas-kelas
menengah sebagai kelompok potensial pemasang iklan mendapatkan keuntungan dari
situasi tersebut dan pihak-pihak atau sektor-sektor yang tak berpotensi komersial
berada pada pinggiran pembentukan wacana. Dengan kata lain, media yang dimiliki
swasta cenderung memproduksi wacana yang hanya sesuai untuk hegemoni kelas
menengah (Louw, ibid.).
Shoemaker & Reese (1996:228) menulis bahwa:
Indeed, the relative autonomy of media gives their messages more legitimacy and credibility than if they were directly controlled. Hegemoni ideologi dapat berlangsung pada suatu konteks sosial dan politik
bahkan ketika kebebasan pers dan media dipraktekkan. Kebebasan pers justru
digunakan untuk melegitimasi posisi media sebagai pihak yang objektif dan kredibel
padahal media terus menerus memelihara kelangsungan status quo.
Tempo merupakan organisasi media yang dimiliki oleh swasta. Akan tetapi,
Tempo sempat hidup pada dua konteks sosial dan politik yang berbeda yaitu Orde
Baru dan Reformasi. Kontrol terhadap media pada kedua konteks sosial tersebut
berkarakter berbeda. Pada masa Orde Baru, kebebaasan pers dan berekspresi
cenderung dikekang sementara pada masa Reformasi pers mendapatkan
kebebasannya. Perbedaan konteks sosial politik tersebut berimplikasi pada praktek-
praktek kerja media swasta seperti Tempo. Praktek kerja Tempo Orde Baru cenderung
dipengaruhi oleh regulasi-regulasi pemerintah sementara Tempo Reformasi yang
mana kontrol pemerintah terhadap media melalui regulasi telah dihapuskan, secara
teoritik amat dipengaruhi oleh kelompok kapitalis.
Penggambaran Louw (2001) mengenai sistem media tersebut memberi
petunjuk bahwa terdapat hubungan antara ide-ide dan kepentingan penguasa atas teks
media. Menurut Stuart Hall, terdapat beberapa ranah di mana penguasa secara kultural
berpengaruh pada kerja media yaitu: (a) kuasa untuk mendefinisikan isu mana yang
akan memasuki sirkuit komunikasi publik; (b) kuasa untuk mendefinisikan isu mana
yang perlu didebat; (c) kuasa untuk menentukan siapa yang akan bicara atas isu dan
41
kapan; dan (d) kuasa untuk mengelola debat itu sendiri di media (Golding &
Murdock, 1997b: 491).
Untuk memperjelas hubungan media-penguasa tersebut, Golding & Murdock
(1997b) menegaskan pentingnya memeriksa proses aktual produksi teks. Lantas, pada
produksi teks, bagaimana hubungan media, kuasa kultural, dan ideologi itu dapat
diidentifikasi? Golding & Murdock (1997b:491) menyebut dua cara bagaimana
ideologi penguasa menghegemoni media. Pertama, melalui perspektif yang sama-
sama dihayati oleh jurnalis dan sumber berita mengenai kelayakan berita dan
pemrosesan berita. Kedua, melalui hubungan intitusional media pers dan sumber
berita. Kedua hal yang disampaikan oleh Golding & Murdock (ibid.) tersebut
menunjukkan adanya hegemoni yang bekerja melalui nilai yang beredar di
masyarakat tentang idealisasi kerja jurnalistik dan relasi kepentingan antara media
dengan sumber berita atau sponsor frame. Kedua hal tersebut juga menjadi titik temu
tesis framing dan hegemoni.
1.9. Metode Penelitian
Penelitian ini memahami objek penelitian, jarak peneliti dengan objek, serta
metode penelitian berdasarkan paradigma Teori Kritis yang telah dijabarkan pada
subbab sebelumnya. Teks-teks media diproduksi pada konteks sejarah yang spesifik,
secara kasat mata juga berubah dari segi bentuk dan isi. Karena bersandar pada
paradigma Teori Kritis, penelitian ideologi dalam teks media karenanya harus
memperhatikan sejarah organisasi media dan konteks sosial politik Indonesia, serta
relasi media dengan pihak-pihak eksternal media. Oleh karena itu, penelitian ini
mencakup beberapa level yaitu konteks sosial dan politik (studi pustaka), sistem nilai
di media (wawancara), dan analisis framing dan wacana media.
1.9.1. Analisis Framing Kritis
Penelitian ini ingin mencari tahu bagaimana memori kolektif diingat kembali
oleh media dalam berita-beritanya sekaligus membaca kecenderungan ideologis
media dalam melakukan konstruksi ingatan itu. Berdasarkan tujuan-tujuan tersebut,
analisis framing sesuai untuk diterapkan pada penelitian ini.
42
Sebagai analisis untuk riset media, analisis framing tepat untuk digunakan
dalam penelitian ini karena beberapa faktor. Pertama, analisis framing merupakan
pendekatan untuk menganalisis wacana berita terutama pada bagaimana wacana
publik mengenai isu-isu publik dikonstruksi dan dinegosiasikan oleh media (Pan &
Kosicki, 1993: 70). Berbeda dari riset agenda-setting yang berfokus pada kognisi
audiens untuk mengetahui apa yang dipikirkan atas konten media yang memapar
mereka, analisis framing mencermati keberagaman dan keluwesan bagaimana isu-isu
dikonseptualisasikan media (Pan & Kosicki, ibid.).
Kedua, analisis framing dapat membaca kecenderungan ideologis frame berita.
Caragee dan Roefs (20004) menilai metode analisis framing yang disusun oleh
Gamson dan Lasch (1980) dapat digunakan untuk melihat artikulasi ideologi
hegemonik melalui framing yang mencakup metafor, exemplar, kata-kata mencolok,
cuplikan, dan imaji visual. Pemeriksaan yang terperinci atas framing dan reasoning
devices pada wacana jurnalistik memungkinkan adanya diskusi lebih lanjut antara
berita dan ideologi (Carragee dan Roefs, 2004). Meski menurut D’Angelo (2002)
analisis framing kritis biasana menggunakan metode dari Entman, penelitian ini
menggunakan metode dari Gamson dan Lasch (1980) yang lebih rinci dalam
mencermati penggunaan kata dan ekspresi kalimat-kalimat (Entman, 1993). Entman
(1993) menyusun empat fungsi framing yaitu pendefinisian masalah, pendiagnosaan
penyebab, nilai-nilai moral, dan rekomendasi penyelesaian namun tidak menjelaskan
bagaimana keempat fungsi itu dapat dianalisa oleh peneliti.
1.9.2. Objek Penelitian
Objek penelitian ini adalah majalah berita elit Indonesia yaitu Tempo baik dari
segi tekstual maupun kontekstual. Alasan umum majalah diplih sebagai objek
penelitian adalah sebagaimana yang disampaikan oleh Kitch (2008: 313), majalah
berharga untuk diteliti karena perspektif mereka yang mencolok, kesetiaan
pembacanya, dan identifikasi terbukanya terhadap para pembaca.
Alasan khusus dipilihnya Tempo dibandingkan dengan media-media lain
adalah: pertama, meskipun penetrasi majalah tidak seluas televisi dan radio, media
cetak terutama majalah Tempo merupakan bacaan kelompok elit Indonesia (Keller,
2009) seperi birokrat, politisi, akademisi, kalangan bisnis, dan mahasiswa. Kedua,
43
artikel-artikel berita di majalah kan lebih cenderung menunjukkan frame karena
secara konvensional berita majalah cenderung lebih panjang dan memenuhi lebih
banyak elemen berita (5WH) daripada berita suratkabar.
Ketiga, meski media elektronik secara teknologi memungkinkan untuk
menyiarkan laporan-laporan berita terkait kekerasan di masa lalu, fakta menunjukkan
sumber-sumber utama mereka adalah media cetak. Keempat, majalah Tempo dipilih
secara spesifik sebagai objek penelitian karena dimiliki oleh perusahaan media besar
di negeri ini yaitu TEMPO Media Group. TEMPO Media Group di luar majalah telah
menerbitkan buku-buku yang menyajikan narasi alternatif8. Kelima, selain itu,
majalah Tempo merupakan suratkabar elit Indonesia yang memiliki sistem
pengarsipan yang memadai yaitu melalui pusat data online dengan pencarian
menggunakan kata kunci.
1.9.3. Tahapan Penelitian
Penelitian ini terdiri dari dua tahap yaitu analisis teks dengan metode analisis
framing berparadigma Teori Kritis, dan analisis konteks yang terdiri dari konteks
organisasi media (individual, organisasional, dan ekstramedial) dan sosial politik
Orde Baru dan Reformasi.
1.9.4. Teknik Pengambilan Data
Berikut ini teknik pengambilan sampel penelitian berdasarkan jenis data yang
dibutuhkan:
(i) Level Teks: Seleksi Data Penelitian
Sumber data teks penelitian ini adalah berita-berita retrospektif pada
majalah elit nasional yaitu majalah Tempo yang terbit sejak masa Orde Baru,
sempat dibredel, dan terbit kembali Pasca Reformasi. Sebagai memori atau
peristiwa yang lalu, peristiwa 1965/66 bisa diingat dalam berbagai isu. Karena
tidak bergantung pada isu berita secara khusus, berita dengan isu apa pun
selama menyinggung peristiwa 1965/66 secara eksplisit maupun implisit tidak
8 Seperti Tempo Media Grup yang menerbitkan laporan investigasinya untuk majalah Tempo dalam bentuk buku, Pengakuan Algojo 1965.
44
akan menjadi masalah. Dengan begitu, penyaring pertama di sini adalah kata
kunci. Kata-kata kunci yang dipilih untuk menemukan item berita adalah
“1965”, “G30S”, “PKI”, dan “komunis” pada Tempo Store
(http://www.store.tempo.co) dan mengkonfirmasi pada pustakawan Pusat Data
Tempo mengenai terbitan-terbitan Tempo bertemakan “G30S”. Pemeriksaan isi
media secara longitudinal akan menunjukkan pola-pola baru yang ajeg maupun
bertransformasi (Berkowitz, 2005). Proses pencarian dengan kata kunci tersebut
menghasilkan enam edisi majalah yang terbit pada era Orde Baru dan tujuh
majalah terbit pada era reformasi yang mengangkat topik terkait tragedi
1965/66.
Tabel 1.2. Tanggal dan Judul Edisi Majalah TEMPO Orde Baru & Reformasi
yang terkait Peristiwa 1965/66 Periode Edisi Judul Edisi
OR
DE
BAR
U
30 September 1972 PKI di Atas dan di Bawah Tanah
24 Desember 1977 Th. VII/No. 43 10.000 Tahanan Dibebaskan
No. 32 Tahun X 4 Oktober 1980 PKI 15 Tahun yang Lalu
No. 30 24 September 1988 Mengapa Ia Didakwa?
No.31 Tahun XVIII-1 Oktober 1988 Apa yang Kaucari PKI
No. 37 12 November 1988 Rame-rame Bersih Diri
No. 11 Tahun XX 12 Mei 1990 Bersih Diri tentang PKI
No. 32 Tahun XX 6 Oktober 1990 CIA dan PKI: Menengok Kembali Peristiwa G30 S
REF
OR
MA
SI
1-7 Oktober 2007 G30S dan Peran Aidit
23 November 2008 Sjam Lelaki dengan Lima Alias
11 Oktober 2009 Njoto: Peniup Saksofon di Tengah Prahara
8-14 November 2010 Musso: Si Merah di Simpang Republik
7-13 November 2011 Sarwo Edhi Wibowo dan Misteri 1965
7 Oktober 2012 Pengakuan Algojo 1965
30 September-4 Oktober 2013 Lekra dan Geger 1965
Pada Tabel 1.2 terlihat judul-judul edisi Tempo terkait peristiwa 1965/66,
delapan (8) judul pada Orde Baru dan tujuh (7) judul pada Reformasi. Dari
kelimabelas judul Tempo tersebebut, penelitian analisis frame dan ideologi
dilakukan terhadap enam judul edisi Tempo Orde Baru, dan enam judul edisi
Tempo Reformasi. Oleh karena itu, terdapat dua judul edisi Tempo Orde Baru
45
dan satu judul edisi Tempo Reformasi yang disisihkan (lihat judul yang dicoret
pada Tabel 1.2. di atas).
Edisi tersebut disisihkan karena beberapa alasan. Pertama Tempo tahun
1988 dan 1990 berturut-turut menerbitkan tiga dan dua edisi terkait 1965/66.
Tema ‘bersih diri’ pada edisi 1988 juga muncul pada edisi 1990 yang lebih
anyar sehingga edisi ‘bersih diri’ 1988 dicoret. Edisi Soekarno pada 1988 juga
dicoret karena edisi PKI 1988 akan lebih memberi fokus pada PKI, yang ana
fokus terhadap PKI tersebut terulang dalam angle berbeda pada edisi 1990
Oktober sehingga dapat terlihat perkembangannya.
Kedua, edisi-edisi Reformasi terbit relatif berdekatan (setahun sekali)
sehingga dinamikanya tidak terlalu terlihat dibandingkan edisi Orde Baru yang
jarak terbit relatif lebih lama. Meski pada analisis frame dan ideologi pada teks
hanya melibatkan dua belas edisi Tempo Orde Baru dan Reformasi, dinamika
jenis dan jumlah narasumber yang digunakan pada ketiga edisi lainnya juga
tetap dicermati untuk melihat pola penggunaan sponsor frame.
Khusus untuk edisi Tempo 2008 tentang Sjam dan 2009 tentang Njoto
didapat peneliti melalui versi bukunya sebab versi majalah-nya tidak tersedia di
TempoStore.Co.Id.
(ii) Level Organiasi Media: Wawancara dan Studi Pustaka
Pada level organisasi media ini adalah yang disebut oleh Gamson & Lasch
sebagai proses sosial framing media (1980: 6) dan Carragee & Roefs (2004:
216) sebagai interaksi media dengan sponsor-sponsor frame. Sumber data
organisasi media didapatkan melalui wawancara dan studi pustaka. Wawancara
dilakukan terhadap anggota redaksi Tempo yang bertanggungjawab untuk
peliputan beberapa edisi berita retrospektif yang terbit pada Era Reformasi yaitu
Pemimpin Redaksi Tempo Arif Zulkifli, Redaktur Pelaksana Tempo Philipus
Parera, dan Redaktur Senior Tempo Amarzan Loebis dan Rustam F. Mandayun.
Pada wawancara jenis ini, peneliti bermaksud untuk mendapatkan data
mengenai:
- Level individual : memori individual jurnalis Tempo terhadap peristiwa
1965 dan PKI, nilai-nilai dan pengalaman individual jurnalis atas peristiwa
tersebut;
46
- Level organisasional: sistem nilai yang mencakup prinsip-prinsip jurnalistik
yang dianut, pemahaman atas objektivitas dan nilai-nilai berita dan judgment-
judgment yang digunakan dalam memilih narasumber pada Tempo Reformasi;
(iii) Level Konteks Sosial dan Politik Orde Baru dan Reformasi: Pelacakan
Perpustakaan Konvensional dan Maya
Sumber-sumber sekunder yang akan menjadi penunjang penelitian adalah
sumber dokumen yang terdiri dari buku-buku bertopik seputar peristiwa yang
menjadi memori kolektif yaitu PKI, 1965, dan 1948 serta buku-buku bertopik
sejarah media massa Indonesia maupun terbitan-terbitan terkait majalah Tempo.
Studi pustaka tersebut dibutuhkan untuk mengetahui konteks sosial dan politik
media maupun dinamika Tempo itu sendiri dan memori kolektif yang beredar di
masyarakat.
1.9.5. Unit dan Teknik Analisis Data
Paradigma kritis penelitian ini berimplikasi pada teknik menganalisis teks.
Alih-alih peneliti hanya akan secara tertutup menganalisis frame dan ideologi pada
teks berita saja, peneliti akan mengkombinasikan temuan dalam teks dengan sumber-
sumber sekunder seperti sumber pustaka dan wawancara dengan para jurnalis Tempo.
Penerapan framing pada studi kolektif memori akan mendorong para sarjana
memori untuk lebih memberikan perhatian lebih pada kata-kata, gambar, video, dan
teks lainnya (Simonetti, 2008: 18). Kata-kata, gambar, video dan elemen teks lainnya
itulah yang menjadi unit analisis penelitian itu. Van Gorp (2007: 72) menyarankan
untuk merekonstruksi frame-frame dengan merepresentasikan paket-paket frame
dalam suatu matriks: kolom untuk mengentri framing dan perangkan penalaran dan
baris untuk mengentri frame-frame. Langkah-langkah analisis frame yang dilakukan
peneliti berdasarkan rekomendasi Van Gorp (ibid.) dan Carragee & Roefs (2004)
adalah:
1) Mencermati bentuk-bentuk linguistik yang dapat berfungsi sebagai
perangkat framing. Perangkat framing terdiri dari metafora, exemplar
catchphrases, depictions, dan imaji-imaji visual. Bentuk-bentuk linguistik
47
sebagai perangkat framing diisikan pada kolom kiri sebagaimana tampak pada
Tabel 1.5;
2) Mengidentifikasi rantai logika dari perangkat framing menjadi
perangkat penalaran. Perangkat yang menyediakan justifikasi atau alasan-alasan
untuk ide-ide sentral adalah roots, consequences, dan nilai-nilai moral (appeals
to principles). Elemen-elemen ide yang berbeda itu saling mendukung dan
menguatkan satu sama lain. Biasanya pembentukan suatu paket utuh dapat
ditunjang oleh elemen tunggal yang mencolok. Hasil analisis tersebut dituliskan
pada kolom kanan pada Tabel 1.3;
3) Menarik ide sentral dari perangkat framing dan penalaran. Ide sentral
ini tidak selalu eksplisit disampaikan dalam berita, melainkan melalui
interpretasi penulis atas apa yang nampak pada teks dan penghayatan kultural
peneliti. Hasil frame tersebut dituliskan pada baris horizontal Tabel 1.3;
4) Menguji konseptualisasi frame oleh peneliti dengan memeriksa apakah
temuan frame itu cukup general untuk diaplikasikan pada kasus-kasus lain dan
situasi-situasi yang serupa. Dengan kata lain, frame pada suatu edisi diujikan
apakah dapat berlaku pada edisi lain yang mengangkat isu yang serupa.
Tabel 1.3. Rencana Lembar Koding Frame Berita Retrospektif/Ideologi Nama Media
Hari/ Tanggal Terbit
Judul
Halaman
Jumlah Paragraf
Penulis Berita
Frame (Interpretive Package)
Perangkat Framing (Framing Devices) Perangkat Penalaran (Reasoning Devices)
Metaphors
Roots
Catchphrases
Appeals to Principle
Exemplaar
Consequences
Relasi antar Partisipan
48
Depiction
Transitivitas
Nominalisasi
Kollokasi
Kategorisasi
Visual Images
Meski pada berbagai penelitian framing berparadigma kritis kerap hanya
menggunakan metode analisis framing untuk menelisik ideologi dalam berita
(Budarick & King, 2004), penelitian ini mengidentifikasi gejala linguistik pada
analisis wacana Helen Fulton (2005) untuk mencermati lebih mendalam ideologi
dalam berita retrospektif peristiwa 1965. Pengertian teknis elemen ideasional dan
interpersonal untuk identifikasi relasi kuaasa antar partisipan dan common sense
berikut bentuk-bentuk linguistiknya dijelaskan pada subbab Kerangka Teori pada Bab
II penelitian ini. Bentuk-bentuk linguistik Helen Fulton (2005) tersebut diintegrasikan
ke tabel koding perangkat framing (Tabel 1.3) untuk memperkuat pembentukan
penalaran yang mencakup appeals of principles yang merupakan commen sense atau
konsensus dalam pengertian Fulton (2005), dan mengidentifikasi relasi antar
partisipan dalam teks.
Analisis tekstual yang sama akan dianalisis untuk dua tujuan yaitu konstruksi
frame dan kontruksi ideologi dengan menggabungkan metode Gamson & Lasch
(1980) dengan bentuk linguistik untuk mengkaji representasi ideologi media (Fulton,
2005) oleh karena itu hanya satu lembar koding yang dibutuhkan oleh peneliti. Urutan
pengkodingan dan analisis adalah (1) mengidentifikasi perangkat framing menurut
Gamson & Lasch (1980); (2) mencermati gejala linguistik menurut Helen Fulton
(2005); dan terakhir menarik kecenderungan frame (memori kolektif) dan ideologi
yang muncul dalam teks.
Setelah peneliti menyelesaikan tahapan teks ini, wawancara dilakukan
terhadap tiga orang yaitu Pemimpin Redaksi Tempo Arif Zulkifli, Redaktur Pelaksana
49
Tempo Philipus Parera, dan Redaktur Senior Tempo Amarzan Loebis serta Rustam F.
Mandayun. Keempat narasumber tersebut dipilih dengan beberapa alasan. Pertama,
Arif Zulkifli merupakan wartawan sekaligus Pemimpin Redaksi Tempo yang terlibat
dalam peliputan berita retrospektif Tempo Reformasi terkait peristiwa 1965. Kedua,
Philipus Parera adalah redaktur pelaksana yang pernah menjadi koordinator liputan
untuk berita retrospektif Tempo Reformasi terkait peristiwa 1965. Ketiga, Amarzan
Loebis merupakan jurnalis Tempo yang merupakan bekas tahanan politik dan pernah
tinggal di Pulau Buru. Keempat, Rustam F. Mandayun adalah wartawan Tempo yang
juga terlibat dalam liputan retrospektif Tempo Orde Baru.
1.9.6. Teknik Penyajian Data
Data akan disajikan dalam dua cara, yaitu matriks kualitatif dan pemaparan
kualitatif. Data-data yang akan disajikan dalam matriks kualitatif antara lain:
(i) Tabel analisis framing Gamson dan Lasch atas peristiwa 1965/66 dan
PKI pada masing-masing edisi terbit;
(ii) Tabel rangkuman frame Tempo Orde Baru atas peristiwa 1965/66 dan
PKI;
(iii) Tabel rangkuman frame Tempo Reformasi atas peristiwa 1965 dan
PKI;
(iv) Tabel sumber-sumber otoritas jurnalistik (sponsor frame atau
partisipan dalam teks) dan relasinya dalam teks pada masing-masing era.
Sementara itu, data yang akan dipaparkan dalam bentuk argumentasi adalah:
(i) Frame dan framing (perangkat penalaran, dan perangkat framing)
berita retrospektif Tempo;
(ii) Representasi ideologi Tempo dalam frame atas peristiwa 1965/66 dan
PKI;
(iii) Faktor-faktor kontekstual berita retrospektif (sistem nilai dan relasi
media-sponsor frame).
1.9.7. Sistematika Penulisan
50
Pada Bab I ini, peneliti membangun pondasi problematika dan kerangka teori
serta metode untuk menjawab problematika penelitian. Pada Bab II, peneliti akan
mengekspansi kerangka teori tersebut berdasarkan pola yang sudah dibahas pada Bab
I. Pada Bab III, peneliti akan membahas konteks sosial dan politik penelitian ini
sehingga ada tiga hal yang akan diteliti. Pertama, deskripsi konteks sosial dan politik
Orde Baru dan Reformasi terutama kaitannya dengan memori kolektif peristiwa 1965
dan PKI. Kedua, Tempo Orde Baru dan Reformasi. Ketiga, gerakan-gerakan memori
kolektif tandingan terhadap peristiwa 1965/66.
Laporan penelitian untuk analisis frame dan ideologi Tempo Orde Baru dan
Reformasi ditulis berturut-tururt pada Bab IV dan Bab V. Sistematika subbab pada
Bab IV dan V adalah sama, yaitu terdiri dari tiga bagian utama yaitu temuan umum,
analisis frame, dan ideologi Tempo masing-masing era. Pada bagian temuan umum,
peneliti memaparkan refleksi atas temuan-temuannya berdasarkan teori-teori yang
telah dipaparkan terutama pada aspek ideologi Tempo yang tampak. Pada bagian teks
media yang diteliti, peneliti memaparkan hasil penelitiannya dengan memecah
kembali subbab itu berdasarkan pertanyaan-pertanyaan penelitian yaitu apa ideologi
dan framing atas peristiwa 1965/66. Hasil wawancara mengenai ideologi Tempo akan
disisipkan sesuai pada alur pemikiran yang relevan.
Pada Bab VI, peneliti mengingatkan kembali problematika penelitian, teori-
teori yang digunakan, dan hasil-hasil umum dari temuan yang ada terutama untuk
menekankan ideologi dan framing Tempo Orde Baru atas peristiwa 1965/66 dan PKI
serta bagaimana Tempo Reformasi mendobrak dominasi memori peristiwa 1965/66
dan PKI warisan Orde Baru. Peneliti juga akan menunjukkan kelemahan dan
kekurangan penelitian tersebut. Meski begitu, peneliti akan menggarisbawahi
kontribusi penting apa yang telah dilakukan oleh penelitian ini dalam wacana
akademik tentang peristiwa 1965/66, jurnalisme, memori kolektif, HAM dan media.
Peneliti juga akan memberikan rekomendasi tentang penelitian apa yang sebaiknya
dilakukan di masa depan terkait dengan topik yang serupa.
1.9.8. Limitasi Penelitian
Penelitian tentang media mengingat peristiwa 1965/66 bukan berarti semata-
mata menyelidiki definisi media mengenai siapa yang salah (menjadi pelaku) dan
51
siapa yang benar (korban). Hal itu dengan sendirinya terjawab. Yang lebih penting
dari itu dalam penelitian itu adalah bagaimana media mengingat peristiwa tersebut.
Sebab, dengan begitu argumen-argumen moral dan mengapa peristiwa tersebut tetap
relevan untuk diingat akan tampak serta memberi banyak kemungkinan mengenai
rekonstruksi media atas peristiwa tersebut, bukan penyimpulan simplistis dan positivis
“siapa yang benar dan siapa yang salah”.
Cakupan studi ini hanya terbatas pada narasi memori pada berita-berita
retrospektif majalah Tempo terkait dengan peristiwa 1965/66 dan PKI yang terbit
pada Orde Baru dan Reformasi. Fokus penelitian ini adalah pada ideologi dan framing
memori peristiwa 1965/66 dan PKI. Studi ini tidak memasukkan liputan memori
peristiwa tersebut di media-media lain seperti televisi, radio, buku-buku, dan Internet
dikarenakan hambatan sumber daya dan waktu. Akan tetapi hal itu justru akan
memberi peluang bagi penelitian serupa pada media-media selain media cetak.
Penelitian-penelitian serupa pada media-media lain itu akan menunjukkan bagaimana
persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan narasi dan frame atas peristiwa
1965/66 dan dapat dikembangkan ke penelitian-penelitian lanjutan.
Penelitian ini akan berupaya menjawab faktor-faktor mengapa kontruksi dan
strategi framing tersebut yang muncul, proses frame building yang terjadi pada media-
media tersebut. Menurut Croteau & Hoynes (2003: 198-200), penelitian konten
memiliki beberapa signifikansi melalui adanya hubungan konten dengan faktor-faktor
lain yaitu konten sebagai refleksi dari produser, konten sebagai refleksi preferensi
audiens, dan konten sebagai refleksi masyarakat secara umum, konten sebagai
pengaruh atas audiens, dan konten sebagai teks tertutup (self-enclosed text).
Berdasarkan pembagian signifikansi konten tersebut, penelitian ini menghubungkan
konten media dengan produser terutama pada aspek interaksi produser dengan
sponsor-sponsor frame. Meski begitu, penelitian ini juga memanfaatkan sumber-
sumber data sekunder seperti buku-buku teks akademik untuk menjelaskan konteks
sosiopolitik dari wacana 1965/66 dan PKI tersebut.
Sejalan dengan pembagian Croteau & Hoynes (2003) tersebut, D’Angelo
(2002: 873) juga membagi empat tujuan empiris yang dikejar oleh tiap-tiap penelitian
framing berita dalam berbagai derajat (D’Angelo, 2002: 873). Pertama, untuk
mengidentifikasi unit-unit tematis yang disebut “frame”. Kedua, untuk
menginvestigasi kondisi-kondisi anteseden yang memproduksi frame. Ketiga, untuk
52
mencermati bagaimana frame-frame berita mengaktivasi dan berinteraksi dengan
pengetahuan-pengetahuan pre-eksisting individual dan menimbulkan interpretasi
memicu informasi, pembuatan keputusan, dan evaluasi. Terakhir, untuk memeriksa
bagaimana frame-frame berita membentuk proses-proses pada level sosial seperti
debat opini publik dan isu kebijakan. Berdasarkan pembagian D’Angelo (2002)
tersebut, penelitian ini mengejar unit-unit tematis dan kondisi-kondisi anteseden yang
memproduksi frame.
Hal yang tidak dicakup dalam penelitian ini adalah pada level frame-setting,
atau dampak frame media pada frame audiens. Meski begitu, penelitian ini berupaya
untuk melihat kerangka budaya yang menjadi induk kelahiran frame tersebut sehingga
untuk mengetahuinya peneliti melakukan wawancara terhadap sponsor-sponsor frame
yang nampak pada media, maupun sumber-sumber lain yang memiliki frame terkait
yang tidak nampak di media, serta studi pustaka.
1.10. Penutup
Penelitian ini berfokus pada analisis teks berita-berita retrospektif pada
majalah elit Indonesia yaitu Tempo Orde Baru dan Reformasi. Hasil penelitian ini
akan menggambarkan kontruksi ideologi dan frame media massa arus utama
Indonesia atas peristiwa 1965/66. Studi ini akan mampu memberikan kontribusi pada
wacana akademik mengapa anti-komunisme tetap mengemuka di Indonesia dengan
melihat bagaimana media massa arus utama Indonesia menurunkan berita retrospektif
atas peristiwa 1965/66. Teori-teori yang digunakan dalam studi ini adalah teori
memori kolektif, teori media dan jurnalisme, teori hegemoni ideologi, dan teori
framing media. Sebagai penelitian inisial di bidang komunikasi pada wacana
peristiwa 1965/66, manfaat dari penelitian analisis teks tersebut adalah hasil
penelitian tersebut bisa menjadi salah satu acuan yang memicu penelitian-penelitian
pada jenis media yang lain seperti media baru, film, dan elektronik maupun pada
level-level yang lain.