BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar...

52
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada masa Orde Baru, PKI dan komunisme distigmatisasi secara negatif. Sepanjang 1966-1998, melalui berbagai strategi politik dan budaya 1 , rezim Orde Baru melakukan propaganda sejarah dan memori tentang PKI dan peristiwa 30 September tersebut sehingga merugikan PKI, simpatisan, dan keluarganya secara politik dan kultural (Hearman, 2013:15; Pellegrini, 2012; Adam, 2008:5; Heryanto, 2006). Sementara itu, pembantaian massal terhadap 500.000 orang pengikut atau simpatisan PKI dan pemenjaraan hampir sejuta orang tanpa peradilan selama Oktober 1965- Maret 1966 yang dilakukan tidak hanya oleh militer, melainkan juga oleh kelompok masyarakat sipil, seakan dihapuskan dari ingatan publik (Wardaya, 2013; Hearman, 2013; Pellegrini, 2012; Adam, 2008). Reformasi memberikan harapan bagi kelompok- kelompok yang dirugikan oleh narasi sejarah Orde Baru untuk ‘meluruskan’ sejarah dan memori. Namun, keruntuhan Orde Baru pada 1998 ternyata tidak mengikis stigma negatif atas PKI dan komunisme. Para sejarawan telah membuat berbagai penjelasan mengenai keganjilan tersebut 2 akan tetapi sejauh ini perspektif media belum banyak disinggung pada 1 Strategi itu antara lain pemberlakuan Tap MPR No. 25/1966, produksi buku-buku teks sejarah dengan perspektif tunggal, produksi film propaganda Pengkhianatan G30S/PKI, kampanye-kampanye seperti “bersih diri, bersih lingkungan”, serta berbagai bentuk memorialisasi dan ritual seperti peringatan Hari Kesaktian Pancasila setiap 1 Oktober. 2 Pertama, banyak bukti-bukti fisik seperti jasad-jasad, penjara-penjara, dan bangunan-bangunan yang menjadi kamp penampungan PKI telah terhapuskan oleh sebab alamiah maupun kesengajaan (Hearman, 2013:19). Kedua, memori bahwa PKI adalah musuh bangsa telah terlanjur menjadi bagian dalam narasi pembentukan identitas nasional sehingga klarifikasi mengenai peristiwa tersebut akan mengancam identitas Indonesia secara keseluruhan (Pellegrini, 2012). Ketiga, diskriminasi, stigmatisasi, dan memori atas PKI tidak lagi dikontrol oleh negara atau rezim melainkan sudah mengakar di masyarakat sehingga keruntuhan Orde Baru tidak secara signifikan mengubah memori publik yang berkembang di masyarakat atas PKI (Adam, 2008:18-19). Keempat, ide komunisme dipahami umum sebagai sama dengan ateisme sehingga penerimaan atas ide tersebut menjadi akan mengancam fondasi agama terutama dalam hal ini Islam (Budiawan, 2004).

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar...

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84711/potongan/S2-2015... · Pancasila setiap 1 Oktober. 2 Pertama, banyak bukti-bukti fisik seperti jasad-jasad,

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pada masa Orde Baru, PKI dan komunisme distigmatisasi secara negatif.

Sepanjang 1966-1998, melalui berbagai strategi politik dan budaya1, rezim Orde Baru

melakukan propaganda sejarah dan memori tentang PKI dan peristiwa 30 September

tersebut sehingga merugikan PKI, simpatisan, dan keluarganya secara politik dan

kultural (Hearman, 2013:15; Pellegrini, 2012; Adam, 2008:5; Heryanto, 2006).

Sementara itu, pembantaian massal terhadap 500.000 orang pengikut atau simpatisan

PKI dan pemenjaraan hampir sejuta orang tanpa peradilan selama Oktober 1965-

Maret 1966 yang dilakukan tidak hanya oleh militer, melainkan juga oleh kelompok

masyarakat sipil, seakan dihapuskan dari ingatan publik (Wardaya, 2013; Hearman,

2013; Pellegrini, 2012; Adam, 2008). Reformasi memberikan harapan bagi kelompok-

kelompok yang dirugikan oleh narasi sejarah Orde Baru untuk ‘meluruskan’ sejarah

dan memori. Namun, keruntuhan Orde Baru pada 1998 ternyata tidak mengikis

stigma negatif atas PKI dan komunisme.

Para sejarawan telah membuat berbagai penjelasan mengenai keganjilan

tersebut2 akan tetapi sejauh ini perspektif media belum banyak disinggung pada

1 Strategi itu antara lain pemberlakuan Tap MPR No. 25/1966, produksi buku-buku teks sejarah dengan perspektif tunggal, produksi film propaganda Pengkhianatan G30S/PKI, kampanye-kampanye seperti “bersih diri, bersih lingkungan”, serta berbagai bentuk memorialisasi dan ritual seperti peringatan Hari Kesaktian Pancasila setiap 1 Oktober. 2 Pertama, banyak bukti-bukti fisik seperti jasad-jasad, penjara-penjara, dan bangunan-bangunan yang menjadi kamp penampungan PKI telah terhapuskan oleh sebab alamiah maupun kesengajaan (Hearman, 2013:19). Kedua, memori bahwa PKI adalah musuh bangsa telah terlanjur menjadi bagian dalam narasi pembentukan identitas nasional sehingga klarifikasi mengenai peristiwa tersebut akan mengancam identitas Indonesia secara keseluruhan (Pellegrini, 2012). Ketiga, diskriminasi, stigmatisasi, dan memori atas PKI tidak lagi dikontrol oleh negara atau rezim melainkan sudah mengakar di masyarakat sehingga keruntuhan Orde Baru tidak secara signifikan mengubah memori publik yang berkembang di masyarakat atas PKI (Adam, 2008:18-19). Keempat, ide komunisme dipahami umum sebagai sama dengan ateisme sehingga penerimaan atas ide tersebut menjadi akan mengancam fondasi agama terutama dalam hal ini Islam (Budiawan, 2004).

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84711/potongan/S2-2015... · Pancasila setiap 1 Oktober. 2 Pertama, banyak bukti-bukti fisik seperti jasad-jasad,

2

wacana akademik maupun praksis dalam menjelaskan mengenai langgengnya anti-

komunisme di Indonesia pada era pos-Soeharto.

Memang, media massa di Indonesia sejauh ini dalam studi sejarah telah

disadari memiliki nilai-nilai moral tertentu yang mendasari konstruksinya atas suatu

fakta atau situasi yang sensitif. Hal itu terlihat dari Budiawan (2004) yang sempat

menyinggung penggunaan bahasa pada media online dan cetak3. Budiawan (2004)

memandang pembebasan eks-tapol itu ‘dikonstruksi’ (parafrase penulis) oleh media

massa sebagai tindakan kemanusiaan. Selain Budiawan (2004), koran-koran yang

terbit pada 1 Oktober 1965 sampai dengan bulan-bulan awal 1966 juga dirujuk oleh

Wieringa (2010) untuk melihat kampanye fitnah terhadap Gerwani. Sayangnya,

pembahasan mengenai media massa hanya menjadi bagian kecil dari studi sejarah

yang dilakukan Budiawan (2004) dan Wieringa (2010). Yang dilakukan oleh

keduanya sebagai sejarawan tersebut masih dalam kerangka sebagaimana yang

disampaikan oleh Zelizer (2008): media dan karya jurnalistik masih hanya dipandang

sebagai sebagai ‘naskah pertama dalam penulisan sejarah’ (the first draft of history)

sedangkan naskah terakhir ditulis oleh para sejarawan.

Penelitian ini bermaksud untuk melihat konstruksi frame media atas peristiwa

kekerasan yang terjadi pada masa pra- Orde Baru tersebut dalam berita-berita

retrospektif majalah Tempo yang terbit pada era otoritarian (Orde Baru) maupun

transisi demokrasi (Reformasi). Dinamika framing media atas tragedi masa lalu yang

sama akan semakin terlihat manakala framing dilakukan pada dua konteks politik

yang berlainan. Selain itu, penelitian ini juga tidak membandingkan berita

kontemporer dengan berita retrospektif seperti yang dilakukan Edy (2006), melainkan

mengamati berita-berita retropektif pada dua konteks sosial dan politik yang berbeda

di negara yang sama. Penelitian ini berargumen bahwa “perubahan konteks sosial dan

politik berpengaruh pada bagaimana media arus utama mengkonstruksi frame

peristiwa atau sesuatu hal di masa lalu. Sebab, konstruksi memori kolektif dalam Kelima, komunisme dicitrakan sebagai gerakan politik dan kebudayaan paling berbahaya yang mengancam demokasi oleh para intelektual Indonesia pro-Barat melalui pemelintiran ide-ide liberalisme Barat (Herlambang, 2013: 302). Keenam, dukungan negara atas penuntasan kasus 1965/66 melemah dengan dibatalkannya Undang-undang No. 27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) pada 2006 oleh Mahkamah Konstitusi (“Elsam dan Media”, di Elsam.or.id di http://www.elsam.or.id/new/index.php?id=641&lang=en&act=view&cat=c/301, dikunjungi pada 11 Desember 2013.) 3 Media-media tersebut memberitakan tentang pembebasan eks-tapol (PKI) pada masa pemerintahan Habibie: “(eks-tapol itu) telah jompo, menderita berbagai penyakit tua, dan diduga tidak mungkin lagi mengancam ‘kesatuan dan stabilitas nasional’” (Budiawan, 2004).

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84711/potongan/S2-2015... · Pancasila setiap 1 Oktober. 2 Pertama, banyak bukti-bukti fisik seperti jasad-jasad,

3

media didasarkan pada ideologi yang berkembang pada tiap konteks politik tersebut.

Ideologi merupakan sumber konstruksi frame media. Ideologi media dapat terlihat

pada konstruksi teks media dan bagaimana media menampilkan sponsor-sponsor

frame (pemilik ingatan), menggunakan common sense dan membentuk relasi antar

partisipan dalam teks.”

Untuk mengetahui frame dan konstruksi berita retrospektif PKI dan 1965 pada

Tempo Orde Baru dan Reformasi, analisis framing dan wacana diterapkan. Pada level

teks, untuk mengetahui frame media, peneliti menerapkan analisis frame dengan

mencermati roots, moral principles, consequences, sedangkan untuk mencermati

ideologi media, peneliti mengamati common sense, otoritas jurnalistik (narasumber)

yang hadir dan sponsor frame (pemilik ingatan) yang tidak hadir dalam teks, dan

relasi kuasa antar otoritas jurnalistik dalam teks maupun narator dengan pembaca

teks.

Memetakan interaksi Tempo, terutama Tempo Reformasi dengan sponsor-

sponsor frame amat penting dalam penelitian ini. Sebab, dengan mengetahui

pertimbangan-pertimbangan Tempo dalam memilih narasumber dapat mencerminkan

sejauh mana Tempo bersikap kritis atas dominasi memori Orde Baru tentang peristiwa

1965/66, atau Tempo Reformasi justru mendukung status quo dengan memilih

narasumber yang semata-mata dapat dihubungi, bersedia berbicara, dan memiliki

pendapat yang mainstream.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang tersebut, rumusan masalah penelitian

ini adalah:

1) Bagaimana transformasi konstruksi frame atas peristiwa 1965/66 dan PKI

Tempo dalam berita-berita retrospektif Tempo Orde Baru dan Era Reformasi?

2) Bagaimana kecenderungan ideologi media yang tampak dalam konstruksi

framing tersebut?

1.3. Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan penelitian merupakan penjabaran dari rumusan masalah di atas.

Terkait dengan rumusan masalah pada level konstruksi frame, dengan menggunakan

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84711/potongan/S2-2015... · Pancasila setiap 1 Oktober. 2 Pertama, banyak bukti-bukti fisik seperti jasad-jasad,

4

analisis frame Gamson & Lasch (1980), pertanyaan penelitiannya mencakup roots:

apakah yang dianggap menjadi penyebab dan masalah dalam argumen framing

tersebut; moral principles: nilai-nilai moral apakah yang menjadi argumen dalam

frame narasi memori tersebut; dan consequences: apakah konsekuensi dari frame

narasi memori tersebut.

Sementara itu, ideologi media nampak pada moral principles yang terkandung

dalam teks sebagaimana paparan Gamson & Lasch (1980) atau common sense dalam

pengertian Fulton (2005) dan Gramscian, dan siapa atau sponsor-sponsor frame

mana sajakah yang menjadi sumber otoritas jurnalistik maupun yang tidak; sumber-

sumber otoritas jurnalistik mana sajakah yang menjadi sumber faktual dan sumber

point of view; maupun relasi kuasa antar sumber otoritas jurnalistik dalam teks.

Karena perspektif Teori Kritis selalu menempatkan objek kajian pada sejarah

sosial, konteks sosial politik Orde Baru dan Reformasi menjadi penting untuk ditelisik

dalam kaitannya dengan organisasi media. Lokus konteks yang dimaksud pada

penelitian ini adalah proses produksi teks yang mencakup interaksi profesional Tempo

dengan sponsor-sponsor frame dan institusi-institusi sosial lainnya.

1.4. Tujuan Penelitian

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk:

(i) Memperlihatkan dinamika konstruksi frame peristiwa 1965/66 dan PKI pada

majalah yang sama namun terbit pada konteks politik berbeda serta

menjelaskan perbedaan atau persamaan konstruksi frame peristiwa dan parpol

tersebut;

(ii) Menemukan ideologi Tempo terhadap peristiwa 1965/66 maupun PKI.

Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk:

(i) Memetakan frame-frame yang digunakan dalam narasi memori peristiwa

1965/66 itu dan menunjukkan kontinuitas atau diskontinuitas yang terjadi;

(ii) Mengidentifikasi analisis kausal (roots) yang digunakan media;

(iii) Mengidentifikasi nilai moral atau common sense yang menjadi argumen

frame;

(iv) Mencermati konsekuensi dalam framing;

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84711/potongan/S2-2015... · Pancasila setiap 1 Oktober. 2 Pertama, banyak bukti-bukti fisik seperti jasad-jasad,

5

(i) Mencermati relasi kuasa antar sumber otoritas jurnalistik (partisipan dalam

teks).

1.5. Signifikansi Penelitian

Signifikansi penelitian atau mengapa penelitian ini penting merupakan sesuatu

yang terkait erat dengan orisinalitas penelitian dan kemampuan penelitian ini untuk

membuka ‘cakrawala baru’, atau mengisi kesenjangan pengetahuan (knowledge gap)

pada tubuh pengetahuan yang sudah ada baik di skala nasional maupun internasional.

Tubuh pengetahuan penelitian ini adalah memori tragedi masa lalu pada jurnalisme

media cetak.

Peneliti berharap penelitian ini dapat berkontribusi untuk: “menunjukkan

konsistensi/inkonsistensi representasi ideologi dan konstruksi frame atas peristiwa

1965/66 pada dua konteks sosial politik yang berbeda yaitu Orde Baru yang mana

hegemoni ingatan Orde Baru sangat kuat dan kedua, Reformasi yang mana dominasi

ingatan warisan Orde Baru masih bertahan namun mulai dilawan. ”

Pada wacana akademik di luar jurnalisme dan media, signifikansi penelitian

ini terletak pada kemampuannya untuk:

(i) Menjelaskan faktor penyebab berubahnya atau bertahannya memori warisan

Orde Baru masih relatif di masyarakat Indonesia pos-Soeharto melalui

perspektif media;

(ii) Menjadi salah satu indikator perubahan sosiologis dan politik atau justru

bertahannya status quo terkait dengan peristiwa 1965/66 sebagaimana yang

terrepresentasi melalui teks media.

Secara sosial, penelitian ini juga diperlukan. Beberapa pihak di masyarakat

menolak pemberitaan Tempo atas peristiwa 1965 yang dianggap menyudutkan

sejumlah elemen Islam di Indonesia.4 Apakah memang seperti itu (menyudutkan

elemen Islam)? Atas pertanyaan itulah penelitian ini bermaksud memberi konstribusi

sosial. Selain itu, manfaat praktis/ strategis penelitian ini adalah:

(i) Memberikan kritik dan masukan kepada media bersangkutan mengenai frame

dan framing memori peristiwa 1965/66 yang muncul, perspektif yang telah

4 “Buku Pengakuan Algojo Diterbitkan” di http://www.beritasatu.com/politik/141422-buku-pengakuan-algojo-1965-diterbitkan.html, dikunjungi pada Senin, 6 Oktober 2014.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84711/potongan/S2-2015... · Pancasila setiap 1 Oktober. 2 Pertama, banyak bukti-bukti fisik seperti jasad-jasad,

6

terwakili dan belum terwakili tentang peristiwa tersebut, serta implikasinya

terhadap peran media dalam perubahan sosial dan politik Indonesia;

(ii) Memberikan masukan kepada pemerintah Indonesia dalam menyusun

kebijakan terkait anti-komunisme di Indonesia dengan memperlihatkan sejauh

mana diskursus tersebut terpotret di media dan perubahan-perubahan sosial

serta politik yang saat ini tengah berlangsung;

(iii) Memperkuat minat dan fokus peneliti pada studi media dan kaum marjinal.

1.6. Tinjauan Pustaka

Penelitian ini didasarkan pada sejumlah tinjauan pustaka terhadap beberapa

isu kajian akademik, yaitu kajian: relasi tragedi silam dan pers Indonesia, berita

retrospektif pada level internasional, dan pendekatan dalam riset berita retrospektif.

Sebagaimana yang telah disinggung pada bagian Latar Belakang, kajian jurnalisme

retrospektif atau studi relasi media dengan memori belum ada di Indonesia. Media

masih dianggap sebagai pencatat peristiwa kontemporer yang kemudian digunakan

para sejarawan untuk mengkonstruksi sejarah (Wardaya, 2013; Hearman, 2013). Hal

itu tidak dibahas pada subba ini. Subbab Tinjauan Pustaka hanya membahas temuan

penelusuran pustaka pada dua batang kajian yaitu kajian berita retrospektif pada level

internasional dan pendekatan untuk riset berita retrospektif selama ini.

Pada kajian berita retrospektif level internasional, riset-riset telah banyak

mendiskusikan relasi produksi teks dengan peristiwa silam dan konten media itu

sendiri dengan peristiwa silam. Pada pendekatan dalam riset berita retrospektif,

tinjauan pustaka menemukan bahwa pendekatan kritis paling jarang digunakan oleh

para peneliti.

Berita umumnya bertolak dari nilai aktualitas yang dipahami sebagai kejadian

atau isu terbaru atau kekinian (present) sehingga berita jarang menghadirkan kejadian

lampau. Berita yang semata-mata mengisahkan kejadian sekarang (present event) itu

–untuk membedakan dari “berita retrospektif” disebut sebagai berita kontemporer

(Simonetti, 2008). Sementara itu, “berita retrospektif” adalah berita yang terbit hari

ini yang menyebut, menyinggung, atau menampilkan peristiwa yang terjadi pada

masa silam dengan perantara memori individual, dan atau artefak sejarah/mnemonik

(Zelizer, 2008; Edy, 2006; Kitch, 2005). Pengertian “peristiwa silam” dalam konteks

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84711/potongan/S2-2015... · Pancasila setiap 1 Oktober. 2 Pertama, banyak bukti-bukti fisik seperti jasad-jasad,

7

berita retrospektif memang bersifat relatif, bisa berarti kejadian tahun lalu atau

puluhan tahun lalu, yang mana poin utamanya adalah “peristiwa silam” itu hanya bisa

‘diakses’ melalui persona-persona yang masih menyimpan memori tersebut maupun

benda-benda mnemonik (perantara memori). Yang jelas, “silam” di sini tidak berarti

peristiwa yang hari atau minggu kemarin baru saja terjadi.

Berdasarkan penelusuran peneliti pada artikel-artikel terkait berita retrospektif

di jurnal internasional Memory Studies, penelitian mengenai berita retrospektif dan

kekerasan masa lalu berkutat pada dua level studi, yaitu pada level produksi teks, dan

teks itu sendiri.

Pada level produksi teks, penelitian Sorensen (2009) mengambil konteks Cile,

negara berkembang yang keadaannya serupa dengan Indonesia. Terhadap media-

media arus utama, penelitian Sorensen (2009) tersebut lebih berfokus pada level

operasi media daripada teks media, yang mana Sorensen (2009) melihat hambatan-

hambatan dan peluang-peluang media arus utama dalam memberitakan kediktatoran

Pinochet pada masa lalu. Ketika kekuasaan Pinochet runtuh di Cile, warisan semangat

kediktatorannya tidak sepenuhnya lenyap dari negara itu sehingga Sorensen (2009)

mengajukan pertanyaan bagaimana warga Cile pada masa sekarang mengatasi era

kediktatoran dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi pada masa lalu

dan bagaimana media berperan dalam perubahan tersebut. Penelitian Sorensen (2009)

tersebut tidak melihat secara khusus bagaimana memori kedikatatoran Pinochet itu

dikonstruksi oleh media dan perubahan konstruksi tersebut dari masa ke masa.

Penelitian bagaimana sebuah peristiwa kerusuhan dibingkai secara berbeda

pada masa terbit berita yang berbeda telah diteliti oleh Jill A. Edy. Dalam

penelitiannya yang berjudul The Troubled Past: News, Collective Memory, and Social

Unrest (Nimkoff, 2009; Meyers, 2007) Edy menyimpulkan semakin otoritas politisi

dalam berita restrospektif kekerasan berkurang, jurnalis memiliki lebih banyak ruang

untuk menunjukkan otoritasnya dalam menyampaikan memori (Nimkoff, 2009).

Penelitian yang menggunakan metode analisis frame dan naratif itu mencermati

adanya ingatan dominan bersumber dari elit-elit politik manakala dominasi elit

berlangsung, dan jurnalis baru lebih longgar menggunakan otoritas jurnalistiknya

manakala perhatian elit politik terhadap krisis di New York (‘Watts riots’) pada 1965

dan Chicago (Chicago Democratioc National Convention) pada 1968. Penelitian Edy

(Nimkoff, 2009) tersebut meski menggunakan istilah “dominasi” dan “elit”, masih

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84711/potongan/S2-2015... · Pancasila setiap 1 Oktober. 2 Pertama, banyak bukti-bukti fisik seperti jasad-jasad,

8

menggunakan perspektif memori sebagai proses negosiasi sosial (Misztal, 2003),

bukan dalam pengertian hegemoni atau konter-hegemoni.5 Selain itu, konteks

peristiwa silam dalam penelitian Edy tersebut tidak ‘berkaitan langsung’ dengan

negara sebagai pelaku kekerasan atau kerusuhan tersebut. Oleh karena itu, perhatian

elit politik yang berkurang dari tahun ke tahun pasca kedua kerusuhan tersebut adalah

hal yang masuk akal.

Berkurangnya perhatian elit politik ‘berkurang’ tidaklah ‘masuk akal’

manakala negara bertanggungjawab langsung terhadap suatu tragedi. Namun

berkurangnya perhatian elit politik itu menjadi ‘masuk akal’ ketika hegemoni politik

dan budaya tengah berlangsung. Pada konteks Indonesia dengan tragedi 1965,

perhatian elit politik ‘berkurang’ disebabkan oleh hegemoni tersebut. Sejauh

penelitian-penelitian yang disebut di atas, belum ada penelitian mengenai bagaimana

suatu tragedi silam diingat oleh pers melalui berita-berita retrospektifnya manakala

negara melangsungkan/tidak melangsungkan hegemoni .

Penelitian-penelitian teks media terkait tragedi silam umumnya -alih-alih

menggunakan pendekatan Teori Kritis- menggunakan pendekatan perspektif negosiasi

(Misztal, 2008), misalnya menggunakan frame-frame yang bertujuan menguatkan

ritual untuk membentuk kembali komunitas, mengakrabkan berita atipikal agar

pembaca lebih mudah memahami, membantu pemulihan, serta menjelaskan peristiwa

atau kondisi kontemporer (Robinson, 2009; Berkowitz dan Raai, 2010; Lorenzo-Dus

& Bryan, 2011; Twomey, 2004).

1.7. Paradigma Penelitian

Paradigma penelitian ini adalah paradigma Teori Kritis. Penelitian ini tidak

menggunakan framing sebagai paradigma penelitian (Entman, 1993) melainkan

framing sebagai program riset (D’Angelo, 2002). Menurut D’Angelo (2002), Entman

5 Memori kolektif dalam jurnalisme retrospektif dipandang sebagai proses negosiasi antara para aktor yang memiliki kepentingan atas memori tersebut. Pandangan tersebut sesuai dengan pendekatan dinamika memori yang dilansir oleh Barbara Misztal (2003). Pendekatan dinamika memori melihat memori kolektif sebagai proses negosiasi yang berlangsung terus menerus sebab aktor-aktor diasumsikan memiliki akses terbatas pada masa lalu dan terbatas pula kuasa aktor untuk menyusun ulang masa lalu berdasarkan kepentingan mereka (Misztal, 2003: 67). Pendekatan dinamika memori yang dijabarkan Misztal (2005) mempertimbangkan bahwa “memori adalah produk kontingen dari aksi aksi-aksi sosial dan politik”.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84711/potongan/S2-2015... · Pancasila setiap 1 Oktober. 2 Pertama, banyak bukti-bukti fisik seperti jasad-jasad,

9

telah melakukan kesalahan berpikir karena ia tidak membedakan “teori” dengan

“paradigma”. Akibatnya, framing seakan dianggap salah satu paradigma penelitian.

Menurut D’Angelo (2002) dengan menggunakan teori dari Thomas Kuhn,

penggunaan paradigma menciptakan sensasi adanya eksklusivitas psikologis yang

memungkinkan para peneliti dapat bersepakat menggunakan definisi, teori, dan

metode tertentu dalam menjalankan suatu penelitian. Oleh karena itu, paparan Entman

(1993) mengenai framing bukanlah framing sebagai paradigma, melainkan teori dan

operasionalisasi konsep framing.

Paradigma itu sendiri merupakan seperangkat keyakinan dasar atau metafisika

yang berhubungan dengan prinsip-prinsip utama dalam memahami natura dunia,

hubungan-hubungan yang mungkin antara dunia dengan individu-individu, atau

dengan kata lain pardigma merupakan kepercayaan (faith) yang tak perlu

dipertanyakan lagi (Guba & Lincoln, 1994: 119). Paradigma dalam penelitian terdiri

dari tiga pertanyaan yang perlu diajukan yaitu pertanyaan ontologis, epistemologis

dan metodologis. Pertanyaan ontologis adalah bentuk dan sifat dasar realitas yang

diteliti; pertanyaan epistemologis adalah sifat hubungan antara peneliti dengan realitas

yang diteliti; sedangkan pertanyaan metodologis adalah bagaimana peneliti dapat

mencari hal yang diyakini yang dapat diketahui tersebut (Guba & Lincoln, ibid.).

Paradigma Teori Kritis adalah salah satu paradigma penelitian yang dijabarkan

oleh Guba & Lincoln (1994) beserta keseluruhan pertanyaan filosofisnya. Menurut

Guba & Lincoln (1994: 110), ontologi paradigma Teori Kritis adalah realisme

historis. Realitas diasumsikan pernah dipahami secara plastis namun seiring dengan

berjalannya waktu, dibentuk oleh faktor-faktor sosial, politik, kultural, ekonomi,

etnik, dan gender lantas terkristalisasi atau terreifikasi menjadi serial struktur yang

saat ini (secara tidak sesuai) dianggap sebagai “real”, apa adanya, dan tak berubah

(Guba & Lincoln, ibid.). Pada aspek epistemologi, paradigma Teori Kritis bersifat

transaksional dan subjektivis. Transaksional berarti terjadi pertukaran nilai antara

peneliti dan pihak yang diteliti (Guba & Lincoln, 2004). Peneliti berupaya memahami

nilai-nilai yang diyakini dan pengalaman pihak yang diteliti dan bahkan menggunakan

nilai-nilai dan pengalaman tersebut untuk mengkritisi ketidakadilan. Subjektivis

berarti interpretasi peneliti atas informasi yang diterimanya dan situasi-situasi yang

diobservasi didasarkan pada subjektivitas peneliti. Implikasi ontologi dan

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84711/potongan/S2-2015... · Pancasila setiap 1 Oktober. 2 Pertama, banyak bukti-bukti fisik seperti jasad-jasad,

10

epistemologi paradigma Teori Kritis yang sedemikian rupa itu mengarah pada tidak

tegasnya batasan pandangan periset dengan objek penelitian (Guba & Lincoln, ibid.).

Pada level metodologis, paradigma Teori Kritis bersifat dialogis dan dialektis.

Karena adanya sifat transaksional penelitian yang membutuhkan adanya dialog antara

investigator dengan subjek-subjek penelitian, dialog tersebut harus dialektikal antara

peneliti dan objek penelitian dengan maksud untuk mengubah pengabaian (objek

penelitian) dan kesalahpahaman (peneliti) menjadi sesuatu kesadaran yang

terinformasi (enlightment) bagi kedua belah pihak (Guba & Lincoln, ibid.). Peneliti

tidak mengklaim kebenarannya sendiri dengan ukuran-ukuran yang ketat dan terbatas

melainkan kebenaran tersebut didapat melalui proses dialektif peneliti dengan objek

penelitian.

Pada level aksiologis, melalui penelitian berparadigma Teori Kritis, struktur-

struktur yang tidak berubah tersebut dapat disadari peneliti maupun objek penelitian

sebagai sesuatu yang mungkin dapat diubah dan mengilhami aksi untuk perubahan.

Secara lebih rinci, Guba & Lincoln (1994) memaparkan posisi paradigma Teori Kritis

terhadap isu-isu praktis sebagaimana yang terlihat pada Tabel 1.1.

Tabel 1.1. Posisi Paradigma pada Isu-isu Praktis Terseleksi menurut Guba & Lincoln (1994:112)

No Isu-isu Paradigma Teori Kritis

1 Tujuan Penelitian Kritik & transformasi; restitusi & emansipasi

2 Sifat Dasar Pengetahuan Pendalaman struktural atau historis

3 Akumulasi Pengetahuan Revisionisme historis; generalisasi atas dasar kemiripan

4 Kriteria Kualitas Ditempatkan pada arus sejarah;keacuhan terhadap

dominasi berkurang; merangsang aksi

5 Nilai-nilai Tercakup-formatif

6 Etika Bersifat intrinstik atau dimiliki oleh peneliti sebagai

sikap langsung atas paradigma yang dipilih (tidak

berasal dari eksternal, seperti dari lembaga profesi)

7 Aspirasi “Intelektual transformatif” sebagai advokat dan aktivis

8 Pelatihan Resosialisasi, kuantitatif dan kualitatif, sejarah, nilai-

nilai altruisme dan pemberdayaan

9 Akomodasi Tidak dapat dikombinasikan

10 Hegemoni Mencari rekognisi dan input

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84711/potongan/S2-2015... · Pancasila setiap 1 Oktober. 2 Pertama, banyak bukti-bukti fisik seperti jasad-jasad,

11

Posisi epistemologis, ontologis, dan metodologis paradigma Teori Kritis

tersebut diaplikasikan ke dalam penelitian. Pada level epistemologis, aplikasi

paradigma Teori Kritis nampak pada penggunaan teori Shoemaker & Reese (1996)

Senada dengan Croteau, Hoynes & Milan (2011), Curran, Gurevitch, dan Woollacott

(2011) untuk menjelaskan hubungan ideologi, lingkungan media, dan media.

Penggunaan teori-teori tersebut juga didasari oleh ontologi perspektif Kritis yaitu

objek penelitian tidak lepas dari realisme historis yang dialaminya. Pada level

metodologis, Teori Frame yang berperspektif Teori Kritis dari Carragee & Roefs

(2004) digunakan untuk membatasi pengertian “frame” dan “hegemoni”. Metode

analisis framing dari Gamson dan Lasch (1983) serta analisis wacana dari Fulton

(2005) yang mana keduanya berperspektif Teori Kritis digunakan dalam penelitian

ini. Implikasi pada metode adalah didalaminya konteks sosial politik pada masing-

masing edisi pemberitaan Tempo Orde Baru dan Reformasi. Selain itu, pada

pembacaan data, peneliti juga menempatkan diri (etik) pada posisi yang setara dengan

pihak yang diteliti (emik) serta bertujuan untuk membongkar status quo yang terdapat

pada ‘objek penelitian’.

1.8. Kerangka Teori

Penelitian ini berargumen bahwa ideologi merupakan sumber kultural bagi

“media dalam mengingat peristiwa lalu”, atau parafrase teknis ilmiahnya adalah

“framing memori kolektif dalam teks media.” Pada sisi lain, ideologi belum tentu selalu

ajeg. Hegemoni ideologi dari suatu kelompok dapat runtuh manakala kuasa berpindah

tangan. Alhasil, bagaimana media memframing peristiwa masa lalu pada suatu konteks

sosial politik secara asumtif akan berbeda pada konteks sosial politik yang lain.

Misalnya, pada konteks politik yang autoritarian, berita-berita tentang tragedi

masa lalu cenderung didominasi oleh framing yang pro-pemerintah. Hal itu barangkali

disebabkan oleh ideologi media yang memang berpihak pada perspektif pemerintah

(media terhegemoni) sehingga narasumber-narasumber yang dipilih adalah narasumber-

narasumber pro-pemerintah dalam berita-berita retrospektifnya. Sebaliknya, pada

konteks politik jelang maupun telah membebaskan pers, ideologi media bertransformasi

dan hal itu tampak pada ideologi dan framing tragedi masa lalu dalam berita-berita

retrospektifnya.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84711/potongan/S2-2015... · Pancasila setiap 1 Oktober. 2 Pertama, banyak bukti-bukti fisik seperti jasad-jasad,

12

Khususnya untuk konteks Indonesia pada masa Orde Baru yang mana

masyarakat Indonesia dipimpin oleh rezim otoritarian, konten media amat dipengaruhi

oleh ideologi penguasa. Secara konseptual, pengaruh itu berlangsung melalui beberapa

cara. Pertama, adanya tekanan-tekanan dari pemerintah sebagai salah satu sponsor

frame terhadap institusi media melalui interaksi media dan jurnalis dalam proses

jurnalistik. Kedua, adanya pemberian makna atas realitas oleh jurnalis dengan

menggunakan nilai-nilai dan common sense yang beredar di masyarakat. Alhasil, pada

level teks, frame dan ideologi elit mendominasi wacana peristiwa 1965/66 dan PKI.

Pada konteks sosial politik Reformasi yang lebih membebaskan pers, terdapat

dua kemungkinan jurnalis mengkonstruksi memori kolektif 1965 dan PKI. Pertama,

jurnalis dapat mengkonstruksi frame berdasarkan ideologi media bersangkutan,

terutama hal tersebut dapat terlihat melalui prinsip objektivitas dan interaksi media

dengan sponsor-sponsor frame. Bahkan media atas kesadaran ideologinya tersebut

Tempo dapat melakukan perlawanan hegemoni memori elit tertentu dengan

menonjolkan memori kolektif yang pada Orde Baru terpinggirkan. Penelitian ini

berposisi bahwa pada Reformasi Tempo berupaya agar citra-citra yang ia sebarkan

dapat diterima oleh masyarakat sehingga media selalu melakukan intervensi atas

ideologi-ideologi yang tampil. Intervensi media itu sendiri juga merupakan ideologi

(Croteau & Hoynes, 2003.). Kemungkinan kedua adalah, jurnalis menganggap memori

kolektif alternatif tersebut sebagai sebuah devian alih-alih sebagai suatu upaya merevisi

hegemoni memori Orde Baru sehingga memori kolektif alternatif tetap terpinggirkan.

Ideologi atau nilai-nilai dan kuasa-kuasa yang menggerakkan proses

pembentukan teks media juga ditegaskan oleh Shoemaker & Reese (1996). Media,

menurut Shoemaker & Reese (1996:212), berfungsi secara ideologis, artinya media

beroperasi menurut ideologi atau mekanisme simbolik yang berperan menjadi dorongan

kohesif dan pemersatu di masyarakat. Berdasarkan ideologi tersebut, media melakukan

“pendefinisian situasi” dan memberikan label pada kelompok-kelompok maupun

individu-individu yang dianggap devian. Sebagai sebuah nilai, ideologi bekerja pada

suatu konteks masyarakat pada tataran paling abstrak dan hal tersebut digambarkan

oleh Shoemaker & Reese pada lapisan terluar dalam teori faktor-faktor pengaruh

konten media.

Menurut Shoemaker & Reese (Perry, 2002: 104), terdapat lima faktor yang

mempengaruhi konten media: para pekerja media, rutinitas media, organisasi media,

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84711/potongan/S2-2015... · Pancasila setiap 1 Oktober. 2 Pertama, banyak bukti-bukti fisik seperti jasad-jasad,

13

individu-individu dan organisasi-organisasi non media serta ideologi (lihat Diagram

1.1). Kategori-kategori tersebut ditata secara hirarkis dan setiap kelompok dipengaruhi

oleh kelompok yang melingkarinya yang mana ideologi terletak pada posisi terluar atau

puncak atau secara teoritis mempengaruhi kategori-kategori lainnya.

Pengaruh umum pada lapis pertama terdekat dengan konten berita berasal dari

karakteristik, sikap dan pengalaman-pengalaman individu-individu pekerja berita yang

menurut Shoemaker & Reese merupakan faktor pengaruh tidak langsung terhadap

konten berita (Perry, ibid.). Dalam model Shoemaker & Reese tersebut, rutinitas, cara-

cara mapan pekerja media dalam melaksanakan tugas-tugasnya, mempengaruhi berita

dalam cara mendefinisikan apa yang disebut dengan berita, nilai-nilai berita, dan peran-

peran individual para pekerja media (Perry, 2002: 104).

Diagram 1.1. Model hirarkis faktor-faktor berpengaruh atas konten media

Level organisasional menghambat pekerja dan rutinitas media melalui wewenang yang

dimiliki oleh pemilih media untuk membangun, misalnya, kebijakan redaksional (Perry,

ibid.). Tekanan-tekanan ekstra-media mempengaruhi konten media ketika pemerintah

mengatur kerja-kerja media atau kelompok-kelompok kepentingan melancarkan

tekanan (Perry, ibid.). Terakhir, ideologi mempengaruhi konten berita yang bisa

diamati dengan misalnya media meletakkan sebagian kelompok di luar arus utama dan

kelompok tersebut menerima liputan yang kurang menyenangkan (Perry, 2002:105).

Ideologi yang dominan di masyarakat juga tercermin pada struktur-struktur

kepemilikan, yang kemudian hal itu mempengaruhi konten (Perry, ibid.).

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84711/potongan/S2-2015... · Pancasila setiap 1 Oktober. 2 Pertama, banyak bukti-bukti fisik seperti jasad-jasad,

14

Pemikiran Shoemaker & Reese (1996), bahwa faktor-faktor ekstramedial

berpengaruh pada pembentukan teks tersebut, selaras dengan pemikiran bahwa teks

dapat dicermati melalui berbagai sudut pandang, yaitu teks sebagai refleksi produser,

teks sebagai refleksi preferensi audiens, teks sebagai refleksi masyarakat secara umum,

dan teks sebagai pengaruh terhadap audiens, maupun teks sebagai teks yang swa-

tertutup (self-enclosed text) (Croteau, Hoynes & Milan, 2011: 188-189). Bertolak dari

pemikiran Croteau, Hoynes & Milan (2011) tersebut, lokus penelitian ini terletak pada

level teks sebagai refleksi masyarakat secara umum. Sebagai refleksi masyarakat

secara umum, konten teks mencerminkan norma-norma, nilai-nilai, dan kepentingan

masyarakat secara umum. Karena teks dilihat sebagai representasi ideologi masyarakat

secara umum, penelitian teks perlu bergerak ke arah melampaui teks itu sendiri.

Dengan kata lain, untuk mencermati adanya hubungan teks dengan ideologi

masyarakat, pengamatan terhadap proses pembentukan teks perlu dilakukan.

Senada dengan Croteau, Hoynes & Milan (2011), Curran, Gurevitch, dan

Woollacott (2011) menyatakan konten media merupakan hasil dari hubungan simbiosis

organisasi media dengan lingkungannya. Menurut Curran, Gurevitch, & Woollacott

(2011:15) sebagian studi pada institusi media memiliki fokus pada ekstra-

organisasional yaitu memeriksa hubungan media dengan struktur-struktur dan

kepentingan-kepentingan di lingkungan mereka. Pengamatan anteseden teks tersebut

menurut Curran, Gurevitch, & Woollacott (ibid.) terutama difokuskan pada bagaimana

media memilih dan memanfaatkan ‘bahan-bahan mentah’ untuk konten media. Dalam

pandangan Marxis, institusi media secara relatif sekaligus marginal merupakan institusi

yang otonom. Media dianggap terkunci dalam struktur kuasa dan karenanya beroperasi

selaras dengan institusi-institusi dominan di masyarakat. Media mereproduksi

pandangan-pandangan dominan sebagai sesuatu yang sentral dan ‘alamiah’ (Curran,

Gurevitch, Woollacott (2011: 16). Oleh karena itu, bagaimana media memilih dan

memanfaatkan ‘bahan-bahan mentah’ untuk konten media tersebut berlangsung dalam

struktur kuasa.

Konsekuensi dari adanya proses anteseden teks sebagai refleksi ideologi

masyarakat itu adalah penelitian konten teks media alih-alih hanya terpaku pada

konstruksi frame secara tekstual, melainkan hingga pada level rutinitas institusi media,

yaitu terutama pada aspek bagaimana profesional media berinteraksi dengan sumber-

sumber eksternal (Shoemaker & Reese, 1996: 122) dalam mendapatkan ‘bahan-bahan

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84711/potongan/S2-2015... · Pancasila setiap 1 Oktober. 2 Pertama, banyak bukti-bukti fisik seperti jasad-jasad,

15

mentah’ untuk konten media. Titik interaksi profesional jurnalis dengan sumber-sumber

media merupakan titik krusial dalam mencermati sejauh mana pihak-pihak dominan di

luar organisasi media dapat mempengaruhi media. (Pihak-pihak di luar organisasi

media selanjutnya dipertukarkan dengan istilah ‘sponsor frame’). Penggambaran model

berpikir Shoemaker & Reese (1996) mengenai relasi teks, konteks media, dan sosial

politik dalam diagram linear adalah sebagai berikut:

Diagram 1.2. Relasi Teks, Konteks Organisasi Media, & Sosial Politik

III: Konteks Sosial Politik

Memori, Ideologi

Hegemonik

II: Konteks Organisasi Media:

Interaksi organisasi media-narasumber, Prinsip-

prinsip jurnalistik, judgment-judgment, memori dan

pandangan jurnalis

I: Teks Retrospektif

Frame dan ideologi media

atas PKI dan peristiwa

1965

Oleh karena itu, secara khusus perlu ditegaskan bahwa fokus penelitian ini

adalah konstruksi frame dan ideologi media pada teks retrospektif peristiwa 1965/66

dan PKI yang mana frame dan ideologi tersebut diselidiki melalui analisis teks dan

wawancara terhadap para jurnalis terutama pada aspek prinsip objekivitas dan interaksi

para jurnalis Tempo dengan sponsor-sponsor frame. Pendetailan hubungan memori

kolektif, frame, dan hegemoni terkait teks retrospektif dibahas secara lebih rinci pada

Bab II. Pada Bab ini, penulis memaparkan relasi tiga elemen yang membangun gagasan

penelitian ini yaitu frame media dan hegemoni terutama dalam kaitannya dengan

konteks organisasi media dan sosial politik.

1.8.1. Relasi Media, Ideologi, dan (Counter) Hegemoni

Istilah ideologi seringkali digunakan namun konsep itu paling kontroversial dan

jarang mendapatkan titik sepakat dalam ilmu sosial-humaniora (Gerring, 1997). Orang

kerap menghubungkan ideologi dengan –isme-isme seperti rasisme, anti-rasisme,

komunis, anti-komunis, ‘kesadaran palsu’, dominasi kelas dominan, dan seterusnya

(Van Dijk, 1998; Altheide, 1984). Purvis & Hunt (1993) mengakui pendapat Jorge

Larrain bahwa ideologi kerap diterjemahkan dalam konsepsi ‘negatif’ yaitu suatu

bentuk kesadaran yang memberikan suatu penggambaran yang tidak cukup, atau

terdistorsi, baik karena mengabaikan atau merepresentasikan dengan tidak tepat sesuatu

hal (Purvis & Hunt, 1993: 477).

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84711/potongan/S2-2015... · Pancasila setiap 1 Oktober. 2 Pertama, banyak bukti-bukti fisik seperti jasad-jasad,

16

Secara mendasar, ideologi merupakan sistem makna yang membantu

mendefinisikan dan menjelaskan dunia dan membuat penilaian-penilaian bobot tentang

dunia, serta terkait dengan konsep seperti pandangan dunia, sistem keyakinan, dan

nilai-nilai namun lebih luas daripada itu (Croteau, Hoynes, & Milan, 2011: 153).

Ideologi tidak semata-mata mengenai politik, melainkan keyakinan-keyakinan

mengenai cara-cara mendasar bagaimana dunia dipahami (Croteau, Hoynes & Milan,

ibid.). Para pemikir Marxis terutama mendefinisikn ideologi sebagai sistem-sistem

keyakinan yang membantu membenarkan aksi-aksi mereka yang berada di kekuasaaan

untuk melakukan misrepresentasi atas realitas (Croteau, Hoynes & Milan, ibid.). Oleh

karena itu, ideologi sangat mungkin menyajikan realitas yang terdistorsi dan

menguntungkan kelompok tertentu.

Dalam kecenderungan Marxis ortodoks, “ideologi” secara tipikal terkait dengan

bentuk-bentuk kesadaran yang mengarahkan orang untuk berjuang untuk membela

kepentingan-kepentingannya (Purvis & Hunt, 1993: 476). Ideologi diciptakan oleh

mereka yang berada di puncak masyarakat dan didistribusikan ke seluruh masyarakat

yang dicekoki dengan gambaran palsu tentang dunia dan media menjadi kendaraan bagi

reproduksi ideologi dominan (Williams, 2003: 147). Ideologi seakan tidak semata-mata

terkonstruksi secara sosial, melainkan mengandung aspek direksionalitas, yaitu

menguntungkan suatu pihak dan merugikan pihak lain (Purvis & Hunt, 1993: 478).6

Ideologi dalam konsepsi ini seakan-akan sudah hampir pasti dimiliki oleh sebagian

kelompok untuk mendominasi kelompok lain.

Pada kajian media, ketertarikan para sarjana terhadap isu ideologi terletak pada

upaya untuk membandingkan konten media dengan dunia “real”, yaitu “realitas” siapa

dan bagaimanakah “realitas” itu didefinisikan oleh media, dan menanyakan apa yang

disampaikan pesan-pesan media tentang diri kita dan masyarakat kita (Croteau,

Hoynes, Milan, 2011: 154). Croteau & Hoynes (2003) memaparkan setidaknya terdapat

dua kecenderungan pendapat mengenai media dan ideologi. Pertama, media

mengistimewakan seperangkat ide sementara mengabaikan yang lainnya, serta menjadi

pembawa pesan ideologis dari faksi dominan yaitu elit ekonomi dan politik ke

6 Oleh karena itu, Purvis & Hunt (1993, ibid.,) menambahkan, dalam proyek kritis teori ideologi lebih tertarik untuk menjelaskan bagaimana bentuk-bentuk kesadaran yang dihasilkan oleh pengalaman hidup kelas-kelas maupun kelompok sosial subordinat memfasilitasi reproduksi relasi-relasi sosial yang telah ada yang akhirnya tanpa disadari justru semakin mengaburkan subordinasi yang mereka alami. Kepentingan-kepentingan kelompok tertentu dapat terdisasosiasi dari lokasi spesifik mereka dan tampil menjadi sesuatu yang universal, natural, yang memelihara relasi-relasi sosial yang sudah ada (Purvis & Hunt, 1993 478.).

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84711/potongan/S2-2015... · Pancasila setiap 1 Oktober. 2 Pertama, banyak bukti-bukti fisik seperti jasad-jasad,

17

masyarakat7; dan kedua, media menjadi ruang bertarung ideologi atau -menggunakan

istilah Croteau & Hoynes- perang atau kontradiksi budaya (cultural warfare/

contradictions) berlangsung (Croteau & Hoynes, 2003: 161).

Bentuk pertama hubungan media dan ideologi yang disebut Croteau & Hoynes

(2003) tersebut bertolak dari tradisi kritis Althusserian yang mengasumsikan media

mereproduksi ideologi dominan (Williams, 2003: 150). Dalam pengertian Althusserian,

ideologi merupakan representasi hubungan imajiner antara individu-individu dengan

kondisi real atas eksistensi mereka dan media memproduksi gambaran imajiner atas

kondisi-kondisi real kapitalisme ke audiens dengan maksud untuk menutupi eksploitasi

nyata kapitalis (Williams, 2003: 148). Sayangnya, tradisi Althusserian tidak dengan

tegas menjelaskan hubungan antara ideologi dominan dan wacana (Hall, 2005: 74).

Selain itu, pembacaan Althusser yang anti-humanis atas Marx memarjinalkan

kemungkinan-kemungkinan agensi manusia (human agency) (karena subjek-subjek

semata-mata terreproduksi melalui berfungsinya aparat ideologis negara (ideological

state apparatuses)), dan mencipttakan bifurkasi antara ilmu (marxisme) dan ideologi

(humanisme) (Mumby, 1997: 365). Media, dalam logika Althusserian, merupakan salah

satu aparat ideologis negara yang semata-mata mereproduksi relasi kapitalis, pasif, dan

tidak mempertanyakan ideologi dominan (Mumby, 1997: 352).

Bentuk yang kedua dari paparan Croteau & Hoynes (2003) tersebut bertolak

dari tradisi kritis Gramscian yang masih melihat media memiliki peran dinamis dalam

memelihara hegemoni ataupun justru mendorong transformasi sosial (Williams, 2003.).

Pandangan Gramscian menolak ideologi borjuis menjadi dominan dengan kesediaan

(consent) dari pihak subordinat begitu saja, melainkan melalui hegemoni ideologi yaitu

kemampuan kelas pemimpin untuk mendapatkan kesediaan dari kelas subordinat

melalui proses negosiasi pandangan dan kepentingan maupun paksaan pada momen-

momen krisis agar keinginan kelas dominan tetap stabil tercapai (Williams, 2003: 150).

Pada pandangan Gramscian tersebut, media menjadi alat hegemoni elit atas kelompok

subordinat yang terus dipelihara dan diamankan meski juga terus dilawan oleh

hegemoni tandingan (counter-hegemony) (Williams, 2003: 150).

Sebelum beranjak lebih jauh mendiskusikan mengenai hegemoni dan resistensi

ideologi, apakah pengertian “hegemoni”? Pembahasan mengenai hegemoni (dan juga

7 Faksi dominan di masyarakat adalah kelompok-kelompok di masyarakat yang secara struktural memiliki akses lebih atas sumber-sumber daya politik dan ekonomi.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84711/potongan/S2-2015... · Pancasila setiap 1 Oktober. 2 Pertama, banyak bukti-bukti fisik seperti jasad-jasad,

18

resistesi) mengikuti skema dari Leslie T. Good bahwa terdapat dua penggunaan istilah

hegemoni oleh para teoris sosial, yaitu (1) hegemoni sebagai teori kepatuhan (consent),

yang terfokus pada proses; dan (2) sebagai strategi politik, atau cara untuk mengakses

titik-titik perjuangan (1997: 517). Dalam penelitian ini, hegemoni dipahami sebagai

teori kepatuhan (consent).

Istilah hegemoni melampaui pemikiran kaum pluralis atas ide bahwa integrasi

sosial didapat melalui konsensus. Dalam perspektif hegemoni, bagaimana konsensus

diproduksi, siapa yang memproduksi, dan bagaimana kelompok-kelompok yang

dikuasai memberikan kepatuhan dengan sukarela kepada aturan pihak yang lebih kuat

(Good, 1997: 517). Konsep hegemoni memperbarui gagasan “dominasi” yang tak lagi

sebatas dalam bentuk koersi melainkan melalui proses yang lebih kompleks, subtil, dan

dinamis. Dalam pandangan Gramsci, hegemoni tidaklah pernah terbentuk sekali dan

selamanya melainkan selalu dalam proses negosiasi dan kontestasi di mana kelompok

penguasa selalu melunakkan kontradiksi-kontradiksi kelas dan menginkorporasi

tekanan-tekanan dan kelompok-kelompok yang secara potensi oposisional (Golding &

Murdock, 1997:526).

Menurut Gramsci, kelompok penguasa (ruling groups) dapat memelihara kuasa

mereka melalui paksaan seperti melalui militer dan kepolisian yang dapat melakukan

upaya kekerasan fisik atau ancaman kekerasan agar masyarakat tetap patuh; dan adanya

kepatuhan ideologi, atau kombinasi keduanya (Croteau, Hoynes, & Milan, 2011, Louw,

2001). Kepatuhan (consent) merupakan kata kunci konsep hegemoni Gramscian.

Menurut Gramsci, kuasa dapat diupayakan pada level budaya atau ideologi sebab pada

level budaya atau ideologi tersebut, kelompok penguasa secara aktif berupaya

pandangan dunia mereka diterima oleh masyarakat secara sukarela sebagai cara

berpikir universal yaitu melalui institusi-institusi seperti sekolah, agama, dan media

(Croteau, Hoynes, Milan, 2011: 159-160).

Hegemoni beroperasi pada common sense dalam asumsi-asumsi yang disusun

masyarakat tentang kehidupan sosial dan lansekap hal-hal yang dianggap sebagai

sesuatu yang “alamiah” dan “memang seperti itu sejak semula.” Masyarakat tidak

mengkritisi dan mengavaluasi common sense dan “semua orang sudah tahu”, atau

setidaknya semestinya tahu, sebab common sense tersebut berakar dalam pada

keyakinan-keyakinan kultural. Seringkali masyarakat menggunakan retorika common

sense untuk menghindari pendekatan-pendekatan alternatif yang melawan asumsi-

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84711/potongan/S2-2015... · Pancasila setiap 1 Oktober. 2 Pertama, banyak bukti-bukti fisik seperti jasad-jasad,

19

asumsi dasar tentang bagaimana sesuatu itu bekerja. Gramsci mengingatkan bahwa

cara-cara efektif untuk menguasai adalah melalui pembentukan asumsi-asumsi common

sense (Croteau, Hoynes, Milan, ibid.). Jadi, ketika seseorang menerima suatu common

sense, artinya ia juga menerima seperangkat keyakinan, ideologi mengenai relasi-relasi

sosial yang ada di masyarakat bersangkutan sebagai sesuatu yang natural. Natural atau

alamiah berasal dari kata “nature” atau “alam” yang dianggap sebagai sesuatu di luar

kontrol manusia, lebih awet dan stabil, bukanlah berdasarkan konstruksi sosial apalagi

dikreasi oleh masyarakat (Croteau, Hoynes & Milan, ibid.). Apabila struktur-struktur

sosial dan relasi-relasi sosial dianggap natural, struktur dan relasi tersebut telah

dianggap sebagai sesuatu yang permanen dan absah sehingga tidak lagi terkontestasi

(uncontested) (Croteau, Hoynes, & Milan, ibid.).

Pada pengertian hegemoni sebagai sebuah proses negosiasi kepatuhan,

perspektif Gramscian memandang media berperan sebagai produser, pemelihara,

sekaligus pelawan hegemoni. Media sebagai pelawan hegemoni bersifat kasuistik.

Secara umum, media mengadopsi asumsi-asumsi berdasar pada pandangan-pandangan

common sense yang diketahui banyak orang sehingga representasi media -meski tak

sepenuhnya tertutup dari perlawanan, cenderung mereproduksi nilai-nilai yang

memelihara hegemoni (Croteau, Hoynes, & Milan, ibid.).

Terinspirasi oleh Gramsci, Stuart Hall menegaskan bahwa media massa

merupakan salah satu situs prinsipal untuk kepemimpinan budaya, kerja hegemoni,

dipraktekkan. Hall menolak gagasan Althusserian yang menempatkan media sebagai

corong kelas dominan semata, dan juga menolak sebagian gagasan Gramscian yaitu

pada aspek media sebagai ruang kontestasi belaka (Williams, 2003.). Menurut Hall,

media membingkai realitas dalam cara yang melayani kepentingan-kepentingan kelas

dominan atau disebut Hall sebagai efek hegemonik media (Williams, ibid.). Media

terlibat dalam politik sigfnifikasi yaitu media memproduksi citra-citra dunia yang

memberikan suatu peristiwa makna-makna tertentu (Croteau, Hoynes & Milan, 2011.).

Media tidak semata-mata merefleksikan dunia, melainkan merepresentasikan dunia;

tidak sekadar mereproduksi “relitas dunia di luar sana”, melainkan media terlibat dalam

praktek-praktek yang medefinisikan dunia. Stuart Hall menegaskan representasi

mengindikasikan adanya kerja aktif memilih dan menyajikan, menyusun struktur dan

membentuk realitas, tidak semata-mata mentransmisikan makna yang kadung eksisting,

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84711/potongan/S2-2015... · Pancasila setiap 1 Oktober. 2 Pertama, banyak bukti-bukti fisik seperti jasad-jasad,

20

melainkan menjadi buruh aktif yang membuat sesuatu menjadi bermakna (Croteau,

Hoynes, & Milan, ibid.).

Menurut Stuart Hall, konsep hegemoni menjadi penting dalam studi-studi

komunikasi karena media bukanlah aktor sosial yang otonom atau bersifat reflektif atas

dominasi ideologi maupun konsensus, melainkan media menjadi aktor pemain dalam

produksi kepatuhan –sesekali bebas dari kontrol langsung kelompok-kelompok sosial

berkuasa sementara media juga terpasung untuk bekerja pada keterbatasan-keterbatasan

dan kondisi-kondisi yang tidak mereka pilih dan kontrol sendiri (Good, 518). Media

cenderung memberikan dukungan pada opini yang sudah terbangun dengan mapan

(yang mana mereka bantu pula untuk mapan) namun tidak karena paksaan dan

sebaliknya, tidak pula tidak problematis (Good, ibid.). Kecenderungan media

mereproduksi kemapanan dibuktikan oleh Todd Gitlin yang menunjukkan bahwa media

menggunakan perangkat framing konvensional untuk memarginalkan gerakan politik,

konflik sosial direproduksi dalam definisi realitas yang “common sense” (Good, ibid.).

Asumsi dasar hegemoni adalah hegemoni bukanlah keadaan yang statis dan

final. Gramsci menunjukkan bahwa selalu ada pihak-pihak di masyarakat yang

mungkin akan melawan ideologi hegemonis, berupaya mengubah sejarah, dan

mempertanyakan konsepsi-konsepsi dunia yang beredar di masyarakat. Penguasa yang

berupaya mempertahankan kuasa berupaya membawa stabilitas dan legitimasi untuk

menginkorporasi tekanan-tekanan oposisi ke dalam kerangka ideologi dasar (Croteau,

Hoynes, & Milan, 2011: 162). Menurut Gramsci, kerja ideologis melalui

kepemimpinan kultural (cultural leadership) adalah keharusan yang selalu berlanjut

terus menerus sebab kesediaan menerima common sense dan relasi sosial dan struktur

sosial yang dianggap natural harus dipelihara (Croteau, Hoynes, Milan, 2011: 161).

Pengalaman aktual masyarakat akan mengarahkan mereka untuk mempertanyakan

asumsi-asumsi ideologi dominan sebab masyarakat adalah agen-agen aktif dan penuh

kontradiksi sehingga hegemoni tidak akan pernah utuh atau menjadi final (Croteau,

Hoynes, Milan, ibid.). Karena pengalaman aktual masyarakat bisa jadi bersifat

kontradiktif dengan hegemoni, dominasi selalu menjadi sasaran untuk ditentang dan

dilawan. Ketika suatu ideologi kuat menghegemoni masyarakat, hadirnya wacana-

wacana dan praktek-praktek alternatif yang hidup pada wilayah-wilayah marginal

sudah cukup bagus (Louw, 2001:122).

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84711/potongan/S2-2015... · Pancasila setiap 1 Oktober. 2 Pertama, banyak bukti-bukti fisik seperti jasad-jasad,

21

Laiknya kehidupan, hegemoni memang memiliki daur hidup: ia tumbuh, menua,

dan melemah, dan pada saat-saat lemah itu suara-suara alternatif memiliki kesempatan

untuk hadir menyisipkan ideologinya. Menurut Louw (2001), hegemoni-hegemoni

berada pada saat terlemah justru ketika mereka setelah dilahirkan yaitu ketika mereka

telah menaturalisasikan wacana-wacana dan praktek-praktek, dan sebelum mereka

konsolidasikan cengkeraman mereka pada mekanisme-mekanisme kontrol di

masyarakat, juga saat ketika mereka menua dan lemah. Saat-saat lemah itu dapat dibaca

kelompok-kelompok oposisi ketika kelompok-kelomok dominan ‘mengkomunikasikan’

kelemahan itu, yaitu saat-saat di mana kelompok dominan kehilangan kapasitas untuk

membentuk agenda intelektual, menegosiasikan kesepakatan-kesepakatan maupun

aliansi-aliansi baru, mengawasi aneka ‘ranah’ di masyarakat (Louw, ibid.).

Kehadiran dan tumbuhnya celah-celah komunikatif di mana dominasi terpeleset

memberi daya pada pandangan-pandangan alternatif untuk mengkoloni ruang-ruang

komunikatif. Perlawanan (dan wacana-wacana dan praktek-praktek alternatif) baru

menjadi masalah atau menjadi dengan serius menantang kelompok hegemonik— hanya

pada momen-momen genting dan rawan (Louw, 2001:123). Atau, menurut Louw

(ibid.), hegemoni-hegemoni terlempar ketika terdapat kelompok-kelompok eksternal

yang lebih kuat yang memilih untuk mengintervensi atau menyingkirkan hegemoni

melalui perang atau sangsi-sangsi ekonomi. Menggunakan kelompok kuat eksternal

untuk bertindak atas nama kelompok resisten dapat mungkin terrealisasi ketika

kelompok resisten terlalu lemah untuk secara serius menentang kuasa kelompok

dominan (Louw, ibid.).

Meski media bukan aktor sosial yang otonom dari dominasi ideologi maupun

konsensus, media dapat berrelasi dengan aktor sosial yang lain dalam bentuk media

digunakan oleh pihak penguasa untuk memelihara hegemoni, atau sekaligus digunakan

oleh kelompok resisten untuk melakukan counter-hegemony. Terkait dengan upaya-

upaya perlawanan dalam proses memelihara hegemoni ideologi, terdapat beberapa

bentuk hubungan media dengan hegemoni sebagai strategi politik. Pertama, penguasa

mempertahankan kuasa atas media pada krisis hegemoni. Hall meyakini bahwa pada

saat terjadi ‘krisis hegemoni’, kelas penguasa menggunakan media untuk

memenangkan kerelaan populer demi menguatkan kontrol atas negara dan legislasi

(Williams, 2003: 151). Hal itu dapat dilakukan karena menurut Hall, akses dan

preferensi media pada situasi krisis hegemoni tersebut adalah penguasa yang menjadi

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84711/potongan/S2-2015... · Pancasila setiap 1 Oktober. 2 Pertama, banyak bukti-bukti fisik seperti jasad-jasad,

22

pemakna utama atas realitas bukan media (karena media memegang peran kedua)

(Williams, ibid.). Kedua, gerakan counter-hegemony berupaya melawan secara

fundamental pengeloaan institusional kuasa dan dominasi yang eksisting untuk secara

radikal mengubah masyarakat. Karena itu, proyek konter-hegemoni apa pun bentuknya

harus membangun politik media (Golding & Murdock, 1997: 526). “Teori artikulasi”

Hall mengingatkan bahwa melalui media, transformasi kultural dan adanya tawanan-

tawanan politik baru dapat muncul.

Secara umum, media menampilkan makna atas konten dalam cara yang

dianggap media disukai massa dominan meski begitu makna tersebut tidak selalu

tampil sendiri tanpa adanya alter. Media memproduksi ‘cara membaca yang disukai’

(preferred reading) mengenai apa yang sedang terjadi, bersama dengan makna-makna

yang lain sehingga ada kemungkinan kontrol hegemoni dapat terlepas dan kelas

penguasa harus bertarung untuk memastikan ‘preferred meaning’ atas peristiwa terus

diproduksi dan dipelihara (Williams, 2003.). Pada titik bahwa terjadi perebutan makna,

media merupakan bagian dari strategi politik kelompok-kelompok yang bertarung yaitu

digunakan oleh kelompok dominan dan subordinat untuk memelihara hegemoni dan

melakukan konter-hegemoni.

1.8.2. Frame & Hegemoni: Dua Tesis Saling Melengkapi

Carragee & Roefs (2004) membedakan pengertian frame dan framing. Dalam

tradisi kritis, frame dapat didefinisikan sebagai “hasil dari kerja-kerja jurnalistik untuk

melaporkan peristiwa-peristiwa berdasarkan nilai-nilai yang dianut oleh elit-elit

ekonomi dan politik” (D’Angelo, 2002: 876). Menurut Carragee & Roefs (2004: 215-

216), frame adalah pola pengorganisasian kisah-kisah berita dan wacana-wacana lain

melalui proses seleksi, penjabaran, interpretasi, dan eksklusi yang mana proses

ideologis-struktural tersebut melibatkan jurnalis, organisasi media, dan sumber-sumber

berita.

Bagi Carragee & Roefs (2004), adalah mustahil frame terlepas dari framing.

Framing melibatkan pemilihan beberapa aspek dari realitas dan mengubungkan realitas

tersebut menjadi suatu naratif yang mempromosikan interpretasi tertentu. Menurut

Entman (1993: 51), framing adalah: ....essentially involves selection and salience. To frame is to select some aspects of aperceived reality and make them more salient in a communicating text, in such a

Page 23: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84711/potongan/S2-2015... · Pancasila setiap 1 Oktober. 2 Pertama, banyak bukti-bukti fisik seperti jasad-jasad,

23

way as to promote a particular problem definition, causal interpretation, moral evaluation, and/or treatment recommendation for the item described.

Oleh karena framing merupakan apa yang dikatakan dan bagaimana menyampaikan

informasi menjadi sesutu yang koheren pada teks berita tertentu, frame bisa menjadi

petunjuk atas jejak-jejak (imprints) dari kuasa dominan pada suatu wacana (Carragee &

Roefs, 2004: 222).

Penekanan lain yang dilakukan oleh Carragee & Roefs (2004) adalah framing

itu sendiri justru tidak memberi keistimewaan pada jurnalis untuk melakukan proses itu

sendirian dan vakum secara politis dari dunia sekitar. Frame media terbentuk melalui

pertarungan frame-frame para sponsor atau aktor-aktor sosial lain seperti para politisi,

organisasi-organisasi, dan gerakan sosial (Carragee & Roefs, 2004: 216). Konsekuensi

hal itu adalah frame menurut Carragee & Roefs (ibid.) bersifat ajeg sekaligus dinamis.

Suatu frame dapat berangsur hilang terselip pada perubahan sosial dan politik. Jurnalis

terus menerus mendefinisikan isu dari waktu ke waktu dan para sponsor frame dapat

merestrukturisasi isu frame tergantung pada kondisi-kondisi sosial politik, frame

berkembang: suatu frame bisa menjadi sorotan, frame lain dapat tenggelam.

Carragee & Roefs (2004: 216-217) menulis bahwa distribusi kuasa ekonomi,

sosial, dan politik mempengaruhi dukungan frame (frame sponsorships) dan kontes

frame. Oleh karena itu, --mengikuti asumsi paradigma Teori Kritis bahwa distribusi

kuasa di masyarakat bersifat asimetris meski tak selalu pada pihak yang sama,

sangatlah mungkin bahwa frame media merupakan frame dari sponsor yang paling dan

sedang berkuasa. Dengan kata lain, hubungan hegemoni dengan framing amatlah dekat,

yang sayangnya hal itu jarang menarik minat peneliti (Carragee & Roefs).

Menurut Carragee & Roefs (2004:222), tesis hegemoni dan tesis framing saling

melengkapi melalui dua aspek. Pertama, tesis hegemoni media secara langsung

menghubungkan proses framing dengan adanya unsur-unsur kuasa serta memeriksa

hubungan-hubungan antara media berita serta perubahan sosial. Mempelajari proses

framing dalam konteks produksi, distribusi, dan interpretasi makna-makna hegemonik

memungkinkan peneliti untuk menemukan hubungan media berita dengan relasi kuasa

pada suatu masyarakat (Carragee & Roefs, ibid.). Pada proses framing tersebut,

kontestasi ideologi tengah berlangsung atau hegemoni ideologi mengambil posisi yang

strategis dalam mensignifikasi peristiwa. Hubungan tesis hegemoni dan framing

tersebut secara generik dapat dicontohkan melalui tuturan Croteau, Hoynes, & Milan

Page 24: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84711/potongan/S2-2015... · Pancasila setiap 1 Oktober. 2 Pertama, banyak bukti-bukti fisik seperti jasad-jasad,

24

(2011:106-107) bahwa ketergantungan reporter penambat (embedded reporters) pada

sumber-sumber militer Amerika Serikat selama di medan perang mengakibatkan

reporter mengidentifikasi masalah dan melakukan framing berita dari perspektif tentara

AS daripada pengamat yang tak berkepentingan. Dengan kata lain, proses dalam

jurnalisme menambat (embedded journalism) tersebut telah mengarahkan jurnalis untuk

memframing peristiwa berdasarkan frame militer AS.

Gagasan adanya faktor kuasa dalam pembentukan frame (Carragee & Roefs,

2004) itu serupa dengan tesis hegemoni mengenai pemaknaan. Hall (2005:73)

menyatakan bahwa peristiwa yang sama dapat dimaknai (signified) dalam beragam

cara. Pemaknaan atau signifikasi tersebut melibatkan bentuk-bentuk kerja (form of

labour), upaya-upaya spesifik, yaitu kerja dan upaya dalam memproduksi makna.

Pemaknaan, karenanya, tidak ditentukan oleh struktur realitas itu sendiri, melainkan

kondisional tergantung pada signifikasi yang berhasil dilakukan dalam praktek sosial.

Dengan kata lain, makna yang disematkan pada peristiwa bersifat kontingen,

bergantung pada relasi kuasa antara media dengan institusi-institusi sosial, politik, dan

ekonomi eksternal, yang mana dalam logika kritis Gramscian terdapat asimetri kuasa

pada pendukungan frame (frame sponsorship) dan kontestasi frame. Sebagaimana yang

dipaparkan oleh Shoemaker & Reese (1996:228), kontingensi frame dan makna

tersebut diakibatkan oleh bentuk interaksi media dengan institusi sosial politik lainnya.

Kedua, tesis framing menyediakan alat bagi tesis hegemoni untuk membuktikan

adanya konstruksi media berita secara umum sejalan sebangun dengan kepentingan

kelompok dominan (Carragee & Roefs, 2004: 222). Carragee & Roefs (ibid.) melihat

bahwa selama ini penelitian mengenai hegemoni media kesulitan dalam mengeksplorasi

jejak-jejak hegemoni pada teks dan audiens. Teori framing bermanfaat untuk tesis

hegemoni karena jejak-jejak kuasa itu dalam tesis framing nampak tidak hanya pada

“apa yang dikatakan” melainkan “bagaimana mengatakan hal tersebut”, hal yang tidak

banyak didiskusikan dalam tesis hegemoni (Carragee & Roefs, ibid.). Ideologi

hegemonik dapat terartikulasi melalui framing (Gamson & Lasch, 1983).

Di luar dua hal tersebut, menghubungkan tesis hegemoni dan framing juga

menarik perhatian pada wilayah yang selama ini tidak diperdebatkan (uncontested

realms) dalam wacana media yaitu frame-frame yang begitu dominan sehingga telah

dianggap laiknya sebagai sebuah “realitas telanjang”, “common sense” (Carragee &

Roefs, 2004:223). Menurut Shoemaker & Reese (1996: 228), nilai-nilai hegemoni

Page 25: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84711/potongan/S2-2015... · Pancasila setiap 1 Oktober. 2 Pertama, banyak bukti-bukti fisik seperti jasad-jasad,

25

dalam berita nampak melalui ungkapan common sense, sebab common sense dibuat

seolah nampak natural dan ditempatkan tidak berdasarkan paksaan melainkan melalui

kerja-kerja normal rutinitas media dan interkoneksi media dengan pusat-pusat

kekuasaan yang lain (Shoemaker & Reese, 1996:228). Dominasi frame pada media

berita tersebut tentu saja merupakan hasil kerja ideologis. Namun dominasi frame

tersebut tidak berarti ajeg. Adakalanya petarung-petarung berhasil menyisipkan frame

dan konsensus elit mulai meluntur sehingga timbullah inkonsistensi dan kontradiksi

frame pada wacana media (Carragee & Roefs, ibid.).

Hubungan tesis hegemoni dan framing menurut Carragee & Roefs (2004)

tersebut turut menegaskan bahwa ideologi dan frame merupakan dua entitas yang

berbeda. Snow & Benford (2000: 9) menjabarkan beberapa hubungan ideologi dan

framing. Pertama, ideologi merupakan sumber kultural bagi aktivitas framing. Dalam

konteks gerakan sosial, ideologi menjadi sumber kultural yang dapat dieksploitasi

untuk mengkonstruksi frame-frame aksi kolektif, dan karenanya berfungsi secara

simultan untuk memfasilitasi atau menghambat proses framing (Snow & Benford,

ibid.). Framing bisa mencakup lebih dari satu ideologi. Framing juga menjadi

penghubung atas inkonsistensi, kontradiksi atau disjungsi antara keyakinan-keyakinan

dan pengalaman-pengalaman di dunia pada suatu kelompok (Snow & Benford, 2000:

10). Aspek lainnya yang tidak kalah penting adalah framing membungkam

kemungkinan adanya reifikasi ideologi sebab framing memicu sinyal-sinyal peringatan

tentang prospek reifikasi ideologi atau frame master yang eksisting (Snow & Benford,

ibid). Terakhir, framing, berbeda dari ideologi, merupakan aktivitas empiris yang dapat

diobservasi, tidak semata-mata aktivitas mental atau kognitif, sehingga bisa dicermati

dan dianalisis (Snow & Benford, 2000: 11).

.

1.8.3. Teori Framing Kritis

Paradigma merupakan rasionalitas yang mendasari penemuan ilmiah dan

membantu sebuah disiplin untuk mendiferensiasi schools of thought (D’Angelo, 2002).

D’Angelo (2002) menggunakan pembedaan tiga paradigma Benigner dan melakukan

pengkajian metatori atas teori-teori framing. Lantas, D’Angelo (2002) menyusun

perbedaan interaksi-interaksi antara frame-frame tekstual dan efek-efek framing ke

dalam tiga paradigma yaitu kognitivis, konstruksionis, dan kritis. Penelitian ini

cenderung menggunakan asumsi-asumsi kritis dalam memanfaatkan teori framing.

Page 26: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84711/potongan/S2-2015... · Pancasila setiap 1 Oktober. 2 Pertama, banyak bukti-bukti fisik seperti jasad-jasad,

26

Robert Entman selain dikenal sebagai sarjana komunikasi yang mengadopsi teori

framing dalam kancah media dan komunikasi, juga penganut mazhab kritis dalam

formulasi teori framing-nya. Menurut Entman (1993:56), teori framing bermanfaat

untuk mengarahkan perhatian para sarjana mengenai bagaimana suatu teks

mengandung kuasa.

Senada dengan Entman (1993), Carragee dan Roefs (2004: 214-228) mengkritik

penelitian-penelitian framing selama ini telah mengabaikan hubungan antara framing

dengan isu-isu yang lebih luas yang telah mengabaikan hubungan antara framing media

dengan isu-isu yang lebih luas yang melibatkan kuasa sosial dan politik. Hal itu

disebabkan oleh permasalahan pada definisi dari frame, tak ada perhatian pada sponsor

frame (frame sponsorships), kegagalan untuk melihat kontestasi framing dalam konteks

sosial dan politik yang lebih besar, serta reduksi framing ke dalam bentuk studi efek

media. Kelompok-kelompok dominan memelihara hegemoninya, mencegah resistensi

dengan memproduksi makna-makna dan nilai-nilai melalui institusi-institusi kultural

termasuk media (Carragee & Roefs, 2004: 221). Carragee dan Roefs (2004:214-215)

menyarankan untuk melihat proses framing ke dalam konteks distribusi kuasa sosial

dan politik oleh karenanya perlu menempatkan framing berama dengan tesis hegemoni

media.

Lebih lanjut berdasarkan pembedaan imaji paradigmatis Paul D’Angelo (2002)

dan beberapa sarjana framing lainnya, asumsi-asumsi Teori Framing Kritis adalah

sebagai berikut:

1.8.3.a. Sumber Kultural Framing adalah Ideologi Hegemonik

Frame bersumber dari sesuatu yang dihayati bersama. Dalam Teori Framing

Kritis Gramscian, sesuatu yang dihayati bersama itu adalah ideologi hegemonik.

Croteau & Hoynes (2003: 159-160) menyebut bahwa ideologi adalah sistem makna

yang membantu mendefinisi dan menjelaskan dunia dan yang membuat penilaian

tentang dunia, karenanya ia terkait dengan worldview, belief sytem dan values namun

tetap lebih luas daripada itu. Dalam perspektif Teori Kritis Gramscian, nilai-nilai yang

telah diterima bersama itu menguntungkan suatu kelompok tertentu saja sehingga

kesenjangan relasi kuasa di masyarakat terpelihara.

Frame dihasilkan melalui proses framing. Karena frame bersumber dari

hegemoni ideologi, Snow & Benford (2000:9) menegaskan bahwa ideologi dan framing

Page 27: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84711/potongan/S2-2015... · Pancasila setiap 1 Oktober. 2 Pertama, banyak bukti-bukti fisik seperti jasad-jasad,

27

adalah hal yang berbeda. Menurut Snow & Benford (ibid.), framing melibatkan

artikulasi dan aksentuasi atau amplifikasi elemen-elemen dari peristiwa, pengalaman,

dan keyakinan dan nilai-nilai, yang kesemuanya itu terkait dengan ideologi yang telah

ada (Snow & Benford, 200: 9). Pada konteks aksi kolektif, Snow & Benford (ibid.)

menyatakan bahwa salah satu unsur pembentuk ideologi adalah sumber daya kultural

yang dapat disadap dan dieksploitasi untuk tujuan mengkonstruksi frame-frame aksi

kolektif, dan karenanya ideologi juga berfungsi utuk secara simultan memfasilitasi

maupun menghambat proses framing. Dengan kata lain, frame yang muncul tidak akan

terlepas dari ideologi yang menjadi sumber sekaligus mengatur proses framing.

Menurut Carragee & Roefs (2004), tesis hegemoni dan framing justru saling

melengkapi pada dua dimensi. Pertama, pada proses framing yang mencakup

produksi, distribusi, dan interpretasi makna-makna itulah hegemoni dapat

teridentifikasi (Carragee & Roefs, ibid.). Kedua, tesis framing menyediakan alat bagi

tesis hegemoni untuk membuktikan adanya konstruksi media berita secara umum

sejalan sebangun dengan kepentingan kelompok dominan (Carragee & Roefs, 2004:

222). Oleh karena itu, membedakan frame-framing dari hegemoni ideologi adalah

penting.

Hegemoni ideologi, bagi Teori Framing Kritis, tidak hanya berfungsi sebagai

sumber kultural frame saja. Snow & Benford (2000) menyebutkan framing dapat

berfungsi sebagai pegangan konseptual untuk menjembatani disjungsi antara

keyakinan-keyakinan dan pengalaman-pengalaman agar terjadi koherensi, konsistensi

dan kontinuitas antara aksi dan keyakinan ketika lingkungan menyebabkan kedua aspek

terebut kontradiktif (Snow & Benford, 2000: 10). Aspek berikutnya adalah adanya

framing memungkinkan untuk terhindarkannya ideologi dari proses reifikasi

(pembongkaran dan pembentukan ulang) (Snow & Benford, 2000: 10). Artikulasi

framing mengarahkan perhatian pada proses-proses di mana orientasi interpretif

terbangun, berkembang, dan berubah sehingga artikulasi tersebut memicu sinyal-sinyal

peringatan tentang kemungkinan adanya reifikasi ideologi yang eksisting (Snow &

Benford, ibid.). Terakhir, framing -berbeda dari ideologi- adalah aktivitas yang lebih

siap dan mudah diobservasi daripada ideologi (Snow & Benford, ibid.). Istilah

“aktivitas” yang digunakan oleh Snow & Benford (2000) tersebut merujuk pada

manifestasi framing pada pertemuan-pertemuan dan debat-debat dalam aksi kolektif.

Framing maupuan frame-frame tidaklah semata-mata aktivitas mental atau kognitif

Page 28: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84711/potongan/S2-2015... · Pancasila setiap 1 Oktober. 2 Pertama, banyak bukti-bukti fisik seperti jasad-jasad,

28

melainkan berakar pada interaksi sosial pada suatu kelompok yang bisa diamati

langsung, diperiksa, dan dianalisis.

1.8.3.b. Ideologi Hegemonik Membentuk Frame Media

Pada bagian sebelumnya telah disampaikan bahwa ideologi menjadi sumber

kultural bagi frame. Dari sekian banyak ideologi yang ada di masyarakat, baik

ideologi yang hegemonik maupun tandingan, bagaimanakah ideologi-ideologi

tersebut berhubungan dengan media hingga menjadi sebuah frame? Untuk menjawab

hal tersebut, diskusi perlu dimulai dari peran media.

Menurut D’Angelo (2002), frame dalam Teori Framing Kritis merupakan

representasi ideologi dominan yang ada di masyarakat. Berdasarkan refleksi Martin

dan Oshagen yang dikutip D’Angelo (2002: 877), framing kritis mengasumsikan

frame-frame elit politik dan ekonomi mendominasi liputan berita. Media berperan

lebih dari sekedar memberikan ruang bagi kontestasi frame. Alih-alih menjadi

penyedia ruang artikulasi ideologi secara univokal, media merepresentasikan

kepentingan-kepentingan berbeda disertai dengan kuasa yang tidak setara, dan terlibat

dalam kontestasi kuasa tersebut (Croteau & Hoynes, 2003: 161). Media menerima

sebagian ide sebagai sesuatu yang populer dan akrab sementara ide-ide yang lain

perlu mencari celah dan menunggu di pinggiran. Keyakinan yang berakar dari

paradigma kritis itu ditegaskan kembali oleh Carragee & Roefs (2004) yang melihat

bahwa kisah-kisah berita merupakan ranah kontestasi frame yaitu aktor-aktor politik

bertarung untuk mendominasi isu-isu yang mereka butuhkan. Media, dalam kontestasi

tersebut, tidaklah menjadi penyedia ruang semata melainkan cenderung telah memilih

ide-ide yang bertarung tersebut menjadi sesuatu yang dianggap populer, akrab, dan

dapat diterima (Croteau & Hoynes, 2003).

‘Diterimanya’ ideologi dominan sebagai sesuatu yang lumrah dalam media itu

dapat terjadi secara tidak disadari oleh media bersangkutan (Croteau & Hoynes, 2003;

Carragee & Roefs, 2004). Dominasi ideologi tertentu pada teks media merupakan

luaran dari proses jurnalistik yang tidak disadari maupun disadari oleh media.

Penerimaaan hegemoni ideologi oleh media secara ‘tidak disadari’ itu adalah pada

tiga ranah, yaitu:

Page 29: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84711/potongan/S2-2015... · Pancasila setiap 1 Oktober. 2 Pertama, banyak bukti-bukti fisik seperti jasad-jasad,

29

(1) Ranah Sistem Nilai di Masyarakat

Media hidup di masyarakat dan hal itu membuatnya tidak lepas dari dinamika

kultural dan ideologi. Kuasa dapat bekerja melalui budaya atau ideologi yang

dihayati pada kehidupan sehari-hari, tak semata melalui paksaan (Croteau &

Hoynes, 2003:166). Kepemimpinan kultural (cultural leadership) yang disertai

dengan kerelaan (consent) warga untuk menghayati kultur dominan tersebut

adalah hegemoni (Croteau & Hoynes, ibid.). Kerelaan tersebut merupakan hal

yang dimenangkan, kelompok yang dominan di masyarakat secara aktif mencari

cara agar pandangan dunia mereka diterima oleh semua anggota masyarakat

sebagai cara berpikir yang universal melalui berbagai institusi salahsatunya

adalah media (Croteau & Hoynes, ibid.).

Wujud dari terdominasinya representasi media oleh kuasa elit adanya frame

yang bertolak dari ideologi yang dianggap sebagai “common sense” atau

“deskripsi nyata atas realitas”, bukan lagi “interpretasi” oleh media, dan yang

seakan-akan tak terkontestasi sesungguhnya adalah bentuk dominasi elit yang

telah mengalami status quo (Carragee dan Roefs, 2004.). Berbeda dari klaim

Gamson, et.al. (1992), ranah tak terkontestasi justru merupakan ranah di mana

dominasi ideologi tengah berlangsung (Carragee & Roefs, 2004: 223). Proses

hegemoni pada level “common sense”, “semua orang sudah tahu”, sesuatu yang

dianggap “natural”, “diterima apa adanya”, atau “sudah dari sononya”

sebenarnya justru mengabaikan pendekatan-pendekatan alternatif yang dapat

mempertanyakan asumsi-asumsi dasar yang sudah terlanjur diyakini itu (Croteau

& Hoynes, ibid.).

(2) Ranah Narasumber

Elit-elit politik yang memiliki sumber daya ekonomi dan budaya, dan

pengetahuan tentang praktek-praktek jurnalistik dapat membuat praktek-praktek

jurnalisme menyukai mereka sehingga kelompok tersebut seringkali sukses

mensponsori frame media (Carragee & Roefs, 2004). Kemampuan sponsor-

sponsor frame elit menghegemoni frame media tersebut dianggap sebagai sesuatu

hal yang lumrah oleh media berita. Hal itu juga disebabkan oleh sistem nilai yang

diyakini oleh media mengenai proses jurnalistik yaitu profesionalisme yang

mencakup objektivitas.

Page 30: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84711/potongan/S2-2015... · Pancasila setiap 1 Oktober. 2 Pertama, banyak bukti-bukti fisik seperti jasad-jasad,

30

(3) Ranah Profesionalisme Media: Objektivitas

Hegemoni elit itu bekerja juga tanpa disengaja atau tanpa disadari melalui

ukuran ‘objektivitas.’ Ketika jurnalis dan media memakai tameng ‘objektivitas’

untuk mengukur kualitas berita dan profesionalitas, objektivitas itu tidak mungkin

terjadi. Menurut Fulton (2005: 231), objektivitas mengandung aspek

ketidakmungkinan (impossibility) dan aspek ketidakdiinginkan (undesirabilty).

Objektivitas tidak mungkin karena:

- tak ada realitas yang berada di luar ideologi sebab semua keadaan kejadian

dunia real semestinya terstruktur melalui sistem tanda seperti bahasa yang tak

terpisahkan dari ideologi;

- Tak ada keadaan relitas yang utuh atau secara utuh tepat dengan sendirinya,

kita semua memiliki impresi-impresi berbeda dan interpretasi berlainan mengenai

apa yang kita alami;

- Faktualitas selalu subjektif –menentukan apakah yang disebut degan fakta dan

apakah artinya itu bukanlah proses yang absolut;

- Semua peristiwa haruslah dikontekstualisasikan, atau ditempatkan dalam

frame referensi ebih luas yang dapat menghasilkan pemaknaan evaluatif ata

speristiwa tersebut;

- Berita diproduksi dalam sistem determinan-determinan internal maupun

eksternal –ekonomi, organisasional, teknis, profesonal- yang menstruktur dan

mengkomodifikasi kisah-kisah berita;

- Praktek-praktek institusional pengumpulan berita, gatekeeping, seleksi dan

agenda-setting melibatkan penilaian-penilaian dan evaluasi-evaluasi subjektif,

meski tidak disadari;

- Penghilangan atau pengaburan sebagaimana seleksi dan inklusi,

mengkonstruksi penilaian tentang realitas sosial, ‘commonsense’ dan ‘bagaimana

seharusnya’ secara implisit.

Objektivitas tidak diinginkan karena:

- Pandangan ‘objektif’ atas suatu peristiwa merupakan pandangan dominan atau

‘common sense’, mendukung hanya satu versi realitas yang melegitimasi dan

memelihara sistem-sistem kuasa;

Page 31: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84711/potongan/S2-2015... · Pancasila setiap 1 Oktober. 2 Pertama, banyak bukti-bukti fisik seperti jasad-jasad,

31

- Kurangnya perspektif kritis menyebabkan klaim-klaim kebenaran disajikan

tanpa dipertanyakan, sehingga ideologi ternormalisasi seakan-akan fakta;

- Pelaporan objektif menghilangkan semangat jurnalis untuk mengambil

tanggungjawab atas apa yang telah ditampilkan, dan mendorong mereka untuk

berfokus hanya pada sumber-sumber yang bergengsi tinggi;

- Peran jurnalisme investigatif, berbasiskan isu, dan advokasi dikurangi;

- ‘Objektivitas’ dan kerja-kerja faktual lebih didewakan para jurnalis daripada

kisah berita lain seperti human-interest dan jurnalisme yang bertanggungjawab

sosial yang sebetulnya juga memiliki sumber-sumber informasi berharga.

Bahwa media secara ‘sengaja’ memilih ideologi dominan dalam pembentukan

frame dapat dilihat pada proses pemilihan sponsor frame. Paradigma kritis mengklaim

bahwa frame-frame merupakan hasil rutinitas liputan berita (newsgathering) yang

mana jurnalis-jurnalis menyebarluaskan informasi mengenai isu dan peristiwa-

peristiwa melalui perspektif yang dimiliki para elit ekonomi dan politik (D’Angelo,

2002: 876). Paradigma kritis juga mengasumsikan jurnalis memilih dan

menghilangkan informasi dengan sengaja dan beralasan ideologis. Adanya sponsor

frame yang nampak dalam berita bukanlah karena sumber-sumber informasi lainnya

tidak tersedia melainkan karena kesengajaan (D’Angelo, 2002).

Para sarjana kritis tidak memandang jurnalis berintensi untuk menyediakan

berbagai sudut pandang yang bermanfaat bagi publik dalam memahami isu-isu

kebijakan publik, melainkan para sarjana kritis memandang pemilihan sumber berita

merupakan proses dari hegemoni media dan semua informasi serta pandangan yang

kontras dari posisi hegemonik yang ada dianggap sebagai ebuah keanehan dan media

tidak mau menyebarluaskan pandangan-pandangan alternatif tersebut ke hadapan

audiens (D’Angelo, ibid.). Bahkan sarjana-sarjana kritis berargumen bahwa

organisasi-organisasi berita memilih informasi dan secara intensional menghilangkan

informasi dengan maksud untuk mengesankan frame-frame berbeda tidak hadir atau

frame-frame yang muncul mendukung dominasi frame-frame elit (D’Angelo, 2002:

876).

Suatu ideologi bukan berarti akan bertahan selamanya mendominasi frame

media. Suatu frame memiliki resonansi dengan nilai-nilai politik yang lebih luas

(Carragee dan Roefs, 2004). Karena jurnalis mendefinisikan isu dari waktu ke waktu

Page 32: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84711/potongan/S2-2015... · Pancasila setiap 1 Oktober. 2 Pertama, banyak bukti-bukti fisik seperti jasad-jasad,

32

dan karena sponsor seringkali merestrukturisasi frame isu berdasarkan kondisi-kondisi

politik yang berubah, frame berevolusi dan frame tertentu boleh jadi memenangkan

atau kalah pamor dalam berita media (Carragee dan Roefs, ibid.).

1.8.3.c. Proses Framing Kritis: Frame Media adalah Hasil Interaksi dengan

Sponsor Frame

Bagian sebelumnya telah menyampaikan asumsi bahwa elit mendominasi

frame media. Terdominasinya frame media tersebut didahului oleh proses

pembentukan frame. Proses framing terkait degan proses-proses di balik berita,

Carragee & Roefs (2004: 224) memberikan perhatian pada proses pembentukan

framing di mana faktor kuasa politik, sosial, dan gerakan sosial berpeluang menjadi

sponsor-sponsor frame dominan/hegemonik atau resisten/tandingan. Interaksi media

dengan sponsor frame yang dilakukan sebagai individual maupun organisasional

merupakan faktor-faktor utama konstruksi berita sebagai aktivitas-aktivitas kuasa

(Fulton, 2005: 219). Posisi dan gengsi seorang jurnalis dapat dilihat dari kontak-

kontak yang dimilikinya: semakin prestisius kontak tersebut, posisi jurnalis di tempat

kerja semakin bergengsi (Fulton, ibid.).

Secara umum, organisasi-organisasi berita biasanya mendapatkan suplai

informasi dari sumber-sumber berikut:

- Sumber-sumber yang secara rutin dimonitor oleh media itu sendiri dengan

menugaskan sejumlah jurnalis pada titik-titik sumber informasi dalam giliran

tertentu. Sumber-sumber tersebut berokasi pada level institusional di masyarakat,

seperti kntor parlemen, kantor pemerintah, perkumpulan-perkumpulan lokal,

kanto polisi, lembaga pengadilan, dan jasa-jasa kedaruratan.

- Organisasi-organisasi yang memiliki kantor pers sendiri atau mempekerjakan

perusahaan public relations untuk mengeluarkan isu-isu reguler melalui buletin

mengenai aktivitas-aktivitas mereka. Organisasi-organisasi tersebut mencakup

departemen-departemen pemerintah, jasa-jasa publik seperti transportasi atau

kelistrikan, perusahaan-perusahaan besar, serikat-serikat dagang dan kerja, partai-

partai politik, organisasi hiburan dan hospitalitas.

- Organisasi-organisasi riset yang menyelenggarakan dan mempublikasikan

hasil survei dan riset. Organisasi ini mencakup lembaga pendidikan, riset, medis,

Page 33: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84711/potongan/S2-2015... · Pancasila setiap 1 Oktober. 2 Pertama, banyak bukti-bukti fisik seperti jasad-jasad,

33

pollster, yang menghasilkan laporan riset dalam standar jurnal profesional yang

dapat diakses jurnalis secara online untuk mencapatkan ‘kisah.’

- Individu-individu elit mencari perhatian media, seperti selebritis-selebritis atau

eksekutif-eksekutif korporat yang mengirimkan rilis-rilis pers ke organiasi berita

utama melalui kantor pers atau perusahaan public relations.

- Peristiwa-peristiwa reguler, seperti festival-festival keagamaan, konvoi-

konvoi jalanan, pertandingan-pertandingan.

- Media lain. Jurnalis-jurnalis mengandalkan media lain untuk mendapatkan

informasi dengan perembangan terbaru dari hlaman-halaman internet, outlet-

outlet kantor berita lokal maupun internasional.

Beragamnya sumber berita seringkali harus berbenturan dengan rutinitas

media. Pencarian berita (newsgathering) merupakan tugas rutin jurnalis yang

seringkali diasosiasikan dengan monitoring reguler atas sumber-sumber spesifik dan

menuliskan ulang rilis-rilis pers maupun informasi lain yang disediakan oleh individu-

individu maupun organisasi-organisasi (Fulton, 2005: 220). Akibatnya, meski sumber

berita beragam, jurnalis kerapkali terjebak untuk memberitakan berbagai hal melalui

perspektif yang seragam (Fulton, ibid.). Pada saat yang sama, tradisi jurnalisme

investigatif yang membutuhkan waktu, biaya dan tenaga yang lebih besar, mulai

ditinggalkan dengan adanya kisah-kisah yang sudah tersedia oleh agensi-agensi

komunikasi (Fulton, ibid.). Fenomena tersebut tidaklah mustahil menggiring media

dan jurnalis memberitakan berbagai hal dalam frame-frame elit dan melanggengkan

status quo.

Memang, bukan tidak mungkin -sebagaimana yang telah dijelaskan pada

subbab sebelumnya- frame elit adakalanya runtuh. Proses kontestasi mendahului

keruntuhan tersebut. Untuk melihat kontestasi antar sponsor itu, menurut Carragee &

Roefs (2004: 224), adalah penting untuk mencermati interaksi media dengan gerakan

sosial dan berbagai kelompok kepentingan lain. Gagasan tersebut menunjukkan

perlunya cara pandang bahwa media bukanlah cermin dari dunia, melainkan sebagai

mediasi dari perubahan sosial, atau justeru menolak adanya perubahan itu (Conboy,

2013: 92).

Sumber-sumber atau sponsor-sponsor frame mana yang dipilih oleh media dan

bagaimana sumber tersebut ditampilkan media turut menentukan framing suatu isu

Page 34: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84711/potongan/S2-2015... · Pancasila setiap 1 Oktober. 2 Pertama, banyak bukti-bukti fisik seperti jasad-jasad,

34

atau perstiwa. Lawrence C. Soley dalam The News Shapers: The Sources who Explain

the News (1992: 26) menyebut bahwa sumber-sumber yang dikutip media sebagai

seorang ahli atas suatu isu atau bidang merupakan komponen penting dalam berita

sebab merekalah yang memberikan pendapat latar belakang dan komentar tentang

suatu fenomena yang dianggap media dapat membantu konsumen berita untuk

memahami fenomena tersebut. Apabila konsumen berita dapat memahami fenomena

dengan mudah, kehadiran narasumber pengarah berita (news shapers) barangkali tak

lagi penting. Adanya narasumber ahli tersebut juga memberi kesan bahwa media telah

bertindak objektif, lain halnya jika media mengambil pendapat dari orang-orang di

jalanan (man on the street) (Soley, 1992: 26). Dalam konteks politik, ‘narasumber

ahli’ yang notabene adalah pengarah berita itu menyediakan pengetahuan superfisial

mengenai peristiwa-peristiwa dan hal itu berpotensi mengurangi keterlibatan warga

pada politik (Soleh, 1992: 27). Pengarah berita memproduksi pandangan elitis tentang

suatu hal yang menguatkan kedudukan mereka sebagai ahli dan mendorong

depolitisasi warga (Soley, ibid.). Para pengarah berita tersebut memiliki jarak dari

para pembuat berita (news makers) yang merupakan bagian dari suatu peristiwa

berita, misalnya para penjahat dan korban, pejabat pemerintah, para calon legislatif,

pemimpin militer, ketua lembaga swadaya masyarakat (Soley, 1992:2). Individu-

individu sebagai pembuat berita adalah mereka yang teridentifikasi merepresentasi

sisi-sisi spesifik pada situasi kontroversi atau konflik (Soley, ibid.). Laporan berita

biasanya meliput apa yang mereka perbuat atau ceritakan.

Kredibilitas menjadi masalah ketika pelabelan “ahli” atau “pengamat” pada

mereka yang berposisi sebagai pengarah berita dilakukan media secara sewenang-

wenang atau dengan standar yang terlalu fleksibel. Strategi yang paling objektif

adalah memberi label pada seorang yang ahli pada bidang tertentu apabila ia memiliki

latar belakang pendidikan yang mendukung, namun media juga kerap menyematkan

artibusi “ahli” pada mereka yang telah menggeluti suatu bidang cukup lama dan

dengan rekam jejak yang nyata dan lebih dari cukup (Soley, 1992: 18). Namun

seringkali media juga memberi label tersebut pada individu-individu yang keahlian

dan kompetensinya tidak terverifikasi dan bahkan di bawah standar (Soleh, ibid.).

Page 35: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84711/potongan/S2-2015... · Pancasila setiap 1 Oktober. 2 Pertama, banyak bukti-bukti fisik seperti jasad-jasad,

35

1.8.3.d. Manifestasi Frame Hegemonik

Carragee & Roefs (2004) berpendapat bahwa selama ini terjadi kesalahkaprahan

dalam memahami frame. Mencermati berbagai penelitian, Carragee & Roefs (2004:

217- 218) mencermati frame dipahami secara kurang tepat, yaitu:

1) Konsep frame bukanlah METAFORA isu atau peristiwa.

Studi-studi dengan pemaknaan seperti ini biasanya muncul dengan pertanyaan

“bagaimana jurnalis memotret isu spesifik tertentu” atau “bagaimana kisah berita

mengkomunikasikan resiko”, namun mereka terlepas dari perhatian utama

framing.

2) Konsep frame bukanlah TOPIK ataupun TEMA berita.

Misalnya, beberapa studi mengidentifikasi ‘frame’ sebagai kejahatan,

kesejahteraan, dan ekonomi. Hal-hal itu adalah topik berita, bukan frame karena

peneliti mengkategori kisah berita berdasarkan subjek. Padahal, frame

mengkonstruksi makna-makna tertentu terhadap isu-isu yang dituju dengan

melihat pola-pola penonjolan (emphasis), interpretasi (interpretation), dan

pengaburan (exclusion).

3) Framing bukanlah tahap dua teori Agenda-Setting

Definisi framing dalam tradisi agenda-setting secara nyata berbeda dari konsep

framing Carragee & Roefs (2004) tersebut. Penelitian framing yang salah kaprah

dalam kategori ini dicontohkan Carragee & Roefs (ibid.) penelitian-penelitian

yang mereduksi frame menjadi topik dan atribut, mengabaikan isu-isu yang lebih

bermakna. Reduksi tersebut mengabaikan cara-cara bagaimana frame

mengkonstruksi makna-makna tertentu dan bagaimana mereka memperdalam

cara-cara spesifik dalam melihat isu (Carragee & Roefs, 2004: 218). Perspektif

yang salah kaprah itu juga meniadakan bagaimana frame tertentu dapat berlaku di

banyak isu dan bagaimana satu posisi isu dapat menjadi produk dari banyak

frame (Carragee & Roefs, 2004). Riset framing bermula dari penelitian sosiologis

Goffman dan sosologi media Tuchman dan Gitlin yang mana ketiganya berfokus

pada cara-cara framing menunjukkan proses produksi berita dan implikasi

ideologis pada framing (Carragee & Roefs, ibid.).

Page 36: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84711/potongan/S2-2015... · Pancasila setiap 1 Oktober. 2 Pertama, banyak bukti-bukti fisik seperti jasad-jasad,

36

Apabila frame bukanlah semata-mata apa yang nampak di teks berita,

bagaimanakah manifestasi frame kritis yang sebenarnya? Framing berparadigma

kritis menerima gagasan bahwa makna atas frame dikonstruksi secara sosial yang

melibatkan produser dan audiens teks (Carragee & Roefs 2004). Pada perspektif

konstruksionis, teks manifestasi frame dalam berita adalah ide pokok yang

merangkum relasi-relasi dan fungsi-fungsi struktural maupun leksikal pada

elemen-elemen signifying menjadi suatu keutuhan koheren (Pan & Kosicki, 1993:

58-59). Karena frame dan framing berhubungan dengan kerangka budaya yang

lebih luas, frame (yang benar) tidak selalu terikat pada topik yang sama,

melainkan pada banyak topik atau situasi, sebaliknya, suatu topik dapat diframe

dalam beragam cara (Van Gorp, 2007: 66). Namun teori framing berparadigma

kritis menganggap pemahaman frame konstruksionis itu tidak cukup. Teks media

tidak dapat diterima apa adanya tanpa melihat kuasa sosial dan politik yang

tercermin melalui hubungan media dengan para frame sponsor (Carragee &

Roefs, 2004:218). Oleh karena itu, untuk menguak frame dominan dalam teks,

peneliti perlu menelusuri sponsor-sponsor frame berikut kuasa kultural dan

ekonomi yang berhasil maupun tidak berhasil mempengaruhi pembentukan frame

(Carrragee & Roefs, 2004: 220).

Meski pengertian frame terikat oleh paradigma yang dipilih peneliti (D’Angelo, 2002),

pemaparan Carter (2013: 4) mengenai elemen-elemen framing tetap relevan untuk

menggambarkan karakter umum frame, yaitu:

1) Pengorganisasian (organizing). Framing bervariasi dalam bagaimana framing

memframing informasi dengan sukses, komprehensif, dan lengkap. Bagaimana

frame diorganisasikan tidaklah sekedar rangkuman bagian-bagian pada kisah

tertentu melainkan frame-frame merupakan sesuatu yang lebih besar daripada

satu kisah saja sebab berita-berita peristiwa biasanya memiliki referensi ke

sesuatu yang serupa atau telah terjadi sebelumnya (Carter, ibid.).

2) Prinsip-prinsip (principles). Frame didasarkan pada prinsip-prinsip abstrak dan

tidak sama dengan teks-teks yang mana framing muncul memanifestasikan

dirinya. Frame memiliki kualitas-kualitas abstrak, alat atau ‘skemata’ interpretasi

yang mengarahkan pembacaan atas suatu isu atau peristiwa spesifik ke dalam

Page 37: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84711/potongan/S2-2015... · Pancasila setiap 1 Oktober. 2 Pertama, banyak bukti-bukti fisik seperti jasad-jasad,

37

pemahaman tertentu (Carter, ibid.). Oleh karena frame mengorganisasi informasi,

mau tidak mau frame merupakan bagian dari seprangkat struktur atau ideologi

sosial yang dapat terbaca pada teks (Carter, ibid.) ;

3) Dihayati bersama (socially shared). Suatu frame pada derajat tertentu dapat

dipahami oleh banyak orang karena adanya penghayatan budaya yang sama.

Suatu peritwa diinterpretasi seeorang lalu hal itu dikisahkan ke orang lain dalam

frame tertentu. Adanya penghayatan bersama memungkinkan frame tersebut

dapat dipahami dan dianggap penting pula oleh –tak hanya penutur- pendengar

kisah tersebut (Carter, 2013: 5);

4) Ajeg (persistent). Signifikansi frame terletak pada durabilitas yaitu keajegan

dan penggunaan rutin dari waktu ke waktu. Frame-frame yang berpengaruh

adalah frame yang ajeg dari waktu ke waktu dan bukan tidak mungkin frame

yang sering muncul itu dianggap sebagai realitas itu sendiri (Carter, ibid.).

Keajegan, pengulangan terus menerus suatu frame menciptakan makna-makna

yang kebal akan perubahan. Informasi di masa depan yang terdiri dari peristwa

yang serupa akand iproses dand ibandingkan dengan kejadian masa lalu, yang

kemudian diinterpretasi oleh frame. Menurut Carter (ibid.), semakin ajeg suatu

frame, semakin frame serig digunakan sebagai komparator untuk informasi baru;

5) Simbolis (symbolically). Frame dapat dikenali pada bentuk-bentuk ekspresi

simbolis. Teknik-teknik frame bekerja dengan menggunakan simbol-simbol yang

diharapkan jurnalis dapat mempengaruhi audiens. Representasi-representas

simbolis itu dkomunikasikan pada berbagai level yang jauh di bawah

‘permukaan’ atau konten yang manifes (Carter, ibid.);

6) Struktur (structure). Frame-frame terorganisir dengan pola-pola atau struktur-

struktur, yang bervariasi pada kompleksitasnya. Ketika sebuah isu dibingkai

pertama kali, pola-pola mungkin belum terlihat. Namun ketika media meliput isu-

isu terkait peristiwa itu kemudian, pola frame muncul dan menjadi struktur

dominan yang mempengaruhi interpretasi (Carter, ibid.).

Page 38: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84711/potongan/S2-2015... · Pancasila setiap 1 Oktober. 2 Pertama, banyak bukti-bukti fisik seperti jasad-jasad,

38

Hegemoni dan framing merupakan dua tesis yang saling melengkapi. Tesis

hegemoni dapat dibuktikan melalui pengamatan atas proses framing. Pengamatan

proses framing dapat menjelaskan adanya ketimpangan relasi di masyarakat yang

kemudian mempengaruhi framing media melalui tesis hegemoni. Oleh karena teori

framing kritis dibentuk oleh asumsi adanya hegemoni pada proses framing, analisis

framing perlu melihat tidak hanya pada teks (frame) melainkan juga proses sosial

dalam memproduksi frame (framing).

1.8.4. Hegemoni Media, Kapitalis, dan Negara

Salah satu karakter khas organisasi komunikasi massa adalah ambivalensi

hubungannya dengan kuasa-kuasa lain di masyarakat. Pada satu sisi, komunikator

massa merupakan kelompok sosial yang memiliki kuasa karena kelompok tersebut

memiliki akses terhadap sumber-sumber daya sosietal yang langka yaitu kanal-kanal

komunikasi yang dapat menjangkau massa luas (Gallagher, 2005: 151). Kuasa

organisasi media tersebut berpotensi mendisrupsi ide-ide dan pengetahuan-pengetahuan

umum yang telah mapan dan diterima. Akan tetapi, kuasa tersebut dipraktekkan dalam

konteks jejaring kontrol publik dan hambatan-hambatan eksternal organisasi sehingga

cenderung terintegrasi dengan hirarki kuasa dan kontrol sosial yang telah mapan

(Gallagher, 2005).

Menurut Louw (2001: 40), pada abad ke-19 dan 20 ini, terdapat dua pemain

utama yang mengontrol organisasi media yaitu negara dan kapitalis (Louw, 2001: 40).

Kontrol utama negara terhadap media muncul dalam bentuk media yang berlisensi

negara (state- licensed media) dan media disubsidi negara (state-subsidized media).

Praktek kontrol state-licensed media tersebut misalnya dalam bentuk koran-koran

dengan lisensi atau izin terbit dari pemerintah, sensor-sensor dari pemerintah, dan

kewajiban untuk mendapatkan pengesahan dari pemerintah untuk mempublikasikan

berita-berita tertentu (Louw, 2001: 43-44). Pada model media berlisensi negara,

pemerintah menjalankan media milik pemerintah dan mewajibkan lisensi dan

pensensoran untuk media non pemerintah. Dengan kata lain, lisensi dan pensensoran

merupakan bentuk kontrol pemerintah untuk menahan atau membatasi komunikasi pada

media yang tidak dijalankan oleh pemerintah (Louw, 2001:44). Model media berlisensi

Page 39: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84711/potongan/S2-2015... · Pancasila setiap 1 Oktober. 2 Pertama, banyak bukti-bukti fisik seperti jasad-jasad,

39

negara tersebut menjadi fenomena media pers Indonesia Orde Baru. Untuk bisa terbit,

organisasi media pers membutuhkan izin pendirian usaha dan penerbitan pers.

Selain media berlisensi negara, media juga mendapat pengaruh tidak langsung

dari pemerintah dalam pembentukan makna melalui model media disubsidi negara.

Pemerintah menciptakan sistem-sistem susbsidi untuk membiayai media yang dianggap

berharga secara sosial namun tidak dapat bertahan jika dilempar di pasar tanpa bantuan

(Louw, 2001: 46). Model ini juga teraplikasi pada sistem media Orde Baru. Dalam

model media-disubsidi negara, parlemen mengalokasikan dana ke badan-badan

pengelola subsidi (Louw, 2001: 46), atau dalam konteks Indonesia Orde Baru adalah

pemerintah memberikan subsidi terhadap TVRI dan RRI, bahkan dapat dikatakan

pemerintah menganggarkan penuh pembiayaan TVRI dan RRI melalui Kementerian

Penerangan. Meski TVRI dan RRI tidak dibahas dalam riset ini, adanya pola

pembiayaan penuh dari pemerintah Orde Baru menunjukkan bagaimana rezim Orde

Baru mengontrol pembentukan makna dalam wacana publik masa itu, yang mana

media yang disubsidi bersikap konformistis terhadap konsensus sosial dan bekerja

dalam wacana dominan di masyarakatnya agar keberlangsungannya dapat diterima oleh

pemerintah.

Media juga dapat beroperasi di luar pengaruh sektor publik atau disebut dengan

“sistem media dimiliki kapitalis.” Sejak era 1990-an, industri media yang dimiliki

swasta tersebut menjadi pemain sentral dalam produksi dan sirkulasi makna secara

global yang mana audiens dipandang sebagai konsumen dan dorongan utama media

untuk berkembang adalah dorongan komersial (Louw, 2001: 47). Perkembangan

teknologi baru memungkinkan produksi jutaan artikel yang sama tidak hanya mungkin

(possible) melainkan ‘dibutuhkan’ yaitu untuk memenuhi permintaan audiens massa

yang besar (Louw, 2001: 48). Perkembangan itu mengubah bagaimana mankan-makna

diproduksi seiring dengan praktek-praktek kerja diindustrialisasikan yaitu produksi

massa bergerak dari memenuhi kepentingan kelompok terspesialisasi menuju ke

general (Louw, ibid.). ‘Sensasionalisme’ lantas dibutuhkan untuk dapat menarik ‘semua

orang’ dan tidak menyasar ‘seseorang secara khusus’ (Louw, ibid.). Berita-berita

seputar kekerasan, kriminal, seks, olah raga, konflik-konflik, dan hiburan mendapat

posisi penting dalam jagad produksi berita ketimbang berita-berita yang

mengedepankan substansi. Akibat kuasa kapitalis terhadap media, makna-makna

diproduksi secara uni-dimensional, artinya makna tersebut dengan sesedikit mungkin

Page 40: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84711/potongan/S2-2015... · Pancasila setiap 1 Oktober. 2 Pertama, banyak bukti-bukti fisik seperti jasad-jasad,

40

menyerang orang sehingga berita tidak mengusir segmen-segmen audiens yang

potensial (Louw, 2001: 49). Implikasi dari uni-dimensionalitas itu adalah industri

media pers menempatkan sensasionalisme berita sebagai panglima, makna-makna yang

menyerang pihak-pihak pemasang iklan dihindari. Tidak mengherankan, kelas-kelas

menengah sebagai kelompok potensial pemasang iklan mendapatkan keuntungan dari

situasi tersebut dan pihak-pihak atau sektor-sektor yang tak berpotensi komersial

berada pada pinggiran pembentukan wacana. Dengan kata lain, media yang dimiliki

swasta cenderung memproduksi wacana yang hanya sesuai untuk hegemoni kelas

menengah (Louw, ibid.).

Shoemaker & Reese (1996:228) menulis bahwa:

Indeed, the relative autonomy of media gives their messages more legitimacy and credibility than if they were directly controlled. Hegemoni ideologi dapat berlangsung pada suatu konteks sosial dan politik

bahkan ketika kebebasan pers dan media dipraktekkan. Kebebasan pers justru

digunakan untuk melegitimasi posisi media sebagai pihak yang objektif dan kredibel

padahal media terus menerus memelihara kelangsungan status quo.

Tempo merupakan organisasi media yang dimiliki oleh swasta. Akan tetapi,

Tempo sempat hidup pada dua konteks sosial dan politik yang berbeda yaitu Orde

Baru dan Reformasi. Kontrol terhadap media pada kedua konteks sosial tersebut

berkarakter berbeda. Pada masa Orde Baru, kebebaasan pers dan berekspresi

cenderung dikekang sementara pada masa Reformasi pers mendapatkan

kebebasannya. Perbedaan konteks sosial politik tersebut berimplikasi pada praktek-

praktek kerja media swasta seperti Tempo. Praktek kerja Tempo Orde Baru cenderung

dipengaruhi oleh regulasi-regulasi pemerintah sementara Tempo Reformasi yang

mana kontrol pemerintah terhadap media melalui regulasi telah dihapuskan, secara

teoritik amat dipengaruhi oleh kelompok kapitalis.

Penggambaran Louw (2001) mengenai sistem media tersebut memberi

petunjuk bahwa terdapat hubungan antara ide-ide dan kepentingan penguasa atas teks

media. Menurut Stuart Hall, terdapat beberapa ranah di mana penguasa secara kultural

berpengaruh pada kerja media yaitu: (a) kuasa untuk mendefinisikan isu mana yang

akan memasuki sirkuit komunikasi publik; (b) kuasa untuk mendefinisikan isu mana

yang perlu didebat; (c) kuasa untuk menentukan siapa yang akan bicara atas isu dan

Page 41: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84711/potongan/S2-2015... · Pancasila setiap 1 Oktober. 2 Pertama, banyak bukti-bukti fisik seperti jasad-jasad,

41

kapan; dan (d) kuasa untuk mengelola debat itu sendiri di media (Golding &

Murdock, 1997b: 491).

Untuk memperjelas hubungan media-penguasa tersebut, Golding & Murdock

(1997b) menegaskan pentingnya memeriksa proses aktual produksi teks. Lantas, pada

produksi teks, bagaimana hubungan media, kuasa kultural, dan ideologi itu dapat

diidentifikasi? Golding & Murdock (1997b:491) menyebut dua cara bagaimana

ideologi penguasa menghegemoni media. Pertama, melalui perspektif yang sama-

sama dihayati oleh jurnalis dan sumber berita mengenai kelayakan berita dan

pemrosesan berita. Kedua, melalui hubungan intitusional media pers dan sumber

berita. Kedua hal yang disampaikan oleh Golding & Murdock (ibid.) tersebut

menunjukkan adanya hegemoni yang bekerja melalui nilai yang beredar di

masyarakat tentang idealisasi kerja jurnalistik dan relasi kepentingan antara media

dengan sumber berita atau sponsor frame. Kedua hal tersebut juga menjadi titik temu

tesis framing dan hegemoni.

1.9. Metode Penelitian

Penelitian ini memahami objek penelitian, jarak peneliti dengan objek, serta

metode penelitian berdasarkan paradigma Teori Kritis yang telah dijabarkan pada

subbab sebelumnya. Teks-teks media diproduksi pada konteks sejarah yang spesifik,

secara kasat mata juga berubah dari segi bentuk dan isi. Karena bersandar pada

paradigma Teori Kritis, penelitian ideologi dalam teks media karenanya harus

memperhatikan sejarah organisasi media dan konteks sosial politik Indonesia, serta

relasi media dengan pihak-pihak eksternal media. Oleh karena itu, penelitian ini

mencakup beberapa level yaitu konteks sosial dan politik (studi pustaka), sistem nilai

di media (wawancara), dan analisis framing dan wacana media.

1.9.1. Analisis Framing Kritis

Penelitian ini ingin mencari tahu bagaimana memori kolektif diingat kembali

oleh media dalam berita-beritanya sekaligus membaca kecenderungan ideologis

media dalam melakukan konstruksi ingatan itu. Berdasarkan tujuan-tujuan tersebut,

analisis framing sesuai untuk diterapkan pada penelitian ini.

Page 42: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84711/potongan/S2-2015... · Pancasila setiap 1 Oktober. 2 Pertama, banyak bukti-bukti fisik seperti jasad-jasad,

42

Sebagai analisis untuk riset media, analisis framing tepat untuk digunakan

dalam penelitian ini karena beberapa faktor. Pertama, analisis framing merupakan

pendekatan untuk menganalisis wacana berita terutama pada bagaimana wacana

publik mengenai isu-isu publik dikonstruksi dan dinegosiasikan oleh media (Pan &

Kosicki, 1993: 70). Berbeda dari riset agenda-setting yang berfokus pada kognisi

audiens untuk mengetahui apa yang dipikirkan atas konten media yang memapar

mereka, analisis framing mencermati keberagaman dan keluwesan bagaimana isu-isu

dikonseptualisasikan media (Pan & Kosicki, ibid.).

Kedua, analisis framing dapat membaca kecenderungan ideologis frame berita.

Caragee dan Roefs (20004) menilai metode analisis framing yang disusun oleh

Gamson dan Lasch (1980) dapat digunakan untuk melihat artikulasi ideologi

hegemonik melalui framing yang mencakup metafor, exemplar, kata-kata mencolok,

cuplikan, dan imaji visual. Pemeriksaan yang terperinci atas framing dan reasoning

devices pada wacana jurnalistik memungkinkan adanya diskusi lebih lanjut antara

berita dan ideologi (Carragee dan Roefs, 2004). Meski menurut D’Angelo (2002)

analisis framing kritis biasana menggunakan metode dari Entman, penelitian ini

menggunakan metode dari Gamson dan Lasch (1980) yang lebih rinci dalam

mencermati penggunaan kata dan ekspresi kalimat-kalimat (Entman, 1993). Entman

(1993) menyusun empat fungsi framing yaitu pendefinisian masalah, pendiagnosaan

penyebab, nilai-nilai moral, dan rekomendasi penyelesaian namun tidak menjelaskan

bagaimana keempat fungsi itu dapat dianalisa oleh peneliti.

1.9.2. Objek Penelitian

Objek penelitian ini adalah majalah berita elit Indonesia yaitu Tempo baik dari

segi tekstual maupun kontekstual. Alasan umum majalah diplih sebagai objek

penelitian adalah sebagaimana yang disampaikan oleh Kitch (2008: 313), majalah

berharga untuk diteliti karena perspektif mereka yang mencolok, kesetiaan

pembacanya, dan identifikasi terbukanya terhadap para pembaca.

Alasan khusus dipilihnya Tempo dibandingkan dengan media-media lain

adalah: pertama, meskipun penetrasi majalah tidak seluas televisi dan radio, media

cetak terutama majalah Tempo merupakan bacaan kelompok elit Indonesia (Keller,

2009) seperi birokrat, politisi, akademisi, kalangan bisnis, dan mahasiswa. Kedua,

Page 43: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84711/potongan/S2-2015... · Pancasila setiap 1 Oktober. 2 Pertama, banyak bukti-bukti fisik seperti jasad-jasad,

43

artikel-artikel berita di majalah kan lebih cenderung menunjukkan frame karena

secara konvensional berita majalah cenderung lebih panjang dan memenuhi lebih

banyak elemen berita (5WH) daripada berita suratkabar.

Ketiga, meski media elektronik secara teknologi memungkinkan untuk

menyiarkan laporan-laporan berita terkait kekerasan di masa lalu, fakta menunjukkan

sumber-sumber utama mereka adalah media cetak. Keempat, majalah Tempo dipilih

secara spesifik sebagai objek penelitian karena dimiliki oleh perusahaan media besar

di negeri ini yaitu TEMPO Media Group. TEMPO Media Group di luar majalah telah

menerbitkan buku-buku yang menyajikan narasi alternatif8. Kelima, selain itu,

majalah Tempo merupakan suratkabar elit Indonesia yang memiliki sistem

pengarsipan yang memadai yaitu melalui pusat data online dengan pencarian

menggunakan kata kunci.

1.9.3. Tahapan Penelitian

Penelitian ini terdiri dari dua tahap yaitu analisis teks dengan metode analisis

framing berparadigma Teori Kritis, dan analisis konteks yang terdiri dari konteks

organisasi media (individual, organisasional, dan ekstramedial) dan sosial politik

Orde Baru dan Reformasi.

1.9.4. Teknik Pengambilan Data

Berikut ini teknik pengambilan sampel penelitian berdasarkan jenis data yang

dibutuhkan:

(i) Level Teks: Seleksi Data Penelitian

Sumber data teks penelitian ini adalah berita-berita retrospektif pada

majalah elit nasional yaitu majalah Tempo yang terbit sejak masa Orde Baru,

sempat dibredel, dan terbit kembali Pasca Reformasi. Sebagai memori atau

peristiwa yang lalu, peristiwa 1965/66 bisa diingat dalam berbagai isu. Karena

tidak bergantung pada isu berita secara khusus, berita dengan isu apa pun

selama menyinggung peristiwa 1965/66 secara eksplisit maupun implisit tidak

8 Seperti Tempo Media Grup yang menerbitkan laporan investigasinya untuk majalah Tempo dalam bentuk buku, Pengakuan Algojo 1965.

Page 44: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84711/potongan/S2-2015... · Pancasila setiap 1 Oktober. 2 Pertama, banyak bukti-bukti fisik seperti jasad-jasad,

44

akan menjadi masalah. Dengan begitu, penyaring pertama di sini adalah kata

kunci. Kata-kata kunci yang dipilih untuk menemukan item berita adalah

“1965”, “G30S”, “PKI”, dan “komunis” pada Tempo Store

(http://www.store.tempo.co) dan mengkonfirmasi pada pustakawan Pusat Data

Tempo mengenai terbitan-terbitan Tempo bertemakan “G30S”. Pemeriksaan isi

media secara longitudinal akan menunjukkan pola-pola baru yang ajeg maupun

bertransformasi (Berkowitz, 2005). Proses pencarian dengan kata kunci tersebut

menghasilkan enam edisi majalah yang terbit pada era Orde Baru dan tujuh

majalah terbit pada era reformasi yang mengangkat topik terkait tragedi

1965/66.

Tabel 1.2. Tanggal dan Judul Edisi Majalah TEMPO Orde Baru & Reformasi

yang terkait Peristiwa 1965/66 Periode Edisi Judul Edisi

OR

DE

BAR

U

30 September 1972 PKI di Atas dan di Bawah Tanah

24 Desember 1977 Th. VII/No. 43 10.000 Tahanan Dibebaskan

No. 32 Tahun X 4 Oktober 1980 PKI 15 Tahun yang Lalu

No. 30 24 September 1988 Mengapa Ia Didakwa?

No.31 Tahun XVIII-1 Oktober 1988 Apa yang Kaucari PKI

No. 37 12 November 1988 Rame-rame Bersih Diri

No. 11 Tahun XX 12 Mei 1990 Bersih Diri tentang PKI

No. 32 Tahun XX 6 Oktober 1990 CIA dan PKI: Menengok Kembali Peristiwa G30 S

REF

OR

MA

SI

1-7 Oktober 2007 G30S dan Peran Aidit

23 November 2008 Sjam Lelaki dengan Lima Alias

11 Oktober 2009 Njoto: Peniup Saksofon di Tengah Prahara

8-14 November 2010 Musso: Si Merah di Simpang Republik

7-13 November 2011 Sarwo Edhi Wibowo dan Misteri 1965

7 Oktober 2012 Pengakuan Algojo 1965

30 September-4 Oktober 2013 Lekra dan Geger 1965

Pada Tabel 1.2 terlihat judul-judul edisi Tempo terkait peristiwa 1965/66,

delapan (8) judul pada Orde Baru dan tujuh (7) judul pada Reformasi. Dari

kelimabelas judul Tempo tersebebut, penelitian analisis frame dan ideologi

dilakukan terhadap enam judul edisi Tempo Orde Baru, dan enam judul edisi

Tempo Reformasi. Oleh karena itu, terdapat dua judul edisi Tempo Orde Baru

Page 45: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84711/potongan/S2-2015... · Pancasila setiap 1 Oktober. 2 Pertama, banyak bukti-bukti fisik seperti jasad-jasad,

45

dan satu judul edisi Tempo Reformasi yang disisihkan (lihat judul yang dicoret

pada Tabel 1.2. di atas).

Edisi tersebut disisihkan karena beberapa alasan. Pertama Tempo tahun

1988 dan 1990 berturut-turut menerbitkan tiga dan dua edisi terkait 1965/66.

Tema ‘bersih diri’ pada edisi 1988 juga muncul pada edisi 1990 yang lebih

anyar sehingga edisi ‘bersih diri’ 1988 dicoret. Edisi Soekarno pada 1988 juga

dicoret karena edisi PKI 1988 akan lebih memberi fokus pada PKI, yang ana

fokus terhadap PKI tersebut terulang dalam angle berbeda pada edisi 1990

Oktober sehingga dapat terlihat perkembangannya.

Kedua, edisi-edisi Reformasi terbit relatif berdekatan (setahun sekali)

sehingga dinamikanya tidak terlalu terlihat dibandingkan edisi Orde Baru yang

jarak terbit relatif lebih lama. Meski pada analisis frame dan ideologi pada teks

hanya melibatkan dua belas edisi Tempo Orde Baru dan Reformasi, dinamika

jenis dan jumlah narasumber yang digunakan pada ketiga edisi lainnya juga

tetap dicermati untuk melihat pola penggunaan sponsor frame.

Khusus untuk edisi Tempo 2008 tentang Sjam dan 2009 tentang Njoto

didapat peneliti melalui versi bukunya sebab versi majalah-nya tidak tersedia di

TempoStore.Co.Id.

(ii) Level Organiasi Media: Wawancara dan Studi Pustaka

Pada level organisasi media ini adalah yang disebut oleh Gamson & Lasch

sebagai proses sosial framing media (1980: 6) dan Carragee & Roefs (2004:

216) sebagai interaksi media dengan sponsor-sponsor frame. Sumber data

organisasi media didapatkan melalui wawancara dan studi pustaka. Wawancara

dilakukan terhadap anggota redaksi Tempo yang bertanggungjawab untuk

peliputan beberapa edisi berita retrospektif yang terbit pada Era Reformasi yaitu

Pemimpin Redaksi Tempo Arif Zulkifli, Redaktur Pelaksana Tempo Philipus

Parera, dan Redaktur Senior Tempo Amarzan Loebis dan Rustam F. Mandayun.

Pada wawancara jenis ini, peneliti bermaksud untuk mendapatkan data

mengenai:

- Level individual : memori individual jurnalis Tempo terhadap peristiwa

1965 dan PKI, nilai-nilai dan pengalaman individual jurnalis atas peristiwa

tersebut;

Page 46: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84711/potongan/S2-2015... · Pancasila setiap 1 Oktober. 2 Pertama, banyak bukti-bukti fisik seperti jasad-jasad,

46

- Level organisasional: sistem nilai yang mencakup prinsip-prinsip jurnalistik

yang dianut, pemahaman atas objektivitas dan nilai-nilai berita dan judgment-

judgment yang digunakan dalam memilih narasumber pada Tempo Reformasi;

(iii) Level Konteks Sosial dan Politik Orde Baru dan Reformasi: Pelacakan

Perpustakaan Konvensional dan Maya

Sumber-sumber sekunder yang akan menjadi penunjang penelitian adalah

sumber dokumen yang terdiri dari buku-buku bertopik seputar peristiwa yang

menjadi memori kolektif yaitu PKI, 1965, dan 1948 serta buku-buku bertopik

sejarah media massa Indonesia maupun terbitan-terbitan terkait majalah Tempo.

Studi pustaka tersebut dibutuhkan untuk mengetahui konteks sosial dan politik

media maupun dinamika Tempo itu sendiri dan memori kolektif yang beredar di

masyarakat.

1.9.5. Unit dan Teknik Analisis Data

Paradigma kritis penelitian ini berimplikasi pada teknik menganalisis teks.

Alih-alih peneliti hanya akan secara tertutup menganalisis frame dan ideologi pada

teks berita saja, peneliti akan mengkombinasikan temuan dalam teks dengan sumber-

sumber sekunder seperti sumber pustaka dan wawancara dengan para jurnalis Tempo.

Penerapan framing pada studi kolektif memori akan mendorong para sarjana

memori untuk lebih memberikan perhatian lebih pada kata-kata, gambar, video, dan

teks lainnya (Simonetti, 2008: 18). Kata-kata, gambar, video dan elemen teks lainnya

itulah yang menjadi unit analisis penelitian itu. Van Gorp (2007: 72) menyarankan

untuk merekonstruksi frame-frame dengan merepresentasikan paket-paket frame

dalam suatu matriks: kolom untuk mengentri framing dan perangkan penalaran dan

baris untuk mengentri frame-frame. Langkah-langkah analisis frame yang dilakukan

peneliti berdasarkan rekomendasi Van Gorp (ibid.) dan Carragee & Roefs (2004)

adalah:

1) Mencermati bentuk-bentuk linguistik yang dapat berfungsi sebagai

perangkat framing. Perangkat framing terdiri dari metafora, exemplar

catchphrases, depictions, dan imaji-imaji visual. Bentuk-bentuk linguistik

Page 47: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84711/potongan/S2-2015... · Pancasila setiap 1 Oktober. 2 Pertama, banyak bukti-bukti fisik seperti jasad-jasad,

47

sebagai perangkat framing diisikan pada kolom kiri sebagaimana tampak pada

Tabel 1.5;

2) Mengidentifikasi rantai logika dari perangkat framing menjadi

perangkat penalaran. Perangkat yang menyediakan justifikasi atau alasan-alasan

untuk ide-ide sentral adalah roots, consequences, dan nilai-nilai moral (appeals

to principles). Elemen-elemen ide yang berbeda itu saling mendukung dan

menguatkan satu sama lain. Biasanya pembentukan suatu paket utuh dapat

ditunjang oleh elemen tunggal yang mencolok. Hasil analisis tersebut dituliskan

pada kolom kanan pada Tabel 1.3;

3) Menarik ide sentral dari perangkat framing dan penalaran. Ide sentral

ini tidak selalu eksplisit disampaikan dalam berita, melainkan melalui

interpretasi penulis atas apa yang nampak pada teks dan penghayatan kultural

peneliti. Hasil frame tersebut dituliskan pada baris horizontal Tabel 1.3;

4) Menguji konseptualisasi frame oleh peneliti dengan memeriksa apakah

temuan frame itu cukup general untuk diaplikasikan pada kasus-kasus lain dan

situasi-situasi yang serupa. Dengan kata lain, frame pada suatu edisi diujikan

apakah dapat berlaku pada edisi lain yang mengangkat isu yang serupa.

Tabel 1.3. Rencana Lembar Koding Frame Berita Retrospektif/Ideologi Nama Media

Hari/ Tanggal Terbit

Judul

Halaman

Jumlah Paragraf

Penulis Berita

Frame (Interpretive Package)

Perangkat Framing (Framing Devices) Perangkat Penalaran (Reasoning Devices)

Metaphors

Roots

Catchphrases

Appeals to Principle

Exemplaar

Consequences

Relasi antar Partisipan

Page 48: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84711/potongan/S2-2015... · Pancasila setiap 1 Oktober. 2 Pertama, banyak bukti-bukti fisik seperti jasad-jasad,

48

Depiction

Transitivitas

Nominalisasi

Kollokasi

Kategorisasi

Visual Images

Meski pada berbagai penelitian framing berparadigma kritis kerap hanya

menggunakan metode analisis framing untuk menelisik ideologi dalam berita

(Budarick & King, 2004), penelitian ini mengidentifikasi gejala linguistik pada

analisis wacana Helen Fulton (2005) untuk mencermati lebih mendalam ideologi

dalam berita retrospektif peristiwa 1965. Pengertian teknis elemen ideasional dan

interpersonal untuk identifikasi relasi kuaasa antar partisipan dan common sense

berikut bentuk-bentuk linguistiknya dijelaskan pada subbab Kerangka Teori pada Bab

II penelitian ini. Bentuk-bentuk linguistik Helen Fulton (2005) tersebut diintegrasikan

ke tabel koding perangkat framing (Tabel 1.3) untuk memperkuat pembentukan

penalaran yang mencakup appeals of principles yang merupakan commen sense atau

konsensus dalam pengertian Fulton (2005), dan mengidentifikasi relasi antar

partisipan dalam teks.

Analisis tekstual yang sama akan dianalisis untuk dua tujuan yaitu konstruksi

frame dan kontruksi ideologi dengan menggabungkan metode Gamson & Lasch

(1980) dengan bentuk linguistik untuk mengkaji representasi ideologi media (Fulton,

2005) oleh karena itu hanya satu lembar koding yang dibutuhkan oleh peneliti. Urutan

pengkodingan dan analisis adalah (1) mengidentifikasi perangkat framing menurut

Gamson & Lasch (1980); (2) mencermati gejala linguistik menurut Helen Fulton

(2005); dan terakhir menarik kecenderungan frame (memori kolektif) dan ideologi

yang muncul dalam teks.

Setelah peneliti menyelesaikan tahapan teks ini, wawancara dilakukan

terhadap tiga orang yaitu Pemimpin Redaksi Tempo Arif Zulkifli, Redaktur Pelaksana

Page 49: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84711/potongan/S2-2015... · Pancasila setiap 1 Oktober. 2 Pertama, banyak bukti-bukti fisik seperti jasad-jasad,

49

Tempo Philipus Parera, dan Redaktur Senior Tempo Amarzan Loebis serta Rustam F.

Mandayun. Keempat narasumber tersebut dipilih dengan beberapa alasan. Pertama,

Arif Zulkifli merupakan wartawan sekaligus Pemimpin Redaksi Tempo yang terlibat

dalam peliputan berita retrospektif Tempo Reformasi terkait peristiwa 1965. Kedua,

Philipus Parera adalah redaktur pelaksana yang pernah menjadi koordinator liputan

untuk berita retrospektif Tempo Reformasi terkait peristiwa 1965. Ketiga, Amarzan

Loebis merupakan jurnalis Tempo yang merupakan bekas tahanan politik dan pernah

tinggal di Pulau Buru. Keempat, Rustam F. Mandayun adalah wartawan Tempo yang

juga terlibat dalam liputan retrospektif Tempo Orde Baru.

1.9.6. Teknik Penyajian Data

Data akan disajikan dalam dua cara, yaitu matriks kualitatif dan pemaparan

kualitatif. Data-data yang akan disajikan dalam matriks kualitatif antara lain:

(i) Tabel analisis framing Gamson dan Lasch atas peristiwa 1965/66 dan

PKI pada masing-masing edisi terbit;

(ii) Tabel rangkuman frame Tempo Orde Baru atas peristiwa 1965/66 dan

PKI;

(iii) Tabel rangkuman frame Tempo Reformasi atas peristiwa 1965 dan

PKI;

(iv) Tabel sumber-sumber otoritas jurnalistik (sponsor frame atau

partisipan dalam teks) dan relasinya dalam teks pada masing-masing era.

Sementara itu, data yang akan dipaparkan dalam bentuk argumentasi adalah:

(i) Frame dan framing (perangkat penalaran, dan perangkat framing)

berita retrospektif Tempo;

(ii) Representasi ideologi Tempo dalam frame atas peristiwa 1965/66 dan

PKI;

(iii) Faktor-faktor kontekstual berita retrospektif (sistem nilai dan relasi

media-sponsor frame).

1.9.7. Sistematika Penulisan

Page 50: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84711/potongan/S2-2015... · Pancasila setiap 1 Oktober. 2 Pertama, banyak bukti-bukti fisik seperti jasad-jasad,

50

Pada Bab I ini, peneliti membangun pondasi problematika dan kerangka teori

serta metode untuk menjawab problematika penelitian. Pada Bab II, peneliti akan

mengekspansi kerangka teori tersebut berdasarkan pola yang sudah dibahas pada Bab

I. Pada Bab III, peneliti akan membahas konteks sosial dan politik penelitian ini

sehingga ada tiga hal yang akan diteliti. Pertama, deskripsi konteks sosial dan politik

Orde Baru dan Reformasi terutama kaitannya dengan memori kolektif peristiwa 1965

dan PKI. Kedua, Tempo Orde Baru dan Reformasi. Ketiga, gerakan-gerakan memori

kolektif tandingan terhadap peristiwa 1965/66.

Laporan penelitian untuk analisis frame dan ideologi Tempo Orde Baru dan

Reformasi ditulis berturut-tururt pada Bab IV dan Bab V. Sistematika subbab pada

Bab IV dan V adalah sama, yaitu terdiri dari tiga bagian utama yaitu temuan umum,

analisis frame, dan ideologi Tempo masing-masing era. Pada bagian temuan umum,

peneliti memaparkan refleksi atas temuan-temuannya berdasarkan teori-teori yang

telah dipaparkan terutama pada aspek ideologi Tempo yang tampak. Pada bagian teks

media yang diteliti, peneliti memaparkan hasil penelitiannya dengan memecah

kembali subbab itu berdasarkan pertanyaan-pertanyaan penelitian yaitu apa ideologi

dan framing atas peristiwa 1965/66. Hasil wawancara mengenai ideologi Tempo akan

disisipkan sesuai pada alur pemikiran yang relevan.

Pada Bab VI, peneliti mengingatkan kembali problematika penelitian, teori-

teori yang digunakan, dan hasil-hasil umum dari temuan yang ada terutama untuk

menekankan ideologi dan framing Tempo Orde Baru atas peristiwa 1965/66 dan PKI

serta bagaimana Tempo Reformasi mendobrak dominasi memori peristiwa 1965/66

dan PKI warisan Orde Baru. Peneliti juga akan menunjukkan kelemahan dan

kekurangan penelitian tersebut. Meski begitu, peneliti akan menggarisbawahi

kontribusi penting apa yang telah dilakukan oleh penelitian ini dalam wacana

akademik tentang peristiwa 1965/66, jurnalisme, memori kolektif, HAM dan media.

Peneliti juga akan memberikan rekomendasi tentang penelitian apa yang sebaiknya

dilakukan di masa depan terkait dengan topik yang serupa.

1.9.8. Limitasi Penelitian

Penelitian tentang media mengingat peristiwa 1965/66 bukan berarti semata-

mata menyelidiki definisi media mengenai siapa yang salah (menjadi pelaku) dan

Page 51: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84711/potongan/S2-2015... · Pancasila setiap 1 Oktober. 2 Pertama, banyak bukti-bukti fisik seperti jasad-jasad,

51

siapa yang benar (korban). Hal itu dengan sendirinya terjawab. Yang lebih penting

dari itu dalam penelitian itu adalah bagaimana media mengingat peristiwa tersebut.

Sebab, dengan begitu argumen-argumen moral dan mengapa peristiwa tersebut tetap

relevan untuk diingat akan tampak serta memberi banyak kemungkinan mengenai

rekonstruksi media atas peristiwa tersebut, bukan penyimpulan simplistis dan positivis

“siapa yang benar dan siapa yang salah”.

Cakupan studi ini hanya terbatas pada narasi memori pada berita-berita

retrospektif majalah Tempo terkait dengan peristiwa 1965/66 dan PKI yang terbit

pada Orde Baru dan Reformasi. Fokus penelitian ini adalah pada ideologi dan framing

memori peristiwa 1965/66 dan PKI. Studi ini tidak memasukkan liputan memori

peristiwa tersebut di media-media lain seperti televisi, radio, buku-buku, dan Internet

dikarenakan hambatan sumber daya dan waktu. Akan tetapi hal itu justru akan

memberi peluang bagi penelitian serupa pada media-media selain media cetak.

Penelitian-penelitian serupa pada media-media lain itu akan menunjukkan bagaimana

persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan narasi dan frame atas peristiwa

1965/66 dan dapat dikembangkan ke penelitian-penelitian lanjutan.

Penelitian ini akan berupaya menjawab faktor-faktor mengapa kontruksi dan

strategi framing tersebut yang muncul, proses frame building yang terjadi pada media-

media tersebut. Menurut Croteau & Hoynes (2003: 198-200), penelitian konten

memiliki beberapa signifikansi melalui adanya hubungan konten dengan faktor-faktor

lain yaitu konten sebagai refleksi dari produser, konten sebagai refleksi preferensi

audiens, dan konten sebagai refleksi masyarakat secara umum, konten sebagai

pengaruh atas audiens, dan konten sebagai teks tertutup (self-enclosed text).

Berdasarkan pembagian signifikansi konten tersebut, penelitian ini menghubungkan

konten media dengan produser terutama pada aspek interaksi produser dengan

sponsor-sponsor frame. Meski begitu, penelitian ini juga memanfaatkan sumber-

sumber data sekunder seperti buku-buku teks akademik untuk menjelaskan konteks

sosiopolitik dari wacana 1965/66 dan PKI tersebut.

Sejalan dengan pembagian Croteau & Hoynes (2003) tersebut, D’Angelo

(2002: 873) juga membagi empat tujuan empiris yang dikejar oleh tiap-tiap penelitian

framing berita dalam berbagai derajat (D’Angelo, 2002: 873). Pertama, untuk

mengidentifikasi unit-unit tematis yang disebut “frame”. Kedua, untuk

menginvestigasi kondisi-kondisi anteseden yang memproduksi frame. Ketiga, untuk

Page 52: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84711/potongan/S2-2015... · Pancasila setiap 1 Oktober. 2 Pertama, banyak bukti-bukti fisik seperti jasad-jasad,

52

mencermati bagaimana frame-frame berita mengaktivasi dan berinteraksi dengan

pengetahuan-pengetahuan pre-eksisting individual dan menimbulkan interpretasi

memicu informasi, pembuatan keputusan, dan evaluasi. Terakhir, untuk memeriksa

bagaimana frame-frame berita membentuk proses-proses pada level sosial seperti

debat opini publik dan isu kebijakan. Berdasarkan pembagian D’Angelo (2002)

tersebut, penelitian ini mengejar unit-unit tematis dan kondisi-kondisi anteseden yang

memproduksi frame.

Hal yang tidak dicakup dalam penelitian ini adalah pada level frame-setting,

atau dampak frame media pada frame audiens. Meski begitu, penelitian ini berupaya

untuk melihat kerangka budaya yang menjadi induk kelahiran frame tersebut sehingga

untuk mengetahuinya peneliti melakukan wawancara terhadap sponsor-sponsor frame

yang nampak pada media, maupun sumber-sumber lain yang memiliki frame terkait

yang tidak nampak di media, serta studi pustaka.

1.10. Penutup

Penelitian ini berfokus pada analisis teks berita-berita retrospektif pada

majalah elit Indonesia yaitu Tempo Orde Baru dan Reformasi. Hasil penelitian ini

akan menggambarkan kontruksi ideologi dan frame media massa arus utama

Indonesia atas peristiwa 1965/66. Studi ini akan mampu memberikan kontribusi pada

wacana akademik mengapa anti-komunisme tetap mengemuka di Indonesia dengan

melihat bagaimana media massa arus utama Indonesia menurunkan berita retrospektif

atas peristiwa 1965/66. Teori-teori yang digunakan dalam studi ini adalah teori

memori kolektif, teori media dan jurnalisme, teori hegemoni ideologi, dan teori

framing media. Sebagai penelitian inisial di bidang komunikasi pada wacana

peristiwa 1965/66, manfaat dari penelitian analisis teks tersebut adalah hasil

penelitian tersebut bisa menjadi salah satu acuan yang memicu penelitian-penelitian

pada jenis media yang lain seperti media baru, film, dan elektronik maupun pada

level-level yang lain.