BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar...

13
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Sebagai hasil dari reformasi ekonomi yang dijalankan sejak akhir tahun 1978, Cina bergerak menjadi pemain utama dalam perekonomian dunia. Pembukaan pasar yang berujung pada pesatnya pertumbuhan ekonomi Cina telah menimbulkan sebuah konsekuensi logis berupa kebutuhan akan jaminan pasokan energi yang semakin besar. 1 Hubungan antara energi dan pertumbuhan ekonomi menjadi hal yang sangat penting bagi Cina. Tanpa pengurangan kebutuhan energi secara masif, Cina membutuhkan konsumsi energi sebesar tiga kali lipat dari saat ini agar pertumbuhan ekonominya tetap berlanjut. 2 Pada tahun 2003, untuk pertama kalinya Cina menjadi konsumen minyak kedua terbesar di dunia. 3 Sepuluh tahun sebelumnya produksi minyak dalam negeri Cina telah stagnan dan ia menjadi negara pengimpor minyak sejak saat itu.Semakin meningkatnya kebutuhan Cina terhadap sumber energi telah mendorong negara ini untuk memastikan bahwa aliran pasokan energi tidak terganggu.Selama ini Cina telah menjalankan berbagai strategi dalam rangka memenuhi kebutuhan energinya. Dalam konteks ini, diversivikasi sumber energi bukan menjadi satu-satunya strategi Cina, tetapi keamanan distribusi sumber energi dari negara produsen ke Cina juga menjadi penting. Jalur darat dan jalur laut merupakan dua cara utama penyaluran energi Cina sehinggastrategi pengamanan jalur laut dan jalur darat mendapat perhatian yang besar dari pemerintah. Keamanan energi bagi Cina tidak hanya menyangkut kebijakan strategis dalam pencarian sumber-sumber energi, tetapi juga menjamin keamanan jalur transportasi energi tersebut. Adalah salah satu prioritas utama bagi pemerintah untuk memastikan terdapatnya free navigation disepanjang jalur transportasi laut dunia atau Sea Lines of Communications(SLOCs) yang membentang dari Timur Tengah hingga Laut Cina Selatan. 1 M. Sugiono, et.al.,Ketahanan Energi di Asia Pasifik dan Implikasinya Bagi Indonesia: Laporan Penelitian , Pusat Studi Energi UGM, Yogyakarta, 2010, p. 6. 2 J. Lewis, ‘Energy and Climate Goals of China’s 12th Five-Year Plan,Center For Climate and Energy Solution (daring), March 2011, <http://www.c2es.org/international/key-country-policies/china/energy-climate- goals-twelfth-five-year-plan>, diakses pada 5 Juni 2014. 3 ‘China,’ U.S. Energy Information Administration(daring), 4 February 2014, <http://www.eia.gov/ countries/cab.cfm?fips=ch>, diakses pada 29 November 2014.

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar...

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Sebagai hasil dari reformasi ekonomi yang dijalankan sejak akhir tahun 1978, Cina

bergerak menjadi pemain utama dalam perekonomian dunia. Pembukaan pasar yang

berujung pada pesatnya pertumbuhan ekonomi Cina telah menimbulkan sebuah

konsekuensi logis berupa kebutuhan akan jaminan pasokan energi yang semakin besar.1

Hubungan antara energi dan pertumbuhan ekonomi menjadi hal yang sangat penting bagi

Cina. Tanpa pengurangan kebutuhan energi secara masif, Cina membutuhkan konsumsi

energi sebesar tiga kali lipat dari saat ini agar pertumbuhan ekonominya tetap berlanjut.2

Pada tahun 2003, untuk pertama kalinya Cina menjadi konsumen minyak kedua

terbesar di dunia.3 Sepuluh tahun sebelumnya produksi minyak dalam negeri Cina telah

stagnan dan ia menjadi negara pengimpor minyak sejak saat itu.Semakin meningkatnya

kebutuhan Cina terhadap sumber energi telah mendorong negara ini untuk memastikan

bahwa aliran pasokan energi tidak terganggu.Selama ini Cina telah menjalankan berbagai

strategi dalam rangka memenuhi kebutuhan energinya. Dalam konteks ini, diversivikasi

sumber energi bukan menjadi satu-satunya strategi Cina, tetapi keamanan distribusi sumber

energi dari negara produsen ke Cina juga menjadi penting. Jalur darat dan jalur laut

merupakan dua cara utama penyaluran energi Cina sehinggastrategi pengamanan jalur laut

dan jalur darat mendapat perhatian yang besar dari pemerintah.

Keamanan energi bagi Cina tidak hanya menyangkut kebijakan strategis dalam

pencarian sumber-sumber energi, tetapi juga menjamin keamanan jalur transportasi energi

tersebut. Adalah salah satu prioritas utama bagi pemerintah untuk memastikan terdapatnya

free navigation disepanjang jalur transportasi laut dunia atau Sea Lines of

Communications(SLOCs) yang membentang dari Timur Tengah hingga Laut Cina Selatan.

1M. Sugiono, et.al.,Ketahanan Energi di Asia Pasifik dan Implikasinya Bagi Indonesia: Laporan Penelitian,

Pusat Studi Energi UGM, Yogyakarta, 2010, p. 6. 2J. Lewis, ‘Energy and Climate Goals of China’s 12th Five-Year Plan,’Center For Climate and Energy

Solution (daring), March 2011, <http://www.c2es.org/international/key-country-policies/china/energy-climate-

goals-twelfth-five-year-plan>, diakses pada 5 Juni 2014. 3 ‘China,’ U.S. Energy Information Administration(daring), 4 February 2014, <http://www.eia.gov/

countries/cab.cfm?fips=ch>, diakses pada 29 November 2014.

2

Keamanantransportasi suplai energi di wilayah lautan yang kritis merupakan salah satu

prioritas utama kebijakan luar negeri Cina.4

Dalam China’s Energy Policy 2012, disebutkan bahwapenting bagi Cina “to ensure

the security of international energy transport routes and avoid geopolitical conflicts that

affect the world’s energy supply.”5Salah satu jalur perdagangan energi itu adalah Samudera

Hindia. Kepentingan pengamanan jalur perdagangan Cina di Asia Selatan telah memberikan

implikasi terhadap semakin meningkatnya pengaruh dan peran Cina di wilayah yang

berbatasan dengan Samudera Hindia tersebut. Menurut Shrikant Kondapalli, profesor di

Universitas Jawaharlal Nehru, Cina melakukan pembangunan di negara-negara kecil di

sekitar Samudera Hindia demi minyak. Sekitar 80% sumber minyak Cina berasal dari Timur

Tengah dan Afrika, yang seluruhnya ditransportasikan melewati Samudera Hindia.6 Paul

Smith dari U.S. Naval War College mengemukakan bahwa Samudera Hindia menjadi arena

strategis pada abad ke-21 ini. Cina melihat Samudera Hindia sebagai kunci dari kebangkitan

geopolitiknya, khususnya pada wilayah-wilayah yang menjadi jalur penghubung bagi

sumber energi yang berasal dari Timur Tengah dan Afrika. Jika Amerika Serikat (AS)

menjadikan Asia Pasifik sebagai poros politik luar negerinya saat ini, maka Cina

menjadikan wilayah Samudera Hindia sebagai poros baru dalam kebijakan luar negerinya.7

Dalam beberapa dekade terakhir, Cina telah menjalankan kebijakan strategis di Asia

Selatan sebagai usaha membangun jalur perdagangan baru. Cina secara masif meningkatkan

kerja sama dan membina hubungan maritim dengan Pakistan, Sri Lanka, Bangladesh dan

Myanmar untuk membangun posisi yang lebih strategis dan melindungi jalur transportasi

energi. Negara-negara ini bernilai strategis bagi Cina karena dapat memberikan rute

transportasi energi yang lebih singkat melalui perjalanan darat ke wilayah Cina, di samping

melalui jalur konvensional pelayaran dunia. Mereka akan menjadi jalur penghubung yang

sangat penting antara Cina dan negara-negara yang kaya energi.

4J.R. Holmes &T. Oshihara, Chinese Naval Strategy in 21st Century: The Turn to Mahan, Routledge, Oxon,

2007, p.4. 5‘China’s Energy Policy 2012,’ Gov.cn (daring), <http://www.gov.cn/english/official/2012-

10/24/content_2250497_10.htm> diakses pada 20 November 2014. 6M. Devichand, ‘Is Chittagong one of China’s String of Pearls,’BBC News (daring), 10 May 2010,

<http://news.bbc.co.uk/2/hi/business/8687917.stm>, diakses pada 5 Juni 2014. 7J.B. Miller, ‘China Making A Play at Bangladesh,’ Forbes (daring), 3 January 2014,

<http://www.forbes.com/sites/jonathanmiller/2014/01/03/china-making-a-play-at-bangladesh/>, diakses pada 5

Juni 2014.

3

1.2. Pertanyaan penelitian

Berdasarkan uraian di atas, penulis mengajukan pertanyaan penelitian: bagaimana

Cina menjalankan strategi politik luar negeri di Pakistan, Sri Lanka, Bangladesh, dan

Myanmar dalam konteks upaya pengamanan jalur transportasi suplai energi ?

1.3 Kerangka konseptual

Untuk menjawab pertanyaan penelitian, penulis akan menggunakan konsep-

konsepketahanan energi, “strings of pearls”, dan prinsip “pembangunan damai” dalam

politik luar negeri Cina.

Ketahahan Energi

Xu Yi-Chong menjelaskan ketahanan energi sebagai “the security of an ‘adequate’

and ‘reliable’ energy supply at a ‘stable’ price.”8Ini sejalan dengan definisiInternational

Energy Agency(IEA):ketahanan energi adalah “uninterupted availability of energy

resources at an affordable price.”9 Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa mengamankan

pasokan energi merupakan perhatian utama bagi seluruh negara. Pengamanan suplai energi

ini juga melibatkan berbagai isu seperti tidak terganggunya akses pada sumber energi serta

keamanan transportasi dan stabilitas harga.10

Dalam rangka menjamin ketersediaan energi, salah satu strategi utama Cina adalah

menjalankan apa yang disebut sebagai ‘diplomasi minyak’ dan pencarian equity purchase

dengan cara “going out/go international.”11 Diversifikasi dan kebijakan “going out” sebagai

usaha menjamin suplai yang cukup bagi kebutuhan energi domestik Cina menimbulkan

sejumlah implikasi baru. Salah satunya adalah bagaimana Cina harus bersikap terhadap

keamanan jalur transportasi suplai energi. Mehdi P. Amineh dan Yang Guang berargumen

bahwa salah satu tantangan terpenting dalam ketahanan energi Cina adalah meningkatnya

ketergantungan terhadap impor dari pasar internasional. Peningkatan ini menempatkan

ketahanan energi Cina dalam ancaman atas transportasi energi dunia, baik itu rute navigasi

maupun jalur pipa. 12 Inisejalan dengan keterangan dalam China’s Energy Policy

8Xu Yi-Chong, ‘China’s Energy Security’, Australian Journal of International Affairs, vol. 60, no. 2, June

2006, p. 266. 9‘Energy Security,’International Energy Agency (daring), <http://www.iea.org/topics/energysecurity/>,

diakses pada 20 Juni 2014. 10Xu Yi-Chong, p. 266. 11Sugiono, et.al, p. 19. 12M.P. Amineh & Y. Guang, Secure Oil and Alternative Energy: The Geopolitics of Energy Paths of China

and European Union, Brill, Leiden, 2012, p.26.

4

2012:“Marine transportation of petroleum and cross-border pipeline transmission of oil

and gas face ever-greater security risks.”13

Menurut Donna Nincic, terdapat dua ancaman dalam keamanan energi, yaitu ancaman

terhadap suplai minyak dan gas alam serta ancaman terhadap infrastruktur energi,

khususnya transportasi. Berbagai permasalahan seperti ancaman teroris di wilayah maritim,

pembajakan, dan sengketateritorial menjadi masalah yang sering terjadi. Ketika seluruh

permasalahan ini bergabung dan menimbulkan ancaman bagi pelayaran niaga, ia juga

menimbulkan ancaman terhadap keamanan akses terhadap energi.14 Ditegaskan oleh David

Zweig dan Bi Jianhai, “securing China’s energy needs does not just revolve around

obtaining them, but more importantly, the ability to get them home safely.”15 Dalam konteks

ini, ketersediaan sumber dan keamanan jalur transportasi telah menjadi perhatian utama

pemerintah Cina.16

Saat ini, keamanan energi berfokus kepada perlindungan seluruh rantai suplai energi.

Transportasi sebagai bagian dari rantai suplai energi menjadi hal yang penting. Kontrol

berbagai lokasi strategis merupakan bagian penting dalam transportasi internasional,

utamanya untuk mengurangi kemungkinan berbagai gangguan. 17 Akan halnya Cina,

Presiden Hu Jintao dalam Kongres PKC di tahun 2003 mendeskripsikan apa yang disebut

sebagai“Dilema Malaka.” Dilema Malaka merujuk kepada kecemasan dari pemerintah Cina

terhadap adanya kemungkinan kontrol di Selat Malaka oleh negara adidaya tertentu yang

dapat menimbulkan krisis bagi Cina.18Merespon uraian Hu tentang Dilema Malaka, China

Youth Daily mempublikasikan sebuah artikel yang menuturkan bahwa “tidak berlebihan jika

mengatakan bahwa siapa saja yang mengkontrol Selat Malaka akan memiliki kekuatan

terhadap rute energi Cina.”19

13‘China’s Energy Policy 2012.’ 14D.J. Nincic, ‘Troubled Waters: Energy Security as Maritime Security’, dalam G. Luft & A. Korin (eds.),

Energy Security Challenges in the 21st Century: A Reference Handbook, ABC-CLIO, California, 2009, p.31. 15D. Zweig &B. Jianhai, ‘China’s Global Hunt For Energy’, Foreign Affairs (daring), September

2005,<http://www.foreignaffairs.com/articles/61017/david-zweig-and-bi-jianhai/chinas-global-hunt-for-

energy>, diakses pada 23 September 2014. 16Sugiono, et.al, p. 27. 17W. Anderson & J-P. Rodriguez, ‘Transborder/Cross-boder Transportation,’The Geography of Transport

Systems(daring),<http://people.hofstra.edu/geotrans/eng/ch5en/conc5en/ch5c1en.html>, diakses pada 23

September 2014. 18J.J. Blazevic, ‘Defensive Realism in Indian Ocean: Oil, Sea Lines, and Security Dilemma,’ China Security,

vol. 5, no. 3, 2009, p. 62. 19J.M. Smith, Cold Peace: China-India Rivalry in the Twenty Firs Century, Lexington Books, Maryland,

2014, p. 148.

5

Penulis akan menggunakan konsep ketahanan energi ini untuk menunjukkan bahwa

potensi masalah energi bagi Cina tidak saja terkait akses terhadap produsen energi,tetapi

jugakeamanan jalur transportasi energi dunia.Kekhawatiran Cina terhadap jaminan

keamanan laut berimplikasi pada strateginya untuk mengamankan pengiriman energi dari

Timur Tengah dan Afrika ke daratan Cina.

Cina telah menjadi negara pengimpor minyak dan gas, sehingga Cina

sangatbergantung kepada keamanan Samudera Hindia, Selat Malaka, dan Laut Cina Selatan.

Negara-negara yang mengirimkan minyak ke Cina melalui jalur darat hanyalah Rusia dan

Kazakstan; selain kedua negara ini semua negara pengekspor energi ke Cina harus melewati

Samudera Hindia.20Ketergantungan yang besar bagi jalur pelayaran di wilayah perairan

yang yang menghubungkan Cina dengan Afrika dan Timur Tengah telah menimbulkan

risiko yang tinggi bagi ketahanan energi Cina.

Dalam konsep ketahanan energi akan dijelaskan bahwa untuk dapat memiliki kontrol

atas lokasi-lokasi strategis seperti Selat Malaka dan Samudera Hindia dalam rangka

menjaga keamanan jalur transportasi sumber energi, maka penting bagi Cina untuk menjalin

kerjasama dengan negara-negara di sekitar jalur transportasi energi dunia. Pakistan, Sri

Lanka, Bangladesh, dan Myanmar merupakan negara-negara yang perlu didekati oleh Cina

untuk melindungi jalur transportasi energinya. Selain pengamanan jalur transportasi laut

dengan menempatkan pengaruh di Pakistan, Sri Lanka, Bangladesh, dan Myanmar, Cina

juga mambangun jalur transportasi darat bagi distribusi energinya melalui Pakistan,

Bangladesh, dan Myanmar hingga mencapai daratan Cina. Tampak di sni bahwa untuk

mencapai ketahanan energi Cina tidak saja harus menjalin kerjasama dengan negara-negara

produsen energi dunia, tetapi juga negara-negara yang memiliki lokasi strategis dalam

transportasi energi seperti Pakistan, Sri Lanka, Bangladesh, dan Myanmar.

“String of Pearls”

Frasa “string of pearls” pertama kali digunakan oleh perusahaan konsulatan keamanan

Booz-Allen-Hamilton dalam laporan Energy Futures in Asia di tahun 2005. Di tahun 2006,

Christopher Pehrson dari U.S Army War Colleemengembangkan secara mendalam konsep

“string of pearls” ini. Menurut Pehrson, ‘pearl’ dimaksudkan sebagai lokasi di mana Cina

menempatkan benih-benih pengaruh, mengamankan dan mengelola daerah tersebut dengan

20U.S Energy Information Administration, China’s Reliance on Shipping Crude Oil Throught the Strait of

Malaca, May 2011, <http://sites.tufts.edu/gis/files/2013/02/Brutlag_Daniel.pdf>, diakses pada 10 September

2014.

6

menggunakan kemampuan ekonomi, geopolitik, diplomasi atau militer. Strategi “string of

pearls” mendeskripsikan berkembangnya pengaruh geopolitik Cina melalui usaha-

usahapeningkatan akses pada pelabuhan dan lapangan terbang, membangun hubungan

diplomatik khusus, dan modernisasi angkatan bersenjata di wilayah yang membentang dari

Laut Cina Selatan, Selat Malaka, Samudera Hindia, hingga Teluk Arab. “Strings of pearls”

menunjukkan bahwa Cina sedang membangun hubungan strategis dan kemampuan serta

kehadirannya di sepanjang SLOCs yang menghubungkan Cina dengan Timur Tengah.21

Pehrson lebih lanjut menerangkan bahwa motivasi dari pembentukan “string of

pearls” ini adalah kepentingan ekonomi. Selama masa kunjungan Perdana Menteri Li

Keqiang di Asia Selatan pada Mei 2013, beberapa inisiatif penting seperti China-Pakistan

Economic Corridor dan BCIM (Bangladesh-India-China-Myanmar) Economic Corridor

dilontarkan dengan tujuan meningkatkan konektivitas diantara negara-negara tersebut,

mempromosikan perdagangan dan menciptakan pasar yang besar, serta menciptakan sinergi

dalam pembangunan. Wakil ketua biro energi nasional Cina, Wu-Hsiung,pada National

Conference on Energy pada Januari 2014 mengungkapkan bahwa “pembangunan Silk Road

Economic Belt dan 21st Maritime Silk Roadditujukan guna mengkoordinasikan situasi

domestik dan internasional dan untuk meningkatkan level kerjasama internasional dalam

energi dengan mengkonsolidasikan dan memperluas pembangunan empat rute tranportasi

minyak dan gas di barat laut, timur laut, barat daya, dan lepas pantai Cina. Akselerasi Silk

Road Economic Zone dan 21st Century Silk Roaddijalankan baik di India, Myanmar,

Bangladesh, maupun Pakistan sebagai jalur utama kerjasama energi, mempromosikan

industri, konstruksi, peralatan teknis, dan industri jasa di hilir.”22

Tujuan utama Cina adalah keberlangsungan rezim, integritas teritori, dan stabilitas

domestik, yang seluruhnya tidak dapat dipisahkan dengan kepentingan ekonomi.Shee Poon

Kim lebih jelas menerangkan bahwa terdapat setidaknya enam tujuan Cina menjalankan

“string of pearls”:

1. Meningkatkan sumber energi

Mengamankan akses pada sumber energi juga berarti mengamankan pelabuhan dan jalur

pipa, yang merupakan dasar dari pokok utama transportasi energi Cina. Tidak aneh jika

21C.J. Pehrson, ‘String of Pearls: Meeting the Challenge of China’s Rising Power Across The Asian

Littoral,’ Strategic Studies Institute (daring), 25 July 2006, <http://www.strategicstudiesinstitute.army.mil/

pdffiles/PUB721.pdf>,diakses pada 6 Juli 2014. 22 National Energy Administration, Transfer and adjusment of the structure to promote strong regulatory

reform and improve people protect supply energy to work a solid job in 2014 – 2014 speech at the National

Conference on Energy (daring), 2 February 2014, <http://www.nea.gov.cn/2014-02/11/c_133105714.htm>

diakses pada 8 Januari 2015.

7

Cina menjadi “the world’s second large merchant marine fleet.”23 Pelayaran menjadi

transportasi utama untuk minyak. Membangun dan meningkatkan pelabuhan berarti

bahwa rute pelayaran akan menjadi lebih pendek dan ship docking times akan berkurang.

Pengoperasian dan pengamanan pelabuhan dari negara-negara tetangga harus

memastikan bahwa pelabuhan-pelabuhan tersebut harus saling terhubung untuk

membentuk semacam saluran yang dapat membawa energi tersebut menuju Cina.

2. Akses pada pasar-pasar baru

Keberadaan Cina melalui “pearls” akan membuka pintu kepada pasar yang selama ini

tertutup bagi barang-barang Cina. Selain itu, bantuan-bantuan yang diberikan oleh Cina

juga akan menjaga pertumbuhan ekonomi Cina. Bisnis Cina juga akan memperoleh

keuntungan dari berbagai proyek infrastruktur yang sangat besar.

3. Membangun kontrol atas value chain dan rute pasokan

Dengan menjaga rezim dan memiliki kontrol terhadap infrastruktur minyak dan suplai,

aliran pasokan minyak Cina akan terjaga kestabilannya.

4. Pembangunan sosial dan stabilitas politik

Dalam menjaga legitimasinya, penting bagi PKC untuk tetap menjaga pertumbuhan

ekonomi sehingga ketidakamanan sosial dapat dihindarkan. Untuk mempertahankan

pertumbuhan ekonomi itu, Cina harus mengamankan kebutuhan energinya.

5. Menetralisir persaingan

Cina bukanlah satu-satunya negara yang menjadi pemain utama global dalam upaya

memperoleh energi. “String of pearls’ merupakan bagian dari langkah Cina untuk

menetralisir berbagai usaha India, misalnya, sehingga akses India pada pelabuhan-

pelabuhan strategis, jalur pelayaran, kesempatan memperoleh jalur pipa dan rute

transportasi penting bisa dikurangi.

6. Membuka choke point dengan pelabuhan dan jalur pipa

Minyak yang dibawa melalui jalur pelayaran harus melewati tiga titik penting yang

sangat rawan terhadap gangguan, yaitu Teluk Aden, Selat Hormuz, dan Selat Malaka.

Cina menjalankan strategi “string of pearls” untuk menjaga lokasi-lokasi tersebut tetap

terbuka bagi pelayaran energi Cina. Dengan meletakkan jalur pipa dan pembangunan

23L. Goldstein & M. Chase, ‘Applying the brakes to naval rivalry in the Western Pacific: An agenda for

U.S.-China Maritime partnership,’ dalam P. Dutton, R.S. Ross & Ø. Tunsjø (eds.), Twenty First Century

Seapower: Cooperation and Conflict at Sea, Routledge, New York, 2012, p.250.

8

pelabuhanpada negara-negara “string of pearls,” ketergantungan Cina untuk melewati

chokepoints tersebut dapat dikurangi.24

Usaha mengamankan SLOCssangat mendukung strategi kebijakan energi Cina dan

merupakan dasar dari “string of pearls.”Salah satu untaian dari “string of pearls” adalah

Pakistan, Sri Lanka, Bangladesh, dan Myanmar.25Menurut Lin, ‘pearls’ Cina antara lain

diwujudkan dengan membangun lapangan terbang di Pulau Woody di kepulauan Paracel;

fasilitas pelabuhan di Chittagong, Bangladesh; pembangunan pelabuhan laut dalam di

Sittwe, Myanmar; pembangunan basis Angkatan Laut di Gwandar, Pakistan; jalur pipa

melewati Islamabad dan jalan raya Karakoram menuju Kashgar di provinsi Xinjiang;

fasilitas intelejen di kepulauan sekitar Teluk Bengal dan pelabuhan Hambantota di Sri

Lanka; dan lainnya. 26Ini masih ditambah dengan diplomasi ekonomidan pembangunan

infrastruktur demi memajukan pembangunan dan kepentingan bersama.27

Pada masa pemerintahan Hu Jintao dan Wen Jiabao telah dibahas tentang ‘economic-

based diplomacy’. Instruksi tersebut menekankan bahwa ‘using politics to boost economics

and using economics to boost politics so as to attain mutually beneficial relations with

foreign countries’. Wen Jiabao juga mengindikasikan bahwa perdagangan, investasi, dan

bantuan luar negeri menjadi bagian dari senjata diplomasi Cina. 28 Purse Diplomacy

merupakan salah satu terminologi dalam diplomasi ekonomi. Purse diplomacy ini dilakukan

untuk memperoleh kepentingan Cina pada negara-negara di dunia dan dilakukan untuk

meningkatkan citra Cina pada negara-negara di dunia melalui perdagangan, investasi dan

bantuan luar negeri.Purse Diplomacy yang sangat efektif dan sering dilakukan oleh Cina

adalah pemberian investasi asing. Para pemimpin Cina berkunjung keberbagai negara untuk

memberikan investasinya. Menurut Heritage Foundation, investasi asing yang diberikan

Cina pada tahun 2000 – 2011 ditujukan pada energi yakni sebesar 47%.29 Sejak akhir tahun

24S.P. Kim, ‘An Anatomy of China’s ‘String of Pearls’ Strategy,’ The Hikone Ronso, no. 387, 2011, pp. 26-

31. 25Zhou Bo, ‘The String of Pearls and Maritime Silk Road,’ China US Focus (daring), 11 February 2014,

<http://www.chinausfocus.com/foreign-policy/the-string-of-pearls-and-the-maritime-silk-road/>, diakses pada 7

Juni 2014. 26C.Y. Lin, ‘Militarization of China’s Energy Security Policy – Defence Cooperation and WMD

Proliferation Along its String of Pearls in the Indian Ocean’, Institute fur Strategie–Politik–Sicherheits–und

Wirtschaftsberatung (ISPSW), 18 June 2008, <http://kms2.isn.ethz.ch/serviceengine/Files/ESDP/56390/

ipublicationdocument_singledocument/b70929f4-7a87-4e77-afc4-daa73699daea/en/StringPearls.pdf>, diakses

pada 7 Juni 2014. 27 Lihat ‘White Paper on Peaceful Development Road’, China.org.cn (daring), http://www.china.org.cn/

english/2005/Dec/152669.htm#1, diakses pada 20 November 2014. 28W.W-L. Lam, Chinese Politcs in the Era of Xi Jinping : Renaissance, Reform, or Retrogression?,

Routledge, New York, 2015, p. 200. 29W.W-L. Lam, p. 201.

9

2000 Cina telah menjadi negara pemberi investasi terbesar bagi negara-negara berkembang.

Melaluipurse diplomacy maka Cina banyak membangun aliansi strategis dalam politik dan

ekonomi dengan negara-negara berkembang.

Penulis akanberfokus mengindentifikasi kawasan tertentu yang menjadi salah satu

tujuan strategi “string of pearls”, yakni Asia Selatan – diwakili di sini oleh Pakistan, Sri

Lanka, Bangladesh, dan Myanmar. Keempat negara ini memiliki lokasi yang berbatasan

langsung dengan Samudera Hindia yang merupakan jalur pelayaran dunia serta memiliki

kedekatan wilayah dengan Cina. Penulis akan menunjukkan keberadaan,

motivasi,strategidan pengaruh Cina di negara-negara tersebut menurut konsepsi “string of

pearls”.

“Pembangunan Damai”

Salah satu prinsip dan tujuan utama politik luar negeri Cina adalah “pembangunan

damai.” Sebelum konsep ini muncul, sebelumnya ada “teori kebangkitan damai” yang

dipelopori oleh Wakil Ketua Central Party School Partai Komunis Cina (PKC) Zheng Bijian

pada Desember 2002. Dalam pidatonya yang berjudul The new road of China’s peaceful

rise and the future of Asia, Zheng menjelaskan bahwa jalan yang dibangun oleh Cina dalam

pembangunannya “bukan hanya jalan untuk mencapai kebangkitan, tetapi juga jalan yang

mematuhi perdamaian dan tidak mencari hegemoni.”30 Kemudian, pada Desember 2003,

saat berpidato di Universitas Harvard, Perdana Menteri Wen Jiabao menjadi pemimpin

senior pertama yang mendukung “kebangkitan damai” untuk dipublikasikan.

Pada 26 Desember 2003, saat mengikuti simposium peringatan 110 tahun kelahiran

Mao Zedong, Presiden Hu Jintao menekankan bahwa Cina “harus menekankan kepada jalur

kebangkitan damai, menjalin kerukunan dengan seluruh negara di dunia berdasarkan

prinsip-prinsipperdamaian, secara aktif membangun kerjasama dengan negara-negara di

dunia atas dasar kesetaraan dan keuntungan bersama, dan berkontribusi kepada nilai luhur

perdamaian dan pembangunan umat manusia.”31 Dalam konferensi pers Kongres Partai

Nasional ke-10 pada pertengahan Maret 2004, PM Wen menjelaskan tentang aspek-aspek

“kebangkitan damai” Cina.Namun, dalam konferensi Boao pada bulan April 2004Presiden

Hu menghindari frasa“kebangkitan damai” dan menggantinya dengan frasa“pembangunan

damai.” Sejak itu, “kebangkitan damai” menghilang dan Hu mendorong penggunaan konsep

30B.S. Glaser & E.S. Medeiros, ‘The Changing Ecology of Foreign Policy-Making in China: The Ascension

and Demise of the Theory of “Peaceful Rise”, The China Quarterly, no. 190, June 2007, p. 294. 31Glaser &Medeiros, p. 298.

10

“pembangunan damai,”yang secara perlahandiasosiasikan dengan “dunia yang harmonis”,

“win-win solution”, “demokratisasi hubungan internasional”, dan “penggunaan soft

diplomacy.” 32 Pada Desember 2005, Dewan Negara mengeluarkan laporan resmi yang

berjudul China’s Peaceful Development Road, dan menghindari penggunaan istilah

“kebangkitan damai.”33

Cina secara resmi menggunakan konsep “pembangunan damai” yang terdengar tidak

terlalu mengancam dan menggunakan frasa“harmoni” dalam membangun hubungan dengan

negara-negara yang memiliki kekuatan besar di dunia. Cina berupaya untuk meyakinkan

dunia bahwa ia sedang mempersiapkan diri untuk menjadi bagian dari sistem internasional

tanpa mengacaukan sistem internasional tersebut. Presiden Hu menjelaskan konsep

“pembangunan damai”lebih lanjut dalam pidatonya di Washington, D.C., pada tahun 2006.

Menurut Hu, Cina menganut paham “pembangunan damai”: Cina dengan tegas

berkomitmen untuk mengembangkan pembangunan di dalam negeri, memelihara

perdamaian dunia dan mempromosikan pembangunan umum internasional.34

Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat, kebangkitan Cina mendapat

banyak perhatian dari dunia internasional. Secara umum dunia melihat kebangkitan Cina

sebagai sebuah peringatan. Dalam hal ekonomi, kebangkitan Cina dipandang sebagai

ancaman bagi sebagian pihak. Banyak pengamat Cina melihat bahwa kerangka besar

kebijakan luar negeri Cina dan strategi militernya bertujuan untuk mengontrol wilayah Asia-

Pasifik.35 Sementara itu, terdapat juga pihak yang memandang bahwa pembangunan damai

Cina memberikan efek positif sebagai sumber dari kesempatan dan kerjasama. Salah satu

negara yang memiliki persepsi positif itu adalah Pakistan.36

Melalui politik luar negeri “pembangunan damai”, dalam sistem internasional Cina

dituntut untuk mampu meningkatkan hubungan dalam bidang politik-keamanan, ekonomi,

dan sosial-budaya dengan negara lain, terutama negara-negara tetangganya. Pada Oktober

2013, Presiden Xi Jinping mengusulkan “the 21st Century Maritime Silk Road” atau 21shiji

32Glaser & Medeiros, p.299. 33Glaser & Medeiros, p. 295. Perubahan dari “kebangkitan damai” menjadi “pembangunan damai” ini

merupakan hasil pemikiran dari para pembuat kebijakan Cina yang berupaya untuk menghindari masalah-

masalah yang umumnya dialami oleh kekuatan-kekuatan yang baru saja bangkit, seperti Jepang, Jerman, dan

Uni Soviet. Untuk menghindari penggunaan frasa yang dapat memicu provokasi, pemilihan slogan diplomatik

itu diubah menjadi “pembangunan damai.” 34D.K. Davis, Modern World Leaders: Hu Jintao, Chelsea House Publishers, New York, 2007, p.74. 35Z. Wang, ‘The Perception Gap Between China and Its Neighbors,’The Diplomat (daring), 6 August

2014,<http://thediplomat.com/2014/08/the-perception-gap-between-china-and-its-neighbors/>, diakses pada 21

September 2014. 36I.A. Lodhi, ‘Pakistan: Perception and Responses of an All-weather Friend,’ dalamS.D. Muni & T.T. Yong

(eds.), A Resurgent China: South Asian Perspectives, Routledge, New Delhi, 2012, p. 155.

11

haishang sichouzhiludalam perjalanannya di Asia Tenggara.37Dahulu Maritime Silk Road

dibentuk oleh Jendral Zheng He sebagai bagian dari tujuh perjalanannya melewati

Samudera Hindia selama masa Dinasti Ming (1368-1644).Dalam ekspedisinya ia

membangun legitimasi Cina sebagai kekuatan maritim, dan sekarang Cina membentuk

sebuah inisiatif baru dengan mengambil rute Maritiem Silk Road tersebut. Merentang

sepanjang Asia Tengah, Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Asia Barat, “Maritime Silk Road”

dapat disebut sebagai upaya Cina untuk memperoleh kepentingan di negara-negara

tetangganya di selatan. 38 Cina membangun kehadirannya melalui Maritime Silk Road

dikarenakan kepentingan ekonomi dan besarnya perhatian Cina terhadap ketahanan energi.

Cina berupaya membangun institusi-institusi yang dapat menjamin stabilitas dan

konektivitas disepanjang jalur palayaran internasional, utamanya Samudera Hindia dan Laut

Cina Selatan.Maritime Silk Roadmenekankan pada kerjasama ekonomi dan

keamanandengan memperkuat “ekonomi maritim, kerjasama teknis dan ilmu pengetahuan.”

Perjanjian bilateral dan konsultasi diplomatik yang damai juga dilakukan oleh Cina. Hal ini

memainkan peranan yang besar dalam hubungan Cina di wilayah selatan.

Kebijakan ‘good-neighbor’ dalam Maritime Silk Road juga memacu banyak kerja

sama yang dilakukan Cina dengan negara-negara tetangganya. Usulan Cina dalam konsep

ini dapat menghubungkan Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, sekaligus merupakan

bagian dari propaganda Cina untuk meyakinkan kepada dunia akan “pembangunan

damai.”39

Mohan Malik berargumen bahwa “Maritime Silk Road , a means for Beijing to extend

its influence along critical sea lines and to reassure its neighbors of its benign intention as

well as to deter adversaries.”40 Melalui implementasi agenda geoekonomi dan geopolitik

ini maka Cina berekspektasi bahwa seluruh negara-negara tetangganya di wilayah Asia akan

ikut dalam ‘a community of common destiny’.41 Melalui politik luar negeri “pembangunan

37S. Tiezzi, ‘Maritime Silk Road vs. String of Pearls,’ The Diplomat (daring), 13 February 2014,

<http://thediplomat.com/2014/02/the-maritime-silk-road-vs-the-string-of-pearls/>, diakses pada 22 September

2014. 38M.D. Swaine, ‘Chinese Views and Commentary on Periphery Diplomacy,’ China Leadership Monitor

(daring), no. 44, 2014, p. 31, <http://www.hoover.org/sites/default/files/research/docs/clm44ms.pdf>, diakses

pada 9 September 2014. 39K. Sibal, ‘China’s Maritime ‘silk road’ proposal are not as peaceful as they seem’, Dailymail(daring), 24

February 2014,<http://www.dailymail.co.uk/indiahome/indianews/article-2566881/Chinas-maritime-silk-road-

proposals-not-peaceful-seem.html>, diakses pada 22 September 2014. 40M. Malik, ‘The Indo-Pacific Maritime Domain : Challenges and Opportunities’, dalam M. Malik (ed.),

Maritime Security In The Indo-Pasific: Perspectives from China, India, and United States, Rowman &

Littlefield, Maryland, 2014, p. 19. 41D. Arase, ‘China’s Two Silk Roads: Implication For Southeast Asia (Amanded Version)’, ISEAS

Perspective (daring), 22 January 2015,

12

damai”, khususnya “Maritime Silk Road”, dapat dilihat bagaimana Cina berinteraksi dengan

Pakistan, Sri Lanka, Bangladesh, dan Myanmar untuk mencapai kepentingan ketahanan

energinya tanpa menggunakan tindakan koersif.

1.4 Argumen utama

Kepentingan akan ketahanan energi mendorong Cina untuk menjalin kerja sama

dengan Pakistan, Sri Lanka, Bangladesh, dan Myanmar sesuai dengan prinsip

“pembangunan damai”.Hal ini sejalan dengan strategi ‘string of pearls’, di mana Cina

sedang membangun hubungan dan menanamkan pengaruh di keempat negara tersebut

melalui berbagai usaha seperti meningkatkan hubungan diplomatik melalui Maritime Silk

Roaddan menjalankan diplomasi ekonomi melalui Purse Diplomacy. Dengan usaha-usaha

tersebut Cina mendapatkan pengaruh dan kontrol di lokasi-lokasi penting seperti pelabuhan

dan pangkalan udara dan akses untuk menempatkan militernya di wilayah negara-negara

tersebut. Melalui strategi itu juga Cina mampu membangun jalur baru pipa minyak/gas

melalui Pakistan, Bangladesh, dan Myanmar menuju Cina sehingga jalur transportasi energi

Cina tidak saja melalui jalur laut yakni Samudera Hindia. Selama ini Cina memiliki

kecemasan di Samudera Hindia bagi transportasi suplai energinya. Membangun pengaruh

atas negara-negara yang berhubungan langsung dengan jalur transportasi penting dunia akan

memberikan jaminan keamanan bagi Cina kedepannya bahwa jalur pelayaran tetap terbuka

dan bebas sehingga kepentingan Cina terhadap ketahanan energi dapat tercapai.

1.5 Sistematika penulisan

Skripsi yang akan penulis kerjakan akan terdiri dari lima bab. Setelah Bab Pertama

yang memuat setting dari pengkajian isu yang diteliti, Bab Kedua akan menggambarkan

pertumbuhan kebutuhan energi domestik Cina dan pentingnyasuplai energi bagi

kepentingan nasional Cina. Di bab inilah penulis menekankan ketahanan energi sebagai

salah satu tujuan utama politik luar negeri Cina.Pada bab ini juga akan dibahas hubungan

antara ketahanan energi dengan prinsip “pembangunan damai” yang dikaitkan dengan

keberadaan pengaruh Cina di berbagai kawasan.

Bab Ketiga akan menjelaskan kepentingan Cina di Pakistan, Sri Lanka, Bangladesh,

dan Myanmar, khususnya yang dikaitkan dengan ketahanan energi. Kemudian dalam Bab

<http://www.iseas.edu.sg/documents/publication/ISEAS_perspective_2015_02.pdf>, diakses pada 19 Januari

2015.

13

Keempat akan dijelaskanlebih jauh hubungan antara Cina dengan Pakistan, Bangladesh, Sri

Lanka, dan Myanmar, yang berpusat pada analisis tentang bagaimana Cina menjalankan

strategi-strategi politik luar negeri di keempat negara demi mencapai kepentingan ketahanan

energinya. Skripsi akan ditutup dengan Bab Kelima yang berisikan kesimpulan dan inferensi

dari temuan hasil penelitian.