BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.helvetia.ac.id/1033/2/BAB I - BAB III.pdf · 2019....
Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.helvetia.ac.id/1033/2/BAB I - BAB III.pdf · 2019....
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Masalah keamanan obat, dewasa ini menjadi perhatian penting bagi
banyak orang yang terlibat dalam pelayanan dan perawatan pasien di rumah sakit
yaitu mencakup pimpinan rumah sakit, dokter, perawat, apoteker, dan lain-lain.
Keberagaman obat-obatan, meningkatkanya jumlah dan jenis obat yang ditulis
perpasien, meningkatnya jumlah pasien rawat inap dan pasien rawat jalan yang
diobati serta berubahnya konsep pelayanan medik, mengakibatkan keharusan agar
suatu sistem praktik pengobatan yang aman dikembangkan dan dipelihara untuk
memastikan bahwa pasien menerima pelayanan dan proteksi yang sebaik mungkin
(1).
Kejadian kesalahan pemberian obat merupakan salah satu ukuran
pencapaian keselamatan pasien. Keselamatan Pasien (Patient Safety) merupakan
isu global dan nasional bagi rumah sakit, komponen penting dari mutu layanan
kesehatan, prinsip dasar dari pelayanan pasien dan komponen kritis dari
manajemen mutu (2).
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor129/ Menkes/ SK/
II/ 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal, tidak adanya kejadian kesalahan
pemberian obat sebesar 100%, hal itu berarti bahwa seharusnya kejadian
kesalahan pemberian obat atau medication error tidak boleh terjadi satupun dalam
pelayanan kesehatan. Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1027/
MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa kesalahan pemberian obat
(medicationerror) adalah kejadian yang merugikan pasien, akibat pemakaian obat
1
selama dalam penanganan kesehatan, yang sebetulnya dapat dicegah. Medication
error dalam setiap kejadian dapat di hindari yang menyebabkan atau berakibat
pada pelayanan obat yang tidak tepat atau membahayakan pasien sementara obat
berada dalam pengawasan tenaga kesehatan atau pasien (3).
Menurut Institute of Medicine (IOM), 400.000 kasus cedera pasien yang
dapat dihindari karena kesalahan pengobatan terjadi setiap tahun di rumah sakit di
Amerika Serikat. Biaya kesalahan ini berjumlah setidaknya $ 3,5 miliar (4).
Sebagai tambahan, antara 44.000 dan 98.000 pasien rumah sakit diperkirakan
meninggal setiap tahun akibat kesalahan obat-obatan (5). Insiden dan potensi
untuk menyebabkan cedera secara signifikan lebih tinggi untuk kesalahan
pengobatan di antara pediatrik pasien dibandingkan pasien dewasa (6).
Ferranti telah memastikan bahwa tingkat kesalahan pengobatan pediatrik
tiga kali lipat lebih tinggi daripada orang dewasa (7). Ini dianggap mencerminkan
fitur fisiologis dan perkembangan anak-anak sertakurangnya dosis obat yang
akurat untuk pasien anak (8). Tepat tingkat kesalahan obat berbeda sesuai dengan
definisi dan metode yang digunakan dalam studi yang berbeda (9). Stratton et al
mempelajari tingkat pemberitahuan kesalahan pengobatan oleh orang dewasa dan
perawat pediatrik dan melaporkan bahwa frekuensi kesalahan pengobatan adalah
14,8 per1.000 hari pasien dilayanan pediatrik tetapi hanya 5,66 dalam layanan
dewasa.
Kesalahan pemberian obat merupakan kejadian yang dapat merugikan atau
membahyakan pasien yang dilakukan oleh petugas kesehatan, khususnya dalam
hal pengobatan pasien. Kejadian medication error dibagi dalam empat fase, yaitu
fase prescribing (error terjadi pada penulisan resep), fase transcribing (error
terjadi pada saat pembacaan resep), fase dispensing (error terjadi pada saat
2
penyiapan hingga penyerahan obat) dan fase administration (error yang terjadi
pada proses penggunaan obat) (10).
Sebuah sidang pengadilan kesalahan pengobatan pada 2012 yang timbul
dari kesalahan yang terjadi beberapa tahun lalu di Finlandia menyoroti risiko yang
terkait dengan penggunaan obat dan keselamatan pasien. Tiga perawat
menghadapi persidangan dan beberapa dituntut karena kelalaian dalam
penggunaan obat (11). Insiden ini melibatkan pemberian Chlorhexidine (agen
antibakteri antiseptik yang tidak boleh dicerna) untuk 3 bayi berusia dua hari.
Produk ini dikira sebagai larutan gula, karena botolnya mirip.Pasien diringankan
penyakit sebagian dengan menggunakan terapi obat.
Laporan medication error dari RSUD Anwar Makkatutu Bantaeng yaitu
sebanyak 18 kasus (0.038% dari total 46660 lembar resep yang dilayani) pada
tahun 2010 dan 16 (0.031% dari total 51.513 lembar resep yang dilayani) kasus
pada tahun 2011, kejadian ini antara lain disebabkan karena pemberian obat yang
salah, dosis yang tidak rasional, kesalahan rute pemakaian, adanya kegagalan
komunikasi salah interpretasi antara prescriber dengan dispenser dalam
mengartikan resep, yang disebabkan oleh tulisan tangan prescriber yang tidak
jelas terutama bila ada nama obat yang hampir sama serta keduanya mempunyai
rute pemberian obat yang sama pula, dan penulisan aturan pakai yang tidak
lengkap. Tahun 2012 angka kejadian medication error di RSUD Prof Dr. H.M
Anwar Makkatutu kabupaten Bantaeng mengalami peningkatan menjadi 21 kasus
(0,027% dari total 77571 lembar resep yang dilayani) (12).
Penyebab terjadinya prescribing error yang sering ditemukan adalah
penulisan resep yang tidak jelas dan tidak lengkap (misalnya: dosis, jumlah, nama
pasien), hal ini disebabkan karena pengetahuan dokter tentang ketersediaan obat–
2 3
obatan tidak terinformasi dengan baik, tulisan yang buruk dan interupsi dari
keluarga pasien, proses selanjutnya adalah transcribing error dimana error yang
terjadi adalah kegagalan komunikasi antara prescriber dan dispenser sehingga
terjadi salah menulis (pembuatan copy resep) dan salah membaca resep,
umumnya obat dengan kategori LASA (Look Alike Sound Alike), kemudian
tahapan selanjutnya adalah dispensning error dimana error yang terjadi adalah
salah menyiapkan jumlah obat, salah menyiapkan obat karena bentuk obat yang
mirip (LASA) dikarenakan tempat penyimpanan yang berdekatan sehingga pada
tahap penyiapan obat di instalasi farmasi menjadi tidak sesuai dengan resep,
perhitungan dosis yang tidak tepat, adapun untuk administration error, ditemukan
pada saat obat di berikan kepada pasien lain dengan nama yang sama (terjadi di
unit perawatan), proses pemberian label/etiket terhadap identitas obat dan pasien
yang tidak sesuai dengan obatnya hal ini di pengaruhi oleh karakter masing–
masing individu, beban kerja dan, ketidakpahaman standar prosedur penyerahan
obat.
Berbagai kejadian error tersebut akan menjadi hambatan dalam mencapai
tujuan terapi, untuk meningkatkan kualitas hidup pasien sekaligus meminimalkan
resiko dalam pengobatan maka dengan demikian keselamatan pasien merupakan
bagian penting dalam risiko pelayanan di rumah sakit selain dari faktor risiko
keuangan (financial risk), risiko property (property risk), risiko tenaga profesi
(professional risk) maupun risiko lingkungan (environmental risk) (12).
Sihotang melakukan penelitian mengenai terjadi medication error di
ruangan rawat inap di RSU Adam Malik pada tahun 2014-2015. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa yang memiliki risiko kesalahan paling besar adalah fase
administration error sebesar 89,12%. yang merupakan jenis kesalahan yang
4
paling sering terjadi dan menimbulkan dampak yang paling parah dibandingkan
jenis kesalahan lainnya. Pihak yang paling bertanggung jawab dalam tahap drug
administration adalah perawat, sebab perawat berkewajiban dalam tindakan
pemberian obat. Faktor Individu perawat seperti : rendahnya pengetahuan tentang
farmakologi, miskomunikasi, kelelahan, salah membaca label obat, dan ketidak
patuhan dalam melaksanakan prinsip benar pemberian obat merupakan faktor
yang dapat menyebabkan medication administration error (13).
RSUD Kota Padangsidimpuan merupakan salah satu rumah sakit
rujukan dari puskesmas dan bidan praktik swasta di wilayah Kota
Padangsidimpuan yang memberikan pelayanan pasien 24 jam terus-menerus
tidak luput juga dengan adanya kejadian medication error. Berdasarkan hasil
survei pendahuluan di RSUD Kota Padangsidimpuan diketahui dalam jangka
waktu tahun 2015-2017 terdapat beberapa laporan kejadian medication error
paling banyak ditemukan di instalasi rawat inap sebanyak 13 kejadian yaitu 4
kejadian pada tahun 2015, 4 kejadian juga pada tahun 2016 dan meningkat
menjadi 5 kejadian pada tahun 2017, meskipun sebagian besar kasus tidak terjadi
dampak yang sangat fatal. Insiden tersebut salah satunya antara lain terjadi pada
pada pasien di ruang Kelas II (Ruangan Anak) RSUD Kota Padangsidimpuan
pada tahun 2017, perawat dituntut keluarga pasien karena kelalaian dalam
pemberian obat. Penerapan safety culture (budaya keselamatan) dan safety system
(sistem keselamatan) yang hingga saat ini pihak manajemen dan Diklat RSUD
Kota Padangsidimpuan lakukan belum berjalan dengan maksimal yang bertujuan
untuk meminimalisir dan mencegah kejadian yang sama terulang kembali di
masa yang akan datang hingga “0” kejadian medication error untuk dapat
memenuhi Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit.
5
Hasil wawancara pada survei awal yang dilakukan pada tanggal 08 Juni
2018 di ruang rawat inap ruang III (interna laki-laki) RSUD Kota
Padangsidimpuan, bahwa dari 14 orang yang di wawancarai pada perawat yang
sedang shift pagi, sore dan malam ada 3 orang (4,2%) pernah mengalami
kesalahan dalam pembacaan resep obat, karena kondisi lingkungan pada saat
proses pemberian obat berada pada kondisi yang tidak nyaman dimana
pencahayaan area kerja yang tidak mendukung saat bekerja. Perawat mengalami
kesalahan dalam dokumentasi sebanyak 8 orang (11,2%) dimana jumlah petugas
yang tidak memadai pada shif tertentu dan beban kerja yang berlebihan dan
merasa terganggu dengan dering telepon yang bunyi tiba-tiba. Kondisi yang
demikian dapat mengganggu konsentrasi dan perhatian sehingga kesalahan dapat
terjadi, 3 orang (4,2%) pernah mengalami kesalahan dalam waktu pemberian obat
dengan alasan jarak unit farmasi yang jauh, tidak adanya ruangan penyiapan obat,
dan temperatur yang tidak nyaman karena rumah sakit dalam proses renovasi
pembangunan. Dari data tersebut maka dapat menunjukkan bahwa masih adanya
perawat yang melakukan kesalahan dalam pemberian obat (14).
Berdasarkan penelitian Yosefien Ch. Donsul pada pelayanan kefarmasian
rawat inap bangsal anak RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado bahwa dokter,
perawat, apoteker dan asisten apoteker yang bertugas di irina E RSUP Prof Dr.
R.D. Kandou Manado menunjukkan dimana faktor penyebab medication error
fase prescribing meliputi beban kerja yaitu rasio antara beban kerja dan SDM
tidak seimbang, edukasi yaitu penulisan resep tidak memenuhi syarat kelengkapan
resep, gangguan bekerja yaitu terganggu dengan dering telepon, kondisi
lingkungan yaitu pencahayaan yang kurang mendukung saat bekerja, dan
komunikasi yaitu permintaan obat secara lisan. Faktor penyebab medication error
6
fase dispensing meliputi beban kerja yaitu rasio antara beban kerja dan SDM tidak
seimbang, edukasi yaitu penyiapan obat yang tidak sesuai permintaan resep,
komunikasi yaitu kurangnya komunikasi mengenai stok perbekalan farmasi,
kondisi lingkungan yaitu tidak adanya ruangan penyiapan obat dan gangguan
bekerja yaitu terganggu dengan dering telepon (15).
Faktor penyebab medication error fase administration meliputi beban
kerja yaitu rasio antara beban kerja dan SDM tidak seimbang, gangguan bekerja
yaitu terganggu dengan dering telepon, edukasi yaitu tidak tepat waktu pemberian
obat, kondisi lingkungan yaitu jarak unit farmasi tidak memudahkan tenaga
kesehatan dalam pemberian obat dan komunikasi yaitu kurangnya komunikasi
tenaga kesehatan dan pasien dalam penggunaan obat. Berbagai faktor yang
teridentifikasi dalam penelitian ini dapat berpengaruh terhadap pengobatan pasien
(15).
Berdasarkan data tersebut diatas, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian tentang faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya medication error
yang dilakukan perawat Instalasi Rawat Inap RSUD Kota Padangsidimpuan tahun
2018.
1.2. Rumusan Masalah
1.2.1. Apakah ada pengaruh komunikasi terhadap terjadinya medication error
yang dilakukan perawat Instalasi Rawat Inap RSUD Kota
Padangsidimpuan tahun 2018.
1.2.1. Apakah ada pengaruh kondisi lingkungan terhadap terjadinya medication
error yang dilakukan perawat Instalasi Rawat Inap RSUD Kota
Padangsidimpuan tahun 2018.
7
1.2.3. Apakah ada pengaruh gangguan atau interupsi pada saat bekerja terhadap
terjadinya medication error yang dilakukan perawat Instalasi Rawat Inap
RSUD Kota Padangsidimpuan tahun 2018.
1.2.4. Apakah ada pengaruh beban kerja terhadap terjadinya medication error
yang dilakukan perawat Instalasi Rawat Inap RSUD Kota
Padangsidimpuan tahun 2018.
1.2.5. Apakah ada pengaruh edukasi terhadap terjadinya medication error yang
dilakukan perawat Instalasi Rawat Inap RSUD Kota Padangsidimpuan
tahun 2018.
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Untuk mengetahui pengaruh komunikasi terhadap terjadinya medication
error yang dilakukan perawat Instalasi Rawat Inap RSUD Kota
Padangsidimpuan tahun 2018.
1.3.2. Untuk mengetahui pengaruh kondisi lingkungan terhadap terjadinya
medication error yang dilakukan perawat Instalasi Rawat Inap RSUD
Kota Padangsidimpuan tahun 2018.
1.3.3. Untuk mengetahui pengaruh gangguan atau interupsi pada saat bekerja
terhadap terjadinya medication error yang dilakukan perawat Instalasi
Rawat Inap RSUD Kota Padangsidimpuan tahun 2018.
1.3.4. Untuk mengetahui pengaruh beban kerja terhadap terjadinya medication
error yang dilakukan perawat Instalasi Rawat Inap RSUD Kota
Padangsidimpuan tahun 2018.
8
1.3.5. Untuk mengetahui pengaruh edukasi terhadap terjadinyamedication error
yang dilakukan perawat Instalasi Rawat Inap RSUD Kota
Padangsidimpuan tahun 2018.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan berguna dan bermanfaat secara teoritis
maupun secara praktis.
1.4.1. Secara Teoritis
1) Bagi Penulis
Untuk menerapkan teori-teori dan pengetahuan yang didapat di bangku
kuliah ke dalam masalah yang sebenarnya terjadi pada suatu instansi atau
Rumah Sakit.
2) Bagi Akademik
Digunakan sebagai bahan acuan dan perbandingan bagi penelitian lain
yang berminat mengembangkan topik bahasan ini dan melakukan
penelitian lebih lanjut.
1.4.2. Secara Praktis
1) Bagi Manajemen Rumah Sakit
Penelitian ini diharapkan bisa menjadi bahan masukan dan informasi yang
berharga bagi Rumah Sakit mengenai medication error
2) Bagi Masyarakat
Hasil penelitian dapat menjadi informasi bagi masyarakat mengenai faktor
yang berkontribusi terhadap terjadinya medication error yang dilakukan
perawat Instalasi Rawat Inap RSUD Kota Padangsidimpuan sehingga
dapat bertindak segera ketika terjadi error pada pasien.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Peneliti Terdahulu
Beberapa hasil penelitian sebelumnya berkaitan dengan tema faktor yang
berpengaruh terhadap terjadinya medication error yang dilakukan perawat
Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit yaitu:
Penelitian yang dilakukan oleh Budihardjo bahwa kejadian medication
error terjadi di ruangan rawat inap di RSU Haji Surabaya. Ruangan rawat inap
memiliki tingkat keterampilan perawat yang baik, namun memiliki tingkat
pengetahuan perawat dan kemampuan komunikasi perawat yang cukup.Variabel
ini penelitian adalah: keterampilan perawat, pengetahuan perawat, dan
komunikasi antara perawat dan pasien. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kejadian medication error pada tahun 2014-2016 berjumlah 14 kejadian yang
paling banyak terjadi pada ruang rawat inap bangsal (57,1%). Sebagian besar
ruang rawat inap (57,41%) memiliki keterampilan perawat yang baik, sebagian
besar pasien ruang rawat inapbangsal (57,1%) memiliki pengetahuan yang cukup
dan komunikasi perawat (16).
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa keterampilan perawat,
pengetahuan perawat, komunikasi antara perawat dan pasien berkontribusi pada
kejadian medication error di RSU Haji Surabaya. Saran diperuntukkan bagi pihak
manajemen dan Diklat RSU Haji Surabaya untuk dapat memberikan sosialisasi
atau edukasi di bidang pengetahuan dan keterampilan mengenai obat-obatan atau
farmakologi maupun medication error guna meminimalisir angka kejadian
10
medication errorhingga “0” untuk dapat memenuhi Standar Pelayanan Minimal
Rumah Sakit. Begitu pula dapat diadakan pelatihan komunikasi efektif bagi para
perawat guna memberikan pelayanan dengan kualitas terbaik (16).
Penelitian Karthikeyan M menunjukkan bahwa semua profesional
perawatan kesehatan memiliki tanggung jawab dalam mengidentifikasi faktor
yang berkontribusi terhadap kesalahan pengobatan dan untuk menggunakan
informasi dalam mengurangi medication error. Penelitian berfokus pada
kesalahan resep dan faktor berkontribusi pada medication error. Temuan kami
menyoroti bahwa variabel individu, kompleksitas pengobatan, kerjama, gangguan/
interupsi, komunikasi, Standar Prosedur Operasional, dan kenyamanan tempat
kerja terhadap kejadian medication error. Hasil penelitian menunjukkan variabel
karakteristik individu, yang terdiri dari usia, masa kerja, dan kompetensi; dan
variabel kerja sama yang memiliki hubungan yang signifikan terhadap kejadian
IKP dengan nilai p value masing-masing sebesar 0.028, 0.010, 0.028, dan 0.012.
Dengan kata lain variabel yang paling berpengaruh terhadap kejadian medication
error adalah variabel karakteristik individu sehingga hasil studi ini bisa menjadi
pertimbangan bagi Bagian SDM, Komite Keperawatan dan Bagian Keperawatan
Rumah Sakit X dalam melakukan seleksi dan pengembangan SDM Keperawatan
dalam upaya meningkatkan keselamatan pasien (17).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Nilasari di ruang rawat inap RS.
Pondok Indah Jakarta menunjukkan bahwa medication error sebelum e-
prescribing yaitu pada tahap prescribing adalah tidak ada no SIP dokter 100%,
tidak ada aturan pakai (signa) 22.56%, tidak menuliskan berat badan 12.53%,
11
tahap transcribing tidak menuliskan usia pasien 3.76% dan tidak ada durasi
pemberian obat sebanyak 100%, tahap dispensing adalah salah mengambil obat
dari rak 1.50% dan salah menempelkan etiket pasien pada obat 1.25%. Dan hasil
medication error sesudah e-prescribing yaitu pada tahap prescribing tidak ada no
SIP dokter 100%, pada tahap transcribing tidak menuliskan pemberian dosis
0.75%, tidak menuliskan durasi pemberian obat 1,50%, pada tahap dispensing
salah mengambil obat dari rak sebanyak 1%, salah menempelkan etiket pasien
pada obat 0,75%, dan tahap administration adalah obat tidak diberikan tepat
waktu sebanyak 17,29% (18).
Penyebab pada tahap prescribing adalah tulisan dokter tidak terbaca, tidak
menuliskan umur dan berat badan, penyebab pada tahap transcribing ketika resep
tidak terbaca staf mempunyai asumsi terhadap tulisan dokter, pada tahap
dispensing pada saat penyiapan obat yang mempunyai bentuk yang sama (look
alike sound alike) dan staf mengerjakan resep lebih dari satu lembar dalam waktu
yang bersamaan, tahap administration waktu pemberian minum obat tidak
tercapai karena menyesuaikan dengan jam makan pasien. Terjadinya peningkatan
pelaporan incident report menunjukkan bahwa budaya staf untuk melapor
mengenai incident yang terjadi sudah berjalan dengan baik hal ini menunjukkan
kepedulian staf dalam meningkatkan patient safety (18).
Penelitian Noor Cahaya pasien rawat inap stroke dan Diabetes Mellitus di
RSUD Ulin Banjarmasin menunjukkan bahwa medication error merupakan
permasalahan yang sering terjadi di rumah sakit. Angka kejadian medication error
pada pasien rawat inap berkisar 3-7% dan setiap minggu farmasis menemukan
12
135 prescribing error pada pasien rawat inap sehingga menimbulkan berbagai
dampak mulai dari yang ringan hingga serius. Hasil analisis diperoleh prevalensi
prescribing error pada pasien stroke (N = 1210;35.0%) lebih besar daripada
pasien diabetes mellitus (N = 556; 16.0%). Rasio prevalensi kejadian prescribing
error pada pasien stroke lebih besar dari pasien diabetes mellitus (RP = 1.53; p =
0.000; 95%CI 1,337-1,767). Pasien stroke memiliki resiko kejadian prescribing
error lebih besar dengan nilai rasio prevalensi sebesar 1.53 dibanding pasien
diabetes mellitus. Pasien stroke memiliki resiko mengalami kejadian prescribing
error lebih besar dari pasien diabetes mellitus (RP= 1,53; p = 0,000; 95%CI
1,337-1,767). Pasien non asuransi memiliki resiko mengalami kejadian
prescribing error lebih besar dari pasien asuransi (RP= 1,95; p = 0,000; 95%CI
1,718-2,211) (19).
Penelitian Johari pada 48 perawat sebagai responden di Rumah Sakit.
Identifikasi tingkat pengetahuan dan faktor yang paling berkontribusi yang
mengarah kemedication error yang memungkinkan semua personel involved
dalam meresepkan, mempersiapkan, dan melayani obat-obatan pada pasien. Studi
menemukan bahwa pengetahuan perawat di Rumah Sakit tentang administrasi
obat lebih dari setengah dari perawat memiliki (54%) pengetahuan tinggi tentang
pengobatan, sementara 46% memiliki pengetahuan rendah tentang pengobatan.
Sementara yang menunjukkan bahwa faktor yang paling berkontribusi pada
kesalahan pengobatan adalah beban kerja yang berat dan pesanan yang rumit
95,8% (n = 46), kemudian diikuti oleh persentase staf baru 81,2% (n=39) dan
pribadi diabaikan 66% (n=31) (20).
13
Berdasarkan penelitian Elfiansih, bawa studi kasus medication errors di
ruang rawat inap RSI Ngk menunjukkan bahwa angka kejadian medication errors
diruang rawat inap RSI Ngk mengalami peningkatan, walaupun masih berupa
Kejadian Nyaris Cidera (KNC). Kesalahan yang paling sering terjadipada fase
preschribing. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya medication errors di
RSI Ngk meliputi kegagalan komunikasi, ketersediaan SDM yang belum
mencukupi, desain tugas yang perlu di supervisi, internal petugas berupa ketidak
hati-hatian dan penurunan motivasi sertakekuatan tim. Akar masalah yang muncul
pada kasus ini adalah ketidak lengkapan penulisan resep sehingga petugas salah
menginterpretasikan perintah dalam resep. Kesimpulan dan Saran: Pada kasus
medication errors di ruang rawat inap RSI Ngk faktor pemicunya adalah
kegagalan komunikasi, dimana terdapat penulisan resep yang tidak lengkap
(sebagai akar masalah) sehingga menimbulkan kesalahan interpretasi petugas di
layanan. Keadaan ini didukung dengan adanya kelemahan pada manajemen SDM,
desain tugas dan faktor internal pada petugas. Kejadian ini tidak sampai terpapar
pada pasien disebabkan adanya kekuatan tim yang cepat merespon kesalahan
tersebut.Untuk meminimalisir dan mencegah kejadian yang sama terulang
kembali di masa yang akan datang maka RSI Ngk harus menerapkan safety
culturedan safety system (21).
2.2. Telaah Teori
2.2.1. Medication Error
Medication error merupakan salah satu permasalahan yang masih sering
terjadi pada pasien.Dan secara umum medication error adalah suatu kesalahan
dalam pengobatan yang dapat terjadi pada saat peresepan, pemberian dan
14
administrasi obat yang salah yang dapat menyebabkan suatu konsekuensi terhadap
pasien baik resiko ringan ataupun berat. Setiap tenaga kesehatan memiliki potensi
tindakan kesalahan dalam keselamatan pasien (10).
2.2.2. Definisi Medication Error
Error merupakan suatu kegagalan atau hasil yang tidak diharapkan dari
sesuatu yang telah direncanakan untuk diselesaikan sesuai dengan tujuan
(kesalahan pada pelaksanaan) atau kesalahan atau kegagalan pada saat
perencanaan untuk mencapai tujuan atau keinginan (kesalahan pada perencanaan)
(22).
Kesalahan pengobatan (medication error) merupakan semua keadaan atau
kejadian yang dapat menyebabkan penyaluran pengobatan tidak sesuai dengan
yang diharapkan dimana dapat mencelakakan pasien (23).
Medication error merupakan kesalahan yang terjadi dalam pemberian
pelayanan pengobatan terhadap pasien yang menyebabkan tejadinya kegagalan
dalam pengobatan sehingga dapat memiliki potensi membahayan keselamatan
pasien dalam perawatan (24). Kesalahan pengobatan (medication error) adalah
kejadian yang dapat merugikan keselamatan pasien akibat pemakaian obat selama
dalam pengawasan pengobatan tenaga kesehatan, yang sebetulnya dapat dicegah .
Dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 58 tahun 2014
menyebutkan bahwa medication error adalah kejadian yang merugikan pasien,
akibat pemakaian obat selama dalam penanganan tenaga kesehatan yang
sebetulnya dapat dicegah (25). Kesalahan dapat terjadi setiap fase mulai dari
peresepan (dokter), dispensing (apoteker atau staf dispensing), administration
(perawat atau pasien). Medication Error adalah setiap kejadian yang dapat
15 15
dihindari yang dapat menyebabkan atau berakibat pada pelayanan obat yang tidak
tepat atau membahayakan pasien sementara obat berada dalam pengawasan
tenaga kesehatan atau pasien (26).
2.2.3. Klasifikasi Medication Error
Tipe-tipe kesalahan pengobatan berdasarkan dari dampak klinis terjadinya
kesalahan menurut National Coordinating Council for Medication Error
Reporting and Preventing (NCCMERP) yang dilihat dari tingkat keparahan hasil
dari pasien (27). Tercantum dalam tabel berikut:
Tabel 2.1. Kategori Medication Errors menurut National Coordinating
Council for Medication Error Reporting and Prevention
(NCCMERP 2005)
Kategori Definisi Level error A Kejadian yang masih berpotensi akan
menyebabkan kecelakaan No Error
B Kesalahan telah terjadi namun kesalahan tersebut belum mencapai pada pasien
Error, No Harm
C Kesalahan terjadi dan telah mencapai pasien namun tidak mencederai pasien
Error, No Harm
D Kesalahan terjadi pada pasien dan dibutuhkan pengawasan untuk mencegah cedera pada pasien atau membutuhkan intervensi untuk mencegah cedera/kecelakaan tersebut
Error, No Harm
E Kesalahan terjadiyang berkontribusi terhadap adanya injury sementara dan dibutuhkan intervensi
Error, Harm
F Kesalahan yang terjadi dapat berkontribusi terhadap adanya injury sementara pada pasien yang membutuhkan perawatan di rumah sakit dalam waktu lama
Error, Harm
G Kesalahan yang terjadi dapat berkontribusi terhadap adanya kecacatan permanen
Error, Harm
H
Kesalahan yang terjadi membutuhkan intervensi yang mampu mempertahankan hidup/ menyelamatkan nyawa pasien.
Error, Harm Error, Death
I Kesalahan terjadi yang menyebabkan kematian pasien
16
2.1. Gambar diagram medication error
(Sumber :27)
Menurut tahun Cohen, M.R. tahun 1999 kejadian medication error dibagi
4 fase, yaitu fase transcribing (error terjadi pada saat pembacaan resep atau
pemahaman), fase dispensing (error terjadi pada saat penyiapan hingga
penyerahan obat) dan fase administration (error yang terjadi pada proses
penggunaan obat) (10).
1. Prescribing Error
Medication error pada fase prescribing adalah error yang terjadi pada
fasepenulisan resep. Fase ini meliputi:
a. Kesalahan resep
- Seleksi obat (didasarkan pada indikasi, kontraindikasi, alergi
yangdiketahui, terapi obat yang ada, dan faktor lain), dosis, bentuk
sediaan, mutu, rute, konsentrasi, kecepatan pemberian, atau
instruksi untuk menggunakan suatu obat yang diorder atau
diotorisasi oleh dokter (atau misalnya seorang pasien dengan
17
infeksi bakteri yang resisten terhadap obat yang ditulis untuk
pasien tersebut.
- Resep atau order obat yang tidak terbaca yang menyebabkan
kesalahan yang sampai pada pasien.
b. Kesalahan karena yang tidak diotorisasi
- Pemberian kepada pasien, obat yang tidak diotorisasi oleh seorang
penulis resep yang sah untuk pasien. Mencakup suatu obat yang
keliru, suatu dosis diberikan kepada pasien yang keliru, obat yang
tidak diorder, duplikasi dosis, dosis diberikan di luar pedoman atau
protokol klinik yang telah ditetapkan, misalnya obat diberikan
hanya bila tekanan darahpasien turun di bawah suatu tingkat
tekanan yang ditetapkan sebelumnya.
c. Kesalahan karena dosis tidak benar
- Pemberian kepada pasien suatu dosis yang lebih besar atau lebih
kecildari jumlah yang diorder oleh dokter penulis resep atau
pemberian dosis duplikat kepada pasien, yaitu satu atau lebih unit
dosis sebagai tambahan pada dosis obat yang diorder.
d. Kesalahan karena indikasi tidak diobati
- Kondisi medis pasien memerlukan terapi obat tetapi tidak
menerima suatu obat untuk indikasi tersebut. Misalnya seorang
pasien hipertensi atau glukoma tetapi tidak menggunakan obat
untuk masalah ini.
e. Kesalahan karena penggunaan obat yang tidak diperlukan
- Pasien menerima suatu obat untuk suatu kondisi medis yang tidak
memerlukan terapi obat.
18
2. Transcription Error
Pada fase transcribing, kesalahan terjadi pada saat pembacaan resep untuk
proses dispensing, antara lain salah membaca resep karena tulisan yang tidak
jelas. Salah dalam menterjemahkan order pembuatan resep dan signature juga
dapat terjadi pada fase ini.
Jenis kesalahan obat yang termasuk transcription error, yaitu:
a. Kesalahan karena pemantauan yang keliru
- Gagal mengkaji suatu regimen tertulis untuk ketepatan dan
pendeteksian masalah, atau gagal menggunakan data klinik atau
data laboratorium untuk pengkajian respon pasien yang memadai
terhadap terapi yang ditulis.
b. Kesalahan karena ROM (Reaksi Obat Merugikan)
- Pasien mengalami suatu masalah medis sebagai akibat dari ROM
atau efek samping.
- Reaksi diharapkan atau tidak diharapkan, seperti ruam dengan suatu
antibiotik, pasien memerlukan perhatian pelayanan medis.
c. Kesalahan karena interaksi obat
- Pasien mengalami masalah medis, sebagai akibat dari interaksi
obat-obat, obat-makanan, atau obat-prosedur laboratorium.
3. Administration Error
Kesalahan pada fase administration adalah kesalahan yang terjadi pada
proses penggunaan obat. Fase ini dapat melibatkan petugas apotek dan pasien atau
keluarganya. Kesalahan yang terjadi misalnya pasien salah menggunakan
supositoria yang seharusnya melalui dubur tapi dimakan dengan bubur, salah
19
waktu minum obatnya seharusnya 1 jam sebelum makan tetapi diminum bersama
makan.
Jenis kesalahan obat yang termasuk administration errors yaitu :
a. Kesalahan karena lalai memberikan obat
- Gagal memberikan satu dosis yang diorder untuk seorang pasien,
sebelum dosis terjadwal berikutnya.
b. Kesalahan karena waktu pemberian yang keliru
- Pemberian obat di luar suatu jarak waktu yang ditentukan sebelumnya
dariwaktu pemberian obat terjadwal.
c. Kesalahan karena teknik pemberian yang keliru
- Prosedur yang tidak tepat atau teknik yang tidak benar dalam
pemberiansuatu obat.
- Kesalahan rute pemberian yang keliru berbeda dengan yang ditulis;
melaluirute yang benar, tetapi tempat yang keliru (misalnya mata kiri
sebagai gantimata kanan), kesalahan karena kecepatan pemberian yang
keliru.
d. Kesalahan karena tidak patuh
- Perilaku pasien yang tidak tepat berkenaan dengan ketaatan pada
suaturegimen obat yang ditulis. Misalnya paling umum tidak
patuhmenggunakan terapi obat antihipertensi.
e. Kesalahan karena rute pemberian tidak benar
- Pemberian suatu obat melalui rute yang lain dari yang diorder oleh
dokter, juga termasuk dosis yang diberikan melalui rute yang benar,
20
tetapi padatempat yang keliru (misalnya mata kiri, seharusnya mata
kanan).
f. Kesalahan karena gagal menerima obat
- Kondisi medis pasien memerlukan terapi obat, tetapi untuk alasan
farmasetik, psikologis, sosiologis, atau ekonomis, pasien tidak
menerima atau tidak menggunakan obat.
4. Dispensing Error
Kesalahan pada fase dispensing terjadi pada saat penyiapan hingga
penyerahan resep oleh petugas apotek. Salah satu kemungkinan terjadinya error
adalah salah dalam mengambil obat dari rak penyimpanan karena kemasan atau
nama obat yang mirip atau dapat pula terjadi karena berdekatan letaknya. Selain
itu, salah dalam menghitung jumlah tablet yang akan diracik ataupun salah dalam
pemberian informasi.
Jenis kesalahan obat yang termasuk Dispensing errors yaitu :
a. Kesalahan karena bentuk sediaan
- Pemberian kepada pasien suatu sediaan obat dalam bentuk berbeda
dariyang diorder oleh dokter penulis.
- Penggerusan tablet lepas lambat, termasuk kesalahan.
b. Kesalahan karena pembuatan/penyiapan obat yang keliru
- Sediaan obat diformulasi atau disiapkan tidak benar sebelum
pemberian. Misalnya, pengenceran yang tidak benar, atau rekonstitusi
suatu sediaanyang tidak benar. Tidak mengocok suspensi. Mencampur
obat-obat yang secara fisik atau kimia inkompatibel.
21
- Penggunaan obat kadaluarsa, tidak melindungi obat terhadap
pemaparancahaya.
c. Kesalahan karena pemberian obat yang rusak
- Pemberian suatu obat yang telah kadaluarsa atau keutuhan fisik atau
kimiabentuk sediaan telah membahayakan. Termasuk obat-obat yang
disimpansecara tidak tepat.
Adapun bentuk-bentuk kejadian medication error disajikan dalam Tabel
2.2 sebagai berikut :
Tabel 2.2 Bentuk-Bentuk Kejadian Medication Error
Prescribing Transcribing Dispensing Administration
1. Kontra
indikasi
1. Copy error 1. Kontra indikasi 1. Administration
error
2. Duplikasi 2. Dibaca keliru 2. Dosis berlebih 2. kontra indikasi
3. Tidak terbaca 3. Ada instruksi
yang
dilewatkan
3. Kegagalan
menerjemahkan
instruksi
3. Obat tertinggal
di samping bed
4. Instruksi tidak
jelas
4. Mis- stamped 4. Kurangnya
persediaan obat
4. Dosis berlebih
5. Instruksi
keliru
5. Instruksi tidak
dikerjakan
5. Instruksi
penggunaan
obat tidak jelas
5. kegagalan
mencek
instruksi
6. Instruksi tidak
lengkap
6. Instruksi
verbal
diterjemahkan
salah
6. Salah
menghitung
dosis
6. Tidak mencek
identitas pasien
7. Penghitungan
dosis keliru
7. Salah memeberi
label
7. Dosis keluri
8. Salah menulis
instruksi
8. Salah menulis
instruksi
9. Dosis keliru 9. Patien off unit
10. Pemberian obat
diluar instruksi
10. Pembetian obat
diluar instruksi
11. Instruksi verbal
dijalankan
keliru
11. Instruksi verbal
dijalankan
keliru
22
2.2.4. Prevalensi Medication Error
Institute of Medication (IOM) melaporkan adanya kejadian yang tidak
diharapkan (KTD) pada pasien rawat inap di Amerika telah terjadi paling sedikit
44.000 bahkan 98.000 orang meninggal karena medical error dan 7.000 kasus
karena medication error (ME). Pada penelitian yang sebelumnya dari 229 resep
yang ditemukan 226 resep dengan medication error yang terjadi diinstalasi rawat
jalan pada rumah sakit pemerintahan di Yogyakarta. Dari 226 medication error,
99,12% adalah prescribing errors, 3,02% merupakan pharmaceutical errors dan
3,66% adalah pada proses dispensing (28).
2.2.5. Penyebab terjadinya Medication Error
Medication error dapat terjadi dikarenakan adanya petugas yang kurang
berpengalaman, kemiripan nama obat (look alike sound alike), salah dalam proses
transkripsi, beban pekerjaan yang berlebihan, dan jumlah petugas yang kurang
memadai (29). Medication error dapat terjadi pada berbagai keadaan, menurut
American Hospital Association (30). sebagai berikut:
1. Informasi pasien yang tidak lengkap, misalnya tidak ada informasi tentang
riwayat alergi dan penggunaan obat sebelumnya.
2. Tidak diberikan obat yang layak, misalnya cara minum atau menggunakan
obat, frekuensi dan lama pemberian hingga peringatan jika timbul efek
samping.
3. Kesalahan komunikasi dalam peresepan, misalnya interpretasi apoteker yang
keliru dalam membaca resep dokter, kesalahan membaca nama obat yang
23
relatif mirip dengan obat lainnya, kesalahan membaca desimal, pembacaan
unit dosis hingga singkatan peresepan yang tidak jelas (q.d atau q.i.d/QD).
4. Pelabelan kemasan obat yang tidak jelas sehingga beresiko dibaca keliru oleh
pasien.
5. Faktor-faktor lingkungan, seperti ruang apotek atau ruang obat yang tidak
terang sehingga suasana tempat kerja yang tidak nyaman yang dapat
mengakibatkan timbulnya medication error.
Menurut Kemenkes Faktor-faktor lain yang berkontribusi pada medication
error antara lain: (31).
1. Komunikasi ( mis-komunikasi, kegagalan dalam berkomunikasi)
Komunikasi yang baik antar apoteker maupun dengan petugas kesehatan
lainnya perlu dilakukan dengan jelas untuk menghindari penafsiran ganda atau
ketidaklengkapan informasi dengan berbicara perlahan dan jelas. Perlu dibuat
daftar singkat dan penulisan dosis yang berisiko menimbulkan kesalahan untuk
diwaspadai.
2. Kondisi Lingkungan
Untuk menghindari kesalahan yang berkaitan dengan dengan kondisi
lingkungan, area dispensing harus di desain dengan tepat dan sesuai dengan
alur kerja, untuk menurunkan kelelahan dengan pencahayaan yang cukup dan
temperatur yang nyaman. Selain itu, area kerja harus bersih, dan teratur untuk
mencegah terjadinya kesalahan. Obat yang disediakan untuk pasien harus
disediakan nampan yang terpisah.
24
3. Gangguan atau interupsi pada saat bekerja
Gangguan atau interupsi harus seminimal mungkin dengan mengurangi
interupsi baik langsung maupun melalui telepon.
4. Beban Kerja
Rasio antara beban kerja dan SDM yang cukup tinggi untuk mengurangi stress
dan beban kerja yang berlebihan sehingga dapat menurunkan kesalahan.
5. Edukasi Staff
Meskipun edukasi staff merupakan cara yang tidak cukup kuat dalam
menurunkan insiden atau kesalahan, tetapi mereka dapat memainkan peran
penting ketika dilibatkan dalam sistem menurunkan insiden atau kesalahan.
2.2.6. Prinsip 5 Benar dalam Pemberian Obat
1. Benar pasien
Sebelum obat diberikan, identitas pasien harus diperiksa (papan identitas
di tempat tidur, gelang identitas) atau ditanyakan langsung kepada pasien
atau keluarganya. Jika pasien tidak sanggup berespon secara verbal,
respon non verbal dapat dipakai, misalnya pasien mengangguk. Jika pasien
tidak sanggup mengidentifikasi diri akibat gangguan mental atau
kesadaran, harus dicari cara identifikasi yang lain seperti menanyakan
langsung kepada keluarganya. Bayi harus selalu diidentifikasi dari gelang
identitasnya.
2. Benar obat
Obat memiliki nama dagang dan nama generik. Setiap obat dengan nama
dagang yang asing (baru kita dengar namanya) harus diperiksa nama
generiknya, bila perlu hubungi apoteker untuk menanyakan nama
25
generiknya atau kandungan obat. Sebelum memberi obat kepada pasien,
label pada botol atau kemasannya harus diperiksa tiga kali. Pertama saat
membaca permintaan obat dan botolnya diambil dari rak obat, kedua label
botol dibandingkan dengan obat yang diminta, ketiga saat dikembalikan ke
rak obat.
Jika labelnya tidak terbaca, isinya tidak boleh dipakai dan harus
dikembalikan ke bagian farmasi. Jika pasien meragukan obatnya, perawat
harus memeriksanya lagi. Saat memberi obat perawat harus ingat untuk
apa obat itu diberikan. Ini membantu mengingat nama obat dan kerjanya.
3. Benar dosis
Sebelum memberi obat, perawat harus memeriksa dosisnya. Jika ragu,
perawat harus berkonsultasi dengan dokter yang menulis resep atau
apoteker sebelum dilanjutkan ke pasien. Jika pasien meragukan dosisnya
perawat harus memeriksanya lagi. Ada beberapa obat baik ampul maupun
tablet memiliki dosis yang berbeda tiap ampul atau tabletnya.
4. Benar cara/ rute
Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang berbeda. Faktor yang
menentukan pemberian rute terbaik ditentukan oleh keadaan umum pasien,
kecepatan respon yang diinginkan, sifat kimiawi dan fisik obat, serta
tempat kerja yang diinginkan. Obat dapat diberikan peroral, sublingual,
parenteral, topikal, rektal, inhalasi.
5. Benar waktu
Ini sangat penting, khususnya bagi obat yang efektivitasnya tergantung
untuk mencapai atau mempertahankan kadar darah yang memadai. Jika
obat harus diminum sebelum makan, untuk memperoleh kadar yang
26
diperlukan, harus diberi satu jam sebelum makan. Ingat dalam pemberian
antibiotik yang tidak boleh diberikan bersama susu karena susu dapat (31).
2.2.7. Upaya Pencegahan Terjadinya Medication Error
Kesalahan obat berkisar dari resiko minimal sampai ke risiko yang
mengancam kehidupan pasien. Kesalahan ini diakibatkan oleh karena
melaksanakan suatu kesalahan (commission) atau kesalahan karena tidak
mengambil tindakan yang seharusnya diambil (omission). Berbagai metode
pendekatan organisasi sebagai upaya menurunkan medication error yang jika
dipaparkan untuk menurunkan tingkat kesalahan pengobatan (medicationerror)
menurut Departemen Kesehatan (32).
1. Memaksa fungsi dan batasan ( forcing function and constraints)
Suatu upaya mendesain sistem yang mendorong seseorang melakukan hal
yang baik, contoh: sediaan potassium clorida siap pakai dalam konsentrasi 10%
NaCl 0,9%, karena sediaan dipasar dalam konsentrasi 20% (>10%) yang
mengakibatkan fatal (henti jantung dan nekrosis pada tempat injeksi).
2. Otomatis dan komputer (computerized prescribing order entry)
Membuat statis/ rebotisasi pekerjaan berulang yang sudah pasti dengan
dukungan teknologi, contoh : komputerisasi proses penulisan resep oleh dokter
diikuti dengan tanda “ atau tanda peringatan jika diluar standar (ada standar
otomatis ketika digoxin ditulis 0,5g).
3. Standar dan protokol, standarisasi prosedur
Menetapkan standar berdasarkan bukti ilmiah dan standarisasi prosedur
(menetapkan standar pelaporan insiden dengan prosedur baku). Kontribusi
27
apoteker dalam panitia farmasi dan terapi serta pemenuhan sertifikasi/akreditasi
pelayanan memegang peranan penting.
4. Sistem daftar tilik dan cek ulang
Alat kontrol berupa alat tilik dan penetapan cek ulang setiap lagkah kritis
dalam pelayanan.Untuk mendukung efektifitas sistemini diperlukan pemetaan
analisis titik krisis dan sistem.
5. Peraturan dan kebijakan
Untuk mendukung keamanan proses managemen obat pasien, contoh:
semua resep rawat inap harus melalui supervisi apoteker.
6. Pendidikan dan Informasi
Penyediaan informasi setiap saat tentang obat, pengobatan dan pelatihan
bagi tenaga kesehatan tentang prosedur untuk meningkatkan kompetensi dan
mendukung kesulitan pengambilan keputusan saat memerlukan informasi.
7. Lebih hati-hati dan waspada
Membangun lingkungan kondusif untuk mencegah kesalahan, contoh :
baca sekali lagi sebelum menyerahkan.
2.2.8. Pengelolaan Kesalahan Obat
Penggolongan kesalahan obat memungkinkan pengelolaan tindak lanjut
yang lebih baik terhadap pendeteksian kesalahan obat. Penetapan penyebab
kesalahan obat harus digabung dengan pengkajian dari keparahan kesalahan.
Korelasi antara kesalahan dan metode distribusi obat harus dikaji (misal, dosis
unit, persediaan diruang, atau obat ruah; pracampuran dan sediaan oral atau
injeksi). Proses ini akan membantu mengidentifikasi masalah sistem dan
merangsang perubahan untuk meminimalkan terjadinya kesalahan kembali (33).
28
Tindakan berikut direkomendasikan untuk pendeteksian kesalahan, antara
lain :
a) Setiap terapi perbaikan dan terapi pendukung yang perlu harus diberikan
kepada pasien.
b) Untuk kesalahan yang signifikan secara klinik, pemberitahuan secara lisan
segera disampaikan pada dokter, perawat, dan kepala IFRS. Suatu laporan
kesalahan obat tertulis harus segera menyusul.
c) Untuk kesalahan yang signifikan secara klinik, pengumpulan fakta dan
investigasi harus dimulai dengan segera.
d) Laporan kesalahan yang signifikan secara klinik dan kegiatan perbaikan
beraitan harus dikaji oleh pengawas, kepala bagian SMF yang terlibat,
administrator rumah sakit yang sesuai, komite keselamatan rumah sakit
dan penasehat hukum.
e) Apabila diperlukan, pengawas dan anggota staf yang terlibat dalam
kesalahan harus membicarakan tentang bagaimana kesalahan terjadi dan
bagaimana terjadinya kembali dapat dicegah.
f) Informasi yang diperoleh dari laporan kesalahan obat dan sarana lain yang
menunjukkan kegagalan berkelanjutan, harus berlaku sebagai suatu
manajemen yang efektif dan alat edukasi dalam pengembangan staf.
g) Pengawas, pimpinan bagian/departemen dan berbagai komite yang sesuai,
harus mengkaji laporan kesalahan dan menetapkan penyebab dari
kesalahan serta mengembangkan tindakan untuk mencegah terjadinya
kembali.
h) Kesalahan obat harus dilaporkan kepada program pemantauan rumah sakit
agar pengalaman dari apoteker, perawat, dokter dan pasien, serta untuk
29
mengembangkan pelayanan edukasi yang bernilai, untuk pencegahan
kesalahan yang akan datang.
2.2.9. Faktor Yang Memengaruhi Terjadinya Medication Error yang
Dilakukan Perawat Instalasi Rawat Inap RSUD Kota
Padangsidimpuan
1. Komunikasi ( mis-komunikasi, kegagalan dalam berkomunikasi)
Dalam pelayanan kesehatan, komunikasi adalah sebuah kegiatan yang
lazim terjadi antara seorang perawat dengan pasien. Menurut Hoveland dalam
Widjaja, komunikasi adalah suatu proses dimana seorang individu menyampaikan
perangsang (biasanya lambang-lambang dalam bentuk kata-kata) untuk mengubah
tingkah laku orang lain/individu lain. Untuk itu harus ada kesepahaman arti dalam
proses penyampaian informasi tersebut agar tercapai komunikasi yang efektif
(34).
Komunikasi antara perawat dengan pasien harus disampaikan secara jelas
agar pasien memahami keadaan kesehatannya ataupun instruksi mengenai
pengobatan yang disampaikan oleh perawat Instalasi Rawat Inap RSUD Kota
Padangsidimpuan. Hal-hal yang harus diinformasikan dan didiskusikan pada
pasien adalah : pemahaman yang jelas mengenai indikasi penggunaan obat,
peringatan yang berkaitan dengan proses pengobatan, informasi mengenai efek
samping obat, reaksi obat yang tidak diinginkan (Adverse Drug Reaction – ADR)
dan informasi mengenai penyimpanan dan penanganan obat di rumah termasuk
mengenali obat yang sudah rusak atau kadaluarsa (33).
2. Kondisi Lingkungan
Kondisi lingkungan bertujuan untuk menghindari kesalahan yang
berkaitan dengan dengan kondisi lingkungan, area dispensing harus di desain
30
dengan tepat dan sesuai dengan alur kerja, untuk menurunkan kelelahan dengan
pencahayaan yang cukup mendukung saat bekerja, adanya ruangan penyiapan
obat, dan temperatur yang nyaman serta jarak unit farmasi yang memudahkan
tenaga kesehatan dalam pemberian obat. Selain itu, area kerja harus bersih, dan
teratur untuk mencegah terjadinya kesalahan. Obat yang disediakan untuk pasien
harus disediakan nampan yang terpisah. Apabila tidak adanya ruangan penyiapan
obat/racikan kesalahan pada saat dispensing dapat terjadi (2).
Dari hasil survei awal penelitian yang dilakukan pada perawat di Instalasi
Rawat Inap RSUD Kota Padangsidimpuan menyatakan bahwa kondisi lingkungan
pada saat proses pemberian obat dengan kondisi yang tidak nyaman dimana
responden menyatakan pencahayaan area kerja yang tidak mendukung saat
bekerja, tidak adanya ruangan penyiapan obat, dan temperatur yang tidak nyaman
serta jarak unit farmasi yang jauh karena rumah sakit dalam proses renovasi
pembangunan.
Faktor pencahayaan merupakan salah satu faktor lingkungan kerja yang
termasuk kelompok faktor resiko, jika intensitas pencahayaan tidak memadai
maka dapat menyebabkan produktivitas tenaga kerja menurun. Jarak yang
ditempuh tenaga kesehatan dalam pemberian obat dengan banyaknya obat yang
harus dikirim ke ruang perawatan pasien akan berpengaruh dengan ketepatan
waktu pemberian obat. Jarak pelayanan kesehatan memberikan kontribusi
rendahnya kepatuhan (18).
3. Gangguan atau Interupsi Pada Saat Bekerja
Persepsi pemberi pelayanan kesehatan terhadap gangguan atau interupsi
tinggi yaitu apabila petugas kesehatan merasakan adanya aktivitas atau kegiatan
31
lain diluar tugas dan tanggung jawabnya yang harus dilakukan pada saat sedang
memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien atau keluarga pasien lebih
banyak dibandingkan kegiatan yang sesuai dengan tugas dan tanggung jawab
pekerjaannya.
Faktor gangguan/interupsi bekerja pada saat dispensing dapat
menyebabkan medication error dimana tenaga kesehatan merasa terganggu.
Gangguan lingkungan yang tidak nyaman salah satunya seperti gangguan dering
telepon yang bunyi tiba-tiba merupakan sumber stres bagi para petugas kesehatan.
Kondisi yang demikian dapat mengganggu konsentrasi dan perhatian dari para
petugas kesehatan sehingga kesalahan dapat terjadi. Gangguan atau interupsi
harus seminimal mungkin dengan mengurangi interupsi baik langsung maupun
melalui telepon. Dering telepon dapat menganggu konsentrasi kerja yang dapat
menyebabkan pekerja cenderung berbuat kesalahan dan akhirnya menurunkan
produktivitas bekerja (35).
Dari hasil survei awal penelitian yang dilakukan pada perawat di Instalasi
Rawat Inap RSUD Kota Padangsidimpuan bahwa responden mempersepsikan
faktor gangguan/interupsi bekerja dapat menyebabkan medication error, dimana
responden merasa terganggu dengan dering telepon yang bunyi tiba-tiba.
Gangguan lingkungan yang tidak nyaman salah satunya seperti gangguan telepon
merupakan sumber stres bagi para perawat. Kondisi yang demikian dapat
mengganggu konsentrasi dan perhatian dari para perawat sehingga kesalahan
dapat terjadi.
4. Beban Kerja
Beban kerja adalah sejumlah proses atau kegiatan yang harus diselesaikan
oleh seorang pekerja dalam jangka waktu tertentu. Apabila seorang pekerja
32
mampu menyelesaikan dan menyesuaikan diri terhadap sejumlah tugas yang
diberikan, maka hal tersebut tidak menjadi suatu beban kerja. Namun, jika pekerja
tidak berhasil maka tugas dan kegiatan tersebut menjadi suatu beban kerja (21).
Beban kerja adalah sesuatu yang dirasakan berada di luar kemampuan
pekerja untuk melakukan pekerjaannya. Kapasitas seseorang yang dibutuhkan
untuk mengerjakan tugas sesuai dengan harapan (performa harapan) berbeda
dengan kapasitas yang tersedia pada saat itu (performa aktual). Perbedaan diantara
keduanya menunjukkan taraf kesukaran tugas yang mencerminkan beban kerja.
Beban kerja yang berlebihan akan mengurangi kualitas pelayanan akan tetapi
sebaliknya beban kerja yang sesuai dengan porsinya dapat meningkatkan kualitas
melalui pengembangan inovasi pelayanan. Rasio antara beban kerja dan SDM
yang cukup tinggi untuk mengurangi stress dan beban kerja yang berlebihan
sehingga dapat menurunkan kesalahan (2).
Dari hasil survei awal penelitian yang dilakukan pada perawat di Instalasi
Rawat Inap RSUD Kota Padangsidimpuan bahwa responden mempersepsikan
beban kerja dapat menyebabkan medication error pada fase dispensing, dimana
dapat terjadi karena jumlah petugas yang tidak memadai pada shif tertentu dan
beban kerja yang berlebihan.
Dalam penyiapan obat, tenaga farmasi melakukan skrinning dan
pengkajian resep, menyalin instruksi pemberian obat ke KPO (Kartu Pencatatan
Obat), menginput obat dan membuat etiket obat dalam sistem, penyiapan obat
untuk satu hari pemakaian, pengemasan obat, serah terima obat dan pengecekan
oleh perawat yang kemudian disimpan pada kotak obat pasien. Perawat
memainkan suatu peranan penting dalam sistem distribusi obat di rumah sakit
dimana perawat menyiapkan dan merekonstitusi dosis untuk dikonsumsi,
33
pemberian (pengonsumsian) obat, merekam tiap obat yang dikonsumsi serta
memelihara persediaan obat di ruangan (18). Beban kerja yang berlebihan akan
mengurangi kualitas pelayanan akan tetapi sebaliknya beban kerja yang sesuai
dengan porsinya dapat meningkatkan kualitas melalui pengembangan inovasi
pelayanan dan bila banyaknya tugas tidak sebanding dengan kemampuan baik
fisik maupun keahlian dan waktu yang tersedia maka akan menjadi sumber stress
dan dapat mengganggu pelayanan kepada pasien (2)
5. Edukasi
Pemberian edukasi pada pasien dan keluarga adalah usaha atau kegiatan
yang dilakukan dalam rangka memberikan informasi terhadap masalah kesehatan
pasien yang belum diketahui oleh pasien dan keluarganya sedangkan hal tersebut
perlu diketahui untuk membantu atau mendukung penatalaksanaan medis dan
atau tenaga kesehatan lainnya. Rumah Sakit memberikan edukasi secara rutin
pada pasien dan atau keluarga (peraturan direktur nomor 002/PER/DIR/RSSA-
SNG/IV/2015 tentang kebijakan pelayanan Rumah Sakit). Meskipun edukasi
merupakan cara yang tidak cukup kuat dalam menurunkan insiden atau kesalahan,
tetapi mereka dapat memainkan peran penting ketika dilibatkan dalam sistem
menurunkan insiden atau kesalahan (33).
Dari hasil survei awal penelitian yang dilakukan pada perawat di Instalasi
Rawat Inap RSUD Kota Padangsidimpuan bahwa masalah prescribing error
adalah kesalahan prosedural dan administratif berupa tulisan resep yang tidak
terbaca oleh perawat, penggunaan singkatan yang tidak di mengerti perawat, dan
masalah kelengkapan resep. Masalah kelengkapan resep yang sering terjadi adalah
tidak adanya nama dokter penulis resep dan tidak ada aturan pakai. Hal ini
34
menyebabkan adanya hambatan ketika resep yang bermasalah tersebut akan
dikonfirmasi kepada penulisnya. Sebagai akibatnya, dapat menghambat proses
pengobatan pasien, sedangkan jenis administration error berkaitan dengan waktu
pemberian obat tidak tepat, dimana obat dalam pemberiannya berkesinambungan
per 8 jam yaitu injeksi tidak tepat waktu diberikan karena obat mengalami
kekosongan dan harus menunggu obat ada baru diberikan kepada pasien. Edukasi
dinyatakan kurang baik edukasi yaitu penulisan resep tidak memenuhi syarat
kelengkapan resep, penyiapan obat yang tidak sesuai permintaan resep, tidak tepat
waktu pemberian obat, kondisi lingkungan yaitu jarak unit farmasi tidak
memudahkan tenaga kesehatan dalam pemberian obat (12).
2.3. Landasan Teori
Menurut Kemenkes Faktor-faktor yang berkontribusi pada medication error
antara lain:
Gambar 2.2.Teori Kemenkes dan Cohen, M.R.
(Sumber : 31 dan 10)
Kondisi Lingkungan
Gangguan atau Interupsi
Pada Saat Bekerja
Beban Kerja
Edukasi Staff
Komunikasi
( mis-komunikasi, kegagalan
dalam berkomunikasi)
Medication Error
- Fase Prescribing
(error terjadi pada penulisan resep)
- Fase Transcribing
(error terjadi pada saat pembacaan
resep)
- Fase Dispensing
(error terjadi pada saat penyiapan
hingga penyerahan obat)
- Fase Administration
(error yang terjadi pada proses
penggunaan obat)
-
35
2.4. Kerangka Konsep
Berdasarkan landasan teori diatas dan survei awal yang dilakukan peneliti
serta literatur review penelitian terdahulu, maka variabel-variabel yang
berkontribusi memengaruhi terhadap terjadinya medication error yang dilakukan
perawat Instalasi Rawat Inap RSUD Kota Padangsidimpuan tahun 2018 adalah
komunikasi, kondisi lingkungan, gangguan, beban kerja, dan edukasi. Kerangka
konsep penelitian dapat disusun sebagai berikut :
Variabel Bebas (Independen) Variabel Terikat (Dependen)
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian
2.5. Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian,
dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat
pernyataan (36). Hipotesis penelitian ini adalah:
1) Ada pengaruh komunikasi terhadap terjadinya medication error yang
dilakukan perawat Instalasi Rawat Inap RSUD Kota Padangsidimpuan tahun
2018.
Terjadinya Medication Error
Gangguan atau Interupsi
Pada Saat Bekerja
Kondisi Lingkungan
Komunikasi
Beban Kerja
Edukasi
36
2) Ada pengaruh kondisi lingkungan terhadap terjadinya medication error yang
dilakukan perawat Instalasi Rawat Inap RSUD Kota Padangsidimpuan tahun
2018.
3) Ada pengaruh gangguan terhadap terjadinya medication error yang dilakukan
perawat Instalasi Rawat Inap RSUD Kota Padangsidimpuan tahun 2018.
4) Ada pengaruh beban kerja terhadap terjadinya medication error yang
dilakukan perawat Instalasi Rawat Inap RSUD Kota Padangsidimpuan tahun
2018.
5) Ada pengaruh edukasi terhadap terjadinya medication error yang dilakukan
perawat Instalasi Rawat Inap RSUD Kota Padangsidimpuan tahun 2018.
37
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Desain Penelitian
Desain yang digunakan dalam penelitian ini bersifat survei analitik dengan
menggunakan pendekatan cross sectional yang bertujuan untuk mengetahui
pengaruh komunikasi, kondisi lingkungan, gangguan interupsi pada saat bekerja,
beban kerja, dan edukasi terhadap terjadinya medication error yang dilakukan
perawat Instalasi Rawat Inap RSUD Kota Padangsidimpuan tahun 2018.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
3.2.1 Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di RSUD Kota Padangsidimpuan. Pemilihan lokasi
penelitian didasarkan pada pertimbangan karena di RSUD Kota Padangsidimpuan
tempat yang sesuai untuk dilakukan penelitian karena jumlah terjadinya
medication error memadai untuk dijadikan sampel penelitian.
3.2.2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dijadwalkan dilaksanakanbulan Mei 2018 sampai dengan
bulan November 2018.
3.3 Populasi dan Sampel
3.3.1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perawat yang secara langsung
berinteraksi dengan pasien. Jumlah populasi dalam penelitian ini sebesar 122
perawat yang terbagi dari 11 ruanganyang ada di Instalasi Rawat Inap RSUD Kota
38
Padangsidimpuan.Adapun rincian jumlah perawat tersebut menurut ruangan
adalah sebagai berikut:
Tabel 3.1. Jumlah perawat yang terbagi di 11 ruangan yang ada di Instalasi
Rawat Inap RSUD Kota Padangsidimpuan
Ruangan Jumlah perawat (orang)
Ruang I (Saraf) 12
Ruang II(Anak) 7
Ruang II (Interna Wanita) 11
Ruang III(Interna Laki-Laki) 20
Ruang IV (Penyakit Paru) 16
RuangRR (Perawatan Dan Pemulihan Pasca Operasi 18
Ruang (Perinatologi) 3
13 Ruang ICU
Ruang Kelas I 12
Ruang VIP
Ruang Bersalin (Perawatan Obstetri dan Ginekologi)
10
-
Jumlah 122
3.3.2. Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh
populasi tersebut yang akan digunakan untuk penelitian (36). Dimana pada
penelitian ini perawat yang dijadikan sampel diambil berdasarkan rumus besar
sampel yang telah ditentukan.Rumus Slovin yang kita gunakan untuk menentukan
jumlah sampel adalah sebagai berikut :
n = N / ( 1 + N.(e)2)
93,48 atau 93
39
Keterangan : n = Jumlah Sampel
N = Jumlah Total Populasi
e = Batas Toleransi Error (dengan derajat kepercayaan 95%, maka tingkat
kesalahan adalah 5%)
Setelah dilakukan perhitungan dengan rumus di atas maka dari 122
perawat. Dimana yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah perawat yang
dilibatkan dalam 11 ruangan rawat inap jumlah sampel keseluruhan sebanyak 93
perawat. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan Simple
Random Sampling, yaitu metode pengambilan sampel secara acak sederhana atau
undian dimana setiap anggota populasi diberikan kesempatan untuk mengambil
satu undian, dimana setiap anggota populasi mempunyai peluang yang sama besar
untuk terpilih sebagai sampel.
Dalam pengambilan sampel penelitian harus memperhatikan 2 kriteria,
yaitu kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi adalah karakteristik umum yang
dimiliki oleh subjek sehingga dapat diikutsertakan dalam penelitian. Adapun
kriteria sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah kriteria inklusi,yaitu :
a. Perawat dengan status SK penempatan kerja di ruang rawat inap RSUD Kota
Padangsidimpuan sampak dengan tahun 2018.
b. Memberikan persetujuan menjadi responden baik secara lisan maupun tulisan
dengan menandatangani informed consent.
Kriteria eksklusi adalah hal-hal yang menyebabkan sampel tidak
diikutsertakan dalam penelitian. Adapun kriteria sampel yang digunakan dalam
penelitian ini adalah kriteria eksklusi,yaitu :
40
a. Perawat dengan status SK penempatan kerja tidak di ruang rawat inap
RSUD Kota Padangsidimpuan sampai dengan tahun 2018.
3.4. Metode Pengumpulan Data
3.4.1. Jenis Data
1) Data primer diperoleh dari hasil pengamatan langsung di lapangan dan
melakukan wawancara dengan menggunakan kuesioner yang telah
disiapkan, meliputi : komunikasi, kondisi lingkungan, gangguan, beban
kerja, dan edukasi dan terjadinya medication error
2) Data sekunder diperoleh dari kantor RSUD Kota Padangsidimpuan berupa
catatan rekam medik tentang medication error dan data yang relevan
dengan penelitian ini.
3.4.2. Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian dilakukan wawancara
langsung pada responden menggunakan kuesioner terstruktur dengan pengisian
lembar checklist dengan studi dokumentasi berupa data deskriptif seperti profil
Rumah sakit dan catatan rekam medik. Peneliti memberikan informed concent
untuk mendapatkan persetujuan menjadi partisipan dalam penelitian ini.
Kemudian jika partisipan bersedia untuk menjadi partisipan dilanjutkan dengan
membuat kontrak waktu dengan durasi 20-30 menit dan tempat untuk wawancara.
Semua wawancara dilakukan ditempat yang tenang, nyaman, dan menjaga privasi
partisipan. Peneliti meminta izin terlebih dahulu untuk merekam percakapan
selama wawancara berlangsung.
41
3.4.3. Uji Validitas dan Reliabilitas
Uji validitas kuantitatif pada kuesioner dilakukan dengan cara
mengkorelasikan antara skor masing-masing variabel dengan skor totalnya.
Variabel dinyatakan valid bila skor variabel tersebut berkorelasi secara signifikan
dengan skor totalnya. Teknik korelasi yang digunakan adalah korelasi Pearson
Product Moment. Keputusan uji bila r hasil hitung > r tabel maka Ho ditolak
artinya variabel valid, sedangkan bila r hasil hitung < r tabel maka Ho diterima
artinya variabel tidak valid. Pengukuran reliabilitas dilakukan dengan
menggunakan Cronbach Alpha dengan membandingkan nilai r tabel dengan r
hasil, dimana r hasil adalah nilai Alpha Cronbach’s. Keputusan uji bila nilai
Alpha Cronbach’s> nilai r tabel. Semakin tinggi nilai Cronbach Alpha maka
tingkat reliabilitas data semakin baik. Sesuai dengan prinsip uji validitas dan
reliabilitas kuantitatif tentang syarat minimal pengambil jumlah responden (36).
Penelitian ini tidak di lakukan uji validitas dan reliabilitas, karena
kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini diadopsi dari penelitian Yosefien
Ch. Donsul (15). yang meneliti tentang faktor penyebab medication error pada
pelayanan kefarmasian rawat inap bangsal anak RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou
Manado. Kuesioner tersebut peneliti modifikasi sesuai kebutuhan dan mengacu
pada tinjauan pustaka dengan mengurangi dua item pernyataan dan mengubah
beberapa kalimat item pernyataan yang lain, yang terdiri dari 27 pernyataan dalam
kuesioner meliputi 2 kategori yaitu: Baik (Hasil presentase 76 % -100 %), tidak
baik (Hasil presentase ≤75 %) dengan dinyatakan valid dengan CVI (Content
Validity Indeks ) sebesar 0,78. Sedangkan uji reliabilitas instrumen dilakukan
42
untuk mengetahui konsistensi alat ukur, apakah alat pengukuran yang digunakan
dapat diandalkan. Uji reliabilitas dengan cronbach’s alpha yang diolah melalui
program komputerisasi. Apabila nilai cronbach’s alfa nya lebih dari 0,6 maka
dinyatakan reliabel tentang medication error didapat nilai cronbarch alfa 0,662.
Hasil yang didapatkan bahwa kuesioner dinyatakan reliabel karena α hitung > r
table. Suatu instrumen dikatakan reliabel bila memberikan hasil skor yang
konsisten pada setiap pengukuran.
3.5. Variabel dan Definisi Operasional
3.5.1. Variabel Independen
Variabel penelitian ini terdiri dari variabel bebas (independen) danvariabel
terikat (dependen). Adapun yang menjadi variabel bebas (independen) yaitu
(komunikasi, kondisi lingkungan, gangguan, beban kerja, dan edukasi) yang
ditandai dengan simbol x sedangkan variabel yang terikat (dependen) yaitu
(terjadinya medication error) yaitu variabel yang berhubungan yang ditandai
simbol y.
3.5.2. Defenisi Operasional
Defenisi operasional adalah penjelasan semua variabel dan istilah yang
akan digunakan dalam penelitian secara operasional sehingga akhirnya
mempermudah pembaca dalam mengartikan makna penelitian (36).
Defenisi operasional ini berguna untuk mengarahkan kepada pengukuran
atau pengamatan terhadap variabel-variabel yang bersangkutan serta
pengembangan instrumen atau alat ukur. Batasan yang digunakan untuk
mendefenisikan variabel-variabel.
43 43 43
1. Variabel Independen
1) Komunikasi ( mis-komunikasi, kegagalan dalam berkomunikasi)
Komunikasi adalah sebuah kegiatan antara perawat dengan pasien harus
disampaikan secara jelas agar pasien memahami keadaan kesehatannya
ataupun instruksi mengenai pengobatan yang disampaikan oleh perawat.
Keaktifan interaksi verbal perawat dengan sesama perawat dan antar
profesi di unit tempat bekerja, serta dengan pasien/keluarga pasien yang
terkait dengan asuhan keperawatan.
2) Kondisi Lingkungan
Untuk menghindari kesalahan yang berkaitan dengan dengan kondisi
lingkungan, area dispensing harus di desain dengan tepat dan sesuai
dengan alur kerja, untuk menurunkan kelelahan dengan pencahayaan yang
cukup dan temperature/suhu yang nyaman dan tingkat kebisingan dalam
mendukung konsentrasi kerja.Selain itu, area kerja harus bersih, dan
teratur untuk mencegah terjadinya kesalahan.Obat yang disediakan untuk
pasien harus disediakan nampan yang terpisah.
3) Gangguan atau interupsi pada saat bekerja
Gangguan atau interupsi harus seminimal mungkin dengan mengurangi
interupsi baik langsung maupun melalui telepon.
4) Beban Kerja
Rasio antara beban kerja dan SDM yang cukup tinggi untuk mengurangi
stress dan beban kerja yang berlebihan sehingga dapat menurunkan
kesalahan. Adanya aktivitas atau kegiatan lain yang dialami oleh perawat
di unit kerja diluar tugas dan tanggung jawab yang harus dilakukan pada
44
saat sedang memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien atau keluarga
pasien.
5) Edukasi
Meskipun edukasi staff merupakan cara yang tidak cukup kuat dalam
menurunkan insiden atau kesalahan, tetapi mereka dapat memainkan peran
penting ketika dilibatkan dalam sistem menurunkan insiden atau
kesalahan.
2. Variabel Dependen
Kesalahan pemberian obat (medication error) merupakan kejadian yang
dapat merugikan atau membahyakan pasien yang dilakukan oleh petugas
kesehatan, khususnya dalam hal pengobatan pasien. Kesalahan pada salah satu
tahap terjadi secara berantai dan menimbulkan kesalahan pada tahap selanjutnya.
Kejadian kesalahan pemberian obat terkait dengan praktisi, produk obat, prosedur,
lingkungan, atau sistem yang melibatkan prescribing, transcribing, dispending,
dan administration.
3.6. Metode Pengukuran
Metode pengukuran variabel penelitian terhadap terjadinya medication
error yang dilakukan perawat Instalasi Rawat Inap RSUD Kota Padangsidimpuan
sebagai berikut:
45
Tabel 3.2. Aspek Pengukuran Variabel Penelitian
Variabel Pertanyaan Altenatif
Jawaban
Bobot
Nilai
Total
Nilai
Kategori Skala
Ukur
a. Komunikasi 5 Pertanyaan Ya
Tidak
2
1
8-10
5-7
Efektif
Tidak
Efektif
Ordinal
b. Kondisi
Lingkungan
6 Pertanyaan
Setuju
Tidak
Setuju
2
1
10-12
6-9
Nyaman
Tidak
Nyaman
Ordinal
c. Gangguan atau
Interupsi Pada
Saat Bekerja
5 Pertanyaan
Setuju
Tidak
Setuju
2
1
8-10
5-7
Tinggi
Rendah
Ordinal
d. Beban Kerja 15 Pertanyaan
Setuju
Tidak
Setuju
2
1
23-30
15-22
Tinggi
Rendah
Ordinal
e. Edukasi 8 Pertanyaan
Setuju
Tidak
Setuju
2
1
13-16
8-12
Baik
Buruk
Ordinal
d. Terjadinya
Medication
error
27 Pertanyaan Setuju
Tidak
Setuju
2
1
43-54
27-42
Tinggi
Rendah Ordinal
3.7. Metode Pengolahan Data
Setelah semua data terkumpul, dilakukan analisis data kembali dengan
memeriksa semua lembar checklist apakah jawaban sudah lengkap dan benar.
Data yang terkumpul diolah dengan cara komputerisasi dengan langkah-langkah
sebagai berikut (37).
1) Collecting
Mengumpulkan data yang berasal dari lembar checklist
2) Checking
Dilakukan dengan memeriksa kelengkapan pengisian lembar checklistdengan
tujuan agar data diolah secara benar sehingga pengolahan datamemberikan
hasil yang valid dan realiabel, dan terhindar dari bias.
46
3) Coding
Pada langkah ini penulis melakukan pemberian kode pada variable-variabel
yang diteliti, nama responden dirubah menjadi nomor.
4) Entering
Data entry yakni jawaban-jawaban dari masing-masing responden yangmasih
dalam bentuk kode dimasukkan ke dalam program komputer yangdigunakan
peneliti yaitu SPSS.
5) Data Processing
Semua data yang telah diinput ke dalam aplikasi komputer akan diolah
sesuai dengan kebutuhan.
Setelah dilakukan pengolahan data seperti yang telah diuraikan di atas
langkah selanjutnya adalah melakukan analisis data. Adapun jenis-jenis dalam
menganalisis data adalah pada penelitian ini sebagai berikut:
(1) Analisis Univariat
Analisis univariat merupakan analisis yang menitikberatkan pada
penggambaran atau deskripsi data yang telah diperoleh. Menggambarkan
distribusi frekuensi dari masing-masing variabel bebas dan variabel
terikat, sehingga dapat gambaran variabel penelitian.
(2) Analisis Bivariat
Analisis ini bertujuan untuk melihat hubungan antara variable
independen dengan variabel dependen. Uji yang digunakan pada analisis
bivariat ini adalah uji chi-square (x2) dengan menggunakan derajat
47
kepercayaan 95%.Uji chi-Square dapat digunakan untuk melihat
hubungan.
(3) Analisis Multivariat
Analisis multivariat dilakukan untuk melihat pengaruh seluruh variabel
independen yang memenuhi syarat p<0,25 pada uji bivariat diuji secara
bersama-sama terhadap variabel dependen menggunakan regresi logistik
berganda pada tingkat kepercayaan 95% (α=0,05), dengan alasan untuk
mengetahui pengaruh variabel-variabel bebas dan variabel terikat.
Uji regresi logistik berganda digunakan untuk mengetahui hubungan
antara variabel bebas dengan satu variabel terikat yang bersifat
dikotomus (binary) dengan metode enter. Variabel dependen harus
bersifat kategorik, sedangkan untuk variabel independen dapat berupa
variabel kategorik maupun numerik. Tujuannya adalah untuk
mendapatkan model yang paling baik dan sederhana yang dapat
menggambarkan hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat.
Persamaan regresi yang digunakan:
Y = 0 + 1X1 + 2X2 + nXn
Dimana :
Y = Variabel terikat (terjadinya medication error)
0 = Konstanta
1 - n = Koefisien regresi
X1 = Variabel bebas pertama (komunikasi)
X2 = Variabel bebas kedua (kondisi lingkungan,)
Xn = Variabel bebas yang ketiga (gangguan, beban kerja, dan
edukasi) dan seterusnya.
48