BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tak dipungkiri dalam percakapan sehari-hari terdapat asumsi-asumsi atau
dugaan sederhana dalam setiap tuturan. Pada saat seseorang berbicara, ia memiliki
sejumlah harapan dan keinginan bilamana lawan bicaranya akan mendapatkan poin
atau asumsi yang ia tanamkan di dalam kata-kata yang ia ucapkan. Asumsi tersebut
dapat digolongkan sebagai presupposition (presuposisi) atau praanggapan. Menurut
Yule (1996:25), presuposisi adalah asumsi yang dibuat sebelum seseorang bertutur.
Asumsi ini diharapkan untuk dapat diterima oleh si pendengar dengan tujuan untuk
memperlancar komunikasi.
Cahyono (1995:219) mengungkapkan bahwa pembentukan asumsi dalam
sebuah percakapan secara tidak langsung selalu dilakukan oleh penutur, mereka
merancang pesan-pesan linguistik untuk diberikan kepada lawan tutur berdasarkan
asumsi yang sudah diketahui oleh lawan tutur. Dalam memberikan tuturan, penutur
berusaha membuat tuturannya sebaik mungkin agar lawan tutur dapat mendapatkan
presuposisi yang sudah ia rancang. Dengan tujuan agar lawan tutur
mempresuposisikan presuposisi yang diinginkan, penutur akan membuat
tuturannya mengandung beberapa pemicu presuposisi sehingga lawan tutur akan
cepat menerima presuposisi yang diinginkan tersebut. Trigger (pemicu) presuposisi
memiliki fungsi sebagai tanda untuk menunjukkan bahwa tuturan tersebut memiliki
2
presuposisi. Levinson (1983) menyebutkan beberapa triggers yang berupa bentuk-
bentuk leksikal dan konstruksi linguistik, seperti adanya verba faktif, verba
implikatif, bentuk pengandaian, pertanyaan, bentuk pengulangan, kalimat cleft, dan
beberapa trigger lainnya. Jika trigger ini sudah ditemukan oleh lawan tutur, maka
presuposisi dari tuturan penutur juga akan ditemukan.
Presuposisi sendiri berkaitan dengan dasar pengetahuan yang sama yang
dimiliki oleh penutur dan lawan tutur. Pengetahuan bersama melibatkan konteks
percakapan yang tentunya sangat penting dalam semua bidang pragmatik. Jika
lawan tutur menemukan presuposisi dalam tuturan penutur melalui trigger yang ada,
dengan kata lain kedua belah pihak telah mengetahui keberadaan setiap orang atau
benda atau tempat yang ada disebutkan dalam tuturan itu. Penutur dan lawan tutur
telah menyetujui tentang keberadaan benda yang dirujuk dan satu sama lain telah
mengerti bahwa mereka membicarakan atau merujuk kepada hal yang sama. Di
sinilah konteks dan pengetahuan bersama sangat berperan penting dalam
penerimaan presuposisi. Trigger yang ditemukan dalam tuturan akan membantu
lawan tutur mempresuposisikan maksud penutur sehingga kelancaran komunikasi
akan didapatkan.
Percakapan sehari-hari pun tak luput dari adanya presuposisi bahkan hingga
konteks ranah percakapan yang lebih formal, seperti di pengadilan. Memakai
bahasa demi tujuan yang lebih spesifik, para pelaku tutur di pengadilan
menggunakan bahasa untuk melakukan interogasi terhadap terdakwa ataupun saksi.
Zhang (2015) telah melakukan penelitian mengenai presuposisi dalam ranah
pengadilan. Ia telah menemukan fungsi dari presuposisi di pengadilan, yakni untuk
3
penyelidikan, konfirmasi dan penjebakan. Penyelidikan berkaitan dengan pencarian
kebenaran kasus, konfirmasi berkaitan dengan mencari kepastian tentang fakta
yang sudah didapatkan dan penjebakan berkaitan dengan cara kerja pengacara
menggali informasi dari terdakwa yang bisa menjebak terdakwa untuk mengatakan
fakta yang telah ditutup-tutupi. Dengan kata lain, penggunaan bahasa dalam
pengadilan pun dapat diteliti dengan teropong pragmatik melalui presuposisi.
Salah satu kasus pidana yang diangkat ke pengadilan pada 2010 silam terjadi
di Florida, Amerika Serikat. Kasus tersebut merupakan kasus perampokan yang
berujung kematian seorang pria muda bernama Shannon Griffin. Hal yang membuat
publik terkejut adalah fakta bahwa salah satu terdakwa dalam kasus ini adalah
seorang gadis muda yang pada 2007 lalu sempat menjadi viral dengan video
cegukan tanpa hentinya, Jennifer Mee. Jennifer Mee memiliki julukan si gadis
cegukan (the hiccup girl) dan sempat menghiasi layar televisi dengan tampil di
beberapa acara, memperlihatkan cegukan tanpa hentinya. Sementara itu, Griffin
diduga telah ditembak mati oleh Mee dan dua orang rekannya saat melakukan
perampokan di malam hari pada 23 Oktober 2010. Kasus perampokan dan
pembunuhan ini telah disidangkan di Pengadilan Pinellas di negara bagian Florida
dan dilaksanakan selama tiga hari. Pada akhirnya Mee dijatuhi hukuman seumur
hidup tanpa pembebasan bersyarat meskipun bukan ia yang menarik pelatuk untuk
menembak Griffin. Tindak kriminal yang ia telah lakukan termasuk dalam tindak
kriminal berat, ia terlibat dalam perampokan yang mengakibatkan hilangnya nyawa
seseorang. Dalam hukum Florida, tindak kejahatan seperti itu mendapat hukuman
mati atau hukuman penjara seumur hidup tanpa pembebasan bersyarat.
4
Salah satu percakapan dalam persidangan kasus pembunuhan Shannon
Griffin menunjukkan sedikit gambaran mengenai bagaimana presuposisi dapat
ditemukan dalam pertanyaan dalam proses interogasi.
(1) Lawyer: Were all the bullet wounds on the front of victim’s body?
‘Apakah semua luka tembakan berada pada bagian depan
tubuh korban?’
Witness: Yes. Entrance wounds.
‘Ya. Luka dari depan.’
Lawyer: I’m sorry?
‘Maaf?’
Witness: All the entrance wounds.
‘Semuanya adalah luka dari depan’
Lawyer: So, he was not shot from behind?
‘Jadi, dia tidak ditembak dari belakang?’
Konteks: Topik pembicaraan adalah seputar luka tembak yang didapatkan
oleh korban. Pada awal percakapan ini, pengacara menanyakan kepada
saksi ada berapa luka tembak yang ada pada tubuh korban. Pada akhirnya,
pengacara bertanya apakah semua luka tembak ada di bagian depan tubuh
korban.
(A42, D2P2, 44:28)
Percakapan (1) melibatkan pengacara dan seorang saksi dan topik dari
pembicaraan tersebut adalah mengenai luka tembak yang dimiliki korban.
Pertanyaan pertama yang diberikan oleh pengacara dalam (1) diberikan dalam
bentuk yes/no question di mana pertanyaan dalam bentuk ini menghendaki jawaban
ya atau tidak. Presuposisi dapat ditemukan dalam pertanyaan pengacara
dikarenakan salah satu trigger/pemicu presuposisi adalah pertanyaan. Keberadaan
presuposisi dapat dites dengan menggunakan salah satu fitur presuposisi, yaitu
constancy under negation atau ketangguhan dalam negasi. Bila sebuah tuturan yang
5
dinegasikan, maka presuposisinya akan sama dengan presuposisi dalam tuturan
yang tidak dinegasikan. Presuposisi dari “Were all the bullet wounds on the front
of victim’s body?” adalah terdapat luka tembak. Jika pertanyaan itu dihadirkan
dalam bentuk negasi maka akan menjadi “Weren’t all the bullet wounds on the front
of victim’s body?” yang sama-sama memiliki presuposisi adanya luka tembak pada
tubuh korban. Presuposisi tersebut diterima oleh saksi dan saksi menjawab dengan
menyebutkan bahwa semua luka tembak tersebut adalah entrance wounds. Salah
satu poin lain yang harus diperhatikan adalah penyebutan frasa nomina the bullet
wounds yang dideskripsikan dengan jelas. Sebuah deskripsi nyata atau jelas akan
suatu benda merupakan salah satu pemicu presuposisi lain, yakni definite
description. Dengan kata lain, triggers memicu kehadiran presuposisi dan dengan
adanya triggers, presuposisi dapat ditemukan dengan mudah. Selain itu, bentuk
pertanyaan sebagai trigger presuposisi dapat beragam dan memiliki fungsi yang
berbeda.
Meskipun sudah ditemukan oleh lawan tutur, presuposisi dalam sebuah
tuturan pun dapat mengalami kegagalan atau dapat dibatalkan. Hal ini terjadi bila
presuposisi yang ada dalam suatu tuturan diingkari atau tidak disetujui oleh lawan
tutur. Dikarenakan presuposisi merupakan asumsi yang bersama yang dimiliki oleh
penutur dan juga lawan tutur, maka kedua belah pihak harusnya mengetahui tentang
segala hal yang disebutkan dalam suatu tuturan. Macagno (2015:472) menyebutkan
“if the hearer refuses the presupposition, he terminates the dialogue game”. Lawan
tutur yang tidak menyetujui presuposisi dalam tuturan penutur akan mengakibatkan
percakapan berakhir.
6
(2) Prosecutor: And is it unusual for a press conference to be held after a
homicide?
‘Dan apakah hal itu tidak biasa untuk melakukan
konferensi press setelah adanya sebuah kasus
pembunuhan?’
Witness: I couldn’t speak to that. I know that one has occurred, whether
they had after the one, I don’t think so.
‘Saya tidak bisa menjawab itu. Saya tahu satu konferensi
pres sudah dilakukan, apakah mereka mengadakannya lagi
setelah konfrensi pres tersebut, saya tidak pikir begitu’
Konteks: Berkaitan dengan adanya konferensi press setelah penangkapan
terdakwa Jennifer Mee.
(A85, D2P5, 00:53:45)
Pertanyaan yang diberikan oleh jaksa pada percakapan (2) memiliki
presuposisi terdapat konferensi pers setelah sebuah pembunuhan terjadi. Pertanyaan
tersebut bila dinegasikan akan menjadi “isn’t it unusual for a press conference to
be held after a homicide?”. Presuposisi untuk pertanyaan yang sudah dinegasikan
ini tetap sama dengan presuposisi dari pertanyaan yang tidak dinegasikan, yakni
terdapat konferensi pers setelah sebuah pembunuhan terjadi. Terkait dengan
presuposisi, saksi memberikan jawaban bahwa ia tidak bisa menjawab pertanyaan
tersebut. Ia mengetahui tentang adanya satu konferensi pers yang sudah diadakan,
namun apakah hal tersebut dilakukan lagi setelahnya, ia tidak tahu-menahu. Saksi
tidak pernah terlibat dalam konferensi pers seperti ini, maka dari itu ia tidak begitu
mengerti bagaimana perputaran pelaksanaan konferensi press tersebut. Konferensi
pers dalam kasus ini dapat dikaitkan lagi dengan fakta bahwa terdakwa Jennifer
Mee dahulu sempat tenar dengan julukan gadis cegukan (the hiccup girl) sehingga
kasus ini sudah pasti menarik perhatian khalayak umum. Jadi, presuposisi yang
7
diberikan jaksa kepada saksi digagalkan karena kurangnya pengetahuan saksi atas
topik pembicaraan tersebut.
Para peneliti sebelumnya sudah mengkaji presuposisi dalam ranah pengadilan,
seperti penelitian yang telah dilakukan oleh Zhang (2015) dan Baisu (2015) terkait
dengan fungsi, jenis dan peran presuposisi dalam persidangan. Sementara itu,
penelitian ini lebih memfokuskan kepada presuposisi yang ditemukan dalam
persidangan kasus pembunuhan Shannon Griffin serta bentuk trigger pertanyaan
dan kegagalan presuposisi. Penelitian ini diharapkan memberikan gambaran
tentang presuposisi dalam situasi tutur pengadilan.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah dipaparkan di atas, penelitian ini memiliki
beberapa masalah yang ingin diselesaikan, yaitu:
1) Apa sajakah trigger presuposisi yang ditemukan dalam persidangan kasus
pembunuhan Shannon Griffin?
2) Apa sajakah bentuk trigger pertanyaan dalam persidangan kasus
pembunuhan Shannon Griffin?
3) Apa sajakah konteks kegagalan presuposisi yang ditemukan dalam
persidangan kasus pembunuhan Shannon Griffin?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini adalah:
8
1) Untuk mendeskripsikan trigger presuposisi yang ditemukan dalam
persidangan kasus pembunuhan Shannon Griffin
2) Untuk mendeskripsikan bentuk pertanyaan yang memiliki presuposisi yang
ditemukan dalam persidangan kasus pembunuhan Shannon Griffin.
3) Untuk mendeskripsikan konteks kegagalan presuposisi yang ditemukan
dalam persidangan kasus pembunuhan Shannon Griffin
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberi manfaat bagi pembaca secara teoritis dan
praktis. Manfaat secara teoritis peneliti berharap penelitian ini memberikan manfaat
bagi peneliti lain untuk meneliti lebih dalam tentang fitur presuposisi terutama
pembatalan presuposisi yang memiliki andil dalam penggalian informasi kasus di
dalam meja hijau. Kemudian, penelitian ini juga meneliti tentang ranah wacana
dalam pengadilan yang termasuk dalam ranah linguistik forensik. Ranah penelitian
untuk linguistik forensik meliputi segala dasar keilmuan bahasa, tidak terkecuali
bidang pragmatik. Dengan kata lain, penelitian ini diharapkan memberikan
kontribusi terhadap penelitian pragmatik dan linguistik forensik.
Manfaat praktis dari penelitian ini adalah penulis berharap penelitian dapat
memberikan gambaran mengenai presuposisi atau asumsi yang ada di kehidupan
sehari-hari sekaligus menjadi gambaran bagaimana presuposisi dapat ditemukan
ranah pengadilan. Pengetahuan yang lebih luas dapat digunakan sebagai basis untuk
lebih memahami kebenaran dari presuposisi yang tersirat dalam sebuah tuturan.
9
1.5. Tinjauan Pustaka
Beberapa peneliti telah melakukan penelitian mengenai bahasa di ranah
pengadilan, seperti yang telah dilakukan oleh Marcelino (1993), Monsefi (2011),
Wiratsih (2016), Baisu (2015), dan Zhang (2015). Marcelino (1993) mengkaji
tentang tanggapan terdakwa dalam tanya-jawab di pengadilan dalam penelitian
berjudul Analisis Percakapan (Conversational Analysis): Telaah Tanya-Jawab di
Meja Hijau. Dalam penelitian ini, terdapat dua hal yang ditekankan, yakni pertama,
perbedaan fokus maksim dalam reaksi terdakwa dalam pertanyaan yang diberikan
ditentukan oleh sifat pertanyaan yang diberikan. Kedua, terdakwa dapat menjadi
tidak kooperatif dalam menanggapi pertanyaan yang diberikan apabila terdakwa
memberikan reaksi secara negatif kepada pertanyaan hakim dari segi pandang nilai-
isi (content value).
Selanjutnya, Monsefi (2011) memaparkan bentuk-bentuk pertanyaan yang
diajukan dalam persidangan dalam penelitiannya yang berjudul Language in
Criminal Justice. Monsefi menemukan sebanyak tujuh bentuk pertanyaan yang
diajukan dalam persidangan, yaitu Y/N Questions, Y/N-Echo Questions, Alternative
Questions, Declarative Questions, Tag Questions, Questions with Lexical Tag dan
WH Questions. Jenis pertanyaan yang paling sering ditanyakan adalah Y/N
Questions. Y/N questions dominan untuk digunakan karena untuk mencari
konfirmasi atas kesaksian yang dibuat oleh para saksi.
Penelitian yang dilakukan oleh Wiratsih (2016) berjudul Percakapan dalam
Persidangan Pidana Agenda Keterangan Saksi (Studi Kasus di Pengadilan Negeri
Yogyakarta) berkaitan dengan giliran wicara di pengadilan dalam agenda
10
keterangan saksi. Selain memaparkan adanya tujuh peserta tutur dalam pengadilan,
yakni hakim ketua, hakim anggota pertama, hakim anggota kedua, jaksa penuntut
umum, penasihat hukum, terdakwa, dan saksi, penelitian Wiratsih juga
memaparkan adanya pematuhan dan pelanggaran prinsip kerja sama. Kedua hal
tersebut terjadi karena penutur dan mitra tutur tidak menyadari pentingnya kerja
sama dalam sebuah percakapan.
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Baisu (2015) dengan judul
Praanggapan Tindak Tutur dalam Persidangan di Kantor Pengadilan Negeri Kota
Palu. Ada dua hal yang dibahas dalam penelitian ini yaitu praanggapan atau
presuposisi di persidangan dan juga tindak tutur di persidangan. Baisu menemukan
enam jenis presuposisi dalam persidangan, yakni presuposisi potensial, faktif, non-
faktif, leksikal, strukural dan konterfaktual. Fungsi tindak tutur yang ditemukan
dalam persidangan adalah tindak lokusi, ilokusi dan tindak perlokusi.
Zhang (2015) melakukan penelitian dengan judul Presupposition in
Courtroom Discourse. Dalam penelitian ini, Zhang menemukan tiga hal penting
mengenai kegunaan presuposisi dalam ranah pengadilan, yaitu untuk tujuan
investigasi, konfirmasi dan penjebakan. Dalam pengadilan, semua orang dapat
menggunakan strategi presuposisi ini tak terkecuali pengacara. Pengacara
menggunakan strategi presuposisi ini untuk menggali kepercayaan dari testimoni
yang diberikan dan mencoba untuk menampakkan situasi sebenarnya dari sebuah
kasus. Sementara itu, terdakwa akan mencoba mengidentifikasi jebakan presuposisi,
yang terlihat dari pemicunya, untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan yang
mengandung presuposisi.
11
1.6. Landasan Teori
1.6.1. Presuposisi
Presuposisi (presupposition) atau praanggapan adalah salah satu bidang yang
dipelajari di bidang pragmatik. Seperti bagaimana ilmu pragmatik itu, presuposisi
berkenaan dengan bahasa yang digunakan di dalam konteks, namun lebih jauh lagi,
presuposisi mengantarkan kita pada asumsi yang dibuat oleh penutur sebelum
membuat tuturan (Yule, 1996:25). Sebelum seorang penutur menghasilkan tuturan,
ada sebuah asumsi yang hendak ditanamkan dalam tuturan dan ia berharap
asumsinya akan diterima oleh lawan tutur. Yule (2006:43) juga menyebutkan
bahwa yang memiliki presuposisi adalah penutur dan bukan kalimat. Dengan kata
lain, tuturan dari seorang penutur adalah tuturan yang mengandung presuposisi.
Selain itu, Yule menggunakan simbol >> untuk mempresuposisikan.
Geurts (1999:12) menyebutkan bahwa “more accurately, to presuppose
something is to represent oneself as assuming that the presupposition is already
part of the common ground of assumption that the interlocutors share between
them”. Jikalau seseorang mempresuposisikan sesuatu, dengan kata lain presuposisi
dalam tuturan itu sudah dianggap sebagai bagian dari asumsi dasar atau
pengetahuan dasar yang dibagi di antara penutur dan lawan tutur. Maka dari itu,
mengatakan bahwa presuposisi adalah informasi yang diambil tanpa perlu
pembuktian itu benar adanya, karena lawan tutur menangkap informasi dari
presuposisi itu sebagai bagian dari pengetahuan dasarnya. Kesesuaian pengetahuan
bersama berpengaruh kepada tingkat kepuasan dalam komunikasi, maka dari itu hal
yang paling penting dalam presuposisi pragmatik adalah kesesuaian
12
(appropriateness) atau kepuasan (felicity) dan pemahaman bersama (mutual
knowledge) (Nadar, 2009:66).
Contoh presuposisi dapat ditemukan dalam tuturan sederhana yang diambil
dari Belnap (1966:610) berikut:
(3) Has Jones stopped beating his grandmother?
‘Apakah Jones sudah berhenti memukuli neneknya?’
Dalam konteks percakapan (3), penutur dan lawan tutur sudah tahu atau
mempercayai bahwa Jones memiliki seorang nenek. Bentuk presuposisi ini, dengan
pertanyaan sebagai salah satu pemicu presuposisi, menunjukkan satu fakta lain,
sebuah entailmen, bahwa dahulu Jones terbiasa memukuli sang nenek. Informasi
seperti inilah yang akan langsung diambil sebagai asumsi yang dibagikan antara
penutur dan lawan tutur dan seperti itulah bagaimana presuposisi bekerja dalam
percakapan sehari-hari.
Selanjutnya, keberadaan presuposisi juga erat hubungannya dengan implikatur
dan entailmen. Grice (1975) dalam Wijana (1996:37) membenarkan adanya
proposisi yang terdapat dalam tuturan namun bukan merupakan bagian dari tuturan
yang disampaikan. Proposisi ini merupakan proposisi yang diimplikasikan dan
disebut sebagai implikatur. Implikatur bukanlah bagian dari sebuah tuturan dan
hanya berdasarkan pengetahuan. Contoh dari Levinson (1983:102) berikut
menjelaskan bagaimana implikatur itu dapat ditemukan dalam tuturan.
(4) A: Where’s Bill?
B: There’s a yellow VW outside Sue’s house.
Contoh di atas memperlihatkan percakapan yang tidak relevan, bagaimana A
menanyakan keberadaan Bill, namun B hanya menjawab dengan memberitahu ada
13
sebuah mobil VW di depan rumah Sue. Namun, jawaban B mengindikasikan
tentang keberadaan Bill melalui mobil VW tersebut, bahwa kemungkinan jika Bill
memiliki mobil VW kuning itu, dengan kata lain Bill kemungkinan saat ini sedang
berada di rumah Sue.
Sementara itu, entailmen adalah logika berpikir. Yule (1996:25) menjelaskan
bahwa entailmen adalah hal logis yang mengikuti dalam suatu kalimat dan
entailmen hanya ditemukan dalam kalimat. Seperti yang dicontohkan dalam Wijana
(1996:39):
(5) + Ali membunuh Johny.
- Johny mati.
(6) * Walaupun Ali membunuh Johny, tetapi Johny tidak mati.
Logika yang dapat diambil dari + adalah bahwa Ali melakukan suatu kegiatan
membunuh sehingga mengakibatkan Johny sebagai korbannya akan mati. Hal ini
disebut Wijana (1996:39-40) sebagai konsekuensi mutlak (necessary consequence).
Namun, keberadaan kalimat (6) tidak bisa diterima karena jika Johny tidak sampai
mati, maka sesungguhnya Ali tidak membunuh Johny. Dengan kata lain, hubungan
konsekuensi mutlak di sini tidak dapat berjalan dan kalimat (6) tidak dapat diterima.
1.6.2. Kegagalan Presuposisi
Salah satu fitur yang dimiliki oleh presuposisi adalah fitur defeasibilitas
(defeasibility) atau yang bisa disebut juga fitur pembatalan (cancellation) yang
berarti presuposisi dapat dibatalkan atau ditunda atau menguap atau hilang.
Kegagalan atau pembatalan presuposisi ini terjadi ketika presuposisi yang ada
dalam tuturan penutur gagal ditemukan atau diterima oleh lawan tutur. Macagno
14
(2015:472) menyebutkan mengenai kegagalan presuposisi terjadi saat lawan tutur
menolak presuposisi tersebut, sehingga mengakibatkan infelicity (ketidakpuasan)
dalam tindak tutur. Kegagalan presuposisi ini dapat digolongkan sebagai fitur
defeasibilitas (defeasibility). Menurut Levinson (1983:186), salah satu hal yang
khas mengenai presuposisi adalah presuposisi dapat menguap dalam konteks
tertentu, dalam linguistik konteks yang terjadi saat ini atau kurangnya konteks
percakapan ataupun kondisi di mana asumsi yang bertentangan dibuat. Contoh yang
diambil dari Rahardi (2005:42) ini akan menggambarkan bagaimana kegagalan
presuposisi terjadi.
(7) Mahasiswa tercantik di kelas itu pandai sekali.
Tuturan (7) memiliki presuposisi bahwa ada mahasiswi yang berparas cantik
di kelas tersebut. Apabila pada kenyataannya mahasiswi tersebut benar-benar ada,
maka dapat dinilai benar-salahnya presuposisi tersebut. Jika terjadi sebaliknya,
maka presuposisi tersebut tidak bisa dikatakan benar atau salah dan dapat
dibatalkan. Schwarz (1977:248) dalam Macagno (2015:472) menyebutkan salah
satu elemen penting mengenai presuposisi ini adalah presuposisi sangat
berhubungan dengan kepercayaan dan pengetahuan penutur dan lawan tutur. Lawan
tutur yang memberikan reaksi berbeda menggambarkan dan memberikan kontribusi
tentang kebenaran yang ada dalam presuposisi itu sendiri, karena hakikatnya
penutur memberikan tuturan (7) agar lawan tutur mengetahui keberadaan
mahasiswa tercantik tersebut.
15
Fitur defeasibilitas ini juga dimiliki oleh implikatur percakapan. Grice (1975)
dalam Bottyan (2014:4) menyebutkan salah satu fitur implikatur percakapan, yakni
“Conversational implicature is CANCELLABLE, that is, it can be annulled by
certain contexts without this giving rise to a contradiction”. Implikatur percakapan
dapat dibatalkan dengan keberadaan konteks tertentu tanpa menimbulkan
kontradiksi. Berikut ini adalah contoh yang diberikan oleh Bottyan (2014:3)
berkaitan dengan fitur implikatur percakapan.
(8) A: Smith doesn’t seemto have a girlfriend these days.
B: He has been paying a lot of visits to New York lately.
Dalam percakapan (8), implikatur yang muncul dari tuturan B adalah apabila
kemungkinan Smith memiliki kekasih yang tinggal di New York karena ia sering
pergi ke New York. Namun, bandingkan situasi dalam (9) berikut.
(9) B: He has been paying a lot of visits to New York lately, but I don’t think
he has a girlfriend there, either.
Bila B menjawab tuturan A dalam (8) seperti tuturannya dalam (9) dan bila
A mengetahui tentang ibu Smith yang tinggal di New York, maka implikatur yang
muncul bahwa Smith kemungkinan memiliki kekasih yang tinggal di New York
akan dibatalkan. Konteks berperan penting dalam fitur defeasibel presuposisi dan
implikatur percakapan. Namun, entailmen tidak dapat dibatalkan karena
berhubungan dengan logika berpikir.
16
1.6.3. Pemicu Presuposisi (Presupposition triggers)
Keberadaan trigger/pemicu presuposisi membantu lawan tutur untuk
mendeteksi keberadaan presuposisi. Levinson (1983) dan Beaver (2001) telah
menyebutkan beberapa pemicu yang membuat presuposisi dapat dengan mudah
ditemukan.
1.6.3.1. Definite Description
Deskripsi nyata/mutlak (definite description) merupakan salah satu penanda
dari presuposisi yang berarti setiap kata benda atau nama orang yang disebutkan
dalam percakapan dianggap ada atau hidup. Contoh, diambil dari Levinson
(1983:181), dari trigger ini adalah
(10) John saw/didn’t see the man with two heads (John melihat/tidak melihat
laki-laki berkepala dua)
>> There exists a man with two heads (terdapat laki-laki berkepala dua)
1.6.3.2. Factive Verbs
Pemicu presuposisi yang lain adalah kata factive verbs / kata kerja faktif. Kata
kerja faktif adalah kata kerja yang berhubungan dengan pengetahuan dan secara
implisit membingkai fakta (dikutip dari http://nlpnotes.com/presuppositions-
factive-verbs/, pada 29 April 2017 pukul 11:32). Beberapa contoh kata kerja faktif
adalah know, learn, remember, dan realize. Jika dalam sebuah tuturan terdapat kata
kerja faktif, maka presuposisi dari tuturan tersebut didapat dari kalimat setelah kata
kerja faktif tersebut. Kedua contoh di bawah ini diambil dari Huang (2011:402).
(11) John knows/doesn’t know that smoking is a dangerous pastime. (John
tahu/tidak tahu bahwa merokok adalah rekreasi yang membahayakan)
17
>> Smoking is a dangerous pastime (merokok adalah rekreasi yang
membahayakan)
1.6.3.3. Iterative
Selanjutnya, pemicu presuposisi lainnya adalah iterative atau pengulangan.
Dengan adanya kata pengulangan ini, maka presuposisi akan nampak dengan jelas.
(12) The flying saucer came/didn’t come again. (UFO itu kembali lagi)
>> The flying saucer came before. (UFO itu sudah pernah datang sebelumnya)
Contoh-contoh dari kata pengulangan ini adalah again (lagi), anymore (tidak
lagi), return (kembali), another time (waktu yang lain), to come back (untuk
kembali lagi), restore (mengembalikan), repeat (mengulangi), dan for the nth time
(untuk waktu yang kesekian kali).
1.6.3.4. Temporal Clause
Trigger presuposisi selanjutnya adalah klausa temporal/klausa waktu
(temporal clauses). Klausa ini berhubungan dengan adanya penanda waktu. Dengan
adanya klausa ini, presuposisi bisa ditemukan dengan mudah karena presuposisi
ditemukan dalam klausa tersebut. Beberapa kata yang yang tergabung dalam
penghubung untuk klausa temporal ini adalah when, whenever, while, as, since,
after, before, until, as soon as, dan once. Contoh berikut diambil dari Levinson
(1983:182):
(13) Before Strawson was even born, Frege notice/didn’t notice presupposition
(Sebelum Strawson lahir, Frede menyadari tentang presuposisi).
>> Strawson was born (Strawson lahir)
18
1.6.3.5. Cleft Sentences
Trigger selanjutnya adalah cleft sentences atau kalimat cleft. Kalimat dalam
bentuk cleft memberikan dua klausa, namun satu klausa adalah klausa yang ingin
ditekankan. Kalimat cleft dibedakan menjadi it-cleft dan WH-cleft. Keberadaan
kalimat cleft ini memicu keberadaan presuposisi.
(14) What John lost/didn’t lose was his wallet (Yang John hilangkan adalah
dompetnya)
>> John lost something (John kehilangan sesuatu)
1.6.3.6. Counterfactual Conditionals
Salah satu trigger presuposisi lainnya adalah kalimat pengandaian atau yang
bertentangan dengan kenyataan. Untuk pemicu satu ini, penanda yang dihadirkan
adalah penanda if (jika). Presuposisi akan ditemukan dari klausa yang memiliki
penanda if.
(15) If Hannibal had only had twelve more elephants, the Romance languages
would/would not this day exist (Jika Hannibal hanya memiliki dua belas lebih
gajah, maka Romance language akan membiarkan hari ini ada)
>> Hannibal didn’t have twelve more elephants (Hannibal tidak memiliki dua
belas lebih gajah)
1.6.3.7. Questions
Trigger presuposisi terakhir yang dihadirkan oleh Levinson (1983:184)
adalah pertanyaan sebagai pemicu di sini adalah pertanyaan yang mengharapkan
jawaban ya atau tidak (yes/no question), pertanyaan dengan awalan tanya seperti
what (apa), who (siapa), why (mengapa), where (di mana), when (kapan), dan how
19
(bagaimana) (WH-questions) dan pertanyaan dengan dua atau lebih jawaban yang
dihadirkan dalam pertanyaan itu (alternative questions).
(16) Is there a professor of linguistics at MIT? (Apakah ada profesor linguistik
di MIT?)
>> Either there is a professor of linguistics at MIT or there isn’t (Kemungkinan
ada profesor linguistik di MIT, bisa juga tidak ada)
1.6.3.8. Change of State Verbs
Sekumpulan verba yang tergolong dalam verba change of state telah
dikumpulkan oleh Karttunen (1973) dan dikategorikan sebagai trigger presuposisi.
Wright (2002:339) mengatakan bahwa verba dalam kelompok ini terlibat dalam
sebuah perubahan dalam komposisinya saat sebuah benda menjalani sebuah
peristiwa khusus (involve a change in the internal composition of an entity
undergoing a particular event). Levinson (1983) telah mencatat beberapa verba
tersebut, yaitu stop (berhenti); begin (memulai); start (memulai); finish
(menyelesaikan); carry on (membawa); cease (berhenti); take (mengambil); leave
(meninggalkan); enter (memasuki); come (datang); go (pergi); dan arrive (tiba).
Berikut ini adalah contoh dari Levinson (1983):
(17) John stopped beating his wife (John berhenti memukuli istrinya)
>> John had been beating his wife (John sudah memukuli istrinya)
1.6.4. Linguistik Forensik
Linguistik forensik adalah salah satu cabang linguistik yang berkenaan
bahasa yang berkaitan dengan konteks hukum. Olsson (2004) dalam Monsefi
(2011:44) menyebutkan bahwa linguistik forensik adalah sebuah aplikasi linguistik
20
dalam konteks kriminal, persidangan atau argumentasi dalam hukum. Linguistik
forensik juga berkenaan dengan analisa bahasa legal dan plagiarisme. Menurut
McMenamin (2002), linguistik forensik adalah studi ilmiah mengenai bahasa yang
diaplikasikan dalam tujuan dan konteks forensik. McMenamin juga menjelaskan
bahwa area dari linguistik forensik adalah fonetik auditori, fonetik akustik,
semantik, wacana dan pragmatik, stilistika dan kepengarangan yang masih
dipertanyakan, bahasa hukum, bahasa dalam pengadilan, interpretasi dan
penerjemahan.
Kemudian, salah satu fitur linguistik yang ada dalam wacana pengadilan
adalah pragmatik. McMenamin (2002) mengatakan bahwa “pragmatics is
important for forensic purposes because speakers and writers do not always
directly match their words with the meaning that they intend to convey.”
Bagaimanapun juga dalam interaksi sosial yang dilakukan setiap orang, ada hal-hal
yang tak terlihat atau implisit yang ingin disampaikan oleh para pelaku tutur.
Maksud yang tak tersampaikan itu mungkin saja luput oleh para pendengar dari
percakapan itu sendiri, karena biasanya terbentuk dan tercipta dari bentuk tuturan
yang tidak memungkinkan maksud tersembunyi itu terjadi. Namun, tanpa disadari
maksud tersembunyi itu tetap hadir dalam percakapan.
21
Gambar 1. Pelaku Tutur di Pengadilan (diadaptasi dari
http://www.courtinformation.ca/sites/default/files/court-diagram.gif)
Sedikit mengaitkan asumsi yang ada di pengadilan ini dengan presuposisi,
setiap pertanyaan yang diajukan baik oleh pengacara maupun jaksa, akan
mengandung presuposisi yang mana dilekatkan dalam setiap pertanyaan.
Sebenarnya, faktor presuposisi dalam pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan
yang dapat merusak anggapan dasar para saksi. Bagaimanapun saksi harus
menjawab pertanyaan yang dilontarkan dan dalam menjawab pertanyaan-
pertanyaan itu harus berhati-hati, karena mereka bisa saja menerima “fakta” yang
berusaha ditanamkan dalam pertanyaan-pertanyaan itu (Grundy, 2000:141).
1.7. Metode Penelitian
Penelitian ini tergabung dalam penelitian deskriptif kualitatif di mana data
dideskripsikan secara jelas. Hal-hal yang tercakup dalam metode penilitian ini
22
adalah metode pengumpulan data, metode analisis data dan metode penyajian hasil
analisis data.
1.7.1. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan penyimakan atau observasi. Teknik
dasar yang digunakan adalah teknik sadap, selanjutnya menggunakan teknik simak
bebas libat cakap karena peneliti hanya memperhatikan bentuk-bentuk calon data
tanpa terlibat dalam pembuatan percakapan tersebut (Sudaryanto (1988:4) dalam
Kesuma (2007:44)). Teknik selanjutnya yang digunakan adalah teknik rekam dan
teknik catat. Teknik rekam yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara
mengunduh video persidangan pembunuhan Shannon Griffin dengan tertuduh
Jennifer Mee yang dari situs Youtube dari akun TheTownniDilly yang diupload pada
tanggal 18 September hingga 20 September 2013. Selanjutnya, teknik catat
digunakan guna mencatat hasil dari penyimakan data dalam kartu data (Kesuma,
2007:45). Tuturan dalam video persidangan ditranskripsikan secara manual dalam
bentuk data tertulis. Peneliti mencatat semua percakapan antara pengacara pada
saksi dan jaksa pada saksi dan semua data dicatat dalam kartu data.
Selanjutnya, untuk penamaan data agar memudahkan analisis dan
dikarenakan data berasal dari beberapa video berbeda, maka pengkodean sumber
data berawalan D untuk day (hari) dan selanjutnya adalah P untuk part (bagian).
Pengkodean data menjadi D1P1, untuk video hari pertama dan bagian pertama, dan
begitu seterusnya. Video persidangan hari pertama terbagi menjadi tiga bagian,
23
video persidangan hari kedua terbagi menjadi lima bagian dan video persidangan
hari ketiga dibagi menjadi lima bagian yang akan diambil bagian pertamanya saja.
1.7.2. Metode Analisis Data
Metode yang digunakan dalam analisis data adalah metode padan. Menurut
Sudaryanto (1993:13) dalam Kesuma (2007:47), analisis dengan menggunakan
metode padan berarti alat penentunya berada di luar dan tidak menjadi bagian dari
bahasa yang diteliti. Analisis dengan metode ini digunakan untuk menemukan
identitas objek penelitian. Selanjutnya, alat penentu yang digunakan dalam analisis
adalah mitra wicara dan analisis ini tergolong metode padan pragmatis. Data
dianalisis dengan menggunakan teknik pilah unsur penentu dan unsur penentu yang
digunakan adalah unsur pragmatis. Data dipilah menjadi bentuk-bentuk tuturan
tanya yang ditentukan berdasarkan reaksi lawan tutur untuk ditemukan
presuposisinya.
1.7.3. Metode Penyajian Hasil Analisis Data
Metode yang digunakan dalam penyajian hasil analisis data adalah metode
informal yang diusung oleh Sudaryanto (1993:145) dalam Kesuma (2007:71), yang
mana analisis data disajikan dalam kata-kata yang jelas, sederhana yang mudah
dipahami.
1.8. Sistematika Penyajian
Bab I berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian,
dan sistematika penyajian. Bab II berisi tentang penjelasan mengenai presuposisi
24
yang ditemukan dalam persidangan kasus pembunuhan Shannon Griffin. Bab III
berisi tentang penjelasan mengenai bentuk pertanyaan yang memiliki presuposisi
yang ditemukan dalam persidangan kasus pembunuhan Shannon Griffin. Bab IV
berisi tentang konteks kegagalan presuposisi yang ditemukan dalam persidangan
kasus pembunuhan Shannon Griffin. Bab V berisi tentang kesimpulan.