BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar...

14
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan ungkapan penulis sebagai sarana komunikasi yang berupa tanda. Hal ini diungkapkan oleh Teeuw (1984: 37), bahwa sebagai tanda, karya sastra merupakan dunia dalam kata yang dapat dipandang dalam sarana komunikasi antara pembaca dengan pengarangnya, karya sastra bukan sarana komunikasi biasa. Sarana komunikasi yang tidak biasa ini menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Hal ini sejalan dengan ungkapan Pradopo (2013:121), bahwa karya sastra adalah karya seni yang mempergunakan bahasa sebagai mediumnya. Karena karya sastra merupakan sistem tanda, maka bahasa yang digunakan bukan sembarang bahasa, melainkan bahasa khas yang memuat tanda- tanda (Endraswara, 2011:63). Genre sastra yang banyak menyimpan tanda di dalamnya adalah puisi. Hal ini dikarenakan puisi sebagai salah satu jenis karya sastra merupakan penjelmaan ekspresi yang padat, maka hal-hal yang kecil tidak disebutkan (Pradopo, 2011:208). Dalam bahasa Arab, puisi disebut dengan asy-syi’r. Bagi bangsa Arab, puisi merupakan karya sastra utama yang telah lahir sejak sekitar abad ke-4 Masehi dan masih terus berkembang pesat hingga sekarang. Dalam perkembangannya, bangsa Arab mengelompokkan puisi-puisi mereka berdasarkan tujuan dalam berbagai tema, di antaranya tema fakhr (kebanggaan atau keunggulan), madh} (puji-pujian), hija>' (ejekan), ris|a>' (ratapan), was} f (deskripsi),

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar...

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Karya sastra merupakan ungkapan penulis sebagai sarana komunikasi

yang berupa tanda. Hal ini diungkapkan oleh Teeuw (1984: 37), bahwa sebagai

tanda, karya sastra merupakan dunia dalam kata yang dapat dipandang dalam

sarana komunikasi antara pembaca dengan pengarangnya, karya sastra bukan

sarana komunikasi biasa. Sarana komunikasi yang tidak biasa ini menggunakan

bahasa sebagai mediumnya. Hal ini sejalan dengan ungkapan Pradopo (2013:121),

bahwa karya sastra adalah karya seni yang mempergunakan bahasa sebagai

mediumnya. Karena karya sastra merupakan sistem tanda, maka bahasa yang

digunakan bukan sembarang bahasa, melainkan bahasa khas yang memuat tanda-

tanda (Endraswara, 2011:63).

Genre sastra yang banyak menyimpan tanda di dalamnya adalah puisi. Hal

ini dikarenakan puisi sebagai salah satu jenis karya sastra merupakan penjelmaan

ekspresi yang padat, maka hal-hal yang kecil tidak disebutkan (Pradopo,

2011:208). Dalam bahasa Arab, puisi disebut dengan asy-syi’r. Bagi bangsa Arab,

puisi merupakan karya sastra utama yang telah lahir sejak sekitar abad ke-4

Masehi dan masih terus berkembang pesat hingga sekarang. Dalam

perkembangannya, bangsa Arab mengelompokkan puisi-puisi mereka berdasarkan

tujuan dalam berbagai tema, di antaranya tema fakhr (kebanggaan atau

keunggulan), madh} (puji-pujian), hija>' (ejekan), ris|a>' (ratapan), was}f (deskripsi),

2

gazal (cinta), dan zuhd (religi). Sampai saat ini, puisi-puisi Arab masih terus lahir

dengan tema-tema baru yang semakin banyak dieksplorasi oleh para penyair Arab

(Badawi, 1975:2-3).

Puisi di Arab terus berkembang sejalan dengan perkembangan bahasa dan

kesusastraan yang terbagi dalam lima periode, yaitu pertama, kesusasteraan zaman

Jahiliyyah dimulai dari dua abad sebelum Islam lahir sampai munculnya Islam.

Kedua, zaman permulaan Islam yang masanya mulai dari datangnya Islam sampai

runtuhnya daulat Bani Umayyah tahun 132 H. Ketiga, zaman Abbasiyah yang

masanya mulai dari berdirinya daulat Abbasiyah tahun 132 H sampai runtuhnya

kota Baghdad oleh tangan bangsa Mongolia tahun 656 H. Keempat, zaman

pemerintahan Turki yang masanya mulai dari runtuhnya kota Baghdad sampai

timbulnya kebangkitan bangsa Arab di abad modern. Kelima, zaman modern.

Timbulnya kesusasteraan Arab modern ditandai dengan timbulnya rasa

nasionalisme bangsa Arab di abad modern sampai sekarang (al-Muhdar, 1983:25).

Seiring dengan berjalannya waktu, bentuk dan pola asy-syi’r atau puisi

mengalami perubahan. Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Kamil

(2009: 2), bahwa kini telah banyak bermunculan puisi modern atau asy-syi’r al-

h}urr, yaitu puisi yang bentuknya tidak lagi memakai kaidah-kaidah pola puisi

Arab tradisional atau tidak memakai wazan dan qa>fiyah.

Salah satu contoh puisi modern adalah puisi ‚Wa ‘A<da Fi>..Kafanin‛ karya

Mah}mu>d Darwi>sy yang diterbitkan pada tahun 1964, merupakan ungkapan

kepedihan rakyat Palestina yang ditinggal mati oleh anak-anaknya yang menjadi

korban penembakan tentara Israel. Mah}mu>d Darwi>sy adalah seorang penyair asal

3

Palestina yang dikenal melalui karya-karyanya yang banyak mengangkat tema

epique untuk menyuarakan perlawanan terhadap penjajahan Israel dan tema-tema

lain seperti konflik, politik, maupun ratapan. Selain itu, Mah}mu>d Darwi>sy juga

menulis tentang kondisi sosial negara-negara Arab lainnya. Lewat karya-karya

inilah masyarakat dunia mengetahui secara tersirat apa yang terjadi di tanah

Palestina.

Puisi ‚Wa ‘A<da..Fi> Kafanin‛ dalam Antologi Aura>qu az-Zaitu>n, terdapat

banyak tanda yang harus diuraikan untuk memahami makna yang terkandung di

dalamnya. Oleh karena itu, agar puisi tersebut dapat dipahami secara menyeluruh

diperlukan adanya penelitian pada puisi ‚Wa ‘A<da..Fi> Kafanin‛ dengan

menggunakan analisis semiotik untuk mengkaji tanda-tanda serta mengungkap

makna yang ingin disampaikan penyair melalui media bahasa.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, hal yang menjadi

objek permasalahan dalam penelitian ini adalah makna yang terkandung pada

puisi ‚Wa ‘A<da..Fi> Kafanin‛ dalam antologi puisi Aura>qu az-Zaitu>n karya

Mah}mu>d Darwi>sy.

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan masalah yang telah dipaparkan, penelitian

ini bertujuan untuk mengungkapkan makna yang terdapat pada puisi yang

4

berjudul ‚Wa ‘A <da..Fi> Kafanin‛ dalam antologi puisi Aura>qu az-Zaitu>n karya

Mah}mu>d Darwi>sy.

1.4 Tinjauan Pustaka

Penelitian terhadap puisi-puisi karya Mah}mu>d Darwi>sy telah banyak

dilakukan di beberapa universitas belahan dunia terutama universitas di Indonesia,

seperti UGM, UI, dan UIN Sunan Kalijaga. Di Jurusan Sastra Arab Fakultas Ilmu

Budaya UGM, penelitian terhadap antologi Aura>qu az-Zaitu>n sudah pernah

dilakukan sebelumnya. Antologi puisi Aura>qu az-Zaitu>n terdiri atas 27 judul, dua

di antaranya sudah pernah diteliti.

Pemaknaan puisi terhadap karya Mah}mu>d Darwi>sy ‚Bit}a>qah Hawiyyah‛

yang telah dilakukan oleh Ulfa (2010) memiliki antologi yang sama pada

penelitian ini, yaitu Aura>qu az-Zaitu>n. Pemaknaan puisi tersebut menghasilkan

kesimpulan tentang protes keras rakyat Palestina karena penjajahan yang

dilakukan oleh zionis Israel dengan merebut secara paksa tanah air mereka.

Berada dalam kekuasaan bangsa lain menyebabkan penderitaan dan kesengsaraan

bagi rakyat Palestina. Oleh karena itu, dengan niat, tekad, dan semangat, mereka

akan melawan zionis untuk merebut kembali tanah air mereka karena mereka

yakin bahwa merekalah bangsa Arab, pemilik sah tanah tersebut.

Penelitian lain pada antologi yang sama pernah dilakukan oleh Aaisyah

(2014) dengan judul “Makna Puisi ‚Risa>latun min al-Manfa‛ dalam Antologi

Aura>qu az-Zaitu>n karya Mah}mu>d Darwi>sy: Analisis Semiotik‛. Dalam penelitian

5

tersebut disimpulkan bahwa rakyat Palestina hanya dapat mencurahkan segala

derita ke dalam lembaran-lembaran buku tulis layaknya menulis surat.

Berdasarkan penelitian di atas, dapat diketahui bahwa puisi Mah}mu>d

Darwi>sy banyak bercerita tentang rakyat Palestina yang berjuang kembali merebut

tanah air mereka dari kekuasaan zionis Israel. Masing-masing puisi tersebut

memiliki tema tertentu, namun tetap berada dalam satu tema besar yaitu puisi

epique.

Adapun beberapa bagian puisi ‚Wa ‘A<da..Fi> Kafanin‛ dalam antologi

Aura>qu az-Zaitu>n karya Mah}mu>d Darwi>sy pernah diteliti sebelumnya oleh

Hindun (2016) dalam disertasi dengan judul “Puisi Perlawanan Bangsa Arab-

Palestina Dalam Karya-karya Mah}mu>d Darwi>sy Kajian Adab al-Muwa>wamah‛.

Akan tetapi, puisi ‚Wa ‘A<da..Fi> Kafanin‛ belum pernah diteliti secara khusus.

Oleh karena itu, puisi ini layak diteliti dan akan dijelaskan secara mendalam untuk

mengungkapkan makna di setiap tanda yang terkandung di dalamnya melalui

Analisis Semiotik Riffaterre, serta melengkapi penelitian yang telah ada.

1.5 Landasan Teori

Teori yang digunakan dalam penelitan ini adalah teori semiotik Riffaterre.

Karya sastra dapat dikatakan sebagai gejala semiotik. Riffaterre (1978: ix)

berpendapat bahwa semiotik adalah pendekatan paling sesuai untuk memahami

puisi. Puisi diteliti sebagai suatu keseluruhan untuk mengungkap makna yang

tersimpan dalam teks. Luxemburg dkk. (1984: 44) mengungkapkan bahwa

semiotik ilmu yang secara sistematis mempelajari tanda-tanda dan lambang-

6

lambang, sistem-sistem lambang, dan proses-proses perlambangan. Dalam

semiotik, menurut Pradopo (2014: 123) pertama kali yang terpenting dalam

semiotik, sistem tanda, adalah pengertian tanda itu sendiri. Dalam pengertian

tanda ada dua prinsip, yaitu penanda (signifier) atau yang menandai, yang

merupakan bentuk tanda, dan petanda (signified) atau yang ditandai, yang

merupakan arti tanda.

Menurut Riffaterre (1978: 1-2), terdapat empat hal pokok dalam

memproduksi makna karya sastra, khususnya puisi. Keempat hal tersebut adalah

ketidaklangsungan ekspresi, pembacaan semiotik yang terdiri dari pembacaan

heuristik dan hermeneutik atau retroaktif, matriks atau kata kunci, dan hipogram

yang berkenaan dengan prinsip intertekstual.

Proses pemaknaan karya sastra diawali dengan pembacaan tahap pertama,

yaitu pemaknaan melalui ketidaklangsungan ekspresi. Riffaterre (1978:1-2)

mengungkapkan bahwa bagaimanapun perkembangan puisi, puisi tetap

merupakan ekspresi tidak langsung. Ketidaklangsungan tersebut disebabkan oleh

penggantian arti (displacing of meaning), penyimpangan arti (distorting of

meaning), dan penciptaan arti (creating of meaning).

Penggantian arti (displacing of meaning) disebabkan karena penggunaan

metafora dan metonimi. Metafora dan metonimi, secara umum diartikan sebagai

bahasa kiasan (Pradopo, 2012:282). Sedangkan penyimpangan arti (distorting of

meaning) disebabkan oleh tiga hal, yaitu ambiguitas atau ketaksaan, kontradiksi,

dan nonsense (Riffaterre, 18978:2). Penciptaan arti (creating of meaning) adalah

ruang teks yang diorganisasikan untuk menciptakan arti baru yang secara

7

linguistik tidak ada artinya. Akan tetapi, pengorganisasian tersebut menimbulkan

makna. Di antara sarana-sarana pencipta arti atau makna adalah sajak (rima),

enjabemen, homolog, dan tipografi (Pradopo, 2012:292).

Tahap kedua, yaitu pemaknaan melalui pembacaan semiotik. Pembacaan

ini dimulai dari pembacaan heuristik, yaitu pembacaan yang dilakukan dari awal

hingga akhir teks. Menurut Riffaterre (1978:135), pembacaan heuristik adalah

interpretasi pertama yang menghasilkan arti yang dimengerti. Hal ini dijelaskan

oleh Pradopo (1995:135) bahwa pembacaan dibaca berdasarkan struktur

bahasanya atau secara semiotik adalah berdasarkan konvensi semiotik tingkat

pertama. Dalam penelitian ini, pembacaan heuristik dilakukan dengan

memperhatikan struktur bahasa Arab yang baku dan diterjemahkan ke dalam

bahasa Indonesia.

Langkah selanjutnya ialah melakukan pembacaan hermeneutik. Menurut

Riffaterre (1978:5-6), pembacaan hermeneutik adalah interpretasi kedua yakni

memodifikasi pemahaman dengan mulai memecahkan kode. Hal ini dijelaskan

oleh Pradopo (1995:135) bahwa pembacaan hermeneutik adalah pembacaan karya

sastra berdasarkan sistem semiotik tingkat kedua atau berdasarkan kovensi

sastranya.

Tahap ketiga ialah pemaknaan melalui penentuan matrix atau kata kunci,

yaitu abstraksi dari keseluruhan teks dan tidak bersifat tekstual. Abstraksi tersebut

dapat berupa kata atau frasa. Akan tetapi, kata atau frasa tersebut tidak muncul

dalam teks, tetapi diaktualisasikan dengen model. Model yang dimaksud dapat

8

berupa kata atau kalimat tertentu. Pada prakteknya, matriks sering dikonkretkan

dalam bentuk varian-varian yang beruntun (Riffaterre, 1978:19).

Tahap terakhir yang ditawarkan Riffaterre adalah pemaknaan melalui

hipogram atau intertekstualitas. Intertekstualitas adalah hubungan antar teks puisi.

Puisi merupakan suatu jawaban dari puisi sebelumnya. Makna puisi akan sangat

terlihat jika dihubungkan dengan puisi sebelumnya (Pradopo, 2012:300).

Puisi “Wa ‘A<da .. Fi> Kafanin” karya Mah}mu>d Darwi>sy akan diteliti

dengan memanfaatkan dua dari metode semiotik yang dikemukakan oleh

Riffaterre. Dua metode tersebut adalah pemaknaan melalui ketidaklangsungan

ekspresi dilakukan bersamaan dengan pembacaan hermeneutik, sedangkan

pencarian matriz dan hipogram tidak dilakukan dalam penelitian ini.

1.6 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode analisi semiotik yang ditawarkan oleh

Riffaterre. Dalam usaha memaknai puisi, Riffaterre menawarkan empat langkah

pokok yang perlu diperhatikan. Pertama, untuk mengacu pada bahasa puisi adalah

ketidaklangsunngan ekspresi yang disebabkan oleh tiga hal, yaitu penggantian

arti, penyimpangan arti dan penciptaan arti (Riffaterre, 1978:2). Kedua, untuk

pemberian makna, digunakan pembacaan semiotik yang dibagi menjadi

pembacaan heuristik dan hermeneutik. Selanjutnya adalah pencarian matrix dan

hypogram.

Dalam penelitian ini hanya akan menggunakan dua dari empat hal pokok

dalam pemaknaan semiotik Riffaterre, yaitu ketidaklangsungan ekspresi dan

9

pembacaan semiotik. Langkah pertama adalah mencari ketidaklangsungan

ekspresi dalam puisi “Wa ‘A<da..Fi> Kafanin”. Ketidaklangsungan ekspresi

disebabkan oleh penggantian arti, penyimpangan arti, dan penciptaan arti.

Langkah kedua yaitu, yaitu dengan pembacaan semiotik yang terdiri atas

pembacaan heuristik dan hermeneutik atau retroaktif. Pembacaan heuristik

dilakukan dengan tahapan teks puisi akan diartikan sesuai dengan arti kata

berdasarkan linguistik (Riffaterre, 1978: 5). Pembacaan heuristik dilakukan

dengan menghasilkan terjemah dalam bahasa Indonesia dari puisi “Wa ‘A<da..Fi>

Kafanin”. Sedangkan pembacaan hermeneutik dilakukan dengan memahami

ketidaklangsungan ekpresi secara simultan. Pada tahap pemaknaan juga merujuk

kepada sumber-sumber pustaka untuk memperkuat hasil pemaknaan.

Dengan demikian, puisi ‚Wa ‘A<da Fi>..Kafanin‛ akan dibaca ulang dengan

memperhatikan konvesi sastranya, yaitu konvensi sastra Arab serta hal-hal yang

berkaitan dengan sosial budaya masyarakat Arab. Dalam tahapan ini, puisi ‚Wa

‘A<da Fi>..Kafanin‛ dapat diketahui maknanya yang tersirat.

1.7 Sistematika Penulisan

Penelitian ini ditulis dalam empat bab. Bab I berisi pendahuluan yang

meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka,

metode penelitian, sistematika penulisan, dan pedoman transliterasi huruf Arab-

Latin. Bab II terdiri dari biografi Mah}mu>d Darwi>sy dan puisi ‚Wa ‘A<da

Fi>..Kafanin‛ beserta transliterasinya. Bab III berisi analisis semiotik terhadap

puisi ‚Wa ‘A<da Fi >.. Kafanin‛. Bab IV berisi kesimpulan.

10

1.8 Pedoman Transliterasi Arab-Latin

Pedoman transliterasi Arab-Latin dalam penelitian ini berdasarkan

keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan & Kebudayaan

Republik Indonesia Nomor: 158 tahun dan 1987 Nomor: 0543b/U/1987 (Tim

Penyusun, 1988: iii-xx).

1. Konsonan

Fonem konsonan bahasa Arab yang dalam tulisan Arab dilambangkan

dengan huruf, dalam transliterasi ini sebagian dilambangkan dengan tanda, dan

sebagian yang lain dengan huruf dan tanda sekaligus. Di bawah ini daftar huruf

Arab dan transliterasinya ke dalam huruf Latin.

Huruf

Arab

Nama Huruf Latin Keterangan

Alif tidak dilambangkan tidak dilambangkan ا

bā’ B Be ب

tā’ T Te ت

ṡā’ Ṡ es (dengan titik di atas) ث

Jim J Je ج

ḥā’ ḥ ha (dengan titik di ح

bawah)

Khā Kh ka dan ha خ

Dāl D De د

Żāl Ż zet (dengan titik di atas) ذ

rā’ R Er ر

Zai Z Zet ز

Sīn S Es س

Syīn Sy es dan ye ش

ṣād Ṣ es (dengan titik di ص

bawah)

ḍād Ḍ de (dengan titik di ض

bawah)

ṭā Ṭ te (dengan titik di ط

bawah)

ẓā Ẓ zet (dengan titik di ظ

bawah)

ain ‘_ koma terbalik (di atas)‘ ع

11

Huruf

Arab

Nama Huruf Latin Keterangan

Gain G Ge غ

Fā F Ef ف

Qāf Q Ki ق

Kāf K Ka ك

Lām L El ل

Mīm M Em م

Nūn N En ن

Wāwu W We و

Hā H Ha ه

hamzah ’_ Apostrof ء

Yā Y Ya ي

2. Vokal

Vokal bahasa Arab terdiri dari vokal tunggal yang lambangnya berupa tanda

atau harakat, vokal rangkap yang lambangnya berupa gabungan harakat dan huruf,

dan vokal panjang yang lambangnya berupa harakat dan huruf. Berikut

transliterasinya.

Vokal tunggal Vokal rangkap Vokal panjang

Tanda Latin Tanda Latin Tanda Latin

<a ...ا ...ى ai ...ي a ـ

<i ـ...ي au ...و i ـ

<u ... و u ـ

Contoh:

kataba : كتب

baina : بين

12

nu>run : نور

3. Tā Marbut}ah

Transliterasi untuk ta> marbut}ah ada dua, yaitu pertama ta> marbut}ah hidup

atau mendapat harakat fathah, kasrah, atau dammah, transliterasinya adalah /t/.

Kedua ta> marbut}ah mati atau mendapat sukūn, transliterasinya adalah /h/.

Kalau pada kata yang terakhir dengan ta> marbut}ah diikuti oleh kata yang

menggunakan kata sandang al- serta kedua kata itu terpisah, maka ta> marbut}ah

itu ditransliterasikan dengan /h/.

Contoh:

ن ورة

دي نة امل

al-Madi>nah al-Munawwarah atau al-Madi>natul Munawwarah : امل

4. Syaddah

Tanda syaddah dilambangkan dengan huruf yang sama dengan huruf yang

diberi tanda syaddah tersebut.

Contoh:

ل nazzala : نز

5. Kata Sandang

Transliterasi kata sandang dibedakan atas kata sandang yang diikuti oleh

huruf syamsiyyah dan kata sandang yang diikuti oleh huruf qamariyyah. Kata

sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyyah ditransliterasikan sesuai dengan

bunyinya, yaitu huruf /l/ diganti dengan huruf yang sama dengan huruf yang

langsung mengikuti kata sandang tersebut. Kata sandang yang diikuti huruf

13

qamariyyah ditransliterasikan sesuai dengan bunyinya, yaitu /l/ ditulis terpisah

dari kata yang mengikutinya.

Contoh kata sandang syamsiyyah:

asy-syamsu : الشمس

Contoh kata sandang qamariyyah:

al-qamaru : القمر

6. Hamzah

Hamzah ditransliterasikan dengan apostrof jika terletak di tengah dan akhir

kata. Bila terletak di awal kata, ia tidak dilambangkan karena dalam tulisan Arab

berupa alif.

Contoh:

inna : إن

ya`khuz|u : يخذ

qara`a : ق رأ

7. Penulisan Kata

Pada dasarnya setiap kata ditulis terpisah, tetapi untuk kata-kata tertentu

yang penulisannya dalam huruf Arab sudah lazim dirangkaikan dengan kata lain

karena ada huruf atau harakat yang dihilangkan, maka transliterasinya

dirangkaikan dengan kata lain yang mengikutinya.

Contoh:

ر الرازقي لو خي Wa innalla>ha lahuwa khair ar-ra>ziqi>n : و إن الل

14

8. Huruf Kapital

Meskipun dalam sistem tulisan Arab tidak dikenal huruf kapital, tetapi

dalam transliterasinya huruf kapital digunakan dengan ketentuan Ejaan Yang

Disempurnakan (EYD).

Contoh:

Wa ma> Muh}ammadun illa> rasu>l : و ما ممد إال رسول