BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang...

28
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Fenomena alih fungsi lahan dari lahan pertanian khususnya lahan sawah ke penggunaan lahan non pertanian berlangsung dengan cepat di Pulau Jawa. Cepatnya laju alih fungsi lahan dari penggunaan pertanian ke penggunaan non pertanian merupakan konsekuensi logis dari tingginya urbanisasi. Tingginya urbanisasi ditandai dengan laju pertumbuhan penduduk perkotaan dan gejala urban sprawl. Konsekuensi logis dari pertumbuhan penduduk perkotaan adalah meningkatnya kebutuhan penduduk baik kebutuhan primer, sekunder, maupun tersier. Dampak dari meningkatnya kebutuhan penduduk adalah permintaan lahan yang tinggi. Lahan tentu menjadi sumberdaya yang sangat penting untuk penduduk, baik untuk tempat tinggal maupun ruang melakukan aktivitas sosial dan ekonomi. Tingginya permintaan lahan mengakibatkan persaingan untuk memiliki atau menguasai lahan di suatu wilayah. Hal ini berdampak pada meningkatnya nilai ekonomi lahan. Nilai ekonomi lahan yang lebih rendah untuk penggunaan lahan pertanian menyebabkan adanya alihfungsi lahan ke penggunaan lahan non pertanian seperti industri, perumahan, atau infrastruktur lainnya (Nasoetion dan Winoto, 1996 dalam Sudrajat, 2013). Tekanan penduduk terhadap lahan yang mengakibatkan adanya peningkatan permintaan lahan telah direspon secara positif oleh sebagian petani melalui peningkatan intensitas dan produktivitas. (Sinha, 1980; Sudrajat, 2010 dalam Sudrajat, 2013). Pernyataan tersebut mengindikasikan adanya sebagian petani yang tergiur dengan harga lahan yang semakin tinggi, akibatnya petani tersebut memindah tangankan kepemilikan lahan kepada pemilik lain. Yunus (2001) menyatakan bahwa mengendurnya keinginan mempertahankan lahan pertanian dari petani tercermin dari perilaku, semangat, dan motivasi petani. Lahan sawah merupakan lahan yang paling rentan mengalami alih fungsi, hal tersebut akan semakin parah jika lahan sawah letaknya di lokasi yang strategis seperti pinggir jalan raya ataupun di dekat pusat keramaian. Padahal lahan sawah

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang...

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

Fenomena alih fungsi lahan dari lahan pertanian khususnya lahan sawah ke

penggunaan lahan non pertanian berlangsung dengan cepat di Pulau Jawa.

Cepatnya laju alih fungsi lahan dari penggunaan pertanian ke penggunaan non

pertanian merupakan konsekuensi logis dari tingginya urbanisasi. Tingginya

urbanisasi ditandai dengan laju pertumbuhan penduduk perkotaan dan gejala

urban sprawl. Konsekuensi logis dari pertumbuhan penduduk perkotaan adalah

meningkatnya kebutuhan penduduk baik kebutuhan primer, sekunder, maupun

tersier. Dampak dari meningkatnya kebutuhan penduduk adalah permintaan lahan

yang tinggi. Lahan tentu menjadi sumberdaya yang sangat penting untuk

penduduk, baik untuk tempat tinggal maupun ruang melakukan aktivitas sosial

dan ekonomi.

Tingginya permintaan lahan mengakibatkan persaingan untuk memiliki atau

menguasai lahan di suatu wilayah. Hal ini berdampak pada meningkatnya nilai

ekonomi lahan. Nilai ekonomi lahan yang lebih rendah untuk penggunaan lahan

pertanian menyebabkan adanya alihfungsi lahan ke penggunaan lahan non

pertanian seperti industri, perumahan, atau infrastruktur lainnya (Nasoetion dan

Winoto, 1996 dalam Sudrajat, 2013).

Tekanan penduduk terhadap lahan yang mengakibatkan adanya peningkatan

permintaan lahan telah direspon secara positif oleh sebagian petani melalui

peningkatan intensitas dan produktivitas. (Sinha, 1980; Sudrajat, 2010 dalam

Sudrajat, 2013). Pernyataan tersebut mengindikasikan adanya sebagian petani

yang tergiur dengan harga lahan yang semakin tinggi, akibatnya petani tersebut

memindah tangankan kepemilikan lahan kepada pemilik lain. Yunus (2001)

menyatakan bahwa mengendurnya keinginan mempertahankan lahan pertanian

dari petani tercermin dari perilaku, semangat, dan motivasi petani.

Lahan sawah merupakan lahan yang paling rentan mengalami alih fungsi,

hal tersebut akan semakin parah jika lahan sawah letaknya di lokasi yang strategis

seperti pinggir jalan raya ataupun di dekat pusat keramaian. Padahal lahan sawah

2

merupakan salah satu input yang penting untuk memproduksi padi. Fenomena alih

fungsi lahan sawah terkait dengan dimensi persoalan yang kompleks. Jhon T.

Pierce (1981) menyatakan bahwa alih fungsi atau mutasi lahan secara umum

menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumberdaya lahan dari satu

penggunaan ke penggunaan lainnya.

Ilham dkk (2003) menyatakan bahwa lahan sawah dapat dianggap sebagai

barang publik, karena selain memberikan manfaat yang bersifat individual bagi

pemiliknya juga memberikan manfaat yang bersifat sosial. Lahan sawah memiliki

multifungsi yakni manfaat langsung, manfaat tidak langsung, dan manfaat

bawaan. Manfaat langsung berhubungan dengan perihal penyediaan pangan

penyediaan kesempatan kerja, penyediaan sumber pendapatan bagi masyarakat

dan daerah, sarana penumbuhan rasa kebersamaan (gotong royong), sarana

pelestarian kebudayaan tradisional, sarana pencegahan urbanisasi, serta sarana

pariwisata. Manfaat tidak langsung terkait dengan fungsinya sebagai salah satu

wahana pelestari lingkungan. Manfaat bawaan terkait dengan fungsinya sebagai

sarana pendidikan, dan sarana untuk mempertahankan keragaman hayati.

Terjadinya alih fungsi lahan tidak hanya terjadi akibat faktor alamiah,

namun juga karena faktor kebijakan pemerintah (Anwar dan Pakpahan, 1990;

Winoto, 1995 dalam Rahmanto, dkk 2006). Menurut Anwar (1995) dalam proses

alih fungsi lahan, telah terjadi asimetris informasi harga tanah, sehingga sistem

harga tidak mengandung semua informasi yang diperlukan untuk mendasari suatu

keputusan transaksi. Dalam hal ini dapat diindikasikan bahwa harga pasar belum

mencerminkan nilai sebenarnya dari lahan pertanian, sehingga harga yang

ditetapkan melalui mekanisme pasar cenderung under valuation. Menurut Winoto

(1996) dalam Rahmanto, dkk (2006), kegagalan mekanisme pasar dalam

mengalokasikan lahan secara optimal disebabkan faktor-faktor rent lainnya dari

keberadaan lahan sawah terabaikan, seperti fungsi sosial, fungsi kenyamanan,

fungsi konservasi tanah dan air, dan fungsi penyediaan pangan bagi generasi

selanjutnya.

Beberapa hasil kajian empiris memberikan penilaian bahwa land rent yang

diperoleh dengan memanfaatkan lahan untuk sawah adalah 1/500 land rent yang

diperoleh dari pemanfaatan lahan untuk industri (Iriadi, 1990 dalam Rahmanto,

3

dkk, 2006), 1/622 untuk perumahan (Riyani, 1992 dalam Rahmanto, dkk, 2006),

1/14 untuk pariwisata (Kartika, 1991 dalam Rahmanto, dkk, 2006), dan 1/2,6

untuk hutan produksi (Lubis, 1991 dalam Rahmanto, dkk, 2006). Hal tersebut

menunjukkan bahwa penilaian terhadap penggunaan lahan untuk industri,

perumahan, pariwisata, dan hutan industri masing-masing memberikan land rent

500; 622; 14; dan 2,6 kali lipat lebih besar dibandingkan dengan penggunaan

lahan untuk sawah. Penilaian yang demikian menyebabkan proses alih fungsi

lahan sawah ke penggunaan lain sulit dihindari. Jika alokasi lahan sepenuhnya

diserahkan pada mekanisme pasar, maka pertumbuhan ekonomi akan selalu

menimbulkan konversi lahan sawah yang pada umumnya telah memiliki

infrastruktur yang sudah berkembang. Ketersediaan infrastruktur ekonomi

merupakan faktor positif dominan yang berpengaruh terhadap preferensi investor

dalam memilih lokasi lahan yang akan dibangun untuk kegiatan non pertanian.

Petani memiliki peran penting dalam hal alih fungsi lahan. Petani berperan

dalam memberi keputusan untuk mempertahankan atau menjual lahannya. Petani

tentu memiliki pengetahuan mengenai fungsi lahan sawah. Namun, tidak semua

petani mengetahui multifungsi dari lahan sawah. Kondisi tersebut dapat

mengakibatkan perilaku petani yang cenderung mengabaikan fungsi lain selain

fungsi yang petani ketahui. Perilaku petani seperti itu dapat mengakibatkan alih

fungsi lahan yang semakin cepat. Akibatnya, akan banyak penduduk yang merasa

kehilangan fungsi dari lahan sawah, baik itu fungsi langsung, fungsi tidak

langsung, maupun fungsi bawaan dari lahan sawah.

Fungsi atau manfaat yang paling penting dari lahan sawah adalah untuk

menjaga ketahanan pangan, baik yang bersifat individual, lokal, maupun nasional

dan internasional. Makanan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia adalah

nasi. Nasi terbuat dari tanaman padi yang tumbuh di sawah. Jika sawah kian hari

kian menyusut, maka akan berakibat pada ketahanan pangan. Impor beras

bukanlah jalan terbaik dalam menanggulangi defisit beras di Indonesia. Kebijakan

pemerintah mengenai pangan sampai saat ini belum optimal. Terbukti dengan

menurunnya produksi beras dari tahun ke tahun di berbagai wilayah di Indonesia.

Koridor Yogyakarta – Solo – Semarang (Joglosemar) adalah salah satu

koridor yang berada di Pulau Jawa yang mencakup 12 Kabupaten/Kota yang

4

berada di jalur arteri regional (jalur utama) wilayah Joglosemar. Sepanjang

koridor Joglosemar telah banyak terjadi alih fungsi lahan untuk keperluan non

pertanian, seperti untuk industri, prasarana perkotaan, dan pemukiman. Fenomena

alih fungsi lahan di Joglosemar kian hari kian memprihatinkan. Faktanya sebagian

wilayah di Joglosemar merupakan sentra produksi padi, namun di sisi lain

perkembangan wilayah yang mengalihfungsikan lahan dari pertanian ke non

pertanian di Joglosemar tidak dapat dihindari. Konversi lahan pertanian akan

menganggu produktivitas padi regional maupun nasional serta akan mengubah

struktur ketenagakerjaan masyarakat setempat. Noor (1998) mengungkapkan

bahwa upaya pengendalian konversi lahan ternyata menghadapi berbagai

rintangan seperti inkonsistensi penerapan berbagai peraturan, termasuk penataan

ruang wilayah Joglosemar.

NSDA (1993) dalam Noor (1998) mengungkapkan bahwa wilayah

Joglosemar memiliki potensi sumberdaya alam yang menguntungkan, seperti

halnya lahan yang subur dengan ketersediaan air yang cukup. Pernyataan tersebut

menimbulkan dilema untuk mengembangkan lahan pertanian atau

mengembangkan bidang lain yang lebih potensial. Noor (1998) mengungkapkan

bahwa wilayah Joglosemar dalam RTRW Pulau Jawa – Bali dan RTRW Jawa

Tengah & DIY telah ditetapkan sebagai : (a) kawasan pengembangan pertanian

dalam arti luas; (b) kawasan strategis tumbuh cepat; (c) kawasan strategis rawan

bencana dan kawasan strategis perbatasan. Kebijakan tersebut sebenarnya

mengandung kontroversi atau ketidakkonsistenan dalam penataan serta

pemanfaatan ruang. Wilayah Joglosemar di satu sisi dikembangkan sebagai

kawasan pertanian yang berorientasi swasembada pangan, di sisi lain kebijakan

mengembangkan wilayah Joglosemar sebagai kawasan strategis tumbuh cepat

adalah mengembangkan industri, jasa dan perdagangan yang cenderung akan

mengalihfungsikan lahan pertanian untuk mengembangkan kegiatan tersebut.

Permasalahan tersebut diperparah dengan fakta bahwa terjadi pertumbuhan

jumlah penduduk yang cukup signifikan.

5

1.2. Permasalahan Penelitian

Perkembangan Kota Yogyakarta dan Kota Magelang telah membawa

dampak besar terhadap transformasi wilayah di Koridor Yogyakarta-Magelang. Di

sepanjang jalan antara Yogyakarta dan Magelang sudah banyak terjadi fenonema

konversi lahan dari lahan pertanian khususnya sawah ke non pertanian. Padahal,

di satu sisi wilayah di koridor tersebut merupakan kawasan pertanian yang subur

dan ditunjang dengan saluran irigasi yang memadai. Perubahan penggunaan lahan

yang terjadi di sepanjang koridor jalan raya Yogyakarta–Magelang tidak terjadi

begitu saja, namun melalui proses yang kompleks dan dipengaruhi oleh faktor –

faktor penyebab yang khas baik bersifat internal (individu keluarga petani) atau

oleh faktor eksternal (lingkungan keluarga petani dan letak lahan pertanian

petani).

Jika dilihat dari sisi pelaku alih fungsi lahan, maka yang menjadi pelaku

adalah stakeholders yang berkaitan seperti para pejabat, akademisi, masyarakat,

investor, dan petani itu sendiri. Meskipun pelaku–pelaku alih fungsi lahan

bersikap pro terhadap alih fungsi lahan, namun tetap yang memegang keputusan

terakhir adalah pemilik lahan (sawah) dan/atau petani. Keputusan petani untuk

memindahtangankan hak kepemilikan lahan atau mengalihfungsikan lahan sawah

ke penggunaan lain tergantung pada pengetahuan, pemahaman, apresiasi, dan

sikap petani terhadap pentingnya multifungsi lahan sawah. Maka dari itu untuk

mengetahui keberlanjutan usaha tani atau keputusan petani untuk

mempertahankan kepemilikan lahan sawah perlu untuk diketahui pula

pengetahuan dan sikap petani terhadap multifungsi lahan sawah.

Peneliti berargumen bahwa terjadinya alih fungsi lahan di sepanjang jalan

(koridor) Yogyakarta – Magelang akan terus terjadi dan tidak akan terkendali

sampai ada peraturan yang jelas dan tegas mengenai perlindungan lahan pertanian.

Namun tidak hanya itu, rendahnya pengetahuan petani mengenai multifungsi

lahan sawah akan memengaruhi keputusan petani untuk tidak mempertahankan

kepemilikan lahan sawahnya. Rendahnya keputusan petani selain dipengaruhi

oleh rendahnya pengetahuan tentang multifungsi lahan sawah juga dipengaruhi

oleh rasio land rent. Menurut Sudirman (2012) rendahnya nilai lahan pertanian

dikarenakan bahwa penilaian multifungsi lahan pertanian masih dilakukan dengan

6

pendekatan harga pasar, belum memperhitungkan nilai miltifungsi lahan pertanian

dengan pendekatan non pasar, terutama jasa lingkungan yang dihasilkan. Berikut

ini adalah rasio land rent yang diperoleh dengan mengusahakan lahan untuk

sawah dan penggunaan lain di Jawa, Tahun 1990 – 1992.

Tabel 1.1. Rasio Land Rent yang Diperoleh dengan Mengusahakan Lahan Untuk

Sawah dan Penggunaan Lain di Jawa Tahun 1990 - 1992

Perbandingan Penggunaan Lahan Rasio Land Rent Peneliti

Sawah : Perumahan 1 : 622 Riyani (1992)

Sawah : Industri 1 : 500 Iriadi (1990)

Sawah : Pariwisata 1 : 14 Kartika (1990)

Sawah : Hutan Produksi 1 : 2.6 Lubis (1991)

Sumber : Nasoetion dan Winoto, 1996 dalam Rahmanto, dkk, 2006.

Terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian dapat berakibat pada

hilangnya produksi pangan dan berkurangnya ketersediaan pangan wilayah,

terganggu bahkan terputusnya keberlanjutan usahatani serta pendapatan petani

yang berakibat hilangnya lapangan kerja pertanian bagi petani (Sudirman, 2012).

Namun terlepas dari dampak negatif konversi lahan, masih terdapat dampak

positif dari konversi lahan pertanian. Sudirman (2012) mengungkapkan contoh

dampak positif dari adanya konversi lahan yaitu (a) peningkatan nilai properti

lahan pertanian di sekitarnya sebagai konsekuensi logis dari peningkatan harga

lahan yang terjadi, (b) peningkatan nilai land rent dari lahan sawah menjadi lahan

terbangun, (c) peningkatan peluang usaha dan peluang kerjadi sektor non

pertanian. Berdasarkan paparan yang telah dijelaskan, maka dirumuskan

permasalahan penelitian sebagai berikut :

1. bagaimana tingkat pengetahuan petani tentang multifungsi lahan sawah di

koridor Yogyakarta – Magelang ?

2. bagaimana keinginan petani untuk mempertahankan kepemilikan lahan sawah

di koridor Yogyakarta – Magelang ?

3. faktor – faktor apa saja yang memengaruhi tingkat pengetahuan petani tentang

multifungsi lahan sawah di koridor Yogyakarta – Magelang ?

7

4. faktor apa pula yang memengaruhi keinginan petani untuk mempertahankan

kepemilikan lahan sawah di koridor Yogyakarta – Magelang?

5. seberapa besar pengaruh pengetahuan petani tentang multifungsi lahan sawah

terhadap keinginan petani mempertahankan kepemilikan lahan sawah di

Koridor Yogyakarta – Magelang ?

1.3. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui tingkat pengetahuan petani tentang multifungsi lahan sawah di

koridor Yogyakarta – Magelang

2. Mengetahui tingkat keinginan petani untuk mempertahankan kepemilikan

lahan sawah di koridor Yogyakarta – Magelang

3. Mengidentifikasi faktor–faktor yang memengaruhi pengetahuan petani tentang

multifungsi lahan sawah di koridor Yogyakarta - Magelang

4. Mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi keinginan petani untuk

mempertahankan lahan sawah di koridor Yogyakarta - Magelang

5. Mengetahui besarnya pengaruh pengetahuan petani tentang multifungsi lahan

sawah terhadap keinginan petani untuk mempertahankan kepemilikan lahan

sawah di koridor Yogyakarta – Magelang

1.4. Manfaat Penelitian

1. Dari segi ilmu pengetahuan diharapkan menjadi masukan yang positif dan

memberikan pengertian yang lebih luas mengenai konversi lahan sawah

menjadi lahan non – pertanian, khususnya di koridor Yogyakarta - Magelang

2. Dari segi pembangunan, diharapkan dapat memberikan masukan kepada

stakeholders khususnya pemerintah dalam menentukan pola pemanfaatan dan

penggunaan lahan untuk perbaikan dan peningkatan kegiatan pembangunan

daerah

3. Menjadi tambahan referensi untuk penelitian selanjutnya ataupun tujuan lain

yang berkaitan dengan tingkat pengetahuan petani tentang multifungsi lahan

sawah, keinginan petani untuk mempertahankan lahan sawah, ataupun

hubungan antar keduanya.

8

1.5. Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai pengetahuan petani tentang multifungsi lahan sawah

belum banyak dijumpai. Apalagi jika penelitian tersebut dikaitkan dengan

keinginan petani untuk mempertahankan lahan sawahnya. Padahal petani

merupakan salah satu pelaku dalam proses alih fungsi lahan yang semakin marak

terjadi. Penelitian ini juga relatif baru karena penelitian tentang pengetahuan

petani tentang multifungsi lahan sawah kebanyakan dilakukan di penggiran kota.

Penggunaan istilah koridor atau jalan raya yang menghubungkan dua kota belum

banyak diteliti mengenai pengetahuan petaninya tentang multifungsi lahan sawah

maupun keinginannya dalam mempertahankan lahan sawah. Padahal disepanjang

jalan antara dua kota akan mengalami alih fungsi lahan yang lebih cepat daripada

dibelakang jalan atau diantara jalan kolektor.

Koridor atau jalan yang menghubungkan dua kota antara Kota Yogyakarta

dan Kota Magelang dianggap dapat mewakili untuk diteliti. Lokasi yang

merupakan kawasan pertanian lahan sawah yang subur dan ditunjang dengan

irigasi yang baik, serta pertumbuhan Kota Magelang yang gemilang dan

keberadaan Kota Yogyakarta sebagai ibukota provinsi yang menunjukkan gejala

urban sprawl menjadi alasan pertimbangan mengapa lokasi atau koridor ini

dipilih.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Bambang

Rahmanto dkk (2006) terletak pada lokus penelitian dan tidak dikaitkannya

persepsi petani dengan keinginannya untuk mempertahankan kepemilikan lahan

sawah. Lokasi penelitian yang diteliti oleh Rahmanto berbasis pada wilayah DAS

(Daerah Aliran Sungai) yang mencakup tiga kabupaten yaitu Malang, Kediri, dan

Mojokerto. Hasil penelitian Rahmanto menunjukkan bahwa masyarakat memiliki

persepsi yang rendah tentang multifungsi lahan sawah dan berimplikasi dengan

adanya alihfungsi lahan.

Penelitian ini juga berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Annisa

Triyanti (2011). Triyanti melakukan penelitian di Desa Sinduadi. Desa Sinduadi

merupakan wilayah pinggiran kota Yogyakarta. Untuk lebih memperjelas

perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu, berikut ini merupakan Tabel

1.2. yang berisikan keaslian penelitian ini.

9

Tabel 1.2. Beberapa Penelitian yang Terkait

No.

Peneliti

dan

Tahun

Penelitian

Judul dan Metode Lokasi Hasil Penelitian

1 Eka

Ulthiya

Sormin

(2012)

Analisis Tingkat

Pengetahuan Petani

Terhadap Manfaat

Lahan Padi Sawah di

Kabupaten Serdang

Bedagai (Survei,

Deskrptif Kuantitatif)

Serdang

Bedagai

Tingkat pengetahuan ini meliputi apakah

petani mengetahui manfaat langsung,

manfaat tidak langsung, manfaat bawaan

dan fungsi negatif, 100% petani sampel

memahami betul bahwa manfaat langsung

dari lahan padi sawah adalah sebagai

bahan pangan, 80% petani menyadari

bahwa manfaat tidak langsung padi sawah

adalah mencegah peluang banjir, dan

96.67% petani menyadari dengan

menanam padi sawah dapat merusak

lingkungan dan tanah akibat penggunaan

bahan kimia. Perubahan luas lahan terbesar

periode tahun 2005-2009 terjadi pada

tahun 2006 yaitu sebesar 11.27%.

2 Bambang

Rahmanto,

dkk (2006)

Persepsi Mengenai

Multifungsi Lahan

Sawah dan

Implikasinya Terhadap

Alih Fungsi Lahan Ke

Penggunaan Non –

Pertanian (Survei,

Deskriptif Kuantitatif)

Malang,

Kediri,

Mojokerto

Hasil penilaian persepsi terhadap tiga

lapisan masyarakat, yaitu petani, tokoh

masyarakat desa, dan stake holder

pembangunan daerah mengindikasikan

bahwa pemahaman masyarakat terhadap

multifungsi lahan sawah pada umumnya

masih terfokus pada manfaat langsung,

khususnya fungsinya sebagai penyedia

bahan pangan dan kesempatan kerja.

Untuk fungsi-fungsi lahan sawah lainnya

diperoleh tanggapan yang bervariasi, baik

antar kelompok masyarakat yang diteliti

maupun di antara sesama anggota

kelompok masyarakat itu sendiri.

Kenyataan ini mengindikasikan bahwa

secara umum pemahaman masyarakat

terhadap manfaat lain dari lahan sawah

selain manfaat langsung belum disadari

sepenuhnya.

3 Sudrajat

(2013)

Tinjauan Spasial

Komitmen Petani

Mempertahankan

Kepemilikan Lahan

Sawah dan

Pemanfaatannya Untuk

Pertanian di Kabupaten

Sleman dan Bantul

Daerah Istimewa

Yogyakarta (Survei,

Deskriptif Kuantitatif)

Kabupaten

Sleman dan

Bantul

Terdapat perbedaan sebaran spasial tingkat

komitmen petani dalam mempertahankan

kepemilikan lahan sawah dan

pemanfaatannya untuk pertanian di tiga

zona penelitian. Faktor-faktor yang

memengaruhi tingkat komitmen petani

tersebut terdapat yang konsisten

berpengaruh di semua zona penelitian,

namun terdapat pula hanya di zona itu

sendiri. Penelitian ini juga menemukan

fakta bahwa di tiga zona penelitian

terdapat hubungan positif antara komitmen

petani untuk mempertahankan kepemilikan

lahan dengan tingkat komitmennya untuk

memanfaatkan lahan sawah sebagai lahan

pertanian.

10

Lanjutan Tabel 1.2. Beberapa Penelitian Yang Terkait

4 Annisa

Triyanti

(2011)

Persepsi Masyarakat

Terhadap Alih Fungsi

Lahan Pertanian ke

Non Pertanian di Desa

Sinduadi (Survei,

Deskriptif Kuantitatif)

Desa

Sinduadi Persepsi masyarakat terhadap alih fungsi

lahan pertanian ke non pertanian mayoritas

bersikap tidak setuju terhadap adanya alih

fungsi lahan. Persepsi tersebut berbeda

antara petani dan non petani. Persentase

ketidaksetujuan petani lebih tinggi

daripada non petani. Persepsi petani dalam

mempertahankan lahan pertanian

menunjukkan bahwa petani memiliki

keinginan sedang untuk mempertahankan

lahan pertanian, namun cenderung

memiliki keinginan tinggi untuk menjual,

menyewakan, atau merubah sendiri lahan

pertaniannya ke non pertanian.

5 Yusuf

Iskandar

(2014)

Pengaruh Pengetahuan

Petani Tentang

Multifungsi Lahan

Sawah Terhadap

Keinginan Petani

Mempertahankan

Kepemilikan Lahan

Sawah di Koridor

Yogyakarta –

Magelang (Survei,

Deskriptif Kuantitatif)

Koridor

Yogyakarta

– Magelang

Tingkat pengetahuan petani tentang

multifungsi lahan sawah di koridor

Yogyakarta – Magelang termasuk sedang

dan berimplikasi dengan keinginan petani

untuk mempertahankan lahannya sampai

waktu tertentu. Faktor – faktor yang

memengaruhi tingkat pengetahuan petani

adalah usia, pendidikan, luas lahan

garapan, dan jarak dengan pusat kota.

Faktor – faktor yang memengaruhi

keinginan petani mempertahankan lahan

adalah usia, dan jarak dengan pusat kota.

Terdapat pengaruh yang signifikan dari

pengetahuan petani tentang multifungsi

lahan sawah terhadap keinginan petani

untuk mempertahankan kepemilikan lahan

sawah.

Hasil penelitian Triyanti menunjukkan bahwa masyarakat cenderung tidak

setuju dengan alih fungsi lahan pertanian. Namun terdapat perbedaan persepsi

antara masyarakat petani dengan non petani. Petani cenderung bersikap kontra

dengan alih fungsi lahan namun juga cenderung rendah komitmennya dalam

mempertahankan kepemilikan lahan pertanian.

Penelitian yang dilakukan oleh Eka Ulthiya Sormin (2012) memiliki

perbedaan dengan penelitian ini. Sormin melakukan penelitian di Kabupaten

Serdang Bedagai dengan fokus penelitian pada tingkat pengetahuan petani tentang

manfaat lahan padi sawah. Perbedaan yang mendasar terletak pada tidak

dikaitkannya aspek keinginan petani untuk mempertahankan kepemilikan lahan

sawah dengan tingkat pengetahuan tersebut. Penelitian Sormin menghasilkan

fakta bahwa petani cenderung memiliki tingkat pengetahuan yang rendah tentang

manfaat lahan padi sawah.

11

Penelitian yang dilakukan Sudrajat (2013) memiliki perbedaan dengan

penelitian ini. Penelitian yang dilakukan Sudrajat adalah penelitian yang lebih

kompleks karena merupakan sebuah disertasi. Sudrajat melihat adanya perbedaan

spasial mengenai komitmen petani untuk mempertahankan kepemilikan lahan

pertanian. Zona yang lebih dekat dengan Kota Yogyakarta adalah zona yang

paling rendah komitmennya dan akan semakin tinggi komitmennya jika wilayah

(zona) tersebut lebih jauh posisinya dari Kota Yogyakarta. Penelitian yang

dilakukan Sudrajat berkaitan dengan komitmen petani, namun belum

menghubungkan tingkat pengetahuan petani tentang multifungsi lahan sawah

dengan komitmen atau keinginan petani untuk mempertahankan kepemilikan

lahan sawah.

1.6. Tinjauan Pustaka

1.6.1. Pengetahuan Petani Tentang Multifungsi Lahan Sawah

Pengetahuan didefinisikan sebagai hasil tahu yang terjadi melalui proses

sensoris khususnya mata dan telinga terhadap suatu obyek (Sunaryo, 2002).

Namun Van den Ban dan Hawkins (1999) dalam Levis (2013) mengungkapkan

bahwa pengetahuan merupakan salah satu aspek dalam perilaku. Pengetahuan

merupakan suatu kemampuan individu (petani) untuk mengingat–ingat segala

materi yang dipelajari dan kemampuan untuk mengembangkan intelegensi dalam

bertani.

Teori Bloom dalam Levis (2013) menyebutkan bahwa pengetahuan

merupakan tahap awal terjadinya persepsi, yang kemudian melahirkan sikap, dan

pada gilirannya melahirkan perbuatan atau tindakan. Adanya pengetahuan yang

baik terhadap suatu hal akan mendorong terjadinya perubahan perilaku pada diri

individu (petani). Pengetahuan tentang manfaat suatu hal akan menyebabkan

seseorang bersikap positif terhadap hal tersebut, demikian sebaliknya (Levis,

2013). Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai enam

tingkatan, antara lain :

12

a. Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya. Termasuk mengingat kembali terhadap sesuatu yang spesifik dari

seluruh bahan yang dipelajari.

b. Memahami (Comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara

benar tentang obyek yang diketahui dan dapat menginpretasi materi tersebut

secara benar.

c. Aplikasi (Application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang

telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang sebenarnya. Aplikasi diartikan

sebagai penggunaan suatu hukum – hukum, rumus, metode, prinsip, dan lain

sebagainya.

d. Analisis (Analysis)

Analisis merupakan suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau

suatu obyek kedalam komponen – komponen, tetapi masih didalam suatu

struktur organisasi tersebut dan masih terkait satu sama lain.

e. Sintesis (Synthesis)

Sintess merujuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian – bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

f. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian

terhadap suatu materi atau obyek. Penilaian – penilauan berdasarkan criteria

yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria yang telah ada.

Penelitian yang dilakukan oleh Sudrajat (2010) di pinggiran kota

Yogyakarta memberikan gambaran bahwa petani pada umumnya hanya

mengetahui fungsi lahan sawah sebagai penghasil bahan pangan. Manfaat lahan

sawah bagi lingkungan belum sepenuhnya diketahui oleh petani. Hal tersebut

menjadi suatu implikasi terhadap komitmen petani untuk tidak mempertahankan

kepemilikan lahan sawah, sehingga alih fungsi lahan akan semakin marak terjadi.

Manfaat bagi lingkungan dibagi kedalam dua sifat yaitu sifat positif lahan sawah

13

bagi lingkungan serta sifat negatif lahan sawah bagi lingkungan. Secara umum

sifat negatif lahan sawah berkaitan dengan penggunaan pupuk dan cara

pengolahan dan pengelolaan lahan sawah.

Sudrajat (2010) melakukan penelitian tentang pengetahuan petani pinggiran

kota terhadap manfaat lahan sawah bagi lingkungan, baik fungsi positif maupun

fungsi negatif. Hasil penelitian di pinggiran kota Yogyakarta menunjukkan bahwa

petani kurang mengetahui fungsi positif maupun negatif dari lahan sawah.

Kurangnya pengetahuan petani tentang fungsi positif dan negatif dari lahan sawah

akan berimplikasi terhadap komitmen petani dalam mencegah keinginan untuk

mengalihfungsikan lahan sawah. Hal ini dapat terjadi sebagai konsekuensi logis

dari kurangnya pengetahuan petani tentang fungsi negatif maupun fungsi positif

dari lahan sawah, sehingga petani tidak lagi memiliki kepedulian terhadap

lingkungan lahan sawah.

1.6.2. Lahan dan Pemanfaatannya

Lahan sering disebut sebagai real property dalam istilah yang sangat dasar

properti yaitu tidak tetap dan bergerak - yang berbeda dari milik pribadi atau juga

properti dapat diartikan sebagai (seperti dalam barang dan harta benda) yang tidak

tetap dan dapat dipindahkan. Prinsip-prinsip umum kepemilikan common law

telah lama ditetapkan di pengadilan ekuitas meskipun konsep tingkat kepemilikan

telah berubah secara signifikan antara abad ke sembilan belas hingga abad ke dua

puluh. Selain itu, peraturan perundang-undangan terus menempatkan peningkatan

pembatasan hak-hak dan manfaat yang dinyatakan akan bertambah dengan

kepemilikan lahan (Donnelly, 1985 dalam Donnelly, 2012).

Pada common law atau hukum adat, istilah "lahan" bila digunakan dalam

kaitannya dengan paket tertentu berarti permukaan bumi, lahan terdiri dari apa-

apa yang ada di bawah permukaan ke pusat bumi dan kolom udara di atas

permukaan. Ini termasuk segala sesuatu yang tumbuh pada atau terdapat pada

lahan, seperti pohon, tanaman dan bangunan. Hal ini juga termasuk semua

mineral dalam tanah kecuali emas dan perak, pada hukum milik Crown

disebutkan sebagai logam kerajaan (Hallmann, 1994 dalam Donnelly, 2012).

14

Lahan merupakan bagian dari bentang alam (landscape) yang dalam

pengertiannya mencakup lingkungan fisik termasuk iklim, topografi/relief, tanah,

hidrologi, dan keadaan vegetasi alami (natural vegetation) yang semuanya secara

potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan (FAO, 1976). Dalam

pengertian yang lebih luas, lahan termasuk apa - apa yang telah dipengaruhi oleh

berbagai aktivitas hewan dan manusia baik di masa yang lampau maupun saat ini,

seperti tindakan konservasi tanah dan reklamasi pada suatu bagian atau

keseluruhan lahan tertentu. Secara langsung maupun tidak langsung, aktivitas

manusia akan berkaitan dengan lahan seperti untuk pertanian, pemukiman,

transportasi, industry atau untuk rekreasi, sehingga dapat dikatakan bahwa lahan

merupakan sumberdaya alam yang sangat penting bagi kelangsungan hidup

manusia. Sitorus (2001) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resources)

sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta

benda yang ada di atasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan

lahan.

Definisi yang dikemukakan oleh Sitorus tidak jauh berbeda dengan yang

didefinisikan oleh FAO, sehingga dapat disimpulkan bahwa definisi dari

keduanya merupakan definisi yang tepat untuk menggambarkan lahan. Vink

dalam Sudrajat (2013) mengemukakan bahwa lahan adalah suatu konsep yang

dinamis. Lahan bukan hanya merupakan tempat dari berbagai ekosistem tetapi

juga merupakan bagian dari ekosistem - ekosistem tersebut. Lahan juga

merupakan konsep geografis karena dalam pemanfaatannya selalu terkait dengan

ruang atau lokasi tertentu, sehingga karakteristiknya juga akan sangat berbeda

tergantung dari lokasinya. Dengan demikian kemampuan atau daya dukung lahan

untuk suatu penggunaan tertentu juga akan berbeda dari suatu tempat ke tempat

lainnya.

Sumberdaya lahan mungkin dinilai dalam aspek atau atribut yang berbeda

dalam pemanfaatannya. Perbedaan dalam cara penilaian lahan ini akan

menyebabkan perbedaan dalam penggunaannya. Seorang petani yang akan

memanfaatkan lahan akan lebih memperhatikan aspek ekosistem seperti

ketersediaan air atau kemudahan untuk diolah, sebaliknya seorang pengembang

perumahan akan lebih memperhatikan aspek ruang atau lokasi dari lahan yang

15

bersangkutan. Selanjutnya, penggunaan yang lebih menekankan lahan sebagai

aspek ekosistem ataupun yang lebih menekankan lahan sebagai ruang, keduanya

akan memberikan dampak tertentu terhadap lahan sebagai suatu bentang alam.

Penggunaan lahan merupakan suatu cara manusia untuk memenuhi

kebutuhan hidupnya baik untuk keperluan materil maupun spiritual dengan cara

yang khas. (Vink 1975 dalam Gandasasmita 2001). Campur tangan manusia ini

sangat jelas terutama dalam memanipulasi kondisi ataupun proses - proses ekologi

yang berlangsung pada suatu areal. Dalam penggunaan lahan ini manusia berperan

sebagai pengatur ekosistem, yaitu dengan menyingkirkan komponen - komponen

yang dianggap tidak berguna ataupun dengan mengembangkan komponen yang

diperkirakan akan menunjang penggunaan lahannya (Mather 1986 dalam

Gandasasmita, 2001). Misalnya diubahnya areal hutan yang heterogen menjadi

lahan perkebunan yang homogen karena budidaya perkebunan lebih

menguntungkan daripada hutan. Demikian juga dengan pengalihfungsian lahan

rawa menjadi lahan tambang, lahan terbuka menjadi perkebunan dan sebagainya.

Menurut Lillesand dan Kiefer (1990), penutupan lahan merupakan

perwujudan fisik objek - objek yang menutupi lahan tanpa mempersoalkan

kegiatan manusia terhadap objek - objek tersebut. Sedangkan penggunaan lahan

secara umum didefinisikan sebagai penggolongan penggunaan lahan yang

dilakukan secara umum seperti pertanian tadah hujan, pertanian beririgasi, padang

rumput, kehutanan, atau daerah rekreasi. Arsyad (2010) mengelompokkan

penggunaan lahan ke dalam dua bentuk yaitu: (1) penggunaan lahan pertanian

yang dibedakan berdasarkan atas penyediaan air dan komoditas yang diusahakan,

dimanfaatkan atau atas jenis tumbuhan atau tanaman yang terdapat di atas lahan

tersebut, seperti tegalan, sawah, kebun, padang rumput, hutan dan sebagainya; (2)

penggunaan lahan non pertanian seperti penggunaan lahan pemukiman kota atau

desa, industri, rekreasi, pertambangan dan sebagainya. Sebagai wujud kegiatan

manusia, maka di lapangan sering dijumpai penggunaan lahan baik bersifat

tunggal (satu penggunaan) maupun kombinasi dari dua atau lebih penggunaan

lahan.

Pola penggunaan lahan bersifat sangat dinamis, bervariasi menurut waktu

dan tempat. Barlowe (1986 dalam Gandasasmita, 2001) menyatakan bahwa dalam

16

menentukan penggunaan lahan, terdapat tiga faktor penting yang perlu

dipertimbangkan yaitu faktor fisik lahan, faktor ekonomi, serta faktor

kelembagaan. Selain itu faktor kondisi sosial dan budaya masyarakat setempat

juga akan mempengaruhi pola penggunaan lahan (Gandasasmita 2001). Faktor

fisik yang mempengaruhi penggunaan lahan adalah faktor - faktor yang terkait

dengan kesesuaian lahannya, meliputi faktor - faktor lingkungan yang secara

langsung maupun tidak langsung mempengaruhi pertumbuhan dan budidaya

tanaman, kemudahan teknik budidaya ataupun pengolahan lahan dan kelestarian

lingkungan. Faktor fisik ini meliputi kondisi iklim, sumberdaya air dan

kemungkinan pengairan, bentuk lahan dan topografi, serta karakteristik tanah,

yang secara bersama akan membatasi apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan

pada sebidang lahan.

Faktor kelayakan ekonomi adalah seluruh persyaratan yang diperlukan

untuk pengelolaan suatu penggunaan lahan. Pengelola lahan tidak akan

memanfaatkan lahannya kecuali bila penggunaan tersebut, termasuk dalam hal ini

teknologi yang diterapkan, telah diperhitungkan akan memberikan suatu

keuntungan atau hasil yang lebih besar dari biaya modalnya (Barlowe 1986 dalam

Gandasasmita, 2001). Kelayakan ekonomi ini bersifat dinamis, tergantung dari

harga dan permintaan terhadap penggunaan lahan tersebut atau hasilnya.

Penerapan teknologi baru ataupun meningkatnya permintaan mungkin

menyebabkan suatu penggunaan lahan yang tadinya tidak memiliki nilai ekonomis

berubah menjadi layak secara ekonomis (Saefulhakim 1999 dalam Gandasasmita,

2001).

Faktor - faktor kelembagaan yang mempengaruhi pola penggunaan lahan

adalah faktor - faktor yang terkait dengan sosial budaya dan aturan - aturan dari

masyarakat, termasuk dalam hal ini aturan atau perundangan dari pemerintah

setempat (Barlowe 1986 dalam Gandasasmita, 2001). Penggunaan lahan yang

dijumpai di suatu wilayah adalah penggunaan lahan yang tidak bertentangan

dengan kebijaksanaan pemerintah, sosial budaya, kebiasaan, tradisi, ataupun

kepercayaan yang dianut oleh masyarakat setempat.

17

1.6.3. Pemilikan dan Penguasaan Lahan Sawah

Penguasaan lahan pada dasarnya mencakup hak kepemilikan maupun hak

pengelolaan atau penggarapan. Ketiganya merupakan salah satu produk dari

kelembagaan, sehingga dinamika dari penguasaan atau hak sangat berkaitan erat

dengan perubahan nilai, norma ataupun hukum yang dianut dan berlaku dalam

suatu komunitas. Sistem pemilikan lahan pertanian khususnya sawah merupakan

suatu faktor yang sangat penting dalam menentukan pola penggunaan lahan

pertanian. Sistem pemilikan lahan pertanian menurut Rostam dan Anuar (1984)

dalam Sudrajat (2013) berbeda antara satu negara dengan negara lain atau satu

masyarakat petani dengan masyarakat petani lainnya. Sistem pemilikan dan

penguasaan lahan pertanian banyak dipengaruhi oleh adat istiadat, agama, sistem

sosial masyarakat, dan sifat kerajaan. Dalam referensi yang sama, dikemukakan

pula empat sistem pemilikan lahan, yakni :

1. Pemilikan Bersama

Sistem pemilikan lahan pertanian ini dianggap sebagai milik sekelompok

masyarakat dan pemilikan secara individu tidak dibenarkan. Pemilikan lahan

pertanian ini merupakan pemilikan lahan yang paling tua terutama di negara

Asia Selatan, Asia Tenggara, Afrika, dan Amerika Selatan. Sistem pemilikan

bersifat individu atau petani – petani masih dibolehkan mengerjakan lahan

walaupun secara hukum bukanlah milik pribadi.

2. Pemilikan Secara Besar

Sistem pemilikan ini pada dasarnya merupakan sistem pemilikan yang

sudah kuno. Sistem pemilikan ini dimiliki oleh satu orang atau sekelompok

orang yang paling berpengaruh di suatu wilayah. Lahan yang dimiliki tersebut,

digarap oleh orang lain yang secara status lebih rendah dari orang yang

memiliki lahan.

3. Pemilikan Bebas

Sistem pemilikan bebas merupakan sistem pemilikan lahan pertanian

secara bebas dapat dimiliki oleh perorangan. Sistem pemilikan lahan secara

bebas sangat penting bagi petani dalam menjamin keberlangsungan kegiatan

bertaninya. Namun, faktanya lahan yang dimiliki petani khususnya di Jawa

sangat sempit, yaitu kurang dari 0.25 hektar. Hal ini diperparah dengan

18

kenyataan bahwa tekanan penduduk dan faktor lain seperti sistem warisan dan

pembangunan non pertanian semakin tinggi. Akibatnya, dengan semakin

menyempitnya lahan, semakin tidak ekonomis lahan pertanian khususnya

sawah yang diusahakan.

4. Pemilikan Sewa

Peneliti banyak menjumpai petani yang menyewa lahan pertanian

daripada yang dimiliki. Hal tersebut biasanya disebabkan pemilikan lahan

pribadi yang sempit atau memang tidak memiliki lahan namun ingin bertani

sebagai akibat dari ketiadaan lapangan pekerjaan lain. Bentuk sewa dari lahan

pertanian juga bermacam – macam. Pertama, petani yang hanya membayar

sewa lahan kepada tuan – tuan tanah dengan uang atau hasil produksi. Kedua,

petani memberikan imbalan kepada tuan tanah atau pemilik lahan yang lebih

besar yaitu sekitar 30% -50%. Ketiga, petani diberikan kesempatan untuk

mengerjakan lahan pertanian dengan diberikan biaya hidup dan semua hasil

produksi diserahkan kepada tuan tanahnya. Kesepakatan biasanya dilakukan

diawal penggarapan.

Perubahan struktur pemilikan lahan sawah salah satunya dipengaruhi pula

oleh adanya fragmentasi lahan. Di Jawa, fragmentasi lahan banyak terjadi. Akibat

dari fragmentasi lahan sawah adalah semakin sempitnya sawah yang dimiliki

petani dari generasi ke generasi selanjutnya. Namun, peneliti berargumen bahwa

fragmentasi lahan dapat mengakibatkan dampak negatif, serta dampak positif.

Dampak negatifnya adalah semakin sedikitnya lahan garapan petani dan semakin

sedikit pula hasil yang diperoleh petani. Namun, salah satu dampak positif yang

dihasilkan adalah linear-nya kebijakan pemerintah untuk meningkatkan

pertumbuhan ekonomi dengan sumberdaya manusia yang berorientasi ke non –

pertanian.

1.6.4. Multifungsi Lahan Sawah

Multifungsi lahan sawah pada dasarnya merupakan istilah untuk

menunjukkan bahwa sawah memiliki banyak fungsi. Rahmanto, dkk (2006)

menyebutkan bahwa multifungsi lahan sawah terdiri dari manfaat langsung atau

fungsi langsung, fungsi tidak langsung, fungsi bawaan, serta fungsi negatif.

19

Irawan (2006) menegaskan bahwa lahan sawah dapat dinilai secara ekonomi dan

nilainya jauh lebih tinggi daripada nilai produksi saja atau nilai harga lahannya.

Multifungsi lahan sawah memberikan penilaian lain pada lahan sawah. Semua

aspek yang ada dan fungsi yang ada pada lahan sawah memiliki nilai, baik nilai

ekonomi secara langsung, nilai ekonomi yang tidak langsung, nilai ekonomi

bawaan, dan tak luput pula nilai negatif dari lahan sawah. Nilai – nilai tersebut

faktanya tidak disadari baik oleh petani, masyarakat, ataupun kalangan pengambil

kebijakan di tingkat daerah.

Alih fungsi lahan sawah ke penggunaan non–pertanian memang mampu

meningkatkan pertumbuhan ekonomi di sektor selain pertanian, namun tidak

disadari bahwa alih fungsi lahan tersebut meninggalkan lahan sawah yang

berharga dan memiliki multifungsi. Bukan menjadi alasan jika pemerintah tidak

mengetahui apa yang harus dilakukan jika laju alih fungsi lahan sawah tergolong

tinggi, apalagi di Jawa yang sejatinya memilki fasilitas pertanian yang memadai.

Program – program yang digulirkan pemerintah masih tidak konsisten dan

tumpang tindih. Program pemerintah tersebut di satu sisi ingin mengembangkan

pertanian, di sisi lain ingin pula menumbuhkan pertumbuhan ekonomi secara

cepat, dan faktanya kebijakan tersebut telah mengalihfungsikan lahan sawah.

Multifungsi berkaitan dengan kegiatan ekonomi yang menghasilkan banyak

output, oleh karena itu dapat memberikan manfaat pada berbagai lapisan

masyarakat dalam waktu yang bersamaan (FFTC, 2001 dalam Sudirman, 2012).

Selaras dengan gambaran multifungsi lahan pertanian, manfaat langsung lahan

sawah dapat dikaitkan dengan sepuluh unsur berikut (Nasoetion dan Winoto,1996;

Pramono, dkk.,1996; Sumaryanto, dkk., 1996; Sumaryanto dan Suhaeti, 1999; Irawan,

dkk., 2000; Mayrowani, dkk., 2003 dalam Rahmanto, dkk., 2006): (1) penghasil bahan

pangan, (2) penyedia kesempatan kerja pertanian, (3) sumber Pendapatan Asli

Daerah (PAD) melalui pajak lahan, (4) sumber PAD melalui pajak lainnya, (5)

mencegah urbanisasi melalui kesempatan kerja yang diciptakan, (6) sebagai

sarana bagi tumbuhnya kebudayaan tradisional, (7) sebagai sarana tumbuhnya

rasa kebersamaan atau gotongroyong, (8) sebagai sumber pendapatan masyarakat,

(9) sebagai sarana refreshing, dan (10) sebagai sarana pariwisata.

20

Sedangkan manfaat tidak langsung mencakup fungsi-fungsi pelestarian

lingkungan yang terdiri dari unsur-unsur berikut (Nasoetion dan Winoto, 1996; Wu

et al., 1997; Nishio, 1999; Sutono, dkk., 2001; Tala’ohu, dkk., 2001; Yoshida, 2001;

Setiyanto dkk ., 2003; Tala’ohu, dkk., 2003 dalam Rahmanto, dkk., 2006): (1)

mengurangi peluang banjir, (2) mengurangi peluang erosi, (3) mengurangi

peluang tanah longsor, (4) menjaga keseimbangan sirkulasi air, terutama di musim

kemarau, (5) mengurangi pencemaran udara akibat polusi industri, dan (6)

mengurangi pencemaran lingkungan melalui pengembalian pupuk organic pada

lahan sawah. Sementara itu, manfaat bawaan terdiri dari dua unsur berikut: (1)

sebagai sarana pendidikan, dan (2) sebagai sarana untuk mempertahankan

keragaman hayati.

Selain fungsi positif, pengelolaan lahan sawah yang kurang memperhatikan

kaidah konservasi dan pelestarian ekologi lingkungan berpotensi menimbulkan

dampak atau fungsi negatif (Jacobsen et al., 1981; Cicerone and Shetter, 1983;

Holzapfel-Pschoer et al, 1986; Schutz et al., 1989; Steenvoorden, 1989; Kimura et al.,

1991; IPCC, 1992; Kluddze et al, 1993; Setyanto dkk., 1997; Wihardjaka dkk., 1997a;

Wihardjaka dkk., 1997b; Setyanto dkk., 1998; Suharsih dkk., 1998; Suharsih dkk., 1999;

Wihardjaka dkk., 1999; Setyanto dkk., 2000; Nursyamsi et al., 2001; Tarigan dan

Sinukaban, 2001; dan Wihardjaka dan Makarim, 2001 dalam Rahmanto, dkk., 2006),

yaitu dapat menyebabkan: (1) pemanasan global melalui efek rumah kaca, (2)

pencemaran air dan tanah melalui penggunaan bahan kimia (pupuk dan pestisida),

dan (3) pendangkalan sungai dan saluran irigasi akibat pelumpuran saat aktivitas

pengolahan tanah.

1.6.5. Alih Fungsi Lahan

Alih fungsi lahan atau konversi lahan secara umum dapat diartikan sebagai

perubahan fungsi suatu penggunaan ke penggunaan lainnya, dengan tujuan untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagian besar dari alih fungsi lahan ini yaitu

dari penggunaan pertanian ke penggunaan non pertanian. Padahal, pertanian

khususnya sawah memiliki multifungsi yang harus tetap dilestarikan, utamanya

dalam menjaga ketahanan pangan. Alih fungsi lahan juga tersurat dalam Undang –

Undang Nomor 41 Tahun 2009, yaitu berubahnya fungsi sebagian atau seluruh

21

kawasan dari fungsi semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain baik

secara tetap maupun sementara. Definisi alih fungsi lahan dari Undang – Undang

tersebut dirasakan lebih selaras dengan yang dimaksud dalam penelitian ini.

Alih fungsi lahan yaitu perubahan atau penyesuaian peruntukan penggunaan

yang disebabkan oleh berbagai faktor yang secara garis besar meliputi keperluan

untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang kian hari kian bertambah, baik jumlah

penduduknyanya maupun kebutuhannya. Menurut Rusastra dan Budhi (1997) ,

alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non – pertanian dapat terjadi secara

langsung maupun tidak langsung. Alih fungsi secara langsung terjadi akibat

keputusan pemilik lahan pertanian untuk mengalihfungsikan lahan pertanian

mereka untuk penggunaan lainnya seperti untuk industrI, permukiman, sarana dan

prasarana. Sedangkan secara tidak langsung terjadi akibat faktor eksternal yang

mengharuskan adanya perubahan penggunaan lahan. Pernyataan yang

dikemukakan tersebut tepat untuk menggambarkan bahwa keinginan petani dalam

mempertahankan lahan dapat memengaruhi proses alih fungsi lahan.

Alih fungsi lahan atau konversi lahan secara umum menyangkut

transformasi dalam pengalokasian sumberdaya lahan dari suatu penggunaan ke

penggunaan lainnya. Peneliti berargumen bahwa alih fungsi lahan dapat

menyebabkan perubahan baik pada skala makro, meso, maupun mikro. Pada skala

makro, yaitu terjadinya perubahan secara nasional atau besar – besaran

menyangkut aspek multifungsi dari lahan pertanian khususnya sawah. Aspek

multifungsi ini menjadi hilang seiring berjalannya waktu. Kebijakan pemerintah

dalam hal ini menjadi perhatian utama, sehingga perlu adanya ketegasan dalam

mengatasi permasalahan alih fungsi lahan secara makro. Pada tingkat meso,

peneliti berargumen bahwa alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian

menyebabkan adanya perubahan struktur masyarakat, dimana petani akan tergeser

posisinya sebagai orang paling berpengaruh di masyarakat. Tidak hanya itu,

kebijakan tingkat regional perlu diperkuat agar alih fungsi lahan tidak terjadi

begitu saja namun melalui proses yang sedemikian dipersulit agar lahan sawah

tetap abadi. Sedangkan pada tingkat mikro, alih fungsi lahan akan menyebabkan

perubahan pada struktur rumah tangga dan pandangan rumah tangga terhadap

nilai “kesuksesan”.

22

Berdasarkan fakta empiris di lapangan terdapat dua jenis proses alih fungsi

lahan sawah, yaitu alih fungsi sawah yang langsung dilakukan oleh pemilik dan

alih fungsi lahan yang dilakukan oleh bukan petani, melalui proses penjualan. Inti

dari pernyataan tersebut yaitu, petani terkait langsung dengan alih fungsi lahan.

Faktor – faktor yang mendorong petani untuk mengalihfungsikan atau memindah

tangankan kepemilikan lahan sawahnya dapat beragam. Namun, peneliti

berargumen bahwa pengetahuan petani tentang multifungsi lahan sawah dapat

menyebabkan proses alih fungsi lahan yang lebih cepat.

Jamal (2000) mengungkap kan bahwa berdasarkan faktor – faktor

penggerak utama alih fungsi lahan, pelaku, pemanfaatan dan proses alih fungsi,

maka tipologi alihfungsi lahan terbagi menjadi tujuh tipologi, yaitu

1. Alih fungsi lahan gradual – berpola sporadik, pola alih fungsi lahan yang

diakibatkan oleh dua faktor penggerak utama yaitu lahan yang tidak/kurang

produktif/bermanfaat secara ekonomui dan keterdesakan pelaku alih fungsi

lahan

2. Alih fungsi lahan sistematik berpola enclave yaitu pola alih fungsi lahan yang

mencakup wilayah dalam bentuk sehamparan tanah secara serentak dalam

waktu yang relative sama

3. Alih fungsi lahan adaptif demografi, yaitu pola alih fungsi lahan yang terjadi

karena kebutuhan tempat tinggal akibat adanya pertumbuhan penduduk

4. Alih fungsi lahan yang disebabkan oleh masalah sosial, pola alih fungsi lahan

yang terjadi karena motivasi untuk berubah dari kondisi lama untuk keluar dari

sektor pertanian utama

5. Alih fungsi lahan tanpa beban, pola alih fungsi lahan yang dilakukan oleh

pelaku untuk melakukan aktivitas menjual tanah kepada pihak pemanfaat yang

selanjutnya dimanfaatkan untuk peruntukkan lain

6. Alih fungsi lahan adaptasi agraris, yaitu pola alih fungsi lahan yang terjadi

karena keinginan untuk meningkatkan hasil pertanian dan membeli tanah baru

di lokasi tertentu

7. Alih fungsi lahan multi bentuk atau tanpa pola, yaitu alih fungsi lahan yang

diakibatkan berbagai faktor peruntukkan seperti pembangunan pemukiman,

perkantoran, sekolah, industry, perdagangan, dan jasa.

23

Irawan (2005) mengemukakan bahwa alih fungsi lahan atau konversi lahan

lebih besar terjadi pada tanah sawah dibandingkan dengan tanah kering, karena

dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu :

1. Pembangunan kegiatan non–pertanian seperti komplek perumahan, pertokoan,

perkantoran, dan kawasan industry lebih mudah dilakukan pada tanah sawah

yang lebih datar dibandingkan dengan tanah kering

2. Akibat pembangunan masa lalu yang terfokus upaya peningkatan produk padi,

maka infrastruktur ekonomi lebih tersedia di daerah persawahan daripada

daerah tanah kering

3. Daerah persawahan secara umum lebih mendekati daerah konsumen atau

daerah perkotaan yang relatif padat penduduk dibandingkan daerah tanah

kering yang sebagian besar terdapat di wilayah perbukitan dan pegunungan.

1.6.6. Koridor Antarkota

Penggunaan istilah koridor antarkota pada dasarnya terilhami dari penelitian

yang dilakukan Giyarsih (2009) yang meneliti transformasi wilayah di koridor

Yogyakarta-Surakarta. Yunus (2007) mengemukakan koridor antar kota sebagai

berikut,

“Koridor antarkota merupakan suatu jalur wilayah memanjang

dengan lebar yang sangat bervariasi, tergantung dari besar dan kecilnya

pengaruh jalan raya tersebut terhadap wilayah sekitarnya. Wilayah

disepanjang jalur jalan raya ini dianggap membentuk wilayah tersendiri

karena menciptakan kekhasan atribut yang ditimbulkannya dan dapat

dibedakan dengan jelas dengan wilayah dibelakangnya. Kekhasan yang

paling menonjol sebagai diferensiator dengan wilayah dibelakangnya

adalah sifat sosial ekonomi dan spasialnya. Pengaruh sifat kekotaan sangat

mendominasi kegiatan penduduknya sehingga kebanyakan bangunan

disepanjang jalur jalan tidak lagi berorientasikan sektor pertanian namun

berorientasikan sektor non-pertanian. Demikian pula dengan performa

spasialnya, makin dekat dengan jalur jalan raya makin kentara sifat

kekotaannya baik dari struktur permukimannya, tata ruang bangunan-

bangunan secara individual maupun kondisi sosialnya. Sifat-sifat kekotaan

ini akan makin kabur sejalan dengan makin menjauhnya jarak terhadap

jalur jalan raya ini (Yunus, 2007)”

24

Berdasarkan telaah pustaka yang dilakukan oleh Giyarsih (2009) dalam

disertasinya, yang dimaksud dengan koridor antarkota adalah suatu kawasan yang

terletak antara dua kota utama yang mengubungkan kedua kota utama tersebut.

Koridor yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kawasan kawasan kanan-kiri

jalan raya yang menghubungkan Kota Magelang dengan Kota Yogyakarta yang

dalam penelitian ini sekaligus berfungsi sebagai batas panjang koridor, dan

wilayah administrasi desa di sepanjang jalan Yogyakarta-Magelang berfungsi

sebagai batas lebar koridor.

1.7. Kerangka Pemikiran

Petani dan lahan sawah yang dimilikinya dibagi kedalam tiga zona

penelitian, zona A adalah petani yang memiliki lahan sawah persis di kanan-kiri

jalan utama Yogyakarta-Magelang, zona B adalah petani yang memiliki lahan

sawah di kanan-kiri jalan kolektor namun terhubung dengan jalan utama

Yogyakarta-Magelang, dan zona C adalah petani yang memiliki lahan sawah di

belakang jalan utama maupun jalan kolektor namun dekat dengan jalan raya

utama maupun kolektor dalam koridor Yogyakarta-Magelang. Pada dasarnya,

pembagian lokasi tersebut berkaitan dengan derajat aksesibilitas lahan sawah

dengan jalan raya. Tentunya, setiap petani memiliki karakteristik dan setiap lahan

sawah juga memiliki karakteristik. Karakteristik petani tentu akan memengaruhi

pengetahuan petani tentang multifungsi lahan sawah.

Karakteristik petani dan karakteristik lahan sawah serta pengetahuan petani

tentang multifungsi lahan sawah tentu akan memengaruhi keinginan petani untuk

mempertahankan kepemilikan lahan sawah. Keinginan petani untuk

mempertahankan kepemilikan lahan sawah akan menghambat alih fungsi lahan,

sehingga multifungsi dari lahan sawah akan tetap lestari. Multifungsi lahan sawah

terdiri dari fungsi langsung, fungsi tidak langsung, fungsi bawaan, dan fungsi

negatif. Secara lebih rinci, dapat dilihat Gambar 1.1. yang berisi kerangka

pemikiran peneliti.

25

Gambar 1.1. Kerangka Pemikiran

Zona I Zona II

26

1.8. Batasan Operasional

1. Lahan sawah adalah suatu penggunaan lahan yang dimaksudkan untuk

memproduksi padi baik melalui irigasi maupun tadah hujan. Dalam

penelitian ini lahan sawah adalah aspek utama yang diteliti terkait

dengan karakteristik keberadaannya.

2. Petani adalah penggarap lahan sawah. Petani merupakan sumber data

pada penelitian ini, terutama terkait dengan karakteristik petani.

3. Koridor adalah jalan raya yang menghubungkan Kota Yogyakarta

dengan Kota Magelang. Panjang jalan ini adalah 43 Km yang

terbentang diantara dua provinsi, yaitu Jawa Tengah dan Daerah

Istimewa Yogyakarta.

4. Yogyakarta adalah suatu kota yang menjadi ibukota Daerah Istimewa

Yogyakarta. Yogyakarta sering disebut juga sebagai kota pelajar, kota

budaya, maupun kota wisata.

5. Magelang adalah salah satu kota di Jawa Tengah. Magelang termasuk

dalam koridor Yoglosemar dan terhubung dengan Yogyakarta melalui

Jalan Magelang.

6. Sawah di kanan – kiri jalan utama adalah lahan sawah yang lokasinya

persis di kanan – kiri Jalan Magelang.

7. Sawah di Kanan – kiri jalan kolektor adalah lahan sawah yang

lokasinya persis di kanan – kiri jalan kolektor yang terhubung dengan

Jalan Utama Magelang.

8. Sawah di belakang jalan adalah lokasi lahan sawah yang tidak berada

persis di kanan – kiri jalan utama maupun jalan kolektor.

9. Umur petani adalah lama hidup petani semenjak lahir yang diketahui

melalui proses wawancara.

10. Tahun sukses adalah tingkatan pendidikan terakhir petani yang tidak

terbatas pada batasan “tamatan” yang diketahui melalui proses

wawancara.

11. Anggota rumah tangga adalah banyaknya orang yang tinggal bersama

dalam satu rumah tangga dari petani yang diketahui melalui proses

wawancara.

27

12. Pengalaman bertani adalah lamanya petani dalam melakukan usaha

tani.

13. Usaha selain bertani adalah pekerjaan sampingan petani selain bertani.

14. Rata – rata pendapatan pertanian adalah banyaknya pendapatan atau

penghasilan yang diperoleh petani melalui aktivitas pertanian.

15. Rata – rata pendapatan non pertanian adalah banyaknya pendapatan

atau penghasilan yang diperoleh petani bukan melalui aktivitas

pertanian.

16. Pengeluaran konsumsi adalah banyaknya biaya yang dikeluarkan untuk

keperluan konsumsi seluruh anggota rumah tangga.

17. Luas lahan sawah pribadi adalah luas lahan sawah yang dimiliki petani

yang legal.

18. Luas lahan sawah bagi hasil adalah luas lahan sawah yang

menggunakan sistem bagi hasil.

19. Luas lahan sawah sewa adalah luas lahan sawah yang disewa petani

untuk diusahakan sebagai lahan sawah.

20. Jarak dari Kota Yogyakarta adalah seberapa jauh lokasi lahan sawah

dari pusat Kota Yogyakarta.

21. Jarak dari Kota Magelang adalah seberapa jauh lokasi lahan sawah dari

pusat Kota Magelang

22. Letak lahan sawah adalah posisi atau lokasi dimana lahan sawah itu

berada.

23. Produksi adalah banyaknya hasil tani dalam satu kali masa tanam.

24. Harga jual adalah nilai rupiah hasil produksi per – satuan berat.

25. Biaya tanam adalah banyaknya rupiah yang dikeluarkan untuk input

satu kali masa tanam.

26. Pembantu petani adalah ada tidaknya orang lain yang membantu petani

untuk mengusahakan lahan sawahnya.

27. Pengetahuan petani tentang multifungsi lahan sawah adalah

pengetahuan petani tentang manfaat langsung, tidak langsung, bawaan,

dan fungsi negatif dari lahan sawah. Pengukurannya menggunakan

skala likert kemudian dikonversi kedalam nilai interval.

28

28. Manfaat langsung lahan sawah adalah manfaat yang langsung dirasakan

seperti penghasil bahan pangan, menyediakan kesempatan kerja, dan

lain sebagainya.

29. Manfaat tidak langsung lahan sawah adalah manfaat yang tidak

langsung dapat dirasakan seperti mengurangi peluang banjir,

mengurangi pencemaran lingkungan melalui pengembalian pupuk

organik pada lahan sawah, dan lain sebagainya.

30. Manfaat bawaan lahan sawah adalah manfaat bersifat “ada” dari lahan

sawah dan dapat dirasakan seperti sarana pendidikan dan sarana

mempertahankan keanekaragaman hayati.

31. Fungsi negatif lahan sawah adalah fungsi yang bersifat negatif dari

lahan sawah seperti pendangkalan sungai dan saluran irigasi akibat

pelumpuran saat aktivitas pengolahan tanah, pencemaran air melalui

penggunaan bahan kimia, dan lain sebagainya.

32. Keinginan petani untuk mempertahankan lahan adalah besarnya rasa

keinginan petani untuk mempertahankan kepemilikan lahan sawahnya

agar terhindar dari proses penjualan dan persewaan yang diukur dengan

skala likert dan dikonversi nilainya kedalam nilai interval.