BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id I, II, III... · tua daripada prosa. Mantra...
-
Upload
trinhhuong -
Category
Documents
-
view
234 -
download
0
Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id I, II, III... · tua daripada prosa. Mantra...
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pengembangan kebudayaan nasional yang beranekaragam dan kebudayaan
tiap-tiap daerah memiliki kepribadian sendiri dinyatakan dalam UUD 1945, Bab
XIII, pasal 32, yaitu : (1) Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di
tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam
memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya; (2) Negara menghormati
dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional (MPR RI,
2005:78). Berdasarkan pasal ini, pengembangkan nilai budaya guna memperkuat
kepribadian bangsa dan mengembangkan kebudayaan nasional diarahkan menuju
nilai-nilai luhur. Kebudayaan daerah perlu dikembangkan dan diperkenalkan
kepada masyarakat luas untuk memperkokoh sikap kepribadian bangsa. Hal ini
berarti menempatkan kebudayaan daerah sebagai sumber aspirasi dan bahan
rumusan yang berharga untuk digali, dikaji, dan dilestarikan.
Salah satu wujud kebudayaan daerah Sulawesi Selatan yang dibahas
adalah mantra dalam upacara ritual sebelum menanam padi dan melaut yang
dilakukan oleh masyarakat tradisional suku Makassar. Mantra adalah bentuk
kesusastraan yang paling tua di Indonesia sebagai aspek kebudayaan lama yang
masih bertahan sampai sekarang, bahkan masih digunakan oleh masyarakat
tradisional. Masyarakat tradisional suku Makassar menggunakan mantra sesuai
dengan tujuannya. Mantra menanam padi atau mantra bercocok tanam disebut
1
2
mantra Tulembang, sedangkan mantra melaut atau menangkap ikan disebut
mantra Tupakbiring.
Bangsa Indonesia memiliki kekayaan budaya, meliputi budaya lokal, suku,
agama hingga adat istiadat. Masing-masing daerah memiliki kekhasan budaya,
menyimpan kearifan lokal daerahnya masing-masing dan menurunkan warisan
budaya mereka secara turun temurun, dari generasi ke generasi. Budaya adalah
keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum,
moral, adat dan kemampuan serta kebiasaan yang dipunyai manusia sebagai
anggota masyarakat (Mattulada, 1997:55). Hal ini yang menimbulkan pentingnya
penelitian mengenai keanekaragaman budaya sebagai cara lain untuk mengkaji
pola hubungan sosial suatu suku bangsa. Secara keseluruhan, berbagai hasil
penelitian budaya tersebut diharapkan menjadi cara untuk merumuskan nilai-nilai
bagi kesatuan bangsa Indonesia.
Wujud kebudayaan yang eksistensinya hampir punah adalah mantra
masyarakat suku Makassar. Mantra adalah berupa ucapan atau perkataan yang
dapat mendatangkan kekuatan gaib. Kekuatan tersebut bertujuan untuk
memberikan kekuatan bagi manusia dalam menjalankan berbagai kegiatan.
Wujudnya berupa puji-pujian terhadap sesuatu yang gaib atau yang dianggap
harus dikeramatkan seperti dewa-dewa, roh-roh, binatang-binatang ataupun
Tuhan, biasanya diucapkan oleh dukun dan pawang.
Pentingnya kajian mengenai mantra dalam kajian sastra tradisional
didasarkan adanya hubungan antara mantra dan masyarakat. Artinya, mantra
tercipta dari masyarakat. Mantra tidak mungkin ada jika tidak ada masyarakat
3
pewarisnya. Demikian pula yang terjadi pada masyarakat tradisional yang
berpegang teguh pada adat istiadatnya, tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
mantra. Kepercayaan adanya kekuatan gaib selalu mendorong mereka untuk
merealisasikan kekuatan tersebut ke dalam wujud nyata untuk memenuhi
kebutuhannya. Dalam kehidupan masyarakat tradisional suku Makassar, mantra
digunakan dalam berbagai adat, yaitu ketika upacara ritual menanam padi (mantra
Tulembang) dan upacara ritual musim melaut (mantra Tupakbiring). Mantra yang
terdiri atas dua macam tersebut tidak terlepas dari komunitas dalam suatu
masyarakat, yaitu komunitas yang tinggal di dataran dan komunitas yang tinggal
di daerah pesisir pantai. Masyarakat yang bertempat tinggal di daerah pegunungan
atau disebut Tulembang atau Turaya sedangkan masyarakat yang bertempat
tinggal di pantai disebut Tupakbiring (Maknun, 2006; 1-2). Hal inilah kemudian
membentuk dua jenis mantra dalam suku Makassar.
Mantra Tulembang dan Tupakbiring menggunakan kata yang terkadang
merepresentasikan sesuatu yang dekat dengan kehidupan masyarakat. Terkadang
mantra menggunakan kata-kata arkais atau kuno. Mantra juga terkadang
menggunakan permainan bunyi sehingga tidak jelas maknanya. Namun, apabila
diinterprestasikan secara mendetail, kata-kata yang digunakan sebenarnya
memiliki kaitan dengan kehidupan masyarakat suku Makassar. Interprestasi
tersebut memiliki keunikan karena kekayaan budaya suku Makassar. Secara
struktur sosial, penggunaan mantra tidak sembarang menempatkan pinati/pawang
atau tokoh masyarakat tertentu sebagai bagian masyarakat yang dihormati.
Penggunaan mantra biasanya dilakukan oleh orang-orang tertentu. Orang-orang
4
yang berhak mewarisi dan menggunakan mantra dikategorikan sebagai orang tua
(pinati/pawang/orang tertentu) saja yang dianggap mampu membacakan mantra
tersebut. Pengucapannya pun harus disertai oleh upacara ritual tertentu, misalnya :
asap dupa, duduk bersila, gerak tangan, ekspresi wajah, dan mulut berkomat-
kamit.
Mantra Tulembang dan Tupakbiring perlu dilestarikan dan diadakan
penggalian nilai-nilai luhur budaya daerah untuk memperkaya budaya Nusantara.
Mantra Tulembang dan Tupakbiring mengandung unsur bahasa, sastra, budaya,
dan kehidupan suku Makassar yang bersifat religius dan filosopis. Oleh karena
itu, inventarisasi dan dokumentasi mantra dilakukan dari berbagai daerah di
Sulawesi Selatan khususnya dan di Indonesia pada umumnya penting untuk
mendapat perhatian.
Mantra dalam kesusastraan Indonesia termasuk kategori puisi karena
terikat oleh irama. Irama dalam bahasa adalah pergantian turun-naik, panjang-
pendek, keras-lembut ucapan bunyi bahasa yang teratur dan irama merupakan ciri
khas yang mutlak bentuk puisi (Pradopo, 1995:40). Menurut pengamatan mantra
yang menggunakan bahasa Indonesia maupun mantra yang menggunakan bahasa
daerah, jumlah barisnya tidak menentu. Ada yang terdiri atas lima baris, delapan
baris, sepuluh baris, atau lebih dari itu. Irama merupakan ciri mutlak bentuk puisi.
Mantra merupakan puisi yang berisi perkataan atau kalimat yang memiliki
kekuatan gaib. Kekuatan gaib ditimbulkan oleh mantra berasal dari permainan
bunyi yang terdapat dalam kata-kata yang digunakan, walaupun kata-kata itu tidak
diketahui artinya (Ratnawaty, 2002:21). Ikatan irama dan ikatan pada mantra
5
itulah menjadi alasan atau sebagai dasar pertanggungjawaban untuk memasukkan
mantra ke dalam bentuk puisi dan sekaligus dapat menjadi dasar bahwa puisi lebih
tua daripada prosa. Mantra adalah salah satu bentuk kesusastraan yang memiliki
bahasa dan irama yang teratur, puisi yang merdu bunyinya dikatakan melodius;
berlagu seolah-olah seperti nyanyian yang mempunyai melodi (Pradopo,
1995:45). Apabila mantra dilihat dari segi struktur atau bentuknya dan bahasanya
terdiri atas kata-kata yang indah, diksi mengandung makna yang dalam sehingga
mampu untuk mencapai tujuan, rima dan ritma yang begitu padu sehingga
menimbulkan suasana religius. Ini merupakan ciri estetis yang dimiliki oleh
mantra.
Mantra Tulembang dan Tupakbiring dapat dijadikan sebagai teks sastra,
karena menggunakan bahasa sebagai mediumnya dan memiliki sistem tanda yang
mempunyai makna. Ratna (2006:97) mengatakan bahwa dengan perantaraan
tanda-tanda, proses kehidupan manusia menjadi lebih efisien. Dengan perantaraan
tanda-tanda, manusia dapat berkomunikasi dengan sesamanya, bahkan dengan
makhluk di luar dirinya. Oleh karena itu, mantra Tulembang dan Tupakbiring
sebagai salah satu jenis puisi lama menarik untuk dikaji dari aspek semiotika.
Semiotika merupakan hubungan yang muncul dari tiga unsur dalam tanda,
yaitu : representamen, objek, dan interpretan. Representamen adalah unsur tanda
yang mewakili sesuatu. Objek adalah sesuatu yang diwakili dan interpretan adalah
tanda yang tertera di dalam pikiran si penerima setelah si penerima melihat
representamen (Zaimar, 2008:4). Mantra merupakan karya sastra, yaitu sastra
6
lisan, dan di dalam mantra itu banyak terdapat tanda-tanda, baik yang berupa ikon,
indeks, maupun simbol yang dapat dikaji melalui semiotika.
Kajian semiotika digunakan sebagai upaya untuk menilik keterkaitan
mantra dengan masyarakat suku Makassar. Mereka sering mengadakan ritual yang
dilakukan setiap tahun, seperti pengelolaan sawah dan tolak bala. Ritual dimulai
dari tahap membajak sawah dan berakhir masa panen, misalnya saja dalam mantra
Tupakbiring sebagai berikut;
Ikau Jekne assalaknu
Labbi jekne matanna jako
Antu Adam akjari jekne……………
Terjemahan:
Engkau air asalmu
Lebih air matanya saja
Nabi Adam menjadi air……………
Dalam interprestasi semiotika dapat diasumsikan bahwa kehidupan
masyarakat nelayan, air menjadi sumber penghidupan. Masyarakat nelayan suku
Makassar menganggap air merupakan asal kehidupan bukan hanya bagian dari
penyusun tubuh. Interprestasi terhadap syair mantra tersebut juga menunjukkan
bahwa Islam menjadi agama yang mempengaruhi kehidupan suku Makassar. Hal
ini ditunjukkan dengan penyebutan nama Nabi Adam sebagai orang suci.
Demikian pula dalam petikan mantra lainnya.
Assalama alaikum
Oh maraya Iccida Daeng Ngalle
Apane passareku
Terjemahan :
Assalama alaikum
Oh batu yang terlihat di dasar laut
Inilah pemberianku
7
Dalam mantra di atas disebutkan nama maraya Iccida Daeng Ngalle
sebagai salah satu leluhur yang dijunjung tinggi keberadaannya. Sebelum mantra
dibaca diberi sesajen yang terdiri atas daun sirih yang berisi kapur sirih dan buah
pinang. Mantra juga diucapkan apabila telah sampai di daerah yang terlihat batu di
dasar laut. Interprestasi terhadap syair mantra ini menunjukkan bahwa pada
umumnya nelayan tidak hanya menjunjung tinggi agama Islam tetapi juga
menghormati para leluhur sebagai sumber kekuatan perlindungan mereka.
Mantra Tulembang dan Tupakbiring dipilih sebagai objek penelitian
karena masih digunakan oleh para petani di daerah Bukrung-bukrung, Kecamatan
Pattalasang, Kabupaten Gowa. Mantra Tupakbiring juga masih digunakan di
daerah Pallaklakang, Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten Takalar. Peneliti
menetapkan empat belas buah mantra di kedua desa tersebut yang didasarkan pada
fungsi dan intensitas penggunaan mantra dalam kehidupan masyarakat suku
Makassar.
Selain itu, alasan memilih mantra Tulembang dan Tupakbiring karena
terdapat keunikan dalam kehidupan suku Makassar yang mayoritas beragama
Islam, tetapi mereka masih menggunakan mantra. Hal ini menunjukkan bahwa
mantra tidak hanya memiliki keunikan dan kekayaan penggunaan kata-kata
arkais/kuno yang jarang digunakan dalam pembicaraan sehari-hari, namun juga
makna kata-kata dalam mantra merepresentasikan hal-hal yang ada dalam
kehidupan masyarakat suku Makassar. Selain itu, setiap mantra Tulembang dan
Tupakbiring memuat hal-hal yang natural dan supernatural dan aspek adat dan
budaya. Penelitian ini menunjukkan pentingnya mendokumentasikan kekayaan
8
budaya melalui mantra yang digunakan suku Makassar. Hal inilah yang menarik
perhatian peneliti untuk melakukan penelitian terhadap mantra Tulembang dan
Tupakbiring dalam kehidupan suku Makassar.
1.2 Rumusan Masalah
Permasalahan dalam penelitian ini adalah kandungan dalam mantra
Tulembang dan Tupakbiring yang merepresentasikan kehidupan suku Makassar.
Representasi isi mantra Tulembang dan Tupakbiring tersebut spesifik sesuai
dengan kondisi sosial masyarakat suku Makassar. Berkaitan dengan kondisi
tersebut, maka dirumuskan empat masalah penelitian, sebagai berikut.
1) Bagaimanakah struktur teks mantra Tulembang dan Tupakbiring?
2) Bagaimanakah fungsi dan variasi teks mantra Tulembang dan Tupakbiring?
3) Bagaimanakah makna teks mantra Tulembang dan Tupakbiring?
4) Bagaimanakah strategi pewarisan teks mantra Tulembang dan Tupakbiring?
1.3 Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dan
menginterpretasikan mantra Tulembang dan Tupakbiring. Tujuan penelitian ini
dibagi dua, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini diharapkan memberikan gambaran mengenai
mantra Tulembang dan Tupakbiring dan menambah pengetahuan, yaitu ilmu
sastra dari sudut pengkajian sastra tradisional terutama yang menyangkut mantra
Tulembang dan Tupakbiring. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui
9
mantra Tulembang dan Tupakbiring dengan sasaran kajiannya mencakup struktur
teks, fungsi teks, makna teks, dan strategi pewarisan.
1.3.2 Tujuan Khusus
Sehubungan dengan sasaran kajian ini, maka secara khusus penelitian ini
dilakukan dengan tujuan sebagai berikut.
1) Untuk mengetahui struktur teks mantra Tulembang dan Tupakbiring.
2) Untuk mengetahui fungsi dan variasi teks mantra Tulembang dan Tupakbiring.
3) Untuk mengetahui makna teks mantra Tulembang dan Tupakbiring.
4) Untuk mengetahui strategi pewarisan teks mantra Tulembang dan
Tupakbiring.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk menjembatani mantra
Tulembang dan Tupakbiring dengan masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat
pemerhati kebudayaan Indonesia dalam sastra lisan. Hasil penelitian ini juga
diharapkan dapat menunjang pembangunan di daerah Bukrung-bukrung,
Kecamatan Pattallassang, Kabupaten Gowa dan daerah Pallaklakang, Kecamatan
Galesong Utara, Kabupaten Takalar.
1.4.1 Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat akademik dalam
pengembangan teori sastra lisan, terutama untuk memberikan sumbangan ilmu
pengetahuan selanjutnya baik terhadap mantra Tulembang dan Tupakbiring
maupun bentuk-bentuk sastra lisan lainnya. Penelitian ini diharapkan dapat
10
membuka ruang apresiasi, penghayatan, dan pemahaman terhadap salah satu
genre suku Makassar yang kelak memperkaya khazanah kesusastraan Indonesia,
khususnya karya sastra lisan yang masih berkembang di masyarakat.
1.4.2 Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat praktis sebagai
motivasi bagi peneliti sastra lisan suku Makassar dan jenis sastra lisan lainnya.
Selain itu, diharapkan menjadi bahan dokumentasi, rujukan bagi peneliti dan
sebagai usaha melestarikan serta mengembangkan sastra lisan yang telah ada
untuk pemerintah Kabupaten Gowa dan Kabupaten Takalar. Hasil penelitian ini,
juga diharapkan memberikan gambaran bagi masyarakat mengenai kebudayaan
atau sastra lisan suku Makassar.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Sesuai dengan judul mantra Tulembang dan Tupakbiring, maka ruang
lingkup penelitian ini dibatasi hanya pada mantra Tulembang dan Tupakbiring
dalam kehidupan suku Makassar. Penelitian ini membahas tujuh mantra
Tulembang dan tujuh mantra Tupakbiring yang telah diperoleh pada penelitian
awal. Kemudian, teks mantra Tulembang dan Tupakbiring sebagai materi kajian
dianalisis menurut bentuk, fungsi, makna, dan sistem pewarisannya.
Secara umum, petani tradisional di Kecamatan Pattallassang, Kabupaten
Gowa dalam beraktivitas bertani melakukan upacara ritual dengan menyiapkan
umba-umba/kelepon, leko rappo/daun sirih, pakleo/kapur sirih, rappo/buah
pinang. Kelepon dipercaya oleh para petani akan membawa keberuntungan
11
dengan melihat latar pembuatannya yang mucul dipermukaan air apabila telah
masak. Daun sirih, kapur sirih, dan buah pinang dipercaya sebagai penolak bala
oleh masyarakat setempat. Selanjutnya, pembacaan mantra Tulembang dilakukan
secara berurutan yang, meliputi : appasuki pakjeko/membajak, aklessoro ase/
menurunkan bibit, akbine/menabur/memilah/mencabut benih, pammula annanang
ase/permulaan menanam padi, annanang ase/menanam padi, rappo ase/ bulir
padi, appa sulapa nikutaknang/ bertanya ke empat arah.
Nelayan tradisional di Kecamatan Galesong Utara dalam beraktivitas juga
melakukan upacara ritual sebelum berangkat melaut. Ada persiapan dimulai dari
rumah sampai ke perahu. Para nelayan menyiapkan bahan-bahan sebagai
persyaratan upacara ritual, seperti dua ekor ayam kampung jantan dan betina yang
disembelih di pusat perahu yang masih berada di darat. Darahnya ditumpahkan di
pusat perahu yang tutupnya telah dibuka sehingga darahnya turun membasahi
pasir di pantai. Anak buah perahu lalu membawa dua ekor ayam tersebut
mengelilingi perahu sambil mengeluskan ke perahu dan diikuti oleh tampong
tawarak.Tampong tawarak yang terdiri atas satu butir telur ayam kampung, satu
biji kelapa setengah tua, satu kilo gula merah, satu tempat dupa berisi sabuk
kelapa dan kulit kelapa, kemenyan, satu genggam beras. Selain itu, ada pula
pisang tiga sisir, yaitu pisang raja yang diletakkan di dalam kamar perahu dan satu
sisir pisang diletakkan di pusat perahu. Kemudian, disiapkan tai bani/lilin merah
menerangi tampong tawarak, dan biseang/perahu. Upacara ritual dimulai dari
rumah punggawa sawi /juragan nelayan. Juragan nelayan duduk menghadap ke
Timur, arah munculnya matahari atau rezeki lalu menghadap ke perahu yang akan
12
dipakai berlayar. Selanjutnya, nelayan berdiri dan memeriksa nafas yang ke luar
dari hidung apabila nafas besar ke luar dari lubang hidung sebelah kanan tanda
baik untuk memulai dengan memberi salam kekanan dengan mengucapkan Oh
Yamming lalu memberi salam ke kiri dengan mengucapkan Waladdalling. Setelah
itu, mulai membaca mantra. Petani dan nelayan harus mengikuti semua proses
yang telah ditentukan secara adat yang harus dipatuhi. Pelanggaran ketentuan ini
akan merusak tatanan kehidupan suku Makassar.
13
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Pada umumnya, penelitian sering berhubungan dengan penelitian yang
telah dilakukan oleh peneliti terdahulu. Penelitian tersebut terdapat kesamaan
objek dan memungkinkan bersentuhan dengan penelitian sebelumnya. Dalam
kajian pustaka, peneliti memaparkan beberapa penelitian yang berkaitan dengan
penelitian mantra Tulembang dan Tupakbiring. Penelitian terhadap mantra telah
dilakukan dalam beberapa penelitian yang digunakan sebagai rujukan dan pustaka
acuan dalam penelitian ini sebagai berikut.
Uniawati (2007) meneliti “Mantra Melaut Suku Bajo: Interpretasi
Semiotik Riffaterre”. Penelitian Uniawati ini adalah penelitian lanjutan dari
“Fungsi Mantra Melaut Suku Bajo” (2006). Penelitian Uniwati dilandasi oleh
pemikiran bahwa mantra melaut suku Bajo merupakan salah satu wujud dari
kepercayaan dan keyakinan yang tumbuh dalam lingkungan masyarakat suku Bajo
untuk memperoleh keselamatan dan kesuksesan.
Penelitian Uniawati bertujuan untuk menjawab tiga permasalahan, yaitu:
(1) mengungkap makna yang terkandung dalam mantra melaut suku Bajo melalui
pembacaan heuristik dan hermeneutik; (2) menentukan matriks dan model yang
terdapat dalam mantra melaut; dan (3) menemukan hubungan intertekstual mantra
melaut dengan teks lain. Untuk menjawab ketiga permasalahan tersebut,
13
14
digunakan pendekatan semiotika dengan memanfaatkan teori semiotika Riffaterre.
Secara keseluruhan, makna yang terkandung dalam sepuluh mantra melaut suku
Bajo menggambarkan pula kepercayaan masyarakat suku Bajo terhadap Tuhan
sebagai pemilik kekuasaan tertinggi, keberadaan nabi-nabi, dan adanya makhluk
dan kekuatan gaib.
Penelitian Uniwati menunjukkan adanya hubungan representamen, objek,
dan interpretan. Mantra sebagai budaya suatu masyarakat dapat menjadi cerminan
yang bagus mengenai kehidupan sosial masyarakat, tempat mantra tersebut
digunakan. Penelitian Uniwati memiliki kesamaan dengan penelitian penulis
yakni meneliti materi mantra melaut. Uniwati meneliti mantra suku Bajo di
Sulawesi Tenggara, sedangkan peneliti meneliti mantra Tulembang dan
Tupakbiring dalam kehidupan suku Makassar, di Sulawesi Selatan. Selain itu,
dalam penelitian ini dikaji struktur teks, makna, dan sistem pewarisan sehingga
berbeda Namun penelitian Uniwati dapat digunakan sebagai referensi.
Widodo (2007) meneliti “Mantra Dalam Kehidupan Masyarakat Modern:
Sebuah Kajian Bentuk, Isi, dan Fungsi”. Penelitian ini merupakan penelitian awal
yang secara teoretis bermanfaat untuk menyediakan laporan penelitian yang dapat
digunakan sebagai ancangan awal dan data bagi penelitian sejenis secara lebih
mendalam. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka tujuan yang hendak dicapai
dalam penelitian ini adalah: (1) inventarisasi berbagai bentuk mantra berdasarkan
fungsi dan kandungan kekuatannya dalam kehidupan masyarakat modern dewasa
ini, (2) mendeskripsikan unsur-unsur pembangun struktur mantra dan perbedaan
15
struktur mantra dari waktu ke waktu; dan (3) mengungkap fungsi mantra dalam
kehidupan masyarakat modern.
Penelitian Widodo menyimpulkan beberapa hal, yaitu : Pertama, secara
garis besar wujud mantra dikenal dengan beberapa sebutan lain, yaitu: Japa,
Japamantra, Kemad, Peled, Aji-Aji, Rajah, Donga, dan Sidikara. Namun
demikian, tampaknya masyarakat Surakarta saat ini yang sudah tidak lagi
memahami perbedaan definisi dari berbagai macam sebutan mantra tersebut
dengan baik. Mereka hanya mengenal dan membedakan mantra, japa mantra,
peled, aji-aji, rajah, dan donga. Di wilayah Surakarta terdapat empat belas jenis
mantra, yaitu: (1) mantra anak-anak; (2) mantra pengasihan; (3) mantra dagang
atau mantra penglarisan; (4) mantra pengobatan; (5) mantra panyuwunan; (6)
mantra panulakan; (7) mantra pertanian; (8) mantra kanuragan; (9) mantra
trawangan; (10) mantra pangracutan; (11) mantra pedhanyangan; (12) mantra
kasuksman; (13) mantra sirep; dan (14) mantra panglarutan. Mantra kanuragan
nomor 8 sampai dengan mantra panglarutan nomor 14 sudah jarang digunakan.
Kedua, berdasarkan pengelompokan keajengan tema atau isi, struktur
mantra terdiri atas tiga bagian besar. Tiap-tiap bagian terdiri atas unsur-unsur.
Tiap unsur disusun atas komponen-komponen unsur yang kait-mengait dan
sinergi sehingga membentuk kesatuan unsur yang membangun sebuah struktur.
Unsur head memiliki tiga komponen, yaitu: komponen salam, niat, dan nama
mantra. Unsur body memiliki empat komponen, yaitu komponen perintah
(visualization), nama sasaran (target), harapan (hope), dan diksi, bunyi, dan
majas. Adapun unsur foot memiliki satu komponen, yaitu komponen penutup.
16
Terkait dengan fungsi mantra, perlu dipertimbangkan geososial dan
budaya masyarakat di Kota Surakarta. Mantra pengasihan digunakan untuk
mengatasi perkara asmara, pekerjaan, dagang, jasa, dan rumah tangga. Mantra
pelarisan spesifik untuk perdagangan. Mantra jaya kawijayan digunakan untuk
perkara pekerjaan, dan kekuatan fisik. Mantra keselamatan seringkali digunakan
untuk perkara dagang, jasa, dan rumah tangga. Penggolongan fungsi mantra
dilakukan berdasarkan kategori dan tujuan penggunaan di lapangan. Dengan
demikian, profil pengguna mantra pun menjadi bagian penting dalam penelitian
ini.
Ketiga, persepsi masyarakat Surakarta terhadap keberadaan mantra dapat
digolongkan menjadi tiga kategori, yaitu: (1) persepsi negatif; (2) persepsi pra-
positif (netral apresiatif); dan (3) persepsi negatif. Dari penelitian Widodo dapat
dikembangkan penelitian selanjutnya. Dasar kajian peneliti karena mantra
memiliki fungsi dan bentuk teks yang memiliki perbedaan. Faktor yang
mempengaruhi perbedaan pada fungsi dan bentuk teks adalah kondisi sosial
masyarakat, tempat mantra tersebut terbentuk dan digunakan.
Penelitian Widodo memiliki kemiripan dengan penelitian penulis yang
masing-masing meneliti mantra dan sasaran kajian bentuk, isi, dan fungsi.
Terlepas dari kemiripan itu, ada perbedaan mendasar antara kedua penelitian ini,
yaitu Widodo meneliti mantra yang digunakan dalam masyarakat modern,
sedangkan penelitian ini meneliti mantra dalam masyarakat tradisional suku
Makassar. Selain itu, penelitian Widodo berlokasi di Surakarta, Jawa Tengah,
17
sedangkan penelitian ini berlokasi di Pattallassang, Kabupaten Gowa dan
Pallaklakang, Galesong, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan.
Rita Nilawijaya (2011) meneliti “Struktur Dan Isi Mantra Lisan
Masyarakat Desa Pandan Dulang Kecamatan Semidang Aji Kabupaten Ogan
Komering Ulu: Sebuah Analisis Semiotik”. Tujuan penelitian Rita Nilawijaya
untuk mendeskripsikan struktur dan isi mantra lisan masyarakat Desa Pandan
Dulang Kecamatan Semidang Aji Kabupaten Ogan Komering Ulu. Mantra yang
terdapat pada mayarakat Desa Pandan Dulang, yaitu mantra ketingungan, mantra
pergi ke hutan, mantra untuk berbedak, mantra untuk terkilir dan mantra untuk
anak menangis malam. Dari mantra yang diperoleh dianalisis berdasarkan struktur
mantra, yaitu: bunyi, kata, baris, bait, tipografi, dan isi mantra. Semua dianalisis
berdasarkan pembacaan semiotika, yaitu pembacaan heuristik dan hermeneutika.
Dengan demikian, analisis mantra masyarakat di Desa Pandan Dulang mempunyai
struktur dan isi.
Penelitian ini menjadi dasar penggunaan metode penelitian yang
digunakan, yaitu semiotika melalui pembacaan heuristik dan hermeneutika.
Pijakan metode semiotika didasarkan kesamaan tujuan antara penelitian Rita
Nilawijaya dengan penelitian penulis dalam mendeskripsikan bentuk, fungsi dan
makna dalam mantra. Perbedaan penelitian Rita Nilawijaya dengan penelitian
penulis terletak pada bahasa mantra dan sistem pewarisannya. Meskipun
demikian, beberapa gagasan terkait dengan bentuk tekstual dan kontekstual
mantra Pandan Dulang dapat dijadikan panduan dalam menganalisis mantra
Tulembang dan Tupakbiring suku Makassar.
18
Resen (2014) dalam penelitian “Manifestasi Kredo Puitika Sutan Takdir
Alisjahbana dalam Sajak-Sajak dan Renungan: Sebuah Kajian Stilistika”. Tujuan
penelitian Resen adalah untuk mengungkapkan bagaimana kredo puitika STA
termanifestasi melalui gaya bahasa dan tema puisi-puisi tersebut. Ada 7 puisi yang
dijadikan objek dan sumber data utama dalam penelitian ini. Teori yang
digunakan adalah teori stilitika moden dan teori hermeneutika di bawah payung
teori wacana dan latar keperagaan penulisnya sebagai kerangka pendekatan dan
alat bedahnya. Empat penelitian, Resen yakni: (1) gaya bahasa puisi STA
dibangun melalui kekhasan pengunaan bahasanya; (2) tema puisi STA disosokkan
sejalan dengan terbangunnya gaya puisi tersebut; (3) kredo puitika STA
termanifestasikan dalam puisi sejalan dengan gaya bahasa dan temanya; dan (4)
sejauh mana gaya bahasa dan tema puisi serta kredo puitika STA dapat
dipertahankan dalam versi terjemahan bahasa Inggris puisi-puisi tersebut.
Hasil penelitian Resen menunjukkan bahwa: (1) gaya bahasa puisi-puisi
STA dibangun oleh pernggunaan bahasa yang pada umumnya transparan dan
mensinyalkan nada atau sikap optimis, progresif, dan intelektual si persona (si aku
lirik); (2) tema puisi dalam variasinya dari puisi ke puisi terjalin oleh stau benang
merah, yakni perlunya perubahan sikap dan perilaku dari yang tradisional
menunju yang modern untuk membangun bangsa yang maju dan modern; (3) gaya
bahasa dan tema puisi-puisi STA kuat memanifestasikan kredo puitika STA,
yakni kredo seni bertenden dialektis; (4) gaya bahasa dan tema versi asli puisi-
puisi STA dapat dipertahankan keutuhannya pada puisi-puisi versi terjemahan
bahasa Inggris.
19
Penelitian Resen menjadi dasar peneliti dalam melihat hubungan
representamen, objek, dan interpretan. Konsep kredo puitika STA mengacu pada
keyakinan terhadap jenis estetika yang dianggap benar dan pantas. Penelitian
Resen memiliki kesamaan penelitian ini karena menggunakan konsep „kajian
stilitika‟ yang mengacu pada mode pengkajian yang bertitik tolak dari kajian rinci
terhadap penggunaan bahasa dalam karya. Fokusnya pada pengungkapan
rancangan yang terbangun dari berakumulasi dan berkonfigurasi berbagai unsur
dari berbagai tataran deskripsi dalam teks karya. Perbedaan ini dilihat dari
penelitian Resen yang meneliti puisi-puisi kredo puitika STA, sedangkan peneliti
meneliti mantra Tulembang dan Tupakbiring dalam kehidupan suku Makassar, di
Sulawesi Selatan. Selain itu, dalam penelitian ini dikaji struktur teks, makna, dan
sistem pewarisan sehingga berbeda, tetapi penelitian Resen dapat digunakan
sebagai referensi.
2.2 Konsep Penelitian
2.2.1 Konsep Sastra Lisan
Menurut Bartlett (1965:244-245), “Sastra lisan merupakan sastra yang
diperdengarkan”. Sastra lisan merupakan karya sastra daerah yang diekspresikan
oleh berbagai suku bangsa di Indonesia. Sastra lisan pada hakikatnya adalah
tradisi lisan yang dimiliki oleh sekelompok masyarakat tertentu. Keberadaannya
diakui, bahkan dekat dengan kelompok masyarakat yang memilikinya. Di dalam
sastra lisan, ceritanya sering mengungkapkan keadaan sosial dan budaya
masyarakat yang melahirkannya. Misalnya, berisi gambaran latar sosial, dan
budaya, serta sistem kepercayaan masyarakat. Selain itu, di dalamnya juga berisi
20
gambaran kaum bangsawan (masyarakat yang berpangkat), miskin dan kaya,
masyarakat profesi, serta masalah sosial kemasyarakatan yang lain. Sastra lisan
merupakan hasil kebudayaan lisan dalam masyarakat tradisional yang isinya dapat
disejajarkan dengan sastra tulis pada masa modern. Sastra yang diwariskan secara
lisan, seperti: pantun, nyanyian rakyat, dan cerita rakyat. Sastra lisan adalah karya
yang penyebarannya disampaikan dari mulut ke mulut secara turun-temurun. Oleh
karena itu, banyak sastra lisan yang hilang karena tidak dapat dipertahankan.
Selain keterbatasan memori manusia dalam mengingat, perkembangan teknologi
yang semakin canggih pada era globalisasi ikut menggeser sastra lisan yang
pernah ada.
Hutomo (1986:6) menyatakan bahwa sastra lisan berciri: (1) anonim; (2)
materi cerita kolektif, tradisional, dan berfungsi khas bagi masyarakatnya; (3)
mempunyai bentuk tertentu dan varian; (4) berkaitan dengan kepercayaan; dan (5)
hidup pada masyarakat yang belum mengenal tulisan. Supratno (1990:18)
menyatakan bahwa sastra lisan berciri: (1) anonim; (2) berversi atau bervariasi;
(3) memunyai bentuk tertentu; (4) berguna bagi kehidupan bersama; (5) bersifat
polos atau lugu; (6) milik kolektif; dan (7) tradisional. Ciri lain dikemukakan oleh
Sastrowardoyo (1983:2) bahwa sastra lisan berciri bersahaja dan lugas dalam
bentuk lahir.
Penelitian sastra lisan pada saat ini mulai mengemuka (Ahmadi 2010:17)
seiring dengan isu kearifan lokal dan pengetahuan lokal. Penelitian tentang sastra
lisan penting untuk dilakukan karena di samping berguna sebagai bentuk
cerminan pemikiran, pengetahuan, dan harapan (Lutfi 2010:42) berguna juga
21
sebagai sarana dokumentasi, inventarisasi, dan sarana eksplorasi nilai budaya dan
fungsi khasnya bagi masyarakat pendukungnya. Endraswara (2003:251),
mengatakan sastra lisan dikaji sebaiknya yang berasal dari daerah terpencil karena
di daerah demikian, keberadaan sastra lisan relatif utuh dan murni sebab fasilitas
teknologi dan mobilitas masyarakat pendukungnya terbatas. Sastra lisan yang kuat
berada di daerah terpencil. Kuatnya sastra lisan di daerah terpencil disebabkan
penduduknya berdaya baca rendah dan kuat dalam memegang tradisi (Hutomo
1991:2; 1992:25; 2002:34). Kedua faktor tersebut, menurut Sudikan (2001:58),
membuat sastra lisan lebih kuat daripada sastra tulis.
2.2.2 Konsep Tradisi Lisan
Secara historis, tradisi lisan pada hakikatnya adalah „sejarah‟ masyarakat
daerah yang sarat nilai, daya sebar budaya yang diwahanainya (divergensi) dan
daya padu (konvergensi) antarbudaya yang merupakan kesejarahan budaya lokal
(Kuntowijoyo, 2005:9) yang disebut sebagai budaya lokal. Sardar & Loon
(1998:7) menyatakan bahwa budaya lokal sebagai cultural identity yang telah
teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang. Sebab, local wisdom telah
mentradisi secara ajeg dalam sifat kedaerahan dengan berpegang teguh pada nilai-
nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Ada beberapa ciri-ciri budaya
lokal yang masih mendarah daging hingga sekarang, di antaranya adalah sebagai
berikut.
1) mampu bertahan terhadap budaya luar;
2) memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar;
22
3) mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam
budaya asli;
4) mempunyai kemampuan mengendalikan; dan
5) mampu memberi arah pada perkembangan budaya.
Tradisi lisan sebagai budaya lokal dapat dilihat dari bahasa daerah besar
dengan tradisi lisannya berkembang, seperti: bahasa Jawa, Madura, Bali, Sunda,
dan lainnya yang berfungsi untuk mewahanai pelbagai bidang keilmuan,
sebagaimana tradisi lisan berdasarkan tata bahasa, sastra, arsitektur, kesehatan,
filsafat dan sebagainya (Rosidi, 1999:59-60).
Secara etimologis – tradisi lisan berasal dari bagian folklor yang bercirikan
secara lisan atau sering disebut oral atau orally atau selanjutnya disebut folklor
lisan. Folklor lisan bercirikan: verbal berupa kata-kata; tanpa tulisan; milik
kolektif rakyat; memiliki makna fundamental, ditransmisikan dari generasi ke
generasi (Endraswara, 2013:26). Adapun bentuk folklor lisan, yakni ujaran rakyat
(folk speech) yang biasa dirinci dalam bentuk julukan, dialek, ungkapan, dan
kalimat tradisional, pertanyaan rakyat, mitos, legenda, nyanyian rakyat, dan
sebagainya.
Berdasarkan bentuk-bentuk folklor lisan tersebut, diperlukan model
penelitisan sastra lisan. Model ini bisa diterapkan untuk diseleraskan dengan
tujuan penelitian, yakni mengungkapkan pesan berdasarkan model analisis pesan
(isi), kendati untuk menemukan keindahan dalam folklor dapat memanfaatkan
model estetika, stilistika, dan struktural. Sisi pesan dan nuansa folklor bertumpu
23
pada beberapa golongan, yakni: oral literature, social folks custome, material
culture, dan folks arts (Endraswara, 2013:20-31).
Tradisi lisan setidaknya memuat dua konfigurasi dalam bagian folklor.
Pertama, tradisi lisan sebagai bagian produk, yakni pesan lisan yang didasarkan
pada generasi sebelumnya. Kedua, tradisi lisan sebagai proses, yakni proses
pewarisan pesan melalui mulut ke mulut. Kedua aspek ini, kemudian difungsikan
secara mutlak, sebagai sistem proyeksi (pencerminan angan-angan suatu
masyarakat yang kolektif); alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga
kebudayaan; alat pendidik anak; serta alat koersif atau pengawas agar norma-
norma dapat terpenuhi (Kuntowijoyo, 2005:10).
Tradisi lisan memiliki kecenderungan yang bernilai minus.
Kecenderungan tersebut setidaknya memiliki 3 asumsi. Pertama, tradisi lisan
cenderung tindak reliable, yakni cenderung berubah-ubah atau rentan akan
perubahan. Kedua, berisi kebenaran terbatas, seperti hanya memuat kebenaran
intern (masyarakat tertentu) dan tidak universal. Ketiga, tradisi lisan hanya
memuat aspek historis masa lalu (Endraswara, 2003:32).
Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa tradisi lisan merupakan produk
kearifan lokal dalam suatu budaya yang berlaku dan hidup di dalam maupun di
luar masyarakat di wilayah tertentu. Budaya ini menjadi keunikan bagi
masyarakat dan mewarnai aktivitas kolektif dan individu pada masyarakat.
Budaya lokal yang arif memiliki nilai baik dan kebenaran yang berakar dari
budaya leluhur dan masih tetap dianggap relevan hingga saat ini. Adanya nilai-
nilai dari kearifan lokal dalam kenyataannya sebagai nilai yang tidak hanya
24
berfungsi sebagai petunjuk dan berperilaku atau sosialisasi dalam sebuah
komunikasi manusia, melainkan lebih dari itu sebagai nilai leluhur atau nilai asli
yang dapat diperluas dalam pola pengembangan manusia secara utuh.
Tradisi lisan harus dijadikan kepedulian guna menjaga keberadaannya
dengan berbagai cara. Pertama, selalu memproduksi dan menceritakannya secara
berulang-ulang. Kedua, memfasilitasi pelaksanaan pertunjukan seni tradisional.
Ketiga, tradisi lisan dapat dibukukan dalam rangka pelestarian kebudayaan guna
dimanfaatkan dalam wakktu yang lama. Keempat, tradisi lisan dapat dijadikan
sebagai kajian pembelajaran melalui muatan lokal.
2.2.3 Konsep Mantra
Mantra ada dalam kesusastraan daerah di seluruh Indonesia dan
berhubungan dengan sikap religius manusia. Untuk memohon sesuatu kepada
Tuhan diperlukan kata-kata pilihan yang paling gaib, yang oleh penciptanya
dipandang kontak dengan Tuhan. Kata-kata terdapat dalam suatu mantra memiliki
kekuatan gaib apalagi kalau dibacakan dengan khusuk dan penuh keyakinan.
Dalam agama Islam, Hindu, Kristen, Budha dan agama lainnya, mantra dapat
berupa doa, nyanyian atau ujaran dalam upacara keagamaan yang memiliki
kekuatan gaib dan diucapkan untuk menggugah pikiran seseorang untuk kembali
ke jalan yang benar atau sebaliknya (Monier-William, 2012,
http//sanskrit.inria.fr//MW/195.html). Dengan cara demikian, apa yang diminta
atau dimohon oleh pengucap mantra dipenuhi oleh Tuhan.
Mantra merupakan bentuk kesusastraan asli milik Indonesia yang
dituturkan secara turun-temurun dari mulut ke mulut. Mantra berbentuk puisi lama
25
mempunyai rima dan ritme. Dalam mantra, ritme dan makna kata-katalah yang
diutamakan, sedangkan rima tidak terlalu diperhatikan. Mantra diucapkan oleh
penggunanya untuk keselamatan dan harapan, yakni mantra untuk terhindar dari
bahaya dan mantra yang mengandung harapan agar mendapat rezeki yang banyak
(Maknun, 2012:56).
Menurut Anwar (2005:213), “Mantra adalah perkataan atau kalimat yang
dapat mendatangkan daya gaib, jampi, dan pesona”. Menurut Hehahia dan Farlin
(2008:274), “mantra adalah kalimat yang diucapkan dan diulang atau dilafalkan
secara khusus untuk mendatangkan daya gaib, susunan kata berunsur puisi yang
dianggap mengandung kekuatan”. Oleh karena itu mantra seringkali dikaitkan
dengan puisi karena kesamaan struktur yang dimiliki dan dikaitkan dengan doa
karena kesamaan tujuannya. Pendapat berbagai ahli tentang kesamaan mantra baik
dengan puisi maupun doa mengundang perdebatan. Masing-masing pendapat
didasarkan pada kekayaan unsur dan tujuan mantra dalam berbagai budaya di
Indonesia. Hal inilah yang menarik berbagai penelitian selanjutnya.
Apabila ditilik dari masuknya mantra dalam kajian puisi, masih muncul
berbagai perdebatan. Ada dua pandangan terhadap mantra, yaitu yang
menggolongkan sebagai karya sastra dan yang tidak mengakui mantra sebagai
karya sastra. Tidak selalu semua konvensi sastra dapat dipenuhi sekaligus oleh
sebuah karya sastra. Mantra perlu dilihat dari segi struktur atau bentuknya. Bahasa
yang terdiri atas kata-kata yang indah dan diksi yang terpilih mengandung makna
yang dalam sehingga mantra mampu mencapai tujuan dengan irama yang
beraneka ragam. Semuanya itu merupakan ciri estetis mantra. Ada dua unsur
26
dalam membangun puisi. Pertama, hakikat puisi yang meliputi: makna, rasa, nada
dan amanat (tujuan, maksud). Kedua metode puisi yang terdiri atas diksi,
imajinasi, majas, irama, dan rima. Dengan demikian, dari segi intrinsik mantra
merupakan karya sastra (Ikram, 1993:4-5).
Mukarovski dan muridnya Vodicka menyodorkan pendapat mengenai
karya sastra dan penikmatnya, bahwa karya sastra sebagai artefak yang mati
sebagai tugu dan dapat dihidupkan lewat konkretisasi oleh pembacanya (Teeuw,
1993:15). Bukan saja mantra, bahkan karya sastra lainnya pun tanpa dihidupkan
oleh pembaca/pendengarnya tidak bearti apa-apa dan hanya merupakan benda
mati belaka. Apabila karya puisi, sudah dibaca pun masih belum tentu dapat
dimengerti. Dilihat dari segi bentuknya mantra sebagai karya sastra yang sarat
dengan rima tersusun secara indah dengan diksi-diksi yang terpilih dan dianggap
mempunyai kekuatan gaib.
Mantra merupakan bentuk puisi lama yang erat pula dengan kepercayaan
sejak masa purba. Kata-kata dalam mantra dianggap mengandung kekuatan gaib.
Yunus (1981:214) mengatakan bahwa mantra ditujukan kepada makhluk gaib,
kalau dihadapkan kepada manusia menjadi sesuatu yang tidak mudah dipahami,
bahkan tidak mempunyai arti. Hal utama yang dipentingkan dalam mantra adalah
bukannya bagaimana dapat memahaminya, akan tetapi bagaimana dapat
memberikan kontribusi bagi kehidupan manusia. Senada dengan pendapat tersebut
di atas (Suprapto, 1993:77) mengatakan bahwa mantra merupakan bentuk puisi
lama yang dapat mendatangkan kekuatan gaib yang biasanya diajarkan atau
diucapkan oleh pawang untuk menandingi kekuatan yang lain.
27
Djamaris (1990:20) mengatakan bahwa mantra merupakan suatu gubahan
bahasa yang diresapi oleh kepercayaan dunia gaib dan sakti. Sujiman (1986:25)
mengatakan bahwa mantra dapat mengandung tantangan atau kekuatan terhadap
sesuatu kekuatan gaib dan dapat berisi bujukan agar kekuatan gaib tersebut tidak
berbuat yang merugikan. Mantra merupakan puisi magis, yang merupakan alat
untuk mencapai tujuan dengan cara yang luar biasa. Oleh karena itu, dalam
menggunakan mantra tergantung pada tujuan yang hendak dicapai.
Mastrawijaya (dalam Ikram, 1993:16) menggolongkan mantra menjadi
dua kelompok, yaitu mantra magis putih dan mantra magis hitam. Mantra magis
putih digunakan untuk kebaikan dan mantra magis hitam digunakan untuk
kejahatan. Mantra mempunyai unsur irama yang berpola tetap perwujudannya
dapat berupa pertentangan yang berselang seling antara suku kata panjang dengan
suku kata tidak beraksen.
Mantra adalah karya sastra lama dan dianggap sebagai puisi tertua di
Indonesia, yang berisi puji-pujian terhadap sesuatu yang gaib atau yang dianggap
dikeramatkan seperti dewa-dewa, roh-roh, binatang-binatang ataupun Tuhan,
biasanya diucapkan oleh dukun dan pawang. Apabila dalam hidup seseorang
menemui permasalahan yang tidak dapat dipecahkan melalui akal dan pikiran,
mereka mempergunakan mantra-mantra, dengan harapan tujuan tercapai.
Apabila ditilik dari maksud dan tujuan mantra dan doa, keduanya tidak
mempunyai perbedaan yang jelas. Oleh karena itu, orang kadang-kadang
menyamakan doa dan mantra. Dalam konteks penelitian ini, perbedaan yang
mendasar antara mantra dengan doa adalah pemakaian istilah saja. Adapun
28
perbedaan mendasar lainnya tampak dalam pemakaian bahasanya. Apabila
ditinjau dari segi makna, mantra dan doa mempunyai kesamaan, yaitu sama-sama
mengandung arti permohonan terhadap kekuatan yang gaib untuk memenuhi
harapan atau keinginan. Namun demikian, kedua kata tersebut belum digolongkan
sebagai kata yang bersinonim.
Kekaburan perbedaan makna antara mantra dengan doa tidak menghalangi
orang mengidentifikasikan mantra ataupun doa secara terpisah seperti berikut ini.
Mantra adalah kata-kata yang mengandung khidmat kekuatan gaib, biasanya
diucapkan oleh pawang. Kesalahan dalam mengucapkan mantra dianggap dapat
mendatangkan marabahaya (Haeruddin, 2011:34). Badudu (1984:5) memberi
batasan tentang mantra sebagai suatu bentuk puisi lama dan dianggap sebagai
puisi tertua di Indonesia. Kata dan kalimatnya tetap merupakan aturan yang tidak
bisa ditawar lagi. Kedua pendapat di atas, terangkum dalam Kamus Umum
Bahasa Indonesia yang mengartikan mantra sebagai: (a) perkataan atau ucapan
yang dapat mendatangkan daya gaib; (b) susunan kata berunsur puisi (rima,
irama) yang dianggap mengandung kekuatan gaib yang lain.
Dalam mantra sebagaimana puisi pada umumnya terdapat dua bentuk atau
pola, yaitu:
1) Bentuk bebas
Bentuk bebas atau pola bebas yang dimaksud adalah pola yang tidak terikat
oleh jumlah kata, baris ataupun bait, dan jumlah baris setiap bait, ataupun dari
rima dan persajakan. Seperti dikatakan Jalil dan Elmustian (2002:49) bentuk
29
suatu mantra sama dengan puisi bebas yang lain, bahkan mungkin mantra
lebih bebas.
2) Bentuk terikat
Bentuk terikat atau pola tetap mementingkan jumlah lirik, jumlah kata
pelarikannya, dan kesamaan rima. Unsur puisi dapat dilihat dalam susunan
baris, jumlah suku kata, serta hubungan baris dengan baris. Hamidy (1993:58)
memberi definisi mengenai pola baris puisi sebagai kesatuan gaya bahasa
yang terjadi dalam korespondensi berulang kembali, sehingga tiap baris puisi
mempunyai hubungan atau korespondensi satu dengan yang lain.
Menurut Hartarta (2009:55), bentuk mantra tidak memiliki pola umum,
sehingga variasi bentuk struktur sangat bervariasi. Secara garis besar struktur di
dalam tubuh mantra ada tiga unsur, yaitu awal/purwa, tengah/madya, dan
akhir/wasana. Jika dijabarkan lebih mendetail, muncul variasi-variasi bentuk
dikaitkan dengan pemaknaan mantra yang dideskripsikan sebagai berikut.
1) Komponen Salam Pembuka
Unsur pembuka adalah kata pertama yang terdapat pada mantra yang berisi
salam pembuka. Komponen pembuka merupakan pengakuan tunduk, takhluk,
dan mohon perlindungan Allah Penguasa alam semesta.
2) Komponen Niat
Secara tegas dan jelas dinyatakan dengan kata kunci niat. Makna kata niat
sering disejajarkan dengan kata tekad. Dalam konteks pemanfaatan mantra
tertentu harus disesuaikan dengan niat atau keinginan yang akan dicapai. Niat
diungkapkan dengan dua cara, yaitu: secara langsung dan tidak langsung.
30
3) Komponen Nama Mantra
Komponen ini berisi penyebutan nama mantra yang hendak digunakan
(diamalkan). Tidak semua jenis mantra memiliki komponen nama karena
nama mantra sekadar dilisankan oleh pihak pemberi mantra (dukun, sesepuh).
Jadi, unsur ini hanya memberikan identitas nama.
4) Komponen Sugesti
Unsur sugesti adalah unsur yang berisi metafora-metafora atau analogi-analogi
yang dianggap memiliki daya atau kekuatan tertentu dalam rangka membantu
membangkitkan potensi kekuatan magis atau gaib pada mantra. Sugesti yang
diterima serupa dengan kalimat mantra. Komponen sugesti untuk beberapa
mantra didominasi oleh sentuhan-sentuhan mitologi.
5) Komponen Visualisasi dan Simbol
Komponen viasualisasi disebut juga komponen proses yang berisi perintah.
Komponen ini berisikankan bagian yang menggambarkan satu peristiwa yang
menjadi tugas mantra terhadap sasarannya. Komponen visualisasi dekat
dengan komponen harapan dan gaya bahasa. Adapun simbol atau lambang
yang terdapat di dalam mantra merupakan sosok pembayangan di dalam
mantra.
6) Komponen Nama Sasaran
Komponen ini berisi penyebutan nama sasaran (objek) yang hendak dituju.
Sasaran dapat berupa nama perorangan maupun kelompok masyarakat
(kolektif).
31
7) Komponen Tujuan
Unsur tujuan merupakan muara atau maksud yang ingin dicapai oleh pemantra
dalam mengamalkan mantra. Komponen tujuan ini semacam kesimpulan atau
intisari dari rangkaian unsur-unsur yang membentuk struktur mantra. Unsur
tujuan juga berfungsi untuk membedakan mantra satu dengan mantra yang
lain.
8) Komponen Harapan
Komponen ini merupakan komponen‟permintaan‟ agar apa yang telah
dilakukan (mengamalkan ajian atau mantra) dapat terlaksana dengan baik dan
berhasil dengan gemilang.
9) Komponen Penutup yang merupakan larik akhir.
Dalam penelitian ini digunakan bentuk struktur menurut Hartata
(2009:73) yang menyatakan bahwa bentuk mantra terdiri dari tiga hal, yaitu:
awal, tengah, dan akhir. Setiap bagian tersebut memiliki pemaknaan yang
berbeda sehingga memberikan variasi yang berbeda. Variasi yang dimaksud
adalah: (a) komponen salam pembuka; (b) komponen niat; (c) komponen
nama mantra; (d) komponen sugesti; (e) komponen visualisasi dan simbol; (f)
komponen nama sasaran; (g) komponen tujuan; (h) komponen harapan; dan (i)
komponen penutup.
Untuk mengetahui makna masing-masing bentuk mantra, peneliti
menggunakan kajian semiotika. Hal ini untuk mengetahui makna secara
eksplisit dan implisit. Dengan demikian, hasil pengamatan terhadap bentuk
32
mantra memberikan hasil berupa identifikasi terhadap bentuk, makna, dan
variasi yang muncul.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dirangkum bahwa pengertian mantra
adalah ucapan atau perkataan yang dapat mendatangkan kekuatan gaib.
Kekuatan tersebut bertujuan untuk memberikan kekuatan bagi manusia dalam
menjalankan berbagai kegiatan manusia.
2.3 Landasan Teori
2.3.1 Struktur Teks Mantra
Jakobson (dalam Sobur, 2003:56) juga melakukan analisis structural
fonem antara lain : (a) mencari distinctive features (ciri pembeda) yang
membedakan tanda-tanda kebahasaan satu dengan yang lain. Tanda-tanda ini
harus berbeda seiring dengan ada-tidaknya ciri pembeda dalam tanda-tanda
tersebut ; (b) memberikan suatu ciri menurut features tersebut pada masing-
masing istilah, sehingga tanda-tanda ini cukup berbeda satu dengan yang lain; (c)
merumuskan dalil-dalil sintagmatis mengenai istilah kebahasaan dengan
distinctive features dan dapat berkombinasi dengan tanda-tanda kebahasaan
tertentu lainnya ; (d) menentukan perbedaan-perbedaan antartanda yang penting
secara paradigmatis, yakni perbedaan antar tanda yang masih dapat saling
menggantikan.
Aminudin (2004:136) mengatakan bangun struktur puisi adalah unsur
pembentuk puisi yang dapat diamati secara visual. Unsur tersebut meliputi: bunyi,
kata, larik atau baris, bait, dan tipografi. Pernyataan ini sebenarnya merujuk pada
33
pemahaman bahwa bentuk mantra sama dengan puisi karena mantra merupakan
salah satu genre puisi (Harun, 1989: 442).
Mantra sebagai bentuk karya sastra lama mempunyai susunan kata
berunsur puisi, penuh dengan makna, ambiguitas, dan memiliki norma. Dalam
mantra, juga terdapat deviasi gramatika, fonologi, semantik, ataupun unsur rima
atau pengulangan bunyi, irama, dan matra. Mantra juga memiliki: (1) gaya bahasa
yang digunakan; (2) diksi atau pilihan leksikal mantra; dan (3) rima atau
persajakan pada mantra (Nurhayati, 2013). Untuk selanjutnya diuraikan sebagai
berikut.
1) Gaya Bahasa
Penggunaan gaya bahasa pada mantra, jika dicermati seperti ada cerita,
ada asal usul, ada pemahaman budaya, religi dan pemahaman tentang hidup
dan kehidupan. Ada keinginan yang akan dicapai, larangan atau ancaman yang
diberikan oleh pemakai mantra. Ada kerjasama yang diajukan serta
kepasrahannya. Semua itu dikemas dengan bahasa yang khas, mudah
dipahami, memakai metafor, serta kiasan untuk memadatkan gagasan dan
keinginan pengucap mantra. Berikut merupakan gaya bahasa yang dapat
digunakan dalam suatu bahasan, di antaranya:
a) Antiklimaks, yang berarti tidak tegang atau tidak ada peningkatan
ketegangan, maka larik-larik pada mantra ini juga tidak menunjukkan
suatu ketegangan atau tidak bersifatp eriodik, justru lebih cenderung
menurun.
34
b) Klimaks, berdasarkan arti klimaks yakni, gaya bahasa yang merupakan
puncak dari suatu hal, kejadian, keadaan dan sebagainya yang berkembang
secara berangsur-angsur.
c) Paralelisme, yaitu adanya kandungan maksud yang sama antara larik
pertama dengan larik terakhir.
d) Repetisi, yaitu pengulangan dalam kalimat yang dapat berupa bunyi, suku
kata, kata atau bagian kalimat yang merupakan kunci atau yang dianggap
penting untuk memberikan penegasan atau tekanan atau efek tertentu.
Gaya bahasa repetisi meliputi:
a. Epizeuksis, pengulangan yang bersifat langsung. Patokanya kata atau
frase yang dipentingkan diulang beberapa kali pada kalimat yang
sama.
b. Tautotes, adalah repetisi yang terjadi pada sebuah kata dalam
konstruksi yang sama.
c. Anafora, adalah jenis repetisi yang terjadi karena adanya pengulangan
kata di awal tiap larik atau kalimat yang berbeda.
d. Epistrofa/ Epifora, adalah jenis repetisi yang berujud perulangan kata
atau frasa pada akhir kalimat berurutan.
e. Simploke, adalah jenis repetisi yang menggabungkan antara anafora
dan epistrofa, yaitu perulangannya terjadi pada awal dan akhir baris
pada larik atau kalimat yang berurut.
f. Mesodiplosis, adalah perulangan yang terjadi di tengah larik atau
kalimat yang berurutan.
35
g. Epanalepsis, adalah repetisi yang kata awalnya diulang pada akhir larik
dalam kalimat yang sama. Tujuan dari gaya jenis repetisi ini adalah
untuk menegaskan maksud si pemakai mantra.
h. Anadiplosis, terjadi karena kata terakhir atau klausa terakhir dari larik
atau kalimat sebelumnya diulang menjadi kata awal atau pemula dari
larik atau kalimat berikutnya.
i. Gaya bahasa Retoris (Keraf, 1990:40), adalah gaya bahasa yang
mengalami penyimpangan makna semata-mata karena penyimpangan
konstruksi biasa demi mendapatkan atau mencapai efek tertentu. Gaya
bahasa retoris yang dimaksud meliputi gaya bahasa seperti tersebut di
bawah ini.
a) Aliterasi sebagai pengulangan konsonan atau kelompok konsonan
pada awal suku kata atau awal kata secara berurutan. Verhar
(1990:104) menyebut aliterasi sebagai wujud perulangan berupa
konsonan yang sama. Fungsinya untuk perhiasan atau untuk
penekanan. Dalam KBBI, (2008) aliterasi, yaitu sajak awal dengan
fungsi untuk mendapatkan efek kesedapan bunyi.
b) Asonansi merupakan kebalikan aliterasi, yaitu pengulangan bunyi
vokal pada suku kata atau kata yang berurutan. Dalam arti kamus,
asonansi biasa disebut purwakanti.
Selain itu, ada gaya bahasa kiasan yang mencari sifat kesamaan atau
pun selisih. Gaya bahasa ini meliputi:
36
a) Simile (persamaan), dinyatakan secara langsung persamaannya secara
eksplisit dengan memakai kata bantu (seperti, sama, bagaikan, laksana,
sebagai dan akan) supaya merujuk pada yang dipersamakan itu.
b) Metafora, adalah jenis kiasan yang membandingkan dua buah benda
secara singkat dan langsung atau dengan analogi benda lainnya secara
singkat tanpa memakai kata bantu.
c) Personifikasi atau Prosopopoeia, merupakan corak khusus dari metafora
yang menganggap benda mati, binatang, dan tanaman sebagai benda hidup
yang memiliki sifat kemanusiaan. Artinya, semua benda mati, binatang,
dan tumbuhan yang disebutkannya memiliki sifat penginsanan, seperti:
bertindak, berbuat, dan berbicara seperti layaknya manusia. Alusi,
merupakan jenis gaya bahasa kiasan yang memberikan semacam acuan
referensi yang eksplisit atau implisit.
2) Diksi
Diksi atau pilihan kata adalah penentuan kata yang tepat, selaras dan
berefek dalam konteks penggunaan untuk penggambaran gagasan. Artinya,
diksi yang dipilih dalam mantra telah memiliki jiwa (perasaan-perasaan
penyair) yang maknanya disesuaikan dengan fungsi dan tujuan mantra. Diksi
yang dimaksud meliputi: kata yang maknanya dapat langsung dimengerti
(denotatif), seperti: kata mari, kemari, jangan dll. Kata yang maknanya perlu
penjabaran (konotatif) seperti hubungan kata „hendak menanam‟. Artinya,
akan menanam bibit. Kata yang bermakna sinonim, misalnya: ruh, semangat,
kecil, burung, halus (semangat), temui, uri, tali pusat, (plasenta). Kata yang
37
antonim, misalnya: kecil x besar, muda x tua, tidak hujan x hujan, tidak sama
x sama, tak tinggi x tinggi, hantu x malaikat dsb. Kata yang homonim,
misalnya bisa yang artinya racun dan dapat, upas artinya racun dan ipuh, dsb.
Kata yang memakai simbol agama, Bismillahirahmanirahim, Barakkat,
Lailahaillah, Muhammadarrasullulah, Min, Nun, Dal, Lam, Allah dsb. Kata
yang berhubungan dengan budaya: pakkjeko, aklessoro, akbine, annanang,
appa sulupa, bulang, bintoeng, yukkung, yakkung, dan yaccing.
Struktur teks mantra berbeda dengan struktur sastra lisan yang lain,
karena di dalam mantra memuat unsur daya magis, gaib, dan pesona (Anwar,
2005:213). Menurut Hehahia dan Farlin (2008:274), mantra kebanyakan
diucapkan dengan menggunakan pengulangan bunyi yang diyakini
menumbuhkan kekuatan magis. Oleh karena itu, mantra sering dianggap atau
disamakan dengan doa. Terlepas dari itu, secara struktur teks, seperti yang
sudah dijelaskan sebelumnya, mantra mempunyai pola bebas dan terikat.
Lebih lanjut, Hartarta (2009:5) menyatakan secara garis besar struktur di
dalam tubuh mantra menjadi tiga unsur, yaitu: awal/purwa, tengah/madya, dan
akhir/wasana.
2.3.2 Fungsi Teks Mantra
Dalam memahami fungsi tradisi, peneliti menggunakan teori yang
dikembangkan oleh Bascom (http//www.jstor.org/stable/536411/accessed
:20/07/2011). Menurutnya, ada empat fungsi sastra lisan, yaitu:
1) sebagai bentuk hiburan;
2) sebagai alat pengesahan pranata-pranata atau lembaga-lembaga kebudayaan;
38
3) sebagai alat pendidikan anak;
4) sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat selalu
dipatuhi anggota kolektifnya.
Teori fungsi untuk menganalisis mantra Tulembang dan Tupakbiring
sebagai berikut.
1) Sebagai Bentuk Hiburan
Sebagai sebuah tradisi turun-temurun, pembacaan mantra Tulembang
dan Tupakbiring bentuk hiburan tersendiri bagi masyarakat setempat.
“Hiburan” sifatnya langsung merangsang panca-indra atau juga tubuh untuk
mengikuti dengan gerak; mementingkan sifat glamour dan sensasional
(Sedyawati, 2006:131). Pembacaan Mantra Tulembang dan Tupakbiring
memiliki keindahan, baik dari segi mantra maupun prosesi ketika menjalankan
ritual. Bagi masyarakat suku Makassar, tradisi membaca Mantra Tulembang
dan Tupakbiring merupakan bentuk kesenian yang menghibur. Hiburan dalam
konteks ini bukan hanya sebuah tontonan, melainkan alat yang dapat membuat
pikiran dan perasaan masyarakat menjadi lega. Isi mantra dapat memberikan
penyegaran jiwa bagi pembaca mantra. Selain mantra, prosesi adalah hal yang
menonjol dan membuktikan bahwa ritual Mantra Tulembang dan Tupakbiring
sebagai bentuk hiburan.
2) Sebagai Alat Pengesahan Pranata-pranata dan Lembaga-lembaga Kebudayaan
Menurut Rahman (2004:101), setiap lembaga kebudayaan memiliki
ciri-ciri spesifik. Konvensi di masyarakat tertentu menjadi dasar terbentuknya
lembaga tersebut. Dalam masyarakat religi terdapat sistem sosial budaya yang
39
berlaku di dalam tata kehidupannya. Fungsi religi di dalam sistem sosial
budaya menjadi penting dan melekat erat, seakan-akan mustahil melemah dan
tersisihkan dari struktur sistem tersebut secara keseluruhan. Fungsi sebagai
alat pengesahan pranata-pranata atau lembaga-lembaga kebudayaan adalah
apabila kegiatan tersebut rutin dilakukan pada kesempatan atau waktu tertentu.
3) Sebagai Alat Pendidikan Anak
Filsafat etika mengajarkan tentang apa yang baik dan buruk. Ukuran
bagi sesuatu yang baik dan buruk adalah kata hati. Kata hati dipengaruhi oleh
faktor-faktor pembawaan, lingkungan, agama, dan usia (Sulistyorini,
2008:75). Setiap individu anak dan orang dewasa selalu mempunyai
kebutuhan-kebutuhan tertentu (yang bersifat ritual, biologis, dan kemanusian
atau sosial kultural) untuk mempertahankan hidupnya. Demikian pula seorang
anak, selalu berusaha mengatasi semua hambatan dan menghilangkan
ketegangan-ketegangan batinnya sebagai akibat belum terpenuhinya
kebutuhan. Jika pemenuhan kebutuhan itu sudah terlaksana, akan tercapai
keseimbangan batin dan kepuasan.
Fungsi primer yang terpenting dari keluarga adalah pewarisan norma
kebudayaan dari satu generasi ke generasi lainnya. Hal-hal religius sudah
mulai diajarkan sejak kecil di lingkungan rumah tangga. Pendidikan
ketuhanan akan mempertajam pandangan untuk melihat gejala-gejala pertama
dari perkembangan religius yang sebenarnya. Hal ini dapat dilihat dari
kandungan isi mantra yang bertujuan untuk menyampaikan nilai-nilai baik
secara implist maupun eksplisit. Selain fungsi tersebut, fungsi agamis juga
40
diberikan oleh tradisi kepada seorang anak. Hal tersebut dapat dilihat dari cara
untuk mendapatkan sesuatu tidak gampang, memerlukan kerja keras serta rasa
berserah diri (tawakkal) kepada Allah.
4) Sebagai Alat Pemaksa dan Pengawas agar Norma-norma Masyarakat Selalu
Dipatuhi Anggota Kolektifnya
Hal yang melekat dan mengakar dalam kehidupan masyarakat adalah
norma-norma tertentu yang diturunkan dari masyarakat terdahulu. Norma
hukum yang mengikat masyarakat untuk bertindak baik secara individu
maupun kolektifnya. Ikatan para pelaku tradisi terdapat pada rasa kewajiban
untuk melestarikan dan mengenalkan tentang kebudayaan pemanggil hujan.
Tradisi tersebut dilaksanakan untuk mengingatkan masyarakat untuk tidak
melupakan bersyukur dan berdoa kepada Sang Pencipta (Tuhan). Jika tradisi
tersebut tidak dilaksanakan, maka keimanan masyarakat setempat akan
menurun. Ketika Mantra Tulembang dan Tupakbiring mulai didengarkan,
maka hal tersebut akan mengingatkan dan memaksa masyarakat untuk
meresapi isi dari mantra tersebut. Tidak peduli masyarakat tersebut termasuk
dalam kategori orang yang berpendidikan atau tidak, mantra tersebut memaksa
orang terhadap keyakinannya. Baik muda maupun tua, mereka tetap hanya
bisa mengikuti dan tidak bisa menolak mantra tersebut.
Berdasarkan uraian di atas analisis fungsi pada mantra Tulembang dan
Tupakbiring dikaji berdasarkan pemenuhannya terhadap teori Bascom yang
menyatakan bahwa mantra memiliki fungsi, yaitu: (1) sebagai bentuk hiburan; (2)
sebagai alat pengesahan pranata-pranata atau lembaga-lembaga kebudayaan; (3)
41
sebagai alat pendidikan anak; dan (4) sebagai alat pemaksa dan pengawas agar
norma-norma masyarakat selalu dipatuh anggota kolektifnya.
Fungsi dalam sastra lisan bergantung pada kondisi, sikap, dan pandangan
masyarakat setempat. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat intelektual masyarakat
(Badrun, 2014:16). Secara teoretis, fungsi mantra telah dikembangkan oleh
Bascom (http//www.jstor.org/stable/536411/accessed:20/07/2011), yakni sebagai
bentuk hiburan; alat pengesahan pranata-pranata atau lembaga-lembaga
kebudayaan; alat pendidikan anak; dan alat pemaksa dan pengawas agar norma-
norma masyarakat selalu dipatuhi oleh anggota kolektifnya. Mantra juga
mengandung unsur teologi, religius, sosial, dan budaya.
Teologi dalam pengertian luas, merupakan filosofi tentang Tuhan (Ferm,
dalam Runes (ed.), 1979:317). Dalam konteks Islam, teologi dimaknai sebagai
ilmu yang membahas aspek ketuhanan secara rasional (Razak dan Anwar,
2006:90). Adapun religius taat pada dan melakukan praktik keagamaan misalnya
sembahyang, dan berdoa (KBBI, 2002:738). Fungsi religius di dalam mantra
merupakan fungsi yang menunjukkan bahwa ada kekuatan lain di luar kekuatan
manusia. Fungsi religius mempengaruhi pemikiran dan perilaku.
Fungsi sosial mantra di dalam suatu masyarakat adat sebagai pengendali
norma sosial dan fungsi proyeksi angan-angan suatu kolektif (Badrun, 2014:16).
Namun demikian, fungsi sosial bergantung pada masyarakat pemiliknya, pada
sikap dan pandangan masayarakat pemiliknya. Fungsi budaya sebuah mantra
dapat sebagai fungsi pengesahan kebudayaan atau alat pengesahan pranata-
42
pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan. Artinya, fungsi ini sebagai kegiatan
rutin yang dilakukan pada kesempatan atau waktu tertentu.
Variasi teks dikatakan sebagai proses penciptaan. Menurut Badrun
(2014:15), dalam sastra lisan, khususnya mantra bergantung pada kebiasaan
masyarakat pemilik tradisi. Secara teoritis, proses penciptaan mengandung unsur
hafalan, pola rima, dan formulaik. Dikatakan hafalan karena mantra diturunkan
dengan syarat tertentu, pola rima karena mantra penekanan pada permainan bunyi.
Dikatakan formulaik karena mantra diberikan dengan pembiasaan diri untuk
mendengar.
2.3.3 Teori Fungsional
Jakobson (1971:87), salah seorang pakar linguistik meneliti pembelajaran
dan fungsi bahasa, memberi penekanan pada dua aspek dasar struktur bahasa yang
diwakili oleh gambaran metafor retoris (kesamaan) dan metonimia
(kesinambungan). Bagi Jakobson, bahasa memiliki enam macam fungsi, yaitu: (1)
fungsi emotif (emotive), pengungkap keadaan pembicara; (2) fungsi referensial
(referential), pengacu pesan; (3) fungsi puitik (poetic), penyandi pesan ; (4)
fungsi metalinguistik (metalinguistics), penerang terhadap sandi atau kode yang
digunakan; (5) fungsi konotif (conative), pengungkap keinginan pembicara yang
langsung atau segera dilakukan atau dipikirkan oleh sang penyimak; (6) Fungsi
fatik (phatic), pembuka, pembentuk, pemelihara hubungan atau kontak antara
pembicara dengan penyimak.
Peneliti menggunakan salah satu fungsi dari teori fungsional Jakobson
(1971:43) sebagai pelopor fungsi puitik (poetic function) memiliki teori yang
43
eksplisit dalam pendekatan sastra secara strukturalistis. Menurutnya, fungsi puitik
menjadi perhatian kritikus sastra yang ditumpukkan pada bahasa yang
menyebabkan seni sastra berada. Disamping itu, puisi sebagai sebuah karya sastra
secara linguistik karena poetika bagianya adalah bagian dari linguistik. Dengan
pengertian lain, fungsi puitik mengarahkan segenap upaya dan perhatian pada
unsur-unsur.
Guna mempelajari bahasa puitis, Jakobson mempergunakan konsep
polaritas dan konsep ekuivalensi. Konsep polaritas diambil dari teori Saussure
tentang hubungan sintagmatis dan asosiatif (paradigmatis). Konsep ini
memperlihatkan oposisi biner metafora dan metonomia. Metafora bersifat
paradigmatis, sedangkan metonimia bersifat sintagmatis. Keduanya mendasari
proses pembentukan tanda-tanda bahasa atas seleksi dan kombinasi. Atas dasar
itu, fungsi puitik memberikan definisi sebagai fungsi untuk memanfaatkan seleksi
dan kombinasi untuk menigkatkan ekuivalensi (Kridalaksana, 2005:49).
Bahasa puitik ada hubungannya dengan masalah yang ada dalam struktur
verbal. Linguistik merupakan pengetahuan menyeluruh tentang struktur verbal,
maka bahasa puitik dapat dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
linguistik. Ternyata sarana-sarana yang digunakan dalam bahasa puitik tidak
terbatas pada seni verbal saja. Ciri-ciri bahasa puitik tidak hanya termasuk dalam
ilmu bahasa, tetapi juga dalam semua teori mengenai tanda, yaitu semiotika
umum. Pernyataan ini berlaku bagi semua variasi bahasa karena dalam bahasa ada
beberapa wilayah yang erat kaitannya dengan sistem-sistem tanda yang lainnya,
bahkan dengan semua sistem itu (ciri-ciri pansemiotik) (Budianta, dkk., 2008:40).
44
Berbeda halnya dengan linguistik, bahasa puitik ada kaitannya dengan
evaluasi. Sesungguhnya setiap perilaku verbal mempunyai tujuan, tetapi tujuan itu
berbeda dan kecocokan sarana yang digunakan dengan efek yang diinginkan
merupakan masalah yang senantiasa menyibukkan peneliti berbagai jenis
komunikasi verbal. Ada hubungan yang lebih erat yang tidak terduga oleh para
kritikus antara masalah fenomena linguistik yang berkembang dalam ruang dan
waktu dan terentangnya model-model sastra dalam ruang dan waktu. Bahkan,
penyebaran yang terputus-putus sebagai halnya pemunculan kembali penyair-
penyair yang dilupakan dan yang terlupakan pada masa kini (Kridalaksana,
2005:50).
Jakobson menyatakan pula bahwa gaya-gaya literer berbagai aliran dapat
dibedakan atas pemanfaatan metafora atau metonimia, seperti: aliran romantisme,
simbiolisme, dan surrealisme yang mengutamakan metafora. Aliran realisme dan
kubisme mengutamakan metonimia. Di sisi lain, Jakobson juga berargumen
bahwa kepuitisan atau fungsi puitis tidak hanya terbatas pada puisi, melainkan
pada (dalam) semua penggunaan bahasa. Dengan kata lain, apabila akan
mempelajari fungsi puitis, maka linguistik tidak boleh membatasi pada puisi saja
(Rokhmansyah, 2014:68).
2.3.4 Teori Semiotika
Semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda, sudah lahir pada akhir abad
ke-19 dan awal abad ke-20. Akan tetapi, ilmu ini baru berkembang pada
pertengahan abad ke-20. Ilmu semiotika dalam sastra tidak terpisah dari teori
45
strukturalisme seperti yang dikemukaan oleh Yunus (1981:17) bahwa semiotika
itu merupakan lanjutan strukturalisme.
Semiotika merupakan ilmu tentang tanda-tanda yang mempelajari
fenomena sosial budaya termasuk sastra sebagai sistem tanda (Preminger,
1974:980). Tanda mempunyai dua aspek, yaitu: penanda dan petanda. Penanda
adalah bentuk formal tanda, dalam bahasa berupa satuan bunyi atau huruf dalam
sastra tulis, sedangkan petanda adalah yang ditandai oleh penandanya.
Berdasarkan hubungan antara penanda dan petanda serta petandanya maka ada
tiga jenis tanda, yaitu: ikon, indeks dan simbol. Ikon adalah tanda yang penanda
dan petandanya menunjukkan ada hubungan yang bersifat alamiah, yaitu penanda
sama dengan petandanya, misalnya gambar rumah pada peta yang menunjukkan
bahwa rumah yang ditandai (petanda) menandai rumah yang sesungguhnya.
Indeks adalah tanda yang penanda dan petandanya menunjukkan adanya
hubungan alamiah yang bersifat kausalitas, misalnya asap menandai api, mendung
menandai hujan. Simbol adalah tanda yang menanda tidak menunjukkan adanya
hubungan alamiah, hubungannya arbiter (semau-maunya) berdasarkan konvensi.
Sebagian besar tanda bahasa berupa simbol. Di samping ketiga tanda itu ada tanda
yang disebut dengan simtom (gejala) yang petandanya belum pasti. Misalnya suhu
panas orang sakit tidak menunjukkan penyakit tertentu (Culler, 1981:40).
Dalam semiotika terdapat dua sistem yang dapat diidentifikasi, yaitu: (1)
sistem semiotik tingkat pertama (first order semiotics); dan (2) sistem semiotik
tingkat kedua (second order semiotics). Bahasa adalah bahan karya sastra.
Sebelum menjadi karya sastra, bahasa sudah merupakan tanda yang mempunyai
46
arti. Oleh karena itu, bahasa disebut sebagai sistem semiotik tingkat pertama,
kemudian menjadi tanda sastra dan ditingkatkan menjadi sistem semiotik tingkat
kedua. Arti bahasa menjadi arti sastra, maka arti sastra disebut sebagai
significance atau makna. Makna ini arti dari arti (Preminger, 1974:981-982).
Riffaterre (1978:166) mengatakan bahwa pembacalah yang bertugas untuk
memberikan makna tanda-tanda yang terdapat pada karya sastra. Tanda-tanda itu
akan memiliki makna setelah dilakukan pembacaan dan pemaknaan terhadapnya.
Sesungguhnya, dalam pikiran pembacalah transfer semiotik dari tanda ke tanda
terjadi. Michael Riffaterre (1978) mengemukakan prinsip-prinsip dasar dalam
pemaknaan puisi secara semiotik, antara lain:
1) Ketidaklangsungan Ekspresi.
Ketidaklangsungan ekspresi dikemukakan oleh Riffaterre (1978:1)
bahwa puisi itu dari dahulu hingga sekarang selalu berubah karena evolusi
selera dan konsep estetik yang selalu berubah dari periode ke periode.
Riffaterre menganggap bahwa puisi adalah sebagai salah satu wujud aktivitas
bahasa. Puisi berbicara mengenai sesuatu hal dengan maksud yang lain.
Artinya, puisi berbicara secara tidak langsung sehingga bahasa yang
digunakan pun berbeda dari bahasa sehari-hari. Jadi, ketidaklangsungan
ekspresi itu merupakan konvensi sastra pada umumnya. Karya sastra itu
merupakan ekspresi yang tidak langsung, yaitu menyatakan pikiran atau
gagasan secara tidak langsung, tetapi dengan cara lain (Pradopo, 2005:124).
Ketidaklangsungan ekspresi menurut Riffaterre (1978:2) disebabkan oleh tiga
hal, yaitu: penggantian arti (displacing of meaning), penyimpangan arti
47
(distorting of meaning), dan penciptaan arti (creating of meaning). Ketiga
jenis ketidaklangsungan ini akan mengancam representasi kenyataan atau apa
yang disebut dengan mimesis. Landasan mimesis adalah hubungan langsung
antara kata dengan objek. Pada tataran ini masih terdapat kekosongan makna
tanda yang perlu diisi dengan melihat bentuk ketidaklangsungan ekspresi
untuk menghasilkan sebuah pemaknaan baru (significance).
a) Penggantian arti (displacing of meaning)
Penggantian arti menurut Riffaterre disebabkan oleh penggunaan
metafora dan metonimi dalam karya sastra. Metafora dan metonimi dalam
arti luasnya untuk menyebut bahasa kiasan pada umumnya. Jadi, tidak
terbatas pada bahasa kiasan metafora dan metonimi saja. Hal ini
disebabkan oleh metafora dan metonimi merupakan bahasa kiasan yang
penting hingga dapat mengganti bahasa kiasan lainnya. Di samping itu,
ada jenis bahasa kiasan yang lain, yaitu simile (perbandingan),
personifikasi, sinekdoke, epos, dan alegori. Metafora adalah bahasa kiasan
yang mengumpamakan atau mengganti sesuatu hal dengan tidak
mempergunakan kata pembanding: bagai, seperti, bak, dan sebagainya.
Metonimi merupakan bahasa kiasan yang digunakan dengan memakai
nama atau ciri orang atau sesuatu barang untuk menyebutkan hal yang
bertautan dengannya.
b) Penyimpangan arti (distorting of meaning).
Penyimpangan bahasa secara evaluatif atau secara emotif dari
bahasa biasa ditujukan untuk membentuk kejelasan, penekanan, hiasan,
48
humor, atau sesuatu efek yang lain. Riffaterre (1978:2) mengemukakan
bahwa penyimpangan arti disebabkan oleh tiga hal, yaitu ambiguitas,
kontradiksi, dan Nonsense. Ambiguitas disebabkan oleh bahasa sastra
berarti ganda (polyinterpretable), lebih-lebih bahasa puisi. Kontradiksi
berarti mengandung pertentangan disebabkan oleh paradoks dan atau ironi.
Paradoks merupakan suatu pernyataan yang berlawanan dengan dirinya
sendiri, atau bertentangan dengan pendapat umum, tetapi kalau
diperhatikan lebih dalam sesungguhnya mengandung suatu kebenaran.
Ironi menyatakan sesuatu secara berkebalikan, biasanya untuk mengejek
atau menyindir suatu keadaan. Nonsense adalah kata-kata yang secara
linguistik tidak mempunyai arti sebab hanya berupa rangkaian bunyi, tidak
terdapat dalam kamus. Akan tetapi, puisi Nonsense itu memiliki makna.
Makna itu timbul karena adanya konvensi sastra, misalnya konvensi
mantra. Nonsense berfungsi untuk menimbulkan kekuatan gaib atau magis,
untuk mempengaruhi dunia gaib. Nonsense banyak terdapat dalam puisi
mantra atau puisi yang bergaya mantra.
c) Penciptaan arti (creating of meaning)
Penciptaan arti ditimbulkan melalui enjambement, homologue, dan
tipografi (Riffaterre, 1978:2). Penciptaan arti merupakan konvensi
kepuitisan berupa bentuk visual yang secara linguistik tidak mempunyai
arti, tetapi menimbulkan makna di dalam puisi. Jadi, penciptaan arti
merupakan organisasi teks di luar linguistik. Dalam kajian mantra,
49
semiotika dapat dikaji dari dua penanda, yaitu: verbal maupun non verbal
(Ratna 2010:105).
Dalam penelitian ini digunakan konsep teori semiotika Riffaterre untuk
mengkaji sistem lambang (sign) dan perlambangan pada mantra Tulembang
dan Tupakbiring. Seperti diuraikan dalam teori sebelumnya bahwa mantra
Tulembang dan Tupakbiring termasuk dalam puisi yang menjadi pendekatan
semiotika yang digunakan oleh teori semiotika Riffaterre. Di samping itu,
penggunaan semiotika Riffatere ini bertujuan untuk mendapatkan makna dari
ekspresi tidak langsung dalam mantra Tulembang dan Tupakbiring. Makna
dalam teks dapat dipahami dengan menafsirkan lambang dan perlambangan
yang hadir dalam teks dan dihubungkan dengan penerimaan umum dalam
masyarakat.
2) Heuristik
Heuristik menurut Riffaterre (1978:5) merupakan pembacaan tingkat
pertama untuk memahami makna secara linguistik, sedangkan pembacaan
hermeneutika merupakan pembacaan tingkat kedua untuk menginterpretasi
makna secara utuh. Dalam pembacaan ini, pembaca lebih memahami apa yang
sudah dia baca untuk kemudian memodifikasi pemahamannya tentang hal itu.
Menurut Santosa (2004:231), pembacaan heuristik adalah pembacaan
yang didasarkan pada konvensi bahasa yang bersifat mimetik (tiruan alam)
dan membangun serangkaian arti yang heterogen, berserak-serakan atau tidak
gramatikal. HaI ini dapat terjadi karena kajian didasarkan pada pemahaman
arti kebahasaan yang bersifat lugas atau berdasarkan arti denotatif dari suatu
50
bahasa. Selanjutnya, Pradopo (1995:135) memberi definisi pembacaan
heuristik adalah pembacaan berdasarkan struktur bahasanya atau secara
semiotika adalah berdasarkan konvensi sistem semiotika tingkat pertama.
Fungsi pembacaan heuristik adalah mantra dibaca berdasarkan
konvensi bahasa atau sistem bahasa sesuai dengan kedudukan bahasa sebagai
sistem semiotik tingkat pertama. Pembacaan heuristik adalah pembacaan yang
didasarkan pada konvensi bahasa yang bersifat mimetik (tiruan alam) dan
membangun serangkaian arti yang heterogen, berserak-serakan atau tidak
gramatikal. Hal ini dapat terjadi karena kajian didasarkan pada pemahaman
arti kebahasaan yang bersifat lugas atau berdasarkan arti denotatif dari suatu
bahasa (Santosa, 2004:231).
3) Hermeneutika
Hermeneutika adalah studi pemahaman, khususnya tugas pemahaman
teks. Hermeneutika berkembang sebagai usaha untuk menggambarkan
pemahaman teks, lebih spesifik pemahaman historis dan humanistik. Dengan
demikian, hermeneutika mencakup dalam dua fokus perhatian yang berbeda
dan saling berinteraksi, yaitu: (1) peristiwa pemahaman teks; dan (2) persoalan
yang mengarah mengenai apa pemahaman interpretasi itu. (Palmer, 1969:8)
Hermeneutika adalah teori tentang bekerjanya pemahaman dalam menafsirkan
teks. Hal ini memperlihatkan bahwa gagasan utama dalam hermeneutika
adalah pemahaman (understanding) pada teks.
Secara etimologis kata hermeneutika (hermeneutic) berasal dari
Yunani, hermeneuein yang berarti menerjemahkan atau menafsirkan. Ia
51
merupakan proses mengubah sesuatu dari situasi ketidaktahuan menjadi
mengerti. Oleh sebab itu, tugas pokok hermeneutika adalah menafsirkan teks
klasik dan asing menjadi milik yang hidup pada zaman dan tempat berbeda.
(Umiarso, 2011:193). Istilah hermeneutika juga kerap dihubungkan dengan
tokoh mitologis Yunani, Hermes yang bertugas menyampaikan tugas Yupiter
kepada manusia. Mitos ini menjelaskan tugas seorang hermes yang begitu
penting. Apabila keliru dapat berakibat fatal. Hermes adalah seorang duta
yang dibebani misi menyampaikan pesan dewa. Berhasil atau tidaknya misi
ini tergantung bagaimana pesan itu disampaikan. Dengan demikian,
hermeneutika secara sederhana diartikan sebagai proses mengubah
ketidaktahuan menjadi tahu. (Sumaryono, 1999:24-25).
Ebeling (dalam Mudjia, 2012:28) membuat interpretasi yang dapat
dikutip mengenai proses penerjemahan yang dilakukan oleh Hermes.
Menurutnya proses tersebut mengandung tiga makna hermeneutika yang
mendasar, yakni: (a) mengungkapkan sesuatu yang tadinya masih dalam
pikiran melalui kata-kata sebagai medium penyampaian; (b) menjelaskan
secara rasional sesuatu sebelum masih samar-samar sehingga maknanya dapat
dimengerti; (c) menerjemahkan suatu bahasa yang asing ke dalam bahasa lain
yang lebih dikuasai pembaca.
Ketiga pengertian di atas terangkum dalam pengertian menafsirkan
(interpreting, understanding). Dengan demikian, hermeneutika merupakan
proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti.
Definisi lain, hermeneutika adalah metode atau cara untuk menafsirkan simbol
52
berupa teks untuk dicari arti dan maknanya. Metode ini mensyaratkan adanya
kemampuan untuk menafsirkan masa lampau yang tidak dialami, kemudian
dibawa ke masa depan. Dengan demikian, hermeneutika merupakan proses
mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti (Sumaryono,
1999:2).
Pemaknaan adalah suatu dialektika antara penjelasan dan pemahaman.
Penjelasan merupakan analisis struktur yang dilakukan terhadap karya dengan
melihat hubungannya pada dunia yang ada di dalam teks. Model ini
menjelaskan sisi objektif sebagai ranah ilmu alam. Dari sini dapat dilihat
bahwa hasil pemaknaan hermeutika adalah pemahaman diri (refleksi), yaitu
membiarkan teks (objektif) dan dunianya memperluas cakrawala pemahaman
“aku-lirik” pembaca (subjektif) tentang diri “aku-lirik” sendiri (Kurniawan,
2009:112-113).
Pembacaan hermeneutika menurut Santosa (2004:234) adalah
pembacaan yang bermuara pada ditemukannya satuan makna puisi secara utuh
dan terpadu. Sementara itu, Pradopo (1995:137) mengartikan pembacaan
hermeneutik sebagai pembacaan berdasarkan konvensi sistem semiotika
tingkat kedua (makna konotasi). Pada tahap ini, pembaca harus meninjau
kembali dan membandingkan hal-hal yang telah dibacanya pada tahap
pembacaan heuristik. Dengan cara demikian, pembaca dapat memodifikasi
pemahamannya dengan pemahaman yang terjadi dalam pembacaan
hermeneutika.
53
Puisi harus dipahami sebagai sebuah satuan yang bersifat struktural
atau bangunan yang tersusun dari berbagai unsur kebahasaan. Oleh karena itu,
pembacaan hermeneutika pun dilakukan secara struktural atau bangunan yang
tersusun dari berbagai unsur kebahasaan. Proses pembacaan yang
dimaksudkan oleh Riffaterre (1978:126) dapat diringkas menjadi: (1)
membaca untuk arti biasa; (2) Menyoroti unsur-unsur yang tampak tidak
gramatikal dan yang merintangi penafsiran mimetik yang biasa; (3)
menemukan hipogram, yaitu mendapat ekspresi yang tidak biasa dalam teks;
(4) menurunkan matriks dari hipogram, yaitu menemukan sebuah penyataan
tunggal atau sebuah kata yang dapat menghasilkan hipogram dalam teks.
Fungsi hermeneutika dalam penelitian ini, yaitu membantu peneliti
untuk menginterprestasikan kata, kalimat, serta struktur dalam mantra
Tulembang dan Tupakbiring. Hal ini sesuai dengan pernyataan Palmer (1969)
bahwa hermeneutika dapat diartikan sebagai cara memahami dan mengerti
karena ada proses interpretasi. Dalam proses interpretasi ada sejumlah
masalah yang menuntut penjelasan, yakni pesan yang disampaikan, melalui
kata, kalimat, atau struktur dalam mantra.
Menurut Halliday (1978:110) bahasa adalah suatu sistem semiotika sosial.
Sistem semiotika bahasa mencakupi unsur bahasa dan hubungan bahasa dengan
unsur konteks yang berada di luar bahasa sebagai konteks linguistik dan konteks
sosial. Konteks sosial merupakan unsur yang mendampingi bahasa dan
merupakan wadah terbentuknya bahasa. Bahasa dan konteks sosial, tempat bahasa
atau teks terbentuk, juga merupakan semiotika. Terdapat tiga hal penting sistem
54
komunikasi bahasa menurut Halliday (1978:19-20), yaitu: metafungsi ideasional,
interpersonal, dan tekstual. Metafungsi ideasional merepresentasikan aspek
pengalaman manusia di dalam dan di luar khususnya sebagai sistem tanda.
Dengan kata lain, harus mampu merepresentasikan objek dan hubungannya
dengan dunia di luar bahasa sebagai sistem representasi. Metafungsi interpersonal
menawarkan hubungan antara pencipta tanda dengan penerima tanda. Metafungsi
tekstual menjelaskan pembentukan teks, kerumitan tanda-tanda yang dihubungkan
baik secara internal maupun eksternal.
Dalam penelitian ini digunakan teori semiotika sosial untuk membantu
peneliti dalam menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh manusia yang
berwujud lambang, baik berupa kata maupun rangkaian kata atau kalimat. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Santoso (2003:6) bahwa semiotika sosial lebih
cenderung melihat bahasa sebagai sistem tanda atau simbol yang sedang
mengekspresikan nilai dan norma kultural dan sosial suatu masyarakat tertentu di
dalam suatu proses sosial kebahasaan. Teori semiotika sosial digunakan untuk
mengetahui makna yang tersurat dan tersirat. Makna tersurat adalah makna bahasa
yang dapat dilihat dalam kamus, sedangkan makna tersirat adalah makna bahasa
yang tidak terdapat dalam kamus, tetapi dapat ditelusuri dengan melihat
konteksnya (Riana, 2003:10).
2.3.5 Teori Stilistika
Kajian komprehensif Ratna (2009:19) dalam stilistika, mengungkapkan
bahwa pembicaraan stilistika dalam analisis karya sastra difokuskan pada batasan
deskripsi penggunaan khas bahasa, seperti: inversi, hiperbola, litotes, dan
55
sebagainya. Secara etiologis, stilistika memiliki pemaknaan dari kata stilistika
atau stil (style) yang diartikan sebagai ilmu tentang gaya. Gaya merupakan salah
satu cabang ilmu dalam bidang kritik sastra yang relevansinya terkandung dalam
semua teks, bukan bahasa tertentu atau semata-mata teks sastra. Dengan kata lain,
stilistika berkaitan dengan pengertian ilmu tentang gaya dalam karya sastra.
Gaya pada dasarnya telah melahirkan kegairahan sebab dengan citra baru
dalam mencapai kepuasan. Kendati demikian, gaya tidak harus dilakukan di luar
batas kebiasaan sehingga melanggar norma, sebab gaya harus menyesuaikan
dengan etika, adat istiadat, dan kebiasaan yang fungsinya sebagai pembatas.
Terlepas dari batasan tersebut, sastra memberlakukan gaya sebagai kekhasan
dalam semua bentuk ekspresi, sehingga gaya bersifat superior dan inferior, kuat
dan lemah, atau baik dan tidak baik. Beberapa kekhasan yang dimaksud adalah
tentang gaya bahasa, indisipliner antara linguistik dengan sastra, penerapan
kaidah-kaidah linguistik dalam penelitian gaya bahasa, menyelidiki pemaknaan
bahasa dalam karya sastra, serta menyelidiki pemakaian bahasa dalam karya
sastra, dengan mempertimbangkan aspek-aspek keindahannnya sekaligus latar
belakang sosialnya.
Stilistika membicarakan bagaimana memahami dan mengkaji sastra dari
segi penggunaan bahasa yang dilakukan oleh penyair. Hal ini dikemukakan oleh
Atmazaki (2007:152) bahwa stilistika merupakan salah satu pendekatan dalam
kritik sastra, yaitu kritik sastra yang menggunakan linguistik sebagai dasar kajian.
Kajian stilistika ini berkaitan dengan bagaimana kata-kata tersebut menimbulkan
efek dan makna tertentu. Analisis stilistika merupakan pendekatan struktural,
56
sehingga analisis stilistika boleh dimulai dari unsur kebahasaan manapun.
Stilistika dalam kaitannya dengan studi retorika haruslah merupakan suatu
pencarian filosofis tentang bagaimana kata-kata bekerja atau berpengaruh dalam
wacana. Menurut Abrams, unsur style atau gaya bahasa terdiri dari unsur:
fonologi, sintaksis, leksikal, retorika (berupa karakteristik penggimaan bahasa
figuratif, pencitraan, dan sebagainya).
Leech dan Short menyebut unsur style dengan istilah stylistics categories.
Menurut mereka unsur stile terdiri atas kategori leksikal, gramatikal, figures of
speech, konteks, dan kohesi. Kemudian, Nurgiyantoro (1995:290) membuat
simpulan bahwa unsur gaya bahasa terdiri atas unsur leksikal, gramatikal, retorika,
dan kohesi. Unsur retorika meliputi pemajasan, penyiasatan struktur kalimat, dan
pencitraan. Dengan demikian, style atau gaya bahasa terdiri atas unsur leksikal,
gramatikal, kohesi, dan retorika. Dalam penelitian ini unsur gaya bahasa yang
digunakan adalah unsur retorika. Pembahasan unsur-unsur gaya bahasa yang
menjadi objek dalam penelitian ini adalah unsur retorika yang meliputi pemajasan,
penyiasatan struktur kalimat, dan pencitraan.
2.4 Model Penelitian
Model penelitian ini mendeskripsikan tentang kebudayaan suku Makassar
yang memiliki sastra lisan disebut Tulembang dan Tupakbiring. Dalam penelitian
ini juga dianalisis dengan menggunakan analisis struktur, fungsi, makna, dan
pewarisan. Teori semiotika sosial digunakan untuk menganalisis fenomena sosial
yang tersurat dan tersirat dalam mantra. Semiotika Reffaterre menyebutkan,
ketidaklangsungan ekspresi disebabkan oleh tiga hal: (1) pergantian
57
arti/displacing of meaning; (2) penyimpangan arti/distorting of meaning; dan (3)
penciptaan arti/creating of meaning. Ketiganya digunakan untuk menganalisis
fenomena bentuk struktur, fungsi, dan makna.
Gambar 2.1 Model Penelitian
Berdasarkan Gambar 2.1, dapat dijelaskan bahwa konsep mantra
Tulembang dan Tupakbiring adalah tradisi lisan berupa mantra yang dimiliki oleh
masyarakat Makassar, Sulawesi Selatan. Dalam perjalanannya, telah memberi
konfigurasi kajian sastra tradisional. Ada hubungan antara mantra dengan
masyarakat. Mantra tercipta dari masyarakat, sebab masyarakat adalah
pewarisnya. Demikian pula yang terjadi pada masyarakat tradisional yang
berpegang teguh pada adat istiadatnya, tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
Kebudayaan
Makassar
Sastra Lisan
Teks Mantra Tulembang
& Mantra Tupakbiring
Teori Semiotika
Metode kualitatif
Struktur
Teks
Fungsi
dan
variasi
Makna
Sistem
Pewarisan
Temuan Baru
58
mantra. Mantra Tulembang dan Tupakbiring direfleksikan atas teks sastra, karena
menggunakan bahasa sebagai mediumnya dan memiliki sistem tanda yang
mempunyai makna.
Mantra Tulembang mempunyai struktur teks yang terdiri atas salam
pembuka dengan larik basmallah dan assalamualaikum. Batang tubuh lebih
banyak berupa permohonan keberkahan dan penolak bala. Penutup menggunakan
puji-pujian kepada Allah dan Nabi Muhammad. Mantra Tupakbiring cenderung
lebih bebas dalam struktur teks. Pembuka lebih banyak diawali oleh penyebutan
nama bayangan pembaca mantra. Batang tubuh lebih banyak memuat permohonan
keselamatan dan pengusiran hal yang jahat (tolak bala). Mantra Tulembang dan
Tupakbiring sampai sekarang masih memiliki fungsi bagi masyarakat pemiliknya
dan masih bertahan. Kedua mantra memiliki fungsi teologi, religius, sosial,
budaya, dan pengendali sosial. Fungsi ini tercermin pada teks yang selalu
menghimbau kepada umat manusia untuk selalu menjaga dan melestarikan alam.
Selain itu, himbauan untuk selalu berlaku rendah hati yang merupakan
representasi kontrol sosial dan fungsi kedua mantra tersebut sebagai media
komunikasi kepada Sang Maha Pencipta, sebagai bentuk kepuasan batiniah bagi
penyapa dan pesapa mantra. Pemaknaan dalam Mantra Tulembang dan
Tupakbiring merupakan perkataan atau kalimat yang dapat mendatangkan daya
gaib, jampi, dan pesona sehingga dapat mengandung kekuatan dan mengabulkan
permohonan sesuai si empunya niat. sistem pewarisan masih bersifat alamiah,
yakni dengan hubungan vertikal heirarki (mantra Tulembang) dan vertikal-
59
horisontal (mantra Tupakbiring). Selain itu, belum ada upaya Pemerintah Daerah
secara maksimal untuk melestarikan budaya mantra suku Makassar ini.
Temuan ini penting dipahami dan dipedomani oleh tokoh masyarakat
terutama generasi muda di Kabupaten Gowa dan Takalar agar dapat memelihara
dan melestarikan kebudayaan daerah miliknya terutama mantra. Bagi pembaca
dan peneliti selanjutnya diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sebagai
perbandingan dalam pembahasan hal yang sama.
Keunikan dan kekayaan penggunaan kata-kata arkais/kuno mantra
Tulembang dan Tupakbiring jarang digunakan dalam pembicaraan sehari-hari dan
perlu ditelaah bahasanya. Namun, makna kata-kata dalam mantra
merepresentasikan hal-hal yang ada dalam kehidupan masyarakat suku Makassar.
Selain itu, mantra Tulembang dan Tupakbiring memuat hal-hal yang natural dan
supernatural, dan berbagai aspek adat dan budaya. Penelitian ini menunjukkan
pentingnya upaya untuk mendokumentasikan kekayaan budaya melalui mantra
yang digunakan suku Makassar. Hal inilah yang menarik perhatian peneliti untuk
melakukan penelitian terhadap mantra Tulembang dan Tupakbiring dalam
kehidupan suku Makassar.
60
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Mantra Tulembang dan Tupakbiring memiliki ciri-ciri pengenal utama
sastra lisan seperti yang dikemukakan oleh Bartlett (1965:244-245), yaitu dimiliki
oleh sekelompok masyarakat tertentu, dekat dengan kelompok masyarakat yang
memilikinya dan mengungkapkan keadaan sosial budaya masyarakat yang
melahirkannya. Selanjutnya, dilakukan penelaahan dengan metode semiotika.
Penelitian ini dirancang dengan metode semiotika bersifat kualitatif interpretatif.
Artinya, penelitian memfokuskan pada “tanda” dan “teks” sebagai objek kajian,
serta “menafsirkan” dan “memahami kode” di balik tanda dan teks tersebut
kemudian, memberikan kesimpulan yang komprehensif mengenai hasil penafsiran
dan pemahaman yang telah dilakukan.
Untuk mengkaji fungsi, makna, dan struktur mantra, penelitian ini
menggunakan rancangan penelitian kualitatif. Menurut Semi (1993:23) penelitian
kualitatif tidak menggunakan angka-angka tetapi mengutamakan pengahayatan
terhadap interaksi antarkonsep yang sedang dikaji secara empiris. Moleong
(2000:6) mengatakan penelitian kualitatif adalah data yang ditemukan atau
dikumpulkan berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka.
Apabila dilihat sifat penelitian yang membahas tentang budaya suatu
daerah, mengharuskan peneliti mendapatkan data dan mengkaji masalah sosial
masyarakat setempat. Oleh karena itu, penelitian ini dimasukkan dalam rancangan
60
61
penelitian field work. Penelitian dimulai dari pemerolehan teks. Teks diperoleh
dengan cara merekam suara bacaan mantra informan lalu ditulis sesuai suara
rekaman tersebut. Transkripsi teks diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Untuk kepentingan analisis teks, mantra Tulembang dan Tupakbiring diubah dan
disesuaikan terjemahannya. Selanjutnya, penelitian lapangan dilakukan untuk
mendapatkan data mantra Tulembang dan Tupakbiring.
Peneliti ini juga menggunakan penelitian kepustakaan berupa informasi
dari laporan penelitian ataupun tulisan lain yang relevan dengan permasalahan
yang diteliti sebagai sumber bahan sekunder. Di samping itu, informasi juga
diperoleh di dalam media elektronik melalui internet, misalnya artikel-artikel,
buku-buku elektronik, dan hasil penelitian.
3.2 Sumber Data dan Informan
Data utama atau primer digunakan untuk mendeskripsikan aspek bentuk
dan variasi serta fungsi yang terkandung dalam mantra. Unsur-unsur Islam juga
eksis dalam teks mantra Tulembang dan Tupakbiring. Sehubungan dengan hal ini,
peneliti menggunakan sumber data berupa:
1) Data primer, berupa hasil wawancara dengan beberapa tokoh adat serta
pembaca mantra. Informan penelitian ini dipilih berdasarkan kriteria berikut.
a) Terlibat langsung dalam penelitian ini sebagai warga suku Makassar yang
berdomisili di Kecamatan Pattallassang, Kabupaten Gowa dan Kecamatan
Galesong, Kabupaten Takalar;
b) Memunyai waktu yang cukup dalam kegiatan penelitian ini sehingga
peneliti dan informan dapat selalu bekerjasama;
62
c) Non analitis tetapi memiliki wawasan pengetahuan tentang budaya tradisi
lisan, khususnya Mantra Tulembang dan Tupakbiring;
d) Produktif dalam berdiskusi yang menghasilkan teks mantra beserta
terjemahan, menjelaskan perbendaharaan bahasa Makassar yang sulit
dalam Mantra tersebut.
Berdasarkan kriteria tersebut didapatkan empat informan, seperti: (1) Baso
Daeng Sila selaku tokoh adat; (2) Akhmad Daeng Naba sebagai pembaca mantra
dan keduanya berasal dari desa Bukrung-bukrung Pattallassang, Kabupaten Gowa;
(3) Maddatuang Daeng Ngagu selaku tokoh adat; dan (4) Sandi Daeng Sanre
sebagai pembaca mantra dan keduanya berasal dari desa Pallaklakang, Galesong,
Kabupaten Takalar.
Pemilihan informan berdasarkan informasi dari Kepala Desa terhadap
tokoh-tokoh Agama, pemuka masyarakat, tokoh adat, ketua Rukun Tetangga (RT)
dan Rukun Warga (RW) di masing-masing lokasi penelitian. Kepala Desa dan
Ketua RW sebagai tempat bertanya dan berkonsultasi untuk menentukan informan
yang mengetahui tentang mantra Tulembang dan Tupakbiring.
2) Data sekunder, berupa dokumentasi mantra Tulembang dan Tupakbiring yang
terdapat di Kantor Desa serta infomarsi budaya dalam masyarakat suku
Makassar. Budaya yang dimaksud, yaitu ritual-ritual yang dilakukan oleh
masyarakat Makassar di Pattallassang dan Pallaklakkang dalam bertani dan
melalut.
63
3.3 Instrumen Penelitian
Instrumen utama penelitian teks mantra Tulembang dan Tupakbiring
adalah buku catatan. Buku catatan digunakan untuk mencatat data teks mantra
Tulembang dan Tupakbiring dan kata-kata sulit serta terjemahannya. Buku catatan
ini juga dapat digunakan memilah-milah dan mengelompokkan teks mantra
menurut bentuk dan fungsinya. Penelitian ini melibatkan berbagai lapisan
masyarakat seperti tokoh masyarakat, tokoh agama, beberapa petani dan nelayan,
dukun obat serta masyarakat lainnya sebagai informan. Agar wawancara terarah
dan terstruktur, peneliti membawa panduan sebagai penuntun wawancara. Catatan
pertanyaan sebagai panduan wawancara agar tidak terjadi pertanyaan ulangan atau
ada hal-hal yang terlupakan. Alat perekam atau handphone digunakan untuk
merekam wawancara dan dapat didengar ulang agar lebih jelas informasi yang
didapat di lapangan.
3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Metode yang digunakan adalah metode lapangan (field Research). Metode
ini dilakukan dalam rangka mencari data primer, yaitu mantra Tulembang dan
Tupakbiring yang masih digunakan oleh masyarakat tradisional Makassar yang
tinggal di Desa Bukrung-bukrung, Kecamatan Paktallasang, Kabupaten Gowa dan
Pallaklakang, Kecamatan Galesong, Kabupaten Gowa. Sehubungan dengan itu,
dikumpulkan informasi yang berhubungan dengan mantra Tulembang dan
Tupakbiring dengan teknik observasi, wawancara, dokumentasi, rekaman.
64
1) Teknik Observasi
Observasi adalah pengamatan, peninjauan secara cermat (Anwar,
2005:228)”. Peneliti mengadakan pengamatan di daerah yang menjadi tempat
penelitian dengan tujuan untuk mencari informan tentang mantra yang ada di
wilayah yang didominasi oleh suku Makassar. Observasi ini dilakukan melalui
teknik pengamatan terhadap proses pembacaan mantra. Tujuan observasi
untuk mengecek dan mericek data yang diperoleh. Observasi ini juga dapat
memperkecil kesalahan atau data yang kurang cocok. Peneliti ikut berperan
dalam semua kegiatan pembacaan mantra dan ritualnya. Sejalan dengan
pendapat Danandjaya (1994:101) dan Ratna (2004;47) bahwa penggunaan
metode observasi dalam penelitian bertujuan untuk memperoleh gambaran
secara utuh tentang sosial budaya suku Makassar yang melatari teks mantra
Tulembang dan Tupakbiring.
2) Teknik Wawancara.
Wawacara atau interview adalah tanya jawab antara pewawancara
dengan orang yang diwawancarai (Anwar, 2005:392). Wawancara ini
bertujuan untuk mengetahui dan mendapatkan keterangan mengenai struktur
dan isi mantra, bentuk serta variasi fungsi yang terkandung makna dan
kehadiran unsur-unsur teks Islam dan sistem pewarisan.
Teknik wawancara mendominasi di lapangan, terutama teknik
wawancara mendalam (in depth interview). Wawancara mendalam seorang
peneliti akan menggali apa yang tersembunyi dalam sanubari informan, dan
akan menggali terus agar mendapat informasi yang akurat (Bungin, 2011:65).
65
Teknik wawancara langsung digunakan kepada beberapa informan dan
sekaligus merekam dengan menggunakan tape recorder atau video kamera.
Wawancara diadakan dengan informan secara santai dan menyenangkan agar
memperoleh data yang reliable. Kegiatan wawancara dilakukan berulang-
ulang dari satu informan ke informan lainnya untuk mericek keabsahan data.
Selain itu, daftar pertanyaan selalu dilihat sebagai panduan agar tidak ke luar
dari ruang lingkup mantra Tulembang dan Tupakbiring.
3) Teknik Dokumentasi
Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
dokumentasi. Teknik ini untuk mengumpulkan data tentang mantra dan
kehidupan masyarakat yang berkaitan dengan data yang diperlukan dalam
penelitian ini. Teknik ini berdasarkan data tertulis. Dokumen yang digunakan
sebagai sumber rujukan dalam pengumpulan data, yaitu buku-buku, hasil
penelitian, disertasi, tesis, artikel, dan makalah.
4) Teknik Rekam.
Rekaman adalah suatu dokumen yang menyatakan bahwa sesuatu hasil
telah dicapai atau suatu bukti kegiatan telah dilaksanakan (Anwar, 2009:2).
Peneliti melakukan rekaman wawancara dengan informan menggunakan alat
perekam untuk merekam respon informan. Rekaman dilakukan terhadap
informan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang telah disiapkan
dengan instrumen yang telah disiapkan.
66
3.5 Metode dan Teknik Analisis Data
Metode yang digunakan adalah deskriptif analitis, yakni mendeskripsikan
aspek sastra yang terdapat dalam mantra Tulembang dan Tupakbiring. Kedua jenis
mantra ini dianalisis dengan cara menginterpretasi secara semiotik terhadap
mantra Tulembang Suku Makassar. Misalnya, makna yang terkandung
berdasarkan pembacaan heuristik dan hermeneutik akan mengungkap model yang
terdapat dalam mantra Tulembang dan Tupakbiring.
Dalam kaitannya dengan pemaknaan mantra Tulembang dan Tupakbiring,
pembacalah atau peneliti yang seharusnya bertugas memberi makna karya sastra.
Khusus pemaknaan terhadap puisi, proses pemaknaan dimulai dengan pembacaan
heuristik, yaitu pembacaan tingkat pertama untuk memahami makna secara
linguistik. Kemudian, menangkap arti sesuai teks yang ada dan diartikan dengan
bahasa yang sesuai dengan teks. Pembaca harus memilki kompetensi linguistik
agar dapat menangkap arti (meaning) dan unsur-unsurnya menurut kemampuan
bahasa berdasarkan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi tentang dunia luar
(mimetic function). Kemudian, pembaca harus meningkatkannya ke tataran kedua
yaitu pembacaan hermeneutik untuk menginterpretasi makna secara utuh.
Pembaca harus memahami apa yang dia sudah baca lalu memodifikasi
pemahamannya tentang hal itu. Di dalamnya terdapat kode karya sastra yang
diungkap (decoding) atas dasar significance-nya. Untuk itu, tanda-tanda dalam
puisi memiliki makna setelah dilakukan pembacaan dan pemaknaan terhadapnya.
Riffaterre juga mengungkapkan metode pemaknaan puisi secara semiotik dengan
tuntas. Berdasarkan hal itu, teori Riffaterre tepat untuk mengungkapkan mantra
67
Tulembang dan Tupakbiring, sebagai salah satu jenis puisi. Langkah-langkah
pemaknaan terhadap puisi yang dikemukakan oleh Riffaterre memberikan ruang
untuk dapat mengungkap makna yang terdapat dalam mantra Tulembang dan
Tupakbiring secara total.
3.6 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis
Metode formal digunakan untuk merumuskan tanda-tanda dan
perlambangan dan metode informal menyajikan hasil analisis. Rancangan hasil
analisis mantra Tulembang dan Tupakbiring disajikan dalam bentuk deskriptif
atau dalam bentuk penceritaan. Hal ini disebabkan penelitian mantra Tulembang
dan Tupakbiring dalam kehidupan suku Makassar bersifat kualitatif. Penyajian
lain adalah pembagian dari satu bab ke bab yang lain untuk memperjelas setiap
bab.
Dalam pengelolaan data digunakan analisis semantik, yaitu studi tentang
apa yang disampaikan oleh penutur dan ditafsirkan oleh pendengar (pembaca)
dalam artian studi tentang maksud penutur. Dengan demikian, terjadi kesesuaian
antara ritual yang dilaksanakan oleh masyarakat tradisional dengan mantra yang
dibacakan pada saat prosesi berlangsung.