TUGAS APRESIASI PROSA

download TUGAS APRESIASI PROSA

of 46

Transcript of TUGAS APRESIASI PROSA

CERITA RAKYAT RIAU TENTANG ANAK DURHAKA

OLEH NAMA : NIM : MATA KULIAH : DOSEN :

JUNAINAH 1005121135 APRESIASI PROSA Drs. ELMUSTIAN, M.A.

PROGAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS RIAU 2011

Bentuk cerita yang diperolehi dari sumber yang lain. Cerita Rakyat Riau, Lancang kuning (Kampar) By Mbakdiah Alkisah tersebutlah sebuah cerita, di daerah Kampar pada zaman dahulu hiduplah si Lancang dengan ibunya. Mereka hidup dengan sangat miskin. Mereka berdua bekerja sebagai buruh tani. Untuk memperbaiki hidupnya, maka Si Lancang berniat merantau. Pada suatu hari ia meminta ijin pada ibu dan guru ngajinya. Ibunya pun berpesan agar di rantau orang kelak Si Lancang selalu ingat pada ibu dan kampung halamannya. Ibunya berpesan agar Si Lancang jangan menjadi anak yang durhaka. Si Lancang pun berjanji pada ibunya tersebut. Ibunya menjadi terharu saat Si Lancang menyembah lututnya untuk minta berkah. Ibunya membekalinya sebungkus lumping dodak, kue kegemaran Si Lancang. Setelah bertahun-tahun merantau, ternyata Si Lancang sangat beruntung. Ia menjadi saudagar yang kaya raya. Ia memiliki berpuluh-puluh buah kapal dagang. Dikhabarkan ia pun mempunyai tujuh orang istri. Mereka semua berasal dari keluarga saudagar yang kaya. Sedangkan ibunya, masih tinggal di Kampar dalam keadaan yang sangat miskin. Pada suatu hari, Si Lancang berlayar ke Andalas. Dalam pelayaran itu ia membawa ke tujuh isterinya. Bersama mereka dibawa pula perbekalan mewah dan alat-alat hiburan berupa musik. Ketika merapat di Kampar, alat-alat musik itu dibunyikan riuh rendah. Sementara itu kain sutra dan aneka hiasan emas dan perak digelar. Semuanya itu disiapkan untuk menambah kesan kemewahan dan kekayaan Si Lancang. Berita kedatangan Si Lancang didengar oleh ibunya. Dengan perasaan terharu, ia bergegas untuk menyambut kedatangan anak satu-satunya tersebut. Karena miskinnya, ia hanya mengenakan kain selendang tua, sarung usang dan kebaya penuh tambalan. Dengan memberanikan diri dia naik ke geladak kapal mewahnya Si Lancang. Begitu menyatakan bahwa dirinya adalah ibunya Si Lancang, tidak ada seorang kelasi pun yang mempercayainya. Dengan kasarnya ia mengusir ibu tua tersebut. Tetapi perempuan itu tidak mau beranjak. Ia ngotot minta untuk dipertemukan dengan anaknya Si Lancang. Situasi itu menimbulkan keributan. Mendengar kegaduhan di atas geladak, Si Lancang dengan diiringi oleh ketujuh istrinya mendatangi tempat itu. Betapa terkejutnya ia ketika menyaksikan bahwa perempuan compang camping yang diusir itu adalah ibunya. Ibu si Lancang pun berkata, Engkau Lancang anakku! Oh betapa rindunya hati emak padamu. Mendengar sapaan itu, dengan congkaknya Lancang menepis. Anak durhaka inipun berteriak, mana mungkin aku mempunyai ibu perempuan miskin seperti kamu. Kelasi! usir perempuan gila ini. Ibu yang malang ini akhirnya pulang dengan perasaan hancur. Sesampainya di rumah, lalu ia mengambil pusaka miliknya. Pusaka itu berupa lesung penumbuk padi dan sebuah nyiru. Sambil berdoa, lesung itu diputarputarnya dan dikibas-kibaskannya nyiru pusakanya. Ia pun berkata, ya Tuhanku hukumlah si Anak durhaka itu.Dalam sekejap, turunlah badai topan. Badai

tersebut berhembus sangat dahsyatnya sehingga dalam sekejap menghancurkan kapal-kapal dagang milik Si Lancang. Bukan hanya kapal itu hancur berkeping-keping, harta benda miliknya juga terbang ke mana-mana. Kain sutranya melayang-layang dan jatuh menjadi negeri Lipat Kain yang terletak di Kampar Kiri. Gongnya terlempar ke Kampar Kanan dan menjadi Sungai Oguong. Tembikarnya melayang menjadi Pasubilah. Sedangkan tiang bendera kapal Si Lancang terlempar hingga sampai di sebuah danau yang diberi nama Danau Si Lancang. Situs:(http://mbakdiah.wordpress.com/2007/08/26/cerita-rakyat-riau-lancangkuning/ Menceritakan kembali dari cerita di atas. 1. L CANG KUNING (KAMPAR) Pada suatu hari adalah alkisah yang menceritakan di daerah Kampar. Dalam sebuah kampung di daerah Kampar hiduplah seorang ibu dan seorang anaknya bernama Lancang. Ayah Si Lancang telah lama meninggal ketika ia masih kecil. Mereka hidup sangatlah miskin. Untu mencari nafkah mereka bekerja sebagai buruh tani. Di suatu senja, Si Lancang termenung memikirkan nasib akan dirinya dan ibunya. Si Lancang memiliki keinginan untuk memperbaiki kehidupannya. Si Lancang berniat merantau. Keesokkan harinya, ia mengutarakan keinginannya untuk merantau kepada ibunya. Si Lancang berkata bu, Lancang ingin merantau. Apakah boleh, bu? ibunya lagi memasak, terhenti seketika. Apa nak? Tanya ibunya. Kamu ingin merantau? iya, bu jawab Si Lancang. Sebenarnya ibu Si Lancang tidak mau kepergian Si Lancang. Apakan daya Si Lancang terus-menerus membujuk ibunya. Ibu Si Lancang berkata dalam hati, sudahlah aku harus merelakan SiLancang. Karena, Si Lancang pun sudah dewasa dan sudah tahu mana yang baik dan mana buruk. Di malam harinya, ibunya memanggil Si Lancang. Lancang, sini nak. Iya, bu. SI Lancang menjawab. Beberapa hari kemudian Si Lancang pun bersiapsiap untuk merantau. Sebelum ia merantau ia meminta izin pada ibu dan guru ngajinya. Ibunya pun berpesan agar di rantau orang kelak Si Lancang selalu berbuat kebaikan, serta jangan melupakan ibu yang ada di kampung. Kalau kamu sudah senang janganlah kamu lupa akan asal-usul kehidupanmu nak. Dan janganlah berlaku sombong kepada orang lain. Iya bu, Lancang janji. Kalau Lancang sudah mendapat pekekerjaan di rantauan orang. Lancang akan pulang menemui ibu di kampung. Ibunya menjadi terharu saat Si Lancang menyembah lututnya untuk minta berkah. Ibunya membekalinya sebungkus lumping dodak, kue kegemaran Si Lancang Setelah beberapa tahun merantau, ternyata Si Lancang sangat beruntung. Ia menjadi saudagar yang kaya raya. Ia memiliki berpuluh-puluh buah kapal dagang. Dengan kekayaan yang ia perolehi ia lupa akan kampung halaman yang ia tempati sejak lahir. Dikabarkan ia mempunyai tujuh orang istri. Mereka semua

berasal dari keluarga saudagar yang kaya. Sedangkan ibunya, masih tinggal di Kampar dalam keadaan yang sangat miskin. Pada suatu hari, Si Lancang berlayar menuju ke Andalas. Ia berlayar bersama-sama ke tujuh istrinya dan prajuritnya. Dengan perbekalan alat-lat musik, kain sutera, aneka hiasan emas dan perak yang dibawa. Semuanya itu dibawa untuk memperlihatkan kemegahan, kekayaan yang dimilikinya. Ketika kapal Si Lancang melabuh di Kampar, alatalat musik pun di mainkan dengan riuh rendah. Berita kedatangan Si Lancang di dengar oleh seluruh masyarakat yang ada di kampung, begitu juga ibu Si Lancang yang sedang sakit. Dengan keadaan sakit, ibu Si Lancang berusaha untuk melangkah untuk menemui Si Lancang, anak kesayang yang ia tunggukan selama bertahun-tahun. Dengan rasa ibah, terharu serta rasa tidak berdaya ibunya pun tegar untuk menyambut kedatangan anak satu-satunya. Dengan keadaan yang ibunya tua renta, miskin, yang hanya memakai pakaian yang compang -camping yang ditempelkan dengan kain lain, sarung yang using tidak Nampak corak warna lagi, serta menggunakan kain selendang tua. Dengan memberanikan diri dia naik ke geladak kapal mewahnya Si Lancang. Lancang.., ini ibu nak. Kamu siapa? Kata lancang. Aku ibumu, nak. Ibu? Aku tidak memiliki ibu seperti kamu. Ibuku tidak sepertimu yang buruk rupa. Pergi kamu, kata Si Lancang. Ibunya, tetap tidak mau berajak dari kapal tersebut. Si Lancang pun memerintah prajuritnya, untuk menyeret ibunya, pergi dari kapalnya. Melihat kejadian tersebut, ke tujuh istrinyapun tercengang. Apa ia itu ibu Si Lancang. Rasa keraguan muncul di dalam hati para isrtinya. Salah satu dari isrtinya bertanya kepada Si Lancang yaitu istri pertamanya. Apa benar itu ibumu? Lancang menjawab, bukan, dia bukan ibuku. Dan tidak mungkin juga ibuku seperti itu rupanya. Kalau benar itu ibumu, tidak apa-apa, kata istrinya dengan berkata lembut. Bukan bukan dia bukan ibuku, dia orang tua gila. Sebenarnya Si Lancang mengetahui bahwa yang ia usir tersebut adalah ibunya. Tetapi, ia menahan rasa malunya terhadap para istrinya.Akhirnya, ibunya pun pulang dengan perasaan hampa, luka, hancur, kesal. Karena, anak yang selama ini di sanjung-sanjung ternyata tidak mengakui akan dirinya. Sesampainya di rumah, lalu ia mengambil pusaka miliknya. Pusaka itu berupa lesung penumbuk padi dan sebuah nyiru. Sambil berdoa, lesung itu diputar-putarnya dan dikibas-kibaskannya nyiru pusakanya. Ia pun berkata, ya Tuhanku hukumlah si Anak durhaka itu. Dengan seketika, datanglah badai topan. Badai yang sangat besar sehingga dalam sekejap menghancurkan kapal-kapal dagang milik Si Lancang. Bukan hanya kapal itu hancur berkeping-keping, harta benda miliknya juga terbang ke mana-mana. Kain suteranya melayang-layang dan jatuh menjadi negeri Lipat Kain yang terletak di Kampar Kiri. Gongnya terlempar ke Kampar Kanan dan menjadi Sungai Oguong. Tembikarnya melayang menjadi Pasubilah. Sedangkan tiang bendera kapal Si Lancang terlempar hingga sampai di sebuah danau yang diberi nama Danau Si Lancang.

Bentuk cerita yang diperolehi dari sumber yang lain. Si Lancang (Kampar) Konon, pada zaman dahulu kala, hiduplah seorang wanita miskin dengan anak laki-lakinya yang bernama si Lancang. Mereka berdua tinggal di sebuah gubuk reot di sebuah negeri bernama Kampar. Ayah si Lancang sudah lama meninggal dunia. Emak Lancang bekerja menggarap ladang orang lain, sedangkan si Lancang menggembalakan ternak tetangganya.Pada suatu hari, si Lancang betul-betul mengalami puncak kejenuhan. Ia sudah bosan hidup miskin. Ia ingin bekerja dan mengumpulkan uang agar kelak menjadi orang kaya. Akhirnya ia pun meminta izin emaknya untuk pergi merantau ke negeri orang. Emak, Lancang sudah tidak tahan lagi hidup miskin. Lancang ingin pergi merantau, Mak! mohon si Lancang kepada emaknya. Walaupun berat hati, akhirnya emaknya mengizinkan si Lancang pergi. Baiklah, Lancang. Kau boleh merantau, tetapi jangan lupakan emakmu. Jika nanti kau sudah menjadi kaya, segeralah pulang, jawab Emak Lancang mengizinkan. Mendengar jawaban dari emaknya, si Lancang meloncatloncat kegirangan. Ia sudah membayangkan dirinya akan menjadi orang kaya raya di kampungnya. Ia tidak akan lagi bekerja sebagai pengembala ternak yang membosankan itu. Emak Lancang hanya terpaku melihat si Lancang meloncat loncat. Ia ia tampaknya sedih sekali akan ditinggal oleh anak satu-satunya. Melihat ibunya sedih, si Lancang pun berhenti meloncat-lonta, lalu mendekati emaknya dan memeluknya. Janganlah bersedih, Mak. Lancang tidak akan melupakan emak di sini. Jika nanti sudah kaya, Lancang pasti pulang Mak, kata si Lancang menghibur emaknya. Emaknya pun menjadi terharu mendengar ucapan dan janji si Lancang, dan hatinya pun jadi tenang. Lalu si Emak berkata, Baiklah Nak! Besok pagipagi sekali kamu boleh berangkat. Nanti malam Mak akan membuatkan lumping dodak untuk kamu makan di dalam perjalanan nanti. Keesokan harinya, si Lancang pergi meninggalkan kampung halamannya. Emaknya membekalinya beberapa bungkus lumping dodak makanan kesukaan si Lancang. Bertahun-tahun sudah si Lancang di rantauan. Akhirnya ia pun menjadi seorang pedagang kaya. Ia memiliki berpuluh-puluh kapal dagang dan ratusan anak buah. Istri-istrinya pun cantik-cantik dan semua berasal dari keluarga kaya pula. Sementara itu, nun jauh di kampung halamannya, emak si Lancang hidup miskin seorang diri. Suatu hari si Lancang berkata kepada istri-istrinya berlayar bahwa dia akan mengajak mereka berlayar ke Andalas. Istri-istrinya pun sangat senang. Kakanda, bolehkah kami membawa perbekalan yang banyak? tanya salah seorang istri Lancang. IyaKakanda, kami hendak berpesta pora di atas kapal, tambah istri Lancang yang lainnya. Si Lancang pun mengambulkan permintaan istri-istrinya tersebut. Wahai istri-istriku! Bawalah perbekalan sesuka kalian, jawab si Lancang. Mendengar jawaban dari si Lancang, mereka pun membawa segala macam perbekalan, mulai dari makanan hingga alat musik untuk berpesta di atas kapal. Mereka juga membawa kain sutra dan aneka perhiasan emas dan perak

untuk digelar di atas kapal agar kesan kemewahan dan kekayaan si Lancang semakin tampak.Sejak berangkat dari pelabuhan, seluruh penumpang kapal si Lancang berpesta pora. Mereka bermain musik, bernyanyi, dan menari di sepanjang pelayaran. Hingga akhirnya kapal si Lancang yang megah merapat di Sungai Kampar, kampung halaman si Lancang. Hai ! Kita sudah sampai ! teriak seorang anak buah kapal. Penduduk di sekitar Sungai Kampar berdatangan melihat kapal megah si Lancang. Rupanya sebagian dari mereka masih mengenal wajah si Lancang. Wah, si Lancang rupanya! Dia sudah jadi orang kaya, kata guru mengaji si Lancang. Megah sekali kapalnya. Syukurlah kalau dia masih ingat kampung halamannya ini, kata teman si Lancang sewaktu kecil. Dia lalu memberitahukan kedatangan si Lancang kepada emak si Lancang yang sedang terbaring sakit di gubuknya. Betapa senangnya hati emak si Lancang saat mendengar kabar anaknya datang. Oh, akhirnya pulang juga si Lancang, seru emaknya dengan gembira. Dengan perasaan terharu, dia bergegas bangkit dari tidurnya, tak peduli meski sedang sakit. Dengan pakaian yang sudah compang-camping, dia berjalan tertatih-tatih untuk menyambut anak satu-satunya di pelabuhan.Sesampainya di pelabuhan, emak si Lancang hampir tidak percaya melihat kemegahan kapal si Lancang anaknya. Dia tidak sabar lagi ingin berjumpa dengan anak satu-satunya itu. Dengan memberanikan diri, dia mencoba naik ke geladak kapal mewahnya si Lancang. Saat hendak melangkah naik ke geladak kapal, tiba-tiba anak buah si Lancang menghalanginya. Hai perempuan jelek! Jangan naik ke kapal ini. Pergi dari sini! usir seorang anak buah kapal si Lancang. Tapi , aku adalah emak si Lancang, jelas perempuan tua itu. Mendengar kegaduhan di atas geladak, tiba-tiba si Lancang yang diiringi oleh istri-istrinya tiba-tiba muncul dan berkata, Bohong! Dia bukan emakku. Usir dia dari kapalku, teriak si Lancang yang berdiri di samping istri-istrinya. Rupanya ia malu jika istri-istrinya mengetahui bahwa wanita tua dan miskin itu adalah emaknya.Oh, Lancang , Anakku! Emak sangat merindukanmu, Nak , rintih emak si Lancang. Mendengar rintihan wanita tua renta itu, dengan congkaknya si Lancang menepis, lalu berkata, manalah mungkin aku mempunyai emak tua dan miskin seperti kamu. Kemudian si Lancang berteriak, Kelasi! Usir perempuan gila itu dari kapalku! Anak buah si Lancang mengusir emak si Lancang dengan kasar. Dia didorong hingga terjerembab. Kasihan sekali Emak Lancang. Sudah tua, sakit-sakitan pula. Sungguh malang nasibnya. Hatinya hancur lebur diusir oleh anak kandungnya sendiri. Dengan hati sedih, wanita tua itu pulang ke gubuknya. Di sepanjang jalan dia menangis. Dia tidak menyangka anaknya akan tega berbuat seperti itu kepadanya. Sesampainya di rumah, wanita malang itu mengambil lesung dan nyiru pusaka. Dia memutar-mutar lesung itu dan mengipasinya dengan nyiru sambil berdoa, Ya, Tuhanku. Si Lancang telah kulahirkan dan kubesarkan dengan air susuku. Namun setelah kaya, dia tidak mau mengakui diriku sebagai emaknya. Ya Tuhan, tunjukkan padanya kekuasaan-Mu!Dalam sekejap, tiba-tiba angin topan berhembus dengan dahsyat. Petir menggelegar menyambar kapal si Lancang.

Gelombang Sungai Kampar menghantam kapal si Lancang hingga hancur berkeping-keping. Semua orang di atas kapal itu berteriak kebingungan, sementara penduduk berlarian menjauhi sungai.Emaaak, si Lancang anakmu pulang. Maafkan aku, Maaak! terdengar sayup-sayup teriakan si Lancang di tengah topan dan badai. Namun, malapetaka tak dapat dielakkan lagi. Si Lancang dan seluruh istri dan anak buahnya tenggelam bersama kapal megah itu.Barang-barang yang ada di kapal si Lancang berhamburan dihempas badai. Kain sutra yang dibawa si Lancang dalam kapalnya melayang-layang. Kain itu lalu berlipat dan bertumpuk menjadi Negeri Lipat Kain yang terletak di Kampar Kiri. Sebuah gong terlempar dan jatuh di dekat gubuk emak si Lancang di Rumbio, menjadi Sungai Ogong di Kampar Kanan. Sebuah tembikar pecah dan melayang menjadi Pasubilah yang letaknya berdekatan dengan Danau si Lancang. Di danau itulah tiang bendera kapal si Lancang tegak tersisa. Bila sekali waktu tiang bendera kapal si Lancang itu tiba-tiba muncul ke permukaan danau, maka pertanda akan terjadi banjir di Sungai Kampar. Banjir itulah air mata si Lancang yang menyesali perbuatannya karena durhaka kepada emaknya. Sejak peritiwa itu, masyarakat Kampar meyakini bahwa meluapnya sungai Kampar bukan saja disebabkan oleh tingginya curah hujan di daerah ini, tetapi juga disebabkan oleh munculnya tiang kapal si Lancang di Danau Lancang. Kabupaten Kampar yang masuk dalam wilayah Propinsi Riau ini, sangat rawan dengan banjir. Hampir setiap tahun Sungai Kampar meluap, sehingga menyebabkan banjir besar yang bisa merendam pemukiman penduduk di sekitarnya. Situs atau Sumber: seasite.niu.edu Menceritakan kembali dari cerita di atas. 2. SI LANCANG (KAMPAR) Pada zaman dahulu ada sebuah keluarga miskin di daerah Kampar. Seorang ibu dan seorang anak laki-lakinya yang bernama si Lancang. Ibu dan anaknya bertempat tinggal digubuk kecil yang tidak berbentuk gubuk lagi. Seharihariannya ibunya dan Lancang pergi berladang. Dengan upah menggarap ladang orang lain yang tak seberapa itulah untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari hari. Pada suatu ketika timbullah rasa kejenuhan kepada diri Lancang. Dia jenuh menjadi orang miskin terus. Selalu dikucil, tak dianggap oleh masyarakat kampungnya. Pada suatu ketika hatinya bergejolak tekad untuk mencari pekerjaan yang memperoleh kekayaan yang sebanyak -banyaknya. Akhirnya dia memutuskan untuk merantau. Dia pun meminta izin kepada ibunya untuk pergi merantau ke negeri orang. bu, lancang tidak tahan lagi menjadi orang miskin, selalu dihina. Lancang bosan Bu, lancang ingin merubah kehidupan kita agar menjadi lebih baik dari sebelumnya. bu, Lancang ingin merantau. Bu, kata Lancang kepada ibunya. Ibunya terdiam, tidak berkata apa-apa. Tidak lama kemudian, dengan hati yang sedih ibunya berkata baiklah, nak kamu beleh merantau. Tapi, kamu jangan lupa sama ibu ya nak, jangan lupa atas kesusahanmu selama ini, dan jangan lupa kampungmu. Dengan kegirangan Lancang pun berkata hore, aku bisa merantau. Ibu lancang hanya terdiam saja melihat kegirangan si lancang. Sejenak, lancang berhenti seketika. Dia melihat wajah ibunya yang sedih. Dia pun mendekat dan

berkata kepada ibunya. Bu, lancang janji lancang tidak akan melupakan ibu dan kampung. Nanti, kalau lancang sudah kaya. Lancang akan kembali ke kampung. Lalu si ibu senyum tipis tersepu sedih. Besok pagi-pagi sekali kamu boleh berangkat. Nanti malam Mak akan membuatkan lumping dodak untuk kamu makan di dalam perjalanan nanti. Keesokkan harina lancang pun pergi berlayar. Di suatu daerah, selama beberapa tahun kemudian si lancang pun menjadi pedagang kaya raya.dia memiliki kapal, puluhan kapal, prajurid, ratusan prajurit, emas, perak yang begitu tidak akan habis tujuh keturunan. Di daerah perantaunya, ia menikah dengan anak saudagar kaya. Ia memiliki tujuh istri dari anak saudagar kaya-kaya. Pada suatu hari si lancang berlayar ke Andalas bersama dengan istri dan prajuritnya serta alat musik, barang-barang berharga seperti emas, perak, kain sutera. Dalam perjalanan si lancang beserta istri dan pengikutnya yang lain berpesta dengan memainkan alat musik serta makan-makan. Tak lama kemudian terlihatlah sebuah daerah yang ditujunya yaitu Andalas. Kapalnya pun hajmpir mendekat kedaerah tersebut. Dan akhirnya, si lancang melabuh di daerah tersebut serta dengan riuh gendang gendang dan alat musik yang lainya membuat terdengar masyarakat kampung di sana. Bahwa ada yang melabuh. Ternyata masyarak setempat masih mengenali wajah lancang. Salah satu dari temannya lancang kemarin pun mengabarkan kedatangan si lancang kepada ibu lancang. Dengan keadaan tua renta, berpakain seadanya ibunya lancang pun bergegas menuju ke pelabuhan untuk melihat anaknya yang telah lama ia nantikan. Setelah sampai di pelabuhan ibunya pun berkata lancang, lancang, tetapi teriakan ibunya tidak didengarkan oleh si lancang. Akhirnya ibunya memberanikan diri, dengan keadaan tua renta ibunya menaiki kapal si lancang. Sambil menaiki, ibunya berkata lancang, kamu sudah kaya nak. Lalu langsung ia menemui lancang. Lancang, ini aku ibumu nak. Kamu? Sebenarnya malin mulia mengingat siapa orang tua itu. Ternyata orang tua itu adalah ibunya. Oh, ibuku. Ibu, yang telah lama aku tinggalkan sendiri di kampung ini. Ibu yang telah melahirkanku, ibu yang telah memanjakanku. Rasa itu hilang begitu saja. Entah kenapa lancang mengungkapkan kamu bukan ibuku. Nak, ini aku ibumu. Kamu sudah lupa nak. Jawab lancang Tidak, kamu bukan ibuku. Untuk menutupi rasa malu terhadap istrinya bahwa itu adalah ibunya si lancang langsung mengusir dan menyuruh prajuritnya untuk menyeret ibunya turun dari kapal. Ibunya dilempar, dan terjatuh ke pasir. Rasa sakit, rasa kesal dari ibunya terucap doa dari ibunya. Ibunya berkata Ya Allah jika benar itu adalah anakku maka berilah ia suatu peringatan dan jika ia bukan ya Allah selamatkanlah pelayarannya. Pada saat itu juga, suasuana yang awalnya cerah berubah menjadi mendung, di selimuti awan gelap, Gemuruh mulai bersuara, petir mulai menampakkan dirinya. Bercampur dengan angin yang begitu kencang-sekencangnya menggulungkan serta menghancurkan semua barang-barang yang si lancang bawa. Lancang, istri beserta prajuridnya tenggelam. Kain sutera tercampak, kain itu lalu berlipat dan bertumpuk menjadi Negeri Lipat Kain yang terletak di Kampar Kiri. Sebuah gong terlempar dan jatuh di dekat gubuk emak si Lancang di Rumbio, menjadi Sungai Ogong di Kampar Kanan. Sebuah tembikar pecah dan

melayang menjadi Pasubilah yang letaknya berdekatan dengan Danau si Lancang. Di danau itulah tiang bendera kapal si Lancang tegak tersisa. Bila sekali waktu tiang bendera kapal si Lancang itu tiba-tiba muncul ke permukaan danau, maka pertanda akan terjadi banjir di Sungai Kampar. Banjir itulah air mata si Lancang yang menyesali perbuatannya karena durhaka kepada emaknya. Bentuk cerita yang diperolehi dari sumber yang lain. Legenda Batang Tuaka (Indragiri Hilir) Konon, nama Sungai Batang Tuaka diambil dari sebuah cerita legenda yang populer di kalangan masyarakat Indragiri Hilir. Legenda tersebut mengisahkan tentang seorang anak yang durhaka kepada emaknya, sehingga Tuhan menghukum anak itu karena kedurhakaannya. Siapakah anak durhaka itu? Bagaimana anak itu durhaka kepada emaknya? Hukuman apa yang Tuhan berikan padanya? Untuk mengetahui jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, ikuti kisahnya dalam Legenda Batang Tuaka. Alkisah, pada zaman dahulu kala, di daerah Indragiri, Riau, Indonesia, hiduplah seorang janda tua bersama anak lakilakinya bernama Tuaka. Mereka hidup berdua di sebuah gubuk yang terletak di muara sebuah sungai (tepatnya di muara sungai Indragiri Hilir). Mereka tak punya sanak-saudara dan harta sedikit pun. Meskipun hidup miskin, mereka tetap saling menyayangi. Untuk hidup sehari-hari Tuaka membantu emaknya mengumpulkan kayu api dari hutan-hutan di sekitar tempat tinggal mereka. Ayah Tuaka sudah lama meninggal dunia, dengan demikian emaknya harus bekerja keras menghidupi dirinya dan anak laki-lakinya, Tuaka. Suatu hari, Tuaka bersama emaknya pergi ke hutan di sekitar sungai. Mereka mencari kayu api untuk dijual dan untuk memasak seharihari. Setelah memperoleh kayu api cukup banyak, mereka berdua akhirnya pulang. Mak, kalau Emak lelah biarlah Tuaka saja yang menggendong kayu apinya, kata Tuaka saat melihat emaknya kelelahan. Tak apa, Tuaka. Emak masih kuat. Lagi pula, kayu bakar yang ada padamu juga banyak, jawab Emak Tuaka sambil melanjutkan langkahnya. Di tengah perjalanan pulang, Tuaka dan emaknya dikejutkan oleh suara desisan yang cukup keras. Mak! Suara apa itu?, tanya Tuaka pada emaknya. Sepertinya itu suara ular berdesis, jawab emaknya. Ternyata benar, tak jauh dari mereka, dari arah tebing sungai tampak dua ekor ular besar sedang bertarung. Tampaknya mereka sedang memperebutkan sebuah benda. Tuaka, sembunyilah. Ada ular besar yang sedang berkelahi, perintah Emak Tuaka. Tuaka dan emaknya segera berlindung di balik sebuah pohon yang cukup besar. Dari balik pohon itu, Tuaka dan emaknya terus menyaksikan dua ekor ular itu saling bergumul dan belit-membelit. Apa yang mereka perebutkan, Mak? tanya Tuaka. Mak juga tak tahu! Diamlah Tuaka, nanti mereka mengetahui keberadaan kita, jawab Emak Tuaka dengan suara berbisik. Tak lama kemudian, perkelahian kedua ekor ular tersebut akhirnya usai. Tuaka dan emaknya keluar dari balik pohon, lalu mendekat ke tempat kejadian itu.

Mereka mendapati salah satu ular sudah mati, sedangkan ular lainnya terluka. Ular yang terluka itu menggigit sebuah benda berkilau, yang ternyata adalah sebutir permata (kemala) yang sangat indah. Ular itu tampak kesakitan oleh luka-lukanya. Mak, kasihan ular yang terluka itu. Mari kita tolong, kata Tuaka kepada emaknya dengan nada mengajak. Ya, mari kita bawa pulang, supaya kita bisa obati di rumah, jawab Emak Tuaka. Tuaka memasukkan ular itu ke dalam keranjang yang dibawa emaknya, lalu memanggulnya pulang. Sampai di rumah, Emak Tuaka segera mencari daundaunan yang berkhasiat, menumbuknya, lalu membubuhkannya pada luka-luka di tubuh ular itu, sedangkan Tuaka sibuk memberinya minum air sejuk. Beberapa hari kemudian, ular yang sudah mulai sembuh itu tiba-tiba hilang dari keranjang. Permata yang selalu dialindungi di dalam lingkaran badannya ditinggalkan di dalam keranjang. Tuaka dan emaknya terheran-heran, lalu mereka mengamati parmata itu dengan kagum. Mengapa ular itu meninggalkan permatanya, Mak? tanya Tuaka kepada emaknya. Berangkali dia ingin berterima kasih kepada kita, karena kita sudah menolongnya. Sebaiknya kita jual saja permata ini kepada saudagar. Uangnya kita gunakan untuk berdagang supaya kita tidak hidup misikin lagi, jawab Emak Tuaka penuh rasa syukur. Tuaka pun setuju dengan tawaran emaknya.Keesokan harinya, Tuaka pergi ke bandar yang ramai dengan para saudagar. Sesampai di bandar, Tuaka berkeliling kesana-kemari mencari saudagar yang berani membeli permatanya dengan harga yang tinggi. Hampir semua saudagar di bandar itu ia tawarkan, namun tak ada yang berani membelinya. Tuaka pun mulai putus asa. Tuaka berniat membawa pulang pertama itu kepada emaknya. Namun, ketika sampai di ujung bandar, tiba-tiba ia melihat seorang saudagar yang sepertinya belum ia tawarkan. Tuaka menghampiri saudagar itu, kemudian menawarkan permatanya dengan harga yang tinggi. Tampaknya, saudagar itu sangat tertarik setelah mengamati permata berkeliau itu. Aduhai elok sangat batu permata ini! Aku sangat ingin memilikinya. Harga yang kau tawarkan itu memang tinggi, tapi aku tetap akan membelinya, kata sang Saudagar. Kalau begitu, apa lagi yang Tuan tunggu? Tuan hanya tinggal membayarnya, desak Tuaka dengan hati berdebar karena bahagia. Uang yang aku bawa tak cukup, Nak! Jika kamu mau, kamu boleh ikut denganku ke Temasik untuk mengambil kekurangannya, kata sang Saudagar. Tuaka tampak termenung sejenak memikirkan tawaran sang Saudagar. Ehm, baiklah Tuan. Saya nak ikut Tuan ke Temasik, jawab Tuaka. Setelah itu, Tu aka pulang ke rumahnya untuk menceritakan masalah ini pada emaknya. Akhirnya, Emak Tuaka mengizinkannya berangkat ke Temasik (Singapura). Tuaka dan saudagar kaya itu berlayar menuju Temasik. Sepanjang perjalanan, Tuaka tak henti-hentinya membayangkan betapa banyak uang yang akan diperolehnya nanti. Setibanya di Temasik, sang Saudagar membayar uang pembelian permata kepada Tuaka. Karena uang yang berlimpah tersebut, Tuaka lupa kepada ibu dan kampung halamannya. Dia menetap di Temasik. Beberapa tahun kemudian dia telah menjadi saudagar kaya. Dia menikah dengan seorang gadis elok rupawan. Rumah Tuaka sangatlah megah, kapalnya pun banyak. Hidupnya bergelimang dengan kemewahan. Dia tak

lagi peduli emaknya yang miskin dan hidup sendirian, entah makan entah tidak . Suatu ketika, Tuaka mengajak istrinya berlayar. Kapal megah Tuaka berlabuh di kampung halaman Tuaka. Sebenarnya Tuaka masih ingat dengan kampung halamannya tersebut. Akan tetapi, rupanya dia enggan menceritakan kepada istrinya bahwa di kampung yang mereka singgahi tersebut emaknya masih hidup di sebuah gubuk tua. Dia tak mau istrinya mengetahui bahwa dirinya adalah anak seorang wanita yang sudah tua-renta dan miskin. Sementara itu, berita kedatangan Tuaka terdengar pula oleh emaknya. Emaknya bergegas menyongsong kedatangan anak lelakinya yang bertahun-tahun tak terdengar kabar beritanya tersebut. Karena rindu tak terbendung ingin bertemu anaknya, Emak Tuaka pun bersampan mendekati kapal megah Tuaka. Tuaka, Anakku. Emak sangat merindukanmu, Nak! teriak Emak Tuaka saat melihat Tuaka dan istrinya di atas kapal megah itu. Siapa gerangan wanita tua itu, Kakanda? Mengapa dia menyebut Kakanda sebagai anaknya? tanya istri Tuaka dengan wajah tidak senang. Tuaka terkejut bukan kepalang melihat emaknya di atas sampan berteriak memanggilnya. Dia tahu wanita dengan pakaian compang-camping itu memang emaknya, tetapi dia tak sudi mengakuinya. Dia sangat malu pada istrinya. Hei, jauhkan wanita miskin itu dari kapalku. Dasar orang gila tak tahu diri! Beraninya dia mengaku sebagai emakku, teriak Tuaka dari atas kapal. Ya, usir dia jauh jauh dari sini, tambah istri Tuaka sambil bertolak pinggang. Mendengar perintah dari tuannya, anak buah Tuaka segera mengusir wanita miskin nan malang itu menjauh dari kapal. Emak Tuaka sangat bersedih. Sambil menangis dia bersampan menjauhi kapal Tuaka. Oh, Tuhan. Ampunilah dosa Tuaka karena telah durhaka kepadaku. Berilah dia peringatan agar menyadari kesalahannya, ratap Emak Tuaka. Rupanya Tuhan mendengar doa Emak Tuaka. Sesaat setelah doa Emak Tuaka terucap, tiba-tiba Tuaka berubah menjadi seekor burung elang. Begitu pula istri Tuaka, dia berubah menjadi seekor burung punai. Emak Tuaka sangat terkejut dan sedih melihat anaknya berubah menjadi burung. Walaupun Tuaka telah menyakiti hatinya, sebagai seorang ibu ia sangat mencintai anaknya. Burung elang dan burung punai tersebut terbang berputar-putar di atas muara sungai sambil menangis. Air mata kedua burung itu menetes, membentuk sungai kecil yang semakin lama semakin besar. Sungai itu kemudian diberi nama Sungai Tuaka. Kemudian oleh masyarakat setempat mengganti kata sungai ke dalam bahasa Melayu menjadi batang, sehingga nama Sungai Tuaka berubah menjadi Batang Tuaka. Sejak itu pula, daerah di sekitar muara sungai tersebut diberi nama Batang Tuaka yang kini dikenal dengan Kecamatan Batang Tuaka yang masuk dalam wilayah Kabupaten Indragiri Hilir, Riau, Indonesia.Masyarakat Melayu Indragiri, baik di hilir maupun hulu sungai, meyakini legenda ini benar-benar pernah terjadi pada zaman duhulu kaladisekitarmuara sungai Indragiri. Jika ada suara jerit elang berkulik pada siang hari disekitar muara Sungai Tuaka, masyarakat setempat meyakini bahwa suara burung tersebut sebagai penjelmaan Tuaka yang menjerit memohon ampuan kepada emaknya. Situs:http://melayuonline.com/ind/culture/dig/1335/legenda-batang-tuaka

Menceritakan kembali dari cerita di atas. 3. BATANG TUAKA (INDRAGIRI HILIR) alkisah tersebutlah sudah di daerah Indragiri Hilir seorang anak yang bernama Tuaka. Adalah anak yang merantau mengambil uang batu permata di Temasik (Singapore). Tetapi, dia lupa akan pesan ibunya serta kampung halamannya. Dia tidak mengakui ibunya serta isrtinya menghardik ibunya. Akhirnya Tuaka dan istrinya berubah menjadi burung elang dan burung punai. Tetesan air matanya membentuk sebuah sungai yang disebut sungai Tuaka atau Batang Tuaka. Itulah seputar kisah Batang Tuaka menceritakan tentang anak yang durhaka kepada orang tuanya (Ibu). Jangan durhaka kepada orang tua Allah akan murka , jangan lupa diri setelah kekayaan menyelimuti. Jalan ceritanya sama dengan Cerita Si Lancang memiliki alur maju. Tokoh Tuaka yang kasar dan sombong kepada ibunya mendapat imbalan yang setimpal dengan perbuatannya sehingga ia menjadi seekor burung elang. Dalam kisah ini penokohan menggunakan nama sebagai sudut pandang orang ketiga. Gaya

personifikasi dan gaya perumpamaan. Dari cerita Tuaka, dapat dijadikan pelajaran bahwa seorang anak janganlah durhaka kepada orang tua karena, segala sesuatu akan terjadi. Karena, Allah akan murka. Hubungan antara unsur intrinsik dan ekstrinsik sangat berkaitan. Adalah adanya konflik batin tokoh terhadap situsi atau kedaan disekitarnya. Dengan kedaan perkampungan yang pengetahuan akan nilai agama, nilai moral yang cepat luntur terhadap suatu keadaan baru yaitu keadaan tempat (setting). Dengan di dukung pemikiran yang sederhana maka seseorang tersebut akan berpengaruh dengan keadaan yang ia ikutkkan sekarang. Lingkungan atau keberadaannya sekarang sangat berpengaruh dengan diri seseorang seperti Tuaka. Cerita Tuaka ini, sangatlah bagus karena mengandung nilai pendidikan, agar anak-anak tidak durhaka kepada orang tua. Dengan perlakuan Tuaka kepada ibunya itu akan membuktikan kehendak Allah yang akan terjadi, Allah murka kepada anak yang durhaka. Dalam karya

sastra sesuatu yang bernilai atau memiliki manfaat, dan ba nyak penilaian yang berbeda terhadap pembaca itu menunjukkan keberhasilan sebuah karya sastra tersebut. Konon pada zaman dahulu, hiduplah sebuah keluarga di daerah indragiri hilir. Dimana pada sebuah keluarga tersebut terdapat sepasang suami istri dan memiliki seorang anak lelaki. Anaknya diberi nama Tuaka. Tak lama kemudian ayah Tuaka meninggal. Akhirnya mereka hidup hanya dua beranak yaitu ibunya yang sudah menjanda dan seorang anak laki-laki yaitu Tuaka. Semenjak kematian ayahnya, tak ada lagi yang menafkahi kehidupan mereka. Sehingga Tuaka dan ibunya bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan cara, mencari kayu untuk dijual di pasar. Pada keesokan harinya Tuaka dan ibunya pergi ke hutan untuk mencari kayu-kayu. Hal uang kayu tersebut guna untuk menafkahi kehidupan mereka setiap hari. Setelah memasuki hutan, Tuaka dan ibunya berpisah mengambil kayu. Kayu yang diperolehi Tuaka lumayan banyak. Ibunya pun memperolehi kayu lumayan banyak. Di suatu ketika mereka beristirahat sejenak. Setelah melepaskan lelah Tuaka dan ibunya bergegas pulang untuk mengikatkan kayu-kayu yang diperoleh, yang akan dijual ke pasar. Dalam perjalanan pulang ke rumah. Tuaka dan ibunya terdengar suara yang mendesis seperti suara ular. Ternyata apa yang dilihat oleh Tuaka dan ibunya yaitu dua ekor ular yang sedang berkelahi mantap untuk memperbutkan batu permata. Ahirnya, salah satu dari ular tersebut mati, dan akhirnya yang satu lagi menang dalam perkelahian dengan keadaan yang luka-luka. Tuaka dan ibunya membantu ular tersebut. Mereka membawa ular tersebut pulang. Dan mereka memberi perawatan kepada ular tersebut dengan obat-obatan dedaunan dan diletekkan Tuaka ular tersebut di suatu tempat seperti raga. Pada keesokan harinya, Tuaka melihat. Ha, mana ularnya. Ternyata ular tersebut telah pergi dan meninggalkan batu permata yang diperolehinya pada saat berkelahi. Lalu, Tuaka memanggil ibunya. Bu, ibu, kata Tuaka. ada apa nak ibunya menjawab. Bu, ularnya sudah tidak ada dan yang tinggal hanya sebuah batu permata. Dengan adanya batu permata tersebut. Ibu dan Tuaka bertekad untuk menjualnya kepada tokoh penjual permata. Mereka pun pergi ke pasar, sesampai di pasar. Mereka pun menawarkan ke setiap tokoh penjual permata ternyata tidak ada yang berani membelinya. Karena, harya tawaran yang akan di julkan oleh Tuaka terlalu mahal. Dan tinggallah satu toko lagi yang belum ia pergi. Akhirnya, pemilik toko tersebut sangat tertarik dengan batu permata tersebut. Ia pun ingin membelinya dengan syarat hanya bisa membayarnya separuh harga terlebih dahulu. jika tuan ingin segera pembayarannya maka hendaklah tuan ikut saya mengambil uang di Temasik kata pemilik toko tersebut. Lalu, Tuaka bertanya kepada ibunya. Bagaimana bu? Terserah kamu. Boleh saya pergi ke temasik bu? kata Tuaka bertanya kepada ibunya. Baiklah kamu boleh pergi ketemasik (singapore), tetapi setelah kamu memperoleh uang tersebut cepat-cepatlah pulang ke kampung ya nak kata ibunya. Baik bu jawab Tuaka.

Keesokan harinya Tuaka dan pemiliki toko permata tersebut pun pergi berangkat ke Temasik. Sesampai di Temasik, uang sudah didapatkan oleh Tuaka. Ternyata tuaka, lupa akan janjinya kepada ibunya. Karena uang Tuaka lupa akan ibunya yang ada di kampung yang hidup melarat. Beberapa bulan lamanya Tuaka pun telah memiliki istri yang cantik, ayahnya saudagar kaya. Seketika Tuaka, menginginkan bulan madunya mengajak istrinya berlayar ke kampung halamannya. Setibanya kapal yang kokoh dan indah miliki Tuaka berada di kampung halamannya. Sang istri tidak mengetahui keberadaan tentang kampung Tuaka tersebut dan Tuaka pun tidak mau mengetahui tentang kampungnya. Pada suatu ketika ada seorang nenek tua datang menghampiri kapal Tuaka tersebut dan berkata Tuaka, ini aku ibumu nak. Tua mengetahui soerang nenek tua, yang penampillannya tak seberapa itu adalah ibuny. Lalu sang istri bertanya kakanda siapakah nenek tua itu. apakah itu ibumu? Tuaka menjawab tidak, dia bukan ibuku. Tak lama kemudian, ibunya memanggil lagi, Tuaka, ini aku ibumu nak. Kamu ibuku! Tidak! Kamu bukan ibuku! Pergi kamu! Sang istri pun mengusir nenek tua tersebut. Iya, per kamu. Dasar orang gila. Enak-enak saja kamu mengakui aku ibumu kata Tuaka. Ibu Tuaka bersedih melihat kejadian tersebut. Ia pun berdoa, oh Tuhan, ampunilah dosa Tuaka yang telah durhaka kepadaku.dan berikanlah peringatan kepada dia agar dia menjadi anak yang patuh kepada orang tua. Ternyata ucapan sang ibu yang telah melahirkannya terkabulkan seketiki itu juga. Akhirnya Tuaka berubah menjadi burung elang dan istrinya berubah menjadi burung punai. Air mata burung tersebut menentes sehingga membentuk sebuah sungai dan sungai tersebut diberi nama sungai Tuaka. Kata lain dari sungai yaitu batang, diubah menjadi Batang Tuaka. Bentuk cerita yang diperolehi dari sumber yang lain. Pulau Legenda Dedap Durhaka (Bengkalis, Pulau Merbau) Legenda Dedap Durhaka ~ Kisah Malinkundang di Padang, Sumbar yang durhaka pada ibunya juga dimiliki masyarakat Bengkalis, tepatnya di Pulau Legenda Dedap Durhaka yang berlokasi di Selat Bengkalis, Kecamatan Merbau. Konon ada seorang anak lelaki Melayu yang telah merantau dan menjadi kaya raya bernama Dedap. Dia kemudian durhaka pada ibunya sehingga dikutuk.Di pulau ini terdapat pohon mempelam (mangga) yang buahnya memiliki dua rasa yaitu manis di bagian atasnya dan rasa asam di bagian bawahnya. Terdapat sepasang kera sebagai penunggu pulau cantik ini.Mithos Mempelam Manis dan Masam yang terdapat di Kuala Sungai Dedap.Lagenda turun temurun yang dipercaya tentang Dedap masih berlaku hingga saat ini. Dedap memang merupakan gugusan pulau kecil. Jika kita berlayar melintasi selat Bengkalis, pulau ini akan terlihat jelas. Pulau ini tidak ada penghuninya, menurut lagenda pulau ini terbentuk karena sumpah seorang ibu terhadap anaknya. Sang anak bernama Si Tanggang.Konon, kehidupan keluarga Tanggang sangat miskin, ibu dan ayahnya hidup dari mencari kayu bakar. Sesudah dewasa si Tanggang pergi merantau. Ibu Tanggang bernama Urai, seperginya Tanggang, ibu sangat berharap berjumpa kembali dengan anaknya. Saban hari ia berdoa untuk dipertemukan dengan Tanggang. Setelah sekian lama

merantau, si tanggang berhasil, namun karena telah kaya, si tanggang lupa pada orang tuanya. Bak kacang lupekan kulit. Kemashuran Tanggang sampai dimana-mana. Pada suatu hari, Tanggang dengan kekayaanya melakukan pesiar keliling pulau. Tibalah sampai ke kampungnya. Di situ Ibunya berniat bertemu dengan Tanggang dan mencoba naik ke kapal untuk bersua langsung dengan Tanggang. Ketika ibunya hendak naik ke kapal, tanggang tak mengakuinya dan ibu tersebut di pukul oleh anak buah Tanggang. Karena rasa sakit hati, lalu ibunya mengeluarkan kata-kata kasar kepada si tanggang. Kalau kau benar bukan anak aku, maka selamatlah engkau, dan kalau kamu benar anakku, maka musibahlah yang menimpamu setelah mengucapkan itu, ibunya dan ayahnya lalu pergi meninggalkan kapal tersebut, menuju kuala sungai Dedap, namun ketika itu turunlah Topan dan badai, sehingga kapal si dedap karam. Karena rasa kasihan, ibunya hendak berbalik, tapi ayahnya sudah terlalu sakit hati, sehingga mereka berlawanan, ibunya ingin kembali ke Tanggang sedangkan ayahnya tidak lagi mau menengok sitanggang lagi. Ada versi yang mengatakan, karena perlawanan itulah, perahu ibu se tanggang karam dan keduaduanya mati tenggelam. Dan ada pula versi lain yang mengatakan bahwa kedua orang tua tersebut meninggal setelah si tanggang jadi pulau. Konon katanyam, setelah kedua orang tua tersebut meninggal maka tumbuhlah Mempelam Manis dan Masam. Mempelam manis dan masam ini menggambarkan dua sikap orang tua Tanggang, yang baik dan buruk. Mempelam Manis adalah Sikap Ibunya si tanggang yang sudah memaafkan anaknya sedangkan masam adalah sikap ayahanda Tanggang yang murka pada anaknya Situs: http://manajemenemosi.blogspot.com/2011/06/legenda-dedap-durhaka.html Menceritakan kembali dari cerita di atas. 3. PULAU LEGENDA DEDAP DURHAKA (BENGKALIS, PULAU MERBAU) Pulau legenda dedap durhaka terdapat di kawasan bengkalis yaitu di kecamatan merbau. Kisah seorang anak yang durhaka kepada kedua orang tuanya. Pada suatu ketika,si tanggang ini merantau. Dan akhirnya ia lupa aka kehidupan asal-usul yang menghidupkannya. Dengan kemewahan yang ia perolehi di rantauan ia bermewah-mewahan dan tidak ingat lagi kepada kedua orang tuanya. Dia memiliki ibu namanya urai dan seorang ayah. Kehidupan sehari-hari ayah dan ibunya bekerja mencari kayu bakar untuk dijual di pasar. Perolehan hasil uang kayu tersebut untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Anak mereka bernama Tanggang. Setelah sekian lamanya Tanggang merantau, tidak sedikit pun tanggang ingat lagi akan orang tuanya. Di merata tempat nama Tanggang sudah banyak dikenali. Setelah beberapa tahun si Tanggang merantau tibalah giliran kampungnya yang akan dilabuhi. Ternyata Tanggang ingat akan kampung halamannya. Tetapi, di malu menceritakan asala usul dimana ia berada. Dia pun berlayar dengan beberapa anak buahnya. Setelah beberapa hari lamanya. Sampailah ke tempat tujuan yaitu kapal Tanggang melabuh di

kampungnya. Ketika ibu dan ayahnya hendak menaiki kapal si Tanggang bertujuan untuk memeluk dan memegang anaknya yang telah lama di nantinatikan akhirnya telah kembali ke kampung halaman. Ternyata apa yang di perolehi oleh ayah dan ibunya Tanggang yaitu ibunya dan ayahnya di pukul oleh para penmgawal Tanggang serta Tanggang tidak mengakui bahwa kedua orang tua itu adalah orang tua kandungnya. Kejadian tersebut di lihat oleh masyarakat sekampung. Dengan rasa sedih jengkel, ibu dan ayahnyapun pergi meninggalkan tempat kejadian tersebut. Dan seraya berkata, jika kamu bukan anakku maka selamatkanlah pelayarannya ya Allah dan jika kamu benar anakku maka kamu tidak akan selamat dalam pelayaran. Setelah kata-kata tersebut terlontar dari mulut ibunya. Dengan seketika suasana alam berubah menjadi mendung, angin badai menghadang kapal Tanggang akhirnya Tanggang tenggelam di lautan bersama-sama kapal dan enak buahnya. Pada saat kejadian itu, hati seorang ibu mana yang tidak kasihan melihat musibah yang menimpa anaknya. Sejahat-jahat pun anak itu, itu adalah anak kita, kata ibuny Tanggang kepada suaminya. Sebenarnya ibunya sudah memaafkan Tanggang dan untuk kembali ke tempat kejadian. Tapi, apakan daya ibu Tanggang tidak bisa berbuat apa-apa lagi karena, ayahnya Tanggang telah terlanjur sakit hati melihat kelakuan anaknya. Inilah balasan selama beberapa tahun lamanya si Tanggang merantau yang ia perolehi hanyalah sebuah tidak pengakuan kepada oarang tuanya. Dan akhirnya ibu dan ayah Tanggang memutuskan untuk meninggalkan tempat kejadian tersebut dan pergi ke kuala dedap. Kata masyarakata kampung tersebut mengatakan bahwa, setelah kematian tanggang di daerah kuala dedap. Tak lama beberapa bulan hidupnya, kedua orang tuanya pun meninggal dunia. Dan tumbuh pohon mangga yang buah manis dan satu pohon lagi buahnya masam. Di katakan bahwa pohon mangga yang buahnya manis tersebut adalah sikap orangtua Tanggang yaitu ibunya. Pohon mangga yang masam buahnya itu adalah sifat orang tua Tanggang yaitu ayahnya. Bentuk cerita yang diperolehi dari sumber yang lain. Batu Betangkup (Indragiri Hilir) Cerita rakyat melayu ini sejak aku kecil dah pernah kudengar. Dahulu setahuku judulnya Batu Belah Batu Betangkup yang berarti batu yang bisa terbuka dan tertutup (terbelah dan kemudian bersatu kembali) seperti kerang. Pada buku Cerita Rakyat Melayu keluaran Adicita diberi judul Batu Batangkup dengan pencerita Farouq Alwi serta disunting oleh Mahyudin Al Mudra dan Daryatun. Buku ini terbitan Oktober 2006 merupakan kerjasama antara Balai Kajian danPengembangan Budaya Melayu dengan Adicita Karya Nusa. Berikut saduran/gubahan dari buku tersebut : Zaman dahulu di dusun Indragiri Hilir, tinggal seorang janda bernama Mak Minah di gubuknya yang reyot bersama satu orang anak perempuannya bernama Diang dan dua orang anak laki-lakinya bernama Utuh dan Ucin. Mak Minah rajin bekerja dan setiap hari menyiapkan kebutuhan ketiga anaknya. Mak

Minah juga mencari kayu bakar untuk dijual ke pasar sebagai pemenuhan kebutuhan sehari-hari mereka.Ketiga anaknya sangat nakal dan pemalas yang senang bermain-main saja, tak mau membantu emaknya. Sering mereka membantah nasihat emaknya sehingga Mak Minah sering bersedih. Mak Minah telah tua dan sakit-sakitan. Merka bermain kadang sampai larut malam. Mak Minah sering menangis dan meratapi dirinya. Yaaa Tuhan, tolonglah hamba. Sadarkanlah anak-anak hamba yang tidak pernah maumenghormati emaknya, Mak Minah berdoa diantara tangisnyaEsok harinya, Mak Minah menyiapkan makanan yang banyak untuk anak-anaknya. Setelah itu, Mak Minah pergi ke tepi sungai dan mendekati sebuah batu yang bisa berbicara. Batu itu juga dapat membuka dan menutup seperti kerang. Orang-orang menyebutnya Batu Batangkup.Wahai Batu Batangkup, telanlah saya. Saya tak sanggup lagi hidup dengan ketiga anak saya yang tidak pernah menghormati orang tuanya, kata Mak Minah. Batu Batangkup kemudian menelan tubuh Mak Minah dan yang tersisa adalah seujung dari rambut Mak Minah yang panjang. Menjelang sore, ketiga anaknya Cuma heran sebentar karena tidak menjumpai emaknya sejak pagi. Tetap karena makanan cukup banyak, mereka pun makan lalu bermain -main kembali. Mereka tidak peduli lagi. Setelah hari kedua dan makanan pun habis, mereka mulai kebingungan dan lapar. Sampai malam hari pun mereka tak bisa menemukan emaknya. Keesokan harinya ketika mereka mencari di sekitar sungai, bertemulah mereka dengan Batu Batangkup dan melihat ujung rambut emaknya. Wahai Batu Batangkup, kami membutuhkan emak kami. Tolong keluarkan emak kami dari perutmu, ratap mereka. Tidak!!! Kalian hanya membutuhkan emak saat kalian lapar. Kalian tidak pernah menyayangi dan menghormati emak, jawab Batu Batangkup. Mereka terus meratap dan menangis. Kami berjanji akan membantu, menyayangi dan menghormati emak, janji mereka. Akhirnya emak dikeluarkan dari perut Batu Batangkup.Maka mereka kemudian rajing membantu emak, menyayanngi serta patuh dan menghormati emak. Tetapi hal tersebut tidaklah lama. Mereka kembali ke tabiat asal mereka yang malas dan suka bermain-main serta tidak mau membantu, menyayangi dan menghormati emak.Mak Minah pun sedih dan kembali ke Batu Batangkup. Mak Minah pun ditelan kembali oleh Batu Batangkup. Ketiga anak Mak Minah seperti biasa bermain dari pagi sampai sore. Menjelang sore mereka baru sadar bahwa emak tak nampak seharian. Besoknya mereka mendatangi Batu Batangkup. Mereka meratap menangis seperti kejadian sebelumnya. Tetapi kali ini Batu Batangkup marah. Kalian memang anak nakal. Penyesalan kalian kali ini tidak ada gunanya, kata Batu Batangkup sambil menelan mereka. Batu Batangkup pun masuk ke dalam tanah dan sampai sekarang tidak pernah muncul kembali.

Menceritakan kembali dari cerita di atas. 4. BATU BETANGKUP (INDRAGIRI HILIR) Pada zaman dahulu di perkampuangan Indragiri Hilir, tinggallah seorang janda tua dan tiga orang anaknya. Anaknya satu orang perempuan dan dua orang lelaki. Yang perempuan berusia empat belas tahun bernama Atun dan adikadiknya bernama unyil dan acil. Mak janda tiua ini bernama mak Timah. Mak Timah ini sebagai tulang punggung keluarga. Setap harinya pergi kehutan untuk mencari buah-buahan untuk makan anaknya serta mencari kayu bakar untuk di jual ke pasar. Pada suatu hari, Mak Timah ingin pergi ke hutan untuk mencari buah buahan dan kayu. Tetapi, anak-anaknya merengek hendak ikut. Dengan menangis, anaknya merengek mau ikut juga. Emak, ikut..,ikut.., ayoklah, kata Emak Timah. Atun, kamu jaga adikmu ya. Jangan nakal-nakal ketika hutan sampai di hutan ya, nanti kalau ibu sedang mencari kayu kalian jangan bermain -main terlalu jauh ya Kata Emak Timah. Emak jawab Atun. Keesokan harinya, anaknya pun ingin ikut lagi. Kalian tidak boleh ikut anakku. Ini buah-buah yang kita ambil di hutan cukup dimakan untuk menantikan Emak pulang. Atun, kamu jaga adik-adikmu ya. Emak mau ke sungai, menangkap ikan. Emak Timah pun pergi ke sungai. Akhirnya lumayan banyak juga ikan yang didapatkannya. Ia, pun bergegas pulang, dengan kegirangan. Akhirnya ia pu sampai ke rumah yang tak seberapa cantiknya. Sesampai di rumah ia berpesan kepada anaknya Atun, agar ikan yang di dapatkannya dapat dimasak untuk dibuat paes atau kata lainnya pepes. Setelah itu, Emak Timah pun pergi ke ladang untuk bekerja. Ternyata selam kehidupannya bekerja mencari kayu, Emak Timah pun bekerja menggarap padi di ladang orang lain. Sebelum ia pergi ke ladang, Emak Timah telah membersihkan ia tersebut. Ternyata dapatlah beberapa telur dari ikan tersebut yaitu telur temakul. Emak Timah pun pergi ke ladang. Selama kepergian Emak Timah, Atun asiknya memasak dan adik-adiknya lagi senangnya bergurau senda. Atun dan adik-adiknya selama hidupnya sangatlah nakal kepada orang tua. Kata orang Melayu, payah endak dicakap anaktu. Setelah, paes masak. Emak Timah ada berpesan sebelum ia pergi, jika paes itu sudah masak Atun. Kamu kasi adikmu makan ya. Dan separuhnya kamu tinggalkan untuk Emak. Baiklah Mak jawab Atun. Setelah memberi adik-adiknya makan, adik-adiknya pun makan dengan lahapnya. Dalam pertengahan makan adik-adiknya merengek meminta telur temakul lagi. Atun melihat adik-adiknya merengek dia pun segera memberikan kepada adiknya. Pada seketika itu ibunya pulang dari ladang, sesampai di rumah hati ibu sangatlah senang karena, telur temakul yang ia idam-idamkan telah di masakkan oleh anaknya. Sesampai di rumah ia pun, memanggil anaknya Atun. Atun, o Atun. Ya Mak, nak siapkan nasi dan paes Emak ya nak. Atun, terlupa bahwa Emaknya telah berpesan agar telur temakulnya dapat simpankan untuk Emaknya. Ternyata telur temakul telah habis dimakan adik-adiknya. Ini Mak, mana telur

temakulnya nak? Atun lupa Mak, tadi adik-adik menangis meminta telur temakulnya lagi. Setelah Atun lihat ternyata telur temakulnya telah habis. Tidak apa-apalah nak. Emak Timah, sudah lelah baru pulang dari ladang. Melihat kejadian itu hati Emak Timah menjadi hampa, kecewa. Dan ia memutuskan pergi kesuatu tempat yaitu pada sebuah batu besar yang bisa membuka mulutnya. Emak Timah pun berkata batu, oh batu makanlah aku aku kempunan telur temakul dengan sekejap batu tersebut membuka mulutnya dan memakan Emak Timah dan yang hanya tinggal adalah rambut Emak timah di batu tersebut. Akhirnya anaknya hidup yatim piatu.

Bentuk cerita yang diperolehi dari sumber yang lain. Cerita Batu Bertabir (Indragiri hilir) Zaman dahulu, di Kampung Selemut tinggal seorang janda bernama Mak Mencol. Ia mempunyai seorang putra yang bernama Bujang Pakok. Kebunnya sering diganggu babi, sehingga kehidupannya sulit. Setelah dewasa, Bujang Pakok minta izin kepada bundanya untuk merantau mencari rezeki. Dengan berat hati, ia diizinkan oleh bundanya. Karena nasib baik, Bujang Pakok diangkat anak oleh kepala kampung, kemudian diambil menantu oleh seorang datuk kaya raya. Hal ini terjadi setelah ia berhasil menaklukkan seekor kerbau gila yang hendak mengganggu putri sang Datuk yang sedang mandi di sungai. Mendengar putranya menjadi kaya raya, Mak Mencol diantar kawan sepermain putranya pergi ke kediaman putranya. Namun Bujang Pakok tidak mau mengakuinya lagi sebagai bundanya, karena ia malu mempunyai seorang bunda yang miskin. Dengan kejam ia menyuruh pembantunya untuk mengusir bunda kandungnya. Dalam kekecewaan besar, Mak Mencol pun mengutuk anaknya sambil membuka baju dan menimang-nimang buah dadanya. Jika engkau bukan anak kandungku, maka selamatlah engkau, namun jika engkau adalah anak kandungku yang pernah dibesarkan oleh air susuku, maka engkau akan berubah menjadi batu karena telah mendurhakai ibu kandungmu. Berhubung Bujang Pakok memang putra kandung Mak Mencol, maka ia terkena kutuk bundanya dan berubah menjadi batu bersama dengan segala perlengkapan perkawinan serta balai tempat upacara perkawinannya. Batu bertabir tersebut kini masih dapat dilihat di Tanjung Datuk, Pulau Bunguran bagian utara. Mendengar cerita ini orang akan teringat pada cerita Malim Kundang Anak Durhaka dari Padang, Minangkabau, Sumatera Barat, karena keduanya mengandung beberapa motif cerita yang sama, seperti anak yang kaya di rantau dan durhaka dengan tidak mau mengakui ibu kandungnya dan putra durhaka dikutuk ibu kandungnya sehingga berubah menjadi batu. Persamaan cerita dari Riau dan Minangkabau tentu dapat dijelaskan dengan kedua teori di atas, namun mengingat adanya hubungan yang sangat erat antara sukubangsa Riau dan Minangkabau, maka kami cenderung menganggap teori monogenesis lebih cocok untuk menganalisis kasus ini. Menceritakan kembali dari cerita di atas.

5. CERITA BATU BERTABIR (INDRAGIRI HILIR) Dulu kala, hiduplah seorang janda yang bernama mak Encol. Dia memiliki anak putra yang bernama Bujang pakok. Setiap hari, ibunya bekerja membersihkan lahan kebunnya. Di kebun mak Encol bercocok tanam sayuran, buah-buahan dan sebagainya. Setiap mau panen ada saja yang memanenkan terlebih dahulu yaitu babi. Adanya juga panennya di serang hama wereng. Begitulah kehidupan mak Encol hanya memengurusi kebunnya yang tidak begitu besar. Ketika kecil bujang pakok ini sering mngikuti emak Encol ini ke kebun untuk menghalau babi yang merusakkan hasil panen yang diperoleh. Di suatu ketika mak Encol dan Bujang pakok pun pergi ke kebun. Dalam permainanan bujang Pakok dengan babi itu hal yang biasa baginya. Setelah, berkejar-kejaran mengusir babi. Bujang pun lelah dan ibunya pun berhenti sejenak dan berceritalah mereka berdua. Bujak pakok terlebih dahulu berbicara kepadsa ibunya. Bu, seandainya nanti bujang telah dewasa maka bolehkah bujang pergi merantau? Dengan berat hati ibunya mengatakan iya bujang, boleh. Itu nanti, setelah kamu dewasa. Tak lama kemudian bujang pakok di angkat oleh kepala desa. Hari ke hari, bulan ke bulan, tahun ke tahun Bujang Pakok pun semakin dewasa. Akhirnya dengan kedewasaan itu bujang pakok menjadi seorang putra yang gagah lagi berani. Mulailah si bujang berjalan-jalan mengelilingi ke desa untuk mencari pemandangan yang alami. Di suatu ketika, ditepian sungai terdengar ada yang meminta tolong. tolong, tolong, ternyata ada seorang gadis yang diganggu dengan kerbau gila. Bujang pun mencari akal, bagaimana cara untuk menolong seorang gadis tersebut. Ternyata gadis yang ia tolong adalah putri sang datuk kaya. Akhirnya, atas bantuan bujang putri tersebut tidak apa-apa. Dan ucapan terima kasih datu kepada bujang adalah dengan memberi hadiah. Yaitu datuk menikahkan anaknya dengan bujang yang telah menaklukkan kerbau gila tersebut. Mendengar berita bahwa bujang mau dinikahkan kepada putri datuk yang kaya. Mak mencol dibawa temannya bujang kemarin masa kecil yaitu leman. Leman pun mengantarkan Mak Encol ke tempat kediaman Bujang Pakok. Sesampainya di tempat kediaman tersebut malah apa yang terjadi si bujang Pakok tidak mau mengakui bahwa Mak Ecol tersebut adalah ibunya. Ia malu memiliki ibu yang miskin dan dengan segera bujang menyuruh dayang-dayangnya untuk mengusir ibunya. Tetapi, tetap ibunya tidak mau beranjak dan akhirnya bujang menyuruh pengawalnya untuk menyeret ibunya keluar dari tempat kediamannya. Ternyata apa yang terjadi, ibu bujang mengikrarkan kata sumpah. Ya Tuhan, jika benar dia bukan anak kandungku maka selamatlah dia dan jika benar anak kandungku maka aku sumpu dia menjadi batu. Kita ketahui bahwa bujang memang anak dari Emak Encol. Akhirnya, bujak pakok terkena sumpahan darin ibunya dan berubah menjadi batu, bersama dengan segala perlengkapan perkawinan serta balai tempat upacara perkawinannya. Bentuk cerita yang diperolehi dari sumber yang lain.

Si Bujang: Asal Mula Burung Punai (Pelalawan) Ada beberapa versi mengenai cerita asal-mula Burung Punai. Setiap versi memiliki alur cerita yang berbeda-beda. Versi cerita rakyat tentang asal-mula Burung Punai di Kalimantan Selatan berbeda dengan cerita rakyat di Pelalawan, Riau. Cerita rakyat yang berkembang di kalangan masyarakat di Kalimantan Selatan seperti tergambar pada cerita yang lalu dalam portal ini - mengisahkan tentang seorang pemuda yang bernama Datu Pulut, menikah dengan seorang bidadari dari Kahyangan. Namun, karena si Pemuda melanggar larangan yang pernah mereka sepakati bersama sebelum menikah, sang Bidadari pun berubah menjadi Burung Punai. Sementara cerita rakyat tentang asal-mula Burung Punai yang berkembang di kalangan masyarakat Pelalawan, Riau, Indonesia, memiliki alur cerita yang berbeda. Dalam cerita tersebut dikisahkan seorang anak laki-laki yang bernama si Bujang, yang durhaka terhadap kedua orang tuanya. Oleh karena kedurhakannya tersebut, Bujang dikutuk menjadi seekor Burung Punai. Apa yang menyebabkan si Bujang durhaka terhadap kedua orang tuanya? Bagaimana ceritanya hingga ia berubah menjadi seekor Burung Punai? Ingin tahu jawabannya, ikuti kisahnya dalam cerita Si Bujang: Asal Mula Burung Punai berikut ini. ***

Alkisah, pada zaman dahulu kala, di daerah Pelalawan, Riau, hiduplah sepasang suami istri dengan seorang anak laki-lakinya yang bernama Bujang. Hidup mereka sangat miskin. Meskipun hidup miskin, keduanya sangat sayang terhadap anak semata wayangnya. Mereka berharap dan selalu berdoa kepada Tuhan agar anak tunggalnya itu kelak menjadi anak yang shaleh, berbudi luhur, berilmu pengetahuan dan berguna bagi masyarakat. Untuk mencapai tujuan yang mulia itu, orang tuanya telah bertekad bekerja keras mencari rezeki yang halal sebagai modal untuk mendidik si Bujang. Setiap hari sang Ayah pergi ke ladang dan mencari ikan di sungai. Hasilnya ia jual ke desadesa tetangga. Meskipun harus berjalan berhari-hari dengan membawa beban

berat, sang Ayah tidak pernah mengeluh atau merasa lelah demi kebahagiaan anaknya. Uang hasil penjualannya tersebut, ia tabung sedikit demi sedikit. Ia sendiri hidup sangat hemat. Makan dan berpakaian seperlunya saja. Ia selalu berdoa kepada Tuhan agar senantiasa diberikan kesehatan untuk bisa mendapatkan lebih banyak rezeki demi masa depan Bujang. Hari berganti hari. Minggu berganti Minggu. Bulan berganti Bulan. Si Bujang tumbuh menjadi anak yang sehat, lincah dan cerdas. Kedua orang tuanya amat bangga dan bahagia melihat anak tumpuan harapan mereka itu. Setelah cukup besar, Bujang pun diserahkan ke sebuah surau di kampung itu untuk belajar mengaji. Sejak itu ia sangat rajin pergi mengaji. Setiap hari ia pergi ke surau bersama teman-temannya. Jika kampungnya dilanda banjir, Bujang diantar oleh ayahnya dengan sebuah perahu kecil. Waktu pulang ia dijemput oleh emaknya. Ada suatu kebiasaan di Pelalawan, apabila air surut dan tanah sudah kering, semua anak-anak bermain gasing. Sebenarnya, banyak orang tua yang jengkel jika musim bergasing itu tiba. Mereka jengkel melihat anak-anak mereka yang asyik bermain gasing yang lupa segalanya. Bahkan, anak-anak mereka terkadang lupa pulang untuk makan siang. Suatu waktu, musim bergasing itu tiba. Bujang dan teman-temannya asyik bermain gasing dari pagi hingga petang hari. Orang tuanya mulai gelisah. Sudah beberapa hari si Bujang tidak pergi mengaji. Guru mengajinya sudah berkali-kali ke rumah orang tuanya menanyakan keadaannya. Hati kedua orang tuanya semakin kesal melihat perangai anak tunggal yang diharapkannya itu. Suatu hari, di saat hari sudah petang, si Bujang baru pulang dari bermain gasing. Kedua orang tuanya sudah menunggunya di depan pintu. Melihat si Bujang datang, emaknya menyambutnya dengan pertanyaan-pertanyaan, Jang, sudah berapa lama kamu tidak pergi mengaji ke surau? Kamu selalu asyik bermain gasing sehingga lupa segala-galanya. Apa kamu tidak jemu-jemu bermain gasing, Jang? Kamu mau emak memberimu makan gasing? Mendengar omelan emaknya, si Bujang hanya diam dan menunduk. Usai ibunya mengomelin si Bujang, kini giliran ayahnya. Jang, ayah tengok kamu asyik bermain gasing saja. Sampai-sampai kamu lupa makan-minum, apalagi mengaji. Sejak bermain gasing, kamu sudah tidak pernah lagi membantu emakmu. Apa kamu bisa kenyang makan gasing? ujar sang ayah. Si Bujang tidak bisa berkata apa-apa. Ia tidak berani membantah kata-kata ayahnya, karena ia memang merasa bersalah. Namun, omelan kedua orang tuanya itu tidak membekas dalam hatinya. Semua kata-kata orang tuanya hanya masuk melalui telinga kanan dan keluar dari telinga kiri. Ketika ayahnya pergi ke ladang, ia pergi lagi bermain gasing. Begitulah setiap hari yang dilakukannya. Pendeknya, Bujang sudah lupa segalanya. Orang Pelalawan mengatakan, kalau anak sudah kena hantu gasing, ia tidak dapat bekerja apa pun. Sudah beberapa hari si Bujang tidak pulang. Ayahnya sudah tidak mau lagi mencarinya. Ia sudah tidak perduli lagi dengan kelakuan anaknya. Pada suatu malam, sang Ayah berkata kepada istrinya, Barangkali inilah resikonya terlalu

memanjakan anak. Lihatlah si Bujang anak kita, semakin dimanja semakin menjadi-jadi. Oleh karena itu, mulai sekarang kita biarkan saja, tidak usah kita hiraukan. Mendengar ujaran suaminya, sang Istri pun mengangguk-angguk. Ia merasa bersalah, karena terlalu memanjakan si Bujang. Demikianlah, semakin hari si Bujang semakin nakal. Ia sudah lupa segalanya. Ia semakin jarang pulang ke rumah dan tidak pernah lagi mengaji ke surau. Hati orang tuanya semakin sedih. Anak semata wayang, tumpuan harapan mereka, sudah tidak dapat diharapkan lagi. Sirnalah semua harapan kedua orang tuanya. Mereka benar-benar kecewa terhadap perilaku si Bujang. Semakin hari, hati mereka pun semakin kesal dan jengkel. Mereka tidak pernah lagi memasak nasi untuk si Bujang sebelum mereka ke ladang. Pada suatu hari sebelum pergi ke ladang, ibunya memasak gasing, dan tali gasingnya ia gulai untuk si Bujang. Melihat kedua orang tuanya sudah berangkat ke ladang, si Bujang pulang ke rumahnya. Oleh karena sudah kelaparan, ia segera membuka periuk, dilihatnya sebuah gasing. Lalu ia membuka belanga, dilihatnya gulai tali gasing. Oleh karena merasa kecewa, menangislah si Bujang sambil bernyanyi: Sing Tali gasing alit gasing dan buah keras sampai hati ibu! ditanaknya saya gasing digulainya tali gasing menjadi punai-punai jugalah saya hendaknya makan buah kayu ara.

Tumbuh bulu sehelai, lalu ia menyanyi lagi: Sing Tali gasing alit gasing dan buah keras sampai hati ibu! ditanaknya saya gasing digulainya tali gasing menjadi punai-punai jugalah saya hendaknya makan buah kayu ara.

Tumbuh bulu sehelai lagi, ia pun terus bernyanyi: Sing Tali gasing alit gasing dan buah keras sampai hati ibu! ditanaknya saya gasing digulainya tali gasing menjadi punai-punai jugalah saya hendaknya makan buah kayu ara.

Demikian si Bujang terus bernyanyi, satu demi satu bulu tumbuh di badannya. Oleh karena terus bernyanyi, lama-kelamaan ratalah seluruh tubuhnya ditumbuhi bulu. Maka berubahlah si Bujang menjadi seekor Burung Punai. Ia pun terbang ke arah jendela, lalu ia terbang ke bumbung atap, kemudian ia terbang tinggi ke udara. Dari udara tampaklah olehnya ladang orang tuanya. Kemudian ia terbang ke arah ladang itu dan hinggap di atas sebuah pohon kayu ara yang tinggi. Dari atas pohon itu terlihat ayah dan ibunya sedang asyik menyiangi rumput. Ia pun bernyanyi: Sing Tali gasing alit gasing dan buah keras sampai hati ibu! ditanaknya saya gasing digulainya tali gasing menjadi punai-punai jugalah saya hendaknya makan buah kayu ara. Mendengar nyanyian Burung Punai pandai berbicara itu, ibu Bujang berkata kepada suaminya, Bang, coba dengarkan suara burung yang bernyanyi di atas pohon itu! Sepertinya suara anak kita si Bujang. Ayah Bujang langsung berdiri dan menghentikan kegiatannya menyiangi rumput. Dipasangnya telinganya baikbaik untuk memastikan jika suara burung itu adalah suara anaknya. Sing Tali gasing alit gasing dan buah keras sampai hati ibu! ditanaknya saya gasing digulainya tali gasing menjadi punai-punai jugalah saya hendaknya makan buah kayu ara. Setelah mendengarkan suara itu dengan jelas, ayah Bujang pun yakin bahwa itu adalah suara Bujang. Benar, Adikku! Itu suara anak kita, kata sang Ayah dengan yakin. Maka berteriaklah emaknya memanggil si Bujang. Nak, kemarilah! Ini nasi ! Dari atas pohon kayu ara itu, burung punai itu menjawab, Tidak, Emak! Saya sudah menjadi Burung Punai. Saya makan buah kayu ara. Setelah berkata begitu, burung itu pun mematuk dan memakan buah ara dari satu dahan ke dahan yang lain. Sang Ayah sangat kasihan melihat nasib anaknya itu. Ia pun mengambil kapak dan menebang pohon tempat burung itu hinggap. Ketika pohon itu tumbang, Burung Punai itu pun pindah ke pohon yang lain. Kemudian ia bernyanyi lagi. Sing Tali gasing alit gasing dan buah keras sampai hati ibu! ditanaknya saya gasing digulainya tali gasing

menjadi punai-punai jugalah saya hendaknya makan buah kayu ara.

Kemarilah, anakku! Ini emak bawakan nasi untukmu! bujuk emaknya agar si Bujang yang telah menjadi Burung Punai itu mau mendekat. Tidak, Emak! Saya sudah menjadi burung. Saya makan buah kayu ara, jawab Burung Punai itu menolak ajakan emaknya. Melihat Burung Punai itu tidak mau mendekat, Ayah Bujang menebang pohon ara tempat burung itu hinggap. Ketika pohon itu tumbang, Burung Punai itu terbang lagi ke pohon ara lainnya. Kemudian bernyanyi lagi dengan nada dan lagu yang sama. Begitulah seterusnya, setiap ayahnya menebang pohon tempat ia hinggap, Burung Punai itu pindah ke pohon yang lainnya dan kemudian benyanyi. Tak terasa, semakin jauh kedua orang tuanya meninggalkan ladangnya. Sampai pada suatu waktu perbekalan mereka benar-benar sudah habis. Sementara jalan untuk pulang, mereka sudah tidak tahu lagi. Oleh karena sudah berhari-hari tidak makan, kedua orang tua Bujang akhirnya meninggal di dalam hutan. Sementara si Bujang yang durhaka itu tetap menjadi Burung Punai selama-lamanya Cerita rakyat di atas termasuk ke dalam cerita teladan yang mengandung nilai nilai moral yang patut dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya ada dua nilai moral yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu pentingnya mendidik anak dan akibat menjadi anak durhaka. Sikap yang mementingkan pendidikan bagi anak tercermin pada sikap kedua orang tua si Bujang yang senantiasa bekerja keras mencari nafkah tanpa mengenal lelah demi masa depan anaknya. Sementara sifat durhaka tercermin pada sikap si Bujang yang tidak mau mendengarkan kata-kata orang tuanya. Akibatnya, ia menjelma menjadi seekor Burung Punai. Bagi orang Melayu, mendidik dan membela anak amatlah diutamakan. Tujuannya adalah agar anak-anak mereka kelak menjadi orang, yakni menjadi manusia sempurna lahiriah dan batiniah. Para orang tua berharap agar anak mereka menjadi anak bertuah yang dapat membawa kebahagiaan, kelapangan, kerukunan, dan kesejahteraan baik bagi keluarga maupun bagi masyarakatnya. Orang tua-tua Melayu mengatakan, kalau anak menjadi orang, kecil menjadi tuah rumah, besar menjadi tuah negeri. Ungkapan lain mengatakan, tuahnya selilit kepala mujurnya selilit pinggang, ke tengah menjadi manusia ke tepi menjadi orang. Anak yang telah menjadi manusia atau menjadi orang disebut pula anak bertuah, karena mereka dapat mendatangkan kebahagiaan, kebanggaan, dan keberuntungan bagi keluarga, masyarakat, bangsa dan negaranya. Sebaliknya, anak yang durhaka, sesat, dan jahat, selain mencoreng muka orang tua, juga mengaibmalukan kerabat dan merusak masyarakatnya. Terkadang, kedurhakaan sang anak dianggap kesalahan orang tua yang tidak mampu mendidik, mengajar, dan membela anaknya secara baik dan benar. Namun, terkadang pula, kedurhakaan itu datang dari si anak itu sendiri. Meskipun orang tuanya sudah

bersusah payah mendidik dan mengajarnya, si anak tetap saja keras kepala dan tidak mau mendengar nasehat orang tuannya. Hal inilah yang terjadi pada diri si Bujang dalam cerita di atas. Meskipun ayahnya sudah bersusah payah mencari nafkah untuk modal pendidikannya, si Bujang tetap saja durhaka terhadap kedua orang tuanya. \Oleh karena pentingnya mendidik dan membela anak, banyak petuah amanah yang berkaitan dengan anak, yang diwariskan dalam budaya Melayu. Tenas Effendy dalam bukunya Tunjuk Ajar Melayu banyak menyebutkan tentang petuah amanah mendidik dan membela anak, antara sebagai berikut: anak dididik pada yang baik diajar pada yang benar dibela pada yang mulia dituntun pada yang santun ditunjuk pada yang elok dipelihara pada yang sempurna dijaga pada yang berguna anak dididik dengan kasih, kasih jangan berlebih-lebihan kasih berlebih membutakan anak dididik dengan keras, tetapi jangan terlalu keras terlalu keras membawa naas situs: http://folktalesnusantara.blogspot.com/2009/02/si-bujang-asal-mula-burungpunai.html Menceritakan kembali dari cerita diatas. 6. SI BUJANG: ASAL MULA BURUNG PUNAI (PELALAWAN) Di daerah pelalawan, di suatu tempat hiduplah sepasang suami istri yang hidupnya aman dan damai walaupun kehidupan mereka sangatlah sederhana. Mereka memiliki anak laki-laki yang sangat mereka sayangi. Orang melayu mengataka intan payung, buntat sayang. Ucapan sayang untuk yang paling disayangi. Anaknya bernama bujang. Di kehidupan sehari-harinya sepasang suami istri ini bekerja di ladangnya sendiri. Mereka sangaty sayang kepada bujang. Dengan hasil kerja keras di ladang mereka menafkahkan hasil kerjanya untuk anaknya seorang. Mereka mendidik bujang dengan mengajarkan akhlak, bertinngkah laku yang sopan, serta mereka ngatarkan bujang untuk belajar mengaji. Setiap sorenya, antara ibu dan ayah bujang yang mengantari bujang untuk mengaji. Di daerah pelalawan tersebut sering terjadi bajir. Disuatu ketika, terjadinya bajir di daerah pelalawan tersebut. Walaupun banjir dan hujan lebat ayah bujang pun tetap mengantari bujang untuk belajar mengaji di rumah pak hafiz. Setelah beberapa harinya hujan terus. Tibalah waktu panas. Di pelalawan memiliki kebudayaan bermain gasing. Apabila panas, tanah kering maka di pelalawan ada permainan gasing.

Sehingga yang awalnya bujang tidak pandai memainkan gasing. Dengan melihat teman-temannya yang asik bermain. Ia pun, tertarik untuk memainkan gasing bersama-sama temannya. Lama kelamaan bujang pun pandai memainkan gasing. Keesokkan harinya, seharusnya bujang pergi belajar mengaji tetapi, ia lupa karena keasyikan bermain gasing. Keesokan harinya lagi ia pun pergi bermain. Makin hari, makin waktu ia berubah menjadi anak yang nakal yaitu anak yang tidak lagi ingat waktu untuk pulang rumah serta lupa untuk makan. Yang ada dalam pikirannya hanyalah untuk bermain, dan terus bermain. Dimana di dalam ingatannya hanya ingat bermain gasing. Pada malam hari ibu dan ayah bujang menasehati bujang agar jangan terlalu nakal. Dan harus ingat waktu, mana yang waktu bermain, mana waktu makan, dan ma waktu mengaji na serta mana waktu istirahat. Bujang pun tidak mau mendengarkan nasehat ayah dan ibunya. Makin hari, makin menjadi tingkah laku bujang sehingga sulit untuk dinasehati lagi. Keesokkan harinya bujang tetap seperti kemarin-kemarinnya yaitu pergi bermain. Ibunya pergi ke ladang bersama ayahnya. Sebelum ibunya pergi ke ladang, ibunya memasak gasing, dan tali gasingnya ia gulai untuk si Bujang. Melihat kedua orang tuanya sudah berangkat ke ladang, si Bujang pulang ke rumahnya. Oleh karena sudah kelaparan, ia segera membuka periuk, dilihatnya sebuah gasing. Lalu ia membuka belanga, dilihatnya gulai tali gasing. Oleh karena merasa kecewa, menangislah si Bujang sambil bernyanyi: Sing Tali gasing alit gasing dan buah keras sampai hati ibu! ditanaknya saya gasing digulainya tali gasing menjadi punai-punai jugalah saya hendaknya makan buah kayu ara.

Tumbuh bulu sehelai, lalu ia menyanyi lagi: Sing Tali gasing alit gasing dan buah keras sampai hati ibu! ditanaknya saya gasing digulainya tali gasing menjadi punai-punai jugalah saya hendaknya makan buah kayu ara.

Tumbuh bulu sehelai lagi, ia pun terus bernyanyi: Sing Tali gasing alit gasing dan buah keras sampai hati ibu! ditanaknya saya gasing digulainya tali gasing

menjadi punai-punai jugalah saya hendaknya makan buah kayu ara. Dan seterusnya ia bernyanyi dan terus bernyanyi. Akhirnya ia menjadi seekor burung punai. Dia terbang dan hinggap di pohon ara yang satu ke pohon ara yang lain. Bujang terbang menuju pohon ara yang ada di dekat ladang ayah dan ibunya. Terdengarlah nyanyian suara bujang. Lalu ibunya berkata kepada suaminya, ayah itu sepertinya suara anak kita. Ayahnya pun mendengar berkalikali ternyata iya, benar. Alunan lagu yang dinyanyikan oleh burung punai tersebut adalah suara anaknya. Lalu ibunya berkata, nak ini nasi. Bu, bujang tidak bisa makan nasi lagi karena burung punai hanya memakan pohon ara. Ibunya, merasa kasihan melihat kejadian itu. Bentuk cerita yang diperolehi dari sumber yang lain. Dang Gedunai, Asal Mula Naga Di Laut Lepas Alkisah, pada zaman dahulu kala di daerah Riau tersebutlah seorang anak laki-laki yang bernama Dang Gedunai. Ia adalah anak yang keras kepala. Ia selalu mengikuti kemauannya sendiri dan tidak mau mendengarkan perkataan orang lain. Pada suatu hari, Dang Gedunai ikut menangguk ikan bersama orang-orang di sungai. Saat orang-orang mendapat ikan, ia justru mendapatkan sebutir telur. Dang Gedunai! Oo... Dang Gedunai, telur apakah yang kau dapatkan itu? tanya orang-orang mengejeknya. Telur badak, jawab Dang Gedunai singkat. Badak tidak bertelur, Dang Gedunai. Badak itu beranak. Satu anaknya, kata seorang. Hei Dang Gedunai, lebih baik jangan kau bawa telur itu, kata orang lain menasihatinya. Tapi saya suka telur ini, bantah Dang Gedunai sambil memeluk telur raksasa itu. Lihatlah, ukurannya besar, bentuknya juga bulat lonjong, licin, dan bersih berkilat-kilat. Kalian tidak bisa melarang aku membawa telur ini. Kalau telur ini aku tinggalkan, pasti kalian yang akan mengambilnya, ujar Dang Gedunai. Setiba di rumah, Dang Gedunai disambut oleh emaknya. Telur apakah itu, Dang Gedunai? tanya Emak Dang Gedunai. Telur badak, Mak, jawab Dang Gedunai. Badak tidak bertelur, anakku. Badak itu beranak satu, jelas Emak Gedunai. Karena telur raksasa itu bentuknya unik, Emak Gedunai penasaran ingin mengetahuinya. Ia pun memerhatikan telur itu dengan seksama. Tiba-tiba Emak Gedunai tersentak kaget. Astaga, ini telur naga! Kau jangan sekali-sekali bermain-main dengan telur ini, apalagi memakannya. Kau bisa celaka, Annakku! Kembalikan telur naga itu ke sungai, perintah Emak Gedunai. Mana mungkin naga datang ke sungai itu? Ini bukan telur naga, Mak. Saya tidak mau mengembalikan telur ini ke sungai. Saya akan memakannya, bantah Dang Gedunai. Ia pun menyimpan telur itu baik-baik. Setiap hari Emak

Gedunai selalu memperingatkan anaknya agar tidak memakan telur itu, setiap hari pula Dang Gudanai bertekad akan menyantap telur itu suatu saat nanti. Suatu pagi, Emak Gedunai mengajak Dang Gedunai pergi ke ladang, tetapi Dang Gedunai menolak dengan alasan sakit. Sebenarnya ia tidak sakit, ia hanya mencari kesempatan agar bisa memakan telur tanpa diketahui emaknya. Ketika emaknya berangkat ke ladang, Dang Gedunai segera merebus telur itu dan memakannya. Ia tampak lahap sekali, sehingga telur itu habis semua ditelannya. Mmm...enak sekali rasanya, kata Dang Gedunai dengan perasaan puas. Besok aku akan ke sungai mencari telur lagi, gumam Dang Gedunai. Beberapa saat setelah memakan telur itu, tiba-tiba Dang Gedunai merasa sangat mengantuk. Maka, ia pun merebahkan tubuhnya di balai-balai. Dalam sekejap, ia sudah tertidur pulas. Dalam tidurnya, Dang Gedunai bermimpi didatangi seekor naga betina yang sangat besar sedang mencari telurnya yang hilang di sungai. Hai, Anak Muda! Kamu telah mengambil telurku di sungai dan memakannya. Siapapun yang memakan telurku, maka ia akan menjelma naga sebagai pengganti anakku. Setelah mendengar suara itu, Dang Gedunai terbangun ketakutan. Tubuhnya bermandikan keringat dan tenggorokannya kering. Dia merasa sangat haus. Menjelang sore, Emak Dang Gedunai pulang dari ladang. Dia melihat anaknya sedang gelisah. Dang Gedunai hilir mudik ke sana ke mari mencari air. Tampaknya dia sangat kehausan. Lidahnya terjulur-julur. Semua air dalam dandang dan tempayan telah diminumnya, tetapi dia masih kehausan. Kerongkongannya bagaikan terbakar. Tolong ambilkan air, Mak! Saya haus sekali, pinta Dang Gedunai pada emaknya. Apa yang terjadi denganmu, Anakku! tanya emaknya penasaran. Sudahlah, Mak! Cepatlah ambilkan air, kerongkonganku terasa panas sekali, desak Dang Gedunai kepada emaknya. Sekarang emaknya sudah tahu kalau Dang Gedunai telah memakan telur naga itu. Segera diberinya segayung air kepada anaknya. Sekali teguk, air itupun langsung habis. Lalu, diberinya setempayan, habis pula ditenggak Dang Gedunai. Emaknya sudah kehabisan akal. Semua air telah habis di rumahnya. Dang Gedunai masih saja kehausan. Dia pun berlari keluar dari rumahnya dan berteriak-teriak meminta air. Ambilkan saya air! Saya haus sekali! ratap Dang Gedunai pada orang-orang yang lewat di depan rumahnya. Orang-orang membantu memberikan air yang mereka punya. Tapi rasa haus Dang Gedunai tak reda juga. Dang Gedunai kemudian pergi ke perigi (telaga) meminum habis airnya. Emaknya yang kebingungan lalu membawa Dang Gedunai ke danau. Kering pula air danau dihirupnya. Akhirnya emaknya membawa Dang Gedunai ke sungai. Sesampai di sungai, Dang Gedunai berkata kepada emaknya, Mak, saya akan menghiliri sungai ini hingga ke laut lepas. Saya akan menjelma menjadi naga, Dang Gedunai namanya. Itulah kata-kata terakhir Dang Gedunai kepada emaknya. Dang Gedunai, Anakku? Bukankah emak telah melarangmu, Nak? Kau langgar tegahanku, dan inilah akibatnya, kata Emak Dang Gedunai meratap, menyesali perbuatan anaknya.

Dang Gedunai telah hilang di laut lepas. Emak Dang Gedunai tak mau beranjak dari tepi laut. Dia terus menangis dan meratapi anaknya itu siang dan malam hingga airmatanya kering. Dia terus menunggu dan berharap Dang Gedunai muncul kembali. Beberapa waktu kemudian, tampak air laut bergelombang datang memecah pantai. Seekor naga muncul ke permukaan air, mengeluarkan suara yang mirip dengan suara Dang Gedunai, Mak, saya sudah menjadi naga. Tempat tinggalku sekarang di laut. Kalau Mak rindu kepadaku, pandanglah laut lepas. Gelombang yang datang ke pantai itu adalah jejak langkahku. Jika laut tenang, berarti saya sedang tidur. Tetapi jika laut bergelombang besar, berarti saya sedang mencari makan. Dang Gedunai, Anakku . Mohon ampunlah pada Tuhan karena telah membantah kata-kata emakmu ini. Walaupun kau telah menjadi naga, emakmu tetap menyayangimu, Nak, Emak Dang Gedunai berseru sambil berusaha menggapai naga itu. Namun, dalam sekejap naga itu lenyap, tinggal gelombanggelombang kecil yang memecah pantai. Sejak peritiwa itu, para nelayan tidak berani turun melaut jika gelombang bergulung-gulung besar, karena itu berarti Dang Gedunai sedang mencari makan. Karena tubuhnya yang besar, dia memerlukan banyak makanan dan akan melahap apa saja yang ada di laut. Jika air tenang, para nelayan dapat melaut dengan aman, dan menangkap sisa-sisa ikan yang tidak termakan oleh Dang Gedunai. *** Dalam cerita di atas, terdapat nilai-nilai moral yang patut dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai moral tersebut di antaranya sifat keras kepala dan sifat kasih sayang. Sifat keras kepala tercermin pada sifat Dang Gedunai yang tidak mau mendengar nasihat ibunya, agar tidak memakan telur naga yang didapatnya di sungai. Karena sifat keras kepalanya itu, Dang Gedunai mendapat ganjaran atas perbuatannya yaitu menjadi seekor naga. Sifat keras kepala adalah sifat tidak mau menerima kebenaran. Dalam kehidupan orang Melayu, sifat keras kepala adalah sangat dipantangkan. Meskipun demikian, orang tua-tua Melayu tidak serta-merta menegur dan menasihati anggota masyarakatnya dengan kata-kata yang kasar. Dalam memberikan nasihat, petuah atau tunjuk ajar, orang tua-tua Melayu melakukannya dengan arif dan bijaksana, agar tidak menyinggung perasaan yang mendengarnya. Biasanya, mereka menggunakan sindiran-sindiran dengan bahasa yang terpilih, halus, dan mengandung nilai-nilai luhur yang dapat menyadarkan orang dari kekeliruannya tanpa melukai perasaannya. Tennas Effendy dalam bukunya Ejekan terhadap Orang Melayu Riau dan Pantangan Orang Melayu Riau, menyebutkan sejumlah sindiran-sindiran mengenai sifat keras kepala dalam bentuk ungkapan-ungkapan seperti berikut: kalau tak mau mendengar nasehat, alamat celaka dunia akhirat

kalau tak mau mendengar petuah orang, martabat habis, marwah pun hilang tanda orang tidak semenggah, diberi nasihat menyanggah Selain itu, dalam ajaran Islam juga disebutkan bahwa sifat keras kepala merupakan sifat yang tercela. Sifat keras kepala dapat diartikan sebagai orang yang tidak mau mendengar nasihat orang lain, termasuk nasihat orang tua. Bagi orang yang tidak mau mendengar nasihat orang tua, ia adalah anak yang durhaka. Sebagaimana yang terjadi pada Dang Gedunai dalam cerita di atas. Karena keras kepala, ia tidak menghiraukan nasihat emaknya untuk tidak memakan telur naga itu, maka akibatnya, ia menjelma menjadi naga. Karena besarnya akibat yang ditimbulkan dari sifat keras kepala, yakni membuat seseorang menjadi durhaka, maka Nabi Muhammad SAW memperingatkan dalam sebuah hadisnya yang berbunyi, Bukankah aku telah memberitahu kamu tentang ahli -ahli neraka? Mereka itu ialah orang-orang yang keras kepala, sombong, suka mengumpul harta, tetapi tidak suka membelanjakannya untuk kebaikan (H.R.Bukhari Muslim). Karena sifat keras kepala ini adalah sifat tercela dan dipantangkan oleh tua-tua Melayu, sifat ini tidak dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan seharihari. Nilai moral lain yang terkandung di dalam cerita di atas adalah sifat kasih sayang. Sifat ini tercermin pada sifat Emak Dang Gedunai yang sangat sayang terhadap Dang Gedunai, meskipun anaknya itu telah menjadi seekor naga. Kasih sayang adalah sifat terpuji yang dijunjung tinggi dalam kehidupan orang Melayu. Bagi mereka, berkasih sayang tidak hanya terbatas dalam ruang lingkup keluarga dan kaum kerabat, tetapi juga dalam bersahabat dan bermasyarakat. Orang tua-tua Melayu memberi petunjuk bahwa hidup terpuji dan hidup mulia adalah hidup dengan berkasih sayang antar sesama, tanpa membedakan suku, bangsa, kedudukan, pangkat, kekayaan, dan sebagainya. Oleh karena itu, sejak dini mereka mulai menanamkan rasa kasih sayang di dalam lingkungan keluarga, handai taulan, saudara-mara, masyarakat dan bangsa. Mereka mengajarkan anakanaknya tentang kelebihan hidup berkasih sayang dengan menunjukkan contohnya dalam kehidupan sehari-hari. Keutamaan sifat berkasih sayang ini banyak dipaparkan oleh Tennas Effendy dalam bukunya Tunjuk Ajar Melayu baik dalam bentuk ungkapan, syair maupun untaian pantun Melayu. Keutamaan sifat kasih sayang dalam bentuk ungkapan di antaranya: apa tanda Melayu jati, kasih sayang sampai mati apa tanda Melayu bertuah, berkasih sayang sesama manusia apa tanda Melayu beradat, berkasih sayang menjadi sifat Dalam bentuk untaian syair dikatakan: wahai ananda intan dikarang, hiduplah engkau berkasih sayang

janganlah suka memusuhi orang sifat yang buruk hendaklah buang wahai ananda tambatan hati, hiduplah engkau kasih mengasihi silang sengketa engkau jauhi supaya hidupmu diberkahi Ilahi Dalam bentuk untaian pantun dikatakan: kalau kuncup sudah mengembang banyaklah kumbang datang menyeri kalau hidup berkasih sayang hidup tenang makmurlah negeri banyaklah benih di sudut ladang benih berkembang buahnya lebat banyaklah kasih disebut orang berkasih sayang membawa rahmat (SM/sas/26/9-07) Sumber:y y

Diringkas dari Al Mudra, Mahyudin & Tuti Sumarningsih. 2005. Dang Gedunai: Asal-Mula Naga di Laut Lepas. Yogyakarta: AdiCita Karya Nusa. Tenas Effendy. 2006. Tunjuk Ajar Melayu. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan Penerbit AdiCita Karya Nusa. Effendy, Tennas. 1994. Ejekan Terhadap Orang Melayu Riau dan Pantangan Orang Melayu Riau. Pekanbaru: Bappeda Tingkat I Riau. Anonim. Akidah Akhlak: Mejauhi Sifat-sifat Tercela. Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (http://ii.islam.gov.my/hadith/hadith, diakses tanggal 15 September 2007) Jones, David. 2002. An Instinct for Dragons. Penerbit: Routlege. (http://ms.wikipedia.org/wiki/Naga, diakses tanggal 15 September 2007) China ABC. Asal-Usul Panggilan Naga. (http://indonesian.cri.cn, diakses tanggal 15 September 2007)

y y

y y

Menceritakan kembali dari cerita diatas. 7. Dang Gedunai, Asal Mula Naga Di Laut Lepas Pada zaman dahulu kala, di daerah riau tersebutlah seorang anak laki-laki yang bernama dang Gedunai. Ia adalah anak yang nakal dan keras kepala. Ia selau mengikuti keinginannya saja. Dia hidup bersama hidupnya. Di suatu hari, di ikut bersama-sama masyarakat yang pergi ke sungai untuk mencari ikan. Para masyarakat memperolehi ikan yang lumayan banyak tetapi, si gedunai malah mendapat sebuah telur yang besar. Apa tu gedunai? Tanya masyarakat. Telur badak jawab gedunai. Kata masyarakat, badak tidak bertelur tapi, beranak satu.

Lebih baik kamu letakkan kembali telur tersebut pada tempat kamu dapatkan. Geduai tidak mau juga. Akhirnya dia membawa telur besar tersebut ke rumahnya. Kepulangan Gedunai di sambut oelh ibunnya. kamu bawa telur apa nak? tanya ibunya. telur badak bu. Badak tidak bertelur nak. Badak beranak satu. Sini nak, biar ibu lihat telur apak itu. Ha, nak ini telur naga. Ibu bisa aja, mana ada telur naga. Mana mungkin naga ada di sungai itu. Ya nak, benar itu telur naga. Lebih baik besok kamu kembalikan telur ini ke tempatnya semula. Si gedunai pun tetap nakal, berkeras tidak mau mengembalikan telur tesebut ke sungai. Dia pun bertekad untuk memakan telur tersebut. Keesokan harinya, ibunya pergi ke ladang. Ibunya mengajak untuk membantu bekerja di ladang. Tetapi, Gedunai beralasan bahwa ia sakit perut dan tidak bisa membantu ibunya. Setelah kepergian ibunya, si Gedunai pun memasakkan telurnya. Setelah memasakkan telur tesebut, tak lama kemudian dia pun memakan telur tersebut dengan lahapnya. Dia pun mengantuk dan tertidur dengan pulasnya. Serta mendapat mimpi bahwa ada seekor naga besar berkata kepadanya, barang siapa yang memakan telor naga itu maka ia akan menjadi anakku dimana sebagai pengganti anakku yang telah enggkau makan gedunai. Gedunai pun terbangun, terkejut dari bangun tidurnya. Hatinya berdebar, gelisah tak tentu haluan dan dia kehausan yang luar biasa tiada hentinya. Tak lama kemudian ibunya pulang dari ladang. Ibu, saya haus. Tolong ambilkan air. Lagi bu, yang banyak airnya. Kehausannya tidak terbendungi dan akhirnya dia pergi ke sungai tersebut dimana tempat ia mengambil telur naga. Dan sesampai di sungai tersebut dia pun langsung meminum air sungai tersebut lama kelamaan diri Gedunai berubah manjadi naga. Itu akibat seorang anak yang tidak mau mendengar nasehat dari orang tua. Bentuk cerita yang diperolehi dari sumber yang lain. Legenda Batang Tuaka (Indragiri Hilir) Sepasang suami isteri miskin, Si Kantan dan Si Tanjung tinggal dekat Bukit Berapit Sebatu dari Pangkalan Kampar. Mereka menyara hidup dengan mengambil upah menganyam atap nipah, bersawah, menganyam tikar, menangkap ikan sungai dan sebagainya sehingga berjaya memiliki sebidang tanah dan sebuah rumah. Pada suatu hari, mereka pergi ke pinggir hutan untuk mencari sayur. Tatkala sedang memetik daun cemperai, mereka terdengar suara kuat yang amat menyeramkan. Si Kantan memeritahu isterinya bahawa itulah gua Batu Belah Batu Bertangkup sebagaimana pernah diceritakan oleh datuknya. Beberapa tahun kemudian mereka memperolehi dua orang anak, seorang Si Bunga Melur dan seorang lagi Si Pekan. Malang menimpa, Si Kantan mati sewaktu anak -anaknya masih kecil menjadikan Si Tanjung hidup tidak keruan, dan hilang tempat bergantung. Pada suatu hari, Si Tanjung dapat mengail seekor ikan tembakul. Disuruhnya Melur merebus telur ikan itu sementara dia pergi mandi. Apabila telur

itu masak, sebahagiannya diberikan kepada Si Pekan dan sebahagian lagi disimpan untuk ibunya. Si Pekan menangis kerana dia ingin makan lagi telur ikan bahagian ibunya sehingga memaksa kakaknya memberikan telur itu kepadanya. Melur mendapat sebiji telur ayam untuk mengantikan telur ikan sebagai lauk ibunya. Perbuatan Si Pekan membuatkan Si Tanjung merajuk, terkilan dan marah. Akhirnya ia mengambil keputusan menyerahkan diri kepada Batu Belah Batu Bertangkup walaupun dirayu belas kasihan oleh Si Bunga Melur yang terus mengekorinya sambil mendukung Si Pekan. Sebagai kanak-kanak, langkahnya tidak secepat ibunya. Sampai di pintu gua batu itu, ibunya sudah ditelan oleh batu itu, Melur pun jatuh pengsan. Sewaktu pengsan, Si Bunga Melur bermimpi didatangi seorang tua menasihatinya supaya tidak pulang lagi ke rumahnya. Sebaliknya disuruh mengambil tujuh helai rambut ibunya yang terjulur itu serta membawa telur ayam yang mahu dibuat lauk ibunya itu. Dia hendaklah berjalan mengikut arah kakinya dan membakar sehelai daripada rambut ibunya setiap kali hendak tidur. Melur mendukung Si Pekan meredah hutan belukar dan semak samun sehingga sampai ke rumah Dato Penghulu. Orang tua itu bersimpati dan ingin memelihara mereka. Sew