BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Poligami dalam masyarakat muslim Indonesia tak pernah berhenti
diperdebatkan melalui berbagai media massa baik cetak maupun elektronik. Isu
tersebut berawal dari publikasi media massa terhadap poligami sejumlah tokoh
panutan agama yang popular saat itu seperti Abdullah Gymnastiar (Aa Gym)
dengan Alfarini Eridani (Teh Rini), Rhoma Irama dengan Angel Lelga, Pujiono
Cahyo Wicaksono (Syekh Puji) dengan Lutfiana Ulfa, Ustad Arifin Ilham dengan
Oki, hingga poligami elit pemerintah, misalnya Hamzah Haz, Anis Matta, Zaenal
Ma‟arif, Lutfi Hasan Ishaq dan Aceng Fikri. Selain itu, peredaran buku-buku
provokatif dalam mengkampanyekan isu poligami, yang diterbitkan oleh
tokoh-tokoh pro poligami seperti Puspo Wardoyo (Kiat Sukses Beristri Banyak)1
dan Aa Gym (Indahnya Poligami) 2 semakin mempertajam polemik dalam
1Puspo Wardoyo adalah penerima Poligami Award pertama di bulan Mei tahun 2003
yang diselenggarakan oleh Forum Jurnalis Muslim /FJM yakni kumpulan wartawan dari berbagai
media islamist seperti Amanah, Fikri, Hidayah, Pelita dan Annida. Pada awalnya, Award ini
diadakan sebagai counter publisitas goyang ngebor Inul Daratista yang dimuat sejumlah media
massa Indonesia. Untuk selanjutnya di bulan Juli 2003, Poligami Award dalam skala yang lebih
besar diprakarsai Puspo Wardoyo. Tujuannya adalah mengkampanyekan poligami dan
memperbaiki persepsi masyarakat tentang poligami (Nina Nurmila dalam Women, Islam and
Everyday Life. Routledge. h.65-77). Melalui buku Kiat Sukses Beristri Banyak menceritakan
pengalaman sehari-hari Puspo dengan keempat istrinya. 2 Aa Gym muncul sebagai seorang dai muda terkenal setelah berakh irnya kepemimpinan
Soeharto di tahun 1998. Secara otomatis kondisi polit ik Indonesia dan penggunaan media massa
mengalami perubahan sehingga memungkinkan bagi Aa Gym untuk bisa memanfaatkan peluang
yang tersedia secara baik. Keterampilannya menggunakan media massa dalam menyampaikan
pesan dakwah yang islami secara prakt is mampu memukau sebagian besar jamaah Indonesia.
Saran dan nasehat secara teratur juga diberikan kepada kepala negara beserta para menteri (Tempo,
2 November 2003.h.46-50). Alhasil Aa Gym menjadi figur muslim berpengaruh dan dikagumi
oleh sebagian besar masyarakat muslim Indonesia. Bahkan menurut Majalah Time, Aa Gym
menjadi acuan sebagai The Holy Man Indonesia. (C.W. Watson, „A Popular Indonesian Preacher:
The Significance Aa Gymnastiar‟ dalam The Journal of The Royal Antropoligical Institute, Vol.11.
2
masyarakat hingga menjurus pada keresahan dan kekhawatiran perempuan akan
dampaknya bagi keharmonisan rumah tangga yang selama ini telah mereka bina
(Gatra, 28 Oktober 2009: 78; Tempo, Edisi 2-8 Mei 2011: 70; Nurani, Edisi 566
Desember 2011: 06-07, Brenner, 2006: 166; Gatra, 28 Oktober 2009: 78; Sabili
No.12 Th.XIV 28 Desember 2006/ 7 Dzulhijjah 1427; Forum Keadilan, No. 35,
15 Januari 2007; Reportase Sore, 2013. Trans Tv, 9 Juli, Jam 16.38; Indonesia
Lawyers Club, Selasa, 18 Desember 2012. Pukul 22.53).
Disadari atau pun tidak, poligami tokoh panutan dapat dikatakan telah
menstrukturkan persepsi dan mempengaruhi perilaku masyarakat. Misalnya,
popularitas yang dibangun Aa Gym sebagai pasangan ideal Teh Ninih dan
pendakwah unik dalam kehidupan muslim Indonesia masa kini, secara perlahan
ditinggalkan oleh penggemarnya terutama kaum perempuan. Dakwahnya seputar
ketulusan hati dan keluarga sakinah menuai kritik dari masyarakat karena tidak
sesuai dengan praktik poligami yang dilakukannya. Lebih jauh, sebagian besar
usaha bisnis yang dimilikinya seperti paket umrah, pelatihan kewirausahaan, dan
usaha kewiraswastaan mengalami pengurangan tenaga kerja dalam jumlah yang
cukup besar. Dalam keadaan yang demikian itu, sebagian masyarakat
menunjukkan simpati terhadap teh Ninih melalui sms, menulis di blog dan surat
pembaca, berhenti berkunjung ke Daarut Tauhid hingga berdemonstrasi menolak
poligami. Hal yang sama juga terjadi pada Rhoma Irama sebagai „Raja Dangdut‟
No.4 Desember 2005. h.773-792). Oleh karena itu, melalui buku Indahnya Poligami Aa Gym
menceritakan alasannya berpoligami. Salah satunya adalah usaha untuk menghilangkan
pengkultusan yang dilakukan jutaan umat Islam terhadap dirinya. Pemujaan ibu -ibu yang
berlebihan terhadap sosok kiai muda ini meresahkan diri Aa Gym. Oleh karena itu Aa Gym
memilih berpoligami untuk mementahkan kultus tersebut (Rachmat Ramadhana Al-Banjari dan
Anas Al-Djohan Yahya dalam Indahnya Poligami: Menangkap Hikmah Dibalik Tabir Poligami ,
Pustaka Al-Furqan).
3
setelah poligaminya diketahui masyarakat. Tidak berbeda dengan poligami Syech
Puji yang meresahkan masyarakat karena bersifat melanggar hak-hak anak dan
Undang-undang Perkawinan sehingga Komnas Perlindungan Anak meminta
secara legal agar pernikahan tersebut dibatalkan. Sedangkan elit pemerintah
berusaha untuk menolak pasal larangan poligami dimasukkan kedalam kode etik
DPR (Tempo, 17 Desember 2006, h. 112-113).
Sejumlah komunitas perempuan dalam institusi perkawinan dan
organisasi perempuan ikut serta menunjukkan pandangan yang berbeda-beda satu
sama lain. Seperti aksi damai atas prakarsa perempuan Hizbut Tahrir di
Yogyakarta dan Malang, demonstrasi dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
(PMII) di Malang, dialog interaktif dengan tema poligami di berbagai forum
diskusi dan media massa, kiriman pesan pendek (sms) dari sebagian besar
perempuan ke telepon seluler kepala negara, seruan penghentian kekerasan
terhadap perempuan oleh negara dari 18 organisasi perempuan, pembuatan film
bertemakan poligami hingga berdirinya klub Poligami Indonesia (Kompas, 21
Desember 2006:3; Kompas, 23 Oktober 2009:53; Kompas, 10 Juni 2011: 40).
Bahkan sebagai upaya mendapatkan empati perempuan terhadap wacana
poligami yang sedang berkembang, Asma Nadia3 melalui buku cerita non fiksi
berjudul Catatan Hati Seorang Istri mengungkapkan beragam upaya
perempuan dalam menyelesaikan prahara rumah tangga mereka. Buku tersebut
berhasil meraih National Best Seler di tahun 2007 dari Majalah Tempo dan
Harian Berita Kompas berdasarkan survey pada 27 toko buku Gramedia di tanah
3 Asma Nadia adalah seorang penulis novel yang telah banyak mendapat penghargaan
nasional dan regional, diantaranya tercatat sebagai pengarang fiski terbaik I di tahun 2008
4
air, hingga Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) menayangkannya menjadi
sinetron pada tahun 2014 dan itu pun berhasil mencapai posisi pertama dengan
rating 5,5 dan share 21 dibandingkan sinetron Ganteng-Ganteng Srigala yang
berada pada posisi kedua dengan rating 5,2 dan share 24,5 (Nadia, 2011:v;
Pandito Rayendra, “Catatan Hati Seorang Istri Ungguli Ganteng-Ganteng
Srigala” diakses dari http://www.tabloid bintang.com, pada tanggal 12 September
2015 pukul 15.00 WIB). Kesemuanya ini merupakan upaya segelintir perempuan
untuk menjelaskan resistensi mereka terhadap poligami yang sarat dengan
muatan-muatan kekerasan terhadap perempuan.
Berbeda halnya dengan sejumlah masyarakat yang sudah cukup lama
mempunyai tradisi poligami dalam sistem perkawinan mereka dan bersikap
fanatik dalam beragama seperti orang Minang, orang Aceh, ataupun orang Banjar
(Alim, 1986: 25; Efendi, 2014: 24). Dan ketika poligami dihadapkan dengan
perselingkuhan, mereka akan cendrung membenarkan poligami sebagai alternatif
untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya perzinaan. Maka tidaklah
mengherankan apabila pengajian Aa Gym masih diminati publik di tengah
luasnya pemberitaan isu poligaminya, tidak pula mengurangi simpati penggemar
terhadap Rhoma sang „raja dangdut‟, dan melihat perkawinan Syech Puji-Ulfa
sebagai sebuah kewajaran. Bahkan poligami bisa dipandang sebagai pilihan yang
lebih positif dilakukan elit pemerintah daripada perselingkuhan. Kesemuanya itu
adalah cerminan dari perbedaan hasil pemahaman masyarakat terhadap agama
dan pengaruh perbedaan latar belakang sosial dan budaya.
5
Masalah ini tentunya sangat serius karena Presiden SBY, sebagai kepala
negara saat itu, memberikan perhatian yang cermat terhadap perkembangan kasus
poligami yang dikritisi kaum perempuan. Alhasil, peraturan negara yang selama
ini hanya diterapkan untuk mengontrol prilaku seksual PNS dan TNI/ABRI
diperluas jangkauannya untuk pejabat negara, pejabat pemerintahan dan anggota
DPR.4 Oleh karena itu, pemerintah berupaya mengatur ketentuan pidana bagi
pelaku nikah siri, mut‟ah, poligami, dan perkawinan berbeda kewarganegaraan
dalam rumusan Rancangan Undang-undang (RUU) Hukum Materil Peradilan
Agama Bidang Perkawinan.5 Akan tetapi, tidak adanya tersirat kesetaraan dalam
sanksi hukum pidana perkawinan, sejumlah kelompok Islam seperti Hizbut Tahrir
Indonesia, Gerakan Persaudaraan Muslim Indonesia, Forum Ulama Umat
Indonesia maupun organisasi perempuan seperti Komnas Perempuan, Jaringan
Kerja Proglenas Pro Perempuan (JKP3), Rifka Annisa, dan Perempuan Kepala
Rumah Tangga (Pekka) memperdebatkan rencana legalisasi peraturan perkawinan
4 Presiden SBY meminta Peraturan Pemerintah (PP) No.10 Tahun 1983 (14 Bab dan 67
Pasal) tentang izin perkawinan dan perceraian bagi PNS, yang telah direvisi menjadi Peraturan
Pemerintah (PP) No.45 Tahun 1990 tentang perubahan pemer intah mengenai izin perkawinan dan
perceraian bagi PNS untuk dapat direvisi kembali (Simak Tempo, 17 Desember 2006, h. 23;
108-110). 5
Draf Rancangan Undang-undang Hukum Materiil Perad ilan Agama Bidang
Perkawinan yang memuat 24 Bab dan 156 Pasal, dimaksudkan untuk melengkapi UU No.1 Tahun
1974 tentang Perkawinan. RUU tersebut dibuat dengan mengacu pada Kompilasi Hukum Islam
(KHI) dan mengatur perkawinan secara detail khususnya untuk warga negara beragama Islam.
RUU tersebut meliputi syarat sah perkawinan, perceraian, perwalian anak, hak dan kewajiban
suami istri, rujuk, perkawinan campur dan ketentuan pidana (10 pasal) bagi pelanggar ketentuan
di dalamnya. Ketentuan pidana dalam RUU tersebut memunculkan perdebatan dalam masyarakat.
Hal itu dikarenakan dalam pasal 142 ayat 3 yang mengatur perkawinan beda kewarganegaraan
mengharuskan pria asing untuk memberikan jaminan 500 juta apabila menikah i perempuan WNI.
Selain itu, pasal 143 menyebutkan bahwa pelaku nikah siri atau yang tidak dicatat pejabat resmi
maupun pelaku poligami tanpa ijin isteri pertama yang disahkan pengadilan, bisa dikenakan
denda sejumlah 6 juta atau hukuman penjara 6 bulan. Pasal 144 ditujukan kepada pelaku nikah
mut‟ah atau kawin kontrak dengan ancaman pidana maksimal 3 tahun dan pembatalan
perkawinannya demi hukum. Lihat Kompas 2006; Kompas 2006d:4; Kompas 2007:35; Kompas
2007:5; Kompas 2009:12; Kompas 2009:53; Kompas 2010:5:35
6
dan perceraian dalam kaitannya dengan asas perkawinan (Kompas, 27 Agustus
2007, h.35).
Peristiwa yang hampir sama juga terjadi pada masa kepemimpinan
Soeharto terutama pada saat dirumuskannya Rancangan Undang-undang
Perkawinan oleh pemerintah bersama DPR hingga diberlakukannya dalam bentuk
Undang-undang No.1 Tahun 1974. Secara menakjubkan, partai dan massa Islam
bereaksi melakukan penolakan atas Rancangan Undang-undang Perkawinan
karena dianggap bertentangan dengan asas poligami Islam (Amak F.Z, 1976;
Kompas, 1968: III kol 4). Sementara, sejumlah organisasi perempuan menuntut
adanya payung hukum yang seragam untuk melindungi perempuan dari upaya
poligami, kawin paksa, perkawinan anak/perkawinan dini (early marriage) dan
perceraian yang sewenang-wenang. Dalam hal ini, istri Presiden Soeharto
mengisyaratkan agar Undang-undang Perkawinan yang bersifat monogami dapat
diperjuangkan. (Simak Tempo, 14 Juni 1973, h.5). Pada akhirnya Undang-undang
Perkawinan berasaskan monogami bisa diterima masyarakat dan pemerintah
memperketat praktek poligami bagi Pegawai Negeri Sipil.
Praktik serupa memiliki kesamaan historis dengan masa kepemimpinan
Soekarno. Pada masa itu, pemerintah mulai membenahi sistem peradilan Belanda
yang cendrung memihak pada sistem peradilan waris tradisional daripada hukum
Islam. Hasilnya direalisasikan pemerintah dalam bentuk RUU Perkawinan Umum
dan RUU Perkawinan Umat Islam (Siegel, 2000:23). Salah satu konsep yang
dipersiapkan adalah izin khusus poligami, dengan catatan pasangan tersebut tidak
keberatan dan suami memiliki kemampuan secara fisik dan ekonomi. Meskipun
7
demikian, tetap saja poligami secara resmi dibiarkan oleh negara. Terlihat dari
pengumuman yang dikeluarkan pemerintah tanggal 1 Maret 1952 tentang
tunjangan pensiun dua kali lipat bagi janda-janda pegawai negeri yang tidak lebih
dari empat orang. Aspek inilah yang mendasari terjadinya demonstrasi pertama
setelah kemerdekaan oleh sejumlah organisasi seperti Persatuan Wanita Indonesia
(Perwari), Bhayangkari, dan beberapa organisasi perempuan lainnya kecuali
Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) yang tidak menunjukkan pembelaan dalam
memperjuangkan lahirnya undang-undang perkawinan. Pada akhirnya draf yang
telah ada tidak pernah terselesaikan disamping perebutan kekuasaan dari
kelompok yang menghendaki kesatuan hukum negara dan hukum agama dalam
kehidupan umum, juga poligami Sukarno yang secara cepat ditransfer ke arena
publik oleh partai politik (Darwin, 2004: 288; Van Der Kroef, 1953:124; 1957:
120; Kompas 01 Juni 2001:76).
Perbedaan pandangan yang muncul pada setiap zaman dalam perumusan
undang-undang perkawinan itu merupakan suatu tanda adanya ketidaksesuaian
faham dalam menafsirkan perkawinan khususnya poligami. Sebagaimana Dicky
Chandra, Ketua Masyarakat Poligami Indonesia, berpendapat bahwa perkawinan
mengalami reduksi makna pada saat poligami dibatasi ruang geraknya bahkan
dilarang. Sementara itu, solusi tidak diberikan bagi individu yang ingin
berpoligami di luar persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang
Perkawinan. Tidak heran apabila segelintir masyarakat melakukan nikah siri dan
mut‟ah untuk memperoleh istri simpanan atau tambahan karena sulitnya proses
berpoligami secara administrasi di pengadilan. Berbeda dengan Nasaruddin Umar,
8
Dirjen Bimas Islam, perkawinan menurutnya disamping berada pada wilayah
pribadi, juga menjadi tanggung jawab negara untuk melindungi warga ketika
persoalan sosial muncul apalagi angka perceraian semakin meningkat dari 20.000
mencapai 200.000 setiap tahunnya. Dalam posisi ini pemerintah berhak
melindungi hak asasi perempuan agar tidak dilecehkan dan identitas anak-anak
dari perkawinan siri atau mut‟ah karena sistem hukum Indonesia tidak pernah
mengakui bentuk pernikahan tersebut (Metro Pagi, 2010:06.27).
Dapat disebutkan bahwa salah satu penyebab tertinggi angka perceraian
menurut Dirjen Bimas Islam tersebut adalah gugat cerai oleh istri karena suami
menikah lagi dengan diam-diam atau menikah siri. Berdasarkan data dari
Departemen Agama bahwa perceraian mengalami peningkatan dari tahun ke
tahun, yaitu pada tahun 2004 terjadi 42.769 perceraian dan 813 perceraian
disebabkan oleh poligami, kemudian tahun 2005 terjadi 55.509 perceraian dan
879 karena poligami. Sedangkan tahun 2007 tidak disebutkan data perceraian
tetapi 983 perceraian disebabkan oleh poligami. (Kompas, 22 May 2009: 47).
Tahun 2012 terjadi peningkatan yang cukup signifikan. Dari 2 juta orang yang
menikah, 280 ribu bercerai (TvOne, 2013:14:14). Di dalam proses ini, perempuan
menjadi sosok yang rentan diceraikan dalam perkawinan poligami apalagi tidak
ada nilai-nilai hukum yang melindungi mereka dalam perkawinan tersebut.
Dengan demikian, poligami disebutkan sebagai salah satu faktor
penyebab terjadinya perceraian meskipun ketidakkonsistenan pelaku poligami
mempraktekkan prinsip perkawinan merupakan faktor esensial terjadinya
perceraian. Memang, pelaku poligami disyaratkan untuk berlaku adil dalam
9
perkawinan walaupun keadilan itu sendiri tidak bersifat mutlak tetapi keadilan
yang memang masih berada dalam batas-batas kemampuan -sebagai manusia-
untuk mewujudkannya. Namun, semakin buruknya praktek poligami yang
ditunjukkan oleh pasangan berpoligami menyiratkan monogami sebagai bentuk
perkawinan yang ideal untuk menghindari kemungkinan seseorang terjebak pada
prilaku tidak adil baik secara materil dan non materil dalam perkawinan.
Gagasan dominan tentang kedua bentuk perkawinan tersebut sebagaimana
diuraikan di atas, seringkali diwacanakan media massa dengan sejumlah konotasi
seperti cara untuk „menghindari zina‟, sebagai „pintu darurat‟, „solusi sosial‟, pro
kumpul kebo dan menghujat syari‟at. Bahkan mitos-mitos misoginis bagi
perempuan seperti perawan tua, perempuan akan masuk surga jika dimadu,
jumlah perempuan lebih banyak daripada laki- laki, perbedaan tingkat nafsu,
acapkali digambarkan media massa sebagai penerimaan perempuan terhadap
poligami. Hal itu menunjukkan bahwa media massa turut serta mengkonstruksi
citra perempuan dalam perkawinan poligami dengan simbol dan ideologi tertentu
yang berakibat pada peneguhan dominasi laki-laki atas perempuan.
Cara pandang yang sama memiliki kemungkinan yang sangat kecil untuk
diprioritaskan sebagai isu utama bagi sejumlah media massa yang diterbitkan
jauh sebelum Kongres Perempuan I berlangsung. Dikarenakan media massa pada
saat itu lebih tertarik mengkritik poligami sebagai upaya menarik simpati
perempuan untuk berjuang menentang praktik poligami. Sebagaimana tercatat
dalam sejarah modern, Kartini adalah perempuan yang pertama kali berjuang
menentang poligami meski dikalahkan oleh poligami. Rohana Kudus (1912) juga
10
mengkritik praktik poligami meskipun harus berdebat dengan para ulama lewat
surat kabar yang dipimpinnya, Soenting Melayu. Termasuk kritik yang
disampaikan Ny. Abdoerachman tentang perkawinan dan pendidikan perempuan
dalam Putri Mardika (1914) (Savitri, 2006: 41; Setyowati, 2009: 21; Dahlia,
2013: 125). Siti Sundari sebagai redaktur media cetak Wanita Sworo (1913) juga
mengkritik poligami dengan keras meskipun artikel yang dipublikasikan lebih
fokus membahas persoalan domestik (Stures, 1960: 63-64). Sementara itu, media
cetak terbitan Sarekat Islam cabang Batavia bernama Pantjaran Warta (1913)
berkontribusi mengkritik perkawinan konkubinat (pergundikan) perempuan
Indonesia (yang disebut Nyai) dengan laki- laki Eropa atau Cina karena dianggap
merendahkan derajat perempuan dan bangsa Indonesia. Seharusnya konkubinat
ditiadakan dan dijadikan perkawinan yang resmi dan jelas sebagaimana
diberitakan oleh Kaum Muda di awal tahun 1915 (Korver, 1985: 45; 54). Dengan
demikian, media cetak yang diterbitkan sebelum Kongres Perempuan Indonesia I
tahun 1929 sudah mulai memperjuangkan isu poligami selain pendidikan, anak
dan kehidupan berumahtangga.
Media massa yang berkembang pesat saat ini tidak lagi seefektif periode
itu mengkritik persoalan poligami. Dikarenakan aspirasi penolakan perempuan
terhadap poligami telah diwujudkan pada masa kepemimpinan Suharto berupa
UU Perkawinan No.1 tahun 1974 dimana poligami tetap diperbolehkan tetapi
dengan syarat-syarat tertentu. Dalam penerbitan media massa sesudahnya, isu
poligami hanya akan dimuat apabila dipraktikkan tokoh masyarakat atau publik
figur disertai dengan kemasan yang menarik sebagai daya tarik untuk
11
meningkatkan popularitas media tersebut. Tema kekerasan dalam rumah tangga
baik fisik dan psikis terhadap perempuan dan anak selain kemampuan suami
bersikap adil seringkali diungkapkan media massa tanpa mengkritik kesesuaian
UUP tersebut dengan masa sekarang. Artinya, media massa tidak lagi
mengandalkan ideologi yang dominan semata tetapi telah menghubungkan diri
dengan selera pasar.
Situasi itu mendorong umat Islam berupaya memperoleh pemahaman
yang akurat perihal poligami dari berbagai perspektif termasuk perspektif Islam.
Meskipun media massa umum mampu menjelaskannya secara lebih baik, tetapi
umat Islam berkesempatan menyerap informasi itu dari media massa khusus yang
dimiliki umat Islam. Rahmat (1998: 54-55) melihat beragam defenisi tentang
media massa Islam yakni; Pertama, media massa yang pada tingkat simbol
menggunakan nama Islam, seperti Ummat, Panji Masyarakat dan Amanah.
Kedua, media massa itu tidak menggunakan simbol-simbol Islam tetapi secara
tersirat dipersepsikan orang bahwa dia memikul misi keagamaan, seperti
Republika dan Kompas. Ketiga, media massa yang tidak membawa
lambang- lambang Islam, juga tidak secara implisit membawa misi Islam, tetapi di
media massa itu banyak orang Islam yang berupaya memasukkan
gagasan-gagasan mereka, seperti Radio Ramako. Dengan kata lain, media massa
Islam adalah media komunikasi yang digunakan oleh dan untuk masyarakat Islam
dengan menekankan pada unsur-unsur isi, etika media dan komitmen terhadap
Islam sebagai pedoman kasar untuk bisa diindikasikan sebagai media Islam
(Abdullah, 2009: 259).
12
Media cetak Islam adalah bagian dari media massa Islam yang cenderung
diperuntukkan bagi pembaca yang sebagian besar orang Islam. Media cetak itu
boleh jadi berupa majalah, tabloid, buletin, jurnal, surat kabar, buku, maup un
risalah-risalah yang beridentitaskan Islam sebagai literatur pengimbang terhadap
beragam informasi media massa umum yang bertolak belakang dengan Islam dan
dunia Islam. Contoh-contoh dari media cetak ini dapat dijumpai pada media cetak
Islam berskala besar dan popular hingga selebaran-selebaran kecil yang
diedarkan tiap hari Jum‟at, yang dikelola oleh beragam perusahaan media massa
dalam rupa penerbitan yang sederhana hingga paling modern. Pasang surut
perkembangannya dipengaruhi oleh eskalasi politik, masyarakat pembaca, sisi
komersial dan ideal media.
Majalah Islam termasuk salah satu bagian dari media cetak Islam yang
cakupannya telah dipersempit dan disesuaikan dengan segmentasi pembacanya.
Umumnya, segmen pembaca majalah ini berasal dari kelompok menengah Islam
Indonesia yakni kalangan remaja, laki- laki dan perempuan dewasa, hingga
keluarga muslim yang memiliki ketertarikan lebih besar pada pengayaan spiritual
di tengah kesibukan kerja. Muatan isinya tidak lagi terbatas pada persoalan ritual
keagamaan, dakwah, dan politik seperti di awal perkembangannya tetapi sudah
mulai bersentuhan dengan budaya popular seperti fashion dan mistik sejak
berakhirnya kepemimpinan Soeharto di tahun 1999 (Irawanto, 2006: 307). Di
tengah kompetisi antar majalah yang semakin ketat dalam memperebutkan hati
pembaca maka majalah Islam juga meningkatkan kualitas dengan memperbaharui
tampilan dan isi. Bahkan beberapa majalah Islam seperti Hidayah menyiasati
13
persaingan itu dengan cara bersinergi dengan televisi dan radio (Majalah &
Tabloid, 2005: 35).
Keragaman corak majalah Islam yang ada tidak bisa dilepaskan dari
berbagai aliran pemikiran dan pemahaman yang diwakili oleh majalah tersebut
dengan tidak melupakan sisi komersial dan ideologisnya. Menurut Sudibyo
(2006), corak majalah Islam terdiri atas: pertama, majalah Islam yang
berorientasi keagamaan secara ekstrim. Seluruh proses komunikasi berjalan
secara monologal tanpa disediakannya ruang buat dialog secara rasional dan
interaksi pemikiran. Kedua, majalah Islam yang bercorak progresif liberal. Dalam
hal apapun, mereka lebih terbuka terhadap perbedaan pendapat dan lebih
apresiatif terhadap posisi atau sikap yang bertentangan dengan mereka. Ketiga,
majalah Islam yang bercorak moderat (Syafi‟i, 2005: 19). Moderat itu artinya
tidak ekstrim, melainkan cenderung ballance (seimbang) dan mengambil posisi di
tengah. Selain itu, bersifat inklusif, modern dan terbuka terhadap berbagai macam
mozaik pemikiran, serta peka terhadap berbagai aspirasi beragam kelompok yang
ada. Kelompok dengan corak ini berada di antara majalah Islam yang bercorak
ekstrim dan progresif liberal. Ketiga orientasi majalah Islam tersebut hanya
muncul pada saat reformasi sebab di masa kepemimpinan Suharto, aspirasi umat
Islam dan perbedaan-perbedaan pandangan tidak bisa diekspresikan secara bebas
karena dikontrol oleh rezim yang berkuasa.
Untuk ketiga kategori tersebut dipilih tiga majalah sebagai berikut:
Pertama, majalah Sabili yakni majalah Islam yang memiliki visi dan misi untuk
menegakkan syari‟at Islam serta menjadikan generasi muda Islam dan kalangan
14
terpelajar sebagai segementasi pembacanya. Majalah Sabili pernah mewakili
kategori majalah keagamaan yang berorientasi ekstrim, pernah menempati tiras
teratas sebanyak 380 ribu eksemplar pada tahun 2005 (Syir‟ah, 2006: 19).
Menurut Bagir dari segi ideologi majalah Sabili selain Hidayatullah adalah
majalah Islamis (Syafi‟i, 2006:52) dengan berita yang bombastis, kontroversial
dan sering menentang kebijakan pemerintah maka majalah Sabili termasuk
kategori majalah keagamaan yang berorientasi ekstrim.
Kedua, majalah Syir‟ah yakni majalah Islam yang mewakili kategori
majalah Islam yang progresif liberal. Pemahaman Islam yang toleran dan liberal
seringkali dimuat dalam isu- isu sosial keagamaan seperti terorisme, perdamaian,
perdagangan bebas, civil society, dan sebagainya. Majalah Syir‟ah menurut Bagir
(Syafi‟i, 2006: 54) termasuk majalah ideologi yang liberal (siap menerima
pandangan apapun yang berkembang termasuk yang tak disetujuinya), Majalah
ini cenderung memilih generasi Islam liberal sebagai tokoh narasumber dalam
menyampaikan pemikirannya karena menurut Qodir (2007:110) mereka bekerja
pada pijakan kemanusiaan untuk semua, bukan landasan teologi yang kaku dan
diskriminatif. Segmentasinya ditujukan untuk orang dewasa dan mahasiswa.
Ketiga, majalah NooR yakni majalah Islam yang memiliki visi dan misi
menjadikan muslimah dewasa bergaya hidup Islami dan menjadikan perempuan
muslimah sebagai generasi pembacanya. Majalah Noor mencapai tiras 30.000
bahkan mencapai 50.000 per edisi, lebih tinggi dari majalah sejenis seperti Paras,
Umi, Alya yang memiliki tiras rata-rata 20.000 per edisi. Majalah NooR
merupakan satu dari 14 majalah dan tabloid yang dikelola Pinpoint seperti audio
15
pro, PC Media, mobil motor, Noor, Perkawinan, Salon, Lisa yang masih eksis
hingga sekarang (Cakram Komunikasi, 2005:7). Bagi perempuan muslimah yang
akan menekuni agama atau memperdalam ilmu agama Islam akan membaca
majalah Noor dan Ummi (NBR, 2005:8). Namun pernyataan itu agaknya
berlebihan, sebab dilihat dari isi dan sebagaimana pendapat Jones (2010: 102),
Noor sebagai fashion magazine khususnya bagi kaum perempuan. Bahkan the
fashion pages from Noor portrait women modeling fashionble muslim dress: for
work, home, dinner and night out (Wicheken, 2010:57).
Pemilihan ketiga majalah tersebut tidak hanya didasarkan pada kategori
media Islam yang pada tingkat simbolik menggunakan nama Islam dan pers yang
menyatakan dirinya Islam dan menggunakan atribut-atribut formal Islam
(Rakhmat, 1998: 54; Sobur, 2004: 260) tetapi juga mewakili ketiga orientasi
majalah Islam sebagaimana penulis sebutkan di atas. Kekhasan tiga majalah
Islam yakni majalah Syir‟ah, majalah Sabili dan majalah NooR, dalam kajian
wacana poligami dapat saling mengisi karena masing-masing majalah memiliki
visi-misi, ideologi, serta segmentasi yang berbeda. Namun, pertentangan ideologi
serta keberpihakan masing-masing media juga dapat terlihat. Sehingga kajian ini
menjadi bagian penting dari riset wacana tentang poligami yang melibatkkan tiga
majalah Islam sekaligus sebagai wacana pertarungan antara kelompok Islam garis
keras dan Islam progresif liberal di Indonesia, sesungguhnya ada kelompok yang
lebih besar. Mereka cenderung apolitis, tidak ideologis dan acuh tak acuh atas
perdebatan pemikiran yang terjadi (Sudibyo, 2006).
16
1.2 Rumusan Masalah
Praktik poligami bukanlah menjadi cerita baru dalam Islam. Hanya saja
bagaimana praktek poligami dijalankan suatu masyarakat menjadi misi dari
masing-masing kelompok Islam yang diujung kelompok-kelompok itu telah ada
beragam majalah seperti Sabili, Syir‟ah atau NooR yang memberikan
sumbangan pemikiran dan memberikan penilaian atas setiap praktik poligami
yang dilakukan. Meskipun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa tiap-tiap
majalah berhasrat meraup sebanyak mungkin pembaca tertentu sebagai bagian
dari sense of mission majalah tersebut.
Ketiga majalah Islam yakni Sabili, Syir ‟ah dan NooR menjelaskan isu-isu
poligami dengan cara yang beragam mulai dari bentuk cerita fiksi maupun non
fiksi. Akan tetapi, majalah-majalah Islam tersebut membuka isu poligami dengan
berbagai argumen yang berbeda. Argumen itu disusun dan diseleksi berdasarkan
sudut pandang yang sudah dipersiapkan untuk memperebutkan perhatian
masyarakat pembaca. Ini mengharuskan majalah Islam memproduksi makna
yang beragam mengenai perkawinan poligami seperti „menghindari zina‟,
sebagai „pintu darurat‟, atau „solusi sosial‟ untuk memberikan identitas dan
menampilkan penafsiran tentang poligami yang secara tidak langsung
mengarahkan masyarakat pembaca pada pengambilan keputusan. Memang
majalah-majalah Islam tersebut memiliki kemampuan dalam menampilkan
perkawinan poligami melalui gambaran yang mendukung atau pun menolak
sampai dengan menghadirkan majalah Islam dalam beragam perspektif.
17
Berdasarkan uraian di atas, mengkaji bermacam-macam majalah Islam
dalam caranya merepresentasikan persoalan poligami menarik untuk dicermati.
Dengan ini, penelitian diarahkan untuk memecahkan masalah pokok yakni:
bagaimana majalah-majalah Islam yakni Sabili, Syir’ah dan NooR
merepresentasikan isu poligami?
Pertanyaan umum ini selanjutnya dirumuskan dalam bentuk pertanyaan
yang lebih rinci sebagai berikut:
1. Bagaimana wacana poligami dikonstruksi oleh majalah Sabili, Syir‟ah dan
NooR?
2. Bagaimana perempuan diwacanakan oleh majalah Sabili, Syir ‟ah dan NooR
dalam wacana poligami tersebut?
3. Identitas perempuan seperti apa yang direpresentasikan majalah Sabili,
Syir‟ah dan Noor dalam wacana poligami?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini pada hakekatnya bertujuan untuk mendeskripsikan,
menganalisa dan memahami secara mendalam:
1. Konstruksi wacana poligami oleh media cetak Islam melalui majalah Sabili,
Syir‟ah dan NooR
2. Keberadaan perempuan dalam wacana poligami pada majalah Sabili, Syir‟ah,
dan NooR
3. Identitas perempuan yang ditampilkan oleh majalah Sabili, Syir‟ah dan
NooR dalam isu poligami.
18
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini memberikan manfaat atau kontribusi teoritik terkait penerapan
kajian representasi terhadap wacana poligami yang dikonstruksi majalah Islam
yakni majalah Sabili, Syir‟ah dan NooR. Selain itu penelitian ini juga
memberikan kontribusi teoritik terkait identitas perempuan yang diwacanakan
oleh majalah Sabili, Syir ‟ah dan NooR sebagai bagian dari konstruksi poligami
secara keseluruhan.
Secara praktis, penelitian ini memberikan gambaran yang utuh tentang
dinamika wacana poligami yang berkembang di majalah Sabili, Syir‟ah dan
majalah NooR. Selain itu, penelitian ini juga penting untuk mengetahui pola pikir
(ideologi) dan keberpihakan majalah Islam berdasarkan sudut pandang yang
digunakan majalah Islam tersebut.
Dengan demikian, penelitian ini diharapkan bisa memberikan sumbangan
yang bermanfaat terhadap kalangan peneliti sosial yang meneliti tentang poligami,
peneliti media, praktisi media yang mengangkat wacana poligami sebagai isu
kajian. Bagi media cetak khususnya majalah Islam, kajian ini dapat menjadi
bahan telaah yang membawa pengaruh bagi kehidupan keluarga muslim maupun
kebijakan pemerintah tentang perkawinan poligami di Indonesia.
1.5 Tinjauan Pustaka dan Landasan Teori
1.5.1 Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka ini berupaya memetakan aspek kajian yang sudah diteliti
dan menemukan aspek yang belum banyak diteliti sehingga peneliti mengetahui
posisi penelitian ini di antara berbagai penelitian yang sudah dilakukan dan
19
menjadikannya sebagai studi dalam sebuah penelitian. Penelusuran yang
dilakukan tentang poligami menemukan beberapa kajian terdahulu yang meliputi
tinjauan poligami secara legal formal, praktek poligami, implikasi dari
perkawinan poligami, serta wacana (discource) poligami. Pada bagian akhir
paparan dari kajian pustaka ini, peneliti menyampaikan posisi studi ini di antara
studi-studi yang berhubungan dengan poligami.
Kajian tentang poligami yang dilihat secara legal formal baik berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia maupun sumber hukum
Islam sebagai acuan umat Islam telah dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu.
Sebagaimana studi Abdul Qodir (2005) dalam Memilih Monogami: Pembacaan
Atas Al-Quran dan Hadist Nabi. Studi tersebut menjelaskan bahwa pilihan
monogami bukan soal pengharaman sesuatu yang telah dihalalkan dalam Islam,
bukan pula soal pembiaran terhadap nasib perempuan yang jumlahnya lebih
banyak daripada laki- laki, juga bukan soal ajaran Barat dan Timur, melainkan
soal implementasi perintah al-Qur‟an terhadap keharusan berlaku adil dan
larangan tindakan aniaya dalam perkawinan. Dalam studinya tersebut, Qadir
memperkuat argumentasi teologis terhadap pilihan monogami berdasarkan
teks-teks al-Qur‟an dan Hadis Nabi. Dengan begitu bagi mereka yang ingin dan
propoligami hendaknya mempertimbangkan segi hukum Islam dan hak-hak
perempuan dan kerelaan mereka.
Kajian berdasarkan peraturan perundang-undangan di Indonesia dapat dilihat
dalam beberapa studi. Diantaranya studi Suzanna Eddyono (2015) dalam Narasi
Hak-hak dalam Perdebatan mengenai Poligami di Indonesia. Studi ini
20
menjelaskan respon negara dan kelompok-kelompok perempuan terkait dengan
judical review pasal-pasal yang mengatur tentang poligami. Hasil studi
menunjukkan bahwa Negara menolak tuntutan judical review tersebut karena
dipandang sebagai upaya menghapus instrumen perlindungan terhadap
perempuan dan anak-anak. Sementara itu kelompok-kelompok perempuan
berupaya untuk menegosiasikan hak-hak mereka sebagai warga negara dan
komunitas agamanya terlepas dari penekanan ulang negara yang mengakui dan
menempatkan perempuan dalam komunitas agamanya.
Ika Oktavianti (2006) dalam tesis berjudul Implementasi PP No. 45 tahun
1990 Jo.PP No.10 Tahun 1983 tentang Perkawinan Pegawai Negeri Sipil di
Kabupaten Kutai Kartanegara juga melihat aspek legal formal yang berkaitan
dengan poligami. Studi ini menfokuskan pada alasan poligami yang dilakukan
PNS di Kutai Kartanegara untuk menghindari Peraturan Pemerintah tersebut dan
cara yang mereka lakukan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Hasil studi
menunjukkan bahwa pernikahan di bawah tangan, hidup bersama tanpa ikatan
perkawinan yang sah, atau PNS perempuan menjadi isteri yang kedua merupakan
solusi bagi PNS di Kabupaten Kutai Barat supaya tidak terjerat oleh ketentuan
negara yang mengatur perkawinan pegawai negeri sipil. Dengan demikian,
perkawinan yang dilakukan tidak sah berdasarkan aturan pemerintah, meskipun
sah secara agama, sehingga segala hal terhadap perkawinan tersebut dapat
terlepas dari ketentuan dalam peraturan tersebut.
Paralel dengan studi yang dilakukan Yeni Gusti (2010) di Kota Padang dalam
judul Tinjauan terhadap Putusan Pengadilan Agama tentang Perkawinan
21
Poligami (Studi Kasus di Pengadilan Agama di Kota Padang). Studi ini
menjelaskan penyebab poligami yang ditemukan di Pengadilan Kota Padang. Hal
itu terkait dengan ketidakmampuan istri memberikan keturunan, sakit menahun,
tidak bisa mensupport suami, lalai dalam menjalankan kewajiban, suami terlanjur
cinta pada calon istri keduanya tersebut sebagai penyebab terjadinya perceraian
dalam perkawinan. Hampir sama dengan studi Sadiansyah Sabara (2007) dalam
Pelaksanaan Poligami Ditinjau dari UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
di KUA Kota Makassar. Hasilnya menunjukkan bahwa 4 (empat) faktor yang
mempengaruhi terjadinya poligami, yaitu: faktor agama, faktor ekonomi, faktor
keturunan dan faktor hawa nafsu.
Berdasarkan kajian Eddyono (2015), Gusti (2010), Sabara (2007), Oktaviani
(2006), pada aspek legal formal dapat dilihat bahwa orientasi seksual biologis
sebagai faktor utama terjadinya poligami dalam rumah tangga. Meskipun negara
melalui pemerintah telah memberlakukan aturan tentang perkawinan ternyata
tidak menjadi jaminan untuk tidak menemukan celah membenarkan poligami
demi orientasi biologis dan meningkatkan status sosial di masyarakat. Padahal
Qadir (2005) sudah menyampaikan bahwa berdasarkan sumber hukum Islam,
poligami yang dicontohkan Nabi bukan dengan pertimbangan biologis tetapi
karena alasan perlindungan terhadap para janda dan anak yatim.
Kajian tentang praktek poligami paling banyak menjadi perhatian peneliti
dari berbagai sudut pandang. Salah satunya melihat keterkaitan praktek poligami
yang berlangsung dari masa lalu hingga poligami yang diaplikasikan pada masa
sekarang, sebagaimana dibahas Musfir Aj-Jahrani (1996) dalam studinya
22
Poligami dari Berbagai Persepsi. Studi ini menjelaskan perbedaan penerapan
praktik poligami di masa lalu oleh bangsa Cina, India, Persia, Mesir Kuno, Arab,
Yahudi dan termasuk bangsa-bangsa Eropa dengan poligami yang dpraktikkan
oleh Islam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada batasan yang jelas
mengenai jumlah istri yang dimiliki pada zaman sebelum kedatang Islam tetapi
setelah Islam hadir maka perempuan yang boleh dinikahi hanya empat orang.
Meskipun Jahrani mengutip beragam pendapat dari berbagai ulama Islam tetapi
tidak ditemukan argumentasi pribadinya kecuali berusaha menggiring pembaca
kepada pendapat yang cendrung berpihak terhadap poligami.
Praktik poligami dalam studi Khozin Abu Fakih (2007) dengan judul
Poligami Solusi atau Masalah? juga menunjukkan keberpihan terhadap poligami
secara jelas. Hasil studi ini menjelaskan bahwa poligami tidak dilakukan dengan
alasan kesenangan pribadi tetapi bertujuan untuk keselamatan dan terjaganya
sebuah keluarga. Serupa halnya dengan studi Ridha Salamah (2005) yang
berjudul Menjadi Suami Sejati jangan Menjadi Suami Gagal. Studi ini menjadi
menarik karena penulisnya adalah seorang perempuan yang secara persuasif
menggiring pembaca untuk berpoligami. Ridha Salamah (2005) menfokuskan
studinya pada perilaku baik suami terhadap istri. Perilaku baik suami dalam
kehidupan rumah tangga terlihat dari kemampuannya memuliakan para istri
dengan sebaik-baiknya sebagai bentuk kesuksesan suami memimpin rumah
tangga poligami. Bagian bab terakhir diberikan alternatif dengan bahasa yang
menganjurkan untuk menambah istri.
Studi Siti Musdah Mulia (1999) yang berjudul Pandangan Islam tentang
23
Poligami bertolak belakang dengan studi Jahrani (1996), Fakih (2007), dan
Salamah (2005). Studi tersebut lebih menitikberatkan pembahasannya pada
perubahan-perubahan yang radikal dalam pelaksanaan poligami berdasarkan
faktor sosio-historis. Pertama, membatasi bilangan istri hanya sampai empat
orang, itu pun hanya boleh kalau suami mampu berlaku adil. Syarat ini dirasakan
amat berat kalau tidak ingin dikatakan mustahil dapat terpenuhi. Perubahan kedua,
membatasi alasan poligami: poligami hanya dibolehkan semata-mata demi
menegakkan keadilan, bukan dalam kerangka memuaskan nafsu biologis. Ini pun
ternyata lebih sulit dipenuhi. Musdah juga menyampaikan bahwa faktor- faktor
yang mendorong timbulnya poligami berakar pada mentalitas dominasi (merasa
kuat) dan sifat depotis (semena-mena) kaum pria. Dan sebagian lagi berasal dari
perbedaan kecendrungan alami antara laki- laki dan perempuan dalam hal fungsi
reproduksi.
Jahrani (1996), Fakih (2007), Salamah (2005) dan Musdah (1999) memiliki
sudut pandang yang berbeda berkaitan dengan praktik poligami. Meskipun
Salamah (2005) dan Musdah (1999) sama-sama penulis perempuan tetapi
keduanya memiliki pemikiran yang bertolak belakangan tentang poligami.
Salamah (2005) justru memiliki pemikiran yang hampir sama dengan Jahrani
(1996) dan Fakih (2007) dalam hal menggiring pembaca untuk memilih poligami.
Sementara Musdah (1999) memiliki pendapat yang berbeda dengan mengajak
pembaca untuk bermonogami. Hal itu terlihat sekali dalam studinya dengan judul
Islam Menggugat Poligami (2004). Studi ini menjelaskan bahwa praktek
poligami di masyarat telah menimbulkan problem sosial yang meluas dan sudah
24
sangat memprihatinkan. Aspek negatif poligami lebih besar dari aspek positifnya.
Dalam istilah agama, lebih banyak mudharat ketimbang maslahatnya dan sesuai
kaidah fiqhiyah segala sesuatu yang lebih banyak mudharatnya harus dihilangkan.
Karena itu, perlu diusulkan pelarangan poligami secara mutlak sebab dipandang
sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) dan
pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Praktik poligami yang terjadi pada masa sekarang dapat dilihat dalam
beberapa tulisan. Diantaranya studi Mas‟udi (2008) yang berjudul Poligami di
Mata Laki-laki Madura (Studi Kasus Masyarakat Pakandangan Barat
Kecamatan Blutto Kabupaten Sumenep Madura). Studi ini menfokuskan pada
penyebab lain terjadinya poligami pada laki- laki Madura. Hal itu terkait dengan
motif ekonomi sebagai penyebab terjadinya praktek poligami. Masyarakat sekitar
melihat hal itu sebagai takdir Tuhan walaupun praktek poligami diyakini
menimbulkan keretakan keluarga. Lain halnya dengan Dono Baswardono (2006)
yang menemukan hal berbeda pada studinya dengan judul Poligami itu Selingkuh.
Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa poligami tidak terjadi begitu saja tetapi
diawali dengan proses orientasi terlebih dahulu. Secara psikologis, hal itu telah
terjadi semenjak si suami mengenal lebih dekat perempuan lain. Dikarenakan
manusia bukanlah robot maka sebelum memutuskan untuk berpoligami, laki- laki
tertentu mengucapkan perasan, isi hati dan niatnya kepada calon istri mudanya.
Bahkan dan ini yang banyak terjadi, niatnya itu tidak pernah diceritakan kepada
istri lamanya, karena disadari betul bahwa sang istri tidak akan merestui niatnya.
Studi Mas‟udi (2008) dan Baswardono (2006) merupakan dua studi yang
25
berbeda dalam melihat praktik poligami. Perbedaan itu juga terlihat dari realitas
dalam kehidupan rumah tangga keluarga poligami. Sebagaimana yang dtulis Ika
Qurrota A‟yun (2008), dalam Poligami dalam Perspektif Postfeminis (Analisis
Skenario Film Berbagi Suami). A‟yun (2008) menjelaskan secara sistematis
relasi-relasi yang terjadi dalam ruang kehidupan rumah tangga Salma, Siti dan
Ming. Hasilnya adalah lebih banyak konflik yang terjadi dalam rumah tangga
berpoligami antara istri-suami, istri- istri, orang tua – anak maupun dengan
masyarakat sekitar. Berbeda sekali dengan film Ayat-ayat Cinta karya
Habiburrahman El-Shirazy yang dibahas Zahro (2009) dalam Penerimaan
Perempuan terhadap Poligami dalam Film Ayat-Ayat Cinta. Menurut Zahro
(2009) kasus perkawinan Fahri yang telah memiliki istri, yakni Aisya dan Maria
merupakan salah satu contoh perkawinan poligami yang dapat diterima oleh
sebagian perempuan.
A‟yun (2009) dan Zahro (2009) setidaknya berusaha menyampaikan realitas
kehidupan yang dialami oleh istri- istri poligami dari sudut pandang yang berbeda.
Di satu sisi, menjalani kehidupan berpoligami memang menimbulkan banyak
konflik rumah tangga. Di sisi lain, paling tidak poligami dianggap sebagai pilihan
rasional untuk menyelamatkan kehidupan seorang anak manusia. Namun, pilihan
kedua itu hanya sampai pada realitas kehidupan awal keluarga poligami karena
salah satu tokoh perempuan sebagai istri kedua dalam film Ayat-ayat Cinta
tersebut meninggal dunia. Sebagai akibatnya Zahro sendiri kesulitan untuk
menjelaskan pesan secara keseluruhan dari proses penerimaan kehidupan
berpoligami tersebut.
26
Dari berbagai penelitian tentang praktek poligami yang telah dilakukan di
atas, terlihat ragam kajian poligami baik dari aspek legal formal, poligami dalam
praktik sehari-hari di keluarga, hingga melalui film, ternyata untuk mempraktek
poligami tidak mudah dilakukan. Akan selalu ada persoalan yang dialami
kehidupan keluarga poligami. Sehingga kajian-kajian yang beragam ini
menemukan titik fokus bahwa poligami meskipun ada dan berlangsung dalam
masyarakat, tetapi tidak mudah dijalankan.
Praktek perkawinan poligami yang telah dikaji peneliti-peneliti tersebut
membawa pada satu pembahasan lain, yakni tentang implikasi terhadap
perkawinan poligami. Tulisan Laila S.Shahd dalam “Cairo Papers in Social
Science” dengan judul An Investigation of the Phenomenon of Poligyny in Rural
Egypt (2001). Penelitiannya mengungkapkan bahwa poligini tidak hanya menjadi
sarana bagi laki- laki pedesaan Arab untuk memperbanyak tenaga kerja di
pertanian melainkan juga memperkuat kehidupan ekonomi dan kekuasaan politik
di desa tersebut. Faktor infertilitas dan ketidakmampuan istri melahirkan anak
laki- laki memberikan kesempatan bagi suami untuk beristri lagi. Hal itu
dikarenakan, anak laki- laki memiliki nilai yang lebih daripada anak perempuan
karena berfungsi sebagai pelanjut keturunan, pewaris kekayaan dan tenaga utama
pertanian mereka. Konflik istri dengan ipar yang mendiami rumah yang sama
sering terjadi dalam rumah tangga poligini. Hal itu tidak hanya dialami petani
pada kelas sosial ekonomi menengah ke bawah tetapi juga kelas sosial atas.
Namun, istri- istri tersebut lebih suka mempertahankan rumah tangga mereka
dengan alasan agama dan kenyamanan anak serta status sosial ekonominya.
27
Dari kajian Shahd (2001) dapat diketahui perkawinan poligami merupakan
upaya mengelola dan menambah sumber daya manusia untuk kekuatan ekonomi
dan politik pada level masyarakat desa sehingga dapat memperkuat status sosial.
Kajian berbeda dari Islah Gusmian (2007), dalam Mengapa Nabi Muhammad
Berpoligami, menjelaskan kisah kehidupan Nabi dengan 11 istrinya yang selama
ini dijadikan acuan laki- laki yang berpoligami. Menurut Gusmian, data sejarah
menunjukkan bahwa Nabi berpoligami bukan karena ketidakmampuannya
mengendalikan libido seksual seperti tuduhan para orientalis tetapi demi
melindungi para janda dari derita hidup dan pembebasan diri mereka dari status
budak. Dengan demikian, laki- laki yang berpoligami mesti berfikir ulang bila
mengabsahkan pilihannya itu pada sunnah Nabi sebab pada kenyataannya Nabi
tidak pernah menganjurkan umatnya untuk berpoligami tetapi justru
membencinya.
Implikas perkawinan poligami dilakukan Nabi Muhammad sebagaimana
kajian Gusmian (2007) bermaksud memberikan perlindungan pada kalangan
perempuan terutama para janda dan membebaskan perempuan dari perbudakan.
Hal berbeda terjadi dalam perkawinan poligami pada masyarakat biasa,
sebagaimana kajian Leli Nurohmah (2006) dalam Meretas Jihad Kesetaraan juga
membahas pengalaman perempuan yang menjalani praktik perkawinan poligami
dan realitas keadilan yang mereka lalui dalam perkawinan poligami. Menurut
Nurohmah (2006) perempuan yang dipoligami mengalami 3 (tiga) bentuk
kekerasan yaitu kekerasan fisik, ekonomi dan kekerasan multilapis. Ketiga
bentuk kekerasan itu dialami oleh istri pertama, kedua, ketiga dan keempat tanpa
28
perlawanan. Hal itu disebabkan oleh karena praktik poligami yang dilakukan
secara sirri sehingga para istri dapat dicerai tanpa proses hukum pengadilan.
Poligami dalam tinjauan aspek legal formal, praktek poligami, implikasi
poligami, sebenarnya tidak terlepas dari wacana poligami yang berkembang di
masyarakat dan pada giliran selanjutnya akan mempengaruhi pemikiran hingga
menentukan kecenderungan seseorang untuk memilih perkawinan monogami
atau perkawinan poligami. Kajian terhadap poligami baik praktek dari tokoh
hingga pemikiran tokoh menjadi dasar utama wacana poligami, sebagaimana
studi Abduttawab Haikal (1993) dalam membantah tuduhan Barat terhadap
poligami dalam Rahasia Perkawinan Rasulullah: Poligami dalam Islam vs
Monogami Barat. Haikal mengkomparasikan poligami Islam dengan sistem
monogami Barat sehingga mudah menunjukkan mana yang terbaik diantara
keduanya. Ia juga menjawab setiap tuduhan dan kecaman Barat tentang poligami
Islam, khususnya poligami Nabi secara cermat, kritis dan analitis.
Yusuf Wibisono (1980) dalam Monogami atau Poligami Masalah Sepanjang
Masa juga memuat bantahan terhadap opini negatif sarjana Barat mengenai
poligami dalam Islam. Wibisono membantah keras terhadap kritik sarjana Barat
terhadap poligami yang dilakukan Nabi Muhammad saw. serta praktek poligami
yang dilakukan umat Islam di Indonesia. Karya ini menarik untuk dicermati
karena Wibisono tidak saja menggunakan dalil al-Qur‟an dan hadis tetapi ia juga
mengemukakan pendapat pemikir Barat hingga filosof seperti Plato dan Socrates
yang memberikan ruang terhadap praktek poligami. Wibisono juga melihat carut
marut kehidupan berkeluarga di Eropa yang mengagung-agungkan praktek
29
monogami.
Praktek poligami yang dilakukan Nabi Muhammad menjadi wacana besar
yang dipertentangkan oleh pemikiran Barat dan pemikiran Islam, sebagaimana
studi Haikal (1993) dan Wibisono (1980) merupakan wacana tandingan yang
mengkritik wacana barat. Selain itu kajian tersebut memberikan pengertian
bahwa praktek poligami yang dilakukan seorang tokoh selalu mengundang
polemik di masyarakat terutama dalam wacana pro dan kontra poligami. Hal itu
dikarenakan para ulama memiliki intensitas yang tinggi untuk tampil di hadapan
publik dan pada kasus tertentu ulama pun hidup berpoligami seperti kasus
poligami Aa Gym.
Studi Sulaiman Al-Kuyami (2009) yang berjudul Aa Gym diantara
Pro-Kontra Poligami membahas tentang pro kontra Poligami Aa Gym. Hasil
studi ini lebih banyak membahas secara berimbang pendapat kelompok pro
kontra poligami dengan menggunakan gaya pelaporan (reporting style) yang
lazim dalam karya jurnalistik. Secara keseluruhan pendapat-pendapat ulama,
sarjana dan aktivis muslim dikutip di dalam buku tersebut sehingga pihak yang
mendukung atau menentang poligami Aa Gym dapat mengetahui dasar
pemahaman yang benar dan diharapkan tidak timbul sikap saling menyalahkan
apalagi memaki secara membabi buta. Berbeda sekali dengan studi Abu Umar
Basyir (tt) dengan judul Poligami Anugerah yang Terzalimi. Studi tersebut
menjelaskan masalah poligami (heboh poligami Aa Gym). Basyir mendudukkan
poligami secara spekulatif. Terlihat dari argumen yang ditulis tidak begitu kuat
dan terkesan menonjolkan dalil yang cenderung membenarkan pendapat penulis.
30
Kajian wacana terhadap praktek poligami tokoh juga dilakukan Sonja van
Wichelen dalam bukunya Religion, Politics and Gender in Indonesia sub bab
buku itu membahas tentang poligami yang dilakukan Puspo Wardoyo. Bagi
Wichelen, poligami di Indonesia sebagai hegemoni maskulinitas. Ia juga
membahas kajian media Islam yakni majalah NooR, tetapi sebatas pada kajian
mode pakaian muslim Indonesia (Lihat Wichelen, 2010). Meskipun membahas
poligami, sayangnya kajian Wichelen tidak secara fokus mengkaji poligami
tersebut sehingga peneliti hanya melihat kajian tersebut sebagai pelengkap dari
kajian yang lebih besar yakni tentang gender.
Selain wacana poligami yang muncul dari praktek poligami yang dilakukan
para tokoh agama, pemikiran para tokoh juga ikut mempengaruhi berlangsungnya
wacana poligami sebagaimana studi Khoiruddin Nasution (1996) yang berjudul
Riba dan Poligami: Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh. Studi
tersebut membahas pemikiran Muhammad Abduh secara sangat sederhana sekali
di bidang poligami dan riba. Sebagai ulama modern, Abduh sangat keras dalam
menetapkan pengharaman poligami. Hal itu terkait dengan ketidakmampuan
seorang suami melakukan keadilan di antara para istrinya. Tentu saja, Abduh
mengakui poligami yang dilakukan sahabat Nabi, tetapi kondisi saat itu yang
menghendaki poligami diungkapkan demikian selain konteks sejarah yang harus
dibaca secara cermat dan jernih. Namun, Nasution tidak menjelaskan pemahaman
Abduh secara mendalam karena lebih banyak mengadopsi pendapat para ulama
Islam klasik dan modern sehingga pembahasan tentang pemikiran Abduh tidak
terfokus pada satu tema utama.
31
Jika pemikir Islam seperti Abduh dengan keras menentang poligami, berbeda
dengan pemikir Islam lain seperti Muhammad Syahrur yang memberikan peluang
poligami secara bersyarat. Makmun, Muafiah, dan Amalia (2009) dalam studinya
tentang Poligami dalam Tafsir Muhammad Syahrur membahas pemikiran
Muhammad Syahrur tentang poligami. Hasil studi ini menunjukkan bahwa
Muhammad Syahrur adalah pemikir Islam terkemuka yang dijuluki sebagai
„Immanuel Kant‟ dunia Arab dan „Martin Luther‟ nya dunia Islam. Ia
merumuskan poligami sebagai bantuan khusus untuk orang-orang yang mampu
berlaku adil terhadap anak yatim. Hal itu diperjelas Syahrur melalui Teori
Limitnya dengan menggunakan standar kuantitas dan kualitas. Secara kuantitas,
seorang lelaki dapat beristri 1 sampai 4. Secara kualitas, istri pertama dapat
berstatus perawan atau janda tetapi istri kedua, ketiga dan keempat harus
perempuan janda yang memiliki anak. Makmun, Muafiah, dan Amalia
menawarkan konsep Syahrur sebagai tawaran alternatif bagi pemerintah
Indonesia untuk meningkatkan perlindungan anak melalui poligami.
Paralel dengan Disertasi Sulhan Chakim yang berjudul Persimpangan Kelas
Sosial dan Gender dalam Poligami; Studi Novel Ayat-ayat Cinta Karya
Habiburrahman El-Shirazy (2013). Studi ini menjelaskan bahwa poligami dalam
wacana yang berkembang masih dominan pada kepentingan sepihak sehingga
berimplikasi pada bentuk kekerasan yang merugikan perempuan dan anak-anak.
Ideologi kekerasan dan anti kekerasan yang direpresentasikan sebagai temuan
kontestasi pada wacana relasi keluarga dan sosial menggunakan dialog antar
agama untuk menarik rasa simpati sekaligus membingkai gagasan poligami.
32
Sebagaimana dilihat dari solidaritas pemeluk Islam dan Koptik untuk menolong
dan melindungi korban kekerasan seksual dan eksploitasi atas tubuh perempuan.
Begitu pula dengan kumpulan tulisan Wacana Poligami di Indonesia, (2005)
Rochayah Machali (ed) menghadirkan beragam perkembangan wacana poligami
di Indonesia secara lebih utuh. Diperkaya pula dengan data-data faktual seperti
polemik penghapusan PP 10/1983, kampanye propoligami oleh sebagian
kelompok, dan kasus poligami di sebagian kalangan buruh industri dan buruh
migrant (TKW). Namun buku tersebut hanya berbentuk bunga rampai sehingga
kajian poligami dibahas secara singkat dan hanya terfokus pada
fenomena-fenomena poligami yang sedang berkembang di Indonesia tanpa
membahas keterkaitannya dengan media Islam.
Dari studi terhadap kajian pustaka yang telah peneliti lakukan di atas, penulis
bermaksud melengkapi kajian tentang poligami dengan pendekatan wacana kritis.
Kajian terdahulu menfokuskan pada beberapa hal. Pertama, kajian poligami yang
penulis temukan lebih banyak menyoroti poligami ditinjau dari berbagai aspek
seperti aspek legal formal, praktik poligami, implikasi poligami dan wacana
(discourse) poligami. Kajian-kajian tersebut meskipun dilakukan dengan tema
beragam, tetapi lebih banyak berada pada kajian yang bersifat empiris. Kedua,
praktek poligami yang dilakukan tokoh agama menjadi salah satu penyebab
munculnya wacana poligami yang menghadirkan polemik pro dan kontra baik
dari kalangan umat Islam maupun menimbulkan pertentangan ideologis antara
Islam dan Barat. Ketiga, posisi penelitian ini dapat diketahui setelah mendapati
bahwa banyak kajian poligami yang bersifat empiris dan masih sedikit yang
33
mendalami kajian tentang wacana poligami. Selain itu, meskipun terdapat kajian
wacana poligami yang dilakukan peneliti terdahulu, tetapi belum ditemukan
obyek kajian pada majalah Islam. Sehingga penelitian ini mengisi celah kosong
dalam kajian wacana poligami di majalah Islam.
Keempat, keunggulan kajian ini adalah menekankan pada aspek aktualitas
wacana poligami yang diangkat oleh majalah Islam dan segenap polemik pro
kontra poligami dalam majalah Sabili, majalah Syir‟ah dan Majalah Noor. Selain
itu, menganalisa wacana poligami pada tiga majalah Islam sekaligus memiliki
tingkat kesulitan sendiri. Sebab pada umumnya kajian wacana dalam tema
apapun biasanya hanya mengkaji pada satu atau dua media massa tertentu saja.
1.5.2 Landasan Teori
1.5.2.1 Representasi
Secara etimologi, representasi berasal dari bahasa latin repraesentatio terkait
dengan praesens, berasal dari kata praeesse. Kata kerja ini berarti „mendahului‟
dengan sebuah pengertian ganda: yaitu secara spasial dan secara hierarkis. Kata
tersebut merujuk pada orang atau objek yang „mendahului‟ atau „di muka
seseorang atau sesuatu yang lain dalam ruang, atau merujuk pada orang atau
objek yang „menjadi superior‟ atas seseorang atau sesuatu yang lain dalam sebuah
sistem kekuasaan. Sementara itu representasi dalam Kamus Chamber
Twentieth-Century diartikan dengan tindakan, pernyataan atau kenyataan yang
merepresentasikan atau dipresentasikan: yang mewakili/ melambangkan: citra:
gambaran: penampilan dramatis: citra (image) mental: sebuah penyajian
pandangan atas berbagai fakta atau argumen: sebuah petisi, bantahan, peringatan:
34
penerimaan harta warisan oleh pewaris (Dani, 2001: 69). The Sorter Oxford
English Dictionary mengusulkan dua makna yang relevan dengan representasi.
Pertama, penjelasan atau penggambaran sesuatu dengan mengingatnya dalam
pikiran berdasarkan deskripsi, gambaran atau imajinasi; menempatkan sebuah
kemiripan dalam pikiran atau indra kita. Contoh, lukisan ini seperti
menggambarkan pembunuhan Abel karena keributan. Kedua, representasi juga
berarti melambangkan, berdiri untuk menjadi bagian kelompok atau keseluruhan.
Contoh, Dalam agama Kristen, salib menggambarkan penderitaan dan penyaliban
Kristus (Hall, 1997: 16).
Representasi secara terminologi adalah konsep yang mempunyai beberapa
pengertian. Lyotard (dalam Rahman, 2000:187), seorang filsuf pascamodern,
berpendapat bahwa representasi berkaitan dengan ide, gambaran, image, narasi,
visual dan produk-produk keilmuan yang diistilahkannya sebagai „teks‟. Jadi
representasi adalah teks itu sendiri. Goody (1997:31) mendefenisikan representasi
adalah sebuah penghadiran kembali, sebuah penyajian dari sesuatu yang tidak
dihadirkan, yang barangkali menggunakan linguistik sebaik sebuah bentuk visual.
Menurut Hall (1997:16) representasi berarti proses produksi makna dari
konsep-konsep yang ada dalam pikiran seseorang yang disampaikan kepada
orang lain melalui bahasa.
Dalam bidang retorika, representasi mengacu pada kemampuan untuk
membangkitkan sebuah impresi yang kuat melalui kata-kata dan figures of speech.
Hal tersebut dikaitkan dengan konsep pengulangan (repetition) yakni
menghadirkan kembali dalam berbagai konteks yang berbeda. Menurut penulis
35
Roman Quintilian, utamanya, „representasi‟ menunjukkan sebuah kepandaian
memilih dan menentukan guna membuat benda-benda bersifat cemerlang dan
menyolok sehingga merangsang imajinasi audiens (Dani,2001). Dengan demikian,
representasi erat kaitannya dengan strategi produksi makna untuk menampilkan
seseorang, kelompok, gagasan atau pendapat tertentu dalam suatu pemberitaan
melalui pilihan bahasa yang tepat sehingga menjadi kekuatan dalam pencitraan.
Representasi menurut Hall (1997:17), berlangsung dalam dua proses yang
saling berhubungan, yaitu representasi mental dan bahasa. Representasi mental
merupakan „sesuatu‟ yang ada di kepala kita masing-masing (peta konseptual)
namun representasi ini masih bersifat abstrak. Ketika membayangkan tentang
Belanda, gambaran yang muncul adalah bangunan kuno, orang-orang jangkung
berkulit kemerahan, tulip atau kincir-kincir besar. Maka pada tahap ini hadirlah
konsep maupun kesan tentang apa yang disebut Belanda dalam pikiran kita.
Kesan yang didapatkan itu sangat tergantung pada subjek yang memaknai sebuah
obyek, serta relasi antara subyek dan obyek yang karenanya bersifat tidak
menetap. Representasi mental mengenai Belanda bagi yang pernah berkunjung
atau yang pernah tinggal akan sangat berbeda dengan orang yang hanya
mengenal Belanda dari penggambaran orang lain.
Representasi bahasa berperan penting dalam proses konstruksi makna.
Konsep abstrak yang ada dalam kepala diterjemahkan oleh „bahasa‟ yang lazim,
supaya kita dapat menghubungkan konsep dan ide- ide tentang „sesuatu‟ dengan
tanda dan simbol-simbol tertentu. Proses pertama memungkinkan kita untuk
memaknai dunia dengan mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara
36
sesuatu dengan sistem „peta konseptual‟ kita. Dalam proses kedua, kita
mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara „peta konseptual‟
dengan bahasa atau simbol yang berfungsi merepresentasikan konsep-konsep kita
tentang sesuatu. Relasi antara „sesuatu‟, „peta konseptual‟ dan „tanda‟ adalah
jantung dari produksi makna lewat bahasa. Proses yang menghubungkan ketiga
elemen ini secara bersama-sama itulah yang dinamakan representasi.
Makna dikonstruksi oleh sistem representasi. Supaya proses sistem
representasi tersebut bisa sedemikian rupa maka digunakan kode untuk
menghubungkan keduanya. Kode memperbaiki hubungan antara konsep dan
tanda. Kode memantapkan makna dalam bahasa dan budaya yang berbeda. Kode
memberitahu kita bahasa yang digunakan untuk menyampaikan yang ide. Kode
juga mengatakan kepada kita yang mana konsep yang diacu untuk kemudian kita
dengar atau baca melalui tanda. Dengan berubah-ubanya perlengkapan yang
menghubungkan antara sistem konsep dan sistem bahasa, kode membuat hal itu
mungkin bagi kita untuk berbicara dan jelas didengar, dan kemampuan
menterjemahkan antara konsep dan bahasa kita yang memungkinkan makna
disampaikan dari pembicara ke pendengar dan secara efektif dikomunikasikan
kedalam sebuah budaya. Kemampuan menterjemah ini tidak diberikan alam atau
ditentukan Tuhan. Ini adalah hasil dari seperangkat persetujuan sosial (Hall, 1997:
21-22).
Untuk menjelaskan bagaimana representasi makna lewat bahasa bekerja,
maka Hall (1997: 24-25) menggunakan tiga pendekatan. Pertama, pendekatan
reflektif, memandang fungsi bahasa sebagai cermin yang merefleksikan makna
37
yang sebenarnya dari segala sesuatu yang ada. Dalam pendekatan reflektif ini
istilah mimesis yang hadir dimaknai sebagai bahasa yang merefleksikan atau
menirukan kenyataan. Kedua, pendekatan intensional, yang memandang makna
sebagai bagian dari maksud pengarang (author). Makna berada dalam intensi
pengarang karena kata-kata bermakna sesuai dengan kehendak pengarang.
Pengarang bermaksud menunjukkan keunikannya ke dunia luar melalui bahasa.
Kata-kata menjadi bermakna manakala pengarang menguraikan apa yang mereka
maksudkan. Di sini pengarang yang didaulat sebagai pembuat representasi.
Sedangkan yang ketiga adalah pendekatan konstruksionis, menyebut bahwa
makna terkontruksi dalam bahasa dan melalui bahasa. Dalam pendekatan ini
dipercaya bahwa kita mengkonstruksi makna lewat bahasa yang kita pakai.
Pendekatan ini memperkenalkan kepada publik apa yang disebut sebagai karakter
sosial bahasa (social character of languange). Makna tidak hanya diperoleh
melalui intensi pengarang, namun didapatkan juga melalui sistem representasi.
Kitalah, sebagai pengguna bahasa, yang mengkonstruk makna dengan
mempergunakan sistem representasi berupa konsep-konsep dan tanda-tanda.
Dengan kata lain pendekatan konstruksionis berpendapat bahwa penggunaan
tanda-tanda yang diorganisir ke dalam berbagai bentuk bahasa untuk
menyampaikan sesuatu dengan sepenuh arti kepada orang lain. Pendekatan
terakhir inilah yang kemudian melahirkan meaning is constructed seperti yang
dikemukakan Stuart Hall. Makna tidak terkandung begitu saja dalam sebuah
tanda melainkan terbangun ketika makna tersebut ditafsirkan oleh penafsir yang
juga telah memiliki serangkaian konsep sesuai budaya yang telah dimiliki
38
sebelumnya (Hall, 1997:28).
Pendekatan konstruksionis sendiri pada dasarnya mempunyai dua varian
penting, yakni: pendekatan semiotik dan diskursif. Pendekatan semiotik
dipelopori oleh Ferdinand de Saussure yang dikenal sebagai Bapak linguistik
modern. Sumbangan pentingnya terletak pada kaitan yang diberikan oleh kode
antara bentuk ekspresi yang digunakan bahasa yang disebut dengan „penanda‟
(signifier) dan konsep mental yang berasosiasi dengannya yang disebut dengan
„petanda‟ (signified). Hubungan antara kedua sistem representasi ini
menghasilkan tanda (sign) yang digunakan untuk mengacu pada objek, manusia,
peristiwa di dunia „nyata‟. Sedangkan pendekatan diskursif, yang dirintis oleh
Michael Foucault, menaruh perhatian pada kuasa yang senantiasa hadir dalam
setiap wacana. Foucault tidak menganalisa teks dan representasi secara khusus
sebagaimana yang dilakukan kalangan semiotis tetapi ia lebih tertarik pada
formasi diskursif (discoursive formation) tempat teks berlangsung. Ia melihat
relasi pengetahuan-kuasa senantiasa berakar pada konteks dan sejarah tertentu;
ini merupakan perluasan terhadap jangkauan dari representasi (Budi, 2005).
Kekuasaan dalam hubungannya dengan wacana poligami, penting untuk
melihat apa yang disebut dengan kontrol oleh media. Pengontrolan itu dapat
dilakukan melalui dua cara pertama, pengontrolan terhadap konteks, yang secara
mudah dapat dilihat dari siapakah yang boleh berbicara, siapa yang bisa
mendengar dan mengiyakan serta sumber dan bagian mana yang perlu bahkan
dilarang untuk diberitakan. Kedua, pengontrolan terhadap struktur wacana,
diwujudkan oleh seseorang yang mempunyai lebih besar kekuasaan sehingga bisa
39
menentukan bagian mana yang harus atau tidak perlu ditampilkan (Eriyanto,
2006). Hal itu menurut Bourdieu hanya bisa dilakukan oleh kelompok dominan
karena mereka memiliki modal budaya yang tepat sebagai sesuatu yang
mempunyai makna simbolis seperti gengsi, status, otoritas, selera, tingkat
pendidikan dll. Maka untuk bisa selamat melewatinya seseorang diharuskan
memiliki posisi kemelekhurufan budaya (cultural literacy) yang kuat yakni
kemampuan rasa untuk menegosiasikan segala aturan budaya dan pengetahuan
akan medan budaya yang dihadapi misalnya arena politik, seni, ekonomi, agama,
juga filsafat dll. Melengkapi hal itu, Foucault melihat bahwa kekuasaan yang
diproduksi oleh kelompok dominan melalui prosedur tersebut, secara langsung
ataupun tidak langsung akan melahirkan kekuasaan berikut resistensinya
(Budianta, 2002).
Dalam kaitannya dengan konsep wacana poligami, representasi diibaratkan
sebagai „medan perang‟ kepentingan atau kekuasaan (Budianta, 2002). Di sana
wacana yang dominan (doxa)6 dengan wacana lain yang ingin menggugatnya
saling bertarung atau mendukung kepentingan tertentu untuk memperoleh
legitimasi simbolik. Wacana dominan akan terus berusaha untuk
mempertahankan keberadaannya, sedangkan wacana-wacana yang terpinggirkan
akan terus menerus berusaha untuk menghancurkan tatanan doxa dan bersiap-siap
untuk mengambil posisinya. Namun, penguasaan kelompok dominan atas kapital
6 Doxa adalah wacana yang diterima begitu saja sebagai kebenaran dan tidak pernah lagi
dipertanyakan kebenarannya dan tidak pernah lagi dipertanyakan sebab dan musababnya. Bentuk
doxa b isa berupa kebiasaan-kebiasaan sederhana seperti cara duduk atau cara makan sampai
wacana lain yang lebih luas. Doxa biasanya didukung oleh kelompok sosial yang dominan dan
berkuasa. Lihat Suma Riella Rusdiarti, „Bahasa, Pertarungan Simbolik dan Kekuasaan” dalam
Basis, Nomor 11-12, 2003, hal 38
40
ekonomi, kapital budaya dan kapital sosial sangat jauh dari cukup untuk dapat
dilawan sehingga mereka dapat merepresentasikan wacana sesuai dengan logika
mereka untuk menciptakan „kebenaran‟ menurut versi mereka atau menciptakan
versi resmi dunia sosial.
Pagelaran berbagai macam kuasa pada wacana poligami tentunya akan
direpresentasikan melalui bahasa. Bahasa mampu melakukan semua itu karena ia
beroperasi sebagai sebuah sosial representasi yang berperan dalam membentuk
jenis-jenis subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi-strategi di
dalamnya. Lewat bahasa (simbol-simbol dan tanda tertulis, lisan atau gambar),
seseorang bisa mengungkapkan pikiran, konsep dan ide- ide tentang sesuatu.
Makna sesuatu tersebut sangat tergantung dari cara kita „merepresentasikannya‟.
Dengan mengamati kata-kata yang dipergunakan dan imej- imej yang diberikan
dalam merepresentasikan sesuatu, terlihat jelas nilai-nilai yang diberikan pada
sesuatu tersebut.
Namun, kerap kali penonjolan dan pemakaian kata-kata tertentu dalam
bahasa tidak digunakan secara sadar melainkan setengah sadar (semi-consciously)
atau bahkan tidak sadar (unconsciously) sehingga representasi yang tercipta
menjadi ternaturalkan (naturalized)-yakni statusnya sebagai konstruksi menjadi
terhapuskan. Hal itu menurut Bourdieu (dalam Budianta, 2002) berlangsung
melalui eufemisasi dan sensorisasi. Eufemisasi bekerja secara halus, tidak dapat
dikenali dan dipilih secara „tak sadar‟. Bentuknya berupa kepercayaan, kewajiban,
kesetiaan, sopan santun, pemberian, hutang, pahala atau belas kasihan. Sementara,
mekanisme sensorisasi menjadikannya tampak sebagai bentuk dari pelestarian
41
semua bentuk nilai yang dianggap sebagai „moral kehormatan‟ seperti kesantunan,
kesucian, kedermawanan dan sebagainya yang biasanya dipertentangkan dengan
„moral rendah‟ seperti kekerasan, kriminal, ketidakpantasan, asusila, kerakusan
dan lain- lain. Semua itu hanya dapat dicapai melalui penguasaan bahasa secara
canggih dan penuh strategi.
Dengan demikian, apa saja yang dikemukakan majalah Islam merupakan
representasi atas apa yang disampaikan oleh aktor sosial, baik redaktur majalah
maupun wartawan atau para penulis tetap maupun penulis yang bersifat freelance
dalam menyusun makna tentang poligami. Penggunaan kata-kata tertentu dalam
bahasa maupun bentuk visual yang ditampilkan tentang isu poligami
menunjukkan ragam pandangan majalah Islam tersebut karena masing-masing
majalah Islam menghadirkan berbagai kalangan yang berbeda sebagai
narasumber, serta beragam sudut pandang yang secara implisit sebenarnya
menunjukkan keberpihakan majalah Islam. Oleh karena itu, teks maupun
tampilan visual dari majalah Islam apabila berkaitan dengan poligami dianggap
sebagai representasi majalah Islam tersebut dalam wacana poligami.
1.5.2.2 Media sebagai Alat ideologi
Media massa merupakan ruang untuk merepresentasikan berbagai ideologi di
tengah realitas sosial yang sarat dengan berbagai kepentingan, konflik dan fakta
yang kompleks dan beragam. Posisi ini menjadikan media massa tidak mungkin
berdiri statis di tengah-tengah tetapi akan bergerak dinamis diantara
pusaran-pusaran kepentingan yang sedang bermain. Sehingga kemampuan media
sebagai mekanisme integrasi sosial dalam membentuk opini publik dikonstruksi
42
sesuai dengan kesepakatan atau tata nilai yang dipahami dan disepakati bersama
dalam komunitas. Akibatnya, kelompok yang berada di luar itu akan dipandang
sebagai penyimpang (deviant) dan dipinggirkan dalam pembicaraan. Proses
marjinalisasi ini berlangsung secara wajar, apa adanya, dihayati bersama bahkan
diterima sebagai kebenaran tanpa mempertanyakan motif politik-ideologis
tertentu yang bersembunyi dibalik teks-teks berita tersebut.
Istilah ideologi diperkenalkan oleh filsuf Perancis Destutt de Tracy untuk
menjelaskan ilmu tentang ide yaitu sebuah disiplin ilmu yang memungkinkan
orang untuk mengenali prasangka dan bias-bias mereka (Kaplan,2000; Cavallaro,
2004). Seringkali istilah ini hanya diartikan sebagai sebuah sistem ide seperti
ketika berbicara tentang ideologi liberal, konservatif atau sosialis. Ideologi di sini
tidaklah selalu harus dikaitkan dengan ide- ide besar akan tetapi ideologi juga bisa
bermakna politik penandaan atau pemaknaan. Ideologi itulah yang membuat
liputan media memihak satu pandangan, menempatkan pandangan satu lebih
penting ketimbang pandangan kelompok lain dan sebagainya (Sudibyo, 2001).
Teori-teori klasik tentang ideologi diantaranya mengatakan bahwa ideologi
dibangun oleh kelompok yang dominan dengan tujuan memproduksi dan
melegitimasi dominasi mereka kedalam logika pasar hingga menempatkan
pembaca pada posisi dan hubungan sosial tertentu. Salah satu strategi utamanya
adalah dengan membuat „kesadaran palsu‟ pada khalayak bahwa dominasi itu
diterima secara taken for granted seperti konsepsi Marx. Dalam hal ini, kesadaran
pembaca dibentuk dan diproduksi melalui teks berita dengan menempatkan
mereka untuk mengikuti ideologi dominan yang lebih mengutamakan
43
terjaminnya kelangsungan ekonomi dan pasar. Ideologi dari kelompok dominan
hanya efektif jika didasarkan pada kenyataan bahwa anggota komunitas termasuk
yang didominasi mengganggap hal tersebut sebagai kebenaran dan kewajaran.
Sementara itu, Louis Althusser (2008: xvii), seorang pemikir Prancis dan
pelopor kajian ideologi mikro, berpendapat bahwa ideologi adalah suatu
kepercayaan yang tertanam tanpa disadari (profoundly unconcious). Ideologi
membawa kita bergerak dalam relasi yang tak nyata namun seolah nyata,
menerima yang semu seperti nyata. Tetapi oleh karena sifatnya yang tidak
disadari, manusia merespon seolah semua itu nyata, menanggapi ilusi sebagai
sebagai realitas yang sesungguhnya. Apalagi ketika ideologi itu terus
direproduksi maka mereka pun bersifat lebih efektif melayani kelas dominan.
Oleh karenanya, satu-satunya pengertian yang dapat kita raih tentang diri kita
sendiri, relasi sosial, dan pengalaman sosial, tak lain merupakan hasil praktik
ideologi dominan.
Ideologi sebagai sebuah praktik/ tindakan yang dikemukakan Althusser
(2008, 39-47; Thompson, 2007: 150) memiliki tiga tesa. Tesis pertama
menyatakan bahwa ideologi tidak mewakili realitas tapi kehidupan manusia
kaitannya dengan kondisi eksistensinya. Relasi ini adalah „imajinasi‟ dalam
pemahaman bahwa ia adalah bentuk dimana subjek „menghidupkan‟ relasinya
dengan dunia dan dirinya, hidup diandaikan dengan pembentukan dirinya sebagai
subjek. Tesis yang kedua menegaskan bahwa ideologi memiliki eksistensi
material: representasi yang membuat ideologi tertulis dalam tindakan sosial dan
diekspresikan dalam bentuk objektif. Jika seorang individu „mengimani‟ Tuhan,
44
misalnya, kemudian pergi kegereja secara teratur, sembahyang, mengakui
dosa-dosanya, demikian seterusnya;‟keyakinan direalisasikan dalam praktik
tertentu yang diatur oleh ritual-ritual yang berhubungan dengan aparatus
ideologis. Tesis ketiga Althusser diekspresikan dalam slogan yang selalu dikutip,
„ideologi menginterpelasi individu sebagai subyek‟. Sebagaimana dalam kasus
polisi yang berteriak pada seseorang yang meyakini bahwa teriakan itu
benar-benar dialamatkan kepadanya, demikian juga dalam ideologi, individu
dibentuk sebagai sebuah subjek melalui sebuah proses interpelasi di mana subjek
mengakui dirinya sebagai subjek, sekalipun subjek tidak mengakui bahwa
subjektifitasnya merupakan hasil produksi.
Dalam kekuasaan modern, individu- individu yang dahulunya diperintah,
diarahkan bahkan dimanipulasi maka sekarang ini justru dilibatkan sebagai
mekanisme kontrol dimana orang tidak merasa dikuasai. Melalui pengertiannya
mengenai „kelompok represif‟ dan „ideologi aparatus negara‟, Althusser
mengatakan bahwa kedua perangkat tersebut berfungsi sama yakni
melanggengkan penindasan yang tampak dalam relasi produksi masyarakat. Oleh
karena itu Althusser mengembangkan konsep perantara mengenai „interpelasi‟
untuk menempatkan individu dalam posisi dan hubungan sosial tertentu.
Interpelasi merupakan suatu tata cara dimana ideologi modern mengklaim
individu menjadi subjek ideologi. Manusia sebagai subjek identik dengan subjek
bagi struktur menurut Althusser (2006: 84; 2008: 45-46), dimana struktur tersebut
bukan ciptaannya melainkan ciptaan kelompok atau kelas tertentu. Karena
struktur itu diciptakan untuk dan identik dengan kelompok penciptanya,
45
individu- individu di sini dikatakan sebagai subjek bagi struktur tidak lain adalah
pelayanan kepentingan dari kelas tertentu yang menciptakan struktur tersebut.
Kendati seringkali merasakan diri sebagai subjek yang bebas, kebebasan atau
kesadaran hanyalah hasil interpelasi dan diciptakan oleh struktur atau
perangkat-perangkat (RSA maupun ISA). Dengan kata lain, ideologi atau
perangkat negara hanyalah suatu alat untuk membangkitkan ilusi dan
menciptakan manusia sebagai subjek kepentingan negara yang identik dengan
alat intervensi bagi perjuangan kelas.
Subjek yang dibentuk ideologi tersebut bersifat imajiner karena kekuasaan
hanya berpretensi menghargai ideologi dan tidak mempunyai perhatian yang
sungguh-sungguh terhadap kemampuan ideologi (Althusser, 2008: xi). Menurut
Lacan (dalam Budianta, 2002) konsep imajiner adalah suatu kondisi sebelum
subjektivitas seseorang (kemampuan seseorang mengenali dirinya sebagai subjek,
sebagai aku) terbentuk. Dalam wilayah imajiner ini tidak ada pemisahan antara
subjek dan objek, tidak ada waktu yang linear. Segala sesuatu bercampur aduk
dalam suatu kondisi yang penuh harmoni dan kenikmatan. Proses subjektivitas
terjadi melalui proses yang disebut fase cermin (mirror-stage), yaitu proses ketika
subjek dapat „bercermin‟ dan melihat dirinya sendiri. Proses ini sekaligus
merupakan proses meninggalkan wilayah imajiner untuk memasuki wilayah
simbolik yaitu wilayah bahasa. Dengan mendapatkan subjektivitas tersebut sang
aku pun sekaligus memasuki dunia aturan dan norma, dunia kebahasaan yang
linear.
Pada dasarnya, teks-teks di media merupakan representasi dari fungsi
46
ideologis media, yang lebih jauh memberikan kontribusi dan reproduksi
hubungan sosial dari dominasi dan eksploitasi. Representasi ideologi media
secara umum memang implisit daripada eksplisit dalam teks, dan ditanamkan
dengan cara penggunaan bahasa yang dinetralkan (Fairclough, 1995: 44-45).
Fairclough (1995) memahami ideologi sebagai proposisi-proposisi yang secara
umum membingkai asumsi-asumsi (yang diterima begitu saja) tersirat dalam teks,
yang menyumbang pada produksi dan reproduksi hubungan kekuasaan yang tidak
setara, hubungan dominasi, ideologi juga tersirat dalam cara menaturalisasikan
pengorganisasian jenis-jenis interaksi tertentu.
Fairclough melihat media sebagai publik politis yang efektif, yaitu ruang
untuk debat dan diskusi rasional mengenai isu politik. Mengacu pada Tolson
(1991) yang melihat ruang publik memiliki kontradiksi di dalam (inncer
contradiction); dan dapat berubah-ubah diantara tuntunan untuk informasi dan
untuk hiburan- Fairclough melihat adanya ketegangan antara tekanan untuk
meningkatkan rating melalui isu media yang menghibur dan tekanan untuk
menyediakan informasi dan layanan pendidikan publik. Berkaitang dengan hal
tersebut, ia berpendapat bahwa analisis media lebih diajukan pada aspek yang
berorientasi pada output (misalnya pemberitaan) yang dibentuk secara ideologis.
Selanjutnya, menurut Fairclough (1995), konsep ideologi sering mengandung
distorsi, „keadaan palsu‟, dan manipulasi kebenaran dalam mengejar kepentingan
tertentu. Satu-satunya cara untuk memperoleh akses pada kebenaran adalah
melalui representasi kebenaran dan sudut pandang, nilai, dan tujuan tertentu.
Karena kebenaran selalu problematik dalam pengertian yang absolut, maka
47
representasi kebenaran dapat dibandingkan dalam kerangka parsialitas,
kelengkapan dan ketertarikan (interstedness) dari posisi dan sudut pandang
tertentu. Namun kita dapat membandingkannya dalam kerangka sejauh mana
mereka memiliki semangat publik (public-sprited) atau mengandung kepentingan
sendiri (self-interested). Konklusi yang dapat diambil berada di sekitar relatifitas
ke(tidak)benaran representasi.
Representasi dalam teks media bisa berfungsi secara ideologis jika mereka
menyumbang pada reproduksi hubungan dominasi dan eksploitasi. Representasi
ideologis umumnya lebih implisit daripada eksplisit dalam teks; yang meliputi:
apa yang mereka masukkan (include) dan apa yang mereka keluarkan (exlude),
apa yang menjadi latar depan (foregroun) apa yang menjadi latar belakang
(background), darimana mereka berasal dan faktor/kepentingan apa yang
mempengaruhi formulasi dan proyeksi mereka. Representasi ini juga terkait
dengan naturalisasi dan komersialisasi cara-cara penggunaan bahasa bagi reporter,
khalayak, dan berbagai kategori pihak ketiga. Cara-cara seperti ini merupakan
postulat atau asumsi yang diterima begitu saja bagi koherensi wacana (Fairclough,
1995).
Dengan pandangan semacam ini, wacana poligami tidak dipahami sebagai
sesuatu yang netral dan berlangsung secara alamiah karena dalam setiap wacana
poligami selalu terkandung ideologi untuk mendominasi dan berebut pengaruh.
Seperti ungkapan John Fiske (2012) bahwa kerja ideologi selalu mendukung
status quo, sistem ekonomi diorganisir sesuai dengan kepentingan mereka dan
sistem ideologi diambil dari kerja itu untuk menyebarkan gagasan mereka. Bagi
48
Fiske, semua teori ideologi sepakat bahwa ideologi bekerja untuk dominasi kelas,
perbedaannya hanya pada cara kerja dan tingkat kefektifannya.
1.5.2.3 Identitas Perempuan dalam Rumah Tangga
Identitas adalah sesuatu yang dipersembahkan, dikonstruksi, diperankan atau
diproduksi dari waktu ke waktu dalam setiap pembicaraan (Benwell dan Stokoe,
2006: 49). Proses pengulangan dalam setiap pembicaraan itu seakan-akan
merupakan proses tidak sadar. Padahal, sebenarnya yang dilakukan merupakan
sebuah kesadaran yang terakumulasi dan menjadi semacam tindakan terulang
karena dilakukan secara terus menerus dalam keseharian (Udasmoro, 2014: 36).
Tindakan berulang ini pun dapat membentuk struktur-struktur pengulangan dalam
kehidupan perempuan yang poligami, misalnya pendefinisan istri yang ideal
dalam konteks Islam yakni istri shaleha. Istri yang shaleha didefinisikan secara
sosial melalui proses yang panjang. Dari waktu ke waktu „yang shaleha‟ sebagai
yang taat pada suami, beriman, mampu merawat anak, diulang dalam wacana
sehari-hari sampai kemudian orang percaya bahwa istri yang shaleha adalah
memang yang memiliki kategori tersebut.
Identitas seseorang pada umumnya bersifat melekat dalam diri dan adapula
yang mengalami perubahan karena berbagai pengaruh dari luar. Menurut Jenkins
(2008:95) identitas personal tak ubahnya seperti sebuah sejarah atau biografi
yang di dalamnya terdapat seperangkat perbuatan yang konsisten terikat
keunikannya. Meskipun demikian, Burke and Stets (2009:130) mengingatkan
bahwa identitas tidak selalu bekerja dalam keterisolasian, tetapi terjadi interaksi
dengan identitas lain dalam situasi yang berbeda. Begitu pula identitas
49
perempuan yang dilekatkan sejak lahir, kemudian menjadi seorang gadis dan
menjalani pernikahan hingga menjadi seorang istri, ibu dari anak-anaknya dan
sebagai ibu rumah tangga dianggap sebagai sesuatu yang sudah lama terbentuk
dengan sendirinya dalam kehidupan.
Merujuk pada pendapat Jekins, Burke dan Stets di atas, sesungguhnya
identitas pada seorang perempuan adalah multiple identity berasal dari
pengalaman individu dan sosial yang terus bergerak (Udasmoro, dkk, 2014:32).
Ternyata identitas yang dianggap melekat sebenarnnya mengalami berbagai
perubahan. Ketika perempuan menginjak usia remaja atau menjadi seorang gadis,
identitasnya pun bersifat dinamis karena terjadi proses pencarian jati diri dan
imitasi terhadap berbagai atribut menarik baginya. Mereka mengalami proses
konstruksi baik yang berasal dari sosial tempat dia berada maupun dari dalam diri
remaja itu sendiri (Udasmoro, dkk, 2014:30). Kondisi demikian digambarkan
sebagai berikut.
An example of the first is a situation in which an adolescent, who is both a
friend and a daughter, is interacting in a situation that activates both of these identities at the same time, for example, when the daughter has friend visit and
her parent are present. In this situation, what it means to be a friend (perhaps by acting “sophisticated” with the friend) may be at odds with what it means to be a daughter (not acting “sophisticated”) (Burke and Stets, 2009:130).
Berdasarkan contoh di atas, seseorang anak perempuan mengalami dilema
ketika pada saat yang sama ia harus memilih menjadi seorang anak gadis dan
bersama orang tuanya atau pergi bersama temannya. Kenyataan tersebut
menunjukkan bahwa self-identity merupakan realitas yang berasal dari
pengalaman. Pengalaman tidak sebagai itself given (pembawaan sendiri) tetapi
50
identitas diri yang dikreasikan atau diolah dari realitas (Fergosun, 2009:81).
Begitu pula dongeng, cerita rakyat, hingga dalam berbagai tayangan di televisi
merupakan refleksi dari multiple identity. Ketika perempuan menjalani masa
transisi atau menginjak perkawinan, dalam berbagai dongeng, perempuan selalu
dilekatkan sebagai pihak yang menunggu kehadiran laki- laki sebagai sang
pangeran penyelamat. Dongeng putri Cinderella hingga kini terus memasyarakat
karena ditayangkan dalam film animasi dan terakhir diperankan secara langsung
oleh aktor dan aktris. Identitas Cinderella sebagai seorang perempuan yang hidup
dalam penderitaan akibat perlakuan kedua saudara tiri dan ibu tirinya, kemudian
hidupnya berubah menjadi seorang putri karena dipersunting oleh putera mahkota.
Oleh karena Cinderella adalah cerita dongeng, maka nasib baik seorang gadis
seperti Cinderella hanyalah angan-angan belaka. Apabila dalam kehidupan nyata
ditemukan seorang gadis menikah dengan pihak putera mahkota kerajaan, seperti
Kate Middleton yang dinikahi pangeran William, ataupun seorang perempuan
yang bekerja sebagai pegawai bank kemudian akan dinikahi oleh putera Presiden
Jokowi, mereka dianggap sebagai Cinderella dalam kehidupan nyata.
Kedudukan perempuan dalam cerita Cinderella dapat dilihat sebagai
kontestasi sesama perempuan yang memperebutkan lelaki pujaan hati, dan
posisinya akan terangkat apabila menemukan laki- laki dengan status sosial lebih
tinggi. Hal ini menunjukkan kedudukan perempuan lemah di hadapan laki- laki.
Cerita-cerita dari Barat tentang Cinderella, Putri Tidur atau Putri Salju masih pula
dibaca anak-anak. Cerita-cerita ini lebih mengisahkan putri yang pasif yang
menunggu datangnya pangeran penyelamat (Udasmoro, dkk, 2012:65). Hal
51
berbeda dalam dongeng Candi Prambanan, ketika seorang laki- laki ingin
menikahi Roro Jonggrang, ia pun meminta dibuatkan seribu candi dalam satu
malam. Permintaan mustahil tersebut menunjukkan tingginya posisi tawar
seorang perempuan dalam menempuh pernikahan, sekaligus sebagai seleksi
pilihan hidup yang berkualitas.
Identitas perempun akan bersifat ganda jika ia sudah mengarungi kehidupan
rumah tangga. Pada mulanya identitasnya adalah sebagai seorang istri, sehingga
dalam penyebutan atau panggilan nama resmi pada masyarakat patrilieal adalah
nama suami melekat dalam nyonya. Begitu juga jika suami memiliki jabatan
tertinggi dalam suatu institusi, misalnya kepala desa, maka seorang istri dipanggi
“ibu Kades”. Identitas tersebut dikonstruksi oleh ikatan sosial yang lebih tinggi
dalam kehidupan seorang perempuan. Itulah sebabnya, kita dengan mudah
membayangkan hubungan kita dengan nama yang melekat sebagai suatu cara
yang primordial (Fergosun, 2009:83). Namun kadangkala perempuan menolak
nama keluarga dari pihak suaminya sebagai „married name‟ sebagai upaya untuk
melekatkan nama keluarganya sendiri (Fergosun, 2009:91), lebih dari itu,
kedudukan perempuan lebih tinggi dari pada laki- laki sebab identitas tersebut
hanya melekat pada perempuan saja. Sebutan “ibu negara,” “ibu pertiwi,” dan
“ibu negara” tidak memiliki padanan istilah yang sama jika dikaitkan dengan
laki- laki. Istilah “ibu” menjadi kata sifat sebagai identitas feminim yang melekat
perempuan yang tidak bisa berubah atau diubah oleh keadaan apapun.
Identitas perempuan sebagai seorang ibu meskipun sedemikian kokoh tetapi
juga menjadi multitafsir, sebab nama menunjukkan posisi konseptual dan
52
kontekstual dan dari situlah arah untuk memahami sepenuhnya tentang identitas
diri (Fergosun, 2009:83). Istilah “ibu tiri” selalu dikonotasikan sebagai tokoh
antagonis dalam kehidupan rumah tangga terutama bagi seorang anak buah dari
perkawinan suaminya dengan perempuan lain. Gambaran ibu tiri bagi seorang
anak adalah sosok menyiksa ketika ayah kandung sedang tidak ada di rumah,
sebaliknya ibu tiri akan bersikap manusia jika sang ayah kembali berada di rumah.
Pada sisi lain, identitas perempuan menjadi sakral dalam hubungan ibu dan anak
kandungnya. Ibu kandung tidak boleh disakiti karena murka ibu kandung yang
disakiti akan membuat dampak buruk. Pesan ini dapat diketahui melalui dongeng
dari Sumatera Barat dalam cerita Malin Kundang, seorang anak yang durhaka dan
tidak mengakui ibu kandungnya. Ibu kandung Malin Kundang merasa kecewa
dan dipermalukan oleh sikap anaknya, kemudian Malin Kundang berubah
menjadi batu setelah dikutuk ibu kandungnya. Narasi tersebut bukan hanya
sekedar diperdengarkan ke anak cucu. Narasi tersebut mencakup di dalamnya
politik identitas, politik representasi, dan produksi dan reproduksi makna hadir
terus menerus (Udasmoro, dkk, 2012:51).
Jadi identitas perempuan sebagaimana teori identitas bahwa identitas
sesungguhnya selalu mengalami perubahan (Burke and Stets, 2009:175).
Perubahan identitas itu sendiri bersumber pada empat hal. Pertama, perubahan
situasi dari identitas standar kepada kondisi yang relevan. Kedua, identitas
konflik yang terjadi karena multiple identity berada pada level berbeda dalam
waktu bersamaan. Ketiga, perubahan identitas terjadinya konflik antara
pemaknaan sikap dan pemaknaan yang terkandung dalam identitas standar.
53
Keempat, perubahan identitas dapat terjadi sebagai bagian dari strategi adaptasi
yang disatukan dalam identitas yang dapat membantu mereka yang dinamakan
mutual verification context, bahwa suatu identitas tidak hanya bersifat personal
tetapi juga menjadi identitas partisipan (Lihat, Burke and Stets, 2009).
Pandangan yang demikian itu dapat membantu untuk menjelaskan bahwa
identitas perempuan yang direpresentasikan majalah Islam pada isu poligami
adalah sesuatu yang given dan telah didefenisikan secara berulang-ulang dalam
waktu yang panjang. Hal ini semakin meyakinkan ketika identitas perempuan
yang ideal secara sosial dikonstruksi sedemkian rupa untuk menegaskan
kenyataan yang sebenarnya dalam masyarakat tentang kodrat perempuan.
Perubahan identitas bisa saja terjadi sesuai dengan keinginan selama media
mampu melakukan pengontrolan terhadap identitas tersebut. Pada akhirnya
identitaslah yang menjadi alat membentuk dirinya dan bukan dirinya yang
membentuk identitas.
1.5.2.4 Konsep Poligami di Indonesia
Poligami berasal dari bahasa Yunani, terdiri atas poli (banyak) dan gamy
(perkawinan). Hal itu mengacu pada pasangan yang berlainan jenis kelamin
memiliki lebih dari satu perkawinan di saat bersamaan (Nurmila, 2009: xix).
Istilah poligami meliputi poliandri dan poligini. Poliandri adalah perkawinan
antara satu orang perempuan dengan satu atau lebih laki- laki, sementara poligini
mengacu pada perkawinanan antara seorang laki- laki dengan dua orang atau lebih
perempuan. Di Indonesia, istilah poligami lebih dikenal dan sering
diperbincangkan masyarakat karena mengundang pandangan yang kontroversial.
54
Poligami dipahami sebagai ikatan perkawinan dalam hal mana suami mengawini
lebih dari satu istri dalam waktu yang sama. Selain poligami, praktik lain bagi
istri yang memiliki suami lebih dari satu dalam waktu yang sama dikenal dengan
istilah poliandri (Mulia, 2004: 43-44). Penggunaaan istilah poligami dalam kajian
ini merujuk pada konsep poligini dikarenakan istilah poligami lebih umum
digunakan masyarat Indonesia.
Kebalikan dari poligami adalah monogami yaitu ikatan perkawinan yang
terdiri dari seorang suami dan seorang istri. Perkawinan monogami dinilai oleh
sebagian umat Islam sebagai implementasi atas keadilan yang paripurna dari
sebuah relasi dalam keluarga ideal yang lebih memungkinkan seseorang untuk
tidak terjebak pada prilaku tidak adil baik secara materil maupun non materil.
Kalangan ini melihat kehidupan perkawinan Nabi selama dua puluh delapan
tahun bermonogami dengan Khadijah sebagai simbol otentik dalam upaya
transformasi kultural menuju pembebasan manusia dari tiranik yang menindas.
Upaya ini sebagai suatu cara untuk mencari pemaknaan yang lebih berakar dari
bentuk perkawinan agar pesan transformasi sosial dari kedua bentuk perkawinan
tersebut tidak bisa mengangkangi prinsip dasar untuk berlaku adil, dengan tidak
membedakan laki-laki dan perempuan.
Monogami meskipun pilihan terbaik dalam sebuah perkawinan tetapi
poligami seringkali dianggap masyarakat sebagai solusi yang memiliki
pembenaran dalam pelaksanaan. Sebagaimana dikemukakan Ashabuni (1980) dan
Azzuhaili (1989) bahwa sebagian besar kalangan ahli hukum Islam berpandangan
atas kebolehan beristri lebih dari satu. Namun, praktik poligami secara historis
55
sudah menjadi kebiasaan masyarakat Arab pra Islam dengan jumlah tanpa
batas.Kemudian Islam hadir melalui Nabi Muhammad saw mereformasi dengan
pembatasan hanya empat orang istri, dengan persyaratan dapat berbuat adil. Jika
merasa tidak mampu berbuat adil di antara para isterinya, maka diwajibkan
beristri hanya satu atau menikahi budak yang dimilikinya. Praktik poligami ini
merujuk al-Qur‟an (4:2-3), para ulama (imam Malik, Hanafi, Hambali dan
as-Syafi‟i) membaca ayat tersebut sebagai kebolehan bagi laki- laki untuk
menikahi perempuan lebih dari satu.
Perkawinan poligami menurut Marcoes (2005:Ii) pada dasarnya terdiri atas
dua jenis pola yaitu pertama, romantic love marriage, penerimaan poligami ini
biasanya berlangsung sangat alot. Banyak dari perkawinan itu berakhir dengan
perceraian. Umumnya suami pertama-tama akan berkeras dan menolak opsi
perceraian dengan alasan masih mencintainya. Penolakan si istri dengan
mengajukan opsi “pilih saya atau cerai” akan menentukan ke mana bahtera itu
akan dikayuh, lanjut atau cerai. Akan tetapi jika si istri menerima perkawinan itu,
maka dalam pola romantic love marriage itu dipastikan di dalamnya akan
dipastikan terus menerus berlangsung perang terbuka atau perang dingin. Apabila
si istri berhasil mentransformasikan situasi itu dengan misalnya mengambil
manfaat untuk menyenangkan diri dan anak-anaknya sehingga si suami tak lebih
hanya sapi perahan maka perkawinan poligami itu bisa bertahan.
Dalam pola romantic love marriage, penerimaan si istri atas perkawinan
kedua dan seterusnya seringkali didasarkan atas pertimbangan untuk
mempertahankan sebuah keyakinan bahwa rumah tangganya telah dibangun
56
berdasarkan cinta. Perceraian bagi mereka hampir bukan pilihan karena
perceraian merupakan penghancuran atas seluruh bangunan keyakinan atas
keluarga yang selama ini telah dibangunnya dengan cinta dan kesetiaan. Tak
heran misalnya ada perempuan yang dengan sangat terpaksa menerima
perkawinan poligami itu, meskipun secara finansial mereka cukup mandiri.
Kedua, perkawinan poligami yang dasarnya adalah economic marriage.
Poligami tidak bisa lain harus diterima dan dirasionalisasikan karena untuk
memenuhi kebutuhan ekonomi. Bentuk poligami ditemui pada masyarakat agraris,
dalamkeluarga-keluarga petani pegunungan, atau para pedagang yang nomade.
Bagi kalangan miskin atau petani dalam tradisi agraris, poligami dianggap
sebagai strategi pertahanan hidup untuk pengehmatan pengelolaan sumber daya.
Tanpa sususah payah, lewat poligami diperoleh tenaga kerja ganda lewat upah.
Kultur ini dibawa migrasi ke kota, meskipun struktur masyarakatnya telah
berubah. Misalnya praktik poligami yang dilakukan seorang bakul ayam goreng
yang konon dapat melaksanakannya dengan harmonis. Sementara untuk kalangan
priyayi, poligami tak lain dari bentuk pembendamatian perempuan. Ia
disepadankan dengan harta dan tahta yang berguna untuk mendukung
penyempurnaan derajat sosial laki-laki.
Dari cara pandang budaya, poligami merupakan proses dehumanisasi
perempuan. Mengambil pandangan ahli pendidikan Freire, dehumanisasi dalam
konteks poligami terlihat manakala perempuan yang dipoligami mengalami self
depreciation. Mereka membenarkan bahkan bersetuju dengan tindakan poligami,
meskipun mengalami penderitaan lahir batin yang luar biasa. Tak sedikit di antara
57
mereka yang menganggap bahwa penderitaan itu adalah pengorbanan yang sudah
sepatutnya dijalani, atau poligami itu terjadi karena kesalahan sendiri. Abduh
(dalam Marcoes, 2005: Iiii) menyatakan bahwa untuk memberi status hukum
poligami seharusnya dilakukan pengujian di lapangan dengan menanyai
perempuan sebagai pihak yang menerima akibat poligami. Jika ternyata lebih
banyak menghasilkan keburukan daripada kebaikan. Hal itu memperlihatkan
bahwa poligami sanggup membunuh karakter dan kepribadian perempuan.
1.6 Metode Penelitian
1.6.1 Tipe dan Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah cultural studies,
yaitu suatu pendekatan yang menganggap budaya bersifat politis dalam
pengertian yang sangat spesifik, yaitu sebagai ranah pergumulan dan konflik.
Artinya adanya proses pertarungan ideologis dengan menghadirkan makna ganda,
makna selalu merupakan akibat dari tindakan artikulasi, sebab makna harus
diekspresikan dalam konteks yang spesifik (Storey, 2007). Metode Analisis
Wacana Kritis (Critical Discourse Analisis) Norman Fairclough (Jorgensen dan
Phillips, 2007: 122-123) digunakan dalam penelitian ini karena Fairclough
mengkombinasikan tradisi analisis tekstual dengan konteks masyarakat yang
lebih luas. Fairclough merasa bahwa analisis teks itu saja tidaklah memadai bagi
analisis wacana dan juga tidak bisa menjelaskan hubungan antara struktur dan
proses kultural serta kemasyarakatan. Oleh karena itu Fairclough mengkritik
pendekatan linguistik yang semata-mata hanya memusatkan perhatian pada teks
dan menggunakan pemahaman simpisitis tentang hubungan antara teks dan
58
masyarakat. Sebagaimana yang dilakukan oleh pengagas analisa wacana kritis
lainnya yakni Roger Fowler, Robert Hodge, Gunther Kress dan Tony Trew dalam
mengeksplorasi hubungan antara struktur gramatikal dan hubungan sosial.
Termasuk Van Dijk yang lebih menekankan pada kognisi sosial individu dengan
memproduksi pesan teks tersebut dan Sara Mills yang juga menekankan pada
analis struktur text ( Van Dijk, 1998: 263-264; Mills, 1997).
1.6.2 Sumber Data
Sumber primernya berupa teks pada majalah Sabili, Syir‟ah dan NooR yang
membahas isu poligami selama bulan Februari 2006 hingga Januari 2007. Alasan
pemilihan bulan Februari 2006-Januari 2007 antara lain: pertama, masyarakat
sudah sampai pada titik puncak kemuakan terhadap praktik poligami (Arivia,
2006: 40) meskipun mereka sudah sering kali menyaksikan sejumlah kaum pria-
mulai dari pejabat, ulama, hingga para selebriti memamerkan kuasa melalui
poligami. Kedua, terjadinya pertarungan wacana antara kelompok pro dan anti
poligami di berbagai media massa termasuk majalah Islam sebagai letupan
kemarahan serentak perempuan terhadap poligami tokoh panutan.
Sumber data yang digunakan penulis dari masing-masing majalah Syir‟ah,
majalah Sabili dan majalah Noor sebagaimana ditampilkan dalam tabel berikut
ini:
59
Tabel 1.1 Liputan Poligami di Majalah Syir'ah
No Edisi Kolom/Rubrik Judul Penulis Halaman
1 52/VI/April 2006
M - Rabiul Awwal
1427 H
Kisah Rasul Nabi Pisah Ranjang Fathuri SR
Redaktur
Majalah
60-61
2 55/VI/Juli 2006 M
- Jumadil Tsani
1427 H
Kisah Malaikat yang
Datang Pagi Hari
Teguh Winarso
AS
48-51
3 56/VI/Agustus
2006 M - Rajab
1427 H
Kisah Sebab Ibu
Perempuan...Sayan
g
Azzah Zain
alhasani
48-51
4 57/VI/September
2006 M- Sya’ban
1427 H
Kisah Rasul Suami Penyayang Fathuri 62-63
5 61/VI/Januari
2007 M- Zulhijah
1427H
Opini Redaksi Memilih Sebuah
Pernikahan
- 17
6 61/VI/Januari
2007 M- Zulhijah
1427H
Syir’ atuna Banyak Aral yang
Menghalang
Nasrul Umam
Syafi’iy
22-25
7 61/VI/Januari
2007 M- Zulhijah
1427H
Syir’ atuna Antara Akad dan
Hasrat
Nasrul Umam
Syafi’ iy
26-29
8 61/VI/Januari
2007 M- Zulhijah
1427H
Lembar Toleransi Poligami, Maslahat
atau Mudarat
Abdullah
Ubaid Matraji
50
9 61/VI/Januari
2007 M- Zulhijah
1427H
Selilit Poligami = Makan
Pete
AUM 87
60
Tabel 1.2 Liputan Poligami di Majalah Sabili
No Edisi Kolom/Rubrik Judul Penulis Halaman 1 No 16.Th.XIII 23
Februari 2006 M/24 Muharram 1427 H
Bimbingan Tauhid
Studi di Australia Jadi Anti-Poligami
- 82 - 83
2 No 17 Th.XIII 9 Maret 2006 M/9 Shafar 1427 H
Bimbingan Tauhid
Al-Kitab Melegalkan Poligami
- 100-101
3 No 12 Th.XIV 28 Desember 2006/7 Dzulhijjah 1427 H
Rosail SBY & Poligami Ayu Hamzah 6
4 No 12 Th.XIV 28 Desember 2006/7 Dzulhijjah 1427 H
Muhasabah Salah Faham tentang Islam (2) Poligami atau Zina
M.U. Salman 14-15
5 No 12 Th.XIV 28 Desember 2006/7 Dzulhijjah 1427 H
Telaah Utama Anti Poligami Berkomplot Menentang Hukum Allah
Hepi Andi Bastoni (koordinator Liputan) Laporan: Diyah Kusumawati, Faris Khoirul Anam, Evan Hamzah, Ernie Arie Susanti, Chairul Akhmad Defi Ruspiandi
16-21
6 No 12 Th.XIV 28 Desember 2006/7 Dzulhijjah 1427 H
Telaah Utama Sepuluh Subhat Menghujat Poligami
M. Nurkholas Ridwan, Evan Hamzah, Diyah Kusumawardhani, E. Sudarmaji
22-26
7 No 12 Th.XIV 28 Desember 2006/7 Dzulhijjah 1427 H
Telaah Utama Bola Panas Aturan Perkawinan
Artawijaya Laporan: Diyah, Evan Hamzah, Kukuh Santoso
24-25
8 No 12 Th.XIV 28 Desember 2006/7 Dzulhijjah 1427 H
Telaah Utama Selingkuh Disanjung, Poligami Dicerca
Dwi Hardianto Laporan: Depi Ruspiyanty, Evan Hamzah, Diyah Kusumawati
27-29
9 No 12 Th.XIV 28 Desember 2006/7 Dzulhijjah 1427 H
Telaah Utama Yang Berbahagia di Poligami
Dwi Hardianto Laporan Deffi Ruspiyandi, Evan Hamzah, Diyah Kusumawati
30-31
10 No 12 Th.XIV 28 Desember 2006/7 Dzulhijjah 1427 H
Kolom Anti Poligami, Pro Kumpul Kebo
Hartanto Ahmad Jaiz (wartawan, penulis buku)
32-33
11 No13 Th.XIV 11 Januari 2007 M /21 Dzulhijjah 1427 H
Komentar Bolehnya Poligami, Perkara Niscaya
Fatimah al-Mundzir Bekasi Jakarta
10
61
Tabel 1.3 Liputan Poligami di Majalah NooR
No Edisi Kolom/Rubrik Judul Penulis Halaman
1 01/Th V/Januari
2007
M/Muharram
1427 H
Topik Kita Esensi
Beragama
Menyatukan
Aqidah &
Akhlak Syariah
Badriyah
Fayumi
14-16
2 01/Th V/Januari
2007
M/Muharram
1427 H
Topik Kita Indahnya
Memaknai
Hidup
Ade 18-20
3 01/Th V/Januari
2007
M/Muharram
1427 H
Topik Kita Fenomena
Skandal Seks
& Polemik
Agus/Foto
Rina
22-23
4 01/Th V/Januari
2007
M/Muharram
1427 H
Cerpen Antara Aku,
Istriku &
Poligami
Rijal Muttaqin 76-79
Data yang diambil dari tiga tabel di atas menunjukkan wacana poligami
ditampilkan dalam berbagai rubrik di masing-masing majalah. Majalah Syir‟ah
menampilkan wacana poligami sebanyak 9 judul dari berbagai macam rubrik,
tetapi yang dominan menampilkan wacana poligami melalui rubrik kisah,
termasuk kisah Rasul dan Syir‟ atuna sebanyak 5 judul. Majalah Sabili lebih
banyak menampilkan wacana poligami sebanyak 11 judul dari berbagai rubrik
dan yang mendominasi adalah rubrik telaah utama sebanyak 5 judul. Ini berarti
majalah Sabili menempatkan wacana poligami sebagai perhatian utama di antara
wacana lain. Majalah NooR paling sedikit menampilkan wacana poligami paling
sedikit. Koleksi majalah NooR yang dimiliki oleh peneliti dari Januari 2006
sampai Januari 2007 hanya menemukan satu edisi penerbitan tentang poligami
yakni edisi Januari 2007. Pada edisi Januari 2007, majalah NooR menampilkan 4
judul tentang poligami dan yang sebagian besar ditampilkan pada rubrik topik
62
kita.
1.6.3 Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan adalah analisa wacana kritis Norman
Fairclough, analisis ini berusaha menghubungkan teks yang mikro dengan kontek
sosial makro yang dijembatani oleh analisis pada tataran meso. Fokus perhatian
analisa wacana kritis Fairclough ini adalah bahasa ditempatkan sebagai praktik
sosial. Untuk melihat ideologi pengarang digunakan analisis bahasa secara
menyeluruh, karena bahasa dalam konteks ini dipahami sebagai tindakan dalam
hubungannya dengan dialektika dan struktur bahasa. Oleh karena itu, pusat
perhatian analisis ini adalah bagaimana bahasa diproduksi dan direproduksi dari
relasi sosial dan konteks sosial.
Model yang dibangun oleh Fairclough (1992) dalam analisisnya disamping
dimensi linguistik, adalah ia mengintegrasikan pemikiran sosial, politik menjadi
bagian integral dari perubahan sosial. Pemakaian bahasa dalam wacana
merupakan bentuk praktik sosial yang memiliki implikasi, antara la in wacana
merupakan suatu bentuk tindakan dan bentuk representasi dalam memandang
realitas sosial, dan hubungan interaksional antara wacana dan struktur sosial.
Kemudian ia memperkenalkan tiga tahap untuk melakukan penelitian dengan
metode analsis wacana kritis. Tiga tahap tersebut adalah deskripsi, interpretasi
dan eksplanasi dalam menghubungkan teks pada level mikro dengan konteks
sosial yang lebih besar, yakni socio-cultural practice.
Tiga dimensi yang dilakukan Fairclough ( 1995: 57) dalam analisisnya yaitu
teks, praktik wacana, praktik sosiokultural, sebagai berikut:
63
a. Teks
Level pertama berupa teks dianalisis secara linguistik, atau deskripsi perhatiannya
pada beberapa aspek struktur bahasa, yaitu aspek kosa kata dan gramatika serta
struktur teks.
1. Kosa Kata
Kosa kata mencakup nilai-nilai ekprensial yang menjelaskan kata-kata
ideologis, kelebihan kata atau penyusunan kata kembali, hubungan makna yang
mencakup sinonim, hiponim atau antonim. Penekanan pada nilai-nilai relasional,
misalnya ungkapan eufemisme, ironi, formal atau informal, dan lain- lain. Kosa
kata ini, memberikan pilihan kata sebuah teks yang menciptakan hubungan sosial
antar partisipan yaitu pembuat teks dengan pembacanya.
Hal yang juga diperhatikan adalah kosa kata yang berhubungan dengan
nilai-nilai ekspresif. Kosa kata yang menunjukkan pada evaluasi positif atau
negatif sesuatu yang berhubungan dengan ideologi pengarang dalam bentuk
penggunaan metafora.
2. Gramatika
Aspek-aspek gramatika yang berhubungan dengan nilai-nilai eksperensial,
adalah tipe-tipe proses dan partisipan yang dominan, situasi agen tampak jelas
atau tidak, proses-proses situasi yang tampak, penggunaan kalimat aktif dan pasif,
dan kalimat positif atau negatif.
Aspek-aspek gramatika yang berkaitan dengan nilai-nilai relasional, adalah
model-model pertanyaan yang digunakan, relasi-relasi modalitas, dan
penggunaan kata ganti. Selanjutnya aspek-aspek gramatika yang berhubungan
64
dengan nilai ekspresif, misalnya aspek-aspek modalitas; memberikan petunjuk
tentang sebuah peristiwa.
Hubungan antar kalimat sederhana juga diperhatikan, misalnya penggunaan
jenis kata penghubung logis, penggunaan kalimat kompleks bersifat koordinasi
atau subordinasi, arti kata atau makna yang digunakan dalam menghubungkan
teks ataupun luar teks.
3. Struktur Teks
Struktur teks ini dikaji tiga unsur adalah, pertama kaida-kaidah interaksional.
Aspek yang diperhatikan dalam struktur teks berkaitan dengan penggunaan
kaidah-kaidah interaksional. Kedua, ukuran struktur yang dimiliki teks. Teks
dirumuskan atas dasar urutan kepentingannya, maka teks dapat menunjukkan
evaluasinya atas apa yang layak ditampilkan. Aspek kelayakan tampilan tersebut
harus mendapatkan perhatian dalam ranah deskripsi.
Ketiga aspek itu akan dianalisis pada teks-teks yang memuat isu poligami di
majalah Syir‟ah, Sabili dan NooR. Dalam menganalisis ketiga majalah itu akan
ditampilkan pilihan kata-kata atau teks-teks tertentu yang berhubungan dengan
aspek kata dengan unsur eksprensial kata, relasi kata, ekspresif kata dan metafora.
Selain itu dalam tataran luas ditampilkan juga aspek gramatikal baik secara
eksprensial, relasi dan ekspresi gramatikal. Bagian selanjutnya dalam tataran
yang lebih luas lagi yakni ditampilkan keterkaitan antar kalimat, terutama kalimat
yang mengandung unsur teks atau kata-kata yang berhubungan dengan praktik
wacana poligami.
65
b. Praktik Wacana
Level kedua berupa Praktik wacana atau interpretasi (Fairclough, 1995: 58)
berkaitan dengan produksi, dan konsumsi teks. Adapun yang dimaksud dengan
analisis intertekstual itu sendiri adalah analisis yang berfokus pada perbatasan
antara teks dengan praktik wacana. Analisis intertekstual melihat teks dari
perspektif praktik wacana, melihat jejak-jejak praktik wacana dalam teks.
Analisis ini mencoba mengungkapkan genre-genre dan wacana-wacana - yang
seringkali dalam wacana kreatif, bercampur dengan kompleks - yang
diartikulasikan di dalam teks. Pertanyaannya adalah genre-genre dan
wacana-wacana apa yang dijadikan sandaran dalam memproduksi teks, dan apa
saja yang menjadi jejaknya di dalam teks (Fairclough, 1995: 61; Faruk, 2007: 6).
Tahap kedua ini merupakan tataran meso dalam analisa wacana kritis
Norman Fairclough. Peneliti mencari sumber atau tokoh yang memproduksi teks
terkait dengan wacana perempuan yang dipoligami, setelah itu menghubungka n
produksi teks tersebut dengan interpretasi penulis teks atau penulis artikel yang
didasarkan pada hubungan antar tokoh atau partisipan. Sehingga analisa pada
bagian ini adalah hasil kombinasi dari apa yang terdapat dalam teks dan pada
penafsir baik penulis atau pun tokoh yang memproduksi teks berdasarkan
pengetahuan yang dimilikinya.
c. Praktik Sosio-kultural
Analisis dari dimensi praktik sosiokultural, suatu peristiwa komunikatif ada
pada level abstraksi yang berbeda dari peristiwa yang khusus. Ia dapat melibatkan
konteks situasionalnya yang lebih langsung, konteks praktik-praktik institusional
66
yang lebih luas, yang di dalamnya peristiwa itu melekat, atau bahkan bingkai
masyarakat dan kebudayaan yang lebih luas lagi. Konteks praktik sosio-kultural
ini dapat banyak aspek masyarakat. Setidaknya, ada tiga aspek yang penting,
yang perlu mendapat perhatian, yaitu ekonomi, politik (berkaitan dengan soal
kekuasaan dan ideologi), dan kultural (berkaitan dengan nilai dan identitas)
(Fairclough, 1995: 62; Faruk, 2007: 4).
Tahap akhir dari analisa Fairclough yakni tataran makro. Disini ditampilkan
praktis-praktis sosial yang terdapat dalam majalah Syir‟ah, Sabili dan NooR.
Untuk mengungkapkan praktik sosial tersebut, terlebih dahulu akan ditampilkan
tokoh atau sumber yang memproduksi teks, terkait dengan identitas perempuan
yang dipoligami. Pada bagian ini akan diketahui tokoh, sumber atau bahkan
penulis teks itu sendiri yang memproduksi teks tentang identitas perempuan
dipoligami. Kemudian peneliti mengkaitkan identitas perempuan tersebut dengan
ideologi yang dianut majalah Syir‟ah, Sabili dan NooR. Ideologi itu bisa pada
hal-hal yang sederhana tetapi menjadi latar belakang yang mendorong produksi
identitas perempuan tersebut berlangsung.