BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu...

77
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa tidak pernah berhenti berubah, baik ke arah perkembangan dan kemajuan maupun ke arah kepunahannya. Hal ini dapat diamati secara jelas pada kemunculan leksikon-leksikon baru atau punahnya leksikon-leksikon yang ada di dalamnya. Dinamika leksikon merepresentasikan perubahan lingkungan tempat suatu bahasa dipakai. Sebagai bukti adanya dinamika leksikon yang disebabkan oleh adanya perubahan lingkungan, misalnya kelompok masyarakat yang berprofesi sebagai peladang dan petani, kurang lebih empat puluh atau lima puluh tahun yang lalu, hanya mengenal seperangkat leksikon tanaman budi daya lama, peralatan pengolah tanah tradisional, dan pupuk kandang, kini leksikon- leksikon, seperti pestisida, hibrida, traktor, pupuk organik/bukan organik dan sebagainya, begitu akrab dengan mereka. Di samping itu, intensifkasi dan ekstensifikasi di bidang perkebunan dan pertanian menyebabkan banyak perangkat leksikon lama yang berkaitan dengan ranah-ranah perladangan dan pertanian tradisional tergusur dan akhirnya punah (lihat Mbete dkk., 2009: 99). Dengan kata lain, perubahan bahasa dapat terjadi sebagai akibat perubahan lingkungan, baik lingkungan sosial maupun lingkungan alam yang ditandai dengan hilangnya leksikon-leksikon tertentu yang merepresentasikan ciri dan kondisi lingkungan alam sebelumnya. Di samping punahnya beberapa leksikon, perubahan bahasa (ke arah positif atau berkembang) ditandai dengan munculnya 1

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu...

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Bahasa tidak pernah berhenti berubah, baik ke arah perkembangan dan

kemajuan maupun ke arah kepunahannya. Hal ini dapat diamati secara jelas pada

kemunculan leksikon-leksikon baru atau punahnya leksikon-leksikon yang ada di

dalamnya. Dinamika leksikon merepresentasikan perubahan lingkungan tempat

suatu bahasa dipakai. Sebagai bukti adanya dinamika leksikon yang disebabkan

oleh adanya perubahan lingkungan, misalnya kelompok masyarakat yang

berprofesi sebagai peladang dan petani, kurang lebih empat puluh atau lima

puluh tahun yang lalu, hanya mengenal seperangkat leksikon tanaman budi daya

lama, peralatan pengolah tanah tradisional, dan pupuk kandang, kini leksikon-

leksikon, seperti pestisida, hibrida, traktor, pupuk organik/bukan organik dan

sebagainya, begitu akrab dengan mereka. Di samping itu, intensifkasi dan

ekstensifikasi di bidang perkebunan dan pertanian menyebabkan banyak

perangkat leksikon lama yang berkaitan dengan ranah-ranah perladangan dan

pertanian tradisional tergusur dan akhirnya punah (lihat Mbete dkk., 2009: 99).

Dengan kata lain, perubahan bahasa dapat terjadi sebagai akibat perubahan

lingkungan, baik lingkungan sosial maupun lingkungan alam yang ditandai

dengan hilangnya leksikon-leksikon tertentu yang merepresentasikan ciri dan

kondisi lingkungan alam sebelumnya. Di samping punahnya beberapa leksikon,

perubahan bahasa (ke arah positif atau berkembang) ditandai dengan munculnya

1

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

2

leksikon-leksikon baru, baik yang dibentuk melalui proses peminjaman

(borrowing), inovasi penutur melalui pemajemukan (compounding), maupun

melalui pencampuran bagian unsur sebuah leksikon dengan unsur/bagian dari

leksikon yang lain (Halliday dalam Fill dan Muhlhausler, ed., 2001)

Globalisasi budaya dan bahasa, khususnya pengaruh bahasa-bahasa

internasional dan dominasi bahasa nasional Indonesia, menguji kebertahanan

bahasa (language maintenance) yang melanda bahasa-bahasa daerah, terutama

yang tergolong kecil, di seluruh Nusantara. Gejala ini perlu dicermati dan tidak

dapat dipungkiri bahwa globalisasi membawa perubahan, khususnya terhadap

sikap bahasa (language attitude) penutur bahasa lokal atau bahasa ibu warisan

leluhur mereka. Sikap bahasa yang negatif berpengaruh buruk terhadap BD

sebagai warisan leluhur, sebaliknya sikap positif menjamin kehidupan dan

kelestarian BD. Karena pengaruh berbagai faktor, media komunikasi sehari-hari

mereka tidak lagi hanya diwahanai oleh bahasa lokal melainkan oleh bahasa lain,

dalam hal ini bahasa Indonesia. Apabila fenomena ini berlangsung terus menerus,

perlahan tetapi pasti, bahasa-bahasa lokal tidak lagi menjadi identitas

pendukungnya karena mereka telah memilih bahasa lain untuk berkomunikasi

sehari-hari. Fenomena ini oleh Holmes (1992: 56) disebut dengan pergeseran

bahasa (language shift) (bdk. Fasold, 1984; Gal, 1979).

Fenomena di atas bukan tidak mungkin juga melanda bahasa Using (yang

selanjutnya disingkat BU) sebagai salah satu bahasa daerah kecil dan terjepit di

Nusantara. BU yang merupakan lambang identitas etnis, budaya, dan alat

komunikasi dalam kehidupan sehari-hari antaranggota guyub tutur bahasa Using

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

3

(yang selanjutnya disingkat (GTBU) ini, tergolong bahasa daerah kecil karena

jumlah penutur di bawah satu juta orang, atau oleh Ferguson (dalam Soepomo,

1976) digolongkan “low” yaitu bahasa yang reputasinya rendah, tidak mempunyai

tradisi sastra, tidak memiliki kodifikasi, dan penguasaannya hanya melalui

keluarga dan masyarakat dalam situasi tidak formal (Soepomo, 1976: 1--3).

Kontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya

lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali, Bandar, dan sebagainya),

menyebabkan munculnya penggunaan bahasa lain sebagai bahasa pengantar

dalam berkomunikasi GTBU. Kontak sosial merupakan salah satu akibat dari

terbukanya isolasi sebuah wilayah. Apabila unsur-unsur pembatas sudah hilang,

misalnya oleh berbagai perkembangan seperti mobilitas penduduk, transportasi,

dan pendidikan, maka terjadi pertautan dengan pusat-pusat inovasi (Trudgill,

1983: 71). Budaya urban, pola hidup kota, khususnya Kota Banyuwangi dan

Pulau Bali sejak dahulu, memengaruhi kehidupan GTBU. Sebagai akibatnya,

bahasa-bahasa lokal atau dialek diperkenalkan dengan bahasa-bahasa lain. Hal ini

menyebabkan terjadinya kontak bahasa dalam suatu wilayah sehingga penuturnya

menjadi dwibahasawan atau multibahasawan yang dapat memunculkan dua

pengaruh yang saling berkaitan, yaitu pengaruh kontak bahasa terhadap penutur

dwibahasawan dan pengaruh penutur dwibahasawan terhadap masyarakat

bahasanya (Jeffers dan Lehiste, 1979: 135) sehingga dapat terdeteksi berbagai

sikap bahasa masyarakat penuturnya, seperti ambisi sosial yang memungkinkan

pemakai bahasa yang tergolong berpendidikan, mulai meninggalkan bahasa lokal

mereka (Ayatrohaedi, 1985: 44 ; Chambers dan Trudgill, 1980: 79).

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

4

Sebagai warga bangsa Indonesia, para penutur BU juga menggunakan

bahasa Indonesia (yang selanjutnya disingkat BI) sebagai bahasa nasional. Dalam

fungsinya sebagai lingua franca, keberadaan BI di tengah-tengah guyub tutur

bahasa-bahasa lokal merupakan kebijakan nasional kebahasaan dalam konteks

pendidikan, pengajaran, dan pembelajaran bahasa, karena sebagai warga negara

Indonesia, guyub tutur BU harus menggunakan BI secara baik dan benar, di

samping juga ikut memelihara dan mengembangkannya. Di samping itu,

kedudukan BI sebagai bahasa kebangsaan dan bahasa Negara, semakin

mendesak bahasa-bahasa daerah, terutama bahasa-bahasa kecil di Indonesia

apalagi pemakai bahasa-bahasa daerah mana pun tidak mengalami kesulitan

dalam mempelajari BI, karena sama-sama berasal dari rumpun bahasa yang

serumpun (Ayatrohaedi, 1985: 38). Dengan demikian, perkembangan BI yang

begitu pesat melalui jalur seperti yang disebutkan di atas, sangat tidak

menguntungkan perkembangan bahasa-bahasa daerah, terutama bahasa-bahasa

daerah kecil seperti BU.

Berdasarkan hasil telaah terhadap hasil-hasil penelitian seperti “Bahasa

Using di Kabupaten Banyuwangi” oleh Herusantosa (1987), “Fungsi dan

Kedudukan Bahasa Using di Kabupaten Banyuwangi” oleh Subyatiningsih dkk.

(1999) dan juga hasil diskusi informal dengan masyarakat penutur BU atau yang

memiliki pengetahuan tentang BU, dan artikel-artikel seperti “Kebijakan dan Arah

Penelitian Bahasa Using di Masa Depan” oleh Kusnadi (2002) “Pola Diglosia

dalam Masyarakat Using” oleh Sariono (2002), dan sebagainya, dinyatakan bahwa

wilayah pakai dan fungsi BU ternyata semakin menyusut. Fenomena ini

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

5

ditunjukkan oleh perbandingan hasil penelitian yang dilakukan oleh Herusantosa

(1987) dan Subyatiningsih (1999) seperti berikut.

Ranah Herusantosa Subyatiningsih

(1987) (1999)

Keluarga 75,00% 62,35%

Transaksi 50,67% 32,40%

Keagamaan 28,00% 18,65%

Seni/tradisi/budaya 73,50% 37,87%

Perbandingan kedua hasil penelitian di atas mengindikasikan bahwa

fungsi kultural dan natural yang diemban BU yang tercermin pada pemakaian

bahasa (language in use) dalam berbagai ranah dan ragam fungsionalnya semakin

berkurang. Perlu diingat bahwa penurunan fungsi BU dalam ranah-ranah keluarga.

transaksi, keagamaan, seni, tradisi, dan budaya yang secara kuantitatif itu terjadi

selama 12 tahun (1987-- 1999). Diasumsikan bahwa setelah berlalu 12 tahun

pula, 1999-- 2013, atau kurang lebih 14 tahun, penyusutan fungsi BU dalam

ranah-ranah tersebut tetap akan terjadi pula.

Penyusutan pemakaian BU diawali pula oleh ketidakterpakaian leksikon-

leksikon BU dalam setiap konteks pemakaian BU karena leksikon merupakan

satuan bahasa yang paling mudah berubah. Seperti diuraikan di atas, perubahan

leksikon mencerminkan adanya perubahan lingkungan alam, sosial, budaya (bdk.

Seguy dalam Lauder, 1990: 163 dan Danie, 1991: 13). Selain itu, tidak adanya

pewarisan bahasa sebagai wahana, sistem kode, dan sistem simbol verbal kepada

generasi berikutnya melalui jalur pendidikan (formal, informal) berdampak pada

hilangnya ragam atau register BU pada generasi tersebut karena dominasi bahasa

Indonesia (lihat Mbete dkk., 2009: 3) sebagai bahasa daerah besar mengitarinya.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

6

Apabila fenomena ini terjadi sampai ke wilayah pedesaan, maka proses

pergeseran dan penyusutan BU dari segi leksikon akan semakin cepat terjadi dan

berdampak pada posisi BU menjadi semakin terjepit.

Fakta menunjukkan bahwa agar dapat bertahan hidup, dimana pun

manusia bertempat tinggal di muka bumi ini, disadari atau tidak mereka telah

bergantung pada lingkungan alam dan fisik tempat tinggal mereka.

Ketergantungan tersebut dapat berupa macam, kuantitas, kualitas udara, angin,

kelembaban, dan sumber-sumber alam yang digunakan sebagai makanan,

minuman, pembuatan peralatan untuk berbagai kesenangan hidup dan sebagainya.

Hubungan antara manusia dan lingkungan fisik dan alamnya tidak hanya berupa

hubungan ketergantungan manusia terhadap lingkungannya, tetapi juga turut

menciptakan corak dan bentuk lingkungannya. Dalam lingkungan yang

diciptakannya ini, baik lingkungan nyata maupun lingkungan abstrak manusia

berinteraksi, sehingga dari satu sisi manusia menjadi bagian dari lingkungan alam

dan fisik tempatnya hidup, sedangkan dari sisi lain lingkungan fisik dan alam

tempatnya hidup menjadi bagian dari diri manusia itu sendiri (Suparlan, 1980).

Keadaan lingkungan tempat tinggal guyub tutur suatu bahasa dapat

berpengaruh terhadap guyub tutur bahasa tersebut karena lingkungan tesebut turut

membentuk karakter dan budaya yang menjadi ciri atau identitas masyarakat

tesebut. Fenomena ini juga terjadi pada GTBU. Karena lingkungan mereka

memiliki curah hujan yang cukup tinggi dan kaya akan sumber air, mereka

terbentuk menjadi masyarakat bermatapencaharian sebagai petani yang masih

menjaga kelestarian lingkungan alam di sekeliling mereka.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

7

Di samping dapat membentuk dan memengaruhi karakter masyarakat di

sekelilingnya, lingkungan juga menentukan jenis flora dan fauna yang hidup dan

tumbuh di wilayah tersebut. Sebagai contoh, flora dan fauna yang hidup dan

tumbuh di daerah empat musim akan sangat berbeda jenisnya dengan flora dan

fauna yang tumbuh di daerah tropis. Demikian juga, jenis tanaman yang tumbuh

di daerah kurang curah hujan akan berbeda dengan flora dan fauna yang hidup dan

tumbuh di tempat yang banyak curah hujan. Fenomena yang sama juga terjadi

pada GTBU yang bertempat tinggal di beberapa kecamatan di Kabupaten

Banyuwangi yang memiliki curah hujan yang tinggi, tanah yang subur, dan

lingkungan yang masih asri karena alih fungsi lahan yang sangat sedikit. Oleh

karena itu, GTBU lebih mengenal, memahami dan berinteraksi dengan berbagai

jenis tanaman yang tumbuh di lahan subur, seperti pari „padi‟, kelapa „kelapa‟,

jajang „bambu‟, gedang „pisang‟, dan sebagainya. Di samping itu, dengan

sendirinya BU akan sangat kaya dengan leksikon-leksikon yang mengacu pada

flora dan fauna yang hidup dan tumbuh di lahan yang subur seperti padi, kelapa,

pisang, dan sebagainya. Adanya perubahan keadaan lingkungan seperti

disebutkan di atas diprediksi memengaruhi karakteristik GTBU dan BU. Oleh

sebab itu, dirasa perlu untuk diadakan penelitian terkait hal tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan fenomena di atas maka permasalahan penelitian tentang

dinamika leksikon lingkungan alam dalam guyub tutur BU dapat dirumuskan

sebagai berikut.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

8

1) Bagaimanakah bentuk-bentuk lingual keberagaman leksikon

lingkungan alam BU?

2) Bagaimanakah gambaran keberagaman (diversity) leksikon lingkungan

alam BU yang mewadahi pengetahuan GTBU?

3) Bagaimanakah dinamika pemahaman dan penggunaan leksikon

lingkungan alam antargenerasi GTBU?

4) Faktor-faktor apakah yang menyebabkan dinamika pemahaman dan

penggunaan leksikon lingkungan alam antargenerasi GTBU?

1.3 Tujuan Penelitian

Pada umumnya, setiap penelitian tentu memiliki tujuan yang jelas untuk

dicapai yang disesuaikan dengan topik dan permasalahan penelitian. Tujuan

penelitian ini dirinci menjadi tujuan umum dan tujuan khusus.

1.3.1 Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mendokumentasikan kembali

kekayaan leksikon tentang lingkungan alam BU yang masih bertahan, terancam

punah, dan yang sudah punah pada guyub tutur BU di Kabupaten Banyuwangi.

Perangkat leksikon yang masih bertahan dalam arti masih diketahui dan dipahami

serta kejelasan rujukan makna referensial eksternal merupakan salah satu penanda

masih hidupnya BU, sedangkan perangkat leksikon yang terancam punah

menggambarkan dinamika dan keterancamannya. Selain itu, penggalian leksikon-

leksikon yang oleh penutur tuanya dianggap sudah punah menggambarkan bahwa

leksikon-leksikon kealaman tersebut pernah hidup, dikodekan, dan secara

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

9

referensial pernah ada namun kini telah punah atau tidak dikenal lagi karena

perubahan lingkungan.

1.3.2 Tujuan Khusus

Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk:

1) mendeskripsikan bentuk-bentuk lingual keberagaman leksikon

lingkungan alam BU;

2) mendeskripsikan gambaran keberagaman (diversity) leksikon

lingkungan alam BU yang mewadahi pengetahuan GTBU;

3) mendeskripsikan dinamika pemahaman dan penggunaan leksikon-

leksikon lingkungan alam antargenerasiGTBU; dan

4) mendeskripsikan faktor-faktor yang menyebabkan dinamika

pemahaman dan penggunaan leksikon lingkungan alam GTBU.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoretis

Dari perspektif teoretis, hasil penelitian ini bermanfaat bagi

pengembangan bidang kajian linguistik, khususnya ekolinguistik bidang leksikon.

Hal ini terkait dengan teori perubahan bahasa, sehingga hasil kajian ini

diharapkan dapat menambah data dan informasi tentang leksikon-leksikon BU

yang masih bertahan dan yang sudah punah karena dampak dari perubahan

lingkungan alam, bahasa, budaya. Selanjutnya, fakta-fakta yang ditemukan dapat

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

10

dijadikan acuan, perbandingan, dan pengembangan penelitian aspek-aspek

kebahasaan dan penelitian yang serupa di tempat lain sehingga pada akhirnya

peneliti berikutnya dapat melakukan penguatan dan pembenaran teoretis,

khususnya yang berkaitan dengan teori ekolinguistik yang diterapkan dalam

kajian ini.

1.4.2 Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat

bagi:

(1) Pusat Bahasa dan Balai Bahasa dalam merancang pembinaan,

pengembangan, dan pelestarian bahasa dan sastra daerah khususnya

bahasa daerah kecil;

(2) Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dengan harapan hasil penelitian ini

digunakan untuk pengembangan pengajaran dan pembelajaran bahasa

yang berwawasan lingkungan;

(3) Para guru (dan orangtua) dalam merancang kurikulum muatan lokal

terkait dengan pengajaran BU, ataupun bahasa Indonesia dan bahasa

Inggris terutama di sekolah dasar dan lanjutan; dan

(4) bahan acuan dalam usaha revitalisasi bahasa daerah, khususnya bahasa

Using;

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

11

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian dinamika leksikon lingkungan alam dalam guyub tutur Bahasa

Using merupakan perpaduan antara kajian bidang sosiolinguistik dan

ekolinguistik. Agar pembahasan lebih terarah maka ruang lingkup penelitian

dibatasi pada pembahasan yang sesuai dengan rumusan permasalahan, yakni (1)

bentuk-bentuk lingual leksikon lingkungan alam BU; (2) kategori leksikon yang

meliputi leksikon berkategori nomina dan leksikon berkategori verba karena

kedua kategori ini jumlahnya paling banyak pada semua bahasa, termasuk BU;

dan (3) cara penamaan, yakni cara penamaan flora dan dan fauna. Leksikon

yang berkategori nomina diklasifikasikan menjadi kelompok leksikon flora yang

mencakup kelompok leksikon tanaman bahan pangan, tanaman buah-buahan,

tanaman sayur-sayuran, tanaman obat dan bumbu, tanaman bunga, tanaman

kelapa, tanaman bambu, dan tanaman lainnya. Sementara itu, leksikon fauna

diklasifikasikan menjadi kelompok leksikon mamalia, burung, reptil, serangga,

dan ikan air tawar. Selanjutnya, keberagaman leksikon lingkungan alam verba

BU dikelompokan berdasarkan lokasi aktivitas terjadi dan objek yang dikenai oleh

aktivitas tersebut yang memunculkan kelompok leksikon verba yang mengacu

pada aktivitas di lahan pertanian dan kebun, aktivitas manusia terhadap fauna dan

isi alam lainnya, aktivitas fauna, dan aktivitas alam. Relasi semantis antara

leksikon lingkungan alam BU mencakup relasi semantis hiponimi dan relasi

semantis meronimi

Tentang dinamika pemahaman dan penggunaan leksikon lingkungan alam

antargenerasi GTBU dilihat berapa jauh masing-masing kelompok umur

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

12

responden memahami dan menggunakan leksikon-leksikon yang semuanya

terjaring melalui kuesioner. Dari perbedaan hasil perhitungan secara kuantitatif

dari masing-masing kelompok responden dapat dianalisis dinamika tingkat

pemahaman dan penggunaan serta penjelasan secara kualitatif. Dinamika tingkat

pemahaman dan penggunaan leksikon lingkungan alam oleh responden

menghasilkan leksikon-leksikon yang bertahan, bergeser, dan yang (hampir)

punah. Fenomena tersebut dilatarbelakangi oleh faktor kebahasaan, faktor

penutur, dan faktor perubahan ekologi.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

13

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN

MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Kajian pustaka dilakukan untuk membantu peneliti mengkaji penelitian-

penelitian yang dilakukan sebelumnya yang terkait dengan penelitian yang sedang

dilakukan. Hal ini penting dilakukan agar peneliti dapat melihat perbedaan atau

persamaan antara penelitian yang sedang dilakukan dan penelitian-penelitian

sebelumnya sehingga tidak terjadi pengulangan. Kajian pustaka pada penelitian

ini dibagi menjadi dua bagian, yakni (1) kajian pustaka terhadap penelitian-

penelitian lain tentang leksikon, dan (2) kajian pustaka terhadap penelitian-

penelitian yang pernah dilakukan terhadap BU. Berikut adalah uraian dari masing-

masing bagian yang dimaksud.

2.1.1 Beberapa Penelitian tentang Leksikon

Penelitian tentang leksikon terkait dengan pemertahanan bahasa,

khususnya pemertahanan bahasa pada ―tingkat tutur‖ dilakukan oleh Sariono

(2002) terhadap sekelompok masyarakat penutur bahasa Jawa di Pulau Bawean,

sebuah pulau di wilayah Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Dari 30 desa yang ada di

pulau tersebut, hanya satu desa yang penduduknya berbahasa Jawa, sedangkan 29

desa lainnya menggunakan bahasa Madura dialek Bawean. Dalam penelitiannya,

Sariono memfokuskan kajiannya pada penguasaan leksikon tingkat tutur yang

terdiri atas leksikon kromo (kromo substandar, kromo madya, kromo inggil/kromo

13

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

14

andhap), leksikon bahasa Indonesia, leksikon ngoko, leksikon kromo hasil

inovasi. Kelompok-kelompok leksikon tersebut dijadikan sampel penelitian.

Data penelitian dikumpulkan melalui metode kuesioner dan metode

wawancara. Kuesioner yang berisi 155 butir pertanyaan disusun berdasarkan

daftar leksikon tingkat tuturnya yang telah diujikan penggunaannya pada penutur

bahasa Jawa Diponggo. Jumlah leksikon yang didapat melalui kuesioner itu

kemudian dikelompokkan ke dalam jenis-jenis kata dan masing-masing kelompok

jenis kata diambil kurang lebih 25% sebagai sampel sekaligus dipakai bahan

penyusunan kuesioner (Sariono, 2002:195).

Responden penelitain dikelompokkan berdasarkan umur, yaitu kelompok

dewasa yang berumur 46 tahun ke atas atau usia tua (+T) dan kelompok muda

berumur 20-45 tahun atau usia muda (-T). Status sosial dibedakan juga menjadi

dua kelompok, yaitu tokoh masyarakat (+Tm) dan bukan tokoh masyarakat (-Tm).

Berdasarkan pengelompokan-pengelompokan ini didapat empat kelompok

populasi dewasa, yaitu kelompok ((+T/+Tm), (+T/-Tm), (-T/+Tm), dan (-T/-Tm).

Dari masing-masing kelompok diambil lima penutur sebagai sampel dan sekaligus

sebagai informan. Kelompok populasai muda tidak ditentukan jumlah sampelnya

karena pengumpulan data pada kelompok ini dilakukan melalui pengamatan

langsung.

Dari hasil analisis data disimpulkan bahwa ditemukan tingkat

pemertahanan pemakaian tingkat tutur dari segi leksikon untuk tiap kelompok,

dengan urutan pemahaman dari tertinggi dari kelompok informan +T/+Tm,

kemudian berturut-turut disusul oleh +T/-Tm, -T/+Tm, dan –T/-Tm. Bahkan, dari

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

15

kelompok muda ditemukan tidak lagi memakai tingkat tutur krama kepada setiap

interlokutor. Di samping temuan di atas, penelitian tersebut juga membuktikan

bahwa pemertahanan tingkat tutur bahasa Jawa Diponggo karena adanya pengaruh

faktor internal dan eksternal. Faktor internal berupa faktor sikap bahasa dan faktor

transmisi bahasa yang disebabkan adanya aktivitas merantau dalam jumlah besar

sehingga ada perubahan sosial penutur, sedangkan faktor eksternal yang

berpengaruh terhadap pemertahanan tingkat tutur adalah faktor lingkungan alam,

lingkungan masyarakat, dan struktur sosial. Lingkungan geografis dan

terkonsentrasi dari penduduk mayoritas seharusnya menjadikan pemertahanan

bahasa yang kuat, namun karena adanya faktor dominasi, pengaruh mayoritas

dari penutur bahasa Madura, dan pelapisan sosial masyarakat yang berdampak

pada kurangnya proses transmisi dari satu generasi ke generasi berikutnya,

pemertahanan bahasa Jawa Diponggo menjadi lemah.

Jika dicermati, ada perbedaan dan persamaan antara penelitian Sariono

(2002) dan penelitian ini. Perbedaannya terletak pada beberapa hal, yakni (1)

lokasi, (2) objek penelitian, dan (3) pengelompokan umur responden. Perbedaan

pertama, dari segi lokasi, yakni penelitian yang dilakukan Sariono berada di Pulau

Bawean, Kabupaten Gresik, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti

berada di Kabupaten Banyuwangi. Perbedaan kedua terkait dengan objek

penelitian, yakni Sariono memperlakukan leksikon tingkat tutur bahasa Jawa

sebagai objek kajian dalam penelitiannya, tetapi penelitian ini mengkaji leksikon

lingkungan alam Bahasa Using. Perbedaan ketiga, yaitu tentang pengelompokan

umur responden. Dalam penelitiannya Sariono membagi responden menjadi dua

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

16

kelompok umur, yakni usia muda: 20-45 dan usia tua: 46 tahun ke atas, sedangkan

dalam penelitian ini peneliti membagi responden menjadi tiga kelompok umur,

yakni remaja: 16-30 tahun, dewasa: 31-50 tahun, dan tua: 51 tahun ke atas.

Sementara itu, persamaan antara kedua penelitian di ataranya terletak pada hasil

temuan penelitian, yaitu tingkat penguasaan leksikon berbanding lurus dengan

usia responden, artinya makin tua usia semakin tinggi tingkat penguasaan

leksikon dan begitu juga sebaliknya.

Pilgrim (2006) mengadakan penelitian dengan judul A CrosCultural Study

into Local Ecological Knowledge dengan mengambil lokasi di tiga Negara, yaitu

Inggris, India, dan Indonesia. Pilgrim (2006) mengkaji bagaimana pemahaman

masyarakat terhadap hubungan antara ketergantungan masyarakat terhadap alam

sebagai sumber penghidupan, kedekatan hubungan antara masyarakat dan

lingkungannya, pemahaman masyarakat terhadap kondisi lingkungan lokal dan

interaksi lingkungan yang kompleks atau yang disebutnya Local Ecological

Knowledge (LEK) atau ecoliteracy, yaitu sebuah pengetahuan yang dimiliki

masyarakat lokal (umumnya masyarakat tradisional) tentang alam di sekitarnya

yang dilandasi oleh pengetahuan tentang sejarah, geografi, dan budaya setempat

yang bersifat ―without being static, outdated, retrogressive” (Pilgrim, 2006: 17).

Bagaimana LEK bisa bertahan pada masyarakat tradisional, melalui

penelitiannya Pilgrim (2006:19) menemukan adanya proses transfer LEK yang

berkelanjutan kepada generasi berikutnya secara lisan melalui garis keturunan

dari orang tua dan kakek-nenek kepada anak-cucu dengan media transfer berupa

dongeng-dongeng dan nyanyian-nyanyian. Proses transfer dilakukan secara terus-

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

17

menerus, baik secara formal pada saat pertemuan sosial maupun secara tidak

formal, pada saat di rumah pada malam hari. Tulisan ini dijadikan acuan dalam

konsep tentang faktor-faktor yang melatarbelakangi punahnya leksikon-leksikon

tentang pengetahuan lingkungan yang berkaitan dengan pengetahuan tradisional

(local ecological knowledge).

Pandey (2007) dalam Jurnal Language and Ecology Vol.2: 3 dengan judul

―Lnguistic Erotion on the Chesapeak: Intergenerational Diachronic Shifts in the

Lexicalization of the Bay‖ meneliti pergeseran leksikalisasi sebuah ungkapan

lokal ―across the bridge”. Masalah penelitian tersebut adalah apakah ungkapan

lokal lisan ―across the bridge” yang merupakan ―west of the Chesapeak Bay”

yang dimuat dalam The Eastern Shore Wordbook, terbit 21 tahun lalu, masih

dipakai di daerah teluk Chesapeake di Negara Bagian Maryland. Pandey (2007)

selanjutnya memberikan alasan mengapa hanya satu ungkapan dijadikan objek

penelitian. Ini dikaitkan dengan istilah yang dikemukakan oleh Whorf bahwa

leksikalisasi mencerminkan kekuatan dan tenaga fenomena lingkungan yang

alamiah dan natural, yang dikontraskan dengan leksikalisasi ―across the bridge”

yang berorientasi dengan sesuatu yang dapat diukur yang ada hubungannya

dengan infrastruktur buatan manusia yang dibuat untuk menakhlukkan fenomena

alam. Pengkontrasan juga dilakukan terhadap kedua istilah tersebut yang mana

―across the bay” terkait dengan ―mental culture” yang dipandang sebagai ―world-

view or value orientation”, sedangkan ―across the bridge” dipandang sebagai

―the material product of beharvior”.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

18

Dalam kajiannya, Pandey (2007) menyebarkan kuesioner kepada tiga

kelompok umur responden: kelompok termuda (the youngest generations)

berumur 15-30 tahun; kelompok menengah (the middle generations) berumur 31-

60 tahun; dan kelompok tertua (the oldest generations) berumur 61 tahun ke atas.

Dari masing-masing kelompok umur diambil sampel 24 orang dengan total

responden 72 orang dengan kualifikasi yakni mereka harus lahir di wilayah

tersebut dan tidak pernah meninggalkan wilayah tersebut dalam waktu 10 tahun

berturut-turut. Pertanyaan yang diajukan kepada responden mengandung empat

pilihan, yakni:

(1) Used the expression (menggunakan ungkapan tersebut);

(2) Had heard of the expression (pernah mendengar ungkapan tersebut);

(3) Never used the expression (tidak pernah menggunakan ungkapan

tersebut); dan

(4) Had never heard of the expression (tidak pernah mendengar ungkapan

tersebut).

Dari analisis data, Pandey (2007) menemukan bahwa ada pergeseran dari

makna awal ―west of Chesapeake Bay‖ menjadi makna dengan pelabelan nama

sebagai berikut:

(1) Penamaan terkait dengan alam:

a. Across the Chesapeake Bay

b. Across the Chesapeake Bay

c. Across the water

(2) Penamaan terkait dengan infrastruktur buatan manusia:

a. Over the Bridge

b. Other side of the Bridge

c. Across the Bridge

(3) Penamaan terkait dengan letak geografis:

a. Western Shore of Maryland

b. Western Shore

c. Over on the Western Shore

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

19

Di samping itu, Pandey (2007) juga menemukan bahwa generasi muda

lebih menggunakan ungkapan across the bridge (2c), yakni infrastruktur buatan

manusia daripada across the Chesapeake Bay (1a). Hal ini disebabkan oleh

muatan kurikulum sekolah yang kurang berorientasi pada lingkungan.

Lokasi dan objek penelitian serta karakteristik GTBU sangat berbeda

jikalau dibandingkan dengan masyarakat di Kota Maryland, sehingga hasil dari

masing-masing penelitian pasti berbeda. Namun, pengelompokan umur

responden dijadikan acuan dalam penelitian ini.

Rasna (2010) mengadakan penelitian yang berjudul ―Pengetahuan dan

Sikap Remaja terhadap Tanaman Obat Tradisional di Kabupaten Buleleng:

Sebuah Kajian Ekolinguistik‖. Penelitian yang dilakukan di 9 kecamatan ini

menggunakan 125 sampel yang dibagi menjadi remaja kota dan remaja desa.

Dalam penelitannya Rasna (2010) mengetes pengetahuan leksikon dan

pengetahuan manfaat responden terhadap 11 tanaman obat. Analisis data

penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan remaja, baik yang tinggal di desa

maupun di kota, tentang tanaman obat masih kurang. Hal ini disebabkan oleh

beberapa faktor, di antaranya: (1) faktor kurang bahkan tidak adanya interaksi

dengan lingkungan tempat tumbuh entitas yang diacu oleh leksikon-leksikon yang

ditujukan, (2) faktor perubahan sosiokultural, tergantikannya cara pengobatan

tradisonal oleh cara pengobatan modern sehingga kebutuhan akan ramuan

tradisonal yang terbuat dari berbagai jenis tumbuh-tumbuhan semakin sedikit

karena fungsinya sudah digantikan oleh obat modern, (3) faktor perubahan

sosioekologi suatu wilayah seperti alih fungsi lahan dari kawasan hutan menjadi

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

20

area persawahan dan pemukiman telah mempersempit ruang hidup tanaman

tersebut, (4) faktor sosial ekonomi, artinya secara ekonomi membudidayakan

tanaman obat pada lahan tertentu dianggap tidak mendatangkan keuntungan

secara ekonomi dibandingkan dengan menanaminya dengan tanaman yang

memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi. Karena faktor-faktor di atas, tingkat

populasi dan wilayah hidup entitas-entitas yang diacu oleh leksikon-leksikon

tanaman obat semakin sedikit sehingga remaja semakin tidak mengenalnya yang

berdampak pada penyusutan pengetahuan mereka baik tentang leksikon maupun

manfaatnya. Di samping itu, hampir 40% responden tidak setuju terhadap label

kampungan yang ditujukan pada mereka yang memiliki pengetahuan tentang

tanaman obat.

Ada beberapa hal yang membedakan penelitian yang dilakukan oleh Rasna

(2010) dengan penelitian ini, seperti pengelompokan usia responden, objek yang

dikaji, dan lokasi penelitian. Hal ini tentu berdampak pada hasil penelitian.

Walaupun demikian, cara analisis data yang dilakukan Rasna (2010) dipakai

pijakan dalam analisis data dalam penelitian ini.

Peneliti lain yang juga mengkaji leksikon adalah Sukharani (2010) dengan

penelitiannya yang berjudul ―Leksikon Nomina Bahasa Gayo dalam Lingkungan

Kedanauan Lut Tawar: Kajian Ekolinguistik‖. Penelitian yang berlokasi di empat

kecamatan yang mengelilingi Danau Lut Tawar ini melibatkan 72 responden

dengan rentangan umur dari 15 tahun sampai 60 tahun. Data penelitian diperoleh

melalui penyebaran kuesioner yang berisi 360 leksikon nomina tentang

lingkungan ragawi Danau Lut Tawar. Butir-butir pertanyaan dalam kuesioner

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

21

menguji tingkat pemahaman responden terhadap leksikon-leksikon yang diacu

oleh: (1) nama-nama ikan dan hewan yang hidup di dalam danau dan alirannya,

(2) nama-nama burung, hewan, dan padi di lingkungan danau, (4) nama-nama

benda-benda mati yang ditemukan di dalam dan lingkungan danau, (5) nama-

nama alat penangkap ikan tradisional dan penggemukan ikan di lingkungan

danau, dan (6) kebertahanan bahasa dan budaya Gayo yang terkait dengan

kelestarian lingkungan Danau Lut Tawar. Dari hasil analisis data ditemukan

bahwa penutur bahasa Gayo yang terdiri atas respoden pria dan wanita masih

mengenal, mengakrabi, mendengar serta menggunakan leksikon-leksikon

nomina kedanauan Lut Tawar dalam Bahasa Gayo. Hal ini disebabkan oleh

pengetahuan mereka tentang lingkungan danau dan peralatan penangkap ikan

tradisional. Akan tetapi, ada sejumlah leksikon yang kurang dikenal oleh

responden yang disebabkan oleh perbedaan topografi yang berdampak pada tidak

ditemukannya tumbuhan, hewan, dan alat penangkap serta penggemukan ikan di

wilayah tersebut.

Perbedaan lokasi penelitian, objek kajian, serta rentangan usia responden

dari penelitian tersebut menyebabkan hasil yang dicapai pasti berbeda dengan

penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Walaupun demikian, penelitian Sukharani

(2010) menjadi inspirasi peneliti untuk melakukan penelitian yang serupa di

tempat yang berbeda.

Sementara itu, peneliti lain yang mengkaji pemahaman dan pengetahuan

leksikon komunitas remaja sebagai bagian dari penelitiannya adalah Saputra

(2010) dengan judul penelitian ―Penyusutan Fungsi Sosio-Budaya Bahasa Melayu

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

22

Langkat di Stabat di Kabupaten Langkat‖. Pada salah satu bagian dari

penelitiannya, Saputra (2010) menguji kompetensi leksion responden melalui

kuesioner yang berisi 150 leksikon bahasa Melayu Langkat (BML) yang

disebarkan kepada 230 orang responden. Leksikon-leksikon yang diujikan di

antaranya tentang bagian-bagian tubuh manusia, sapaan kekerabatan, alat

tradisional, perangkat adat, perangkat rumah, dan sebagainya.

Berdasarkan analisis data ditemukan bahwa telah terjadi disfungsi sosial

budaya di kalangan komunitas remaja, khususnya pada lingkungan yang

berorientasi pada geografis sungai, disebabkan oleh beberapa faktor, seperti

berubahnya lingkungan alam, menyusutnya lahan pertanian karena adanya alih

fungsi, berkurangnya sumber daya alam, munculnya bahan-bahan dan peralatan

modern, serta munculnya pola hidup masyarakat yang bersifat praktis dan instan.

Di samping itu, ditemukan juga bahwa semakin menyusutnya konseptual remaja

tentang ekologi Melayu yang disebabkan oleh beberapa faktor, seperti kurangnya

interaksi remaja dengan entitas yang bercirikan Melayu, langka atau punahnya

beberapa entitas sehingga tidak terkonsep dalam pikiran penutur, dan konsepsi

leksikon penutur tentang entitas-entitas tersebut bukan lagi dalam BML melainkan

dalam bahasa lain.

Jika kedua penelitian dibandingkan, ditemukan adanya persamaan dan

perbedaan. Persamaannya adalah kedua penelitian mengkaji leksikon dengan

menerapkan teori ekolinguistik untuk mengkaji masalah penelitian. Sementara

itu, perbedaannya terletak pada umur responden, jenis keksikon yang diteliti, serta

lokasi penelitian sehingga hasil kajian tentunya berbeda pula.

Page 23: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

23

Penelitian lain yang juga tentang leksikon dilakukan oleh Baru (2012)

yang mengkaji leksikon Bahasa Karoon di Kampung Senopi, Distrik Senopi,

Kabupaten Tambrauw, Provinsi Papua Barat. Dalam penelitian yang berjudul

―Khasanah Leksikon Alami Guyub Tutur Karoon: Kajian Ekoleksikal‖, Baru

(2012) mengumpulkan data penelitian dengan menyebarkan kuesioner kepada 100

responden yang berisi 217 leksikon nama-nama tumbuhan dan hewan. Baru

(2012) menguji pengetahuan responden tentang leksikon nama-nama tumbuhan

dan hewan yang ditemukan hidup dan tumbuh di lingkungan mereka melalui

enam indikator, sedangkan untuk mengetahui pengetahuan leksikon dan

pemahaman manfaat responden terhadap entitas-entitas tersebut dihitung dengan

menggunakan persentase.

Hasil analisis data menunjukkan bahwa pengetahuan leksikon dan

pemahaman manfaat responden generasi muda dan generasi tua terhadap jenis

tumbuhan liar pada umumnya baik dan sangat baik dengan persentase pada

kisaran 70% sampai dengan 100%. Demikian halnya pengetahuan dan

penegetahuan manfaat terhadap leksikon-leksikon tanaman untuk bahan makanan,

sayuran dan obat-obatan persentasenya juga mencapai kisaran di atas 85% ke atas

kecuali untuk tanaman liar yang bermanfaat sebagai obat-obatan pada responden

muda persentasenya sangat rendah karena hampir 80% dari mereka tidak tahu

manfaat tanaman dan hewan tersebut. Dari temuan penelitian ini terlihat bahwa

leksikon-leksikon bahasa Karoon ada yang bertahan dan ada pula yang menyusut.

Bertahannya sejumlah leksikon-leksikon tersebut disebabkan oleh entitas-entitas

acuannya merupakan sumber hidup dan penghidupan GTK, di samping karena

Page 24: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

24

tingkat populasinya masih banyak ditemukan di lingkungan tempat tinggal

mereka sehingga leksikon-leksikon tersebut masih ada dalam kognisi mereka.

Sementara itu, menyusutnya leksikon-leksikon tertentu dari bahasa tersebut

disebabkan oleh beberapa faktor, seperti tidak adanya transfer pengetahuan dari

generasi pendahulu ke generasi berikutnya, tergantikannya leksikon-leksikon

tersebut oleh bahasa lain, tergantikannya entitas-entitas acuan leksikon-leksikon

tersebut oleh tanaman lain, serta berbedanya lingkungan hidup dari entitas-entitas

dari acuan leksikon-leksikon yang menyusut tersebut.

Ada beberapa persamaan dan perbedaan antara penelitian yang dilakukan

oleh Baru (2012) dan penelitian ini. Persamaannya, keduanya menjadikan

leksikon tentang hewan dan tumbuhan sebagai objek kajian dan menerapkan teori

ekolinguistik untuk membedah permasalahan penelitian. Sementara itu, perbedaan

keduanya terletak pada lokasi penelitian dan pengelompokan dan jumlah

responden. Di samping itu, perbedaan lainnya adalah bahwa dalam penelitian ini

leksikon-leksikon lingkungan alam didasarkan pada beberapa hal, seperti

berdasarkan manfaatannya bagi GTBU, berdasarkan jenisnya yakni leksikon

generik dan spesifik, serta berdasarkan kelas kata yakni kelompok leksikon

nomina dan kelompok leksikon verba. Karena perbedaan-perbedaan tersebut,

dapat dipastikan hasil kedua penelitian juga berbeda.

2.1.2 Beberapa Penelitian tentang Bahasa Using

Bahasa Using dan masyarakat tuturnya sangat menarik untuk dikaji. Hal

ini dapat dilihat dari jumlah penelitian yang telah dilakukan, baik dalam bidang

Page 25: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

25

linguistik maupun bidang sastra dan budayanya, sejak zaman penjajahan hingga

saat ini. Penelitian tidak saja dilakukan oleh peneliti dari beberapa instansi di

dalam negeri, tetapi juga beberapa peneliti dari mancanegara. Berikut

dipaparkan beberapa kajian yang pernah dilakukan terhadap BU beserta

masyarakat tutur dan budayanya.

Prijangga mengadakan penelitian dengan judul ―Sedikit tentang Bahasa

Banyuwangi‖ (1957). Dalam penelitiannya, Prijangga antara lain mengemukakan

bahwa BU adalah bahasa yang dipakai oleh rakyat Banyuwangi, termasuk

perbedaan-perbedaannya dengan BJ. Tim Peneliti FKSS IKIP Malang dengan

penelitiannya yang berjudul ―Struktur Dialek Bahasa Banyuwangi‘ menguraikan

secara cermat dialek Banyuwangi dari segi fonologi, morfologi, dan sintaksis.

Dalam penelilitian yang dilakukan pada tahun 1979 itu disebutkan bahwa

penduduk Banyuwangi menamai bahasa mereka ―Bahasa Using‖ dengan jumlah

penutur hanya sekitar 30%.

Herusantosa pada tahun 1987 mengadakan penelitian yang berjudul

―Bahasa Using di Kabupaten Banyuwangi‖. Penelitian ini memiliki dua tujuan

umum, yaitu: (1) untuk memperoleh gambaran umum tentang keadaan BU; dan

(2) untuk memberikan wawasan baru kepada penutur BU, khususnya dalam

hubungannya dengan penelitian bahasa daerah dalam rangka mencapai tujuan

pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia dan daerah. Tujuan khusus dari

penelitian Herusantosa (1987) adalah untuk mendeskripsikan variasi–variasi

kebahasaan BU dalam keadaannya sekarang berdasarkan kajian dialek geografi

yang bermanfaat untuk membagi tingkat-tingkat wilayah pakai BU hingga

Page 26: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

26

menjadi Daerah Kunoan, Daerah Peralihan, dan Daerah Baruan dengan

menggunakan peta-peta bahasa sebagai alat bantu. Penelitian ini menghasilkan

beberapa temuan, di antaranya adalah sebagai berikut: (1) jumlah penutur BU

sebanyak 703.903 orang ( 51,87%) dari seluruh penduduk Kabupaten

Banyuwangi; (2) wilayah pakai BU meliputi 126 desa dari 175 desa yang ada di

Kabupaten Banyuwangi; (3) persentase pemakaian BU dalam enam ranah pakai

bahasa masing-masing : ranah kekeluargaan =72,00%, ranah keagamaan

=28,00%, ranah pendidikan =39,50%, ranah perekonomian =50,67%, ranah

kesenian =73,50%, dan ranah hubungan formal =09,00%; (4) dalam BU (murni)

tidak dikenal ragam ngoko dan ragam kromo karena kedua ragam tersebut dikenal

setelah persentuhannya dengan BJ dan BM: (5) Kesusastraan Using hanya dalam

bentuk lisan; (6) keadaan umum wilayah pakai BU (murni) yaitu wilayah kunoan

terdapat di 10 desa dari 176 desa yang ada di Kabupaten Banyuwangi, sedangkan

desa-desa lainnya ada dalam proses peralihan ke desa-desa baruan; dan (7) jumlah

penutur BU yang menggunakan BU sebagai bahasa pengantar untuk kebudayaan

yang oleh masyarakat dianggap tinggi makin berkurang.

Subyatingsih dkk. (1999) mengadakan penelitian dengan judul ―Fungsi

dan Kedudukan Bahasa Using di Banyuwangi‖. Dalam penelitiannya yang

bersifat deskriptif kuantitatif dan deskriptif kualitatif, Subyatiningsish dkk.

menggunakan teknik obeservasi tidak sistematis, teknik wawancara terarah, dan

teknik angket untuk mengumpulkan data penelitian. Penentuan sampel penelitian

dilakukan dengan menggunakan purposive sampling technique dengan kriteria,

yakni: tempat tinggal penutur (desa-kota); generasi penutur (tua-muda); dan

Page 27: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

27

mobilitas penutur (mobil-tak mobil). Dari analisis data ditemukan bahwa secara

umum fungsi BU sebagai lambang kebanggaan dan identitas daerah masih cukup

dominan. Temuan penelitian ini dipakai sebagai indikasi adanya penyusutan

fungsi dan penggunaan BU selama rentangan waktu 12 tahun (1987-1999).

Sariono pada tahun 2007 menulis desertasi dengan judul ―Pemilihan

Bahasa dalam Masyarakat Using: Studi Kasus pada Masyarakat Using di

Kelurahan Singotrunyan, Kecamatan Banyuwangi, Kabupaten Banyuwangi‖.

Penelitian yang bertujuan untuk: (a) mengidentifikasi bahasa dan variasi bahasa

yang terdapat dalam khasanah bahasa masyarakat Using di Desa Singotrunyan

(MUS) beserta penanda dan pemarkah kodenya masing-masing; (b)

mendeskripsikan pola pemilihan bahasa yang mencakup di dalamnya tunggal

kode, alih kode, dan campur kode; dan (c) mendeskripsikan faktor-faktor yang

mendasari pemilihan bahasa dalam MUS. Penelitian yang berada dalam lingkup

kajian sosiolinguistik tersebut menggunakan pendekatan etnografi komunikasi

dari Hymes (1972). Data penelitian dikumpulkan dengan menerapkan teknik dasar

berupa teknik sadap dan teknik lanjutan berupa teknik simak libat cakap, simak

bebas libat cakap, rekam dan catat. Di samping itu, teknik observasi dan

wawancara juga dipakai utamanya untuk mendapatkan data dari tuturan lisan.

Terkait dengan masalah yang diteliti, Sariono menyimpulkan beberapa hal

tentang masyarakat tutur Using di Kelurahan Singotrunyan (MTUS), yakni (1)

MUS memiliki kode BJU (Bahasa Jawa dialek Using), BJN (Bahasa Jawa dialek

Ngoko), BJK (Bahasa Jawa dialek Krama), BIF (Bahasa Indonesia ragam formal)

dan BIIf (Bahasa Indonesia ragam informal) dalam khasanah kodenya; (2)

Page 28: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

28

Karakter MTUS yang soft shelled, mengakibatkan terjadinya kontinum dialek

antara BJU, BJN, BJN dengan BJK, dan BJU dengan BJK dan batasnya

ditentukan berdasarkan penanda dan pemarkah kode masing-masing dan

berdasarkan ada atau tidak adanya perubahan komponen tutur; (3) MTUS

memiliki dua tingkat tutur, yakni tingkat tutur ngoko (BJNg) dan tingkat tutur

kromo (BJK) dan pada keduanya terjadi kontinum tingkat tutur dengan pemarkah

kata-kata kromo menurut kriteria MTUS; (4) faktor penentu pemilihan kode

adalah faktor partisipan (hubungan sosial yang akrab, sesama etnis Using,

orientasi pada budaya Using), dan isi pesan (bersifat pribadi; (5) Terjadi peristiwa

alih kode yang dilatarbelakangi oleh faktor komponen tutur, di antaranya:

pergantian mitra tutur, perubahan isi pesan, berbicara pada diri sendiri, mengutip

pembicaraan, melucu, mengutip pembicaraan lawan tutur, dan menyesuaikan kode

dengan lawan tutur; dan (6) terjadi peristiwa campur kode karena faktor-faktor, di

antaranya: keterbatasan penguasaan kode, istilah populer, kata atau istilah lebih

ringkas, pemakaian istilah penjelas, dan terpengaruh oleh konteks tuturan

sebelumnya

Apabila judul dan permasalahan masing-masing penelitian di atas

dicermati, terdapat perbedaan yang cukup jauh dibandingkan dengan topik dan

permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini, karena tak satu pun di antara

keempatnya mengkaji BU pada tataran leksikon, khususnya leksikon-leksikon

tentang lingkungan alam.

Page 29: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

29

2.2. Konsep

2.2.1 Dinamika

Istilah dinamika banyak ditemukan dalam ilmu fisika, khususnya ilmu

gaya yang mempelajari hubungan antara gerakan benda-benda (Salim, 2000: 288).

Crystal (1985: 103) mengatakan bahwa dinamika (dynamic) adalah sebuah istilah

yang digunakan dalam sosiolinguistik untuk mendeskripsikan pandangan terhadap

bahasa yang menerapkan dimensi temporal (waktu) penelitian variasi

bahasa/bahasa bersifat diakronik: variasi bahasa/bahasa diteliti berdasarkan

perkembangan sejarahnya, misalnya karakter leksikon bahasa Indonesia sebelum

proklamasi kemerdekaan dan setelah kemerdekaan. Terkait dengan kajian ini,

yang dimaksud dinamika adalah perkembangan (development), pergeseran,

pemertahanan, dan kebertahanan bahasa (secara khusus pada tataran leksikon)

yang disebabkan oleh perubahan lingkungan alam dan sosial tempat guyub tutur

bahasa itu bermukim.

Pergeseran dan pemertahanan bahasa adalah akibat panjang dari pilihan

bahasa secara kolektif yang dilakukan oleh suatu atau beberapa guyup tutur suatu

bahasa. Fasold (1984:213) mendefinisikan pergeseran bahasa sebagai suatu

fenomena yang ditandai oleh sebuah guyub tutur yang berhenti sama sekali

memakai suatu bahasa dan memilih memakai bahasa lain atau ketika pergeseran

bahasa itu telah terjadi, sebuah guyub tutur secara bersama-sama memilih bahasa

baru dan meninggalkan bahasa lama sebagai media komunikasi. Fasold (1984)

mengatakan bahwa ketika sebuah guyub tutur mulai memilih bahasa baru dalam

sebuah domain yang dulunya memakai bahasa yang lama, itu menandakan bahwa

Page 30: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

30

sebuah pergeseran bahasa sedang berlangsung. Di samping faktor masyarakat

yang dwibahasawan, faktor migrasi, ekonomi, dan pendidikan adalah faktor-faktor

lain penyebab terjadinya pergeseran bahasa.

Sebaliknya, pemertahanan bahasa terjadi apabila sebuah masyarakat/guyub

tutur secara kolektif menentukan untuk melanjutkan menggunakan bahasa-bahasa

yang mereka pakai selama ini dalam komunikasi mereka. Konsep pemertahanan

bahasa adalah konsep yang terkait erat dengan perencanaan bahasa (Kaplan,

1991:146) karena hal ini terkait dengan tujuan perencanaan bahasa, yang salah

satu tujuannya adalah untuk pemertahanan bahasa, khususnya bahasa-bahasa

kecil. Hal ini dilakukan dengan penuh kesadaran sebagai reaksi adanya problema

kebahasaan akibat adanya kebijakan bahasa nasional terutama di negara-negara

yang baru merdeka (Kaplan, 1991:143).

Di samping fenomena pergeseran dan pemertahanan bahasa, dikenal juga

fenomnena kebertahanan bahasa minoritas (kecil) oleh penuturnya. Fenomena ini

terjadi secara tidak sengaja dan tidak terencana. Bertahannya pemakaian sebuah

bahasa oleh penutur dapat dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, di antaranya

adalah faktor`sosial budaya psikologis penuturnya, faktor latar geografis, dan

faktor demografis. Yang termasuk dalam faktor sosial budaya psikologis penutur

suatu bahasa, di antaranya, ialah kekuatan ikatan etnis, pola pemukiman, agama,

sistem kekeluargaan, jenis kelamin, dan status sosial ekonomi (Suhadi, 1990:195).

Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa kebertahanan bahasa terjadi secara

alamiah, karena anggota-anggota sebuah guyub tutur mempertahankan bahasanya

secara tidak sadar melalui nilai-nilai yang terkandung dalam bahasa tersebut.

Page 31: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

31

Fasold (1984:181) mengaitkan hal ini dengan fungsi bahasa sebagai contrastive

self identification , yaitu bahasa memiliki fungsi sebagai alat pemersatu atau

pemisah diri dari kelompok lain.

2.2.2 Leksikon

Ada beberapa ahli bahasa yang mengemukakan konsepnya tentang

leksikon dengan berbagai penekanan. Salah satunya adalah Spencer (1993: 47),

yang menyatakan:

“The term lexicon means simply „dictionary‟ is a list of words together

with their meaning and other useful bits of linguistic information…

Pernyataan di atas mengisyaratkan bahwa leksikon adalah daftar kata yang

mengandung makna yang sedikit disertai dengan keterangan-keterangan yang

berkaitan dengan informasi linguistik. Elson dan Pickett (1987: 1) mendefinisikan

leksikon sebagai kosakata suatu bahasa atau kosakata yang dimiliki oleh seorang

penutur bahasa, atau seluruh jumlah morfem atau kata-kata sebuah bahasa. Kata-

kata yang dimaksudkan oleh Elson dan Picket (1987) bukanlah kata-kata yang

hanya mengandung makna secara terpisah, melainkan maknanya dipengaruhi oleh

konteks situasi, kata-kata yang menyertainya, posisinya dalam pola gramatikal,

serta cara penggunaannya secara sosial. Sementara itu, Martin Haspelmath (2002:

39) menjelaskan leksikon sebagai sebuah istilah yang mengacu pada kamus

mental dan aturan-aturan gramatikal tentang bahasanya yang harus dimiliki oleh

penutur suatu bahasa. Selain itu, Crystal (1985:78) mengatakan bahwa leksikon

merupakan komponen yang mengandung informasi tentang ciri-ciri kata dalam

suatu bahasa, seperti perilaku semantis, sintaktis, dan fonologis.

Page 32: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

32

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:805) tercantum bahwa

leksikon merupakan kosakata; komponen bahasa yang memuat semua informasi

tentang makna dan pemakaian kata dalam bahasa; kekayaan kata yang dimiliki

suatu bahasa.

Sementara itu, Kridalaksana (1982: 98) mendefinisikan leksikon sebagai berikut:

(1) komponen bahasa yang memuat semua informasi tentang makna dan

pemakaian kata dalam bahasa; (2) kekayaan kata yang dimiliki seorang

pembicara, penulis, atau suatu bahasa; kosakata; perbendaharaan kata; (3) daftar

kata yang disusun seperti kamus tetapi dengan penjelasan yang singkat dan

praktis.

Berdasarkan konsep-konsep leksikon yang telah dipaparkan di atas, maka

dalam kajian ini diterapkan konsep leksikon yang dikemukakan oleh Kridalaksana

(1982) karena leksikon yang dimaksud dalam kajian ini adalah sejumlah daftar

kata-kata tentang lingkungan alam yang disertai dengan penjelasannya dan juga

mengacu pada kekayaan kata yang dimiliki seseorang, dalam hal ini responden

penelitian.

2.2.3 Lingkungan

Pengertian lingkungan dalam kajian ini mengacu pada pendapat Sapir

(dalam Fill dan Muhlhausler, ed., 2001:14), yaitu lingkungan ragawi dan sosial.

Lingkungan ragawi berhubungan dengan geografi yang terdiri atas lingkungan

fisik yang (dalam penelitian ini) difokuskan pada lingkungan ragawi sebagai

Page 33: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

33

penopang masyarakat Using secara ekonomis yang menyangkut kehidupan

manusia yang terdiri atas flora dan fauna.

2.3 Landasan Teori

Keterkaitan antara bahasa dan lingkungannnya, baik lingkungan fisik

maupun lingkungan sosial, dapat menghasilkan berbagai bidang kajian dengan

menerapkan berbagai pendekatan dan teori. Kajian khazanah leksikon lingkungan

alam adalah salah satu kajian yang mengkaji hubungan bahasa (pada tataran

leksikon) dengan lingkungannya melalui penerapan berbagai macam teori yang

diterapkan secara eklektik. Sejalan dengan hal tersebut, dalam penelitian ini

diterapkan teori ekolinguistik sebagai teori payung dan didukung oleh tiga teori

lain, yakni teori perubahan bahasa, teori morfologi, dan teori semantik.

2.3.1 Teori Ekolinguistik

Perubahan bahasa, terutama pada tataran leksikon, tidak dapat dipisahkan

dari perubahan lingkungan alam karena bahasa dan lingkungannya merupakan

dua hal yang saling memengaruhi. Fenomena ini merupakan bidang kajian

ekolinguistik, yaitu suatu disiplin ilmu yang mengkaji bahasa dan lingkungannya

dan menyandingkan ekologi dengan linguistik (Mbete, 2008:1).

Gagasan tentang ekologi bahasa dalam kajian sosiolinguistik

sesungguhnya telah disinggung oleh Gumperz (1962). Gumperz (1962:137)

berpendapat bahwa sosiolinguistik adalah studi mengenai tingkah laku verbal

yang berhubungan dengan karakteristik sosial penutur, latar belakang budaya

Page 34: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

34

mereka, dan sifat ekologis lingkungan tempat mereka berinteraksi. Dengan

demikian, ekolinguistik diartikan sebagai interaksi antara bahasa dan

lingkungannya lewat penutur bahasa tersebut. Haugen (dalam Dil, 1972: 325--

329), mendefinisikan lingkungan bahasa sebagai berikut.

“The true environment of a language is the society that uses it as one of its

codes. Language exists only in the minds of its speaker, and it only

functions in relating the users to one another to nature, i.e. their social

natural environment… The ecology of a language is determined primely

by those who learn it, use it, and transmit it to others‖.

Pernyataan Haugen di atas menyiratkan bahwa lingkungan suatu bahasa

adalah panutur bahasa yang berbentuk latar sosial dan latar kultural, bukan latar

fisik semata karena tidak mungkin memahami suatu bahasa tanpa penuturnya.

Perubahan atau pergeseran dan kebertahanan sebuah bahasa (khususnya dalam

tataran leksikon) dipengaruhi oleh perubahan lingkungan alam, sosial, dan

budaya yang melanda lingkungan bahasa tersebut. Demikian halnya dengan BU

yang hidup di tengah-tengah masyarakat pendukungnya, tidak luput dari

perubahan, di antaranya karena modernisasi dan globalisasi. Perubahan yang

melanda aspek-aspek sosial dan budaya pendukungnya juga berpengaruh terhadap

BU, khususnya dalam tataran leksikon.

Haugen (dalam Garner, 2005) lebih jauh menegaskan bahwa lingkungan

bahasa terdiri atas dua komponen, yaitu komponen psikologis dan komponen

sosiologis. Komponen psikologis yang terkait dengan kompetensi, performasi,

dan komunikasi penutur mencakup: (1) keberadaan suatu bahasa ada dalam

pikiran penuturnya ; (2) bagaimana penuturnya menggunakan suatu bahasa untuk

memaknai diri dan dunia sekelilingnya (performasi); (3) bagaimana suatu bahasa

Page 35: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

35

berinteraksi dengan bahasa lain dalam pikiran penuturnya; dan (4) bagaimana

sikap penutur terhadap bahasa tersebut. Komponen sosiologis mencakup: (1)

keadaan bahasa sebagaimana dia ada di tengah-tengah pendukungnya; (2)

bagaimana bahasa tersebut digunakan di tengah-tengah penuturnya; (3) kapan, di

mana, mengapa bahasa tersebut digunakan/tidak digunakan lagi oleh penuturnya;

dan (4) bagaimana komponen keadaan bahasa di tengah-tengah penuturnya,

komponen penggunaan bahasa, serta komponen kapan, di mana, dan kenapa

bahasa tersebut digunakan oleh penuturnnya terkait dengan pola-pola tingkah

laku penuturnya.

Berdasarkan pengertian tentang lingkungan bahasa di atas, ada tiga hal

yang dijelaskan oleh Haugen (1972) tentang ekolinguistik, yakni (1) bahasa

hanya ada dalam pikiran penuturnya, dan akan berfungsi pada saat penuturnya

berhubungan secara alami antara penutur satu dengan lainnya; (2) bagian dari

lingkungan bahasa selanjutnya adalah lingkungan psikologis, yaitu interaksi

bahasa tersebut dengan bahasa lain dalam pikiran penutur yang

dwi/multibahasawan; dan (3) lingkungan sosiologis, yakni interaksi bahasa

dengan masyarakat dalam fungsinya sebagai alat komunikasi.

Bahasa yang hidup (digunakan secara lisan atupun tertulis)

merepresentasikan fakta-fakta tentang alam, sosial, dan budaya yang ada di

lingkungannya (Fill dan Muhlhausler, 2001) sehingga selain menjadi fakta sosial,

bahasa juga merupakan rekaman tentang fakta-fakta alamiah sebagai tanda adanya

hubungan manusia dengan lingkungan alamnya yang terekam dalam leksikon

Page 36: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

36

suatu bahasa, seperti tersirat dalam pernyataan Sapir (dalam Fill dan Muhlhausler,

ed., 2001:14) berikut.

“It is the vocabulary of a language that most clearly reflects the physical

and social environment of its speakers.The complete vocabulary of a

language may indeed be looked upon as acomplex inventory of all ideas,

interests, and occupations that take up the attention of the community, and

were such a comlete thesaurus of the language of a given tribe at our

disposal , we might to a large extent infer the character of the physical

environment and the characteristic of the peole making use of it. It is not

difficult to find the examples of languages whose vocabulary thus bears

the stamp of the physical enviroment in which the speakers are placed”

Dari pernyataan di atas jelaslah tampak bahwa kekayaan leksikon suatu

bahasa mencerminkan kekayaan gagasan termasuk ide dan ideologi, kepentingan,

dan aktivitas-aktivitas penting terkait dengan profesi dan pekerjaan untuk mencari

penghidupan yang dilakukan oleh sebuah guyub tutur sebuah bahasa, di samping

mencerminkan lingkungan ragawi (seperti lingkungan kesungaian, kedanauan,

pegunungan, persawahan, dan sebagainya) bahasa tersebut dan karakter para

penuturnya. Guyub tutur suatu bahasa di lingkungan alam tertentu, karena

berinteraksi dan bergantung pada lingkungan tersebut, akhirnya mereka memiliki

pengalaman tentang lingkungannya, dan hal ini terekam bahasa, terurai/terjabar

dalam wujud leksikon-leksikon bahasanya (Fill dan Muhlhausler, 2001:1). Pada

bagian lain, Sapir (dalam Fill dan Muhlhausler, ed., 2001: 2) menegaskan ―… this

interrelationship exists merely on the level of the vocabulary and not, for example,

on that of phonology or morphology”, artinya bahwa dalam lingkup kajian

ekolinguistik hubungan antara bahasa dan lingkungannya hanya ada dalam tataran

leksikon bukan, misalnya, dalam tataran fonologi atau morfologi.

Page 37: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

37

Lingkungan alam berubah, bahasa yang dipakai dalam guyub tutur itu pun

berubah seiring dengan berjalannya waktu. Seperti telah disinggung pada bagian

sebelumnya bahwa perubahan bahasa pada tataran leksikonlah yang paling cepat

terjadi dan paling mudah dicermati.

Bang & Door (dalam Lindo dan Bundesgaard, ed., 2000:10—11)

mengatakan bahwa bahasa merupakan bagian dari sebuah aktivitas sosial yang

terkandung dan mengandung praksis sosial (social praxis), yakni sebuah konsep

yang mengacu pada semua tindakan, aktivitas, perilaku masyarakat, baik sesama

anggota masyarakat (lingkungan sosial) maupun terhadap lingkungan alamnya.

Bahasa dan praksis sosial merupakan dua hal yang saling berhubungan. Dalam hal

ini praksis sosial merupakan aspek yang mendominasi, sedangkan bahasa

merupakan aspek yang didominasi. Hal ini mengindikasikan bahwa perubahan

praksis sosial (perubahan tindakan, aktivitas dan perilaku manusia terhadap

sesama dan juga terhadap lingkungan alamnya) menimbulkan perubahan pada

bahasa. Dengan kata lain dapat diungkapkan bahwa perubahan praksis sosial

merupakan penyebab perubahan bahasa dan yang paling mudah diamati adalah

perubahan pada tataran leksikon.

Praksis sosial melingkupi tiga dimensi (triple dimensions), yakni (1)

dimensi ideologis, yaitu ideologi yang berhubungan dengan tatanan mental

individu atau masyarakat, kognitif, dan psikis yang melekat pada guyub tutur; (2)

dimensi sosiologis adalah dimensi yang berkaitan dengan bagaimana guyub tutur

menata, mengorganisasikan, dan mengomunikasikan interaksi mereka dengan

sesama sehingga muncul rasa kebersamaan, saling mengasihi, saling

Page 38: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

38

membutuhkan dan pada akhirnya memunculkan rasa penghargaan terhadap

sesama; dan (3) dimensi biologis adalah dimensi yang berkenaan dengan

keberadaan kita secara biologis bersanding dengan spesies lain, yang identik

dengan adanya keberagaman (diversity) baik hewan maupun tumbuhan, secara

berimbang dalam sebuah ekosistem yang secara verbal terekam dalam leksikon

bahasa (dalam hal ini bahasa Using) sehingga entitas-entitas itu tertandakan,

dikenal, dan kemudian dipahami. Di samping, itu ketiga dimensi di atas dibentuk

dan sekaligus membentuk bahasa dan ketiganya saling berinteraksi (dialektikal).

Hubungan dari ketiga dimensi tersebut dapat digambarkan dalam bagan berikut.

Bagan 2.1

Hubungan Antara Dimensi Ideologis, Sosiologis, dan Biologis Terkait

dengan Perubahan Bahasa

S1 : pembuat teks S3 : konteks

S2 : penikmat teks O : objek yang diacu dalam komunikasi

ideologis

sosiologis

MM

LINGKUNGAN

biologis

S1 S2

O S3

Page 39: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

39

(Diadopsi dari Bagan Dialogue Model oleh Bang & Door (dalam Lindo dan

Bundesgaard, ed.,2000:10)

Jikalau dikaitkan dengan sebuah komunikasi, praksis sosial merupakan

faktor penentu dalam peristiwa tersebut karena praksis sosial dapat terjadi tanpa

adanya bahasa, sedangkan bahasa tidak mungkin ada tanpa adanya fraksis sosial.

Sementara itu komunikasi alamiah manusia melibatkan tanda-tanda linguistik di

dalamnya. Tanda-tanda itu dihasilkan dan dinterpretasikan oleh pelibat dalam

sebuah situasi dan dialog yang terjadi secara dialektis dan paling sedikit

melibatkan empat unsur, yaitu (1) orang yang mengucapkan tanda (S1= pembuat

teks), (2) orang kepada siapa tanda itu ditujukan (S2= penikmat teks), (3) sesuatu

yang menjadi bagian dari situasi dan komunikasi (S3= konteks), dan (4) objek

yang dibicarakan (O). Keempat unsur ini menentukan secara dialektis, yakni (1)

apa yang akan dipertimbangkan menjadi tanda linguistik, (2) apa yang akan

dipertimbangkan sebagai hubungan antartanda linguistik, (3) apa yang

dipertimbangkan sebagai tanda yang bermakna, dan (4) apa yang dipertimbangkan

dari makna tanda itu (Bang and Door dalam Lindo dan Bundesgaard,

ed.,2000:57). Tanda-tanda linguistik akan dimaknai sama jikalau ada kesamaan

konsep antarpenutur dalam sebuah komunikasi. Sebaliknya, jikalau tanda-tanda

linguistik tidak terkonsep dalam alam pikiran penutur, maka tanda-tanda tersebut

menjadi sesuatu yang tidak bermakna.

Untuk membedah sebuah teks atau sebuah leksikon baru juga harus

melibatkan keempat unsur di atas. Misalnya, munculnya leksikon baru benur

‗benih udang windu‘ ketika tambak udang booming di wilayah Kabupaten

Page 40: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

40

Banyuwangi dan Kabupaten Situbondo pada tahun 1990an. Adanya perubahan

lingkungan sosial masyarakat pesisir dari masyarakat nelayan tradisional menjadi

masyarakat petani tambak yang lebih terbuka telah menimbulkan persoalan dalam

pemberian nama benih udang yang pada masa itu disebut nener. Sementara itu, di

tempat yang sama leksikon nener juga memiliki makna wanita tuna susila.

Karena adanya perkembangan pada konteks (S3) dan objeks (O), maka pembuat

teks (S1) harus menyesuaikan diri. Untuk mewadahi perubahan itu diciptakanlah

sebuah leksikon baru untuk menamai benih udang baru tersebut menjadi benur

yang berasal dari pemotongan dan penggambungan (blending process) dua

leksikon BJ benih dan urang sehingga pada alam pikiran penikmat teks (S2)

terkonsep leksikon benur mengacu pada entitas benih udang, sedangkan leksikon

nener mengacu pada pada entitas wanita tuna susila.

2.3.2 Teori Perubahan Bahasa

Ada sejumlah fenomena kebahasaan yang dapat muncul karena tingkah

laku pemakai bahasa yang berubah-ubah. Fenomena seperti ini sering diawali oleh

penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma baku pemakaian bahasa.

Sebuah perubahan biasanya terjadi secara perlahan-lahan (evolutive) dan diawali

oleh sesuatu yang kecil yang terjadi saat ini. Labov (1994) mengistilahkannya

dengan language change in progress.

Ada beberapa ahli bahasa mengemukakan pendapatnya tentang perubahan

bahasa itu, di antaranya adalah Labov (1994) dan Aitchison (1991). Menurut

Labov (1994), ada tiga cara yang dapat diterapkan untuk mengkaji perubahan

Page 41: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

41

bahasa. Pertama, menelusuri unsur-unsur bahasa yang berubah secara evolutif,

yaitu dengan membandingkan bentuk-bentuk yang sekarang dengan yang

sebelumnya. Kedua, menganalisis hubungan antara kategori sosial dan tingkah

laku berbahasa penutur yang terindikasi mengalami perubahan sehingga pada

akhirnya dapat ditemukan hubungan antara perubahan unsur-unsur bahasa secara

internal dan perubahan unsur-unsur bahasa karena faktor sosial. Ketiga,

menemukan sikap penutur terhadap perubahan bahasa yang sedang terjadi.

Dari paparan Labov (1994) di atas, tergambar bagaimana mekanisme

penyebaran perubahan bahasa. Penyebaran ini dapat ditinjau dari dua segi, yakni

penyebaran yang berkaitan dengan internal kebahasaan dan penyebaran yang

berhubungan dengan penuturnya. Penyebaran perubahan kebahasaan secara

internal menyangkut perubahan unsur-unsur kebahasaan, seperti unsur bunyi,

morfologi, leksikon, dan sintaksis. Contoh yang dapat diamati berdasarkan fakta

adalah terjadinya difusi bunyi dan difusi leksikon pada bahasa tertentu yang

biasanya diawali oleh perubahan yang kecil dan perlahan. Begitu perubahan ini

menyusup ke dalam beberapa kata, akan terjadi fluktuasi pemakaian antara bentuk

baru dan bentuk lama oleh masyarakat tutur dan secara perlahan bentuk lama akan

ditinggalkan. Jika penyebaran perubahan bahasa ini terjadi pada kata dengan

jumlah yang cukup banyak, maka perubahan akan terjadi secara cepat dalam

waktu yang singkat (Suastra, 2004:8—15).

Penyebaran perubahan bahasa terkait dengan penuturnya dapat

dikelompokkan menjadi penyebaran secara alamiah dan penyebaran secara sadar.

Penyebaran perubahan bahasa secara alamiah terjadi secara sistematis dan

Page 42: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

42

biasanya dilakukan oleh sebagian kelompok masyarakat tutur yang secara tidak

sadar memakai unsur-unsur kebahasaan tertentu yang berbeda dari kaidah-kaidah

yang berlaku selama ini yang pada akhirnya memunculkan variasi baru. Jika

variasi baru ini terpakai oleh masyarakat tutur dan digeneralisasi serta

pemakaiannya sudah mencapai batas tertentu dalam penyebarannya, maka variasi

ini akan menjadi kaidah yang berterima, dan akhirnya semua anggota masyarakat

tutur akan memakainya sehingga menjadi marker guyup tutur tersebut. Perubahan

seperti ini oleh Labov (1994) disebut change from below. Adakalanya pemakaian

variasi baru itu mengalami adaptasi dengan unsur-unsur kebahasaan lainnya.

Penyebaran perubahan bahasa secara sadar dilakukan secara sadar, artinya

anggota masyarakat tutur secara sengaja atau nyata menyerap unsur-unsur bahasa

yang menyimpang dari kaidah yang berlaku. Penyebaran tipe ini biasanya

dilakukan oleh anggota masyarakat tutur yang dianggap memiliki prestise ,

kekuasaan, dan status sosial tinggi yang kemudian ditiru oleh kelompok

―subordinate‖ sebagai model.

Selain Labov (1994), ahli bahasa lain yang juga membahas tentang

perubahan bahasa adalah Aitchison (1991). Aitchison (1991:105-160) menyoroti

penyebab perubahan bahasa dikarenakan oleh dua faktor: faktor internal

psikolinguistik dan faktor sosial. Faktor pertama terkait dengan sistem bahasa itu

sendiri dan keadaan psikologis penutur, sedangkan faktor kedua terkait dengan

faktor luar sistem kebahasaan.

Page 43: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

43

a. Faktor internal kebahasaan

Seperti telah diuraikan di bagian terdahulu bahwa setiap bahasa akan

mengalami perubahan apabila bahasa tersebut memiliki perangkat untuk

perubahan tersebut yang dapat mengakibatkan adanya penyimpangan-

penyimpangan dalam pemakaian bahasa sehingga muncul variasi-variasi baru.

Misalnya, adanya asimilasi dalam bidang bunyi antara dua bahasa yang berbeda.

Pada kasus seperti ini berlaku ‖push and drag chain theory” yang menjelaskan

adanya pergeseran bahasa dalam dikotomi push dan drag karena adanya

penyusupan unsur satu bahasa ke bahasa lainnya sehingga menggeser unsur

bahasa yang asli. Unsur bahasa asli yang tergeser akan meninggalkan celah dan

celah ini akan diisi oleh unsur bahasa yang lain pula.

Di samping karena asimilasi, perubahan bahasa dapat terjadi karena

adanya kontak bahasa yang dapat mengakibatkan adanya proses peminjaman

(borrowing proses) unsur –unsur satu bahasa oleh bahasa lainnya. Dalam hal ini

biasanya unsur-unsur bahasa pendonor akan disesuaikan dengan norma-norma

yang telah ada pada bahasa peminjam. Fenomena ini merupakan awal dari

perubahan sebuah bahasa.

Berkaitan dengan fenomena peminjaman ini, Aitchison (1991)

mengemukakan bahwa ada empat ciri utama dalam fenomena peminjaman bahasa

ini, yakni (1) unsur-unsur bahasa pijaman berbeda dengan unsur-unsur bahasa

peminjam dan tidak memengaruhi struktur bahasa peminjam. Unsur-unsur

pinjaman ini biasanya berupa unsur-unsur yang ditemukan padanannya dalan

bahasa peminjam; (2) bentuk unsur-unsur bahasa pinjaman biasanya disesuaikan

Page 44: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

44

dengan bentuk bahasa peminjam. Hal ini dapat dilihat pada kasus peminjaman

oleh bahasa Indonesia dari salah satu bahasa asing, bahasa Inggris, seperti bentuk

organization dan function masing-masing berubah menjadi ―organisasi‖ dan

―fungsi‖, dan sebagainya; (3) bahasa peminjam cenderung memilih bentuk yang

memiliki kedekatan bentuk dengan bahasa pendonor, seperti kasus pinjaman oleh

bahasa Prancis dari bahasa Jerman; dan (4) bahasa peminjam mengadakan

penyesesuaian dengan bahasa pendonor, seperti bentuk-bentuk pinjaman dalam

bahasa Indonesia radio (bahasa Inggris) dibaca [radio], photo (bahasa Inggris)

dibaca [poto].

b. Faktor eksternal kebahasaan

Di samping faktor internal, faktor eksternal kebahasaan turut memengaruhi

arah perubahan bahasa. Untuk melihat arah perubahan bahasa karena faktor

eksternal, peneropongan harus dilakukan melalui perubahan kehidupan sosial

penuturnya karena perubahan bahasa saat ini (change in prosess) akan terkait

dengan faktor-faktor sosial yang memengaruhinya. Mengenai hal ini, Labov

(1994) menyebutkan beberapa faktor sosial yang dapat memepengaruhi variasi

bahasa, yakni status sosial penutur yang mencakup stratifikasi sosial, pekerjaan,

jenis kelamin, umur, dan ras penutur. Kelompok-kelompok sosial yang terbentuk

karena status sosial penutur ditengarai sebagai kelompok yang mengawali

proses perubahan bahasa. Dengan kata lain, orang-orang dengan etnis, pekerjaan,

jenis kelamin, dan umur yang berbeda akan menggunakan variasi bahasa yang

berbeda. Misalnya, dari segi umur bagi penutur bahasa Indonesia, penutur yang

lebih muda cenderung menggunakan variasi yang menyimpang dari kaidah baku

Page 45: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

45

bahasa dibandingkan dengan penutur yang berusia lebih tua. apabila dikaitkan

dengan jenis kelamin sebagai salah satu variabel sosial, menurut Lakof (1973),

secara morfologis, sintaksis, dan leksikon variasi bahasa yang digunakan oleh

perempuan dan laki-laki menunjukkan perbedaan (bdk. Holmes, 1992:164—181).

2.3.3 Teori Morfologi

Berbicara tentang bentuk-bentuk lingual leksikon lingkungan alam BU

merupakan bagian dari kajian morfologi, yakni ilmu bahasa yang menelaah

struktur atau bentuk kata, utamanya melalui penggunaan morfem serta isyarat

perubahan yang menyertainya, yakni perubahan kelas kata dan perubahan makna.

Dengan kata lain dapat pula dikatakan bahwa morfologi adalah ilmu bahasa yang

mempelajari seluk-beluk struktur kata serta pengaruh perubahan-perubahan

struktur kata terhadap golongan dan makna kata (lihat Ramlan, l979:2 dan Crystal,

1980:232—233). Sementara itu, menurut Bauer (1083:33), morfologi merupakan

bidang linguistik yang membahas struktur internal bentu kata dan Verhaar (2012:

97) mengemukakan bahwa morfologi adalah cabang linguistik yang

mengidentifikasikan satuan-satuan dasar bahasa sebagai satuan grmatikal. Dari

semua pendapat di atas dapat disebutkan bahwa kata atau morfem adalah objek

dasar kajian morfologi.

Berdasarkan jenisnya, morfem dibendakan menjadi dua, yakni morfem

bebas dan morfem terikat. Terkait dengan hal ini, ada sejumlah ahli yang

mengemukakan pendapatnya. Menurut Verhaar (2012:97), morfem bebas adalah

satuan atau bentuk bebas dalam tuturan. Yang dimaksud bentuk bebas dalam hal

Page 46: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

46

ini adalah sebuah bentuk yang dapat berdiri sendiri, artinya bentuk yang tidak

membutuhkan bentuk lain yang digabung dengannya, dan dapat dipisahkann dari

bentuk-bentuk bebas lainnya (bdk. Crystal, 1980: 383—385). Sebaliknya, morfem

terikat menurut Verhaar (2012: 97—98) adalah morfem yang tidak dapat berdiri

sendiri dan yang hanya dapat meleburkan diri pada morfem lain. Semua afiks

adalah morfem terikat (lihat Akmajian, 1984: 68). Di samping itu, morfem terikat

juga ada berbentuk kata yang disebut bentuk pradasar (prakategorial), yaitu

sebuah bentuk yang membutuhkan pengimbuhan atau pemajemukan untuk

menjadi bentuk bebas (lihat Verhaar, 2012:99).

Sementara itu, terkait dengan pembentukan kata (word formation), Bauer

(1983: 201) mengatakan bahwa pembentukan kata dapat dilakukan melalui proses

morfologis (morphological process) yang dapat terjadi melalui sembilan proses,

yaitu (1) compounding (2) affixation, (3) conversion, (4) back formation, (5)

clipping, (6) blending, (7) acronyms, (8) words manufacture, dan (9) mixed

formation. Sementara itu, menurut Kridalaksana (1996:12), proses morfologis

mencakup tujuh proses, yakni (1) derivasi zero (kosong), (2) afiksasi, (3)

reduplikasi, (4) abreviasi (pemendekan), (5) komposisi (perpaduan), (6) derivasi

balik, dan (7) metatesis. Melalui proses-proses morfologis di atas terbentuk tiga

kelompok kata, yakni (1) proses afiksasi menghasilkan kata berafiks; (2) proses

reduplikasi menghasilkan kata ulang; dan proses kompositum menghasilkan kata

majemuk.

Page 47: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

47

2.3.4 Teori Semantik

Secara teoritis, hal yang paling mendasar pada anggota masyarakat dalam

penguasaan nomenkaltur ialah mengenali dan/atau memahami nama-nama flora

dan fauna dalam guyub tuturnya sendiri. Pengenalan/pemahaman tersebut tersebut

paling tepat dibedah dengan menggunakan teori ―Segitiga makna‖ dari Ogden dan

Richardas (periksa Ullmann, 1985: 55). Sebab, gagasan teori makna itu bertolak

dari penunjukan nama-nama (nomenklatur) flora dan fauna itu dengan hal di luar

nama (lambang), yakni benda-benda (things) itu sendiri. Dengan kata lain,

penunjukkan nama-nama itu bersifat ostensif, menunjuk dengan telunjuk jari.

Oleh karen itu, teori makna yang demikian dinamakan Teori Referensial (Saeed,

2000:67).

Penegenalan/ pemahaman terhadap nomenklatur itu berjalan berjalan

sampai usia (penutur) tertentu. Jadi, setiap anak yang memulai mengenali benda-

benda di sekelilingnya, ia melihat benda itu, atau ada orang lain yang menunjuk

dengan telunjuk jarinya (ostention) benda tertentu dengan nama tertentu pula

(lihat teori Penamaan berikut). Hal itu terjadi berulang, yang pada akhirnya,

penutur menjadi terbiasa dalam mengenali dan memahami nomenklatur flora

ataupun fauna tadi.

Kebiasaan yang dimaksud itu didasarkan pada asumsi bahwa penutur

sudah menempatkan nomenklatur itu dalam benaknya. Jadi baik citra bunyi

(acoustic image) maupun makna (meaning) sudah tersimpan dalam otak penutur

ataupun sudah ―membatin‖ (in mind). Oleh karena itu, seseorang yang sudah

mengetahui nama benda tertentu ia tidak perlu lagi melihat atau ada orang lain

Page 48: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

48

yang menunjukkan benda tertentu itu padanya. Dengan kata lain, nama-nama

benda itu sudah menjadi pengetahuan (cognition) baginya. de Saussure menyebut

hubungan nama (lambang) dengan konsep (makna) itu bersifat resiprokal:

lambang langsung berhubungan dengan konsep tanpa perantara objek (referent).

Jadi, apabila penutur ingat akan benda tertentu, misalnya ―bambu‖ sebagai

konsep, ia akan mengucapkan bambu. Secara teknis, berbeda dari Ogden dan

Richards di atas, teori makna dari de Saussure dinamakan Teori Representasinal

(Saeed, 2000:89).

Apabila dihubungkan dengan dinamika pemahaman dan penggunaan

antargenerasi GTBU terhadap kelompok leksikon flora dan fauna BU maka secara

teoritis yang berperan adalah nama-nama benda yang sudah menjadi pengetahuan

itu. Jadi, kajian teoritis dari sudut pemahaman makna atas leksikon flora dan

fauna BU tidak membutuhkan waktu lama saat seorang anak mulai dalam

pemerolehan nomenklatur yang menjadi objek penelitian ini. Persoalannya ialah

nama-nama benda itu sudah menjadi pengetahuan mereka meskipun entitas

acuannya sudah tidak ditemukan lagi di sekliling mereka.

Nama dari sudut pandang linguistik dapat dideskripsikan secara

gramatikal yang dapat dikelompokkan ke dalam kategori nomina (noun). Dari segi

bentuknya, nomina dibedakan menjadi nomina generik (common nouns) dan

nomina spesifik (proper nouns). Nomina generik mengacu pada semua nomina

yang terkait dengan nama-nama benda pada umumnya, baik nomina yang dapat

dihitung dan bersifat konkrit (countable nouns), seperti pohon, bunga, daun,

binatang, dan sebagainya, maupun yang tak dapat dihitung dan bersifat abstrak

Page 49: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

49

(uncountable nouns), seperti air, awan, mendung, petir dan sebagainya.

Sementara itu, nomina spesifik digunakan untuk mengacu pada nama-nama, di

antaranya: (1) untuk nama-nama manusia, seperti Widia, Sentanu, Hapsari, dan

sebagainya; (2) nama-nama pulau, seperti Bali, Lombok, Halmahera, dan

sebagainya; dan nama-nama negara, seperti Indonesia, Singapura, Spanyol, dan

sebagainya.

Dari sudut pandang filsafat, menurut Mill (dalam Martinich, 1996: 245-

247), nama dapat dikaji berdasarkan fungsi dan maknanya. Terkait dengan hal ini

Mill mengatakan bahwa ada dua macam nama, yakni nama yang berkonotasi

(connotative names) dan nama yang tidak berkonotasi (non-connotative names).

Nama berkonotasi terkait dengan kata-kata seperti manusia, kucing, jambu, padi,

tawon, dan sebagainya. Sementara itu, nama yang tidak berkonotasi adalah semua

nomina yang tergolong nama diri (proper names), seperti nama orang: George,

Mona, Susan, Tyson, dan sebagainya; nama kota: Denpasar, Jakarta, Surabaya,

dan sebagainya; dan nama pulau: Jawa, Madura, Bali, Lombok, dan sebagainya.

Saeed (2000:27) mengatakan bahwa nama pada dasarnya merupakan

label-label untuk manusia, tempat, dan sebagainya dan kelihatannya memiliki

sedikit arti yang berbeda dan konteks yang perlu diperhitungkan di dalam

penggunaan nama tersebut. Nama bersifat takrif (definite) karena nama-nama

yang diberikan terhadap entitas-entitas acuannya mengandung asumsi si pemberi

nama sehingga pembaca/pendengar dapat mengidentifikasi/mengenali acuannya.

Sebagai contoh, pemberian nama gedhang agung untuk satu jenis pisang

mengindikasikan bahwa di dalam entitas tersebut ada sesuatu yang mengandung

Page 50: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

50

hal-hal yang ada kaitannya dengan agung „besar‘. Berdasarkan ciri-ciri/deskripsi

yang dimiliki entitas acuan, pendengar dapat mengidentifikasi entitas yang

dimaksud yaitu satu jenis pisang yang memiliki ukuran yang besarnya melebihi

ukuran pisang pada umumnya.

Ada dua teori yang dapat diterapkan dalam mengkaji nama menurut Saeed

(2000), yakni teori deskripsi (description theory) dan teori kausal (causal theory).

Menurut teori deskripsi, nama merupakan sebuah label untuk pengetahuan

(deskripsi khusus) tentang entitas acuan karena pemahaman dan

pengidentifikasian entitas acuan, dua-duanya tergantung pada pengasosiasian

nama dengan deskripsi yang benar. Sementara itu, teori kausal (causal theory)

didasarkan pada ide bahwa nama-nama yang mengacu pada entitas-entitas

acuannya secara sosial bersifat warisan dan pinjaman, artinya nama tidak terkait

makna yang dikandung oleh entitas acuannya karena nama hanya merupakan

persetujuan (agreement) secara turun-temurun di dalam sebuah masyarakat.

Sementara itu, Evans (dalam Martinich, 1996:247 dan 271-283)

mengemukakan dua teori tentang nama. Teori pertama adalah Teori Deskriptif

Nama (The Descriptive Theory of Name). Teori ini dibedakan lagi menjadi dua,

yakni Teori Denotasi Penutur (The Description Theory of Speaker‟s Denotation)

dan Teori Denotasi Nama (The Description Theory of Name Denotation) yang

keduanya mengabaikan fungsi-fungsi sosial pemaknaan sebuah nama. Menurut

Teori Denotasi Penutur bahwa sebuah nama dianggap mendenotasikan sesuatu

hanya jika nama tersebut dapat memunculkan sebuah deskripsi tentang entitas

yang diacunya pada saat digunakan, sedangkan Teori Denotasi Nama menjelaskan

Page 51: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

51

bahwa sebuah nama dapat dianggap mendenotasikan suatu entitas hanya jika

nama tersebut dimaknai secara bersama oleh sekelompok orang sesuai dengan apa

yang diacu oleh nama tersebut. Teori kedua, yaitu Teori Kausal Nama (The

Causal Theory of Name) yang mengemukakan bahwa sebuah nama dianggap

mendenotasikan suatu entitas hanya jika terdapat hubungan sebab-akibat yang

dapat ditelusuri dari pemakaian nama tersebut hingga entitas yang dinamainya.

Jika pendapat kedua ahli di atas dicermati, terlihat ada perbedaan di antara

keduanya. Dari pendapat Saeed (2000) dapat disimpulkan, di satu pihak, bahwa

nama bukanlah sebuah kata tanpa makna yang muncul begitu saja, tetapi sebuah

kata yang mengandung makna, yaitu berupa deskripsi khusus tentang acuannya.

Sementara itu, di pihak lain, dalam teorinya yang kedua (causal theory), Saeed

(2000) mengemukakan bahwa nama tidak memiliki kaitan makna dengan entitas

acuannya, melainkan hanyalah sebuah persetujuan antara anggota masyarakat

tempat nama-nama itu muncul. Teori Saeed (2000) yang kedua ini berarti hampir

sama dengan teori yang dikemukakan oleh Evans (seperti yang dikutip oleh

Martinich, 1996) yang juga menganggap bahwa nama merupakan sebuah

kesepakatan dalam masyarakat.

Terkait dengan penelitian ini, teori yang diterapkan untuk mengkaji

keberagaman penamaan flora dan fauna dalam BU adalah teori yang dikemukan

oleh Saeed (2000) dengan alasan bahwa penamaan terhadap beberapa entitas ada

yang bisa ditelusuri maknanya, namun ada yang tidak bisa ditelusuri. Untuk jenis

yang kedua ini, nama-nama beberapa entitas dianggap merupakan kesepakatan

Page 52: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

52

yang muncul antara anggota masyarakat untuk memberi nama tertentu terhadap

entitas tertentu pula.

1) Klasifikasi makna nama

Seperti telah disebutkan pada bagian terdahulu bahwa nama merupakan

leksikon yang secara gramatikal berkategori nomina yang bentuknya dibedakan

menjadi nomina yang dapat dihitung (countable nouns) dan nomina yang tak

dapat dihitung (uncountable nouns). Pada bagian ini nama yang dianalisis adalah

nama yang tergolong nomina yang dapat dihitung, yakni nama-nama flora dan

fauna yang ditemukan di lingkungan tempat tinggal GTBU.

Terkait dengan makna yang terkandung di balik nama-nama flora dan

fauna pada tulisan ini, ada dua pendapat ahli yang dikutip. Pendapat pertama

dikemukakan oleh Jacobs (dalam Laird dan Gorrel, 1971:92-93) yang

mengklasifikasikan makna yang ada di balik nama-nama binatang. Menurut

Jacobs, sejumlah binatang dinamai berdasarkan hal-hal berikut.

(1) Asal (place of origin), yaitu pemberian nama sebuah entitas yang dikaitkan

dengan asal dari entitas tersebut, seperti Pekingese, jenis anjing yang

berasal dari Kota Peking (Cina), Scotty berasal dari Skotlandia, dan

Spaniel berasal dari Spanyol (Spanish).

(2) Ukuran (size), yaitu pemberian nama sebuah entitas yang dikaitkan dengan

ukuran dari entitas tersebut, seperti horsefly (lalat kuda, ukurannya

sangat besar) dan bumblebee (tawon besar).

(3) Jenis makanan (means of sustenance), yaitu pemberian nama sebuah

entitas yang dikaitkan dengan jenis makanan yang dimakan oleh entitas

Page 53: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

53

tersebut, seperti linnet yaitu sejenis burung pemakan biji flax (dalam

bahasa Latin linum)

(4) Jenis suara (characteristic of sounds emitted), yaitu pemberian nama

sebuah entitas yang dikaitkan dengan suara yang dikeluarkan, seperti

binatang kucing di beberapa daerah disebut meong, binatang anjing

disebut gukguk, dan binatang sapi disebut embek.

(5) Bentuk (shape), yaitu pemberian nama sebuah entitas yang dikaitkan

dengan bentuk dari entitas tersebut, seperti ringworm ‗cacing gelang‘ yaitu

sejenis cacing yang bentuknya seperti gelang, fiddler crab (kepiting bola),

yaitu sejenis kepiting berjepit besar dan ketika jepitnya diangkat

menyerupai seorang pemain yang memegang bola.

(6) Cara bergerak (method of locomotion), yaitu pemberian nama sebuah

entitas yang dikaitkan dengan cara bergerak dari entitas tersebut, seperti

grasshopper yaitu sejenis belalang yang bergerak dengan cara melompat-

lompat, dove ‗burung‘ yang bergeraknya seperti orang diving ‗menyelam‘,

dan sebagainya.

(7) Warna (colour), yaitu pemberian nama sebuah entitas yang dikaitkan

dengan warna dari entitas tersebut, seperti redbreast yaitu sejenis burung

yang dadanya berwarna merah, jalak putih yaitu salah satu jenis burung

jalak yang seluruh bulunya berwarna putih, dan sebagainya.

(8) Ekspresi wajah (facial expression), yaitu pemberian nama sebuah entitas

yang dikaitkan dengan ekspresi wajah dari entitas tersebut, seperti dodo

(bahasa Portugis doudo ‗bodoh‘) sejenis burung yang tidak bisa terbang.

Page 54: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

54

(9) Cara menggaruk (mode of scratching), yaitu pemberian nama sebuah

entitas yang dikaitkan dengan cara menggaruk pada saat entitas merasa

gatal pada bagian-bagian badan tertentu dari entitas tersebut, seperti

raccoon (bahasa Algon, Arathcone ‗menggaruk dengan tangan‘, yaitu

binatang yang menyerupai kucing.

(10) Cara membuang kotoran (mode of excretion), yaitu pemberian nama

sebuah entitas yang dikaitkan dengan cara suatu entitas membuang

kotoran, seperti butterfly ‗kupu-kupu‘ yaitu serangga yang kotorannya

berbentuk seperti mentega yang keluar dari kemasannya yang di-pencet.

Sementara itu, Verheijen (1984) yang mengkaji nama beberapa tumbuhan

di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, mengelompokan penamaan

tumbuhan berdasarkan hal-hal berikut.

(1) Penamaan yang ada kaitannya dengan sejarah (historical name.)

(2) Nama pinjaman (borrowed names) dari bahasa lain.

(3) Nama aetiologis (aetiological names).

(4) Nama-nama deskriptif (descriptive names): gedhang agung (pisang

berukuran besar), ketan cemeng (ketan yang berwarna hitam), dan

sebagainya.

Terkait dengan cara-cara penamaan yang dipaparkan pada bagian terdahulu,

pada penelitian ini diterapkan model penamaan kombinasi antara keduanya.

Namun untuk mendapatkan kajian yang komprehensif perlu diadakan modifikasi

yang disesuaikan dengan kebutuhan.

2) Motivasi dalam penamaan

Page 55: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

55

Fenomena tentang makna yang terkandung di balik sebuah kata/leksikon

sudah menjadi perdebatan sejak zaman Yunani Kuno. Perdebatan itu akhirnya

bermuara pada dua aliran, yakni aliran konvensionalis dan aliran naturalis.

Aliran konvensionalis berpendapat bahwa makna kata/leksikon adalah bersifat

tradisi dan konvensi (perjanjian), sedangkan aliran naturalis percaya bahwa kata

mempunyai makna secara alami dalam arti bahwa ada suatu hubungan atau

korespondensi intrinsik antara bunyi dan makna (Ullmann, 1985: 80). Lebih

lanjut Ullmann mengemukakan bahwa tidak dapat dipungkiri bahwa ada leksikon

yang hubungan maknanya jelas tetapi ada pula yang kabur atau bahkan arbitrer

(sewenang-wenang). Untuk leksikon-leksikon yang hubungan maknanya jelas,

Ullmann (1985:81) mengatakan bahwa ada tiga motivasi yang melandasi

hubungan antara bentuk dan makna leksikon-leksikon tersebut. Motivasi-motivasi

yang dimaksud meliputi motivasi fonologis, motivasi morfologis, dan motivasi

semantis. Berikut adalah uraian dari masing-masing motivasi yang dimaksud.

(1) Motivasi fonetis/bunyi (onomatope), yaitu makna yang dikandung oleh

sebuah leksikon berhubungan dengan bunyi fonetis yang dimiliki oleh

leksikon tersebut. Ullmann (1985) membedakan motivasi fonetis ini

menjadi dua, yakni onomatope pertama ialah tiruan bunyi atas bunyi,

yaitu bunyi yang betul-betul merupakan gema atas makna yang mana

referennya sendiri adalah suatu pengalaman akustik yang sedikit banyak

sangat mirip dengan struktur fonetik kata seperti contoh dalam BI di

antaranya adalah dengung, ketik, bum, pang, desis, decak. Onomatope

kedua, yakni bunyi-bunyi yang membangkitkan suatu gerakan

Page 56: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

56

(movement), seperti contoh dalam BI, di antaranya adalah leksikon

gemetar, geletar, geletuk, geretak atau membangkitkan kualitas fisik atau

moral (biasanya yang bersifat tidak mengenakkan) seperti yang ditemukan

pada leksikon-leksikon gloomy (suram), mawkish (muak), sloopy (becek).

Di samping itu, Ullmann (1985) mengatakan bahwa leksikon-leksikon

onomatope memiliki unsur-unsur tertentu yang ada pada semua kata.

Bloomfield, seperti dikutip oleh Ullmann (1985) mengistilahkannya

bahwa ada ―sistem morfem pembentuk akar pada bagian awal atau akhir,

ada sistem signifikasi (makna) yang samar-samar‖, dengan sistem itu,

―konotasi yang intens dan simbolik‖ yang ada pada kata-kata itu

dihubungkan. Bloomfield (1933) memberi contoh dalam bahasa Inggris

bahwa leksikon-leksikon yang diawali dengan bunyi awal /sn-/ dapat

mengekspresikan tiga jenis pengalaman, yakni berisik-nafas (sniff

‗mengendus‘, snuff ‗menghirup‘, snore ‗mendengkur‘, snort ‗mendengus‘;

pemisahan atau gerak cepat (snap ‗mencakup untuk cangkang kerang‘,

snatch ‗merenggut‘, snip ‗memotong dengan cepat‘ ; dan melata (snake

‗ular‘, snail ‗siput‘, sneak ‗bergerak dengan cara mengendap-endap). Hal

ini dapat dibandingkan dengan fenomena yang terjadi dalam BI dengan

bersuku kata akhir pada kata-kata yang mengandung makna suasana hati

yang tidak tenang, seperti susah, gelisah, resah, keluh kesah, desah atau

kata-kata yang mengandung makna tidak lebar, pit, seperti apit, sepit,

sempit, jepit, kempit (Sumarsono,1985:111).

(2) Motivasi morfologis

Page 57: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

57

Banyak leksikon yang cara terbentuknya dimotivasi oleh struktur

morfologis. Dalam bahasa Inggris khususnya, leksikon-leksikon seperti

driver, teacher, dan writer termasuk leksikon-leksikon yang dengan

mudah dapat dianalisis menjadi dua morfem komponen pembentuknya

yang masing-masing memiliki makna sendiri-sendiri, yakni dari verba

drive, teach, write, dan sufiks –er yang membentuk nomina yang

merupakan pelaku dari verba drive, teach, dan write. Penutur non-Inggris

yang mendengar leksikon-leksikon tersebut untuk

pertama kalinya akan mengetahui maknanya jika mereka mengetahui

verba dan sufiks komponen pembentuknya. Contoh dalam BI dapat dilihat

pada leksikon-leksikon, seperti pembaca, penabur, dan penipu. Begitu

melihat nomina-nomina tersebut, penutur BI akan segera mengetahui

bahwa leksikon-leksikon tersebut dibentuk oleh verba baca, tabur, dan

tipu serta prifiks peNg- Fenomena yang sama juga terjadi pada leksikon

majemuk. Beberapa leksikon BI, seperti tata kalimat, tata hukum, tata

boga, dan tata busana yang mengandung unsur tata yang bermakna

aturan yang bergabung dengan unsur-unsur kalimat, hukum, boga, busana,

sehingga pendengar atau pembaca dengan mudah akan mengetahui bahwa

leksikon-leksikon tersebut mengacu pada aturan tentang unsur-unsur yang

menerangkannya (modifier).

(3) Motivasi semantis

Jika seseorang mendengar ungkapan puncak acara, puncak prestasi, atau

puncak kenikmatan maka ekspresi ini dimotivasi oleh kesamaan antara

Page 58: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

58

puncak gunung dan leksikon puncak pada leksikon majemuk di atas.

Dengan cara yang sama dapat dikatakan bahwa si gajah untuk yang

gemuk, si dalang untuk yang pintar dan pandai memainkan kata-kata, atau

si keledai untuk yang bodoh maka dalam bentuk-bentuk tersebut ada

motivasi semantik, yang apabila dihubungkan dengan kenyataan bahwa

bentuk-bentuk nomina (gajah, dalang, keledai) mempunyai hubungan yang

erat dengan sifat-sifat orang yang diacu tersebut (besar, banyak bicara,

bodoh) karena gajah bertubuh besar, dalang biasanya banyak bicara, dan

keledai itu identik dengan kebodohan. Walaupun ketiga bentuk tersebut

bersifat figuratif (kias), ada perbedaan antara ketiganya. Jenis pertama

bersifat metonimis karena didasarkan pada suatu hubungan eksternal,

sedangkan jenis kedua dan ketiga bersifat metaforis karena didasarkan atas

persamaan karakter antara unsur-unsurnya

Penamaan yang dimotivasi karena adanya keterkaitan makna tersebut

kadang-kadang tumpang tindih dengan penamaan yang dimotivasi secara

morfologis. Pada beberapa kasus sebuah kata di samping dimotivasi secara

morfologis, juga dimotivasi secara semantik (makna). Pada leksikon kumis

kucing, misalnya, terdapat motivasi campuran. Leksikon ini merupakan bentuk

majemuk yang juga ada unsur metaforanya, karena bentuk bunga tumbuhan ini

memang menyerupai kumis kucing. Selanjutnya, redbreast ‗si dada merah‘ (nama

salah satu jenis burung dalam bahasa Inggris) yang namanya dimotivasi oleh

struktur morfologis dan juga oleh metonimi yang mendasarinya, yakni burung itu

dinamai demikian karena dadanya merah.

Page 59: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

59

Sementara itu, teori yang diterapkan untuk membedah permasalahan

penelitian tentang bentuk-bentuk lingual keberagaman leksikon lingkungan alam

BU, adalah teori pembentukan katayang dikemukakan oleh Kridalaksana (1996).

Hal ini dilaarbelakangi oleh adanya kemiripan cara pembentukan kata antara

pembentukan kata dalam BI dan dalam BU, yakni di antaranya melalaui proses

afiksasi, reduplikasi, dan komposisi (Kridalaksana, 1996: 32—99).

Untuk melihat hubungan antara permasalahan penelitian dan teori yang

diterapkan untuk mengkajinya dapat dilihat pada bagan berikut

No. Masalah

Penelitian

Teori Pendukung Keterangan

1. Bagaimanakah

bentuk-bentuk

lingual

keberagaman

leksikon

lingkungan alam

BU?

1. Teori

Morfo-logi

2. Teori Eko-

linguistik

Teori proses pembentukan kata adalah teori

yang menjabarkan bagaimana bentuk sebuah

kata (bentuk dasar, bentuk turunan, bentuk

ulang, atau bentuk majemuk) dan bagaimana

sebuah kata dibentuk apakah melalui proses

afiksasi, proses pengulangan, atau proses

pemajemukan. Sementara itu, penerapan teori

ekolinguistik untuk mengkaji keberagaman

bentuk-bentuk lingual leksikon lingkungan alam

BU dikaitkan dengan keberagaman entitas

bambu dan kelapa beserta bagian-bagian yang

terkait dengan kedua entitas tersebut yang

diwadahi oleh leksikon-leksikon, baik yang

berwujud bentuk dasar, bentuk turunan, bentuk

ulang, maupun bentuk majemuk.

2. Bagaimanakah

gambaran

keberagaman

(diversity)

leksikon

lingkungan alam

BU yang

mewadahi

pengetahuan

GTBU?

1. Teori Eko-

linguistik

2. Teori

Semantik

Penerapan teori ekolinguistik untuk membedah

keberagaman leksikon lingkungan alam yang

mewadahi pengetahuan GTBU karena konsep

dasar teori ini, yakni tentang interelasi,

interaksi, interdependensi, di samping tentang

keberagaman. Pengetahuan tentang sumber daya

lingkungan yang dimiliki GTBU, seperti

memahami karakter masing-masing entitas,

menciptakan entitas baru dari entitas lama, dan

memanfaatkan entitas-entitas di lingkungan

tersebut untuk kehidupan mereka. Semua hasil

kreasi dan semua aktivitas yang terjadi diwadahi

oleh leksikon sehingga tercipta yang beragam

eksikon nomina dan leksikon verba BU.

Sementara itu, penerapan teori semantik,

khususnya teori tentang penamaan entitas

acuan, karena nama pada dasarnya merupakan

label-label untuk sesuatu, termasuk flora dan

Page 60: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

60

fauna. Nama bersifat takrif (definite) karena

nama-nama yang diberikan terhadap entitas-

entitas acuannya mengandung makna tertentu

sehingga pembaca/pendengar dapat

mengidentifikasi atau mengenali acuannya.

3. Bagaimanakah

dinamika

pemahaman dan

penggunaan

leksikon

lingkungan alam

antargenerasi

GTBU?

1. Teori Eko-

linguistik

2. Teori

Peruba-han

Bahasa

Adanya perbedaan interaksi, interelasi, dan

intedependensi GTBU pada sumber daya

lingkungan yang di dalamnya terdapat beragama

entitas acuan leksikon menimbulkan perbedaan

pengetahuan mereka, baik terhadap entitas

acuan maupun leksikonnya sehingga terjadi

dinamika tingkat pemahaman dan penggunaan

GTBU terhadap leksikon lingkungan alam BU.

Hal ini berakibat pada adanya leksikon yang

bertahan, bergeser, hampir punah/punah, atau

kemunculan leksikon-leksikon baru. Fenomena

di atas menimbulkan terjadinya perubahan pada

BU pada tataran leksikon yang merupakan

bidang kajian teori perubahan bahasa.

4. Faktor-faktor

apakah yang

menyebabkan

dinamika

pemahaman dan

penggunaan

leksikon

lingkungan alam

antargenerasi

GTBU?

1. Teori Eko-

linguistik

Teori ekolinguistik mengkaji hubungan antara

bahasa dan lingkungannya. Berdasarkan analisis

dan temuan di lapangan bahwa faktor-faktor

penyebab terjadinya dinamika tingkat

pemahaman dan tingkat penggunaan adalah

karena adanya perubahan lingkungan fisik dan

lingkungan sosial tempat BU dipakai.

Bagan 2.2

Hubungan Antara Masalah Penelitian dan

Teori yang Diterapkan

Page 61: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

61

2.4 Model Penelitian

Penelitian ini merupkan sebuah kajian ekolinguistik yang secara umum

mengkaji khazanah leksikon lingkungan alam dalam dinamika GTBU dengan

empat masalah penelitian, yakni (1) Bagaimanakah bentuk-bentuk lingual

keberagaman leksikon lingkungan alam BU; (2) Bagaimanakah gambaran

keberagaman (diversity) leksikon lingkungan alam BU yang mewadahi

pengetahuan GTBU?; Bagaimanakah dinamika pemahaman dan penggunaan

leksikon lingkungan alam antargenerasi GTBU?; dan Faktor-faktor apakah yang

menyebabkan dinamika pemahaman dan penggunaan leksikon lingkungan alam

antargenerasi GTBU?. Sementara itu, tujuan penelitian ini adalah untuk (1)

mendeskripsikan bentuk-bentuk lingual keberagaman leksikon lingkungan alam

BU; (2) mendeskripsikan gambaran keberagaman (diversity) leksikon lingkungan

alam BU yang mewadahi pengetahuan GTBU; (3) mendeskripsikan dinamika

pemahaman dan penggunaan leksikon-leksikon lingkungan alam antargenerasi

GTBU; dan (4) mendeskripsikan faktor-faktor yang menyebabkan dinamika

pemahaman dan penggunaan leksikon lingkungan alam GTBU.

Selanjutnya, untuk merealisasikan tujuan penelitian ini diterapkan satu

teori payung, yakni teori ekolinguistik, sedangkan teori perubahan bahasa, teori

morfogi, dan teori semantik merupakan teori pendukung. Data dan fakta yang

diperoleh dengan menerapkan keempat teori secara integratif memberikan

gambaran bagaimana profil khazanah leksikon lingkungan alam BU dalam

dinamika komunitas tuturnya yang merupakan temuan dalam penelitian ini.

Untuk lebih jelasnya, perhatikan bagan berikut.

Page 62: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

62

Bagan 2.3

Model Penelitian Leksikon Lingkungan Alam BU

Bahasa Using

Leksikon Lingkungan Alam

Bahasa Using

Bentuk-bentuk

lingual leksikon

lingkungan alam BU

Keberagaman

leksikon lingkungan

alam BU

Dinamika

pemahaman dan

penggunaan leksikon

lingkungan alam

antargenerasi GTBU

Faktor-faktor penyebab dinamika pemahaman dan

penggunaan leksikon

lingkungan alam antargenerasi GTBU

TEMUAN

Teori Semantik Teori Morfologi Teori Perubahan

Bahasa

Teori Ekolinguistik

Page 63: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

63

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Landasan Filosofis

Penelitianini didasarkan pada perspektif fenomenologis. Fenomenologi

merupakan landasan filsafat yang penerapannya melalui berbagai tahapan berpikir

kritis dan ilmiah yang dimulai dari berpikir secara induktif, yaitu peneliti

menangkap sejumlah fenomena sosial di lapangan, dilanjutkan dengan

menganalisis fenomena-fenomena tersebut, kemudian mencoba melakukan

teorisasi berdasarkan fenomena-fenomena yang diamati (lih.Bungin, 2008: 2—3).

Filsafat fenomenologis memandang bahwa kesadaran manusia tidak

terisolasi satu sama lain, melainkan saling terkait satu sama lain secara dialektis.

Bungin (2008:8) menegaskan bahwa menurut persepektif fenomenologis sesuatu

yang nampak itu pasti memiliki makna bagi subjek yang menampakkan fenomena

itu karena setiap fenomena dalam pandangan fenomenologis dianggap merupakan

kesadaran manusia.

Data penelitian ini semuanya merupakan data verbal dalam bentuk

leksikon lingkungan alam BU dan juga dalam bentuk persentase, serta dianalisis

dengan menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif dan analisis quantitatif.

Penerapan teknik qualitatif berlandaskan pada konsepsi epistimologis

fenomenologis yang dikemukakan oleh Husserl (dalam Muhadjir, 1996:12) yang

menegasan bahwa objek ilmu objek ilmu tidak hanya terbatas pada data-data

63

Page 64: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

64

empirik, melainkan juga mencakup fenomena yang berupa persepsi, kemauan, dan

keyakinan subjek tentang hal-hal di luar subjek.

Sejalan dengan paparan di atas dan juga berdasarkan rumusan

permasalahan yang telah dikemukakan di depan, maka pendekatan yang paling

tepat diterapkan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dan kuantitati

dengan format deskriptif dengan tiga pertimbangan, yakni (1) penelitian ini

mengkaji sejumlah leksikon lingkungan alam yang dipahami dan digunakan olen

GTBU yang merupakan perilaku sosial; (2) pemahaman dan penggunaan

leksikon-leksikon tersebut di atas yang merupakan perilaku sosial itu terkandung

tindakan dan aktivitas penutur sebagai pengguna bahasa yang merupakan subjek

utama, dan (3) leksikon-leksikon yang dikaji pemahaman dan penggunaannya

oleh GTBU mengandung beberapa fenomena kebahasaan, seperti bentuk, fungsi,

dan makna karena seperti disebutkan sebelumnya bahwa sesuatu yang tampak itu

pastu memiliki makna, khususnya bagi yang menampakan fenomena tersebut.

3.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Banyuwangi. Pemilihan

Kabupaten Banyuwangi sebagai lokasi penelitian, selain terkait dengan masalah

penelitian, juga didasarkan pada berapa pertimbangan, yaitu terkait dengan

kesejarahan BU, karakter lingkungan alam, dan karakter GTBU. Seperti

diketahui dari berbagai hasil penelitian terdahulu dan berdasarkan pengamatan

terhadap bentuk-bentuk leksikonnya bahwa BU banyak menyerap leksikon-

leksikon BJ Kuna, BJ, dan BB. Hal ini tidak terlepas dari latar belakang historis

Page 65: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

65

Kabupaten Banyuwangi yang dahulunya bernama Blambangan. Seperti telah

disebutkan pada bagian sebelumnya bahwa wilayah Blambangan pernah menjadi

jajahan kerajaan-kerajaan Bali dan Mataram Islam sehingga diperkirakan pada

zaman kekuasaan kerajaan-kerajaan inilah Blambangan bersentuhan dengan

bahasa Bali dan bahasa Jawa Kuna. Sementara itu, dari segi karakter, GTBU

adalah masyarakat egaliter dan terbuka sehingga mereka sangat mudah menerima

pengaruh luar dan kemudian mempelajari dan mengolaborasikannya dengan

budaya mereka sehingga terciptalah budaya Using yang baru (hasil wawancara

dengan Singodimayan, budayawan Using, pada bulan Oktober 2009). Di samping

itu, BU juga merupakan salah satu bahasa kecil nusantara dengan jumlah penutur

di bawah satu juta orang (Soepomo, 1976:1--2), sehingga dipandang perlu adanya

usaha-usaha revitalisasi yang diperoleh dari temuan-temuan penelitian yang

dilakukan terhadapnya. Dengan demikian BU dapat dijaga eksistensinya sebagai

salah satu kebudayaan nasional yang harus dilindungi oleh negara sesuai dengan

bunyi penjelasan Pasal 36, BAB XV, UUD 1945.

Dari 24 kecamatan di Kabupaten Banyuwangi, ada 13 kecamatan tempat

ditemukan kantong-kantong GTBU. Akan tetapi, dalam kajian ini hanya dipilih

tiga kecamatan sebagai tempat penelitian karena di kecamatan-kecamatan ini

penduduk beretnik Using jauh lebih banyak dibandingkan dengan di 11

kecamatan lainnya. Di antara 13 kecamatan yang terdapat kantong-kantong entnik

Using, tiga kecamatan diantaranya dengan desa yang penduduknya paling

homogen beretnik Using. Adapun nama-nama desa yang dijadikan lokasi

pengambilan data penelitian adalah sebagai berikut.

Page 66: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

66

1) Desa Kalipuro adalah salah satu desa di Kecamatan Kalipuro dengan

ecoregion yang memiliki banyak kebun kelapa dan sedikit lahan

persawahan, serta pemukiman etnik Using berbaur dengan etnik Madura.

2) Desa Glagah, Kecamatan Glagah, adalah desa yang merupakan lokasi ibu

kota kecamatan dengan ecoregion yang terdiri dari lahan persawahan,

kebun kelapa, dan ladang dengan penduduk mayoritas bermatapencaharian

petani.

3) Desa Kemiren, Kecamatan Glgah, adalah sebuah desa yang hampir seluruh

penduduknya beretnik Using. Secara geografis, desa ini merupakan

perbatasan antara dataran tinggi dan dataran rendah sehingga cuaca sejuk,

di samping sangat kaya dengan mata air. Desa ini juga merupakan pusat

budaya, seperti kesenian dan adat-istiadat Using sehingga dipakai sebagai

icon budaya Using. Wilayah desa yang menuju objek wisata Kawah Ijen

banyak ditumbuhi berbagai jenis bambu dan kelapa.

4) Desa Olehsari, Kecamatan Glagah, adalah desa dengan ecoregion

persawahan dan kebun kelapa yang luas, juga merupakan pusat Kesenian

Tradisional dan Sakral Using, yakni Seblang yang dipentaskan hari ke dua

Idul Fitri. Desa ini dihuni oleh 80% etnik Using yang sebagian besar

bermatapencaharian petani.

5) Desa Bakungan dan Desa Banjarsari, Kecamatan Glagah, adalah dua desa

yang berbatasan dengan Kecamatan Banyuwangi (Banyuwangi Kota)

dengan penduduk 50% bermatapencaharian petani dan 50% non-petani,

seperti pedagang, buruh bangunan, pekerja pabrik, dan pegawai

Page 67: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

67

negeri/swasta. Lingkungan ragawi desa itu berbeda dengan dua desa yang

disebutkan belakangan dengan hampir tidak ada lahan sawah namun masih

terdapat kebun kelapa.

6) Desa Taman Suruh, Kecamatan Glagah, adalah desa dengan luas wilayah

pertanian, kebun, dan ladang 80% dari luas desa ini yang penduduknya

75% bermatapencaharian petani. Lingkungan ragawi desa ini masih asri

karena letaknya 5 km dari Pegunungan Ijen dengan kemiringan 300 dan

sumber air yang melimpah. Wilayah desa ini juga banyak ditumbuhi

berbagai jenis bambu, pisang, dan mangga.

7) Desa Kampung Anyar, Kecamatan Glagah, adalah desa yang terletak di

kaki Gunung Ijen dengan kemiringan 450

dengan ecoregion sebagian besar

berupa hutan, semak-semak, dan kebun, seperti kebun papaya, jati

belanda, jati mas, sengon, dan sebagainya. Di desa ini juga banyak

ditemukan berbagai jenis bambu yang tumbuh di daerah perbukitan.

8) Desa Mangir, Kecamatan Rogojampi, adalah desa yang terletak di pinggir

jalan raya Banyuwangi-Jember dengan penduduk mayoritas bermata-

pencaharian petani, buruh tani, buruh bangunan, dan pedagang. Ecoregion

desa ini seluruhnya berupa dataran rendah yang sebagian besar berupa

lahan sawah.

9) Desa Aliyan, Kecamatan Rogojampi, adalah desa yang lingkungan

geografis dan topografisnya hampir sama dengan Desa Mangir denga jarak

kurang lebih 5 km dari jalan raya Banyuwangi-Jember. Penduduknya

mayoritas bertani. Kecintaan dan penghormatan mereka terhadap

Page 68: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

68

lingkungan dan anugrah Tuhan direpresentasikan lewat kesenian kebo-

keboan yang digelar berdasarkan kepercayaan mereka bahwa apabila

sawah tempat upacara kebo-keboan diadakan akan menghasilkan hasil

panen yang berlimpah. Sawah, petani, kerbau, dan benih padi harus

“mendapat” tempat dan penghormatan sesuai dengan peran dan fungsinya

agar terjadi harmonisasi antara semuanya yang berdampak pada

peningkatan kesejahteraan mereka (Sutarto, 2010:111).

3.3 Responden (Subjek) Penelitian

Dalam penelitian kualitatif istilah populasi dan sampel tidak digunakan.

Sugiyono (2007:49) dengan mengutip pendapat Spradley (1980) mengatakan

populasi dalam penelitian kualitatif dinamakan situasi sosial (social situation)

yang terdiri dari tempat (place), pelaku (actors), dan aktivitas (activities) yang

ketiganya berinteraksi secara sinergis. Pada situasi sosial ini peneliti dapat

mengamati secara mendalam aktivitas (activities) orang-orang (actors) yang ada

pada tempat (place) tertentu. Di samping itu, tidak digunakannya populasi dalam

penelitian kualitatif karena penelitian jenis ini berangkat dari kasus tertentu yang

ditemukan pada situasi sosial tertentu (dalam hal ini, khazanah leksikon

lingkungan alam dalam dinamika GTBU di Kabupaten Banyuwangi).

Untuk mendapatkan data penelitian yang reliable maka dilakukan

pemilihan responden untuk menjawab kuesioner dan juga informan sebagai

narasumber dalam wawancara. Respoden penelitian yang dipilih berdasarkan usia

atau generasi responden dan juga jumlahnya. erdasarkann usianya, responden

Page 69: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

69

penelitian dikelompokkan menjadi tiga, yakni usia remaja (15-30 tahun), dewasa

(31-50 tahun), dan tua (51 tahun ke atas).

Agar keadaan responden representatif untuk semua lokasi penelitian,

persentasenya didasarkan pada masing-masing desa. Semakin besar jumlah

populasi beretnik Using pada satu desa, semakin banyak responden yang diambil.

Rincian jumlah responden untuk tiap kecamatan dan di masing-masing desa

tempat pengambilan sampel penelitian adalah sebagai berikut.

Tabel 3.1

Rincian Responden Penelitian

No Nama Kecamatan Nama Desa Jumlah Resonden/Desa

1 Kalipuro Kalipuro 2

2 Glagah Glagah 6

Kemiren 10

Olehsari 11

Bakungan 3

Banjarsari 3

Taman Suruh 6

Kampung Anyar 4

3 Rogojampi Mangir 8

Aliyan 8

Jumlah 63

Informan kunci penelitian berjumlah 5 orang diambil dari responden

penelitian yang berjumlah 63 orang. Pemilihan informan penelitian merujuk pada

kriteria yang dikemukakan oleh Mahsun (2005:141-142) dan Keraf (1984: 157)

yang disesuaikan dengan tujuan penelitian. Adapun syarat-syarat informan yang

dibutuhkan adalah sebagai berikut.

1) lahir, dibesarkan, dan berdomisili di desa lokasi penelitian;

2) sehat jasmani dan rohani;

3) jarang atau tidak pernah meninggalkan desanya dalam waktu yang lama;

Page 70: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

70

4) memiliki kebanggaan terhadap bahasanya;

5) berpendidikan sekurang-kurangnya SD;

6) berumur sekurang-kurangnya 45 tahun;

7) menguasai dan mengenal bahasa dan budaya Using dengan baik;

8) dapat berbahasa Indonesia; dan

9) bersedia menjadi informan dan sanggup memberikan data yang valid.

Berdasarkan persyaratan di atas maka ditemukan lima orang nara

sumber yang terdiri atas dua orang sesepuh desa yang sekaligus berprofesi tetua

adat dan ahli dalam tanaman obat, 1 orang kepala desa, 1 orang budayawan, dan 1

orang pemerhati lingkungan yang juga seorang fotografer.

3.4 Jenis dan Sumber Data Penelitian

Ada dua jenis data dalam penelitian ini, yakni data kuantitatif dan data

kualitatif. Data kuantitatif adalah data utama atau yang disebut juga dengan data

primer, sedangkan data kualitatif adalah data pendukung atau data sekunder. Data

primer diperoleh dari kompetensi leksikon responden yang terkait dengan

lingkungan alam BU yang berjumlah 728 buah yang terdiri dari leksikon

berkategori nomina sebanyak 633 buah dan leksikon berktegori verba sebanyak

95 buah. Data ini dikumpulkan melalui kuesioner.

Sebagai data sekunder, data kualitatif berfungsi untuk menjelaskan data

kuantitatif yang dikumpulkan melalui kuesioner. Di samping itu, data kualitatif

juga digunakan untuk menjelaskan dinamika tingkat pemahaman dan tingkat

penggunaan lelsikon lingkungan alam antargenerasi GTBU yang tercermin

Page 71: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

71

melalui leksikon lingkungan alam yang bertahan, leksikon yang mengalami

penurunan, leksikon yang hampir punah, serta lkesikon yang mengalami

pergeseran. Data ini diperoleh melalui pengamatan dan wawancara terhadap

informan kunci dan juga beberapa responden.

3.5 Instrumen Penelitian

Instrumen utama dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri (human

insitrument). Sebagai instrument utama, penelitilah yang menentukan fokus

penelitian, memilih informan yang tepat, melalukan pengumpulan data, menilai

kualitas data, menafsirkan data, dan membuat simpulan atas temuan penelitiannya

(Sugiyono, 2010:59). Di samping diri peneliti sendiri (human instrument),

penelitian ini juga menggunakan kuesioner untuk mendapatkan data kuantitatif.

Kuesioner ini berisi sebaran leksikon lingkungan alam BU yang terdiri dari

leksikon yang berkategori nomina dan berkategori verba. Jawaban responden

dalam kuesioner yang merupakan data kuantitatif penelitian ini merepresentasikan

tingkat interelasi dan interaksi responden dengan lingkungan alam tempat tinggal

mereka yang berorientasi pertanian. Adapun sebaran leksikon lingkungan alam

BU dalam kuesioner dikelompokkan sebagai berikut.

Leksikon lingkungan alam BU secara garis besar dikelompokan berdasarkan

kategori kata, yakni leksikon lingkungan alam berkategori nomina dan leksikon

lingkungan alam berkategori verba. Selanjutnya leksikon yang berkategori nomina

dipilah menjadi leksikon flora dan leksikon fauna. Leksikon flora BU dipilah-

Page 72: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

72

pilah lagi berdasarkan kebermanfaatannya pada kehidupan manusia sehingga

terbentuk kelompok leksikon tentang hal-hal sebagi berikut.

(1) leksikon tanaman bahan pangan.

(2) leksikon tanaman buah-buahan.

(3) leksikon tanaman sayur-sayuran.

(4) leksikon tanaman bumbu dan tanaman obat.

(5) leksikon tanaman bunga.

(6) leksikon tanaman kelapa.

(7) leksikon tanaman bambu.

(8) leksikon tanaman lain.

Selanjutnya, leksikon fauna BU dikelompokan berdasarkan klasifikasi

dalam bidang ilmu Biologi sehingga terbentuk kelompok sebagai berikut.

(1) leksikon mamalia.

(2) leksikon unggas.

(3) leksikon burung.

(4) leksikon reptil.

(5) leksikon serangga.

(6) leksikon ikan air tawar.

Sementara itu, pengelompokan leksikon verba BU didasarkan pada subjek

aktivitas, tempat aktivitas dilakukan dan objek suatu aktivitas sehingga terbentuk

kelompok leksikon verba sebagai berikut.

(1) aktivitas di lahan pertanian dan kebun

(2) aktivitas sosial

Page 73: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

73

(3) aktivitas fauna

(4) aktivitas alam

Jikalau sebaran leksikon di atas diringkas, maka terlihat seperti pada tabel

berikut.

Tabel 3.2

Sebaran Leksikon Lingkungan Alam BU

Leksikon lingkungan alam

bahasa Using

Laksikon

berkategori

nomina

Flora

Tanaman bahan pangan

Tanaman buah-buahan

Tanaman sayur-sayuran

Tanaman bumbu dan tanaman

obat

Tanaman bunga

Tanaman kelapa

Tanaman bambu

Tanaman lain

Fauna

Mamalia

Unggas

Burung

Reptil

Serangga

Ikan air tawar

Leksikon berkategori

verba

Aktivitas manusia

Aktivitas sosial

Aktivitas fauna

Aktivitas alam

Pada kuesioner terdapat 728 leksikon lingkungan alam BU yang terdiri

dari 633 butir leksikon berkategori nomina dan 95 butir leksikon yang berkategori

verba. Responden harus menjawab/memilih jwaban yang terkait dengan

pengetahuan mereka tentang leksikon lingkungan alam BU dengan pilihan tahu/

tidak tahu dan penggunaan leksikon lingkungan alam BU tersebut dengan

memilih pernah/tidak pernah. Keseluruhan leksikon yang tercantum dalam

kuesioner merupakan hasil studi pustaka, wawancara dengan informan dan

pengamatan lapangan yang dilakukan oleh peneliti yang dibantu oleh informan.

Page 74: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

74

Instrumen lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah pedoman

wawancara sebagai alat untuk mengumpulkan data kualitatif. Wawancara

dilakukan terhadap lima orang informan kunci untuk mendapatkan informasi

keadaan lingkungan alam, kehidupan petani, dan entitas-entitas yang menjadi

acuan leksikon yang ada dalam kuesioner.

3.6 Metode Pengumpulan Data

Ada empat metode yang ditempuh untuk mengumpulkan data penelitian

agar data penelitian bersifat valid. Metode-metode yang dimaksud meliputi: (1)

metode dokumentasi, (2) metode wawancara, (3) metode pengamatan

berpartisipasi, dan (4) metode kuesioner (angket).

Metode dokumentasi diterapkan untuk mendapatkan data dari berbagai

sumber tertulis. Sumber tersebut berasal dari kamus, dokumen-dokumen adat,

buku bacaan, surat kabar, jurnal, catatan-catatan, dan berbagai sumber tertulis

lainnya. Melalui penerapan metode dokumentasi dengan teknik catat ini untuk

mengetahui karakteristik lokasi penelitian dan karakteristik GTBU. Pencatan

dilakukan untuk mengumpulkan data yang muncul di luar data yang dikumpulkan

melalaui kuesioner, namun masih ada kaitannya dengan topik atau permasalahan

penelitian. Hasil catatan ini dipakai sebagai pedoman dan keterangan tambahan

ketika analisis data berlangsung.

Metode lain yang digunakan dalam mengumpulkan data penelitian adalah

metode wawancara, khususnya wawancara tak terstruktur. Data yang diperoleh

melalui penerapan metode ini digunakan untuk mendukung data yang diperoleh

Page 75: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

75

melalui kuesioner, metode survei dan pengamatan berpartisipasi. Wawancara

dilakukan terhadap lima orang narasumber atau informan kunci yang sudah

ditentukan, di samping juga terhadap beberapa responden. Wawancara terhadap

wakil responden bertujuan untuk mengkonfirmasikan jawaban mereka dengan

jawaban yang diberikan pada kuesioner, di samping untuk memberikan pendapat

mereka tentang lingkungan alam tempat tinggal mereka.

Proses wawancara dilakukan secara bersemuka dengan teknik tanya-

jawab untuk mendapatkan data kualitatif tentang kebahasaan, khususnya terkait

dengan leksikon lingkungan alam BU setelah adanya perubahan lingkungan alam

(lingkungan ragawi) dan sosial tempat tinggal GTBU bermukim. Agar wawancara

terjadi secara natural dan data yang diperoleh sesuai dengan yang dibutuhkan,

peneliti telah menciptakan hubungan baik dengan para narasumber. Wawancara,

khususnya terhadap informan kunci, dilakukakan beberapa kali untuk mendapat

data yang betul-betul valid.

Sementara itu, metode observasi yang diterapkan dalam pengumpulan data

penelitian ini adalah metode observasi berpartisipasi (participant observation),

yang artinya bahwa peneliti melibatkan diri dalam kegiatan sehari-hari orang yang

diteliti sambil melakukan pengamatan., peneliti ikut melakukan kegiatan yang

dilakukan oleh responden. Penerapan metode observasi teraga (overt observation)

dan tak teraga (covert observation) dilakukan oleh peneliti dengan mengatakan

secara berterus terang kepada nara sumber bahwa peneliti sedang melakukan

penelitian. Akan tetapi dalam suatu kesempatan, peneliti tidak berterus terang atau

tersamar tentang jati diri dan tujuannya. Metode ini diterapkan untuk

Page 76: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

76

mendapatkan data faktual dan otentik tentang leksikon yang muncul dalam

percakapan golongan remaja, golongan dewasa, dan golongan tua yang berupa

topik yang terkait dengan eksistensi leksikon yang terdapat dalam kuesioner.

Selanjutnya, metode kuesioner adalah metode yang diterapkan untuk medapatkan

data utama (data primer), data kuantitatif, penelitian ini. Metode ini diterapkan

untuk mendapatkan data tentang kompetensi leksikon responden, dinamika

tingkat pemahaman dan penggunaan leksikon lingkungan alam mereka. Dalam

menerapkan metode ini, peneliti dibantu oleh tujuh orang pembantu peneliti

untuk memudahkan dan memepercepat proses penyebaran kuesioner

3.7 Metode Analisis Data

Setelah data penelitian terkumpul, langkah selanjutnya adalah melakukan

tabulasi data, yakni dengan cara memeriksa dan mengklasifikasikan data secara

rinci berdasarkan klasifikasi dan aspek yang diteliti. Data yang diperoleh melalaui

kuesioner yang telah ditabulasi kemudian dihitung frekuwensi dari masing-masing

kelompok responden, baik yang menunjukkan tingkat pemahaman maupun yang

menunjukkan tingkat penggunaan. Masing-masing frekuensi pemahaman dan

penggunaan setiap leksikon kemudian dibagi dengan jumlah responden setiap

kelompok responden maka ditemukan persentase tingkat pemahaman dan

penggunaan setiap butir leksikon. Perbedaan persentase pemahaman dan

penggunaan tiap butir leksikon pada setiap kelompok responden mencerminkan

dinamika tingkat pemahaman dan penggunaan leksikon lingkungan alam

Page 77: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I II III.pdfKontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali,

77

antargenerasi GTBU. Hasil analis ini kemudian dicocokkan dengan data hasil

pengamatan dan wawancara terhadap responden.

3.8 Penyajian Hasil Analisis Data

Kajian khazanah leksikon lingkungan alam dalam dinamika GTBU adalah

sebuah penelitian tentang bahasa. Sebagaiamana lazimnya penelitian bahasa yang

datanya berupa data kuantitatif dan data kualitatif, maka penerapan metode

formal dan metode informal sering dilakukan dalam menyajikan hasil analisis data

(bdk.Fatimah, 1993:68; Sudaryanto, 1993:145). Penerapan metode formal

digunakan untuk menyajikan analisis data dengan menggunakan rumus, bagan,

diagram, tabel, atau lambing-lambang tertentu sesuai dengan kebutuhan.

Sementara itu, penyajian hasil analisis data dengan menggunakan metode

informal dilakukan dengan menggunakan kata-kata atau kalimat secara verbal.

Penelitian ini adalah penelitian yang menerapkan pendekatan kuantitatif

dan kualitatif secara terpadu, sehingga deskripsi data hasil penelitian juga

ditampilkan secara terpadu. Setiap data yang disajikan saling mendukung, artinya

penyajian data kuantitatif didukung oleh penyajian data kualitatif, demikian juga

sebaliknya.

Penyajian data secara formal dalam penelitian ini berbentuk tabel yang

sebagian besar pada bagian analisis sehingga sangat mudah mencocokkan antar

penyajian data pada tabel dananalisis yang mendukung data dalam tabel-tabel

sebelum atau sesudahnya.