BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang -...

13
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan inklusi adalah sistem pendidikan yang terbuka bagi semua individu serta mengakomodasi semua kebutuhan sesuai dengan kondisi masing-masing individu (Kustawan, 2012: 7). Menurut Smart (2010) pendidikan inklusi adalah pendidikan pada sekolah umum yang disesuaikan dengan kebutuhan siswa yang memerlukan pendidikan khusus pada sekolah umum dalam satu kesatuan yang sistematik. Dalam konteks yang lebih luas, pendidikan inklusi juga dapat dimaknai sebagai reformasi pendidikan tanpa diskriminasi, perjuangan persamaan hak dan kesempatan, pendidikan yang berkeadilan, dan perluasan akses pendidikan untuk semua, peningkatan mutu pendidikan, serta merupakan upaya yang sangat strategis dalam menuntaskan wajib belajar 9 tahun (Suriansyah, 2012: 1). Pendidikan inklusi dapat menjadi jembatan untuk mewujudkan pendidikan untuk semua (EFA), tanpa ada seorangpun yang tertinggal dari layanan pendidikan (Kemendikbud, 2012: 70). Upaya pembaharuan sistem pendidikan terus dilakukan dalam mewujudkan hak setiap anak

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang -...

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pendidikan inklusi adalah sistem pendidikan

yang terbuka bagi semua individu serta

mengakomodasi semua kebutuhan sesuai dengan

kondisi masing-masing individu (Kustawan, 2012: 7).

Menurut Smart (2010) pendidikan inklusi adalah

pendidikan pada sekolah umum yang disesuaikan

dengan kebutuhan siswa yang memerlukan

pendidikan khusus pada sekolah umum dalam satu

kesatuan yang sistematik. Dalam konteks yang lebih

luas, pendidikan inklusi juga dapat dimaknai sebagai

reformasi pendidikan tanpa diskriminasi, perjuangan

persamaan hak dan kesempatan, pendidikan yang

berkeadilan, dan perluasan akses pendidikan untuk

semua, peningkatan mutu pendidikan, serta

merupakan upaya yang sangat strategis dalam

menuntaskan wajib belajar 9 tahun (Suriansyah,

2012: 1). Pendidikan inklusi dapat menjadi jembatan

untuk mewujudkan pendidikan untuk semua (EFA),

tanpa ada seorangpun yang tertinggal dari layanan

pendidikan (Kemendikbud, 2012: 70).

Upaya pembaharuan sistem pendidikan terus

dilakukan dalam mewujudkan hak setiap anak

2

untuk mendapatkan layanan pendidikan. Melalui

pernyataan dan kesepakatan dalam Deklarasi

Salamanca (UNESCO, 1994) oleh para menteri

pendidikan sedunia yaitu penegasan kembali atas

Deklarasi PBB tentang HAM tahun 1948 dan

Peraturan Standar PBB tahun 1993 yaitu

memberikan kesempatan yang sama bagi individu

berkelainan untuk memperoleh pendidikan secara

terpadu. Deklarasi Salamanca menekankan bahwa

selama memungkinkan, semua anak selayaknya

belajar bersama-sama tanpa melihat perbedaan

antara satu dan lainnya (Alfian, 2013: 73-74).

Di Indonesia, hak memperoleh pendidikan

tertuang dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun

2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 5

ayat 1 sd 4 yang menegaskan bahwa: 1) Setiap warga

negara mempunyai hak yang sama untuk

memperoleh pendidikan yang bermutu; 2) Warga

negara yang memiliki keterbatasan baik fisik, sosial,

emosional juga berhak memperoleh pendidikan

khusus; 3) Warga negara di daerah terpencil atau

terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil

berhal memperoleh pendidikan layanan khusus; 4)

Warga negara yang memiliki potensial kecerdasan

3

dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan

khusus (Sisdiknas, 2003: 20).

Sejalan dengan Undang-undang Nomor 20

Tahun 2003 tentang Sisdiknas, Permendiknas Nomor

70 Tahun 2009 tentang pendidikan inklusif adalah

sistem penyelenggaraan pendidikan yang

memberikan kesempatan kepada semua yang

memiliki kelainan, potensi kecerdasan dan bakat

istimewa untuk mengikuti pendidikan atau

pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan

secara bersama-sama dengan peserta didik pada

umumnya. Bertujuan memberikan kesempatan yang

seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang

memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial

atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat

istimewa untuk memperoleh pendidikan yang

bermutu sesuai dengan kebutuhan dan

kemampuannya. Serta mewujudkan penyelenggaraan

pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan

tidak diskriminatif bagi semua peserta didik.

Inklusi berasal dari bahasa inggris yaitu

“inclusion” yang dapat berarti sebagai penerimaan

anak-anak yang memiliki hambatan ke dalam

kurikulum, lingkungan, interaksi sosial dan konsep

diri atau visi misi sekolah (Smith, 2009: 45).

4

Kustawan (2012) memberikan pengertian bahwa

pendidikan inklusif adalah sistem pendidikan yang

terbuka bagi semua individu serta mengakomodasi

semua kebutuhan sesuai dengan kondisi masing-

masing individu. Oleh sebab itu, pendidikan inklusif

memungkinkan semua anak dapat belajar bersama-

sama, baik di kelas atau sekolah formal maupun

nonformal yang disesuaikan dengan kondisi dan

kebutuhan masing-masing anak.

Dieni (2015: 113) menyatakan dalam

pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di sekolah

inklusif, peserta didiknya terdiri atas anak normal

dan ABK, selain guru kelas dan guru mata pelajaran,

perlu didukung oleh tenaga pendidik keahlian

khusus dalam proses pembelajaran dan pembinaan

ABK secara umum. Salah satu tenaga khusus yang

diperlukan adalah Guru Pembimbing Khusus (GPK)

yang bertugas sebagai pendamping guru kelas dan

guru mata pelajaran dalam melayani ABK agar

potensi yang dimiliki berkembang secara optimal.

Faktor tenaga pendidik memiliki peran yang sangat

besar dalam pencapaian kualitas pendidikan secara

umum. Standar kompetensi guru adalah suatu

ukuran yang dipersyaratkan dalam bentuk

penguasaan pengetahuan dan berperilaku layaknya

5

seorang guru untuk menduduki jabatan fungsional

sesuai bidang tugas, kualifikasi, dan jenjang

pendidikan. Serta mutu pendidikan inklusi secara

umum dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:

kurikulum, kualitas tenaga pendidik, sarana-

prasarana, dana, manajemen, lingkungan dan proses

pembelajaran (Majid, 2008: 6).

Di Kota Salatiga, untuk tahap percobaan

program inklusi dilaksanakan sejak tahun 2010

terhadap enam SD dan dua SMP. Susanto (2012)

menyatakan bahwa setiap satuan pendidikan yang

akan menyelenggarakan pendidikan inklusif

sekurang-kurangnya harus memenuhi indikator atau

standar sebagai berikut: (a) Penilaian hasil belajar

bagi peserta didik pendidikan inklusif mengacu pada

kurikulum tingkat satuan pendidikan yang

bersangkutan atau berdasarkan kurikulum yang

dikembangkan sesuai standar nasional pendidikan;

(b) Tersedia guru pembimbing khusus yang dapat

memberikan program pembelajaran bagi peserta

didik berkebutuhan khusus; (c) Tersedia sarana dan

prasarana bagi peserta didik berkebutuhan khusus,

sekolah memperhatikan aksesibilitas dan alat sesuai

kebutuhan peserta didik; (d) Memiliki program

kegiatan yang bertujuan untuk mengembangkan

6

pendidikan inklusif; dan (e) Memiliki sistem evaluasi

dan sertifikasi, serta manajemen dan proses

pendidikan inklusif.

SMP Negeri 7 Salatiga merupakan salah satu

sekolah yang ditunjuk oleh Dinas Pendidikan Kota

Salatiga sebagai sekolah penyelenggara program

pendidikan inklusi. Berdasarkan hasil wawancara

yang dilakukan pada hari Sabtu, 11 November 2017

terhadap pihak sekolah baik Kepala Sekolah dan

Guru Pembimbing Khusus (GPK) SMP Negeri 7

Salatiga, dikatakan masih ada hambatan-hambatan

yang ditemukan dalam pelaksanaan program

pendidikan inklusi. Mengenai hambatan yang

diungkapkan tersebut antara lain: Pertama, masih

kurangnya SDM dalam proses pembelajaran selaku

GPK bagi ABK, GPK belum sesuai dengan kompetensi

untuk menangani anak berkebutuhan khusus.

Selama ini yang ada di Sekolah adalah guru yang

merangkap pekerjaan sebagai guru GPK, sehingga

terkadang kesulitan dalam pembagian waktu

mengajar. Kedua, guru-guru masih kurang

mendapatkan sosialisasi tentang pendidikan inklusi

sehingga kurangnya kesadaran bagi guru mata

pelajaran dalam hal penanganan ABK. Ketiga,

kendala lebih lanjut yang ditemukan adalah terkait

7

dengan ketersediaan sarana dan prasarana yang

menunjang kegiatan pembelajaran untuk ABK masih

minim. Keempat, belum adanya pengembangan

kurikulum bagi ABK, dalam arti guru belum

melakukan modifikasi kurikulum bagi ABK dalam

pelaksanaan pembelajaran, guru juga tidak

menggunakan metode pembelajaran yang dapat

mengakomodasi ABK. Kelima, proses penilaian belum

mengukur kemampuan ABK dengan tepat karena

penilaian bagi ABK masih sama dengan anak normal.

Keenam, mengenai jalinan kerjasama dengan

beberapa instansi belum maksimal. Serta Ketujuh,

sekolah belum mempunyai petunjuk teknis dan

model pendidikan inklusi untuk menangani berbagai

kriteria anak berkebutuhan khusus. Pihak sekolah

masih mengalami kesulitan untuk penanganan anak

berkebutuhan khusus dan mengatakan bahwa bagi

anak berkebutuhan khusus yang sekolah di SMP

Negeri 7 Salatiga pada kenyataannya masih belum

bisa tertangani dan program pendidikan inklusi

belum terlaksana secara maksimal.

Melihat banyaknya hambatan atau kendala yang

muncul dalam penyelenggaraan program pendidikan

inklusi di SMP Negeri 7 Salatiga. Pada dasarnya

pelaksanaan pendidikan inklusi pada setiap sekolah

8

tidaklah mudah, keterbatasan sumber daya yang

relevan dan terbatasnya aksesibilitas tidak mudah

mengubah nilai-nilai dan keyakinan yang dianut

selama ini dalam sekolah regular berubah menjadi

sekolah inklusif (Mudjito et al, 2012). Serta melihat

selama ini belum pernah dilakukan evaluasi

penyelenggaraan program pendidikan inklusi di SMP

Negeri 7 Salatiga.

Berdasarkan alasan tersebut, maka peneliti

tertarik untuk melakukan evaluasi terhadap

penyelenggaraan program pendidikan inklusi di SMP

Negeri 7 Salatiga. Evaluasi dapat diartikan juga

penilaian. Evaluasi atau penilaian adalah penentuan

pencapaian tujuan suatu program. Penilaian

merupakan suatu bentuk sistem pengujian dalam

pelaksanaan program evaluasi untuk mengetahui

seberapa jauh kesesuaian penyelenggaraan program

pendidikan inklusi di SMP Negeri 7 Salatiga. Evaluasi

dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui secara

mendalam apakah terdapat kesenjangan dalam

implementasi baik mengenai tingkat mutu atau

kondisi program pendidikan inklusi di SMP Negeri 7

Salatiga sebagai hasil pelaksanaan program

pendidikan inklusi dibandingkan dengan kriteria

atau standar tertentu.

9

Berangkat dari pemikiran ini, maka evaluasi

terhadap penyelenggaraan program pendidikan

inklusi di SMP Negeri 7 Salatiga menjadi penting

untuk dilakukan guna memperoleh gambaran

perbandingan pencapaian program dengan standar

mengenai penyelenggaraan program pendidikan

inklusi. Peneliti menggunakan pendekatan evaluasi

model evaluasi kesenjangan (Discrepancy Evaluation

Model) yang dikembangkan oleh Malcolm Provus.

Model evaluasi ini dipilih karena model yang

dikembangkan oleh Provus ini merupakan model

yang menekankan pada pandangan adanya

kesenjangan di dalam pelaksanaan program, yaitu

mampu mengukur adanya perbedaan antara yang

seharusnya dicapai dengan yang sudah rill dicapai

(Arikunto & Jabar, 2009). Kesenjangan yang diukur

pada program pendidikan inklusi adalah

kesenjangan antara program yang dilaksanakan

dibandingkan dengan standart program yang telah

ditetapkan sebagai acuan, dalam penelitian ini

kondisi rill dalam pelaksanaan program pendidikan

inklusi di SMP Negeri 7 Salatiga dibandingkan

dengan Permendiknas No. 70 Tahun 2009.

Apabila ditemukan kesenjangan pada keempat

tahap hasil dari evaluasi, maka upaya yang mungkin

10

dilakukan dengan memberikan rekomendasi yang

dibutuhkan sekolah dalam pelaksanaan program

pendidikan inklusi. Prinsip utama dari hasil

penelitian ini adalah bagaimana menghasilkan

laporan penelitian yang bisa memberikan manfaat

dan rekomendasi untuk perbaikan terhadap

keberlanjutan pelaksanaan program pendidikan

inklusi di SMP Negeri 7 Salatiga. Berdasarkan uraian

latar belakang diatas, maka dilakukan penelitian

evaluasi pelaksanaan program pendidikan inklusi di

SMP Negeri 7 Salatiga.

1.2 Fokus Penelitian

1. Tahap Desain: Fokus pada tahap ini adalah

merancang secara umum tentang tujuan program,

peserta didik, assesmen pembelajaran, tenaga

pendidik, kurikulum, rencana secara umum

kegiatan pembelajaran, pengadaan sarana dan

prasarana yang diperlukan, serta dukungan

masyarakat.

2. Tahap Instalasi: Meninjau dari rancangan dalam

rencana pelaksanaan dalam komponen peserta

didik, assesmen pembelajaran, tenaga pendidik,

kurikulum, rencana pelaksanaan pembelajaran,

sarana dan prasarana, serta dukungan

masyarakat.

11

3. Tahap Proses: Proses pelaksanaan program.

Evaluasi pada tahap ini adalah keterkaitan

dengan proses pelaksanaan program, kegiatan

belajar siswa, kegiatan mengajar guru, kegiatan

pembelajaran, penyediaan sarana dan prasarana,

serta dukungan masyarakat.

4. Tahap Produk: Hasil program. Evaluasi pada

tahap ini adalah hasil akhir atau tujuan program

mengenai produk yang dihasilkan, ketercapaian

program, dampak program, manfaat dan rencana

pengembangan program.

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas dan

model evaluasi penelitian yang digunakan, maka

rumusan masalah dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1) Bagaimana desain pelaksanaan program

pendidikan inklusi di SMP Negeri 7 Salatiga ?

2) Bagaimana instalasi pelaksanaan program

pendidikan inklusi di SMP Negeri 7 Salatiga ?

3) Bagaimana proses pelaksanaan program

pendidikan inklusi di SMP Negeri 7 Salatiga ?

4) Bagaimana produk pelaksanaan program

pendidikan inklusi di SMP Negeri 7 Salatiga ?

12

1.4 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan hakikat penelitian evaluatif

maka tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk

memberi rekomendasi kepada SMP Negeri 7 Salatiga

tentang pelaksanaan program Pendidikan Inklusi

sesuai dengan standar program. Tujuan tersebut

akan dicapai setelah peneliti mencapai tujuan antara

sebagai berikut:

1) Mengevaluasi desain pelaksanaan program

pendidikan inklusi di SMP Negeri 7 Salatiga

2) Mengevaluasi instalasi pelaksanaan program

pendidikan inklusi di SMP Negeri 7 Salatiga

3) Mengevaluasi proses pelaksanaan program

pendidikan inklusi di SMP Negeri 7 Salatiga

4) Mengevaluasi produk pelaksanaan program

pendidikan inklusi di SMP Negeri 7 Salatiga

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan

manfaat secara teoritis maupun manfaat praktis

diantarannya sebagai berikut:

1.5.1 Manfaat teoritis

Melalui hasil penelitian, diharapkan dapat

menambah kajian dibidang manajemen sekolah,

secara khusus tentang Pelaksanaan Program

13

Pendidikan Inklusi menggunakan evaluasi model

kesenjangan (Discrepancy Evaluation Model), serta

memberikan bahan referensi untuk peneliti

selanjutnya.

1.5.2 Manfaat praktis

a. Bagi Guru

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai

bahan evaluasi dan rekomendasi untuk

mengadakan perbaikan pada pelaksanaan

program pendidikan inklusi.

b. Bagi Kepala Sekolah

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai

bahan referensi mengenai tingkat keberhasilan

dalam pelaksanaan program pendidikan Inklusi

di SMP Negeri 7 Salatiga.

c. Bagi Dinas Pendidikan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi

bahan pertimbangan bagi Dinas Pendidikan

untuk memperbaiki berjalannya program pada

Sekolah-sekolah yang ditunjuk sebagai

penyelenggara program pendidikan inklusi

ditingkat kota Salatiga.