BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.unissula.ac.id/10858/3/4. BAB I.pdfpterigium dapat...

4
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pterigium adalah pertumbuhan jaringan fibrovasukular berbentuk sayap terletak pada konjungtiva meluas hingga kornea dan tindakan operasi dapat mencegah terjadinya kebutaan (Torres-Gimeno et al. 2012). Di Indonesia, angka prevalensi terjadinya pterigium pada orang dewasa usia 21 tahun sebesar 10% dan pada usia > 40 tahun sebesar 16,8% (Gazzard et al. 2002). Berdasar hasil survei morbiditas oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 1993-1996 angka kejadian pterigium sebesar 13,9 % dan menempati urutan kedua penyakit mata di Indonesia (Hartono, 2007). Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 mengemukakan, rekurensi pterigium pada kedua mata tertinggi pada provinsi Sumatera Barat dengan prevalensi 9,4% dan terendah adalah jakarta dengan prevalensi 0,4%. Prevalensi pterigium di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara pada usia >40 tahun sebesar 77,4% dan usia <40 tahun sebesar 22,6% (Lazuarni 2010). Di Sulawesi Selatan, pterigium berada pada peringkat kedua dengan insidens sekitar 8,2% (Wiyadna dan Sirlan, 1996). Kekambuhan pterigium adalah perubahan pada permukaan okuler yang terjadi setelah tindakan operasi pterigium. Pertumbuhan ditandai dengan adanya jaringan granulasi dan neovaskularisasi pada daerah bekas

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.unissula.ac.id/10858/3/4. BAB I.pdfpterigium dapat...

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.unissula.ac.id/10858/3/4. BAB I.pdfpterigium dapat terlihat dalam waktu enam bulan bahkan bisa lebih lambat. Di Indonesia, tingkat kekambuhan

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pterigium adalah pertumbuhan jaringan fibrovasukular berbentuk

sayap terletak pada konjungtiva meluas hingga kornea dan tindakan operasi

dapat mencegah terjadinya kebutaan (Torres-Gimeno et al. 2012).

Di Indonesia, angka prevalensi terjadinya pterigium pada orang

dewasa usia 21 tahun sebesar 10% dan pada usia > 40 tahun sebesar 16,8%

(Gazzard et al. 2002). Berdasar hasil survei morbiditas oleh Departemen

Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 1993-1996 angka kejadian

pterigium sebesar 13,9 % dan menempati urutan kedua penyakit mata di

Indonesia (Hartono, 2007). Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007

mengemukakan, rekurensi pterigium pada kedua mata tertinggi pada

provinsi Sumatera Barat dengan prevalensi 9,4% dan terendah adalah

jakarta dengan prevalensi 0,4%. Prevalensi pterigium di Kabupaten

Langkat, Sumatera Utara pada usia >40 tahun sebesar 77,4% dan usia <40

tahun sebesar 22,6% (Lazuarni 2010). Di Sulawesi Selatan, pterigium

berada pada peringkat kedua dengan insidens sekitar 8,2% (Wiyadna dan

Sirlan, 1996).

Kekambuhan pterigium adalah perubahan pada permukaan okuler

yang terjadi setelah tindakan operasi pterigium. Pertumbuhan ditandai

dengan adanya jaringan granulasi dan neovaskularisasi pada daerah bekas

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.unissula.ac.id/10858/3/4. BAB I.pdfpterigium dapat terlihat dalam waktu enam bulan bahkan bisa lebih lambat. Di Indonesia, tingkat kekambuhan

2

pembedahan (Gazzard et al. 2002). Pterigium mengalami kekambuhan

terjadi antara empat bulan hingga satu tahun setelah operasi (Farjo & Sugar

2004). Sedangkan menurut Korayi, dkk menyatakan kekambuhan dari

pterigium dapat terlihat dalam waktu enam bulan bahkan bisa lebih lambat.

Di Indonesia, tingkat kekambuhan pterigium pasca bedah memiliki

angka yang cukup besar. Laporan data dari RS Dr. Soetomo Surabaya

prevalensi kekambuhan pterigium mencapai 52%. Data yang didapat bahwa

rekurensi dari pterigium mencapai 24%-89% (Hirst 2003). Tingkat

kekambuhan setelah tindakan ekstirpasi di Indonesia sebesar 35%- 52%

(Ekantini et al. 2006). Sekitar 90% dari kekambuhan terjadi antara bulan

pertama dan ketiga, namun, pada beberapa kasus telah dilaporkan dilebih

dari 1 tahun setelah pengobatan awal (Hirst 2003).

Penderita dengan resiko kekambuhan tinggi adalah jenis pekerjaan

dengan paparan sinar UV tinggi. Kejadian kekambuhan meningkat pada

usia tua daripada usia muda. Dan laki-laki lebih beresiko 4 kali

dibandingkan perempuan (Stephen, 2004; Tan dkk., 2005). Berdasarkan

data di RSCM, angka kejadian kekambuhan pterigium mencapai 65,1%

pada penderita usia dibawah 40 tahun dan sebesar 12,5% diatas 40 tahun

(Moesidjab, 1997).

Pada penelitian di Spanyol faktor prediktor paparan cahaya

matahari dan jenis kelamin laki-laki merupakan prediktor utama terhadap

kejadian kekambuhan dari pterigium, sedangkan usia bukan merupakan

prediktor utama untuk kekambuhan pterigium (Torres-Gimeno et al. 2012).

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.unissula.ac.id/10858/3/4. BAB I.pdfpterigium dapat terlihat dalam waktu enam bulan bahkan bisa lebih lambat. Di Indonesia, tingkat kekambuhan

3

Akan tetapi pada penelitian lain menyatakan bahwa rekurensi pterigium

dipengaruhi oleh jenis kelamin laki-laki dan usia dibawah 40 tahun menjadi

faktor prediktor utama terjadinya kekambuhan pterigium (Fernandes et al.

2005). Selain itu penelitian yang dilakukan oleh (Ha et al. 2015)

menyatakan bahwa faktor resiko utama untuk terjadinya kekambuhan

pterigium adalah usia lebih dari 40 tahun serta penggunaan mitomisin C.

Berdasarkan perbedaan hasil prediktor utama kekambuhan pterigium

tersebut maka peneliti memandang perlu untuk melakukan penelitian

tentang analisis faktor-faktor prediktor terjadinya kekambuhan pterigium di

Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang.

1.2. Perumusan Masalah

Dari uraian latar belakang penelitian dapat dirumuskan

permasalahan “Apakah faktor-faktor prediktor untuk terjadinya kekambuhan

pterigium periode Januari 2013-Desember 2015?’

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan umum

Menganalisis faktor-faktor prediktor utama terjadinya

kekambuhan pterigium periode Januari 2013-Desember 2015.

1.3.2. Tujuan khusus

1.3.2.1 Untuk mengetahui okupasi sebagai faktor resiko

berhubungan terhadap kekambuhan pterigium periode

Januari 2013-Desember 2015.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.unissula.ac.id/10858/3/4. BAB I.pdfpterigium dapat terlihat dalam waktu enam bulan bahkan bisa lebih lambat. Di Indonesia, tingkat kekambuhan

4

1.3.2.2 Untuk mengetahui usia sebagai faktor resiko berhubungan

terhadap kekambuhan pterigium periode Januari 2013-

Desember 2015.

1.3.2.3 Untuk mengetahui jenis kelamin sebagai faktor resiko

berhubungan terhadap kekambuhan pterigium periode

Januari 2013-Desember 2015.

1.3.2.4. Untuk mengetahui karakteristik pterigium sebagai faktor

resiko berhubungan terhadap kekambuhan pterigium

periode Januari 2013-Desember 2015.

1.3.2.5. Untuk mengetahui lateralisasi sebagai faktor resiko

berhubungan terhadap kekambuhan pterigium periode

Januari 2013-Desember 2015.

1.3.2.6. Untuk mengetahui teknik operasi sebagai faktor resiko

berhubungan terhadap kekambuhan pterigium periode

Januari 2013-Desember 2015.

1.3.2.7. Untuk mengetahui mitomisin C sebagai faktor resiko

berhubungan terhadap kekambuhan pterigium periode

Januari 2013-Desember 2015.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1 Dengan penelitian ini, dapat dilakukan tindakan pencegahan

terjadinya kekambuhan pada pasien setelah operasi

1.4.2 Sebagai studi awal untuk penelitian lebih lanjut