BAB I PENDAHULUAN 1.1. Alasan Pemilihan...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1. Alasan Pemilihan...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Alasan Pemilihan Judul
Adapun alasan mengapa Penulis memiliki judul; “Hubungan Kerja
berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Penyerahan
Sebagian Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain”, perlu untuk dikemukakan oleh
Penulis sebagai berikut di bawah ini.
Pertama, Hubungan Kerja adalah suatu hubungan antara Pengusaha dengan
Pekerja yang timbul dari Perjanjian Kerja yang diadakan untuk waktu tertentu
maupun waktu yang tidak tertentu.1 Dengan demikian dalam Hubungan Kerja ada
perjanjian atau suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya.2 Sedangkan Perjanjian Kerja pada
hakikatnya adalah suatu kontrak, yaitu perjanjian antara Pekerja yang menerima
syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.3
1 Sendjun H. Manulang, S.H., Pokok – Pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia (Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 2011), hlm. 63. Hakikat (the nature) Hubungan Kerja dalam definisi Manulang tersebut
berbeda dengan pengertian Hubungan Kerja dalam UU Ketenagakerjaan (UU No. 13 tahun 2003),
Pasal 1 Angka (15). Hubungan Kerja adalah hubungan antara Pengusaha dengan Pekerja/Buruh
berdasarkan Perjanjian Kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.
2 Djumadi, S.H., Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002),
hlm.9.
3 Pasal 1 Angka (14) UU Ketenagakerjaan.
2
Dalam ketentuan pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, hakikat
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dapat diketahui melalui pengertian atau definisi
bahwa PKWT adalah perjanjian kerja antara Pekerja/Buruh dengan Pengusaha untuk
mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk Pekerja tertentu.4
Perjanjian Kerja berdasarkan jangka waktu tertentu yang dapat diadakan
untuk waktu paling lama 3 (tiga) tahun.5 Meskipun pada prinsipnya PKWT itu adalah
suatu Hubungan Kerja atau perhubungan hukum antara Pekerja dengan Pemberi
Kerja atau suatu kontrak, mengingat antara lain telah diakui secara jelas dalam
Undang – Undang Pasal 56 Ayat (1) UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
“Perjanjian Kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu”,
namun masih ada saja banyak pihak di dalam masyarakat yang memersoalkan
eksistensi perhubungan hukum PKWT tersebut.6
Dalam Perjanjian Kerja yang pada hakikatnya adalah suatu kontrak (a
contract) tersebut, setidak-tidaknya berunsur, baik Pekerja maupun Pemberi Kerja,
4 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No.: KEP 100/MEN/VI/2004
tanggal 21 Juni 2004 Pasal 1 Angka (1).
5 F.X. Djumialdji S.H., M.Hum, Perjanjian Kerja (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2005), hlm. 23.
Sedangkan menurut KEPMENAKER No. KEP 100/MEN/VI/2004, Pasal 8 Ayat (1) j.o. Ayat (2),
PKWT dengan Pekerja/Buruh untuk melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru,
kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan dapat dilakukan
untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang untuk satu kali paling lama 1
(satu) tahun, serta tidak dapat dilakukan pembaharuan.
6 Lihat uraian mengenai pihak-pihak dalam masyarakat yang memersoalkan eksistensi PKWT,
terutama PKWT dan Penyerahan Sebagian Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain, dalam Latar Belakang
Masalah, dan Sub Judul 1.2 Bab I Skripsi ini.
3
masing–masing mempunyai hak dan kewajiban.7 Kewajiban Pekerja pada umumnya
tersimpul dalam hak Pemberi Kerja. Seperti juga hak Pekerja tersimpul dalam
kewajiban Pemberi Kerja. Dus, ada perikatan bagi Pekerja dan perikatan bagi
Pemberi Kerja. Misalnya, Pekerja mempunyai kewajiban untuk melaksanakan
pekerjaan, maka Pemberi Kerja mempunyai hak atas pelaksanaan pekerjaan dan
memerintah si Pekerja tersebut.8 Dalam kaitan dengan itu, peraturan Pemberi Kerja
atau peraturan–peraturan perburuhan ada yang dibuat secara sepihak oleh Pemberi
Kerja. Akibatnya, Pemberi Kerja pada dasarnya dapat memasukkan apa saja yang
Pemberi Kerja inginkan. Pemberi Kerja dapat mencantumkan kewajiban Pekerja
semaksimal–maksimalnya dengan hak yang seminimal–minimalnya, sepanjang hal
itu tidak dipaksakan kepada Pekerja.9
Penulis tertarik untuk menggambarkan pemikiran pihak-pihak yang
memertanyakan institusi hukum PKWT dan Penyerahan Sebagian Pekerjaan Kepada
Perusahaan Lain, sekaligus membuat gambaran dari perpektif ilmu hukum atau postur
prinsip-prinsip dan kaedah-kaedah hukum yang mengatur PKWT dan Penyerahan
Sebagian Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain. Terutama, dalam pandangan Penulis,
apa yang disebut sebagai Hubungan Kerja Berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu
7 Lihat Catatan Kaki Penulis dalam Catatan Kaki no. 1, supra.
8 Abdul Rachmad Budiono, S.H., M.H., Hukum Perburuhan di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1995), hlm. 47.
9 Imam Soepomo, S.H., Pengantar Hukum Perburuhan (Jakarta: Djambatan, 1999), hlm. 73.
4
Tertentu (PKWT) dan Penyerahan Sebagian Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain
adalah suatu perjanjian atau suatu kontrak yang mempunyai ciri-ciri tertentu yang
berbeda dengan Perjanjian yang hanya Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu
(PKWT) saja dan Perjanjian yang hanya Perjanjian Penyerahan Sebagian Pekerjaan
Kepada Perusahaan Lain saja.10
Kedua, bekerja kepada orang lain dalam hal ini maksudnya adalah bekerja
dengan bergantung pada orang lain, si pemberi perintah dan menerima upah. Karena
itu Pekerja harus tunduk dan patuh pada orang lain Pemberi Kerja yang memberikan
perintah tersebut.11
Pola hubungan hukumnya bersifat di bawah perintah dan
memerintah (sub ordinasi). Pekerja menerima perintah dari pihak yang lebih tinggi
kedudukannya Pemberi Kerja yang memberi perintah atau menyuruh melakukan
sesuatu. Apakah ada kemungkinan suatu badan hukum yang menerima pekerjaan dari
perusahaan pemberi kerja berstatus atau berkedudukan sebagai Pekerja atau orang
yang menerima perintah? Pertanyaan ini belum pernah dipikirkan oleh para pengamat
10 Inilah yang membedakan antara Skripsi ini dengan skripsi-skripsi yang pernah ditulis. Dalam
skripsi-skripsi terdahulu, para penulis skripsi-skripsi terdahulu itu hanya membicarakan, setelah
meneliti Hubungan Hukum yang bernama Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu (PKWT) saja. Atau
mereka hanya membahas atau menggambarkan outsourcing yang mereka samakan dengan Hubungan
Kerja Berdasarkan Perjanjian Penyerahan Sebagian Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain saja.
Sedangkan dalam skripsi ini, Penulis berpendapat (suatu thesis sentence) bahwa Hubungan Kerja
Berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Penyerahan Sebagian Pekerjaan Kepada
Perusahaan Lain adalah suatu pola hubungan hukum yang berdiri sendiri, dan yang Penulis sebutkan
dalam uraian hasil penelitian sebagai suatu pola hubungan hukum sui generis atau hybrid. Inilah
orisinalitas dari Penelitian dan Penulisan Karya Tulis Penulis.
11 H. Zainal Asikin, S.H., SU., Asas–Asas Hukum Perburuhan (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2006), hlm. 1.
5
dalam bidang kontrak ketenagakerjaan. Hal ini merupakan ide atau gagasan asli
Penulis yang tergambar dalam suatu pertanyaan.
Tujuan pengaturan hukum ketenagakerjaan seperti antara lain dipaparkan di
atas itu sendiri adalah untuk kepentingan Pekerja itu sendiri. Pekerja akan lebih
mengenal dan memahami kharateristik atau sifat-sifat hak–hak dan kewajiban–
kewajiban sebagai Pekerja. Bila hak-hak para Pekerja dipenuhi oleh pihak Pemberi
Kerja, maka Pekerja itu dapat menyampaikan dan menanyakan secara langsung
kepada Pemberi Kerja mengenai hak-haknya yang belum diterima atau belum
dipenuhi, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Atau, dapat
menempuh upaya hukum yang sesuai dalam jalurnya yang ditentukan oleh peraturan
perundang-undangan dan yurisdiksi pengadilan.
Selain itu, tujuan pengaturan ketenagakerjaan juga untuk kepentingan
masyarakat/warga yang ingin menjadi Pekerja, adalah suatu pemberian informasi-
informasi mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban mengenai jaminan dan
perlindungan hukum dari Pemerintah/Negara yang harus dilaksanakan sebagaimana
dituntut oleh hukum (the dictate of the law).
Selanjutnya, tujuan pengaturan ketenagakerjaan juga untuk kepentingan
Pemberi Kerja dan Pemerintah untuk memberikan informasi mengapa Pekerja
menuntut hak-hak mereka. Pemberi Kerja dapat memenuhi hak-hak normatif yang
6
telah ditetapkan di dalam ketentuan undang–undang, bahkan Pemerintah tidak selalu
memihak kepada Pemberi Kerja yang bertentangan dengan ketentuan hukum.12
Semua hal yang telah dikemukakan di atas adalah antara lain, bentuk
kepastian hukum dan keadilan, bagi kehidupan para Pekerja yang merupakan hasil
dikte hukum. Mereka (Pekerja) akan dapat memenuhi secara layak standar hidup
sesuai dengan ketentuan hukum. Kehidupan antara para Pekerja dengan Pemberi
Kerja menjadi harmonis serta adanya rasa memiliki perusahaan. Perusahaan akan
lebih pesat perkembangannya dalam memenuhi kebutuhan hidup masyarakat dalam
mewujudkan kesejahteraan.13
Namun demikian, masih ada saja banyak pihak di dalam masyarakat yang
memersoalkan eksistensi perhubungan hukum PKWT tersebut di atas.14
Sehingga
seperti telah dikemukakan di atas, Penulis tertarik untuk menggambarkan pemikiran
pihak–pihak itu memertanyakan institusi hukum yang berlaku tersebut. Sekaligus,
membuat gambaran dari perpektif ilmu hukum atau postur prinsip–prinsip dan
kaedah–kaedah hukum yang mengatur PKWT dan Penyerahan Sebagian Pekerjaan
Kepada Perusahaan Lain yang menjadi soal atau polemik dalam masyarakat tersebut
dan yang jauh lebih menarik, menurut pendapat Penulis, seperti telah dikemukakan di
depan, merupakan suatu jenis perhubungan hukum tersendiri yang berbeda dari
12 Dr. H.R. Abdussalam, SIK., M.H., Hukum Ketenagakerjaan (Jakarta: Restu Agung, 2009) hlm. 7.
13
Ibid.
14
Memang apabila diamati dengan saksama, persoalan yang ada sebatas pada persoalan perjanjian
outsourcing.
7
PKWT saja atau perjanjian penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain
saja yang sudah cukup banyak dibahas oleh para penulis-penulis skripsi terdahulu.
Ketiga, Penyerahan Sebagian Pekerjaan kepada Perusahaan Lain adalah
penyerahan sebagian pekerjaan dari Perusahaan Pemberi Pekerjaan kepada
Perusahaan Penerima Pemborongan Pekerjaan atau Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja
melalui perjanjian pemborongan pekerjaan secara tertulis. Biasanya Penyerahan
Sebagian Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain bertujuan antara lain untuk
memperkecil biaya produksi atau untuk memusatkan perhatian kepada hal utama dari
perusahaan tersebut. Penyerahan Sebagian Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain
merupakan institusi yang sah menurut hukum dan diakui dalam undang-undang
Ketenagakerjaan di Indonesia.
Pengaturan mengenai Penyerahan Sebagian Pekerjaan kepada Perusahaan
Lain juga telah diakui dengan jelas dalam Undang–Undang No. 13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan. Dinyatakan pada Pasal 64, bahwa “perusahaan dapat
menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui
perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa Pekerja yang dibuat secara
tertulis”.
Meskipun demikian mekanisme Penyerahan Sebagian Pekerjaan kepada
Perusahaan Lain juga, selain PKWT sebagaimana telah dipaparkan di atas, masih
juga dipertanyakan oleh sejumlah kelompok masyarakat.
Keempat, dalam kaitan atau seiring sejalan dengan kegiatan/aktifitas
“memertanyakan” eksistensi PKWT dan Penyerahan Pelaksanaan Pekerjaan kepada
8
Perusahaan Lain, dalam hukum, ada asas yang sangat fundamental menuntun
kehidupan ketatanegaraan, bahwa Undang–Undang tidak boleh diganggu gugat.
Namun masih ada saja banyak pihak di dalam masyarakat yang memersoalkan
eksistensi perhubungan hukum PKWT tersebut.
Penulis tertarik untuk menggambarkan pemikiran pihak–pihak itu
memertanyakan institusi hukum yang berlaku tersebut, sekaligus membuat gambaran
dari perpektif ilmu hukum atau postur prinsip–prinsip dan kaedah–kaedah hukum
yang mengatur PKWT dan Penyerahan Sebagian Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain
yang menjadi soal atau polemik dalam masyarakat tersebut, dan yang menurut
Penulis merupakan suatu kontrak sui generis (hybrid).
1.2. Latar Belakang Masalah
Hukum meningkatkan kebahagiaan masyarakat secara keseluruhan dengan
cara antara lain melarang perbuatan–perbuatan yang mendatangkan sengsara.15
Sebagaimana halnya dengan sumber hukum pada umumnya, pengaturan mengenai
ketenagakerjaan mempunyai sumber yang tidak jauh berbeda. Khusus dalam
membicarakan masalah sumber hukum perburuhan16
ini, perlu digarisbawahi adanya
15 Sama dengan Catatan untuk Catatan Kaki no. 14, supra. Hukum adalah sumber kebahagiaan, lihat
Buku Jeferson Kameo SH., LLM., Ph.D. Kontrak sebagai Nama Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.
16
Istilah hukum perburuhan sebetulnya sudah ketinggalan zaman (jadul) atau lapuk ditelan jaman. Saat
ini, menurut Penulis istilah yang lebih tepat (modern) adalah Ketenagakerjaan; konsep atau lebih tepat
institusi hukum yang digunakan oleh UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Hal ini tidak
9
sumber hukum perburuhan yang datangnya dari subyek dalam perhubungan hukum
perburuhan itu (the parties to contract), yakni pihak Pekerja dan Serikat Pekerja serta
badan yang bersangkutan dengan masalah perburuhan itu sendiri khususnya dalam
proses penyelesaian perselisihan perburuhan.
Dalam industrialisasi dan pembangunan ekonomi sebagai satu strategi dari
bangsa Indonesia yang didikte oleh hukum (the dictate of the law) untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, manusia–manusia warga negara mempunyai
tenaganya dan keahlian atau keterampilan untuk upah bagi kesejahteraan diri sendiri
atau masyarakat. Golongan manusia warga negara yang demikian itu disebut dengan
Pekerja. Dalam hal ini, Negara mau tidak mau harus terlibat dan bertanggung jawab
terhadap soal perburuhan/ketenagakerjaan demi menjamin agar Pekerja dapat
terlindungi hak-haknya dalam bingkai hukum.
Meskipun Penulis berpendapat bahwa hukum adalah sumber kebahagiaan (the
law as a source of happines), dalam hubungan perburuhan/ketenagakerjaan antara
Pekerja dan Pemberi Kerja, masih ada saja pihak yang berpendapat bahwa Pekerja
seringkali dianggap berada pada posisi yang lemah. Karenanya sistem hukum
perburuhan/ketenagakerjaan yang mengatur hubungan hukum ketenagakerjaan di
Negara ini adalah sistem hukum perburuhan/ketenagakerjaan yang melindungi
(protektif) terhadap Pekerja, sekaligus tidak meninggalkan Pemberi Kerja.
mengesampingkan fakta bahwa KUHPerdata Bab ketujuh A tentang Persetujuan-persetujuan untuk
melakukan pekerjaan masih relevan.
10
Dalam hubungan antara Pekerja dan Pemberi Kerja, secara yuridis Pekerja
haruslah bebas. Prinsip hukum yang mengatur setiap hubungan hukum, tidak seorang
pun boleh diperbudak.17
Semua bentuk dan jenis perbudakan, peruluran dan
perhambaan tidak mendapat tempat dalam suatu hubungan yang didasarkan atas
prinsip kemerdekaan atau kebebasan berkontrak. Hanya saja, masih ada anggapan
bahwa Pekerja itu tidak bebas. Pihak yang mengemukakan pandangan yang
mencerminkan anggapan seperti itu mengatakan bahwa Pekerja adalah orang yang
tidak mempunyai bekal hidup yang lain selain tenaganya dan terkadang terpaksa18
menerima hubungan kerja dengan Pemberi Kerja meskipun memberatkan untuk
Pekerja itu sendiri.
Anggapan yang sudah umum atau sering muncul itu juga mengatakan bahwa
penekanan terhadap efisien secara berlebihan untuk semata–mata meningkatkan
investasi guna mendukung pembangunan ekonomi melalui kebijakan upah murah
berakibat pada hilangnya keamanan kerja (job security) bagi Pekerja Indonesia.
Ancaman kehilangan pekerjaan itu, kata pihak–pihak itu, berangkat dari asumsi
bahwa sebagian besar Buruh/Pekerja tidak akan lagi menjadi Pekerja tetap, tetapi
menjadi Pekerja kontrak yang akan berlangsung seumur hidupnya. Hal inilah yang
oleh sebagian kalangan dimaksud, disebut sebagai satu bentuk perbudakan zaman
17 Dalam hukum yang Penulis sebut sebagai sumber kebahagiaan itu, misalnya, ada asas bahwa para
pihak harus bebas (freedom of contract). Lihat uraian lebih lanjut dalam Bab II Skripsi ini, dalam Sub
Judul 2.7. Post.
18
Bukankah suatu perjanjian tidak boleh dibuat secara terpaksa? Dari mana pihak-pihak itu
berpendapat demikian?
11
modern. Pada titik inilah mulai nampak apa yang telah Penulis kemukakan di depan
sebagai satu kubu yang memertanyakan institusi hukum PKWT yang berlaku
tersebut. Menurut pendapat Penulis, mungkin saja pihak-pihak yang beranggapan
demikian belum terlalu memahami apa itu kontrak.
Sebagian kalangan dalam masyarakat tersebut beranggapan bahwa status
sebagai Pekerja kontrak19
(PKWT), pada kenyataannya berarti juga hilangnya hak–
hak, tunjangan–tunjangan kerja dan sosial yang biasanya dinikmati oleh mereka yang
mempunyai status sebagai Pekerja tetap (PKWTT). Dengan demikian, amat potensial
menurunkan kualitas hidup dan kesejahteraan Pekerja Indonesia. Padahal, Pekerja,
kata sebagian kalangan dalam masyarakat tersebut, merupakan bagian terbesar dari
rakyat Indonesia. Pada akhirnya apabila metoda yang memungkinkan Pekerja kontrak
(PKWT)20
yang dituding dapat menghilangkan hak-hak, tunjangan-tunjangan kerja
dan sosial yang hanya dinikmati oleh pekerja tetap (PKWTT) maka itu sama artinya
dengan akan menurunkan kualitas hidup dan kesejahteraan rakyat Indonesia pada
19 Kekurang pemahaman tentang kontrak, dapat menyebabkan orang merendahkan kontrak secara
tidak sengaja (kemungkinan). Padahal UU tentang Ketenagakerjaan yang adalah suatu kontrak telah
begitu detail memberikan perlindungan kepada macam-macam hak Pekerja.
20
Penulis tidak sependapat dengan pihak yang menyamakan hanya PKWT, atau jenis Perjanjian Kerja
seperti Pekerja harian lepas sebagai Pekerja kontrak. Sebab, pada prinsipnya, dalam kontrak sebagai
Nama Ilmu Hukum, setiap perjanjian, termasuk Perjanjian Kerja adalah suatu kontrak. Lihat Buku
Jeferson Kameo SH., LLM., Ph.D. Kontrak sebagai Nama Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Kristen Satya Wacana Salatiga.
12
umumnya, demikian pandangan pihak-pihak yang sudah umum ada dalam
masyarakat tersebut.21
Masih juga merupakan anggapan umum sebagian masyarakat, bahwa Pekerja
dalam PKWT, juga dilihat hanya semata–mata sebagai komoditas atau barang
dagangan di sebuah pasar tenaga kerja. Pekerja dibiarkan sendirian menghadapi
ganasnya kekuatan pasar dan kekuatan modal, yang akhirnya akan timbul
kesenjangan sosial yang semakin menganga antara yang kaya dan yang miskin dan
tidak menutup kemungkinan kelak anak cucu Pekerja itu akan menjadi budak di
negeri sendiri dan diperbudak oleh bangsa sendiri dan hal ini sangat jelas
bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (2) UUD 1945 “setiap orang berhak untuk bekerja
serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”,
kata pihak–pihak tersebut.22
Masih dalam rangka menggambarkan pihak-pihak yang memertanyakan
PKWT, kenyataan masih saja ada anggapan umum sebagian masyarakat apabila di
dalam PKWT Pekerja ditempatkan sebagai faktor produksi semata, maka begitu
mudah Pekerja dipekerjakan bila dibutuhkan dan diputus hubungan kerjanya ketika
21 Dalam analisis pada Bab III Sub Judul 3.4. Penulis temukan bahwa ternyata PKWT itu identik
dengan pemborongan pekerjaan dan tegas, menurut undang-undang dilakukan oleh pihak yang
berbadan hukum, bukan Buruh. Sehingga asumsi bahwa Pekerja itu lemah bisa jadi keliru.
22
Padahal, melalui analisis yang mendalam, Penulis menemukan, seperti telah dikemukakan dalam
Catatan Kaki No. 18 bahwa Pekerja dalam PKWT yang identik dengan perjanjian penyerahan sebagian
pekerjaan kepada perusahaan lain itu adalah Badan Hukum, punya kedudukan yang lebih kuat
dibanding Buruh.
13
tidak lagi dibutuhkan. Komponen upah sebagai salah satu dari biaya–biaya (cost) bisa
tetap ditekan seminimal mungkin.
Hal yang menarik adalah bahwa disamping memertanyakan PKWT, pada saat
yang bersamaan pihak-pihak sebagaimana telah dikemukakan di atas juga
memertanyakan Penyerahan Sebagian Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain.
Penyerahan Sebagian Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain oleh para pihak yang
memertanyakan PKWT itu disamakan dengan outsourcing. Menurut pandangan yang
umum di sejumlah kalangan itu, inilah akibat dilegalkannya sistem kerja
“pemborongan pekerjaan” (outsourcing).
Dengan sistem seperti itu, maka anggapan umum sejumlah kalangan itu
adalah bahwa Pekerja semata sebagai sapi perahan para pemilik modal dan ini adalah
bertentangan dengan Pasal 33 Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “Perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”. Menurut anggapan
umum dalam kalangan masyarakat tertentu tersebut, tidak ada lagi prinsip
perekonomian berdasarkan pada demokrasi ekonomi, dimana produksi dikerjakan
oleh semua, untuk semua dengan kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan. Di
sinilah persis perbudakan modern dan degradasi nilai manusia, Pekerja sebagai
komoditas atau barang dagangan, akan terjadi secara resmi dan diresmikan melalui
Undang–Undang. Kemakmuran masyarakat yang diamanatkan konstitusipun akan
menjadi kata–kata kosong, demikian pandangan dari kalangan masyarakat tersebut.
14
Outsourcing,23
dan perjanjian kerja waktu tertentu, jelas tidak menjamin
adanya job security, tidak adanya kelangsungan pekerjaan karena seorang pekerja
dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu pasti tahu bahwa pada suatu saat hubungan
kerja akan putus dan tidak akan bekerja lagi ditempat tersebut, akibatnya pekerja akan
mencari pekerjaan lain, sehingga kontinuitas, pekerjaan menjadi persoalan bagi
pekerja yang di outsourcing dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Apabila job
security tidak terjamin, jelas hal tersebut bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (2) UUD
1945 yaitu “hak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak”, kata pandangan umum
yang ada di kalangan masyarakat tertentu tersebut.
Bagi sejumlah kalangan itu, outsourcing yang sudah diatur dua macam
outsourcing dalam Pasal 64, yaitu outsourcing mengenai pekerjaannya yang
dilakukan oleh pemborong dan outsourcing mengenai pekerjanya yang dilakukan
oleh perusahaan jasa penyedia tenaga pekerja.24
Outsourcing yang pertama konstruksi
hukumnya yaitu ada main contractor yang mensubkan pekerjaan pada sub
contractor. Subcontractor untuk melakukan pekerjaan yang di subkan oleh
maincontractor yang membutuhkan pekerja. Di situlah subcontractor merekrut
23 Istilah outsourcing bukan istilah hukum, sebab tidak dikenal dalam UU Ketenagakerjaan. Sehingga
pihak yang berperang dengan istilah itu seperti berperang dalam “bayangan”. Meskipun demikian,
istilah outsourcing juga digunakan dalam putusan Pengadilan di Indonesia. Lihat Putusan No. No. 153
K/PDT.SUS/2010 antara Serikat Buruh Nestle Panjang melawan PT. Nestle Indonesia. Sebagian pihak
menyebut outsourcing dengan alih daya. Lihat misalnya Peraturan Bank Indonesia No. 14/2/PBI/2012
tanggal 6 Januari 2012.
24
Perusahaan-perusahaan (Agen) yang menyediakan tenaga kerja atau penyalur tenaga kerja.
Gambaran singkat tentang perspektif hukum keagenan sebagai suatu kontrak Penulis kemukakan
dalam Bab II, Sub Judul 2.9.
15
pekerja untuk mengerjakan pekerjaan yang disubkan oleh maincontractor. Sehingga
ada hubungan kerja antara subcontractor nya dengan pekerjanya. Dalam perpektif
kalangan dalam masyarakat tersebut, apabila dikaitkan dengan konstitusi, jelas hal
tersebut memaksakan adanya hubungan kerja antara Perusahaan Penyedia Jasa
Pekerja dengan Pekerjanya, yang sebenarnya tidak memenuhi unsur–unsur Hubungan
Kerja yaitu dengan adanya perintah, pekerjaan dan upah. Dengan demikian Pekerja
hanya dianggap sebagai barang saja, bukan sebagai subyek hukum.25
Akibat dari
outsourcing dan PKWT Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja pada dasarnya menjual
manusia kepada user, dengan sejumlah uang dan mendapatkan keuntungan dengan
menjual manusia, kata para pihak itu. Tidak ada hal seperti itu dalam kontrak.
Menurut kalangan dalam masyarakat tersebut, manusia harus dilindungi
sebagai manusia yang seutuhnya. Bekerja seharusnya adalah untuk memberikan
kehidupan yang selayaknya tetapi ketika Pekerja hanya sebagai bagian produksi dan
terutama dengan kontrak-kontrak26
yang dibuat, maka hanya sebagai salah satu
bagian dari produksi, sehingga perlindungan sebagai manusia menjadi lemah.
Meskipun sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa masih banyak
pihak di dalam masyarakat yang mempertanyakan eksistensi PKWT dan Penyerahan
25 Perlu dikemukakan di sini bahwa dalam istilah Inggris Hukum, Subyek hukum itu memang benda
(property) atau hak. Mungkin yang dimaksud oleh para pihak tersebut dengan pihak adalah the party
to contract. The party to contract adalah orang (legal person). Penjelasan mengenai hal ini dapat
dilihat dalam buku Jeferson Kameo SH., LL.M., Ph.D. dengan judul Kontrak Sebagai Nama Ilmu
Hukum Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.
26
Tidak ada kontrak yang boleh dibuat dengan sengaja dalam rangka menempatkan satu pihak dalam
hubungan hukum tersebut sebagai semata-mata alat produksi untuk “diperas”. Apabila hal itu terjadi,
maka itu bukan suatu kontrak tetapi perbuatan melawan hukum.
16
Sebagian Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain, namun pihak Pemerintah sendiri
membantah rasionalisasi dibalik gugatan pihak–pihak di dalam masyarakat tersebut.
Berikut di bawah ini, bagaimana sudut pandang Pemerintah (eksekutif dan DPR).
Pemerintah berpendapat bahwa Hubungan Kerja berdasarkan Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu (PKWT) dan Penyerahan Sebagian Pekerjaan kepada Perusahaan
Lain, yang umum dikenal dengan outsourcing, sebagaimana diatur dalam Pasal 59
serta Pasal 64 Undang–Undang Ketenagakerjaan adalah dalam rangka memberikan
kesempatan bagi seluruh warga negara Indonesia untuk mendapatkan pekerjaan yang
layak, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 27 Ayat (2) UUD 1945; juga dalam
rangka memberikan perlakuan yang adil dan layak bagi semua warga negara dalam
hubungan kerja guna mendapatkan imbalan yang setimpal dengan pekerjaan yang
dilaksanakannya.
Dalam pandangan Pemerintah, dengan diterapkannya Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu (PKWT), dan Penyerahan Sebagian Pekerjaan kepada Perusahaan Lain atau
outsourcing adalah bagi Pekerja outsourcing, mereka akan menggunakan seluruh
kemampuannya dalam bekerja. Dengan adanya outsourcing, maka para Pekerja akan
mendapatkan suatu keterampilan yang belum mereka miliki sebelumnya. Apabila
para Pekerja tersebut telah memiliki kemampuan, maka Pekerja akan menambah
kemampuan mereka dengan bekerja outsourcing. Pekerjaan tersebut akan menjadi
lebih bermanfaat, jika pekerjanya mampu menangkap ilmu yang mereka dapat dari
perusahaan penerima.
17
Selanjutnya Pemerintah berpendapat bahwa para pekerja mengembangkan
keterampilan tersebut untuk menambah daya saing dalam meraih lapangan pekerjaan.
Sebelum mendapatkan pekerjaan tetap, dengan adanya outsourcing akan membantu
Pekerja yang belum bekerja untuk disalurkan kepada perusahaan–perusahaan yang
membutuhkan tenaga kerja dari perusahaan outsourcing tersebut. Selain hal tersebut,
Peraturan perundang–undangan Ketenagakerjaan yang sudah mengatur jenis dan sifat
pekerjaan yang akan selesai dalam waktu tertentu, serta segala aturan–aturan dalam
menerapkan sebuah Pekerjaan untuk Waktu Tertentu, dan Penyerahan Sebagian
Pekerjaan kepada Perusahaan Lain. Pemerintah menilai bahwa pandangan sejumlah
kalangan di dalam masyarakat yang menyatakan Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65, dan
Pasal 66 Undang–Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah
menimbulkan kerugian hak adalah tidak benar.
Sejalan dengan pandangan Pemerintah sebagimana telah dipaparkan di atas,
dalam polemik itu, DPR beranggapan bahwa tidak ada kerugian konstitusional atau
kerugian yang bersifat potensial akan terjadi dengan berlakunya Pasal 59 dan Pasal
64 UU Ketenagakerjaan. Bagi para pihak Dewan Perwakilan Rakyat, anggapan
kalangan dalam masyarakat bahwa para Pekerja tidak spesifik (khusus) dan aktual
mengenai kerugian konstitusional akibat pemberlakuan PKWT dan Penyerahan
Sebagian Pekerjaan kepada Perusahaan Lain dalam UU Ketenagakerjaan.
Pada prinsipnya, menurut pihak DPR, kegiatan yang berhubungan langsung
dengan proses produksi, Pekerja outsourcing tidak boleh digunakan oleh perusahaan.
Hanya kegiatan jasa penunjang yang tidak berhubungan langsung dengan proses
18
produksi, perusahaan dapat mempekerjakan Pekerja outsourcing melalui Perusahaan
Penyedia Jasa.
Pada bagian lain, menurut DPR Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang lazim
disebut dengan pekerja kontrak, mendasarkan diri pada Pasal 59 Ayat (1) huruf (a),
huruf (b), huruf (c), dan huruf (d) serta Ayat (2), Ayat (3), Ayat (4), Ayat (5), Ayat
(6), Ayat (7) dan Ayat (8) Undang–Undang Ketenagakerjaan, kesepakatan yang
dibuat untuk Perjanjian Kerja Waktu Tertentu adalah hanya untuk pekerjaan yang
mempunyai sifat, jenis dan kegiatan akan selesai dalam waktu tertentu.
Sehingga menurut DPR, hal itu dapat dikategorikan sebagai Pekerjaan Waktu
Tertentu, yaitu pekerjaan yang sekali selesai yang dilakukan sekali tiap bulan.
Kontroversi antara sebagian Masyarakat versus pihak Pemerintah (eksekutif dan
DPR) itu perlu diteliti dikaitkannya dengan prinsip–prinsip dan kaedah–kaedah
hukum yang mengatur mengenai PKWT dan Penyerahan Sebagian Pekerjaan kepada
Perusahaan Lain tersebut.
Itulah uraian mengenai latar belakang Penulis melakukan penelitian dan pada
akhirnya menulis suatu Skripsi Kesarjanaan yang rumusan masalahnya akan
dikemukakan di bawah ini.
1.3. Perumusan Masalah
Adapun perumusan masalah penelitian dan Penulisan karya tulis ini adalah:
Bagaimana hubungan kerja berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu dan
penyerahan sebagian perkerjaan kepada perusahaan lain?
19
1.4. Tujuan Penelitian
Sedangkan tujuan penelitian dan Penyusunan Karya Tulis ini adalah
mengetahui bagaimana prinsip–prinsip dan kaedah–kaedah hukum yang mengatur
mengenai perjanjian kerja waktu tertentu dan penyerahan pekerjaan kepada
perusahaan lain.
1.5. Metode Penelitian
Adapun metode yang Penulis pergunakan untuk penelitian dan Penyusunan
Karya Tulis ini adalah penelitian hukum. Yang dimaksud dengan Penelitian Hukum
adalah mencari dan menemukan kembali (research) prinsip–prinsip hukum dan
kaedah–kaedah hukum yang mengatur mengenai Hubungan Kerja berdasarkan
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Penyerahan Sebagian Pekerjaan
kepada Perusahaan Lain, yang menurut Pendapat Penulis (thesis sentence), bahwa
PKWT dan penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain tersebut pada
hakikatnya adalah suatu kontrak sui generis (hybrid).
Adapun satuan amatan dalam penelitian dan Penyusunan Karya Tulis ini yaitu
UUD 1945; UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, serta peraturan
perundang–undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi antara lain,
misalnya; Undang–Undang No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Hubungan
Industrial; Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor;
KEP.100/MEN/VI/2004 tanggal 21 Juni 2004). Disamping itu akan diamati satu
20
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial yang telah berkekuatan hukum tetap, antara
lain; putusan No. 153 K/PDT.SUS/2010 antara Serikat Buruh Nestle Panjang
melawan PT. Nestle Indonesia.
Sedangkan satuan analisis penelitian dan Penulisan Karya Tulis ini yaitu
bagaimana hubungan kerja berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dan
Penyerahan Sebagian Pekerjaan kepada Perusahaan Lain yang berlaku dalam sistem
hukum Indonesia saat ini.