BAB I PENDAHULUAN 1.1. Alasan Pemilihan...
-
Upload
truongcong -
Category
Documents
-
view
233 -
download
0
Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1. Alasan Pemilihan...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Alasan Pemilihan Judul
Indonesia sebagai salah satu negara berkembang memiliki beberapa
program yang harus dijalankan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam
upaya peningkatan kualitas hidup masyarakat terutama dalam bidang kesehatan.
Pemerintah telah mengeluarkan beberapa upaya seperti jamsostek, jamkesmas, dan
sebagainya. Saat ini, pemerintah sedang mengembangkan sistem jaminan kesehatan
nasional yang dikelola sebuah badan bernama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Kesehatan (BPJS). BPJS merupakan bentuk transformasi sistem asuransi kesehatan
(PT Askes) yang disediakan pemerintah dalam upaya pemenuhan kebutuhan
kesehatan yang diberikan kepada seluruh warga negara. Adanya sistem pelayanan
kesehatan yang baru tersebut diharapkan dapat memberikan fasilitas yang baik
untuk warga negara. Sehubungan dengan hal tersebut, peneliti bermaksud untuk
meneliti efektivitas sistem pelayanan kesehatan melalui BPJS Kesehatan yang
berjalan sejak 1 januari 2014 hingga sekarang.
Penelitian ini menjadi hal yang menarik karena konflik yang ada dalam
pelaksanaan BPJS Kesehatan ini sudah banyak terjadi. Seperti yang terjadi dalam
pelayanan rumah sakit di daerah Lampung, salah satu pasien mengalami pelayanan
yang tidak baik, yaitu dengan kasus pembuangan pasien. Saat menyampaikan
laporan tahunan, Direktur Advokasi YLBHI, Bahrain, menyindir kasus ini sebagai
potret orientasi dokter dan fasilitas kesehatan pada uang sehingga melupakan sisi
kemanusiaan. Tak lupa, Bahrain meminta petinggi Kementerian Kesehatan
memberikan sanksi tegas kepada dokter, perawat dan petugas rumah sakit lainnya
2
2
yang terlibat. “Pembuangan pasien tak bisa dibenarkan,” tegas Bahrain. Dapat
dilihat bahwa kasus ini menjadi salah satu alasan peneliti dalam melakukan
penelitian. Kasus ini dimuat dalam HukumOnline.com pada 25 Februari 2014.
1.1.1. Orisinalitas
Penelitian ini merupakan penelitian yang masih orisinal. Hal tersebut dapat
dibuktikan dengan tidak ditemukannya penelitian yang membahas mengenai
efektivitas pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial di kawasan Kecataman
Selopampang, Temanggung, Jawa Tengah. Namun, sebagai komparasi telah ada
beberapa penelitian yang berkaitan dengan program-program bantuan jaminan
sosial di wilayah lain. Penelitian sebelumnya telah dilakukan sebagaimana dibahas
berikut ini.
Penelitian yang berjudul ‘Pengaruh kualitas pelayanan terhadap loyalitas
Melalui Kepuasan Pasien Pengguna BPJS di Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi’
(Fitriani, 2014) menunjukkan hasil bahwa pihak rumah sakit dapat meningkatkan
kualitas pelayanan yang diwujudkan dengan lima dimensi, yaitu kualitas pelayanan
dan perlakuan yang sama terhadap pasienya, memberikan kepercayaan dalam
pekerjaan yang dilakukan oleh tenaga medis maupun non medis serta mendukung
ketersediaan sumber daya yang memadai.Selain itu kualitas pelayanan juga dapat
ditingkatkan dengan memberikan perhatian dan kepedulian yang tulus dari petugas
kesehatan terhadap pasien. Dari penelitian ini, dapat terlihat bahwa BPJS dilihat
dari pelayanan rumah sakitnya.
Penelitian tentang ‘Formulasi Kebijakan Integrasi Jaminan Kesehatan
Daerah ke Sistem Jaminan Kesehatan Nasional Menuju Universal Health
Coverage’ (Supriyanto, 2014). Hasil dari penelitian ini adalah terdapat 2.558.490
3
3
peserta usulan daerah (2,96% dari 86.400.000 penerima Jamkesmas/PBI –
Penerima Bantuan Iuran) dari 251 kabupaten/kota dari 31 provinsi yang tidak tepat
sasaran. Hal ini terutama karena penetapan peserta dilakukan sentralistik dan
kurang memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menetapkan
masyarakat di daerahnya yang memenuhi syarat sebagai PBI. Dalam penelitian ini,
peneliti hanya meneliti berapa jumlah penerima yang menjadi peserta PBI dan non
PBI.
Penelitian yang berjudul ‘Pelayanan Pemeliharaan Kesehatan Bagi
Pekerja/Buruh Oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan’ (Wijoyo,
2014). Penelitian ini menemukan bahwa hambatan-hambatan pada Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) dalam upaya
pelayanan kesehatan adalah: (1) Berupa keterlambatan regulasi dari pemerintah
dalam membuat peraturan yang dalam pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN) yang akan dituangkan dalam Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden.
(2) Pelaksanaan jaminan kesehatan yang menjadi salah satu hambatan upaya dalam
pelayanan kesehatan pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dimana
hambatan ini karena kurangnya sosialisasi yang dilakukan. (3) Kurangnya fasilitas
dan tenaga kesehatan masih minim, terutama pada unit layanan tingkat I seperti
klinik dan puskesmas. Dalam penelitian ini dapat diketahui kelemahan dari BPJS
kesehatan, peneliti lebih menonjolkan kelebihan serta kekurangan yang didapatkan
dalam proses penelitian.
Penelitian yang berjudul ‘Analisis Implementasi Jaminan Kesehatan
Nasional di Rumah Sakit Umum Kota Tangerang’ (Putra, 2014). Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa penyelenggaraan JKN sudah menuhi syarat strandar yang
4
4
diberikan pemerintah, terrlihat pula dari respon masyarakat. Tetapi ada pula
kendalanya yaitu, pencairan klaim yang lambat, teknologi yang kurang memadai
dalam mengakses informasi tentang JKN, kurangnya SDM di bagian pelayanan
JKN pada rumah sakit.Dari beberapa penelitian tersebut terlihat bahwa fokus dari
penelitian ini belum pernah dilakukan oleh peneliti lain. Relevansi dengan PSDK
1.1.2. Relevansi Dengan PSdK
Studi Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan merupakan studi terapan
yang mengkaji masalah-masalah sosial dan cara mengatasinya dalam upaya untuk
menciptakan hubungan yang serasi antara kebutuhan hidup dan sumber-sumber
pemenuhan kebutuhan yang tersedia. Kebijakan sosial sendiri merupakan salah
satu kajian dalam Studi Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan karena melalui
kebijakan sosial, pemerintah berusaha menyelaraskan antara berbagai kebutuhan
sosial dengan sumber daya yang ada. Pada pembahasan Pembangunan Kesehatan
Masyarakat Desa atau sering disebut pula PKMD, terungkap adanya permasalahan
yang perlu dipecahkan berkaitan dengan kesehatan masyarakat. Permasalahan
tersebut muncul akibat adanya penyakit menular, serta keadaan sanitasi dengan
lingkungan yang kurang baik.
Pembahasan yang telah dilakukan dalam PKMD memberikan pengertian
akan pentingnya kesehatan bagi masyarakat, khususnya masyarakat desa.
Kesehatan menjadi bagian penting karena merupakan hal yang paling utama dalam
menjalankan segala aktifitas baik diluar maupun di dalam rumah. Sehingga,
kebutuhan kesehatan akan sangat dibutuhkan oleh masyarakat dalam proses
pembangunan desa maupun dalam proses pembangunan sebuah negara
berkembang.
5
5
Program BPJS Kesehatan merupakan salah satu wujud konkret kebijakan
sosial di bidang kesehatan yang telah diimplementasikan oleh Pemerintah.
Kebijakan ini bertujuan untuk membantu masyarakat yang kurang mampu secara
ekonomi agar dapat memperoleh sarana kesehatan yang layak dengan mudah.
Terpenuhinya kebutuhan masyarakat terhadap sarana kesehatan melalui program
ini diharapkan dapat mencegah serta mengurangi timbulnya berbagai permasalahan
kesehatan yang diakibatkan oleh rendahnya tingkat kesehatan masyarakat dan
sulitnya memperoleh pelayanan kesehatan yang layak bagi masyarakat yang kurang
mampu secara ekonomi. Selain itu, Program BPJS Kesehatan ini juga bertujuan
untuk mendorong peningkatan kualitas pembangunan sosial dan tingkat
kesejahteraan masayarakat kurang mampu khususnya di wilayah-wilayah yang
terpencil jauh dari pusat kota dan pusat kesehatan. Dengan demikian, isu mengenai
pengimplementasian Program BPJS Kesehatan memiliki relevansi yang jelas
dengan Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan.
1.1.3. Aktualitas
Jaminan sosial yang sudah ada sejak tahun 1960 ini menjadi pertanyaan
berbagai kalangan karena sistem penyelenggaraannya yang berubah-ubah.
Berbagai pihak mempertanyakan perbedaan apa yang muncul antara program
jaminan sosial yang satu dengan yang lainnya. Perubahan nama yang terjadi sejak
tahun 1960 sampai pada tahun 2014 lalu yaitu BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial) ini adalah salah satu kebijakan yang masih simpang-siur penggunaannya
dengan KIS (Kartu Indonesia Sehat) yang diluncurkan oleh presiden yang baru
yaitu Presiden Jokowi pada tahun 2015. Bagaimana dengan BPJS yang sampai saat
ini masih banyak permasalahan khususnya dalam masyarakat? Dinamika yang
6
6
terjadi dalam proses implementasi BPJS merupakan isu yang aktual untuk dijadikan
pembahasan dalam suatu penelitian. Hal tersebut disebabkan karena implementasi
Program BPJS baru berlangsung selama satu tahun semenjak diberlakukan mulai
tanggal 1 Januari 2014.
Selama proses implementasi BPJS berlangsung, timbul berbagai macam
dinamika baik pada level struktural maupun aktor. Pada level struktural, dinamika
yang terjadi adalah masih banyaknya kelalaian sistem yang ada dalam pengawasan
proses administrasi hingga pelaksanaan program BPJS Kesehatan. Pada level aktor,
dinamika yang terjadi adalah berkaitan dengan bagaimana masyarakat
menggunakan fasilitas jaminan sosial tersebut. Pasalnya, pelayanan yang diberikan
serta sosialisasi dari pemerintah pun kurang memadai dan dapat menimbulkan
penyalahgunaan fasilitas dari program BPJS diberikan dan digunakan tidak
sebagaimana mestinya.
1.2. Latar Belakang
Pembangunan sebuah negara tidak terlepas dari hal yang disebut dengan
jaminan sosial, yang salah satunya berbentuk. Asuransi ini meliputi beberapa hal
seperti assuransi kecelakaan kerja, asuransi pensiun, asuransi jiwa, dan sebagainya.
Jaminan sosial ini sudah diterapkan oleh banyak negara, baik negara maju seperti
Amerika, Inggris, Jerman, Australia dan negara-negara Skandinavia; maupun
negara berkembang seperti Thailand, Malaysia, dan Philippina. Di Amerika,
penduduk kewarganegaraan Amerika harus mempunyai asuransi jiwa, terutama
untuk asuransi kesehatan. Seluruh warga negara mendapatkanya, tidak terkecuali,
termasuk pula warga negara yang tidak bekerja atau pengangguran. Sistem
pembayaranya serta cara mengaksesnya pun terbilang mudah dan tidak membebani
7
7
warga negara sebagai pengguna jaminan sosial negara. Hal ini saat ini juga berlaku
di Indonesia, yang sebenarnya sudah dikembangkan sejak tahun 1960.
Jaminan sosial di Indonesia sudah sejak ada dari tahun 1960 dengan adanya
Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No 865 tahun 1960 yang memperkenalkan
program pemeliharaan kesehatan yang disebut "Jakarta Pilot Project" di Jakarta.
Menteri Kesehatan Prof. Dr. G.A Siwabessy membentuk Badan Penyelenggara
Dana Pemeliharaan Kesehatan (BPDPK) yang berada di Departemen Kesehatan
untuk mengelola asuransi kesehatan pegawai negeri. Menteri Tenaga Kerja
Awaloedin Djamin membentuk Tim Kerja Kesejahteraan Pegawai Negeri
(TKKPN). Keppres No 122 tahun 1968 menetapkan potongan gaji pegawai negeri
sebesar 5% untuk membiayai pemeliharaan kesehatan. Pada tahun 1971 Perpres No
8 tahun 1977 menetapkan iuran sebesar 2% gaji pokok berlaku kepada pegawai
aktif dan pensiunan. Sistem kapitasi mulai diperkenalkan di puskesmas Jakarta.
BPDPK membatasi jumlah anak yang ditanggung sebanyak 3 orang. Jaminan sosial
ini berjalan hingga tahun 1980. Pada tahun 1981 jaminan sosial yang diberikan PP
No 22 dan 23 tahun 1984 menetapkan pengelolaan asuransi kesehatan PNS
dipisahkan dari Departemen Kesehatan. BPDBPK berubah menjadi perusahaan
umum Husada Bahakti atau disingkat Perum PHB. Dan sistem ini berlaku hingga
1990.
Pada tahun 1991 hingga tahun 2000 Perum PHB ditingkatkan
keleluasaannya menjadi PT Asuransi Kesehatan Persero atau PT Askes melalui PP
No 6 tahun 1992. UU No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan mewajibkan
Pemerintah menyelenggarakan program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
Masyarakat (JPKM). Permenkes No 571 Tahun 1993 mengatur agar Pemerintah
8
8
menyelenggarakan JPKM. Kepmenkes No 1122 Tahun 1994 mengatur pemberian
tanda pengenal bagi keluarga miskin dalam bentuk kartu Sehat untuk berobat ke
Puskesmas. Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dapat digunakan untuk
pengobatan ke fasilitas pelayanan kesehatan milik pemerintah. Pengembangan
dokter keluarga dalam penyelenggaraan Program JPKM Berdasarkan KepMenkes
No 56 Tahun 1996. Pemerintah mengembangkan program Jaring Pengaman Sosial
Bidang Kesehatan (JPS-BK) (Hadi Setia 2015).
Pada tahun 2000 hingga 2014 sistem jaminan sosial berganti-ganti nama
dari JAMSOSTEK hingga menjadi BPJS Kesehatan. Berdasarkan Kepmenkes No
781 tahun 2003, No 1099 tahun 2003 dan No 1141 tahun 2003 pemerintah
melaksanakan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Keluarga Miskin (JPK Gakin) di
3 provinsi dan 13 kabupaten. Pemerintah mengesahkan UU No 40 Tahun 2004
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Pemerintah membentuk UU No
24 Tahun 2011 tentang Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS). Implementasi
Jaminan Kesehatan Nasional melalui UU SJSN PT Askes dibubarkan diganti
dengan BPJS Kesehatan mulai beroperasi mulai 1 Januari 2014.
Indonesia merupakan negara berkembang yang sedang melakukan proses
pemenuhan kebutuhan serta peningkatan kesejahteraan warga negaranya.
Pembangunan negara merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan oleh
setiap negara. Beberapa cara yang dilakukan antara lain berupa pengentasan
kemiskinan. Kemiskinan dipahami sebagai keadaaan kekurangan untuk menjamin
kelangsungan hidup. Kemiskinan adalah apabila pendapatan suatu komunitas
berada dibawah satu garis kemiskinan tertentu. Kemiskinan juga berarti kekurangan
kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan
9
9
ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat yang layak
(Kurniawan 2004:40). Hidup miskin bukan hanya kekurangan uang, serta tingkat
pendapatan rendah, tetapi juga banyak hal seperti : tingkat pendidikan rendah,
tingkat kesehatan rendah, perlakukan tidak adil dalam hukum, ketentraman
terhadap ancaman kriminal maupun ketidak berdayaan dalam menemukan jalan
hidupnya.Kemiskinan telah membatasi warga negara dalam mengkases beberapa
fasilitas negara seperti memperoleh perlindungan hukum, memperoleh rasa aman,
memperoleh akses kebutuhan hidup, mengakses fasilitas pendidikan, mengakses
fasilitas kesehatan, dan sebagainya. Berdasarkan Badan Pusat Satistik (BPS) pada
bulan Maret 2015, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per
kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia mencapai 28,59 juta
orang (11,22 persen), bertambah sebesar 0,86 juta orang dibandingkan dengan
kondisi September 2014 yang sebesar 27,73 juta orang (10,96 persen). Persentase
penduduk miskin di daerah perkotaan pada September 2014 sebesar 8,16 persen,
naik menjadi 8,29 persen pada Maret 2015. Sementara persentase penduduk miskin
di daerah perdesaan naik dari 13,76 persen pada September 2014 menjadi 14,21
persen pada Maret 2015.
Angka-angka tersebut mengindikasikan bahwa program-program yang
dikeluarkan oleh pemerintah dalam upaya pengentasan kemiskinan belum berhasil.
Beberapa pihak membuat indikator-indikator kemiskinan,salah satunya adalah
BKKBN. Penentuan indikator kemiskinan, BKKBN lebih melihat dari sisi
kesejahteraanya. Unit survey yang digunakan pun adalah keluarga bukan rumah
tangga seperti yang dilakukan oleh BPS. Dalam BKKBN pertahapan keluarga
sejahtera dibagi menjadi lima tahap yaitu, keluarga pra-sejahtera, keluarta sejahtera
10
10
I (miskin), keluarga pra-sejahteran II, Keluarga pra-sejahtera III, dan tahapan
keluarga pra-sejahtera III plus. Indikator yang dikeluarkan oleh BKKBN belumlah
mencangkup tentang pemenuhan nutrisi atau gizi anak.
Pada saat ini pemerintah Indonesia sedang menjalankan proses
pembangunan agar mencapai standar internasional dalam pemenuhan kebutuhan
masyarakatnya melalui standar MDGs. Dalam Millenieum Developemnt Goals
(MDGs) 2000, para pemimpin dunia sepakat bahwa proporsi anak balita kurang
gizi atau berberat badan rendah merupakan salah satu indikator kemiskinan
(Khomsa, 2006). MDGs membahas beberapa hal yang harus dipenuhi dalam
pengentasan kemiskinan di dunia, dan terutama di negara Indonesia, yaitu :
menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, mencapai pendidikan dasar untuk
semua, serta mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan., Selain
itu, MDGs mendorong adanya upaya untuk menurunkan angka kematian anak,
meningkatkan kesehatan ibu, memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit
menular lainya, memastikan kelestarian hidup, serta mengembangkan kemitraan
global untuk pembangunan.
Konsep MDGs yang berlaku pada saat ini telah digantikan oleh SDGs yaitu
Sustainable Development Goals. Indonesia sekarang sedang menjalankan hal-hal
tersebut. Terbukti dengan adanya kebijakan-kebijakan sosial yang dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan hidup warga negaranya terutama untuk warga negara yang
berada di garis kemiskinan. Salah satu hal yang mendasari dari segala kebijakan
adalah pemenuhan kebutuhan kesehatan bagi warga negara. Pada SDGs,
melanjutkan konsep pembangunan Millenium Development Goals (MDGs) dimana
konsep itu sudah berakhir pada tahun 2015. Jadi, kerangka pembangunan yang
11
11
berkaitan dengan perubahan situasi dunia yang semula menggunakan konsep
MGDs sekarang diganti SDGs. Berbeda dengan MDGs, SDGs menyajikan tujuh
belas standar kebutuhan manusia dalam proses pemenuhan kesejahteraanya dengan
salah satunya dalah pemenuhan akan kesehatan bagi masyarakat. Dalam
perjalanannya, Indonesia telah membuat kebijakan mengenai kesehatan yang
dilakukan pada tahun 1960. Pemerintah mengeluarkan sistem jaminan sosial
kesehatan bagi warga negaranya.
BPJS kesehatan dan BPJS ketenagakerjaan merupakan transformasi dari 4
BUMN penyelenggara jaminan sosial yaitu, PT ASKES, PT JAMSOSTEK, PT
TASPEN, dan PT ASABRI. Transformasi formasi BPJS tersebut kelembagaan
harus sudah selesai pada 1 April 2014 dan operasionalnya harus sudah mulai pada
bulan April 2014, sedangkan untuk BPJS ketenagakerjaan mulai beroperasi pada
bulan Juli 2015. Transformasi BPJS harus dilakukan dengan prinsip sebagai
berikut: tidak boleh ada pemutusan hubungan kerja dan tidak boleh ada
penghilangan hak-hak normatif dari karyawan ke-4 BUMN, tidak boleh merugikan
peserta lama yang mengikuti program di 4 BUMN, tidak boleh ada program
terhadap peserta lama yang stagnan atau terhenti, satu peserta hanya membayar
sekali untuk setiap program. Selain itu ada kepastian investasi dalam 4 BUMN yang
saat ini sedang berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, proses
pengalihan aset dari 4 BUMN kepada aset BPJS dan aset dana jaminan sosial
dilakukan dengan prinsip kehati-hatian.
Pelaksanaan program BPJS menjadi isu yang sedang hangat untuk
dibicarakan terutama pada BPJS Kesehatan. Sistem yang diberlakukan oleh
pemerintah dalam sistem BPJS kesehatan adalah isu yang sangat penting untuk
12
12
dibahas. Penerapan program BPJS ini menjadikan permasalahan baru dalam upaya
pembangunan negara Indonesia. Data yang didapatkan menunjukkan bahwa angka
kemiskinan di pedesaan tidaklah berkurang secara signifikan, salah satu
indikatornya pun menunjukkan bahwa kebutuhan akan kesehatan juga penting
untuk diperhatikan. Jaminan sosial yang dirumuskan dalam UU SJSN adalah
jaminan kesehatan yang diselenggarakan secara nasional berdasar prinsip asuransi
sosial dan prinsip ekuitas atau kesamaan dalam memperoleh pelayanan sesuai
dengan kebutuhan medis. Masyarakat pun tidak terikat pada besar iuran yang
diambil dari satu sumber, tanpa harus memperhatikan besaran iuran atau besaran
upah masing-masing pengiur tanpa memperhatikan tempat tinggal pengiur,
sebagaimana diatur dalam pasal 19 ayat 1 UU SJSN. Keberadaan jaminan sosial
sudah diatur pada UU negara, maka jaminan sosial merupakan hal yang penting
pula untuk diperhatikan.
Sebagaimana telah disebutkan di awal, penerapan BPJS Kesehatan ini tidak
sedikit menimbulkan konflik, terutama di daerah-daerah yang terbilang jauh dari
pusat pemerintahan atau kota. Selain terjadi di daerah Lampung sebagaimana
dibahas di depan, konflik implementasi BPJS juga terjadi di daerah Ngawi. Seorang
wanita berniat untuk menjual salah satu ginjalnya dalam memenuhi kebutuhan
berobat suaminya yang menderita stroke. Kasus tersebut, tiga rumah sakit menolak
untuk memberikan pengobatan terhadap suaminya tersebut, padahal mereka
merupakan salah satu peserta BPJS Kesehatan. Wanita yang bekerja sebagai petani
ini, sudah mencoba meminta bantuan kepada rumah sakit untuk mendapatkan
fasilitas kesehatan dari program BPJS Kesehatan tersebut, tetapi Ia tidak dilayani
sebagaimana mestinya, berita ini dimuat dalam SindoNews.com pada 19 September
13
13
2015. Kasus lain yang terjadi di daerah pedesaan pula, penduduk menganggap
bahwa pemberian bantuan berupa BPJS belum merata sampai ke penduduk desa,
serta persyaratan yang terbilang memberatkan calon peserta pula yang membuat
penduduk desa tidak memiliki kartu BPJS, yang dimuat pada SinduNews.com
tanggal 9 Oktober 2015. Kasus tersebut dapat menunjukkan bagaimana program
BPJS Kesehatan ini belum berjalan dengan baik dan menimbulkan konflik yang
sangat patut untuk diperhatikan.
Kasus lainya yaitu tentang sosialisasi program yang kurang menyebar dan
kurang dimengerti oleh masyarakat khususnya penduduk di daerah pedesaan.
Sosialisasi yang dilaksanakan hanya kepada tokoh atau pemuka desa saja, karena
melalui cara tersebut belum tentu efektif untuk masyarakat lainya. Pemberian
informasi akan lebih jelas ketika dari pihak BPJS yang menjelaskan langsung
kepada masyarakat sehingga, masyarakat pun akan dapat menanyakan apa yang
belum dimengerti. Pernah Disinggung apakah BPJS Kesehatan melakukan
sosialisasi terutama di daerah atau desa-desa melalui spanduk ataupun baliho, pihak
BPJS menjawab belum adanya kegiatan tersebut dan akan dilihat dengan anggaran
yang diberikan pada tahun 2016, berita ini dimuat dalam PojokPitu.com tanggal 24
Juni 2015. Hal ini menjadikan pusat perhatian bagi pemerintah dalam rangka untuk
memperbaiki sistem dari kebijakan sosial terutama dalam program BPJS
Kesehatan.
Kasus lain pun terjadi di Semarang, dalam BeritaJateng.net yang diunggah
pada tanggal 30 Maret 2016, anggota Komisi E DPRD Jateng, dari Fraksi Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) Jateng, Rusman menyebutkan bahwa pelayanan BPJS
Kesehatan di Jawa Tengah, masih banyak kesalahan serta kendala yang
14
14
mengakibatkan rakyat kecil tidak mendapat pelayanan yang maksimal. Salah satu
contoh, ada satu pasien di RS Moewardi yang terindikasi tumor ganas, namun
dipulangkan paksa. Padahal kondisinya sangat memprihatinkan, sebab harus ada
selang melalui hidungnya untuk memasukkan makanan. Bahkan setelahnya, pasien
tidak diperbolehkan menghubungi pihak RS Moewardi, dan hanya disuruh
menunggu telepon dari pihak RS. Pelayanan kesehatan yang kurang baik
menyebabkan program BPJS Kesehatan ini mejadi tidak efektif.
1.3. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang di atas, maka permasalahan dalam
penelitian ini adalah bagaimana efektivitas pelayanan BPJS Kesehatan dalam
pemenuhan kebutuhan kesehatan masyarakat ?
1.4. Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Substansial
Untuk mengetahui efektivitas pelayanan Badan penyelenggara jaminan
sosial kesehatan dalam mewujudkan pemenuhan kebutuhan kesehatan sebagai
upaya peningkatan kualitas hidup masyarakat.
1.4.2 Tujuan Operasional
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi
pengembangan studi Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan,
khususnya pada konsentrasi Kebijakan Sosial yang menangani
permasalahan di bidang kesehatan.
Penelitian ini dilakukan untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan
di Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
15
15
Penelitian ini diharapkan juga menjadi acuan untuk penelitian
selanjutnya.
1.5. Manfaat Penelitian
Secara substansial, penelitian ini dapat menjadi referensi untuk
mengetahui efektivitas pelayanan BPJS Kesehatan dalam
mewujudkan pemenuhan kebutuhan kesehatan masyarakat di
kecamatan selopampang, temanggung, jawa tengah.
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk sumbangsih
pemikiran dan referensi yang bisa digunakan bagi penelitian
selanjutnya.
Penelitian ini bermanfaat menambah pengetahuan tentang efektivitas
pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan
Penelitian ini bermanfaat sebagai data yang dapat digunakan sebagai
referensi dalam mempertimbangkan perumusan kebijakan sosial di
bidang kesehatan.
1.6. Landasan Teori
Fokus penelitian ini mengenai efektivitas pelayanan BPJS Kesehatan dalam
mewujudkan pemenuhan kesehatan masyarakat. Abdurahmat dalam Othenk (2008:
7), efektivitas adalah pemanfaatan sumber daya, sarana dan prasarana dalam jumlah
tertentu yang secara sadar ditetapkan sebelumnya untuk menghasilkan sejumlah
pekerjaan tepat pada waktunya. Dapat disimpulkan bahwa efektivitas berkaitan
dengan terlaksananya semua tugas pokok, tercapainya tujuan, ketepatan waktu, dan
partisipasi aktif dari anggota serta merupakan keterkaitan antara tujuan dan hasil
yang dinyatakan, dan menunjukan derajat kesesuaian antara tujuan yang dinyatakan
16
16
dengan hasil yang dicapai. Pengertian efektifitas menurut Susanto: “Efektivitas
merupakan daya pesan untuk mempengaruhi atau tingkat kemampuan pesan-pesan
untuk mempengaruhi” (Susanto dalam Othenk : 2008). Menurut pengertian Susanto
tersebut, efektivitas bisa diartikan sebagai suatu pengukuran akan tercapainya
tujuan yang telah direncanakan sebelumnya secara matang agar hasil yang
diharapkan dapat berjalan dengan baik.
Menurut Edi (2012:86) pengertian efektifitas adalah sebagai berikut:
“Efektivitas adalah pemanfaatan sumber daya, sarana dan prasarana dalam jumlah
tertentu yang secara sadar ditetapkan sebelumnya untuk menghasilkan sejumlah
barang atas jasa kegiatan yang dijalankannya. Efektivitas menunjukkan
keberhasilan dari segi tercapai tidaknya sasaran yang telah ditetapkan. Jika hasil
kegiatan semakin mendekati sasaran, berarti makin tinggi efektivitasnya”.
Jadi, efektivitas implementasi yaitu ketercapaian tujuan dari suatu kebijakan
yang telah direncanakan dan telah dilaksanakan. Suatu implementasi kebijakan
dinyatakan efektif ketika tujuan dari kebijakan itu bisa diwujudkan. Sehubungan
dengan hal tersebut, maka efektivitas adalah menggambarkan seluruh siklus input,
proses dan output yang mengacu pada hasil guna daripada suatu program yang
menyatakan sejauh mana tujuan telah dicapai, serta ukuran berhasil tidaknya suatu
program mencapai tujuannya dan mencapai target-targetnya.
Penelitian ini menggunakan teori Steers yang menyatakan bahwa efektivitas
merupakan jangkauan usaha suatu program sebagai suatu sistem dengan sumber
daya dan sarana tertentu untuk memennuhi tujuan dan sasaranya tanpa
melumpuhkan cara dan sumber daya itu serta tanpa memberi tekanan yang tidak
wajar terhadap pelaksananya. Tangkilisan (2005:64) Steers mengemukakan lima
kriteria dalam pengukuran efektivitas organisasi, yaitu:
17
17
1. Produktivitas
2. Kemampuan adaptasi atau fleksibilitas
3. Kepuasan kerja
4. Kemampuan berlaba
5. Pencarian sumber daya
Penelitian ini menggunakan pengukur produktivitas serta kepuasan kerja
yang akan diukur melalui tanggapan informan serta permasalahan-permasalahan
yang ada pada saat proses penelitian berlangsung. Upaya dapat dikatakan efektif,
tepat tujuan dan berhasil guna jika sasaran/tujuan yang direncanakan ingin dicapai
dapat berhasil dengan target/rencana yang telah ditetapkan sebelum program
diberlakukan.
Pendekatan efektivitas dibagi menjadi dua yaitu (Tangkilisan, 2005 ) :
1. Pendekatan dari segi tujuan (the goal approach)
Pendekatan tujuan untuk menentukan dan mengevaluasi efektivitas
didasarkan pada gagasan bahwa organisai diciptakan sabagai alat untuk
mencapai tujuan. Organisasi dibentuk dengan maksud mencapai tujuan.
Efektivitas disini sebagai pencapaian sasaran yang telah disepakati.
Menurut Kerr dan Slocum (Tangkilisan, 2005) beberapa hal yang perlu
diketahui seseorang khususnya yang berhubungan dengan pencapaian
suatu tujuan adalah :
a) Sifat-sifat tugas yaitu tentang tugas apa yang harus dilakukan,
b) Metode kerja yaitu cara tugas itu dilakukan termasuk prosedur
kerjanya,
18
18
c) Kegagalan dan keberhasilan yaitu sejauhmana seseorang
mengetahui bahwa hasil kerjanya salah atau benar.
Organisasi pun menjadi hal penting dalam pembangunan negara.
Keberadaan BPJS dalam upaya pembangunan negara menjadi
organisasi yang penting di bidang pemenuhan kebutuhan kesehatan.
Pelayanan BPJS kesehatan merupakan salah satu cara yang diberikan
oleh BPJS dalam upaya pencapaian tujuan yang sudah direncanakan
sejak awal.
2. Pendekatan dari teori sistem
a) Menurut teori sistem, efektivitas organisasi dapat diukur melalui
tiga tahapan, yaitu :Jangka pendek
1) Produksi : menggambarkan kemampuan untuk
mempengaruhi jumlah dan mutu otput yang sesuai.
2) Efisien : konsep definisi sebagai angka perbandingan
antara output dan input.
3) Kepuasan : kepuasan dan semangat kerja menunjukkan
sampai seberapa jauh organisasi memenuhi kebutuhan
masyarakat/anggotanya.
b) Jangka panjang
1) Adaptasi : kemampuan adaptasi, seberapa jauh
organisasi dapat menanggapi perubahan internal dan
eksternal.
19
19
2) Pengembangan : usaha pengembangan yang biasanya
dilakukan adalah program pendekatan logis maupun
sosiologis.
c) Jangka panjang, maksud dari tahapan ini adalah, bagaimana
sebuah organisasi dapat bertahan dengan mengedepankan
kepentingan orang banyak terutama masyarakat atau anggota
yang ikut terlibat dalam setiap program yang diberikan oleh
organsisasi tersebut.
Melalui tahapan-tahapan yang telah disebutkan, BPJS dapat memberikan
efek yang lebih bagi masyarakat dalam upaya pemenuhan kebutuhan kesehatan
melalui layanan BPJS Kesehatan. Richard M. Steers menyatakan bahwa efektivitas
dinilai menurut ukuran sebagaimana sebuah organisasi berhasil mencapai tujuan
yang layak dicapai dan optimal. BPJS Kesehatan merupakan salah satu solusi
pemerintah dalam menangani masalah sosial dalam bidang kesehatan. Ketidak
berdayaan masyarakat tingkat desa dalam mengakses fasilitas kesehatan menjadi
hal yang sangat diperhatikan oleh pemerintah dalam mewujudkan masyarakat yang
sejahtera. BPJS Kesehatan menjadi alat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat
khususnya masyarakat yang berada di tingkat desa. Terpenuhi kebutuhan kesehatan
bagi seluruh warga negara menjadi bagian penting dalam sebuah pembangunan
negara, maka pemerintah pun seharusnya memperhatikan kelangsungan hidup
masyarakat terutama yang berada di daerah terpencil.
Peneliti menggunakan teori efektivitas yang dikemukakan oleh Steers,
karena teori yang dikeluarkan sangat mendukung dengan judul penelitian. Kriteria
pengukur efektivitas dari teori Steers ini menjadikan penelitian lebih terlihat
20
20
bagaimana peneliti memberi ukuran pelayanan yang efektif serta pelayanan yang
belum efektif. Efektivitas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan diukur
melalui:
1. Akses informasi kepersertaan BPJS Kesehatan
Berdasarkan Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan,
mengisyratkan bahwa setiap individu, keluarga dan mesyarakat berhak
memperoleh perlindungan terhadap kesehatan, dan Negara bertanggung jawab
mengatur agar terpenuhi hak hidup sehat bagi penduduknya termasuk bagi
masyarakat miskin dan tidak mampu. Upaya mewujudkan hak tersebut
pemerintah harus menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang merata, adil,
dan terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat. Salah satunya melalui BPJS
(Badan Penyelenggara Jaminan Sosial). Kepersertaan ini menjadi langkah awal
masyarakat dapat mengikuti program pelayanan kesehatan pemerintah. Tanpa
adanya proses kepersertaan ini, masyarakat tidak dapat ikut berpartisipasi
dalam program BPJS Kesehatan.
Informasi mengenai kepersertaan ini menjadi hal penting untuk
disampaikan oleh pihak pihak yang berwenang yaitu BPJS itu sendiri,
Puskesmas ataupun melalui perangkat desa. Penyampaian informasi ini pula
dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat pula terhadap program BPJS
Kesehatan. Kepersertaan ini menjadi salah satu bentuk pelayanan awal yang
akan dirasakan oleh masyarakat terutama pasa masyarakat yang ingin menjadi
peserta BPJS Kesehatan baik PBI maupun non PBI.
2. Pelayanan adiministrasi
21
21
Pelayanan administrasi mempengaruhi minat dari masyarakat untuk mejadi
peserta dalam program BPJS Kesehatan. Pelayanan administrasi ini pun
menunjukkan fokus pada aktor. Sesuai yang disebutkan oleh Steers bahwa
efektivitas program dapat dilihat dari aktor maka, dalam BPJS Kesehatan
peneliti pun juga akan melihat bagaimana pelayanan administrasi yang
dilakukan oleh aktor yang berada di puskesmas maupun di rumah sakit daerah.
Pelayanan ini merupakan pelayanan awal kepada masyarakat dalam mengakses
program BPJS Kesehatan dengan mudah.
Kegiatan administratif menjadi bagian penting sesuai dengan yang telah
tertulis dalam pasal 17 yang menjelaskan tentang tata cara pengenaan sanksi
administratif bagi pemberi kerja yang terlambat atau tidak membayar iuran.
Pasal 17 ayat 2 menjelaskan bahwa sanksi administratif dapat berupa teguran
tertulis; Denda; dan/atau; tidak mendapat pelayanan publik teretentu. Kegiatan
administratif yang dimaksud pada hal ini meliputi pembayaran iuran,
pelayanan puskesmas serta rumah sakit sebagai fasilitas kesehatan, serta
pelayanan yang diberikan BPJS Kesehatan secara langsung kepada peserta PBI
maupun non PBI.
Pelayanan administrasi menjadi salah satu standar untuk melihat efektivitas
pelayanan yang diberikan oleh BPJS Kesehatan terhadap pasien yang
merupakan anggota atau peserta dari BPJS itu sendiri. Melalui pelayanan
administrasi ini pun dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam
mengikuti program BPJS Kesehatan.
3. Pelayanan kesehatan
22
22
Pelayanan kesehatan merupakan salah satu hal yang mendasar dalam
pemenuhan kebutuhan kesehatan masyarakat. Pelayanan kesehatan ini
berkaitan dengan aktor-aktor pelaksanaan program yang berada di puskesmas
atau rumah sakit daerah. Pelayanan kesehatan yang baik merupakan pemicu
bagi BPJS dalam mencapai tujuanya. Program BPJS Kesehatan dapat
memberikan pengaruh yang baik bagi pemenuhan kebutuhan kesehatan pada
masyarakat khususnya masyarakat yang menengah kebawah. Pelayanan
kesehatan ini merupakan hal yang harus di perhatikan oleh pemerintah maupun
para aktor yang bergerak di bidangnya. Sesuai dengan konsep yang diberikan
oleh Steers yaitu penekanan pada aktor maka pelayanan ini menjadi salah satu
tolak ukur peneliti dalam meneliti efektivitas program BPJS Kesehatan.
Pelaksanaan pelayanan kesehatan dalam hal ini puskesmas maupun pihak
rumah sakit sebagai fasilitas kesehatan mempunyai peraturan-peraturan sendiri
yang khusus mengatur sistem pelayanan kesehatan yang wajib diberikan oleh
pasien sehingga pasien mendapatkan pelayanan yang baik dan benar dari
tenaga kesehatan yang ada di puskesmas maupun yang berada di rumah sakit.
Seperti yang ada dalam peraturan Permenkes 75 yang menjelaskan berbagai
hal mengenai pelayanan kesehatan yang baik dan benar dan wajib dilakukan
oleh tenaga kesehatan yang bekerja. Adanya pelayanan kesehatan menjadikan
salah satu indikator dalam penentuan efektivitas dari BPJS Kesehatan.
4. Ketersediaan sarana dan prasarana
Keseluruhan proses menggambarkan bagaimana program berjalan guna
mencapai tujuan yang telah dirumuskan. Ketersediaan sarana dan prasarana
menjadi hal utama dalam pemenuhan kebutuhan kesehatan masyarakat.
23
23
Pengelolaan sarana dan prasarana yang benar berarti telah satu langkah lebih
dekat untuk mencapai tujuan yang diharapkan dan secara tidak langsung akan
mempengaruhi efektivitas suatu program. Ketersediaan sarana dan prasarana
yang ada dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan merupakan hal yang perlu
diperhatikan. Ketersediaan kebutuhan alat serta obat yang ada di puskesmas
atau RSUD pun ikut andil dalam efektivitas kebijakan sosial yang betujuan
untuk memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat, terutama masyarakat yang
bertempat tinggal di daerah yang terpencil. Akses pun juga perlu diperhatikan
dalam pemenuhan kebutuhan kesehatan. Akses masyarakat dalam memenuhi
kebutuhan kesehatanya merupakan hal yang tak kalah pentingnya untuk
diperhatikan. Walaupun sekarang sudah memasuki jaman modern tetapi masih
ada pula wilayah yang tidak dapat mengakses sarana kesehatan dengan mudah.
Hal tersebut terjadi karena beberapa faktor seperti, jarak yang cukup jauh dari
tempat tinggal, keterbatasan kendaraan, dan sebagainya.
Pemenuhan sarana dan prasarana menjadi pelengkap adanya pelayanan
kesehatan serta pelayanan adminitrasi yang dilakukan. Sarana dan prasarana
yang baik serta memuaskan akan menjadikan pasien yang berobat merasakan
kepuasan dengan adanya sarana dan prasana yang tersedia di puskesmas
maupun di rumah sakit. Keadaan sarana dan prasarana yang baik dan dapat
digunakan oleh pasien atau konsumen yang ada di puskesmas maupun rumah
sakit pun dapat memberikan rasa puas bagi para pasien itu sendiri terutama bagi
pasien yang merupakan peserta BPJS Kesehatan baik PBI maupun non PBI.
Dalam Permenkes 75 pun dibahas pula bagaimana fasilitas kesehatan harus
menyediakan sarana dan prasarana yang baik serta tersedia sehingga pasien
24
24
dapat menggunakannya dengan baik pula sesuai kebutuhanya. Pemenuhan
sarana dan prasarana ini menjadi pemicu adanya partisipasi masyarakat dalam
mengakses pelayanan kesehatan di tingkat puskesmas maupun rumah sakit.
Partisipasi yang ada pun akan berdampak pada efektivitas pelayanan BPJS
Kesehatan baik di puskesmas maupun di rumah sakit. Rasa kepuasan pasien
terhadap ketersediaan sarana dan prasana menjadikan program ini salah satu
program yang dapat mendukung proses pembangunan negara.
5. Ketepatan pencapaian
Efektivitas suatu program dapat dilihat pada sejauh mana pencapaian hasil
terhadap rumusan tujuan program yang telah disepakati. Output yang
dihasilkan kepuasan masyarakat dalam mengakses fasilitas kesehatan negara
serta pencapaian tujuan utama dalam pembangunan negara terutama dalam
bidang kesehatan. Upaya pencapaian tujuan yang dilakukan oleh BPJS
merupakan salah satu hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah dan
masyarakat. Pencapaian tujuan BPJS akan dilihat bagaimana masyarakat
merespon kebijakan tersebut dan bagaimana masyarakat memberikan
apresiasinya dalam kebijakan pemerintah terutama dalam pemenuhan
kebutuhan kesehatan masyarakat. Semakin dekat hasil pencapaian program
dengan rumusan tujuan maka semakin tinggi pula tingkat efektivitasnya.
Output yang diberikan oleh BPJS pun dapat dirasakan oleh seluruh warga
negara, terutama warga yang tergolong menengah kebawah.
Ketepatan pencapaian yang dilakukan oleh BPJS Kesehatan mengacu
kepada tujuan awal terbentuknya jaminan sosial BPJS Kesehatan. Tujuan
tersebut pun tidak hanya berlaku untuk masyarakat saja, tetapi juga untuk
25
25
fasilitas kesehatan yang menjadi mitra dalam pelaksanaan program ini.
Pencapaian tujuan ini dibahas dalam buku undang-undang SJSN yang telah
menyebutkan beberapa ketentuan pencapaian tujuan sesuai dengan peraturan
yang ada. Adanya undang-undang yang mengatur berjalannya pelayanan BPJS
Kesehatan, efektivitas pelayanan dalam mencapai tujuan dapat menjadi hal
yang saling mendukung dalam proses berjalanya pelayanan program BPJS
Kesehatan ini.
6. Kebermanfaatan
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata manfaat diartikan sebagai
“guna, faedah, laba, untung”. Dengan demikian manfaat berdasarkan
pengertiannya masing-masing adalah guna faedah laba untung yang didapat
dari hasil mempraktikkan atau hasil kerja menerapkan apa yang sedang atau
sudah dikerjakan. Manfaat ini menunjukkan bagaimana program dapat berjalan
dengan baik sebagaimana mestinya terhadap masyarakat. Kebermanfaatan ini
sesuai dengan konsep yang disampaikan oleh Steers bahwa sistem berkaitan
dengan lingkungan luar. Lingkungan luar yang dimaksudkan adalah
masyarakat penerima program BPJS Kesehatan. Melalui kebermanfaatan
efektivitas program BPJS Kesehatan dapat dinilai atau dilihat dari persepktif
masyarakat maupun aktor dari organisasi tersebut, yaitu BPJS.
Menurut visi dan misi yang dikeluarkan oleh BPJS Kesehatan, pelayanan
yang diberikan ini tidak hanya semata untuk tenaga kesehatan saja tetapi untuk
kembali pada masyarakat dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhan
kesehatannya dalam upaya pencapaian kesejahteraan masyarakat itu sendiri.
Keberadaan visi dan misis yang sudah dikeluarkan melalui website serta
26
26
sosialisasi terhadap masyarakat menunjukkan bahwa BPJS Kesehatan
berusaha memberikan manfaat yang lebih terhadap pasien yang sudah menjadi
peserta BPJS Kesehatan baik PBI maupun non PBI. Dalam hal ini efektivitas
program dapat dilihat melalui respon masyarakat dengan adanya BPJS
Kesehatan di dalam kehidupannya terutama dalam memenuhi standar
kesejahteraan dari masyarakat itu sendiri.
Kebutuhan masyarakat akan pemenuhan kesejahteraanya melalui bidang
kesehatan memberikan peluang bagi pemerintah saat ini untuk memperbaiki sistem
jaminan sosial yang ada sebelumnya sehingga dapat berjalan lebih baik lagi.
Pelaksanaan BPJS Kesehatan menjadi hal penting dalam upaya pembangunan
negara Indonesia. Keberadaan jaminan sosial kesehatan ini memberikan
kemudahan bagi masyarakat untuk mengakses pelayanan kesehatan dengan biaya
yang tidak besar serta dapat mengakses segala bentuk pelayanan kesehatan baik di
puskesmas maupun rumah sakit. Efektivitas BPJS Kesehatan dapat dilihat melalui
pelayanan administrasi, pelayanan kesehatan, sarana dan prasarana, ketepatan
tujuan serta kebermanfaatan yang dirasakan oleh peserta BPJS Kesehatan baik
peserta PBI maupun non PBI. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode
kualitatif deskriptif-analisis yang akan dibahas dalam bab II, untuk melihat
efektivitas BPJS Kesehatan di wilayah Kecamatan Selopampang, Temanggung.