BAB I Pendahuluan 1 -...

25
1 BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Tesis ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana keterlibatan media dalam aksi-aksi diplomasi kemanusian. Kajian media sebagai aktor yang berpengaruh dalam studi Hubungan Internasional maupun dalam diplomasi kemanusiaan memang masih belum terlalu banyak. Studi Hubungan Internasional cukup didominasi dengan elaborasi tentang negara sebagai aktor utama (Jackson & Sorensen, 2005). Akan tetapi dalam perkembangannya aktor-aktor non-negara juga mendapat tempat dalam kajian hubungan internasional, termasuk media massa. Salah satu kajian hubungan internasional yang cukup terkemuka dalam membahas pengaruh media terhadap kebijakan negara adalah The CNN effect. The CNN effect didefinisikan sebagai dampak dari media global baru terhadap diplomasi dan kebijakan luar negeri (Bahador, 2007). Hal ini merujuk pada kejadian Perang Teluk pada tahun 1991. Cable News Network (CNN) menjadi satu-satunya media Amerika Serikat yang memberitakan Perang Teluk di masa awal perang, sementara stasiun televisi Amerika Serikat yang lain seperti American Broadcasting Company (ABC) dan the National Broadcasting Company (NBC) yang mengandalkan jaringan telekomunikasi Irak dirusak. Selama dua minggu pada awal perang Teluk, CNN menjadi satu- satunya media siar Amerika Serikat yang menyiarkan dari Irak. CNN yang pada saat itu menyiarkan berita selama 24 jam memberikan dampak bagi kebijakan luar negeri Amerika Serikat terkait Perang Teluk. Salah satunya terkait dengan pendirian „Safe Haven’ bagi pengungsi Kurdi dianggap merupakan salah satu dampak dari pencitraan media tentang penderitaan pengungsi (Shaw, 1993).

Transcript of BAB I Pendahuluan 1 -...

1

BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Tesis ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana keterlibatan media dalam aksi-aksi

diplomasi kemanusian. Kajian media sebagai aktor yang berpengaruh dalam studi Hubungan

Internasional maupun dalam diplomasi kemanusiaan memang masih belum terlalu banyak. Studi

Hubungan Internasional cukup didominasi dengan elaborasi tentang negara sebagai aktor utama

(Jackson & Sorensen, 2005). Akan tetapi dalam perkembangannya aktor-aktor non-negara juga

mendapat tempat dalam kajian hubungan internasional, termasuk media massa.

Salah satu kajian hubungan internasional yang cukup terkemuka dalam membahas

pengaruh media terhadap kebijakan negara adalah The CNN effect. The CNN effect didefinisikan

sebagai dampak dari media global baru terhadap diplomasi dan kebijakan luar negeri (Bahador,

2007). Hal ini merujuk pada kejadian Perang Teluk pada tahun 1991. Cable News Network

(CNN) menjadi satu-satunya media Amerika Serikat yang memberitakan Perang Teluk di masa

awal perang, sementara stasiun televisi Amerika Serikat yang lain seperti American Broadcasting

Company (ABC) dan the National Broadcasting Company (NBC) yang mengandalkan jaringan

telekomunikasi Irak dirusak. Selama dua minggu pada awal perang Teluk, CNN menjadi satu-

satunya media siar Amerika Serikat yang menyiarkan dari Irak. CNN yang pada saat itu

menyiarkan berita selama 24 jam memberikan dampak bagi kebijakan luar negeri Amerika

Serikat terkait Perang Teluk. Salah satunya terkait dengan pendirian „Safe Haven’ bagi

pengungsi Kurdi dianggap merupakan salah satu dampak dari pencitraan media tentang

penderitaan pengungsi (Shaw, 1993).

2

Sejak itu, penelitian tentang pengaruh media terhadap kebijakan luar negeri terus

berkembang, khususnya tentang kebijakan intervensi kemanusian (humanitarian intervention).

Tujuan utama dari penelitian tentang the CNN effect adalah untuk mengetahui tingkat pengaruh

media terhadap pengambil kebijakan untuk perlu tidaknya melakukan intervensi saat adanya

krisis kemanusiaan. Salah satunya caranya adalah dengan melakukan riset berbasis interview

terhadap pengambil kebijakan (Robinson, 2002).

Dalam tesis ini penulis juga ingin melakukan hal yang senada yakni kajian tentang

diplomasi kemanusian, hanya saja lingkupnya lebih kecil yakni konteks dalam negeri. Penulis

ingin melihat bagaimana pemberitaan media bisa mengurangi penderitaan manusia pascabencana

alam. Dalam tesis ini, penulis menempatkan media sebagai salah satu aktor diplomasi

kemanusiaan yang didasarkan pada definisi diplomasi kemanusian sebagai upaya untuk

mengurangi penderitaan manusia saat krisis kemanusiaan terjadi (Minear & Smith, 2007).

Tesis ini ingin melihat bagaimana pemberitaan media terkait bencana memengaruhi

kebijakan pemerintah dalam rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana. Media mempunyai

kemampuan untuk membentuk opini publik. Opini publik merupakan tindakan komunikasi yang

membawa persoalan kepada orang – orang dengan harapan akan memperoleh tanggapan atau

umpan balik. Media menjadi sarana untuk menarik perhatian publik sehingga menjadi agenda

pemerintah. Rogers dan Dearing mengambarkannya dengan penentuan agenda (agenda setting)

(Parsons, 2011). Mereka menjelaskan agenda media memengaruhi agenda publik, selanjutnya

agenda publik akan memengaruhi agenda kebijakan.

Dalam menyampaikan agendanya media massa menggunakan banyak cara, salah satunya

adalah framing atau pembingkaian dalam pemberitaannya. Framing didefinisikan sebagai suatu

3

proses seleksi dari berbagai aspek, sehingga bagian tertentu dari peristiwa tersebut lebih

menonjol dibandingkan yang lain (Entman,1993).

Untuk bisa mengetahuinya, penulis mengambil salah satu media yakni koran Kompas,

salah satu media nasional terbesar di Indonesia. Penulis memilih Kompas dibandingkan koran

lain karena media tersebut berskala nasional, dan kebijakan dalam penanganan pascaerupsi

Merapi juga bersifat nasional yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat. Koran berskala nasional

lebih memiliki kemampuan untuk menjadikan isu atau kejadian yang terjadi di daerah mendapat

perhatian di skala nasional mengingat oplah dan penyebarannya yang cukup banyak, termasuk di

kalangan pemerintah pusat. Hal tersebut membantu penulis untuk bisa memastikan bahwa

pengambil kebijakan di pemerintah pusat menyoroti persoalan erupsi Merapi yang terjadi di

Yogyakarta lewat koran nasional, yang lebih mudah didapatkan di ibukota daripada koran daerah

yang hanya ada di Yogyakarta. Dalam penelitian ini koran nasional yang dimaksud adalah koran

Kompas. Kompas dipilih karena koran tersebut menjadikan kemanusiaan sebagai prinsip dari

dapur redaksi (Sularto,2011). Media yang memiliki oplah 480.000 hingga 580.000 eksemplar

tersebut juga dianggap punya andil besar dalam mewartakan perihal kebencanaan. Kompas

menerima penghargaan di bidang kebencanaan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana

(BNPB) pada tahun 2012 (Kompas.com,2012).

Dalam penelitian ini, penulis akan melihat bagaimana pemberitaan Kompas

pascabencana erupsi Merapi tahun 2010. Sekilas penulis melihat Kompas memberitakan keadaan

masyarakat Merapi yang kehilangan salah satu mata pencarian utama mereka yakni ternak sapi

saat erupsi Merapi terjadi pada akhir Oktober 2010. Kompas menyorot salah satu aspek

kerentanan (vulnerability) masyarakat Merapi yakni terputusnya akses terhadap ekonomi.

Kompas menekankan kalau hanya sapi-sapi tersebut dan lahan pertanian saja yang bisa menjadi

4

penghasilan utama yang dimiliki masyarakat di lereng Merapi. Ketiadaan akses terhadap

ekonomi khususnya pascabencana merupakan salah satu kerentanan yang bisa memperburuk

keadaan. Oleh karena itu, dalam program rehabilitasi dan rekonstruksi, pemerintah harus

memperhatikan akses ekonomi tersebut.

Kepala Pusat Data dan Informasi BNPB Sutopo Purwo Nugroho dalam wawancara awal

dengan penulis pada Juni 2014 menyampaikan bahwa media mempunyai andil dalam

memengaruhi kebijakan terkait rehabilitasi dan rekonstruksi yang dilakukan BNPB. Sutopo

menyampaikan laporan Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) kerap tidak

lengkap, sehingga pemberitaan dari media menjadi informasi tambahan bagi BNPB. Bahkan

media kerap menjadi informan awal bagi BNPB dalam pemberitaan bencana. Setelah itu, BNPB

akan melakukan kroscek terhadap pemberitaan tersebut.

Salah satunya terkait persoalan terputusnya akses ekonomi warga akibat erupsi. Kompas

termasuk salah satu media yang secara terus-menerus memberitakan soal kematian sapi-sapi

warga yang merupakan sumber mata pencaharian warga. Setelah pemberitaan secara terus

menerus tersebut, pemerintah pusat mengeluarkan bantuan untuk penggantian sapi warga yang

mati. Sutopo mengatakan Kompas punya andil dalam memberitakan berita soal sapi yang

kemudian menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah untuk mengambil kebijakan bagi korban

erupsi Merapi.

Persoalan sapi, hanya salah satu bentuk kerentanan ekonomi pascaerupsi saja. Selain itu

masih banyak hal lain yang harus dilakukan pemerintah untuk mengurangi kerentanan

masyarakat di wilayah rawan bencana. Karena itu penulis ingin mengeksplorasi lebih lanjut

5

bagaimana framing harian kompas atas kerentanan masyarakat serta bagaimana pengaruh

pemberitaan di Kompas terhadap kebijakan rehabilitas dan rekonstruksi di Merapi.

1.2 Rumusan Masalah

a. Bagaimana framing Kompas terhadap kerentanan masyarakat lereng Gunung Merapi

pascaerupsi 2010 di Yogyakarta?

b. Bagaimana framing Kompas terkait kerentanan masyarakat lereng Gunung Merapi

memengaruhi kebijakan pemerintah Indonesia dalam hal rehabilitasi dan rekonstruksi

pascaerupsi 2010 di Yogyakarta?

1.3 Kajian Pustaka

“Jurnalisme Bencana Bencana Jurnalisme” yang ditulis oleh Ahmad Arif (2010)

membahas bagaimana wartawan melakukan peliputan di lokasi bencana. Buku ini memang

secara spesifik membahas tentang peliputan bencana Tsunami Aceh di tahun 2004 dan data juga

didapat dari pengalaman sejumlah wartawan. Beberapa diantaranya terkait status wartawan yang

berlipat yakni menjadi korban, saksi, sekaligus pewarta bencana. Kesulitan yang dihadapi

wartawan saat terjun ke lapangan, etika saat melakukan wawancara dan dilema memuat foto

korban yang cukup ekstrim di media, kepelikan saat meliputi rekonstruksi dan rehabilitasi

pascabencana, dualisme peran sebagai pengawas dan pengontrol penanganan bencana

(watchdog) atau sebagai penyalur bantuan (fund raiser dan disaster manager) dan hal lainnya

juga dipaparkan dalam buku tersebut.

Namun buku tersebut masih membahas khusus tentang media saja. Diantaranya

tantangan wartawan di lapangan dan dinamika proses editing di dapur redaksi sebelum berita

6

naik cetak. Sementara posisi penelitian dari penulis adalah bagaimana produksi dari dapur

redaksi bisa memengaruhi kebijakan pemerintah dalam malaksanakan program rehabilitasi dan

rekonstruksi pascabencana.

“Sempitnya Ruang Publik untuk Rakyat Korban Konflik: Riset Berita Konflik Aceh pada

Surat Kabar Serambi Indonesia, Waspada, Analisa, dan Radar Medan Periode Agustus 1999 –

Juni 2002” (dipublikasikan dalam buku Luka Aceh Duka Pers, J. Anto (eds), 2002) yang ditulis

oleh Pemilianna Pardede, Lisna Sari, dan Diana Irene menceritakan bagaimana empat media di

Aceh-Sumatera Utara memberitakan konflik di Aceh dengan cara yang berbeda-beda. Untuk

melakukan analisa terhadap berita-berita tersebut, para penulis tersebut menggunakan metode

content analysist. Mereka mengklasifikasikan berita-berita tersebut berdasarkan topik

pemberitaan diantaranya upaya penyelesaian konflik Aceh, konflik (senjata) TNI-Polri/GAM,

Kekerasan oleh GAM dan Kekerasan TNI/Polri, ekses (dampak) dari konflik Aceh, dan lainnya.

Selain itu, ada juga pengklasifikasian narasumber yang terkait dengan konflik. Para penulis

mengungkapkan bahwa empat media tersebut lebih banyak memberikan ruang bicara bagi

pejabat pemerintah/TNI/Polri, GAM, wartawan, tokoh masyarakat, dibandingkan ruang bicara

bagi masyarakat Aceh yang merasakan dampak dari konflik tersebut. Klasifikasi juga dilakukan

berdasarkan berita headline dan non-headline.

Keempat surat kabar tersebut dinilai belum sepenuhnya menjalankan tugas dan perannya

secara ideal sebagai pers yang bertanggung jawab. Hal tersebut bisa dilihat dari kurang kritisnya

wartawan terhadap fakta-fakta yang diperoleh di lapangan, sehingga berita yang disajikan

cenderung tidak berimbang atau cover both side. Bila dilihat dari orientasi pemberitaan, keempat

media tersebut dinilai masih menganut jurnalisme perang dengan menonjolkan pihak yang

menang atau yang kalah dan berorientasi pada kelompok elit (elit oriented) dan bukan pada

7

masyarakat (people oriented). Para penulis tersebut mengkritisi hal tersebut dan menyarankan

agar mengembangkan pemberitaan pada masyarakat dimana penderitaan manusia baik laki-laki,

perempuan, anak-anak, dan orang lanjut usia harusnya lebih banyak disuarakan. Sebab,

masyarakat merupakan pihak yang berdaya dan perlu disuarakan aspirasinya.

Namun, dalam tulisan itu para penulis tidak menceritakan bagaimana pengaruh empat

media tersebut terhadap sikap pemerintah maupun GAM dalam menyelesaikan konflik di Aceh.

Karenanya dalam tesis ini, penulis akan membahas mengenai pengaruh pemberitaan terhadap

sebuah kebijakan. Ulasan tersebut merupakan hal yang belum dibahas dalam dua literatur di atas.

Dalam tulisannya yang berjudul “Media dan Pemberitaan Terorisme (Analisis Framing

Pemberitaan Terorisme di Indonesia pada surat kabar Kompas edisi tahun 2010) “ (2011), Isma

Adila menyajikan hasil analisis atas pembingkaan pemberitaan yang dilakukan redaksi Kompas

mengenai terorisme pada tahun 2010. Secara umum dalam pemberitaan tentang terorisme,

Kompas cenderung netral dan tidak meledak-ledak. Kompas mengulas tiap berita dengan banyak

narasumber yang berasal dari sudut pandang berbeda-beda. Ironinya, Kompas dinilai sebagai

media yang tidak punya pendirian dan tidak bisa menentukan sikap. Isma menggunakan analisis

framing versi Zhongdang Pan dan Gerald Kosicki untuk menggambarkan proses seleksi dan

menonjolkan aspek tertentu dan realitas yang dikonstruksi oleh Kompas. Adapun topik

pemberitaan terorisme yang diberitakan Kompas meliputi kegiatan atau peristiwa yang disertai

pendapat atau gagasan narasumber mengenai terorisme. Peristiwa tersebut meliputi peledakan

bom, penangkapan, ancaman teror, berita bertema terorisme lainnya. Dari hasil penelitian

tersebut Isma menyimpulkan beberapa hal diantaranya: (a) dalam ketiga tema terorisme yang

disebutkan diatas, Kompas telah menampilkan berbagai aktivitas yang berbau terorisme selama

2010 yang kemudian dianggap penting oleh publik, (b) dalam kasus pemberitaan terorisme,

8

konsentrasi kepemilikan media menjadi suatu unsur yang sangat menonjol dalam memengaruhi

ideologi media dan pemilik media juga kerap memengaruhi konten berita dimana konten

biasanya disesuaikan dengan aspek pasar dan politik, dan (c) berita konstruksi yang dilakukan

Kompas pada ketiga topik pemberitaan menunjukkan bahwa Kompas mempunyai keberpihakan

pada pemerintah yang berkuasa. Hal tersebut ditunjukkan dengan dukungan penuh terhadap

POLRI dalam memberantas jaringan terorisme di Indonesia dan memberikan sudut pandang

bahwa proses pemburuan jaringan terorisme di Indonesia tetap berlangsung meskipun tidak ada

tragedi peledakan atau aksi terorisme besar-besaran.

Hal yang membedakan tulisan Isma dengan penulis adalah perbedaan tema. Penulis juga

mengambil pemberitaan Kompas namun pada kejadian bencana. Kerangka analisis yang

digunakan juga sama yakni analisis framing versi Pan dan Koscki. Namun dalam tesis yang

ditulisnya, Isma tidak menyebutkan seberapa jauh keberpihakan pemberitaan Kompas pada

POLRI bisa memengaruhi kebijakan atau keputusan yang dibuat oleh negara dalam hal ini

POLRI. Sementara dalam tesis ini, penulis ingin melihat lebih jauh sebenarnya seberapa jauh

pemberitaan Kompas bisa memengaruhi kebijakan negara atau pemerintah.

Dalam tesisnya yang berjudul “Pemberitaan Konflik dalam surat kabar Kompas: Analisis

Isi Berita Konflik Ahmadiyah, Tarakan dan Papua dalam surat kabar Kompas” (2012), Widowati

Maisarah menganalisis bagaimana Kompas memberitakan kejadian konflik di Indonesia. Dengan

menggunakan indikator jurnalisme konflik dan jurnalisme damai, Widowati melakukan analisis

isi terhadap pemberitaan Kompas mengenai konflik dalam kurun waktu 2009-2012. Widowati

melakukan pengkodean (coding) terhadap 101 berita dengan rincian sebagai berikut: 50 berita

konflik Ahmadiyah, 40 berita konflik Papua, dan 11 berita konflik Tarakan. Sementara itu,

metode yang digunakan adalah analisis isi. Hasil perhitungan statistik dengan menggunakan

9

metode analisis isi tersebut diketahui bahwa secara umum Kompas sudah menerapkan jurnalisme

damai dalam memberitakan konflik. Dari tiga konflik yang diteliti, hanya dalam konflik

Ahmadiyah Kompas terindikasi memberitakan konflik dengan jurnalisme konflik. Dalam

penelitian tersebut diketahui juga kelebihan Kompas berdasarkan jurnalisme damai, diantaranya

baik dalam memberitakan konflik secara bekelanjutan, menggunakan bahasa yang netral,

moderat, dan tidak hiperbolis. Kompas juga tidak menganalogikan konflik sebagai pertandingan

serta Kompas tidak melakukan pembedaan antar pihak yang berkonflik. Tapi di sisi lain, peneliti

tersebut juga menyajikan kelemahan Kompas berdasarkan jurnalisme damai yakni pertama,

Kompas kurang investigatif dan minim menyuarakan pendapat masyarakat sipil yang terkena

konflik. Kedua, Kompas juga dinilai telalu terbelenggu dengan perspektif HAM yang

menyebabkan kurang tergalinya konteks konflik. Menurut Widowati, hal tersebut bisa jadi

karena pengetahuan wartawan, sehingga ia menyarankan agar wartawan yang meliput konflik

sudah mendapat pengetahuan dalam bidang yang diliputnya. Ketiga, Kompas tidak menyebutkan

kejelasan identitas pihak atau aktor yang terlibat konflik agama dan etnis. Kompas hanya

menyebutkan nama aktor dalam fase akhir. Keempat, dalam pemberitaan konflik Ahmadiyah,

Kompas membedakan pihak yang berkonflik yakni dengan menyebut satu pihak sebagai

penyerang dan pihak lain sebagai korban. Namun di sisi lain, hal tersebut dinilainya menunjukan

poin Kompas terhadap pluralisme dan HAM di Indonesia.

Penulis dan Widowati memang sama-sama menjadikan Kompas sebagai objek penelitan.

Namun ada hal yang menjadi pembeda yakni topik pemberitaan. Widowati memilih topik

pemberitaan konflik, sementara penulis memilih topik pemberitaan mengenai bencana. Tapi di

sisi lain, ada perbedaan penggunaan analisis. Widowati menggunakan analisis isi, sementara

penulis menggunakan analisis framing. Penulis juga akan melihat seberapa jauh pemberitaan

10

tentang bencana memengaruhi kebijakan pemerintah, sementara Widowati hanya terhenti pada

pemberitaan itu saja tanpa melihat dampak dari pemberitaan tersebut.

1.4 Kerangka Konsep

Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan tiga konsep dan teori untuk melihat

bagaimana media membingkai kerentanan warga pascaerupsi Merapi 2010 dan bagaimana

pembingkaian berita tersebut bisa memengaruhi kebijakan pemerintah untuk para korban erupsi.

Tiga konsep tersebut adalah diplomasi kemanusiaan, analisis framing, konsep deret kerentanan,

serta teori penentuan agenda. Masing-masing konsep akan dibahas secara rinci dalam tulisan di

bawah ini.

1.4.1 Diplomasi Kemanusiaan (Humanitarian Diplomacy)

Secara umum, diplomasi kemanusiaan idefinisikan sebagai upaya untuk mengurangi

penderitaan manusia dalam kondisi krisis kemanusiaan. Tujuan dari diplomasi kemanusia adalah

untuk menyelamatkan kehidupan dan mengurangi penderitaan manusia (Smith & Minear, 2007).

Diplomasi kemanusian memang cenderung berbeda dengan diplomasi pada umumnya. Salah

satunya bisa dilihat dari aktornya. Diplomasi dalam ilmu hubungan internasional berkaitan

dengan kedaulatan negara dan diplomat merupakan perwakilan dari sebuah negara berdaulat di

negara lain. Sementara aktor diplomasi kemanusiaan cukup flexibel, tidak hanya negara saja

namun juga non-government organization (NGO) yang kerap bekerjasama dengan pelaku bisnis,

jurnalis, dan pemuka agama untuk memengaruhi sebuah kebijakan untuk mengurangi

penderitaan manusia (Smith & Minear: 36). Aktor-aktor kemanusian tersebut kerap tidak

menyadari bahwa aksi yang mereka lakukan adalah bagian dari diplomasi kemanusiaan,

meskipun mereka sudah melakukan tugas-tugas utama diplomat (Smith & Minear: 8).

11

Aktor diplomasi kemanusian mempunyai fungsi yang sama dengan diplomat perwakilan

negara yakni dengan melakukan negosiasi, persuasi dan dialog untuk mencoba mencapai

kesepakatan dengan pihak lain yang tidak mempunyai nilai maupun kepentingan yang tidak

sejalan. Namun, aktor kemanusiaan bukanlah diplomat. Diplomat dari negara bertujuan untuk

mencapai kepentingan nasional, sementara aktor kemanusian mencapai kepentingan

internasional untuk fokus yang lebih sempit yakni merespon kebutuhan kemanusiaan. (Smith &

Minear: 50). Proses dari diplomasi kemanusiaan sendiri mencakup aktivitas yang sama dengan

diplomasi pada umumnya yakni mengumpulkan informasi (inteligen), komunikasi dan negosiasi

(Smith & Minear: 54).

Pertama, fungsi inteligen atau mengumpulkan informasi merupakan fungsi yang

problematik untuk agen kemanusiaan karena tidak nyaman dan kadang mempunyai konotasi

yang berbahaya untuk aktor kemanusiaan karena bisa dicurigai oleh negara penerima atau pun

pihak lain di lapangan. Adapun tujuan dari mengumpulkan informasi di wilayah kerja tersebut di

antaranya untuk bisa mengimplementasikan program dan aktivitasnya secara efisien dan bisa

membuat laporan yang bertanggung jawab tentang bagaimana mereka menggunakan dana

bantuan kepada negara donor.

Kedua, dalam fungsi komunikasi, aktor kemanusiaan melakukan hal yang sama dengan

diplomat negara yakni mengkomunikasikan antara negara penerima dengan kantor pusat. Aktor

kemanusian dalam passport maupun surat tugasnya diakui walaupun secara implisit sebagai

perwakilan diplomasi (Smith & Minear: 56). Fungsi komunikasi itu juga bisa cenderung

berbahaya, terutama saat berada di wilayah konflik, karena komunikasi tersebut bisa saja

dicurigai sebagai upaya untuk memperparah konflik. Ketiga, fungsi negosiasi untuk mencapai

12

sebuah kesepakan. Kesepakatan dicapai dengan menggunakan instrumental diplomasi yang

klasik yakni persuasi, janji dan ancaman (Smith & Minear: 57).

1.4.2 Framing

Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan konsep yang dikenalkan oleh

Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki. Pan dan Kosicki menjelaskan framing merupakan proses

yang membuat suatu pesan lebih menonjol dibandingkan yang lain (Eriyanto,2002). Penulis

memilih framing Pan dan Kosicki karena konsep tersebut menekankan secara detail bagian-

bagian mana saja dari berita yang harus diamati untuk bisa melihat framing sebuah media atas

sebuah peristiwa. Kedetailan perangkat analisis yang ditawarkan membuat penulis memilihnya

dibandingkan konsep framing yang lain.

Ada dua konsepsi penting dalam framing yang dilakukan oleh wartawan yakni konsepsi

psikologi dan konsepsi sosiologis. Konsepsi psikologi berkaitan dengan struktur internal dalam

alam pikiran seseorang dimana wartawan memproses informasi yang diterima dengan

pemahamannya. Sementara konsepsi sosiologis berkaitan dengan wacana sosial dan politik yang

ada di masyarakat. Pan dan Kosicki mengintegrasikan dua hal yang berbeda tersebut. Keduanya

melihat wartawan tidak hanya menggunakan pikirannya semata dalam mengkonstruksi realitas.

Beberapa diantaranya adalah a) proses konstruksi melibatkan nilai sosial yang ada dalam diri

wartawan b) nilai sosial masyarakat karena wartawan bukan hanya menulis untuk dirinya saja

melainkan untuk publik c) proses produksi yang melibatkan standar kerja, profesi jurnalistik, dan

standar profesional jurnalis.

Pan dan Kosicki membuat sebuah kerangka yang digunakan untuk bisa menganalisis

framing media atas sebuah peristiwa dalam tabel di bawah ini.

13

Tabel 1.1 Kerangka Framing Pan dan Kosicki

Struktur Perangkat Framing Unit yang Diamati

Sintaksis

Cara wartawan menyusun

fakta

Skema Berita Headline, lead, latar

informasi, kutipan, sumber,

penyataan, penutup

Skrip

Cara Wartawan Mengisahkan

Fakta

Kelengkapan Berita 5W + 1H (what, where,

when, why, who dan how)

Tematik

Cara Wartawan Menulis

Fakta

Detail

Maksud kalimat, hubungan

Koherensi

Paragraf, proposisi

Retoris

Cara Wartawan Menekan

Fakta

Leksikon

Grafis

Kata, gambar/foto. Grafik

Pan dan Kosicki merumuskan empat struktur besar dalam melakukan analisis framing

yakni struktur sintaksis, struktur skrip, struktur tematik, dan struktur retoris.

Stuktur Sintaksis

Struktur sintaksis berhubungan dengan bagaimana wartawan menyusun peristiwa

(pernyataan, opini, kutipan, pengamatan atas peristiwa), ke dalam bentuk susunan berita. Untuk

mengetahui hal tersebut bisa dilihat beberapa bagian dari berita seperti headline (kepala berita

atau judul besar), lead (kalimat pembuka berita), latar informasi, kutipan, sumber, penyataan dan

penutup.

Struktur Skrip

Struktur skrip berhubungan dengan bagaimana wartawan mengisahkan sebuah peristiwa

dalam bentuk berita. Untuk bisa mengidentifikasi hal tersebut bisa dilihat bagaimana

kelengkapan dari 5W (what, where, who, when, why) dan 1H (how) dari sebuah berita yang

ditulis oleh wartawan.

14

Struktur Tematik

Struktur tematik berkaitan dengan bagaimana wartawan mengungkapkan pandangannya

atas sebuah peristiwa dalam bentuk proposisi, kalimat atau hubungan antar kalimat yang

membentuk teks secara keseluruhan.

Struktur Retoris

Struktur retoris berhubungan dengan bagaimana wartawan menggunakan dengan

pemilihan kata, idiom, grafik, maupun foto. Pemilihan tersebut bukan hanya untuk melengkapi

berita namun juga untuk melakukan penekanan pada makna tertentu.

Keempat struktur tersebut merupakan suatu rangkaian yang bisa digunakan untuk melihat

framing yang dibentuk oleh media. Kecenderungan dan kecondongan wartawan bisa diketahui

dengan melihat beberapa unit dalam sebuah berita.

1.4.3 Kerentanan

Kerentanan merupakan sekumpulan kondisi dan atau suatu akibat keadaan (faktor fisik,

sosial, ekonomi dan lingkungan) yang berpengaruh buruk terhadap upaya-upaya pencegahan dan

penanggulangan bencana (Wisner, 2005). Wisner lebih jauh menggunakan model Pressure and

Release (PAR) model untuk menganalisa hubungan antara hazard (bencana alam) dan

vulnerability (kerentanan) dengan asumsi bahwa Disaster = Hazard x Vulnerabilty (D = H x V).

PAR model ini dikenalkan sebagai sebuah alat bantu sederhana untuk menunjukkan bagaimana

bencana muncul ketika bencana alam mempengaruhi masyarakat yang rentan. Kerentanan

mereka berakar pada proses sosial. PAR model ini dengan menggunakan diagram yang

menggambarkan pertemuan vulnerability dan hazard. Bagian pressure menunjukkan

15

vulnarebility serta hazard, sementara release merupakan upaya untuk mereduksi efek bencana.

Untuk meringankan pressure, maka vulnerability harus dikurangi.

Sehingga fokus dari PAR model adalah pada kerentanan. Diagram PAR model akan

menunjukkan bahwa keadaan ekonomi dan politik serta sejumlah situasi yang spesifik, misalnya

mata pencaharian sering menempatkan masyarakat dalam efek lebih buruk dari bencana. Konsep

ini membagi kerentanan masyarakat terhadap bencana menjadi tiga deret yang saling

berhubungan yakni root causes (akar penyebab), dynamic pressure (tekanan yang dinamis), dan

unsafe conditions (kondisi yang tidak aman). Ketiganya disebut sebagai the proggression of

vulnerability atau deret kerentanan.

Gambar 1.1 Konsep Deret Kerentanan

Limited Access to

PowerStructure

Resources

Ideologies

Political &

Economic

System

Lack of

Local Institutions

TrainingAppropriate

SkillLocal

Investment

Macro-forcesRapid

population change

Rapid Mobilization

Deforestation

Physical EnviromentDangerouse

LocationsUnprotected

buildings and infrastructure

Local EconomyLivelihoods at riskLow income levels

Social dan Cultural RelationsLack of Local

InstitutionBelief to special

key person.

Public Actions and

InstitutionLack of Disaster Preparedness

Volcanic Eruption

Root CausesDynamic

Pressures

Unsafe

ConditionHazard

16

Root Causes (Akar Penyebab)

Bagian yang cukup penting dari deret ini adalah root causes atau akar penyebab. Akar

penyebab kerentananan dan memproduksi kerentanan lain sepanjang waktu adalah ekonomi,

demografi, dan proses politik. Hal ini mempengaruhi alokasi dan distribusi dari sumber daya di

kelompok masyarakat. Selain itu ada keterlibatan struktur ekonomi, sosial dan politik, penegakan

hak, relasi gender, dan element lain dari sebuah ideologi juga berhubungan dengan fungsi atau

disfungsi dari negara baik dari pemerintahan, peranan hukum, kapasitas administrasi, hingga

militer/polisi.

Akar penyebab mencerminkan distribusi kekuasaan di masyarakat. Masyarakat yang

secara ekonomi termarginalkan atau hidup dalam lingkungan marginal misalnya daerah terisolasi

cenderung kepentingannya terabaikan oleh pemegang kekuasaan ekonomi dan politik (Blaikie

and Brookfield, 1987). Hal tersebut membawa tiga hal yang menjadi sumber kerentanan yakni 1)

jika akses terhadap mata pencarian dan sumberdaya yang tidak aman dan tidak seberapa,

aktivitas masyarakat menunjukkan level kerentanan yang lebih tinggi. 2) kemungkinan besar

masyarakat rentan tidak menjadi prioritas dari perencanan intervensi pemerintah atas mitigasi

bencana, 3) orang-orang yang secara ekonomi dan politik termarginalkan kemungkinan besar

berhenti percaya pada metode mereka sendiri untuk melindungi diri sendiri dan kehilangan

kepercayaan diri terhadap pengetahuan lokal mereka. Bahkan jika mereka masih percaya pada

kemampuan mereka, hal tersebut akan perlahan hilang karena marginalisasi ekonomi dan politik

serta ketidakpastian akses terhadap sumber daya.

Dynamic Pressure ( Tekanan yang Dinamis)

17

Dynamic Pressure (tekanan yang dinamis) merupakan efek dari akar penyebab, baik

temporal dan spasial yang membuat suatu tempat menjadi lebih tidak aman. Dinamika yang

terjadi tergantung pada pola ekonomi, sosial dan politik. Wisner (2005) memberi contoh dynamic

pressure seperti penyakit epidemi, urbanisasi yang cepat, konflik kekerasan, utang luar negeri,

promosi ekspor yang dalam beberapa keadaan dapat merusak ketahanan pangan, penyakit

endemik dan kekurangan gizi. Kesehatan dasar masyarakat dan status gizi sangat erat kaitannya

dengan kemampuan mereka untuk bertahan hidup dan sistem mata pencaharian mereka ukuran

penting dari ketahanan mereka dalam menghadapi bencana alam.

Meningkatnya kerentanan masyarakat terhadap bencana alam sangat terkait dengan

kemiskinan yang terjadi. Selain itu dipicu juga oleh bertambahnya jumlah penduduk, sementara

sumberdaya di kontrol oleh segelintir golongan. Selain itu, terdapat minimnya perhatian institusi

lokal dan pelatihan bagi masyarakat yang menyebabkan masyarakat tidak memiliki keterampilan

yang cukup untuk menarik investor yang dapat membantu dalam peningkatan taraf hidup.

Migrasi dari desa ke kota lain merupakan dynamic preassure yang muncul di banyak

negara-negara berkembang sebagai tanggapan terhadap kesenjangan ekonomi dan sosial yang

melekat dalam akar penyebab. Mereka yang pindah dari desa ke kota berharap dapat

memperoleh pekerjaan yang lebih baik namun akan terkendala dengan keterampilan yang sangat

minim sehingga tidak dapat bersaing. Hal tersebut pun terjadi pada mereka yang bermigrasi dari

kota ke desa. Hal tersebut diikuti dengan hilangnya sebagian hutan. Migrasi keluar dapat

menyebabkan kurangnya pengetahuan lokal yang bisa berfungsi untuk mencegah bencana dan

hilangnya keterampilan yang dibutuhkan dalam proses pembangunan kembali pascabencana.

Sebab setiap wilayah dan bencana memiliki karakter yang berbeda-beda. Pengetahuan mereka

18

dalam menangani bencana di daerah tinggal mereka sebelumnya, belum tentu sama dengan

daerah baru tujuan migrasinya. Hal ini menjadikan mereka semakin rentan terhadap bencana.

Unsafe Conditions (Kondisi yang Tidak Aman)

Unsafe conditions atau kondisi yang tidak aman merupakan bentuk spesifik dari

kerentanan masyrakat yang berhubungan dengan bencana alam. Hal tersebut meliputi banyak

aspek mulai dari persoalan fisik, ekonomi, sosial dan budaya, serta institusi. Misalnya orang –

orang yang hidup di lokasi berbahaya tidak sanggup mendirikan bangunan yang aman,

kekurangan perlindungan yang efektif misalnya standar bangunan, mempunyai mata pencarian

yang berisiko, atau mempunya persedian makanan yang terbatas, dan lainnya. Root causes,

dynamic pressure, dan unsafe conditions adalah hal-hal yang bisa diubah. Oleh karenanya, untuk

bisa meminimalisi dampak dari bencana, maka kerentanan itu harus bisa diubah dengan

meningkatkan kapasistas masyarakat yang rawan terkena bencana.

Dalam penelitian ini, konsep kerentanan akan membantu penulis dalam melakukan

pemilihan berita-berita Kompas pascaerupsi Merapi 2010 berdasarkan indikator-indikator yang

ada dalam tabel deret kerentanan. Sehingga bisa diketahui apakah berita-berita tersebut termasuk

dalam root causes, dynamic pressure, dan unsafe condition. Kuantitas berita berdasarkan deret-

deret kerentanan tersebut akan menunjukkan sebenarnya sejauh apa redaksi Kompas memahami

bencana. Apakah Kompas hanya melihat dari dampak langsungnya saja, ataukah Kompas

melihatnya lebih dalam lagi seperti masalah keterbatasan akses ekonomi dan akses politik yang

menjadi akar kerentanan

19

1.4.4 Teori Penentuan Agenda (Agenda-Setting Theory)

Teori penentuan agenda menjelaskan bagaimana media massa bisa mempengaruhi opini

publik terkait sebuah peristiwa maupun wacana. Sehingga opini publik tersebut bisa

mempengaruhi agenda kebijakan misalnya di pemerintah. Secara singkat Klaus Brhun Jensen

(2002) menyimpulkan bahwa dalam teori penentuan agenda media mempengaruhi hal yang

dipikirkan masyarakat. Rogers dan Dearing dalam Parsons (2011) menjelaskan bahwa ada tiga

jenis agenda dalam teori penentuan agenda yakni agenda media, agenda publik, dan agenda

kebijakan. Tiga agenda setting tersebut disinkronkan melalui dua alur yakni agenda media

mempengaruhi para pembaca dan membentuk agenda publik atau opini publik. Sementara opini

publik akan mempengaruhi agenda kebijakan. Namun, agenda media, bisa langsung

memengaruhi agenda kebijakan, begitu pun sebaliknya. Hal tersebut dijelaskan dalam gambar di

bawah ini.

Gambar 1.2 Tiga komponen utama dari proses penentuan agenda: agenda media, agenda publik dan agenda kebijakan

Untuk memperjelas teori ini, penulis mengambil contoh kebijakan pembelian sapi korban

erupsi Merapi 2010. Beberapa hari pascaerupsi Merapi pertama yakni 26 Oktober 2010, Kompas

20

melakukan pemberitaan secara konsisten terhadap tewasnya sapi warga karena terkena material

Merapi. Hal tersebut membuat warga semakin terpuruk, karena sapi merupakan salah satu harta

kekayaan mereka. Pemberitaan terus dilakukan diantaranya pada tanggal 30 Oktober 2010, 1

November 2010, 2 November 2010, 5 November 2010, hingga 9 November 2010. Pemberitaan

ini menjadi agenda media.

Selanjutnya, pemberitaan tersebut memicu opini dari masyarakat. Misalnya warga korban

erupsi, pejabat pemerintahan, dan lainnya memunculkan opini publik atau agenda publik. Hal

tersebut terlihat dari pemberitaan Kompas yang memunculkan narasumber dari berbagai pihak.

Artinya, berita tentang sapi tersebut semakin banyak dibicarakan di masyarakat.

Pemberitaan yang terus menerus tersebut berbuah pada kebijakan pemerintah. Pada 12

November 2010, Kompas memberitakan keputusan pemerintah untuk mengeluarkan anggaran

bencana sebesar 930 miliar rupiah. Sebanyak 100 miliar rupiah dari anggaran tersebut

dialokasikan untuk membeli sapi tewas milik warga yang terkena material vulkanik. Menurut

Kepala Pusat Informasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo

Nugroho kebijakan pembelian sapi korban erupsi tersebut memang merupakan keputusan

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Alasan pengambilan kebijakan tersebut karena adanya

laporan dari Kepala BNPB Syamsul Ma‟rif kepada presiden mengenai banyak korban erupsi

karena tidak mau mengungsi. Mereka tidak mau mengungsi karena menjaga sapi-sapi mereka.

Supaya warga mau mengungsi, Presiden memutuskan agar sapi warga yang mati diberikan ganti

rugi. Menurut Sutopo, kebijakan itu juga dipengaruhi pemberitaan Kompas. Pemerintah memang

memperhatikan pemberitaan Kompas terkait banyaknya sapi yang mati akibat terkena material

vulkanik, sebab Kompas memberitakan secara terus menerus sehingga lebih mudah untuk diikuti

laporannya.

21

1.5 Hipotesis

Didasarkan pada kerangka konsep yang sudah dijelaskan di atas, penulis menyampaikan

beberapa hipotesis atau jawaban sementara atas rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu:

1. Dengan melihat data awal dan konsep yang digunakan dalam penelitian ini, penulis

menduga bahwa framing Kompas tentang kerentanan masyarakat pascaerupsi Merapi

akan lebih menunjukkan kerentanan yang tampak di depan mata (unsafe condition)

dibandingkan akar dari kerentanan (root causes) dan tekanan yang membuat kerentanan

semakin tampak (dynamic pressure). Walaupun tidak menutup kemungkinan bahwa

pemberitaan soal akar kerentanan akan tetap ada, namun kuantitasnya tidak akan lebih

banyak dari kerentanan yang tampak didepan mata. Kerentanan yang tampak (unsafe

condition) di antaranya terkait dengan kerentanan ekonomi pascaerupsi, kerentanan

lingkungan dan kerentanan infrastruktur dan tempat tinggal. Menurut penulis,

pemberitaan tentang root causes dan dynamic pressure penting. Sebab jika hanya

memberitakan tentang unsafe condition, maka Kompas hanya menunjukkan kerentanan

yang memang ada di depan mata. Sementara root causes dan dynamic pressure

menjelaskan hal-hal yang membuat masyarakat menjadi rentan. Sehingga menurut

penulis, penting bagi Kompas untuk memberitakan tentang hal yang membuat

masyarakat rentan terhadap bencana dari persoalan yang paling mendasar.

2. Semakin sering Kompas melakukan framing atas kerentanan masyarakat baik yang root

causes, dynamic pressure, dan unsafe condition di lereng Merapi di Yogyakarta, maka

semakin besar pengaruh terhadap opini publik. Semakin besar opini publik yang ada,

maka akan semakin besar kesempatannya untuk memengaruhi kebijakan pemerintah

22

dalam rehabilitasi dan rekonstruksi. Sehingga semakin besar kemungkinan munculnya

kebijakan yang mengurangi kerentanan masyarakat di lereng Merapi. Penulis melihat

apabila Kompas lebih banyak memberitakan tentang unsafe condition, maka kebijakan

yang akan muncul juga lebih terkait pada pengurangan kerentanan di level unsafe

condition. Sementara, kerentanan di level root causes mau pun dynamic pressure tidak

atau kurang tersentuh kebijakan pemerintah.

1.6 Metodologi Penelitian

Penulis menggunakan dua metodologi penelitian yakni kuantitatif dan kualitatif.

Penelitian kualitatif untuk mendeskripsikan pengaruh media terhadap kebijakan pemerintah

terkait rehabilitasi dan rekonstruksi pascaerupsi Merapi 2010. Penelitian kualitatif merupakan

suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu subjek, suatu kondisi, suatu sistem

pemikiran ataupun kilas peristiwa pada masa sekarang (Nazir, 1998). Penelitian kualitatif

tersebut berupa studi kasus yang bisa memudahkan penulis untuk menghimpun, menganalisis

data, melakukan generalisasi, serta membuat kesimpulan.

Namun di sisi lain, penelitian kuantitatif digunakan untuk mengetahui framing Kompas

terhadap pemberitaan terkait masyarakat di Merapi pascaerupsi. Kumpulan berita yang sudah

didapat akan dianalisis dengan menggunakan analisis framing yang merupakan salah satu tradisi

kuantitatif dalam bidang Ilmu Komunikasi. Analisis framing adalah analisis data yang melihat

bagaimana suatu realitas direkonstruksi oleh media dan hal apa yang dianggap penting oleh

media dengan menonjolkan isu – isu tertentu. Hal tersebut akan terlihat dari berita-berita yang

ditayangkan.

23

Sementara, kebijakan rehabilitasi dan rekonstruksi pascaerupsi Merapi akan didapat

melalui pengumpulan artikel, literatur, jurnal, buku yang memuat tentang kebijakan rehabilitasi

dan rekonstruksi di Merapi tersebut. Selain itu penulis juga akan melaksanakan wawancara

dengan pembuat kebijakan di BNPB Jakarta untuk mendapatkan informasi terkait kebijakan

rehabilitasi dan rekonstruksi di Merapi serta proses pembuatan kebijakan tersebut. Penulis juga

akan mewawancara wartawan Kompas untuk mengetahui prinsip peliputan dan pemberitaan

terkait bencana. Semua data dan hasil wawancara akan dianalisis untuk mendapatkan hasil

penelitian.

Data yang dibutuhkan untuk melakukan analisis diantaranya adalah 1) kumpulan berita

Kompas mulai dari Oktober 2010 hingga Oktober 2011 dan 2) hasil kebijakan rehabilitasi dan

rekonstruksi pascaerupsi Merapi 2010 di Yogyakarta.

1.7 Jangkauan Penelitian

Penulis membatasi rentang waktu pemberitaan selama setahun tepatnya dari Oktober

2010 hingga Oktober 2011, tepatnya dimulai pada tanggal 26 Oktober 2010, saat gelombang

pertama erupsi Merapi terjadi. Alasan dari pembatasan tersebut karena pada rentang waktu

tersebut sorotan Kompas terhadap bencana dan upaya rehabilitasi dan rekonstruksi cukup sering.

Selain itu, pembatasan juga dikarenakan keterbatasan tenaga dan waktu untuk melakukan

pengumpulan dan analisa berita yang cukup banyak.

1.8 Manfaat Penelitian

a. Manfaat Akademis

Hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi bahan bacaan dan memperbanyak kajian

dalam dunia akademis terkait dengan pengaruh media massa terhadap pengambilan kebijakan

24

pemerintah, khususnya di Indonesia. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Repubik Indonesia

Jimly Asshiddiqie pernah mengatakan media sebagai pilar keempat dari demokrasi setelah

legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Sehingga kajian-kajian terhadap pengaruh pemberitaan media

terhadap kebijakan negara, khususnya terkait kebijakan rehabilitasi dan rekonstruksi

pascabencana bisa lebih diperbanyak. Manfaat bagi dunia akademis adalah penelitian ini bisa

menjadi bahan bacaan bagi penelitian-penelitian tentang media dan bencana di masa depan.

b. Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penelitian diharapkan bisa menjadi bacaan bagi wartawan dan

pemerintah bahwa bencana bukan hanya persoalan alam saja, namun juga adanya kerentanan

dari masyarakat yang berada di wilayah rawan bencana. Ada baiknya bila pemberitaan juga

menyoroti tentang kerentanan masyarakat, sehingga bisa memengaruhi kebijakan pemerintah

untuk juga memperhatikan kerentanan masyarakat di wilayah rentan bencana.

1.9 Sistematika Penulisan

Dalam tesis ini, penulis berencana akan membaginya menjadi lima bab guna membuat

penelitian menjadi lebih terstruktur. Pada bab I, penulis memaparkan latar belakang masalah,

rumusan masalah, kajian pustaka, kerangka teori, hipotesis, metodologi penelitian, jangkauan

penelitan, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

Selanjutnya pada bab II penulis akan menulis tentang objek penelitian dalam tesis ini

yakni harian Kompas. Deskripsi tentang Kompas meliputi sejarah, prinsip, serta visi dan misi.

Dalam bab ini juga penulis akan membahas tentang erupsi Merapi 2010 serta dampak yang

diakibatkan oleh erupsi

25

Kemudian dalam bab III, penulis akan menjawab pertanyaan penelitian nomor satu

mengenai framing pemberitaan Kompas. Penulis akan melakukan analisis framing pemberitaan

yang dilakukan Kompas atas kerentanan masyarakat Merapi pascaerupsi 2010 dalam rentang

waktu Oktober 2010 hingga Oktober 2011.

Sementara dalam bab IV, penulis akan memaparkan tentang pengaruh framing Kompas

terhadap kebijakan rehabilitasi dan rekonstruksi pascaerupsi Merapi yang diambil oleh Badan

Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Terakhir dalam bab V, penulis akan menyimpulkan penelitian ini dengan melihat dua hal

yakni bagaimana framing yang dibentuk oleh Kompas terkait kerentanan masyarakat di lereng

Merapi serta bagaimana pemberitaan tersebut bisa mempengaruhi kebijakan pemerintah. Dalam

bab V penulis akan juga menyertakan pelajaran apa yang bisa diambil dari penelitian ini.