BAB I Pendahuluan 1 -...
Transcript of BAB I Pendahuluan 1 -...
1
BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Tesis ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana keterlibatan media dalam aksi-aksi
diplomasi kemanusian. Kajian media sebagai aktor yang berpengaruh dalam studi Hubungan
Internasional maupun dalam diplomasi kemanusiaan memang masih belum terlalu banyak. Studi
Hubungan Internasional cukup didominasi dengan elaborasi tentang negara sebagai aktor utama
(Jackson & Sorensen, 2005). Akan tetapi dalam perkembangannya aktor-aktor non-negara juga
mendapat tempat dalam kajian hubungan internasional, termasuk media massa.
Salah satu kajian hubungan internasional yang cukup terkemuka dalam membahas
pengaruh media terhadap kebijakan negara adalah The CNN effect. The CNN effect didefinisikan
sebagai dampak dari media global baru terhadap diplomasi dan kebijakan luar negeri (Bahador,
2007). Hal ini merujuk pada kejadian Perang Teluk pada tahun 1991. Cable News Network
(CNN) menjadi satu-satunya media Amerika Serikat yang memberitakan Perang Teluk di masa
awal perang, sementara stasiun televisi Amerika Serikat yang lain seperti American Broadcasting
Company (ABC) dan the National Broadcasting Company (NBC) yang mengandalkan jaringan
telekomunikasi Irak dirusak. Selama dua minggu pada awal perang Teluk, CNN menjadi satu-
satunya media siar Amerika Serikat yang menyiarkan dari Irak. CNN yang pada saat itu
menyiarkan berita selama 24 jam memberikan dampak bagi kebijakan luar negeri Amerika
Serikat terkait Perang Teluk. Salah satunya terkait dengan pendirian „Safe Haven’ bagi
pengungsi Kurdi dianggap merupakan salah satu dampak dari pencitraan media tentang
penderitaan pengungsi (Shaw, 1993).
2
Sejak itu, penelitian tentang pengaruh media terhadap kebijakan luar negeri terus
berkembang, khususnya tentang kebijakan intervensi kemanusian (humanitarian intervention).
Tujuan utama dari penelitian tentang the CNN effect adalah untuk mengetahui tingkat pengaruh
media terhadap pengambil kebijakan untuk perlu tidaknya melakukan intervensi saat adanya
krisis kemanusiaan. Salah satunya caranya adalah dengan melakukan riset berbasis interview
terhadap pengambil kebijakan (Robinson, 2002).
Dalam tesis ini penulis juga ingin melakukan hal yang senada yakni kajian tentang
diplomasi kemanusian, hanya saja lingkupnya lebih kecil yakni konteks dalam negeri. Penulis
ingin melihat bagaimana pemberitaan media bisa mengurangi penderitaan manusia pascabencana
alam. Dalam tesis ini, penulis menempatkan media sebagai salah satu aktor diplomasi
kemanusiaan yang didasarkan pada definisi diplomasi kemanusian sebagai upaya untuk
mengurangi penderitaan manusia saat krisis kemanusiaan terjadi (Minear & Smith, 2007).
Tesis ini ingin melihat bagaimana pemberitaan media terkait bencana memengaruhi
kebijakan pemerintah dalam rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana. Media mempunyai
kemampuan untuk membentuk opini publik. Opini publik merupakan tindakan komunikasi yang
membawa persoalan kepada orang – orang dengan harapan akan memperoleh tanggapan atau
umpan balik. Media menjadi sarana untuk menarik perhatian publik sehingga menjadi agenda
pemerintah. Rogers dan Dearing mengambarkannya dengan penentuan agenda (agenda setting)
(Parsons, 2011). Mereka menjelaskan agenda media memengaruhi agenda publik, selanjutnya
agenda publik akan memengaruhi agenda kebijakan.
Dalam menyampaikan agendanya media massa menggunakan banyak cara, salah satunya
adalah framing atau pembingkaian dalam pemberitaannya. Framing didefinisikan sebagai suatu
3
proses seleksi dari berbagai aspek, sehingga bagian tertentu dari peristiwa tersebut lebih
menonjol dibandingkan yang lain (Entman,1993).
Untuk bisa mengetahuinya, penulis mengambil salah satu media yakni koran Kompas,
salah satu media nasional terbesar di Indonesia. Penulis memilih Kompas dibandingkan koran
lain karena media tersebut berskala nasional, dan kebijakan dalam penanganan pascaerupsi
Merapi juga bersifat nasional yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat. Koran berskala nasional
lebih memiliki kemampuan untuk menjadikan isu atau kejadian yang terjadi di daerah mendapat
perhatian di skala nasional mengingat oplah dan penyebarannya yang cukup banyak, termasuk di
kalangan pemerintah pusat. Hal tersebut membantu penulis untuk bisa memastikan bahwa
pengambil kebijakan di pemerintah pusat menyoroti persoalan erupsi Merapi yang terjadi di
Yogyakarta lewat koran nasional, yang lebih mudah didapatkan di ibukota daripada koran daerah
yang hanya ada di Yogyakarta. Dalam penelitian ini koran nasional yang dimaksud adalah koran
Kompas. Kompas dipilih karena koran tersebut menjadikan kemanusiaan sebagai prinsip dari
dapur redaksi (Sularto,2011). Media yang memiliki oplah 480.000 hingga 580.000 eksemplar
tersebut juga dianggap punya andil besar dalam mewartakan perihal kebencanaan. Kompas
menerima penghargaan di bidang kebencanaan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB) pada tahun 2012 (Kompas.com,2012).
Dalam penelitian ini, penulis akan melihat bagaimana pemberitaan Kompas
pascabencana erupsi Merapi tahun 2010. Sekilas penulis melihat Kompas memberitakan keadaan
masyarakat Merapi yang kehilangan salah satu mata pencarian utama mereka yakni ternak sapi
saat erupsi Merapi terjadi pada akhir Oktober 2010. Kompas menyorot salah satu aspek
kerentanan (vulnerability) masyarakat Merapi yakni terputusnya akses terhadap ekonomi.
Kompas menekankan kalau hanya sapi-sapi tersebut dan lahan pertanian saja yang bisa menjadi
4
penghasilan utama yang dimiliki masyarakat di lereng Merapi. Ketiadaan akses terhadap
ekonomi khususnya pascabencana merupakan salah satu kerentanan yang bisa memperburuk
keadaan. Oleh karena itu, dalam program rehabilitasi dan rekonstruksi, pemerintah harus
memperhatikan akses ekonomi tersebut.
Kepala Pusat Data dan Informasi BNPB Sutopo Purwo Nugroho dalam wawancara awal
dengan penulis pada Juni 2014 menyampaikan bahwa media mempunyai andil dalam
memengaruhi kebijakan terkait rehabilitasi dan rekonstruksi yang dilakukan BNPB. Sutopo
menyampaikan laporan Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) kerap tidak
lengkap, sehingga pemberitaan dari media menjadi informasi tambahan bagi BNPB. Bahkan
media kerap menjadi informan awal bagi BNPB dalam pemberitaan bencana. Setelah itu, BNPB
akan melakukan kroscek terhadap pemberitaan tersebut.
Salah satunya terkait persoalan terputusnya akses ekonomi warga akibat erupsi. Kompas
termasuk salah satu media yang secara terus-menerus memberitakan soal kematian sapi-sapi
warga yang merupakan sumber mata pencaharian warga. Setelah pemberitaan secara terus
menerus tersebut, pemerintah pusat mengeluarkan bantuan untuk penggantian sapi warga yang
mati. Sutopo mengatakan Kompas punya andil dalam memberitakan berita soal sapi yang
kemudian menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah untuk mengambil kebijakan bagi korban
erupsi Merapi.
Persoalan sapi, hanya salah satu bentuk kerentanan ekonomi pascaerupsi saja. Selain itu
masih banyak hal lain yang harus dilakukan pemerintah untuk mengurangi kerentanan
masyarakat di wilayah rawan bencana. Karena itu penulis ingin mengeksplorasi lebih lanjut
5
bagaimana framing harian kompas atas kerentanan masyarakat serta bagaimana pengaruh
pemberitaan di Kompas terhadap kebijakan rehabilitas dan rekonstruksi di Merapi.
1.2 Rumusan Masalah
a. Bagaimana framing Kompas terhadap kerentanan masyarakat lereng Gunung Merapi
pascaerupsi 2010 di Yogyakarta?
b. Bagaimana framing Kompas terkait kerentanan masyarakat lereng Gunung Merapi
memengaruhi kebijakan pemerintah Indonesia dalam hal rehabilitasi dan rekonstruksi
pascaerupsi 2010 di Yogyakarta?
1.3 Kajian Pustaka
“Jurnalisme Bencana Bencana Jurnalisme” yang ditulis oleh Ahmad Arif (2010)
membahas bagaimana wartawan melakukan peliputan di lokasi bencana. Buku ini memang
secara spesifik membahas tentang peliputan bencana Tsunami Aceh di tahun 2004 dan data juga
didapat dari pengalaman sejumlah wartawan. Beberapa diantaranya terkait status wartawan yang
berlipat yakni menjadi korban, saksi, sekaligus pewarta bencana. Kesulitan yang dihadapi
wartawan saat terjun ke lapangan, etika saat melakukan wawancara dan dilema memuat foto
korban yang cukup ekstrim di media, kepelikan saat meliputi rekonstruksi dan rehabilitasi
pascabencana, dualisme peran sebagai pengawas dan pengontrol penanganan bencana
(watchdog) atau sebagai penyalur bantuan (fund raiser dan disaster manager) dan hal lainnya
juga dipaparkan dalam buku tersebut.
Namun buku tersebut masih membahas khusus tentang media saja. Diantaranya
tantangan wartawan di lapangan dan dinamika proses editing di dapur redaksi sebelum berita
6
naik cetak. Sementara posisi penelitian dari penulis adalah bagaimana produksi dari dapur
redaksi bisa memengaruhi kebijakan pemerintah dalam malaksanakan program rehabilitasi dan
rekonstruksi pascabencana.
“Sempitnya Ruang Publik untuk Rakyat Korban Konflik: Riset Berita Konflik Aceh pada
Surat Kabar Serambi Indonesia, Waspada, Analisa, dan Radar Medan Periode Agustus 1999 –
Juni 2002” (dipublikasikan dalam buku Luka Aceh Duka Pers, J. Anto (eds), 2002) yang ditulis
oleh Pemilianna Pardede, Lisna Sari, dan Diana Irene menceritakan bagaimana empat media di
Aceh-Sumatera Utara memberitakan konflik di Aceh dengan cara yang berbeda-beda. Untuk
melakukan analisa terhadap berita-berita tersebut, para penulis tersebut menggunakan metode
content analysist. Mereka mengklasifikasikan berita-berita tersebut berdasarkan topik
pemberitaan diantaranya upaya penyelesaian konflik Aceh, konflik (senjata) TNI-Polri/GAM,
Kekerasan oleh GAM dan Kekerasan TNI/Polri, ekses (dampak) dari konflik Aceh, dan lainnya.
Selain itu, ada juga pengklasifikasian narasumber yang terkait dengan konflik. Para penulis
mengungkapkan bahwa empat media tersebut lebih banyak memberikan ruang bicara bagi
pejabat pemerintah/TNI/Polri, GAM, wartawan, tokoh masyarakat, dibandingkan ruang bicara
bagi masyarakat Aceh yang merasakan dampak dari konflik tersebut. Klasifikasi juga dilakukan
berdasarkan berita headline dan non-headline.
Keempat surat kabar tersebut dinilai belum sepenuhnya menjalankan tugas dan perannya
secara ideal sebagai pers yang bertanggung jawab. Hal tersebut bisa dilihat dari kurang kritisnya
wartawan terhadap fakta-fakta yang diperoleh di lapangan, sehingga berita yang disajikan
cenderung tidak berimbang atau cover both side. Bila dilihat dari orientasi pemberitaan, keempat
media tersebut dinilai masih menganut jurnalisme perang dengan menonjolkan pihak yang
menang atau yang kalah dan berorientasi pada kelompok elit (elit oriented) dan bukan pada
7
masyarakat (people oriented). Para penulis tersebut mengkritisi hal tersebut dan menyarankan
agar mengembangkan pemberitaan pada masyarakat dimana penderitaan manusia baik laki-laki,
perempuan, anak-anak, dan orang lanjut usia harusnya lebih banyak disuarakan. Sebab,
masyarakat merupakan pihak yang berdaya dan perlu disuarakan aspirasinya.
Namun, dalam tulisan itu para penulis tidak menceritakan bagaimana pengaruh empat
media tersebut terhadap sikap pemerintah maupun GAM dalam menyelesaikan konflik di Aceh.
Karenanya dalam tesis ini, penulis akan membahas mengenai pengaruh pemberitaan terhadap
sebuah kebijakan. Ulasan tersebut merupakan hal yang belum dibahas dalam dua literatur di atas.
Dalam tulisannya yang berjudul “Media dan Pemberitaan Terorisme (Analisis Framing
Pemberitaan Terorisme di Indonesia pada surat kabar Kompas edisi tahun 2010) “ (2011), Isma
Adila menyajikan hasil analisis atas pembingkaan pemberitaan yang dilakukan redaksi Kompas
mengenai terorisme pada tahun 2010. Secara umum dalam pemberitaan tentang terorisme,
Kompas cenderung netral dan tidak meledak-ledak. Kompas mengulas tiap berita dengan banyak
narasumber yang berasal dari sudut pandang berbeda-beda. Ironinya, Kompas dinilai sebagai
media yang tidak punya pendirian dan tidak bisa menentukan sikap. Isma menggunakan analisis
framing versi Zhongdang Pan dan Gerald Kosicki untuk menggambarkan proses seleksi dan
menonjolkan aspek tertentu dan realitas yang dikonstruksi oleh Kompas. Adapun topik
pemberitaan terorisme yang diberitakan Kompas meliputi kegiatan atau peristiwa yang disertai
pendapat atau gagasan narasumber mengenai terorisme. Peristiwa tersebut meliputi peledakan
bom, penangkapan, ancaman teror, berita bertema terorisme lainnya. Dari hasil penelitian
tersebut Isma menyimpulkan beberapa hal diantaranya: (a) dalam ketiga tema terorisme yang
disebutkan diatas, Kompas telah menampilkan berbagai aktivitas yang berbau terorisme selama
2010 yang kemudian dianggap penting oleh publik, (b) dalam kasus pemberitaan terorisme,
8
konsentrasi kepemilikan media menjadi suatu unsur yang sangat menonjol dalam memengaruhi
ideologi media dan pemilik media juga kerap memengaruhi konten berita dimana konten
biasanya disesuaikan dengan aspek pasar dan politik, dan (c) berita konstruksi yang dilakukan
Kompas pada ketiga topik pemberitaan menunjukkan bahwa Kompas mempunyai keberpihakan
pada pemerintah yang berkuasa. Hal tersebut ditunjukkan dengan dukungan penuh terhadap
POLRI dalam memberantas jaringan terorisme di Indonesia dan memberikan sudut pandang
bahwa proses pemburuan jaringan terorisme di Indonesia tetap berlangsung meskipun tidak ada
tragedi peledakan atau aksi terorisme besar-besaran.
Hal yang membedakan tulisan Isma dengan penulis adalah perbedaan tema. Penulis juga
mengambil pemberitaan Kompas namun pada kejadian bencana. Kerangka analisis yang
digunakan juga sama yakni analisis framing versi Pan dan Koscki. Namun dalam tesis yang
ditulisnya, Isma tidak menyebutkan seberapa jauh keberpihakan pemberitaan Kompas pada
POLRI bisa memengaruhi kebijakan atau keputusan yang dibuat oleh negara dalam hal ini
POLRI. Sementara dalam tesis ini, penulis ingin melihat lebih jauh sebenarnya seberapa jauh
pemberitaan Kompas bisa memengaruhi kebijakan negara atau pemerintah.
Dalam tesisnya yang berjudul “Pemberitaan Konflik dalam surat kabar Kompas: Analisis
Isi Berita Konflik Ahmadiyah, Tarakan dan Papua dalam surat kabar Kompas” (2012), Widowati
Maisarah menganalisis bagaimana Kompas memberitakan kejadian konflik di Indonesia. Dengan
menggunakan indikator jurnalisme konflik dan jurnalisme damai, Widowati melakukan analisis
isi terhadap pemberitaan Kompas mengenai konflik dalam kurun waktu 2009-2012. Widowati
melakukan pengkodean (coding) terhadap 101 berita dengan rincian sebagai berikut: 50 berita
konflik Ahmadiyah, 40 berita konflik Papua, dan 11 berita konflik Tarakan. Sementara itu,
metode yang digunakan adalah analisis isi. Hasil perhitungan statistik dengan menggunakan
9
metode analisis isi tersebut diketahui bahwa secara umum Kompas sudah menerapkan jurnalisme
damai dalam memberitakan konflik. Dari tiga konflik yang diteliti, hanya dalam konflik
Ahmadiyah Kompas terindikasi memberitakan konflik dengan jurnalisme konflik. Dalam
penelitian tersebut diketahui juga kelebihan Kompas berdasarkan jurnalisme damai, diantaranya
baik dalam memberitakan konflik secara bekelanjutan, menggunakan bahasa yang netral,
moderat, dan tidak hiperbolis. Kompas juga tidak menganalogikan konflik sebagai pertandingan
serta Kompas tidak melakukan pembedaan antar pihak yang berkonflik. Tapi di sisi lain, peneliti
tersebut juga menyajikan kelemahan Kompas berdasarkan jurnalisme damai yakni pertama,
Kompas kurang investigatif dan minim menyuarakan pendapat masyarakat sipil yang terkena
konflik. Kedua, Kompas juga dinilai telalu terbelenggu dengan perspektif HAM yang
menyebabkan kurang tergalinya konteks konflik. Menurut Widowati, hal tersebut bisa jadi
karena pengetahuan wartawan, sehingga ia menyarankan agar wartawan yang meliput konflik
sudah mendapat pengetahuan dalam bidang yang diliputnya. Ketiga, Kompas tidak menyebutkan
kejelasan identitas pihak atau aktor yang terlibat konflik agama dan etnis. Kompas hanya
menyebutkan nama aktor dalam fase akhir. Keempat, dalam pemberitaan konflik Ahmadiyah,
Kompas membedakan pihak yang berkonflik yakni dengan menyebut satu pihak sebagai
penyerang dan pihak lain sebagai korban. Namun di sisi lain, hal tersebut dinilainya menunjukan
poin Kompas terhadap pluralisme dan HAM di Indonesia.
Penulis dan Widowati memang sama-sama menjadikan Kompas sebagai objek penelitan.
Namun ada hal yang menjadi pembeda yakni topik pemberitaan. Widowati memilih topik
pemberitaan konflik, sementara penulis memilih topik pemberitaan mengenai bencana. Tapi di
sisi lain, ada perbedaan penggunaan analisis. Widowati menggunakan analisis isi, sementara
penulis menggunakan analisis framing. Penulis juga akan melihat seberapa jauh pemberitaan
10
tentang bencana memengaruhi kebijakan pemerintah, sementara Widowati hanya terhenti pada
pemberitaan itu saja tanpa melihat dampak dari pemberitaan tersebut.
1.4 Kerangka Konsep
Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan tiga konsep dan teori untuk melihat
bagaimana media membingkai kerentanan warga pascaerupsi Merapi 2010 dan bagaimana
pembingkaian berita tersebut bisa memengaruhi kebijakan pemerintah untuk para korban erupsi.
Tiga konsep tersebut adalah diplomasi kemanusiaan, analisis framing, konsep deret kerentanan,
serta teori penentuan agenda. Masing-masing konsep akan dibahas secara rinci dalam tulisan di
bawah ini.
1.4.1 Diplomasi Kemanusiaan (Humanitarian Diplomacy)
Secara umum, diplomasi kemanusiaan idefinisikan sebagai upaya untuk mengurangi
penderitaan manusia dalam kondisi krisis kemanusiaan. Tujuan dari diplomasi kemanusia adalah
untuk menyelamatkan kehidupan dan mengurangi penderitaan manusia (Smith & Minear, 2007).
Diplomasi kemanusian memang cenderung berbeda dengan diplomasi pada umumnya. Salah
satunya bisa dilihat dari aktornya. Diplomasi dalam ilmu hubungan internasional berkaitan
dengan kedaulatan negara dan diplomat merupakan perwakilan dari sebuah negara berdaulat di
negara lain. Sementara aktor diplomasi kemanusiaan cukup flexibel, tidak hanya negara saja
namun juga non-government organization (NGO) yang kerap bekerjasama dengan pelaku bisnis,
jurnalis, dan pemuka agama untuk memengaruhi sebuah kebijakan untuk mengurangi
penderitaan manusia (Smith & Minear: 36). Aktor-aktor kemanusian tersebut kerap tidak
menyadari bahwa aksi yang mereka lakukan adalah bagian dari diplomasi kemanusiaan,
meskipun mereka sudah melakukan tugas-tugas utama diplomat (Smith & Minear: 8).
11
Aktor diplomasi kemanusian mempunyai fungsi yang sama dengan diplomat perwakilan
negara yakni dengan melakukan negosiasi, persuasi dan dialog untuk mencoba mencapai
kesepakatan dengan pihak lain yang tidak mempunyai nilai maupun kepentingan yang tidak
sejalan. Namun, aktor kemanusiaan bukanlah diplomat. Diplomat dari negara bertujuan untuk
mencapai kepentingan nasional, sementara aktor kemanusian mencapai kepentingan
internasional untuk fokus yang lebih sempit yakni merespon kebutuhan kemanusiaan. (Smith &
Minear: 50). Proses dari diplomasi kemanusiaan sendiri mencakup aktivitas yang sama dengan
diplomasi pada umumnya yakni mengumpulkan informasi (inteligen), komunikasi dan negosiasi
(Smith & Minear: 54).
Pertama, fungsi inteligen atau mengumpulkan informasi merupakan fungsi yang
problematik untuk agen kemanusiaan karena tidak nyaman dan kadang mempunyai konotasi
yang berbahaya untuk aktor kemanusiaan karena bisa dicurigai oleh negara penerima atau pun
pihak lain di lapangan. Adapun tujuan dari mengumpulkan informasi di wilayah kerja tersebut di
antaranya untuk bisa mengimplementasikan program dan aktivitasnya secara efisien dan bisa
membuat laporan yang bertanggung jawab tentang bagaimana mereka menggunakan dana
bantuan kepada negara donor.
Kedua, dalam fungsi komunikasi, aktor kemanusiaan melakukan hal yang sama dengan
diplomat negara yakni mengkomunikasikan antara negara penerima dengan kantor pusat. Aktor
kemanusian dalam passport maupun surat tugasnya diakui walaupun secara implisit sebagai
perwakilan diplomasi (Smith & Minear: 56). Fungsi komunikasi itu juga bisa cenderung
berbahaya, terutama saat berada di wilayah konflik, karena komunikasi tersebut bisa saja
dicurigai sebagai upaya untuk memperparah konflik. Ketiga, fungsi negosiasi untuk mencapai
12
sebuah kesepakan. Kesepakatan dicapai dengan menggunakan instrumental diplomasi yang
klasik yakni persuasi, janji dan ancaman (Smith & Minear: 57).
1.4.2 Framing
Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan konsep yang dikenalkan oleh
Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki. Pan dan Kosicki menjelaskan framing merupakan proses
yang membuat suatu pesan lebih menonjol dibandingkan yang lain (Eriyanto,2002). Penulis
memilih framing Pan dan Kosicki karena konsep tersebut menekankan secara detail bagian-
bagian mana saja dari berita yang harus diamati untuk bisa melihat framing sebuah media atas
sebuah peristiwa. Kedetailan perangkat analisis yang ditawarkan membuat penulis memilihnya
dibandingkan konsep framing yang lain.
Ada dua konsepsi penting dalam framing yang dilakukan oleh wartawan yakni konsepsi
psikologi dan konsepsi sosiologis. Konsepsi psikologi berkaitan dengan struktur internal dalam
alam pikiran seseorang dimana wartawan memproses informasi yang diterima dengan
pemahamannya. Sementara konsepsi sosiologis berkaitan dengan wacana sosial dan politik yang
ada di masyarakat. Pan dan Kosicki mengintegrasikan dua hal yang berbeda tersebut. Keduanya
melihat wartawan tidak hanya menggunakan pikirannya semata dalam mengkonstruksi realitas.
Beberapa diantaranya adalah a) proses konstruksi melibatkan nilai sosial yang ada dalam diri
wartawan b) nilai sosial masyarakat karena wartawan bukan hanya menulis untuk dirinya saja
melainkan untuk publik c) proses produksi yang melibatkan standar kerja, profesi jurnalistik, dan
standar profesional jurnalis.
Pan dan Kosicki membuat sebuah kerangka yang digunakan untuk bisa menganalisis
framing media atas sebuah peristiwa dalam tabel di bawah ini.
13
Tabel 1.1 Kerangka Framing Pan dan Kosicki
Struktur Perangkat Framing Unit yang Diamati
Sintaksis
Cara wartawan menyusun
fakta
Skema Berita Headline, lead, latar
informasi, kutipan, sumber,
penyataan, penutup
Skrip
Cara Wartawan Mengisahkan
Fakta
Kelengkapan Berita 5W + 1H (what, where,
when, why, who dan how)
Tematik
Cara Wartawan Menulis
Fakta
Detail
Maksud kalimat, hubungan
Koherensi
Paragraf, proposisi
Retoris
Cara Wartawan Menekan
Fakta
Leksikon
Grafis
Kata, gambar/foto. Grafik
Pan dan Kosicki merumuskan empat struktur besar dalam melakukan analisis framing
yakni struktur sintaksis, struktur skrip, struktur tematik, dan struktur retoris.
Stuktur Sintaksis
Struktur sintaksis berhubungan dengan bagaimana wartawan menyusun peristiwa
(pernyataan, opini, kutipan, pengamatan atas peristiwa), ke dalam bentuk susunan berita. Untuk
mengetahui hal tersebut bisa dilihat beberapa bagian dari berita seperti headline (kepala berita
atau judul besar), lead (kalimat pembuka berita), latar informasi, kutipan, sumber, penyataan dan
penutup.
Struktur Skrip
Struktur skrip berhubungan dengan bagaimana wartawan mengisahkan sebuah peristiwa
dalam bentuk berita. Untuk bisa mengidentifikasi hal tersebut bisa dilihat bagaimana
kelengkapan dari 5W (what, where, who, when, why) dan 1H (how) dari sebuah berita yang
ditulis oleh wartawan.
14
Struktur Tematik
Struktur tematik berkaitan dengan bagaimana wartawan mengungkapkan pandangannya
atas sebuah peristiwa dalam bentuk proposisi, kalimat atau hubungan antar kalimat yang
membentuk teks secara keseluruhan.
Struktur Retoris
Struktur retoris berhubungan dengan bagaimana wartawan menggunakan dengan
pemilihan kata, idiom, grafik, maupun foto. Pemilihan tersebut bukan hanya untuk melengkapi
berita namun juga untuk melakukan penekanan pada makna tertentu.
Keempat struktur tersebut merupakan suatu rangkaian yang bisa digunakan untuk melihat
framing yang dibentuk oleh media. Kecenderungan dan kecondongan wartawan bisa diketahui
dengan melihat beberapa unit dalam sebuah berita.
1.4.3 Kerentanan
Kerentanan merupakan sekumpulan kondisi dan atau suatu akibat keadaan (faktor fisik,
sosial, ekonomi dan lingkungan) yang berpengaruh buruk terhadap upaya-upaya pencegahan dan
penanggulangan bencana (Wisner, 2005). Wisner lebih jauh menggunakan model Pressure and
Release (PAR) model untuk menganalisa hubungan antara hazard (bencana alam) dan
vulnerability (kerentanan) dengan asumsi bahwa Disaster = Hazard x Vulnerabilty (D = H x V).
PAR model ini dikenalkan sebagai sebuah alat bantu sederhana untuk menunjukkan bagaimana
bencana muncul ketika bencana alam mempengaruhi masyarakat yang rentan. Kerentanan
mereka berakar pada proses sosial. PAR model ini dengan menggunakan diagram yang
menggambarkan pertemuan vulnerability dan hazard. Bagian pressure menunjukkan
15
vulnarebility serta hazard, sementara release merupakan upaya untuk mereduksi efek bencana.
Untuk meringankan pressure, maka vulnerability harus dikurangi.
Sehingga fokus dari PAR model adalah pada kerentanan. Diagram PAR model akan
menunjukkan bahwa keadaan ekonomi dan politik serta sejumlah situasi yang spesifik, misalnya
mata pencaharian sering menempatkan masyarakat dalam efek lebih buruk dari bencana. Konsep
ini membagi kerentanan masyarakat terhadap bencana menjadi tiga deret yang saling
berhubungan yakni root causes (akar penyebab), dynamic pressure (tekanan yang dinamis), dan
unsafe conditions (kondisi yang tidak aman). Ketiganya disebut sebagai the proggression of
vulnerability atau deret kerentanan.
Gambar 1.1 Konsep Deret Kerentanan
Limited Access to
PowerStructure
Resources
Ideologies
Political &
Economic
System
Lack of
Local Institutions
TrainingAppropriate
SkillLocal
Investment
Macro-forcesRapid
population change
Rapid Mobilization
Deforestation
Physical EnviromentDangerouse
LocationsUnprotected
buildings and infrastructure
Local EconomyLivelihoods at riskLow income levels
Social dan Cultural RelationsLack of Local
InstitutionBelief to special
key person.
Public Actions and
InstitutionLack of Disaster Preparedness
Volcanic Eruption
Root CausesDynamic
Pressures
Unsafe
ConditionHazard
16
Root Causes (Akar Penyebab)
Bagian yang cukup penting dari deret ini adalah root causes atau akar penyebab. Akar
penyebab kerentananan dan memproduksi kerentanan lain sepanjang waktu adalah ekonomi,
demografi, dan proses politik. Hal ini mempengaruhi alokasi dan distribusi dari sumber daya di
kelompok masyarakat. Selain itu ada keterlibatan struktur ekonomi, sosial dan politik, penegakan
hak, relasi gender, dan element lain dari sebuah ideologi juga berhubungan dengan fungsi atau
disfungsi dari negara baik dari pemerintahan, peranan hukum, kapasitas administrasi, hingga
militer/polisi.
Akar penyebab mencerminkan distribusi kekuasaan di masyarakat. Masyarakat yang
secara ekonomi termarginalkan atau hidup dalam lingkungan marginal misalnya daerah terisolasi
cenderung kepentingannya terabaikan oleh pemegang kekuasaan ekonomi dan politik (Blaikie
and Brookfield, 1987). Hal tersebut membawa tiga hal yang menjadi sumber kerentanan yakni 1)
jika akses terhadap mata pencarian dan sumberdaya yang tidak aman dan tidak seberapa,
aktivitas masyarakat menunjukkan level kerentanan yang lebih tinggi. 2) kemungkinan besar
masyarakat rentan tidak menjadi prioritas dari perencanan intervensi pemerintah atas mitigasi
bencana, 3) orang-orang yang secara ekonomi dan politik termarginalkan kemungkinan besar
berhenti percaya pada metode mereka sendiri untuk melindungi diri sendiri dan kehilangan
kepercayaan diri terhadap pengetahuan lokal mereka. Bahkan jika mereka masih percaya pada
kemampuan mereka, hal tersebut akan perlahan hilang karena marginalisasi ekonomi dan politik
serta ketidakpastian akses terhadap sumber daya.
Dynamic Pressure ( Tekanan yang Dinamis)
17
Dynamic Pressure (tekanan yang dinamis) merupakan efek dari akar penyebab, baik
temporal dan spasial yang membuat suatu tempat menjadi lebih tidak aman. Dinamika yang
terjadi tergantung pada pola ekonomi, sosial dan politik. Wisner (2005) memberi contoh dynamic
pressure seperti penyakit epidemi, urbanisasi yang cepat, konflik kekerasan, utang luar negeri,
promosi ekspor yang dalam beberapa keadaan dapat merusak ketahanan pangan, penyakit
endemik dan kekurangan gizi. Kesehatan dasar masyarakat dan status gizi sangat erat kaitannya
dengan kemampuan mereka untuk bertahan hidup dan sistem mata pencaharian mereka ukuran
penting dari ketahanan mereka dalam menghadapi bencana alam.
Meningkatnya kerentanan masyarakat terhadap bencana alam sangat terkait dengan
kemiskinan yang terjadi. Selain itu dipicu juga oleh bertambahnya jumlah penduduk, sementara
sumberdaya di kontrol oleh segelintir golongan. Selain itu, terdapat minimnya perhatian institusi
lokal dan pelatihan bagi masyarakat yang menyebabkan masyarakat tidak memiliki keterampilan
yang cukup untuk menarik investor yang dapat membantu dalam peningkatan taraf hidup.
Migrasi dari desa ke kota lain merupakan dynamic preassure yang muncul di banyak
negara-negara berkembang sebagai tanggapan terhadap kesenjangan ekonomi dan sosial yang
melekat dalam akar penyebab. Mereka yang pindah dari desa ke kota berharap dapat
memperoleh pekerjaan yang lebih baik namun akan terkendala dengan keterampilan yang sangat
minim sehingga tidak dapat bersaing. Hal tersebut pun terjadi pada mereka yang bermigrasi dari
kota ke desa. Hal tersebut diikuti dengan hilangnya sebagian hutan. Migrasi keluar dapat
menyebabkan kurangnya pengetahuan lokal yang bisa berfungsi untuk mencegah bencana dan
hilangnya keterampilan yang dibutuhkan dalam proses pembangunan kembali pascabencana.
Sebab setiap wilayah dan bencana memiliki karakter yang berbeda-beda. Pengetahuan mereka
18
dalam menangani bencana di daerah tinggal mereka sebelumnya, belum tentu sama dengan
daerah baru tujuan migrasinya. Hal ini menjadikan mereka semakin rentan terhadap bencana.
Unsafe Conditions (Kondisi yang Tidak Aman)
Unsafe conditions atau kondisi yang tidak aman merupakan bentuk spesifik dari
kerentanan masyrakat yang berhubungan dengan bencana alam. Hal tersebut meliputi banyak
aspek mulai dari persoalan fisik, ekonomi, sosial dan budaya, serta institusi. Misalnya orang –
orang yang hidup di lokasi berbahaya tidak sanggup mendirikan bangunan yang aman,
kekurangan perlindungan yang efektif misalnya standar bangunan, mempunyai mata pencarian
yang berisiko, atau mempunya persedian makanan yang terbatas, dan lainnya. Root causes,
dynamic pressure, dan unsafe conditions adalah hal-hal yang bisa diubah. Oleh karenanya, untuk
bisa meminimalisi dampak dari bencana, maka kerentanan itu harus bisa diubah dengan
meningkatkan kapasistas masyarakat yang rawan terkena bencana.
Dalam penelitian ini, konsep kerentanan akan membantu penulis dalam melakukan
pemilihan berita-berita Kompas pascaerupsi Merapi 2010 berdasarkan indikator-indikator yang
ada dalam tabel deret kerentanan. Sehingga bisa diketahui apakah berita-berita tersebut termasuk
dalam root causes, dynamic pressure, dan unsafe condition. Kuantitas berita berdasarkan deret-
deret kerentanan tersebut akan menunjukkan sebenarnya sejauh apa redaksi Kompas memahami
bencana. Apakah Kompas hanya melihat dari dampak langsungnya saja, ataukah Kompas
melihatnya lebih dalam lagi seperti masalah keterbatasan akses ekonomi dan akses politik yang
menjadi akar kerentanan
19
1.4.4 Teori Penentuan Agenda (Agenda-Setting Theory)
Teori penentuan agenda menjelaskan bagaimana media massa bisa mempengaruhi opini
publik terkait sebuah peristiwa maupun wacana. Sehingga opini publik tersebut bisa
mempengaruhi agenda kebijakan misalnya di pemerintah. Secara singkat Klaus Brhun Jensen
(2002) menyimpulkan bahwa dalam teori penentuan agenda media mempengaruhi hal yang
dipikirkan masyarakat. Rogers dan Dearing dalam Parsons (2011) menjelaskan bahwa ada tiga
jenis agenda dalam teori penentuan agenda yakni agenda media, agenda publik, dan agenda
kebijakan. Tiga agenda setting tersebut disinkronkan melalui dua alur yakni agenda media
mempengaruhi para pembaca dan membentuk agenda publik atau opini publik. Sementara opini
publik akan mempengaruhi agenda kebijakan. Namun, agenda media, bisa langsung
memengaruhi agenda kebijakan, begitu pun sebaliknya. Hal tersebut dijelaskan dalam gambar di
bawah ini.
Gambar 1.2 Tiga komponen utama dari proses penentuan agenda: agenda media, agenda publik dan agenda kebijakan
Untuk memperjelas teori ini, penulis mengambil contoh kebijakan pembelian sapi korban
erupsi Merapi 2010. Beberapa hari pascaerupsi Merapi pertama yakni 26 Oktober 2010, Kompas
20
melakukan pemberitaan secara konsisten terhadap tewasnya sapi warga karena terkena material
Merapi. Hal tersebut membuat warga semakin terpuruk, karena sapi merupakan salah satu harta
kekayaan mereka. Pemberitaan terus dilakukan diantaranya pada tanggal 30 Oktober 2010, 1
November 2010, 2 November 2010, 5 November 2010, hingga 9 November 2010. Pemberitaan
ini menjadi agenda media.
Selanjutnya, pemberitaan tersebut memicu opini dari masyarakat. Misalnya warga korban
erupsi, pejabat pemerintahan, dan lainnya memunculkan opini publik atau agenda publik. Hal
tersebut terlihat dari pemberitaan Kompas yang memunculkan narasumber dari berbagai pihak.
Artinya, berita tentang sapi tersebut semakin banyak dibicarakan di masyarakat.
Pemberitaan yang terus menerus tersebut berbuah pada kebijakan pemerintah. Pada 12
November 2010, Kompas memberitakan keputusan pemerintah untuk mengeluarkan anggaran
bencana sebesar 930 miliar rupiah. Sebanyak 100 miliar rupiah dari anggaran tersebut
dialokasikan untuk membeli sapi tewas milik warga yang terkena material vulkanik. Menurut
Kepala Pusat Informasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo
Nugroho kebijakan pembelian sapi korban erupsi tersebut memang merupakan keputusan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Alasan pengambilan kebijakan tersebut karena adanya
laporan dari Kepala BNPB Syamsul Ma‟rif kepada presiden mengenai banyak korban erupsi
karena tidak mau mengungsi. Mereka tidak mau mengungsi karena menjaga sapi-sapi mereka.
Supaya warga mau mengungsi, Presiden memutuskan agar sapi warga yang mati diberikan ganti
rugi. Menurut Sutopo, kebijakan itu juga dipengaruhi pemberitaan Kompas. Pemerintah memang
memperhatikan pemberitaan Kompas terkait banyaknya sapi yang mati akibat terkena material
vulkanik, sebab Kompas memberitakan secara terus menerus sehingga lebih mudah untuk diikuti
laporannya.
21
1.5 Hipotesis
Didasarkan pada kerangka konsep yang sudah dijelaskan di atas, penulis menyampaikan
beberapa hipotesis atau jawaban sementara atas rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu:
1. Dengan melihat data awal dan konsep yang digunakan dalam penelitian ini, penulis
menduga bahwa framing Kompas tentang kerentanan masyarakat pascaerupsi Merapi
akan lebih menunjukkan kerentanan yang tampak di depan mata (unsafe condition)
dibandingkan akar dari kerentanan (root causes) dan tekanan yang membuat kerentanan
semakin tampak (dynamic pressure). Walaupun tidak menutup kemungkinan bahwa
pemberitaan soal akar kerentanan akan tetap ada, namun kuantitasnya tidak akan lebih
banyak dari kerentanan yang tampak didepan mata. Kerentanan yang tampak (unsafe
condition) di antaranya terkait dengan kerentanan ekonomi pascaerupsi, kerentanan
lingkungan dan kerentanan infrastruktur dan tempat tinggal. Menurut penulis,
pemberitaan tentang root causes dan dynamic pressure penting. Sebab jika hanya
memberitakan tentang unsafe condition, maka Kompas hanya menunjukkan kerentanan
yang memang ada di depan mata. Sementara root causes dan dynamic pressure
menjelaskan hal-hal yang membuat masyarakat menjadi rentan. Sehingga menurut
penulis, penting bagi Kompas untuk memberitakan tentang hal yang membuat
masyarakat rentan terhadap bencana dari persoalan yang paling mendasar.
2. Semakin sering Kompas melakukan framing atas kerentanan masyarakat baik yang root
causes, dynamic pressure, dan unsafe condition di lereng Merapi di Yogyakarta, maka
semakin besar pengaruh terhadap opini publik. Semakin besar opini publik yang ada,
maka akan semakin besar kesempatannya untuk memengaruhi kebijakan pemerintah
22
dalam rehabilitasi dan rekonstruksi. Sehingga semakin besar kemungkinan munculnya
kebijakan yang mengurangi kerentanan masyarakat di lereng Merapi. Penulis melihat
apabila Kompas lebih banyak memberitakan tentang unsafe condition, maka kebijakan
yang akan muncul juga lebih terkait pada pengurangan kerentanan di level unsafe
condition. Sementara, kerentanan di level root causes mau pun dynamic pressure tidak
atau kurang tersentuh kebijakan pemerintah.
1.6 Metodologi Penelitian
Penulis menggunakan dua metodologi penelitian yakni kuantitatif dan kualitatif.
Penelitian kualitatif untuk mendeskripsikan pengaruh media terhadap kebijakan pemerintah
terkait rehabilitasi dan rekonstruksi pascaerupsi Merapi 2010. Penelitian kualitatif merupakan
suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu subjek, suatu kondisi, suatu sistem
pemikiran ataupun kilas peristiwa pada masa sekarang (Nazir, 1998). Penelitian kualitatif
tersebut berupa studi kasus yang bisa memudahkan penulis untuk menghimpun, menganalisis
data, melakukan generalisasi, serta membuat kesimpulan.
Namun di sisi lain, penelitian kuantitatif digunakan untuk mengetahui framing Kompas
terhadap pemberitaan terkait masyarakat di Merapi pascaerupsi. Kumpulan berita yang sudah
didapat akan dianalisis dengan menggunakan analisis framing yang merupakan salah satu tradisi
kuantitatif dalam bidang Ilmu Komunikasi. Analisis framing adalah analisis data yang melihat
bagaimana suatu realitas direkonstruksi oleh media dan hal apa yang dianggap penting oleh
media dengan menonjolkan isu – isu tertentu. Hal tersebut akan terlihat dari berita-berita yang
ditayangkan.
23
Sementara, kebijakan rehabilitasi dan rekonstruksi pascaerupsi Merapi akan didapat
melalui pengumpulan artikel, literatur, jurnal, buku yang memuat tentang kebijakan rehabilitasi
dan rekonstruksi di Merapi tersebut. Selain itu penulis juga akan melaksanakan wawancara
dengan pembuat kebijakan di BNPB Jakarta untuk mendapatkan informasi terkait kebijakan
rehabilitasi dan rekonstruksi di Merapi serta proses pembuatan kebijakan tersebut. Penulis juga
akan mewawancara wartawan Kompas untuk mengetahui prinsip peliputan dan pemberitaan
terkait bencana. Semua data dan hasil wawancara akan dianalisis untuk mendapatkan hasil
penelitian.
Data yang dibutuhkan untuk melakukan analisis diantaranya adalah 1) kumpulan berita
Kompas mulai dari Oktober 2010 hingga Oktober 2011 dan 2) hasil kebijakan rehabilitasi dan
rekonstruksi pascaerupsi Merapi 2010 di Yogyakarta.
1.7 Jangkauan Penelitian
Penulis membatasi rentang waktu pemberitaan selama setahun tepatnya dari Oktober
2010 hingga Oktober 2011, tepatnya dimulai pada tanggal 26 Oktober 2010, saat gelombang
pertama erupsi Merapi terjadi. Alasan dari pembatasan tersebut karena pada rentang waktu
tersebut sorotan Kompas terhadap bencana dan upaya rehabilitasi dan rekonstruksi cukup sering.
Selain itu, pembatasan juga dikarenakan keterbatasan tenaga dan waktu untuk melakukan
pengumpulan dan analisa berita yang cukup banyak.
1.8 Manfaat Penelitian
a. Manfaat Akademis
Hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi bahan bacaan dan memperbanyak kajian
dalam dunia akademis terkait dengan pengaruh media massa terhadap pengambilan kebijakan
24
pemerintah, khususnya di Indonesia. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Repubik Indonesia
Jimly Asshiddiqie pernah mengatakan media sebagai pilar keempat dari demokrasi setelah
legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Sehingga kajian-kajian terhadap pengaruh pemberitaan media
terhadap kebijakan negara, khususnya terkait kebijakan rehabilitasi dan rekonstruksi
pascabencana bisa lebih diperbanyak. Manfaat bagi dunia akademis adalah penelitian ini bisa
menjadi bahan bacaan bagi penelitian-penelitian tentang media dan bencana di masa depan.
b. Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian diharapkan bisa menjadi bacaan bagi wartawan dan
pemerintah bahwa bencana bukan hanya persoalan alam saja, namun juga adanya kerentanan
dari masyarakat yang berada di wilayah rawan bencana. Ada baiknya bila pemberitaan juga
menyoroti tentang kerentanan masyarakat, sehingga bisa memengaruhi kebijakan pemerintah
untuk juga memperhatikan kerentanan masyarakat di wilayah rentan bencana.
1.9 Sistematika Penulisan
Dalam tesis ini, penulis berencana akan membaginya menjadi lima bab guna membuat
penelitian menjadi lebih terstruktur. Pada bab I, penulis memaparkan latar belakang masalah,
rumusan masalah, kajian pustaka, kerangka teori, hipotesis, metodologi penelitian, jangkauan
penelitan, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
Selanjutnya pada bab II penulis akan menulis tentang objek penelitian dalam tesis ini
yakni harian Kompas. Deskripsi tentang Kompas meliputi sejarah, prinsip, serta visi dan misi.
Dalam bab ini juga penulis akan membahas tentang erupsi Merapi 2010 serta dampak yang
diakibatkan oleh erupsi
25
Kemudian dalam bab III, penulis akan menjawab pertanyaan penelitian nomor satu
mengenai framing pemberitaan Kompas. Penulis akan melakukan analisis framing pemberitaan
yang dilakukan Kompas atas kerentanan masyarakat Merapi pascaerupsi 2010 dalam rentang
waktu Oktober 2010 hingga Oktober 2011.
Sementara dalam bab IV, penulis akan memaparkan tentang pengaruh framing Kompas
terhadap kebijakan rehabilitasi dan rekonstruksi pascaerupsi Merapi yang diambil oleh Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Terakhir dalam bab V, penulis akan menyimpulkan penelitian ini dengan melihat dua hal
yakni bagaimana framing yang dibentuk oleh Kompas terkait kerentanan masyarakat di lereng
Merapi serta bagaimana pemberitaan tersebut bisa mempengaruhi kebijakan pemerintah. Dalam
bab V penulis akan juga menyertakan pelajaran apa yang bisa diambil dari penelitian ini.