Bab i Pegadaian Syari'Ah
Transcript of Bab i Pegadaian Syari'Ah
BAB I
PENDAHULUAN
Kegiatan lembaga keuangan tidak dapat terlepas dari uang. Uang telah
lama digunakan dalam kehidupan sehari-hari, dan merupakan kebutuhan utama
dalam menggerakan perekonomian. Pada mulanya dalam sistem perdagangan
dunia orang melakukannya melalui sistem barter. Sistem barter merupakan sistem
pertukaran antara barang dengan barang atau barang dengan jasa dan sebaliknya.
Oleh karenanya, untuk mengatasi kendala tersebut dipikirkanlah
menggunakna alat tukar yang lebih efisien dan ekekti. Alat tukar tersebut
kemudian dikenal dengan uang. Berkaitan dengan uang, disini akan kami jelaskan
mengenai pegadaian syari’ah yang mana sudah kami rangkum dan perinci
sedemikian rupa didalam makalah ini agar mudah untuk dipahami dan mudah
untuk dimengerti.
1
BAB II
PEMBAHASAN
PEGADAIAN SYARI’AH
A. PENGERTIAN PEGADAIAN
Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1150, gadai adalah
suatu hak yang diperoleh seseorang yang mempunyai piutang atas suatu
barang bergerak.1 Sedangkan menurut Andri Soemitra pegadaian adalah suatu
hak yang diperoleh seseorang yang berpiutang atas suatu barang bergerak,
yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas
namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada orang yang berpiutang itu
untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada
orang yang berpiutang lainnya.2
Perusaahaan umum pegadaian adalah satu-satunya badan usaha di
Indonesia yang secara resmi mempunyai izin untuk menjalankan kegiatan
lembaga keuangan berupa pembiayaan dalam bentuk penyaluran kegiatan
lembaga keuangan berupa pembiayaan dalam bentuk penyaluran dana ke
masyarakat atas dasar hukum gadai seperti dimaksud dalam Kitab Undang-
Undang perdata pasal 1150 diatas.
Gadai dalam fiqih disebut dengan rohn3 yang menurut bahasa adalah nama
barang yang dijadikan sebagai jaminan kepercayaan. Sedangkan menurut
syara’ artinya menyandera sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan
secara hak, tetapi dapat diambil kembali sebagai tebusan.4
1 Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah: Deskripsi dan Ilustrasi, (Yogyakarta:Ekonisia, 2008), hal. 171.
2 Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, (Jakarta: Kencana, 2010), hal.387.
3 Kata rohnun (gadaian) dari segi bahasa berarti tetap. Ada juga yang mengartikan menahan.
4 Heri Sudarsono, op cit.
2
B. SEJARAH BERDIRINYA PEGADAIAN
Pegadaian dikenal pada awalnya di Eropa, yaitu negara Italia, Inggris dan
Belanda. Pengenalan di Indonesia pada awal masuknya Kolonial Belanda
yaitu sekitar akhir abad XIX, oleh sebuah bank yang bernama Van Lening.
Bank tersebut memberi jasa pinjaman dana dengan syarat penyerahan barang
bergerak, sehingga bank ini pada hakikatnya telah memberikan jasa
pegadaian.
Pada masa Pemerintahan RI Dinas Pegadaian yang merupakan kelanjutan
dari Pemerintah Hindia-Belanda status pegadaian diubah menjadi perusahaan
Negara (PN). Kemudian berdasarkan Pemerintahan RI No. 7 tahun 1969
tanggal 11 Maret 1969 tentang perubahan kedudukan PN Pegadaian menjadi
Jawatan Pegadaian jo. Undang-undang No. 9 tahun 1969 tanggal 1 Agustus
1969 dan penjelasan mengenai bentuk-bentuk usaha Negara dalam
perusahaan Jawatan (Perjan), Perusahaan Umum (Perum) dan Perusahaan
Perseroan (Persero).
Dengan perubahan status dari Perjan menjadi Perum, pegadaian
diharapkan akan lebih mampu lagi mengelola usahanya dengan lebih
profesional, bussiness oriented tanpa meninggalkan ciri khusus misalnya,
yaitu penyaluran uang pinjaman atas dasar hukum gadai dengan pasar sasaran
adalah masyarakat golongan ekonomi lemah dan dengan cara mudah, cepat
dan hemat, sesuai dengan motonya menyelesaikan masalah tanpa masalah.5
Tugas pokok perum pegadaian adalah menjembatani kebutuhan dana
masyarakat dengan pemberian uang pinjaman berdasarkan hukum gadai.
Kantor perum gadai berkedudukan di Jakarta, dan dibantu dengan kantor-
kantor daerah , kantor perwakilan daerah dan kantor cabang. Jaringan usaha
pegadaian telah meliputi lebih dari 500 cabang yang tersebar diwilayah
Indonesia.6
5 Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan, (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2004), Edisi Keempat, hal. 502.
6 Ibid, hal. 503.
3
Pegadaian syariah hadir di Indonesia dalam bentuk kerja sama bank
syari’ah dengan Perum Pegadaian membentuk unit layanan Gadai syari’ah di
beberapa kota di Indonesia. Disamping itu ada pula bank syari’ah yang
menjalankan pegadaian syari’ah sendiri. Pegadaian syari’ah dalam
menjalankan operasionalnya berpegang kepada prinsip syari’ah.
Pada saat ini, pegadaian syari’ah sudah terbentuk sebagai sebuah lembaga.
Ide pembentukan pegadaian syari’ah selain karena tuntutan idealisme juga
dikarenakan keberhasilan terlembaganya bank dan asuransi syari’ah. Setelah
terbentuknya BMT, BPR dan asuransi syari’ah maka pegadaian syari’ah
mendapat perhatian oleh beberapa praktisi dan akademisi untuk dibentuk
dibawah suatu lembaga sendiri.7
C. LANDASAN HUKUM
1. Al-Qur’an
Artinya: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang8 (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Baqarah: 283).
2. Al-Hadist
7 Susilo, Y.S, Triandaru Sigit,dkk, Bank dan Lembaga Keuangan, (Jakarta: Salemba Empat, 2000), hal. 180.
8 Barang tanggungan (borg) itu diadakan bila satu sama lain tidak percaya mempercayai.
4
Dari Annas ra. Berkata, Rasulullah saw. Menggadaikan baju besinya
kepada seorang Yahudi di Madinah dan mengambil darinya gandum untuk
keluarga beliau. (HR. Bukhori, Ahmad, Nasa’i dan Ibnu Majjah).
D. RUKUN GADAI SYARI’AH
Dalam menjalankan pegadaian syari’ah, pegadaian harus memenuhi rukun
gadai syari’ah. Rukun gadai tersebut antara lain adalah:
1. Ar-Rahin (yang menggadaikan)
Orang yang telah dewasa, berakal sehat, bisa dipercaya dan memiliki
barang yang akakn digadaikan.
2. Al-Murtabin (yang menerima gadai)
Orang, bank, atau lembaga yang dipercaya oleh rahin untuk
mendapatkan modal dengan jaminan barang (gadai).
3. Al-Marhun/rahn (barang yang digadaikan)
Barang yang digunakan rahin untuk dijadikan jaminan dalam
mendapatkan uang.
4. Al-Marhun bih (utang)
Sejumlah dana yang di berikan murtahin kepada rahin atas dasar
besasrnya tafsiran marbun.
5. Sighat, ijab dan Qabul
Kesepakatan antara rahin dan martabin dalam melakukan transaksi
gadai.9
E. SYARAT GADAI SYARI’AH
1. Rahin dan murthin
Pihak-pihak yang melakukan perjanjian rahn, yakni rahin dan murtahin
harus mengikuti syarat-syarat berikut kemampuan, yaitu berakal sehat.
Kemampuan berarti kelayakan seseorang untuk melakukan transaksi
pemilikan.
2. Sighot
9 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah, Wacana Ulama dan Cendekiawan, (Jakarta: Bank Indonesia dan Tazkia Institute, 1999), hal. 215.
5
a. Sighot tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan juga dengan
suatu waktu dimasa depan.
b. Rahn mempunyai sisi pelepasan barang dan pemberian uang seperti
halnya akad jual beli. Maka tidak boleh diikat dengan syarat tertentu
atau dengan suatu waktu dimasa depan.
3. Marhun bih (utang)
a. Harus merupakan hak yang wajib diberikan/diserahkan kepada
pemiliknya.
b. Memungkinkan pemanfaatan. Bila sesuatu menjadi utang tidak bisa
dimanfaatkan, maka tidak sah.
c. Harus dikuantifikasi atau dapat dihitung jumlahnya. Bila tidak dapat
diukur atau tidak dapat dikualifikasi rahn itu tidak sah.
4. Marhun (barang)
Secara umum, barang gadai harus memiliki beberapa syarat,
diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Harus diperjualbelikan
b. Harus berupa harta yang bernilai
c. Marhun (barang) harus bisa dimanfaatkan secara syari’ah
d. Harus di ketahui keadaan fisiknya, maka piutang gtidak sah untuk
digadaikan harus berupa barang yang diterima secara langsung
e. Harus dimiliki oleh rahn (peminjam atau pegadai) setidaknya harus
seizin pemiliknya.10
F. SUMBER PENDANAAN
Perum Pegadaian mempunyai sumber-sumber dana sebagai berikut
diantaranya adalah:
1. Modal sendiri
2. Penyertaan modal pemerintah
3. Pinjaman jangka pendek dari perbankan
4. Pinjaman jangka panjang yang berasal dari Kredit Lunak Bank
Indoensia10 Heri Sudarsono, op cit, hal. 175-176.
6
5. Dari masyarakat melalui penerbitan obligasi.11
G. AKAD PERJANJIAN GADAI
Ulama’ Syafi’iyah berpendapat bahwa pegadaian bisa sah apabila
memenuhi tiga syarat dibawah ini:
1. Harus berupa barang, karena utang tidak bisa digadaikan
2. Penetapan kepemilikan pegadaian atas barang yang digadaikan tidak
terhalang, seperti mushaf
3. Barang yagn digadaikan bisa dijual manakala sudah masa pelunasan
utang gadai.12
H. ASPEK PENDIRIAN PEGADAIAN SYARI’AH
Dalam mewujudkan sebuah pegadaian yang ideal dibutuhkan beberapa
aspek pendirian. Adapun aspek-aspek pendirian pegadaiain syari’ah adalah
sebagai berikut:
1. Aspek legalitas
Peraturan pemerintah No. 10 tahun 1990 tentang berdirinya lembaga
gadai yang berubah dari bentuk Perusahaan Jawatan Pegadaian
menjadi Perusahaan Umum Pegadaian pasal 3 ayat (1a) menyebutkan
bahwa Perum Pegadaian adalah badan usaha tanggal yang diberi
wewenang untuk menyalurkan uang pinjaman atas dasar hukum gadai.
2. Aspek Permodalan
Modal untuk menjalankan perusahaan gadai adalah cukup besar,
karena selain diperlukan untuk dipinjamkan kepada nasabah, juga
diperlukan investasi untuk penyimpanan barang.
3. Aspek sumber daya manusia
SDM pegadaian syari’ah harus memahami filosofi gadai dan sistem
operasionalisasi gadai syari’ah.
4. Aspek kelembagaan
11 Andri Soemitra, op cit,hal. 398.12 Heri Sudarsono, log cit, hal. 179.
7
Sifat kelembagaan mempengaruhi keefektifan sebuah perusahaan
gadai dapat bertahan.
5. Aspek sistem dan prosedur
Sistem dan prosedur gadai syari’ah harus sesuai dengan prinsip-prinsip
syari’ah, dimana keberadaanya menekankan akan pentingnya gadai
syari’ah.
6. Aspek pengawasan
Dewan Pengawas Syari’ah (DPS) bertugas untuk mengawasi
operasionalisasi gadai syari’ah supaya sesuai dengan prinsip-prinsip
syari’ah.
I. PERSAMAAN DAN PERBEDAAN GADAI SYARI’AH DAN GADAI
KONVENSIONAL
Persamaan dan perbedaan gadai syari’ah dengan gadai konvensional dapat
dibuat dalam sebuah tabel berikut:
Persamaan Perbedaan
a. Hak gadai atas pinjaman uang
b. Adanya agunan sebagai jaminan
utang
c. Tidak boleh mengambil manfaat
barang yang digadaikan
d. Biaya barang yang digadaikan
ditanggung oleh para pemberi
gadai
e. Apabila batas waktu pinjaman
uang habis barang yang
digadaikan boleh dijual atau
dilelang
a. Rahn, dalam hukum islam
dilakukan secara suka rela atas
dasar tolong menolong
b. Dalam hukum perdata hak gadai
hanya berlaku pada benda yang
bergera. Sedangkan dalam hukum
islam, rahn berlaku pada seluruh
benda, baik yang bergerak
maupun bukan yang bergerak
c. Dalam rahn tidak ada istilah
bunga
d. Gadai menurut hukum perdata
dilaksanakan melalui suatu
lembaga disebut Perum
Pegadaian. Rahn menurut hukum
8
Islam dapat dilaksanakan tanpa
melalui suatu lembaga.
J. BARANG JAMINAN
Jenis barang yang dapat diterima jenis barang jaminan pada prinsipnya
adalah barang bergerak13, antara lain:
1. Barang-barang perhiasan
Barang-barang perhiasan seperti semua perhiasan yang dibuat dari
emas, perhiasan perak, platina, baik yang berhiaskan intan dan mutiara.
2. Barang-barang elektronik
3. Kendaraan
4. Barang-barang rumah tangga
5. Mesin
6. Tekstil
7. Barang-barang lain yang dianggap bernilai seperti surat-surat berharga
baik dalam bentuk saham, obligasi, maupun surat-surat berharga
lainnya.14
K. MEKANISME PRODUK GADAI SYARI’AH
1. Produk Gadai
Untuk mengajukan permohonan permintaan gadai,calon nasabah harus
terlebih dahulu memenuhi syarat ketentuan sebagai berikut:
1. Nasabah datang ke pegadaian kemudian membawa fotokopi KTP atau
identitas lainnya (SIM, Paspor, dan lain-lain)
2. Mengisi formulir permintaan rohn
3. Menyerahkan barang jaminan bergerak seperti:
a. Perhiasan emas, berlian dan mutiara
b. Kendaraan bermotor
13 Sri Susilo dkk, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 183-184.
14 Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hal. 266.
9
c. Barang-barang elektronik.
2. Produk ARRUM
ARRUM merupakan singkatan dari Ar-Rahn Untuk Usaha Micro
Kecil yang merupakan pembiayaan bagi para pengusaha mikro kecil,
untuk pengembangan usaha dengan berprinsip syari’ah. Adapun produk
ini memiliki beberapa keunggulan diantaranya:
a) Persyaratan yang mudah , proses cepat (+ 3 hari), serta biaya-biaya
yang kompetetif dan relatif murah
b) Jangka waktu pembiayaan yang fleksibel, mulai dari 12 bulan, 18
bulan, 24 bulan hingga 36 bulan
c) Jaminan berupa BPKB kendaraan bermotor (mobil ataupun motor)
sehingga fisik kendaraan tetap berada di tangan nasabah untuk
kebutuhan usaha
d) Nilai pembiayaan dapat mencapai hingga 70%
e) Pelunasan dilaksanakan secara angsuran tiap bulan dengan jumlah
tetap
f) Pelunasan sekaligus dapat dilaksanakan sewaktu-waktu dengan
pemberian diskon ijaroh
g) Didukung oleh staf yang berpengalaman serta ramah dan santun.
10
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah diatas, maka dapat kami simpulkan bahwa
gadai adalah suatu hak yang diperoleh seseorang yang berpiutang atas suatu
barang yang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau
oleh orang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada orang
yang berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara
didahulukan daripada orang yang berpiutang lainnya.
Pegadaian syari’ah adalah pegadaian yang dalam menjalankan
operasionalnya berpegang kepada prinsip-prinsip syari’ah. Payung hukum
pegadaian syari’ah dalam hal pemenuhan prinsip-prinsip syari’ah berpegang pada
Fatwa DSN-MUI No. 25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002.
11
DAFTAR PUSTAKA
Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, (Jakarta: Kencana, 2010).
Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan, Edisi Keempat, (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2004).
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah: Deskripsi dan Ilustrasi, (Yogyakarta: Ekonisia, 2008).
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008).
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah, Wacana Ulama dan Cendekiawan, (Jakarta: Bank Indonesia dan Tazkia Institute, 1999).
Susilo, Y.S, Triandaru Sigit,dkk, Bank dan Lembaga Keuangan, (Jakarta: Salemba Empat, 2000).
Sri Susilo dkk, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006).
12