BAB I Ototoksis
-
Upload
melly-selvia-a -
Category
Documents
-
view
72 -
download
0
description
Transcript of BAB I Ototoksis
BAB I
PENDAHULUAN
Obat-obat ototoksis adalah obat-obat atau bahan kimia yang merusak telinga
dalam atau nervus vestibulo-koklea yang mengirimkan informasi keseimbangan dan
pendengaran dari telinga dalam ke otak. Ototoksisitas dapat menimbulkan gangguan
pendengaran dan atau keseimbangan baik bersifat sementara ataupun permanen.
Obat-obat yang dapat menyebabkan ketulian contohnya ialah golongan
aminoglikosida, beberapa obat antimalaria atau anti -rematik, tuberkulostatik, anti kanker
dan sebagainya. Obat-obat tersebut di atas hendaknya diberikan hati-hati pada penderita
dewasa, anak-anak, pada bayi, bahkan juga pada ibu hamil yang dapat mengakibatkan
efek teratogenik.
Gejala mula-mula ialah timbulnya tinitus atau kadang-kadang disertai dengan
gangguan keseimbangan, sehingga bila obat diteruskan pemberiannya akan
mengakibatkan ketulian. Sifat ketulian tersebut dapat reversibel atau irreversibel bila
pemberian obat dihentikan
Pada abad ke 19 Kina, Salisilat dan Oleum chenopodium telah diketahui dapat
menimbulkan tinnitus, kurang pendengaran dan gangguan vestibuler (Schwabach 1889,
North1880). Pada tahun 1990 Werner melakukan tinjauan pustaka yang terdahulu dan
menerangkan efek ototoksik dari berbagai macam zat termasuk arsen , etil dan metil
alcohol, nikotin, toksin bakteri dan senyawa-senyawa logam berat. Dengan ditemukannya
antibiotika sterptomisin, kemoterapi pertama yang efektif terhadap kuman tuberkulosis,
menjadi kenyataan juga terjadinya penyebab gangguan pendengaran dan vestibuler
(Hinshaw dan Feldman 1945).
Antibiotika golongan Aminoglikosida lain yang kemudian digunakan di klinik
memperkuat efek ototoksik seperti yang diakibatkan Streptomisin (Lemer dkk.1981).
Kerentanan yang tidak biasa dari telinga dalam terhadap cedera oleh golongan-golongan
obet tertentu kemudian setelah pemberian loop diuretics dapat diperlihatkan, yang
ternyata pengaruhnya terhadap ototoksisitas dengan mekanisme yang berbeda
dibandingkan dengan antibiotika aminoglikosida.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 MACAM-MACAM OBAT-OBAT OTOTOKSIK
AMINOGLIKOSID
Obat-obat yang termasuk ke dalam golongan aminoglikosid antara lain
Streptomisin, Neomisin, Kanamisin, Gentamisin, Tobramisin, Amikasin dan yang baru
adalah netilmisin dan Sisomisin yang dapat masuk melalui pembuluh darah, inhalasi atau
melalui difusi dari telinga tengah ke telinga dalam. Tuli yang diakibatkan obat-obat ini
bersifat bilateral dan bernada tinggi, sesuai dengan kehilangan sel-sel rambut pada
putaran basal koklea. Dapat juga terjadi tuli unilateral dan dapat disertai gangguan
vestibular. Netilmisin mempunyai efek seperti gentamisin tetapi sifat ototoksisitasnya
jauh lebih kecil, begitu juga dengan Sisomisin.
Mekanisme kerja
Aktivitas tergantung pada kadarnya, pada kadar rendah bersifat bakteriostatik,
dan kadar tinggi bersifat bakterisid terhadap mikroba yang sensitif. Juga aktivitas
potensinya lebih kuat pada suasana alkali daripada suasana asam. Pada keadaan
anaerobik akan menurunkan potensi aktivitas. Golongan ini mengikatkan diri pada
subunit 30S ribosom yang sensitif dari mikroba tersebut. Di samping ,efek terhadap
ribosom tersebut juga menimbulkan berbagai efek sekunder terhadap fungsi sel mikroba,
yaitu terhadap respirasi, adaptasi enzim, keuntungan membran dan keutuhan RNA.
Perbedaan antar sesama aminoglikosida bersifat kuantitatif. Pada Kanamisin,
Amikasin dan Gentamisin, potensi antimikrobanya melebihi Streptomisin.
Spektrum
Pada umumnya menunjukkan banyak persamaan dengan Streptomisin, antara
lain terhadap Brucella. H. ducreyi, Actinobacilles, P. pestis dan Shigella, juga terhadap E.
coli,M. tuberculosis., Nocardia, Proteus.
Farmakokinetika
Sangat sukar diabsorpsi melalui saluran cerna. Pada pemberian peroral
tujuannya hanya untuk mendapatkan khasiat lokal dalam saluran cerna saja, umpamanya
pada infeksi saluran cerna.
Untuk mendapatkan kadar sistemik yang efektif, aminoglikosida perlu
diberikarl secara perenatal dan biasanya dalam bentuk garam sulfat. Kadar puncak dalam
darah dicapai dalam waktu 1/2 sampai 2 jam. Peningkatan oleh protein plasma darah jelas
terlihat pada Streptomisin yang berjumlah ± 1/3 dari seluruh aminoglikosida dalam darah.
Distribusi cukup meluas ke dalam seluruh cairan tubuh, kecuali ke dalam cairan otak.
Ekskresi
Terutama melalui ginjal dengan filtrasi glomeruler. Aminoglikosida yang
diberikan dalam dosis tunggal, menunjukkan jumlah ekskresi renal yang kurang dari
dosis yang diberikan. Karena ekskresi hampir seluruhnya berlangsung melalui ginjal,
keadaan ini menunjukkan adanya sekuestrasi ke dalam jaringan terutama pada
Gentamisin.
Schentag Jusko, 1977, menunjukkan adanya kumulasi tertinggi dalam jaringan
hati, media ginjal, otot skelet dan kelenjar ± 15%. Adanya hambatan fungsi ginjal akan
menghambat ekskresi aminoglikosida yang berakibat terjadinya kumulasi dan cepat
meningkatnya kadar dalam darah sampai lebih cepat mencapai kadar toksik. Juga pada
bayi yang baru lahir/prematur dan penderita usia lanjut, dengan adanya gangguan
ekskresi, masa paruh akan cepat meningkat.
Efek samping
Dapat dibagi 3 kelompok :
1) alergi
2) reaksi iritasi dan toksik
3) perubahan biologik.
Reaksi alergi
Reaksi alergi yang timbul dengan intensitas beragam mulaidari pruritis,
urtikaria, eritema, ruam morbiliform dan makulopapular. Pada yang berat ialah dermatitis
eksfoliativa. Terhadap komponen darah ialah eosinofilia, trombopenia. Gejala lain ialah
stomatitis dan demam. Reaksi hipersensitivitas jarang terjadi pada Tobramisin,
Kanamisin, dan Gentamisin.
Reaksi iritasi dan toksik
Timbulnya reaksi iritasi dan rasa nyeri terjadi ditempat suntik. Efek ototoksik;
terutama terhadap saraf N VIII mengenai vestibuler dan akustik.
Streptomisin dan Gentamisin lebih mempengaruhi komponen vestibuler,
sedangkan pada Neomisin, Kanamisin dan Amikasin lebih mempengaruhi komponen
akustik. Ototoksisitas arninoglikosida dapat ditingkatkan oleh pelbagai faktor, antara lain
besarnya dosis, gangguan faal ginjal, usia lanjut. Pada penderita yang pernah mendapat
suatu obat ototoksik dan juga bila diberikan asam etakrinat (diuretika kuat).
Gangguan vestibular gejala dininya ialah sakit kepala yang kemudian diikuti
fase akut dengan gejala pusing, mual, muntah dan gangguan keseimbangan. Pada fase
kronik, gejala nyata waktu berjalan. Pada fase kompensasi, gejala bersifat laten dan
hanya menjadi nyata bila menutup mata. Gejala –gejala ini bersifat reversibel dan
kadang-kadang juga pada beberapa penderita timbul sekuele. Pemulihan sempuma 12
sampai 18 bulan.
Secara patologis, kerusakan terdapat pada nuklei koklearis ventrikuler di batang
otak yang meluas ke ujung serabut saraf di koklea. Dengan dosis 2 gram per hari selama
60 sampai 120 hari, gejala terlihat pada 75% penderita. Dan dengan dosis 1 gram per
hari, gejala terlihat pada 25% penderita. Gentamisin mempunyai angka ototoksisitas 2%,
dan 66% di antaranya berupa gangguan vestibuler, sedangkan untuk Kanamisin sekitar
7%.
Pada gangguan akustik, tidak selalu terjadi pada kedua telinga sekaligus. Pada
mulanya kepekaan terhadap golongan frekuensi tinggi akan berkurang dan ini tidak
disadari oleh penderita. Gejala dini berupa tinitus bernada tinggi. Patologi kerusakan
akustik terutama berupa degenerasi berat sel-sel rambut luar pada telinga dalam. Sel
organ Corti juga mengalami kerusakan. Frekuensi gangguan akustik akibat Streptomisin
4 sampai 15%, bila terapi lebih dari 1 minggu. Gentamisin 34% dari 2% ototoksisitas.
Kanamisin 30%. Neomisin paling mudah menimbulkan tuli saraf.
Penggunaan topikal atau irigasi luka dengan larutan Neomisin 5% pada
penderita dengan ginjal normal, juga dapat menimbulkan tuli saraf. Pada Tobramisin
terjadinya gangguan vestibuler dan akustik masing -masing sebanyak 0,4%. Amikasin
bila diberikan lebih dari 14 hari juga akan menimbulkan gangguan pendengaran. Selain
efek ototoksik, juga timbul efek nefrotoksik dan neurotoksik.
Perubahan biologik
Adanya pola mikroflora tubuh dan gangguan absorpsi di usus. Adanya interaksi
obat yang perlu diperhatikan ialah, golongan aminoglikosida dengan suatu diuretika kuat
akan menaikkan ototosik dan nefrotoksik
ERITROMISIN
Gejala pemberian eritromisin intravena terhadap telinga adalah kurang
pendengaran subjektif tinitus yang meniup dan kadang-kadang disertai vertigo. Pernah
dilaporkan bahwa terjadi tuli sensorineural nada tinggi bilateral dan tinnitus setelah
pemberian intravena dosis tinggi atau oral. Biasanya gangguan pendengaran dapat pulih
setelah pengobatan dihentikan.
Antibiotika lain seperti vankomisin, Viomisin, Capreomisin, Minosiklin dapat
mengakibatkan ototoksisitas bila diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.
LOOP DIURETICS
Ethycrynic acid (edecrin), furosemid (lasix), torsemide (demadex) dan
bumetamid (bumex) adalah loop diuretik yang dapat menghambat reabsorbsi elektrolit-
elektrolit dan air pada cabang naik dari lengkungan henle. Walaupun diuretik tersebut
hanya memberikan sedikit efek samping tetapi menunjukkan derajat potensi ototoksisitas,
terutama bila diberikan pada pasien dengan insufisiensi ginjal secara intravena. Biasanya
gangguan pendengaran yang terjadi ringan seperti tinitus, dan dapat sembuh bila obat
dihentikan tetapi pada kasus-kasus tertentu dapat menyebabkan tuli permanen.
OBAT-OBAT ANTIINFLAMASI
Salisilat termasuk aspirin dapat mengakibatkan tuli sensorineural berfrekuensi
tinggi dan tinitus. Tetapi bila pengobatan dihentikan pendengaran akan pulih dan tinitus
akan hilang.
Golongan Salisilat
Pemakaiannya secara sistemik, dan asam salisilat sendiri bersifat iritatif
sehingga digunakan sebagai obat luar.
Farmakodinamika :
Mempunyai efek analgesik, antipiretik dan anti-inflamasi. Juga adanya efek
urikosurik tergantung dari dosis, efek pada saluran cerna pada pemberian per oral dapat
mengakibatkan gangguan epigastrium, mual dan muntah. Efek pada pernapasan sangat
penting, karena gejala –gejala yang terdapat pada pernapasan dapat mencerminkan betapa
seriusnya gangguan keseimbangan asam basa dalam darah. Efek pada sistem
kardiovaskuler dapat menimbulkan vasodilatasi pembuluh darah perifer. Efek terhadap
darah dapat mengakibatkan hemolisis ringan. Efek terhadap metabolisme karbohidrat
sangat kompleks, dengan dosis besar meyebabkan hiperglikemia dan glikosuri. Juga
dapat mengaktifkan pusat saraf simpatik dan dapat menyebabkan pelepasan epinefrin dari
medula adrenal sehingga terjadi hiperglikemia.
Farmakokinetika :
Pada pemberian oral diserap cepat. Konsentrasi tertinggi dicapai kira-kira 2 jam
setelah pemberian. Distribusi ke seluruhan jaringan tubuh dan cairan antar sel dan mudah
menembus sawar otak dan sawar uri. 50 - 90% terikat oleh protein plasma terutama
albumin.
Ejek samping:
Sering timbul, dan gejala pada salisilat dinamakan"salisilismus", berupaya nyeri
kepala, pusing, tinitus, pandangan kabur, rasa bingung, badan terasa lemah, mengantuk,
keringat banyak, mual, muntah dan diare. Pada intoksikasi yang lebih berat ialah
gangguan susunan saraf pusat, erupsi kulit, gangguan keseimbangan dan pendengaran
berupa ketulian. Gangguan tersebut bersifat reversibel bila obat dihentikan.
OBAT ANTI MALARIA
Efek ototoksisitas dari kina dan klorokuin berupa gangguan pendengaran dan
tinitus. Tetapi bila pengobatan dihentikan biasanya pendengaran akan pulih dan
tinitusnya hilang. Kina dan klorokuin ini dapat melalui plasenta. Pernah ada laporan
kasus tentang tuli kongenital dan hipoplasia koklea karena pengobtan malaria pada ibu
hamil.
Quinine :
Merupakan alkaloid penting dari sinkona. Semua alkaloid sinkona dan
derivatnya memiliki sifat farmakologik yang kualitatif sama.
Farmakodinamika;
Khasiat khusus Sinkona tergantung pada kadar kina yang terdapat di dalamnya.
Mempunyai beberapa efek lokal ialah racun protoplasma dan menghambat proses
enzimatik, mengganggu fagositosis dan menghambat pertumbuhan fibroblas dalam
pembiakan. Sebagai antimalaria terhadap Plasmodium vivax dan Plasmodium malariae
berkhasiat gametosid. Efek sentral pada susunan saraf pusat, effek analgetik dan
antipiretika. Efek kardiovaskuler dengan dosis tunggal 5 gram langsung menyebabkan
depresi miokard. Terhadap otot polos, sebagai abortivum terhadap kontaksi uterus dan
dosis tinggi membahayakan fetus. Efek, terhadap darah dapat mengakibat kan hemolisis;
Terhadap saluran cerna mengakibatkan iritasi lambung.
Farmakokinetika
Absorpsi per oral baik, konsentrasi dalam plasma dicapai dalam 1 sampai 4 jam
setelah pemberian oral, sama dengan pemberian intravena. Kurang lebih 70% kina dalam
plasma terikat dengan protein dan hal ini yang menyebabkan rendahnya kadar kina dalam
plasma. Distribusi luas dalam hati, tetapi kurang dalam paru-paru, ginjal dan limpa.
Ekskresi
Terutama dalam win dan sebagian kecil dengan tinja, getah lambung, empedu
dan liur. Ekskresi lengkap dalam waktu 24 jam.
Efek samping
Keracunan kina disebabkan kelebihan dosis atau reaksi kepekaan. Dosis fatal
kina untuk dewasa kurang lebih 8 gram.
Gejala keracunan"sinkonism", bila ringan yang terkena dahulu ialah sistem pendengaran
berupa tinitus dan sistem penglihatan. Mula-mula penderita merasa mual, muntah, kabur
dan telinga berdenging. Pada yang berat dapat terjadi perangsangan susunan saraf ialah
bingung, gelisah dan delirium. Reaksi idiosinkrasi pada penggunaan kina berupa
kemerahan pada kulit, gatal-gatal dan bercak merah, demam, gangguan pada lambung,
sesak napas, ketulian dan gangguan penglihatan. Gejala-gejala ini akan hilang bila obat
dihentikan.
Klorokuin:
Selain sebagai obat anti malaria, anti radang dan juga sebagai amebesid,
merupakan derivat 4-aminoquinoline. Mekanisme kerja obat ini diduga berhubungan
dengan sintesa asam nukleat dan nukleoprotein. Absorpsi melalui oral baik, dan kurang
lebih 8% dikeluarkan melalui tinja. Efek samping yang mula-mula timbul seperti juga
pada penggunaan Quinine, tetapi pada efek toksik yang kronik dapat mengakibatkan
diare, nausea, pusing, ketulian, porfiria, badan merasa lemah, penglihatan kabur, adanya
lesi pada kornea dan adanya kerusakan pada retina. Ketulian terjadi karena kerusakan
organ Corti baik pada penggunaan Quinine dan Chloroquine, hal ini belum ada penelitian
lebih lanjut. Kerusakan yang terjadi pada retina biasanya irreversibel. Juga pemberian
obat ini pada ibu hamil, dapat mengakibatkan efek teratogenik pada fetus.
OBAT ANTI TUMOR
Obat yang dapat menyebabkan ketulian ialah : Cis-diamine dichloro platinum
(DDP), merupakan suatu derivat yang terdiri dari Platinum dengan aktivitas anti-tumor.
Diterangkan bahwa bagian sel tersebut dihambat oleh elektroda Platinum dan dikatakan
bahwa yang bentuk Cis lebih efektif. Khasiatnya terutama terhadap jenis tumor sarkoma
dan leukemia, dan juga pada tumor testis yang biasanya dikombinasi dengan Vinblastin
dan Bleomisin. Akan terjadi remisi pada ± 74% dari penderita.
Gejala yang ditimbulkan CIS platinum, sebagai ototoksisitas adalah tuli
subjektif, tinitus dan otalgia, tetapi dapat juga disertai dengan gangguan keseimbangan.
Tuli biasanya bilateral dimulai dengan frekuensi antara 6 KHz dan 8 KHz, kemudian
terkena frekuensi yang lebih rendah. Kurang pendengaran biasanya mengakibatkan
menurunnya hasil speech discrimination score. Tinitus biasanya samar-samar. Bila tuli
ringan pada penghentian pengobatan pendengaran akan pulih, tetapi bila tulinya berat
biasanya bersifat menetap. Mengenai hal ini mekanismenya belum jelas.
Pemberian obat tersebut pada wanita hamil akan mengakibatkan efek
teratogenik berupa malformasi janin, dan juga terjadi ketulian.
OBAT TETES TELINGA LOKAL
Beberapa obat tetes telinga mengandung antibiotika golongan aminoglikosida
seperti: Neomisin dan Polimiksin B. Terjadinya ketulian oleh karena obat tersebut dapat
menembus membran tingkap bundar (round window membran). Walaupun membran
tersebut pada manusia lebih tebal 3X dibandingkan pada baboon (semacam monyet
besar) (> 65 mikron), tetapi dari hasil penelitian masih dapat ditembus obat-obatan
tersebut. Sebetulnya obat tetes telingan yang mengandung antibiotika aminoglikosida
diperuntukkan untuk infeksi telinga luar.
Bahan kimia lain termasuk butil nitrit, merkuri, karbon disulfida, styren, karbon
monoksida, tin, hexan, toluen, lead, tricloroethylen, mangan, dan xylen banyak
dihubungkan dengan gangguan pendengaran dan keseimbangan.
II.2 DIAGNOSIS
Diagnosa ototoksis ditegakkan berdasarkan anamnesa terhadap pasien, gejala
dan hasil pemeriksaan. Tidak ada pemeriksaan spesifik, diagnosa biasanya ditegakkan
dari anamnesis pasien yang menceritakan riwayat penggunaan obat-obat ototoksis
.
II.3 PENATALAKSANAAN
Tuli yang diakibatkan oleh obat-obat ototoksiktidak dapat diobati. Bila pada
waktu pemberian obat-obat ototoksik terjadi gangguan pada telinga dalam (dapat
diketahui secara audiometrik), maka pengobatan dengan obat-obatantersebut harus segera
dihentikan. Berat ringannya ketulian yang terjadi tergantung kepada jenis obat, jumlah
dan lamanya pengobatan. Kerentanan pasien termasuk yang menderita insufisiensi ginjal
dan sifat obat itu sendiri.
Apabila ketulian sudah terjadi dapat dicoba melakukan rehabilitasi antara lain
dengan alat bantu dengar, psikoterapi, auditory training termasuk cara menggunakan sisa
pendengaran dengan alat bantu dengar, belajar komunikasi total dengan belajar membaca
bahasa isyarat. Pada tuli total bilateral mungkin dapat dipertimbangkan pemasangan
implan koklea.
Berhubung tidak ada pengobatan untuk tuli akibat obat ototoksik, maka
pencegahan menjadi sangat penting. Dalam melakukan pencegahan ini termasuk
mempertimbangkan penggunaan obat-obat ototoksik , menilai kerentanan pasien,
memonitor efek samping secara dini, yaitu dengan memperhatikan gejala-gejala
keracunan telinga dalam yang timbul seperti tinitus, kurang poendengaran dan vertigo.
Pada pasien yang menunjukkan mulai ada gejala-gejala tersebut harus dilakukan
evaluasi audilogik dan menghentikan pengobatan.
II.4 PROGNOSIS
Prognosis sangat tergantung kepada jenis obat jumlah dan lamaya pengobatan,
kerentanan pasien. Pada umumnya prognosis tidak begitu baik bahkan mungkin buruk.
BAB III
KESIMPULAN
Obat-obat ototoksis adalah obat-obat atau bahan kimia yang merusak telinga
dalam atau nervus vestibulo-koklea yang mengirimkan informasi keseimbangan dan
pendengaran dari telinga dalam ke otak. Ototoksisitas dapat menimbulkan gangguan
pendengaran dan atau keseimbangan baik bersifat sementara ataupun permanen.
Dari tiap-tiap macam antobiotika dapat disimpulkan (1) Gentamisisn masih
merupakan aminoglikosida utama yang digunakan pada pusat-pusat kesehatan. Obat-obat
baru seperti tobramisin, amikasin dan netilmisin telah beredar sebagai usaha untuk
mengatasi resisten pseudomonas.(2) Pseudomonas aeruginosa dalah kuman patogen yang
bisa menginfeksi otitis eksterna maligna. (3) Netilmisin secara aktif bersifat sinergis
dengan antibiotika beta-laktam setara atau lebih kuat dari aminoglikosida yang lain. (4)
Data yang ada menunjukkan bahwa gentamisin, netilmisin dan tobramisin mempunyai
tempat yang sama dalam hal toksisitasnya terhadap ginjal. (5) Pada manusia tidak dapat
terlihat perbedaan ototoksisitas bila gentamisin dibandingkan dengan amikasin atau
netilmisin. (6) Banyak penyelidikan menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan
bermakna dalam derajat toksisitas terhadap telinga atau ginjal antara pasien anak yang
diobati dengan aminoglikosida dan kontrol yang tidak mendapatkan pengobatan. (7)
Hanya 3% dosis oral dari suatu amino glikosida yang diabsorbsi di saluran cerna. (8)
Ginjal yang menurun fuingsinya, menurun pula derajat ekskresinya dan dapat
mengakibatkan akumulasi dari suatu aminoglikosida di dalam darah dan jaringan yang
cukup untuk menyebabkan keracunan pada telinga dan ginjal. (9) Efek toksis
aminoglikosida lebih mungkin terjadi pada pasien yang fungsi ginjalnya diragukan. (10)
Kerusakan akut pada sistem pendengaran biasanya didahului oleh tinitus. Kehilangan
pendengaran sebagai akibat penggunaan aminoglikosida mempengaruhi frekuensi-
frekuensi tinggi. Bila terjadi kerusakan frekuensi-frekuensi rendah juga akan terkena.
(11) Efek utama yang dapat dilihat adalah hilangnya sel-sel rambut yang timbulnya dari
putaran basal koklea. (12) Pada penelitian randomized blind studies, tentang
ototoklsisitas gentamisin dan tobramisin terlihat derajat toksisitas antara 10 % sampai
15%. (13) Pengobatan bersama-sama antara aminoglikosida dengan loop inhibiting
diuretics seperti ethacrynic acid dan furosemide mengakibatkan otottoksisitas
aminoglikosida. (14) Ethacrynic acid menyebabkan kerusakan seluler pada stria
vaskularis , limbus spiralis dan sel-sel rambut koklea dan vestibuler pada binatang
percobaan. (15) Bukti secara anekdot menunjukkan bahwa penggunaan obat-obat
ototoksis topikal dapat merupakan faktor penyebab ototoksisitas dan dapat
mengakibatkan tuli sensorineural yang berat dan atua menetap.