Bab i Otitis Media Fix (2) (1)
-
Upload
naomifetty -
Category
Documents
-
view
35 -
download
2
Transcript of Bab i Otitis Media Fix (2) (1)
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Otitis media merupakan inflamasi atau peradangan pada telinga tengah. Telinga
tengah adalah ruang di dalam telinga yang terletak antara membran timpani dengan
telinga dalam serta berhubungan dengan nasofaring melalui tuba eustachius (Mahdi,
1994).
Otitis media merupakan salah satu penyebab utama gangguan pendengaran dan
ketulian, bahkan dapat menimbulkan penyulit yang mengancam jiwa. Namun demikian
oleh sebagian masyarakat masih dianggap hal biasa, sehingga tidak segera mencari
pertolongan saat menderita otitis media. Saat pendengarannya mulai berkurang, tidak
mampu mengikuti pelajaran di sekolah ataukah setelah terjadi komplikasi barulah
mereka mencari pertolongan medis (Iselbacher, 2000).
Survei epidemiologi di 7 propinsi Indonesia (1994-1996), menemukan bahwa
dari 19.375 responden yang diperiksa ternyata 18,5% mengalami gangguan kesehatan
telinga dan pendengaran. Penderita Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) merupakan
25% dari penderita yang datang berobat di poliklinik THT rumah sakit di Indonesia
dengan prevalensi adalah 3,8 %. Gangguan pendengaran yang disebabkan oleh kelainan
sistim konduksi telinga tengah pada anak penting diketahui sedini mungkin, mengingat
dampak yang dapat timbul dikemudian hari, berupa gangguan bicara dan gangguan
bahasa yang berpengaruh pada tingkat intelegensia anak (Suwento, 2001).
Penyebab otitis media adalah multifaktorial, antara lain : infeksi virus atau
bakteri, gangguan fungsi tuba, alergi, kekebalan tubuh, lingkungan dan faktor sosial
ekonomi. Sebagian besar omsk berawal dari Otitis Media Akut (OMA), yang sering
terjadi pada bayi dan anak bila tidak diobati dengan cepat dan tepat akan berlanjut
menjadi OMSK pada anak dan dewasa (Tambayong, 2000).
Prevalensi otitis media pada murid sekolah dasar, baik dari dalam negeri
maupun dari luar negeri telah banyak dilaporkan, dengan angka yang bervariasi. Di
Indonesia prevalensi berkisar antara 3,40 % - 5,3 %. Pada penduduk dengan tingkat
sosial ekonomi rendah, sekitar 5-6 kali lebih banyak dibanding penduduk dengan tingkat
sosial ekonomi baik. Dari luar negeri berkisar antara 2,85% - 8,7 % yang menunjukkan
2
bahwa prevalensi otitis media masih cukup tinggi, terutama di negara tertentu (Mahdi,
1994).
Faktor yang berpengaruh terhadap prevalensi otitis media dilaporkan oleh
banyak peneliti, antara lain: kondisi sosial ekonomi, higiene perorangan, jumlah anggota
dalam satu keluarga, kondisi tempat tinggal, malnutrisi, kurangnya sarana kesehatan dan
terlambat dan kurangnya pengobatan stadium dini (Dunna, 1995).
Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk membahas tentang otitis media
yang dapat meningkatkan angka mortalitas. Dengan konsentrasi ilmu dari penulis adalah
keperawatan maka makalah ini akan membahas makalah secara khusus yang berjudul
“asuhan keperawatan pada pasien dengan otitis media”.
B. Rumusan masalah
Penulisan makalah ini mempunyai beberapa rumusan masalah, antara lain adalah:
1. Apa definisi atau pengertian dari otitis media?
2. Apa etiologi otitis media?
3. Bagaimana patofisiologi dari otitis media?
4. Apa manifestasi klinik dari otitis media?
5. Bagaimana penatalaksanaan klien dengan otitis media?
6. Pemeriksaan penunjang apa yang dilakukan pada klien dengan otitis media?
7. Bagaimana asuhan keperawatan pada klien otitis media?
C. Tujuan
Penulisan makalah ini mempunyai beberapa tujuan, antara lain adalah:
1) Memberikan pengetahuan kepada pembaca tentang definisi, etiologi, patofisiologi,
manifestasi klinis, komplikasi, pemeriksaan penunjang dan penatalaksanaan klien
dengan otitis media
2) Memberikan pengetahuan tentang asuhan keperawatan klien dengan otitis media
D. Manfaat
Manfaat penyusunan makalah ini adalah memperoleh pengetahuan tentang
definisi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, komplikasi, pemeriksaan penunjang
dan penatalaksanaan klien dengan otitis media. Selain itu, pengetahuan tersebut nantinya
dapat diterapkan secara tepat dalam memberikan asuhan keperawatan klien dengan otitis
media dengan tepat.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
Radang telinga atau otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa
telinga tengah, tuba eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid. Gangguan telinga
yang paling sering adalah infeksi eksterna dan media. Sering terjadi pada anak-anak dan
juga pada orang dewasa (Smeltzer & Bare, 2002).
Gambar 1. Otitis Media
Otitis media sering diawali dengan infeksi pada saluran napas seperti radang
tenggorokan atau pilek yang menyebar ke telinga tengah lewat saluran eustachius.
Saat bakteri melalui saluran eustachius, mereka dapat menyebabkan infeksi di saluran
tersebut sehingga terjadi pembengkakan di sekitar saluran, tersumbatnya saluran, dan
datangnya sel-sel darah putih untuk melawan bakteri. Sel-sel darah putih akan
membunuh bakteri dengan mengorbankan diri mereka sendiri. Sebagai hasilnya
terbentuklah nanah dalam telinga tengah. Selain itu pembengkakan jaringan sekitar
saluran eustachius menyebabkan lendir yang dihasilkan sel-sel di telinga tengah
terkumpul di belakang gendang telinga (Sudoyo, 2009).
Jika lendir dan nanah bertambah banyak, pendengaran dapat terganggu
karena gendang telinga dan tulang-tulang kecil penghubung gendang telinga dengan
organ pendengaran di telinga dalam tidak dapat bergerak bebas. Kehilangan
pendengaran yang dialami umumnya sekitar 24 desibel (bisikan halus). Namun
cairan yang lebih banyak dapat menyebabkan gangguan pendengaran hingga 45
desibel (kisaran pembicaraan normal). Selain itu telinga juga akan terasa nyeri. Dan
yang paling berat, cairan yang terlalu banyak tersebut akhirnya dapat merobek gendang
4
telinga karena tekanannya (Sudoyo, 2009). Otitis media sering dijumpai pada anak –
anak di bawah usia 15 tahun.
B. Jenis otitis media
Ada 3 ( tiga ) jenis otitis media yang paling umum ditemukan di klinik, yaitu :
1. Otitis media akut
a. Pengertian
Otitis media akut adalah keadaan dimana terdapatnya cairan di dalam telinga
tengah dengan tanda dan gejala infeksi. Otitis media akut adalah peradangan
akut sebagian atau seluruh periosteum telinga tengah, yang disebabkan oleh
bakteri atau virus, termasuk streptococcus pneumoniae, haemophilus
influenzae, streptoccocus pyogenes, moraxella cataralis,virus dan anaerob
tertentu (Sjamsuhidajat & Wim De Jong, 1997)
Gambar 2.1 Otitis Media Akut
Otitis media akut bisa terjadi pada semua usia, tetapi paling sering ditemukan
pada anak-anak terutama usia 3 bulan – 3 tahun.
b. Etiologi
Bakteri piogenik streptococcus hemolyticus, staphyis, lococcus aureus,
influenzae, e.coli, sanhemolyticus, p.vulgaris, dan p.aeruginosa.
c. Patofisiologi
Terjadi akibat terganggunya factor pertahanan tubuh yang bertugas
menjaga keseterilan telingah tengah. Factor penyebab utama adalah
5
sumbatan tuba eustachius sehingga pencegahan invasi kuman terganggu.
Pencetusnya adalah infeksi saluran nafas atas. Penyakit ini mudah terjadi
pada bayi karena tuba eustachiusnya pendek, lebar, dan letaknya agak
horizontal (Tambayong, 2000).
Gambar 2.3 peradangan pada rongga telinga tengah
d. Manifestasi klinis
Gejala klinis oma tergantung pada stadium penyakit dan umur pasien.
Stadium oma berdasarkan perubahan mukosa telinga tengah :
1) Stadium oklusi tuba eustacchius
Terdapat gambaran retraksi membran timpani akibat tekanan negatif di
dalam telingah tengah. Kadang berwarna normal atau keruh pucat. Efusi
tidak dapat dideteksi. Sukar dibedakan dengan otitis media serosa
akibat virus atau alergi.
2) Stadium supurasi
Membran timpani menonjol kearah telingah luar akibat edema yang
hebat pada mukosa telingah tengah dan hancurnya sel epitel
superfisial, serta terbentuknya eksudat purulen dikavum tertimpani.
3) Stadium perforasi
Stadium ini terjadi karena pemberian antibiotik yang terlambat atau
virulensi kuman yang tinggi, dapat terjadi ruptur membran timpani dan
nanah keluar mengalir dari telingah tengah ke telingah luar.
4) Stadium resolusi
Bila membran timpani tetap utuh, maka perlahan-lahan akan normal
kembali. Bila terjadi perforasi, maka sekret maka akan berkurang dan
mengering. Bila daya tahan tubuh baik dan virulensi kuman rendah,
maka resolusi dapat terjadi tanpa pengobatan. OMA berubah menjadi
6
otitis media supuratif subakut bila perforasi menetap dengn sekret yang
keluar terus menerus atau hilang timbul lebih dari 3 minggu disebut
otitis media supuratif kronik. Pada anak keluhan utama adalah rasa
nyeri didalam telinga dan suhu tubuh yang tinggi. Biasanya terdapat
riwayat batuk pilek sebelumnya. Pada bayi dan anak-anak kecil gejala
khas OMA adalah suhu tubuh yang tinggi (39,5oc), gelisah, sulit
tidur, tiba – tiba menjerit saat tidur, diare, kejang, dan kadang –
kadang memegang telinga yang sakit. Setelah terjadi ruptur membran
tympani, suhu tubuh akan turun, dan anak tertidur (Sudoyo, 2009).
e. Komplikasi
Sebelum adanya antibiotik, OMA dapat menimbulkan komplikasi mulai
dari abses subperiostal sampai abses otak dan meningitis. Sekarang
semua jenis komplikasi tersebut biasanya didapat pada OMSK (Smelzer
& Bare, 2002).
f. Penatalaksanaan
Hasil penatalaksanaan otitis media bergantung pada efektivitas terapi
(misalnya dosis antibiotika oral yang diresepkan dan durasi terapi),
virulensi bakteri, dan status fisik pasien. Dengan terapi antibiotika
spektrum luas yang tepat dan awal, otitis media dapat hilang tanpa gejala
sisa yang serius. Bila terjadi pengeluaran, biasanya perlu diresepkan
preparat otik antibiotika. Kondisi bisa berkembang menjadi subakut
(misalnya. Berlangsung 3 minggu sampai 3 bulan), dengan pengeluaran
cairan purulen menetap dari telinga. Jarang sekali terjadi kehilangan
pendengaran permanen. Komplikasi sekunder mengenai mastoid dan
komplikasi intrakranial serius, seperti meningitis atau abses otak dapat
terjadi meskipun jarang (Iselbacher, 2000).
2. Otitis Media Supuratif Kronik
a. Pengertian
Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) adalah infeksi kronik telinga
tengah dengan perforasi membran timpani dan keluarnya sekret dari
telinga tengah secara terus menerus atau hilang timbul. Sekret
7
mungkin encer atau kental, bening, atau nanah. Biasanya disertai
gangguan pendengaran (Suwanto, 2001).
Gambar 2.3. Otitis media supuratif kronik
b. Etiologi
Sebagian besar omsk merupakan kelanjutan oma yang prosesnya sudah
berjalan lebih dari 2 bulan. Beberapa faktor penyebab adalah terapi
yang terlambat, terapi tidak adekuat, virulensi kuman tinggi, daya
tahan tubuh rendah, atau kebersihan buruk. Bila kurang dari 2 bulan
disebut subakut. Sebagian kecil perforasi membran timpani terjadi
akibat trauma telinga tengah. Kuman penyebab biasanya gram positif
aerob, sedangkan pada infeksi yang telah berlangsung lama sering
juga terdapat sering juga terdapat kuman gram negatif dan anaerob
(Iselbacher, 2000).
c. Patofisiologi
OMSK dibagi dalam 2 jenis, yaitu benigna atau tipe mukosa, dan
maligna atau tipe tulang. Berdasarkan sekret yang keluar dari kavum
timpani secara aktif juga dikenal tipe aktif dan tipe tenang. Pada
OMSK benigna peradangan terbatas pada mukosa saja, tidak mengenai
tulang. Perforasi terletak disentral. Jarang menimbulkan komplikasi
berbahaya dan tidak terdapat kolesteatong. OMSK tipe maligna
disertai dengan kolesteatom. Perforasi terletak marginal, subtotal, atau
diatik. Sering menimbulkan komplikasi yang berbahaya atau fatal
(Sudoyo, 2009).
8
Gambar 2.4 perforasi gendang telinga
d. Manifestasi klinis
Pasien mengeluh otore, vertigo, tinitus, rasa penuh ditelinga, atau
gangguan pendengaran. Mengingat bahaya komplikasi, omsk malligna
harus dideteksi sejak dini. Diagnosis pasti ditegakkan pada penemuan
dikamar operasi. Beberapa tanda klinis sebagai pedoman adalah
perporasi pada marginal, abses atau fistelretroaurikuler, polip atau
jaringan granulasi di liang telinga luar yang berasal dari telingah tengah,
kolesteatom pada telinga tengah, sekret berbentuk nanah dan berbau
khas (Sudoyo, 2009).
e. Komplikasi
Paralisis nervus fasialis, fistula labirin, labirititis, labirintitis supuratif,
petrositis, tromboflebitis sinus lateral, abses subdural, meningitis,
abses otak, dan hidrosefalus otitis. Otitis media kronis mengakibatkan
defisit pendengaran konduktif yang di sebabkan oleh gangguan
kompleks timpano-okular. Namun bila infeksi terjadi pada telinga tengah
juga, kita dapat menemukan semua komplikasi yang telah diuraikan
pada otitis media akut. Infeksi berulang dengan perforasi menetap juga
dikaitkan dengan kehilangan pendengaran sensorineural progresif
(Sudoyo, 2009).
3. Otitis media kronik
Otitis media kronik sendiri adalah kondisi yang berhubungan dengan patologi
jaringan irreversible dan biasanya disebabkan oleh episode berulang otitis media
9
akut yang tak tertangani. Sering berhubungan dengan perforasi menetap
membrane timpani. Infeksi kronik telinga tengah tak hanya mengakibatkan
kerusakan membrane timpani tetapi juga dapat menghancurkan osikulus dan
hampir selalu melibatkan mastoid. Sebelum penemuan antibiotic, infeksi mastoid
merupakan infeksi yang mengancam jiwa. Sekarang, penggunaan antibiotic yang
bijaksana pada otitis media akut telah menyebabkan mastoiditis koalesens akut
menjadi jarang (Mahdi, 1994).
kebanyakan kasus mastoiditis akut sekarang ditemukan pada pasien yang tidak
mendapatkan perawatan telinga yang memadai dan mengalami infeksi telinga
yang tak ditangani. Mastoiditis kronik lebih sering, dan beberapa dari infeksi
kronik ini, dapat mengakibatkan pembentukan kolesteatoma, yang merupakan
pertumbuhan kulit ke dalam (epitel skuamosa) dari lapisan luar membrane
timpani ke telinga tengah. Kulit dari membrane timpani lateral membentuk
kantong luar, yang akan berisi kulit yang telah rusak dan bahan sebaseus.
Kantong dapat melekat ke struktur telinga tengah dan mastoid. Bila tidak
ditangani, kolesteatoma dapat tumbuh terus dan menyebabkan paralysis nervus
fasialis (n. Cranial vii), kehilangan pendengaran sensorineural dan/ atau gangguan
keseimbangan (akibat erosi telinga dalam) dan abses otak (Sjamsuhidajat & Wim
De Jong, 1997).
C. Penyebab
Pada umumnya otitis media disebabkan oleh :
1. Streptococcus
2. Stapilococcus
3. Diplococcus pneumonie
4. Hemopilus influens.
5. Gram positif : s. Pyogenes, s. Albus.
6. Gram negatif : proteus spp, psedomonas spp, e. Coli.
7. Kuman anaerob : alergi, diabetes melitus, tbc paru.
(Sudoyo, 2009).
D. Patofisiologi
Umumnya otitis media dari nasofaring yang kemudian mengenai telinga tengah,
kecuali pada kasus yang relatif jarang, yang mendapatkan infeksi bakteri yang
10
membocorkan membran timpani. Stadium awal komplikasi ini dimulai dengan hiperemi
dan edema pada mukosa tuba eusthacius bagian faring, yang kemudian lumennya
dipersempit oleh hiperplasi limfoid pada submukosa.
gangguan ventilasi telinga tengah ini disertai oleh terkumpulnya cairan eksudat
dan transudat dalam telinga tengah, akibatnya telinga tengah menjadi sangat rentan
terhadap infeksi bakteri yang datang langsung dari nasofaring. Selanjutnya faktor
ketahanan tubuh pejamu dan virulensi bakteri akan menentukan progresivitas penyakit
(Smeltzer & Bare, 2002).
E. Manifestasi Klinis
1. Otitis Media Akut
Gejala otitis media dapat bervariasi menurut beratnya infeksi dan bisa sangat
ringan dan sementara atau sangat berat. Keadaan ini biasanya unilateral pada orang
dewasa. Membrane tymphani merah, sering menggelembung tanpa tonjolan tulang
yang dapat dilihat, tidak bergerak pada otoskopi pneumatic (pemberian tekanan
positif atau negative pada telinga tengah dengan insulator balon yang dikaitkan ke
otoskop), dapat mengalami perforasi. Otorrhea, bila terjadi rupture membrane
tymphani. Keluhan :
a.Sakit telinga yang berat dan menetap.
b.Terjadi gangguan pendengaran yang bersifat sementara .
c.Pada anak-anak bisa mengalami muntah, diare dan demam sampai 40,5ºc
d.Gendang telinga mengalami peradangan dan menonjol.
e.Demam
f. Anoreksia
g.Limfadenopati servikal anterior
2. Otitis Media Supuratif Kronik
Pasien mungkin mengeluh kehilangan pendengaran, rasa penuh atau gatal
dalam telinga atau perasaan bendungan, atau bahkan suara letup atau berderik,
yang terjadi ketika tuba eustachii berusaha membuka. Membrane tymphani tampak
kusam (warna kuning redup sampai abu-abu pada otoskopi pneumatik, dan dapat
terlihat gelembung udara dalam telinga tengah. Audiogram biasanya menunjukkan
adanya kehilangan pendengaran konduktif.
11
3. Otitis Media Kronik
Gejala dapat minimal, dengan berbagai derajat kehilangan pendengaran dan
terdapat otorrhea intermitten atau persisten yang berbau busuk. Biasanya tidak ada
nyeri kecuali pada kasus mastoiditis akut, dimana daerah post aurikuler menjadi
nyeri tekan dan bahkan merah dan edema. Kolesteatoma, sendiri biasanya tidak
menyebabkan nyeri. Evaluasi otoskopik membrane timpani memperlihatkan
adanya perforasi, dan kolesteatoma dapat terlihat sebagai masa putih di belakang
membrane timpani atau keluar ke kanalis eksterna melalui lubang perforasi.
Kolesteatoma dapat juga tidak terlihat pada pemeriksaan oleh ahli otoskopi. Hasil
audiometric pada kasus kolesteatoma sering memperlihatkan kehilangan
pendengaran konduktif atau campuran.
(Sjamsuhidajat & Wim De Jong, 1997).
F. Diagnosis
1. Anamnesis
a. Otorea terus menerus / kumat – kumatan lebih dari 6 – 8 minggu
b. Pendengaran menurun (tuli).
2. Pemeriksaan
a. Tipe tubotimpanal (hipertrofi, benigna)
1) Perforasi sentral
2) Mukosa menebal
3) Audiogram: tuli konduktif dengan “air bone gab” sebesar kl 30 db
4) X – foto mastoid : sklerotik.
b. Tipe degeneratif
1) Perforasi sentral besar
2) Granulasi atau polip pada mukosa kavum timpani
3) Audiogram : tuli konduktif/campuran dengan penurunan 50 – 60 db
4) X-foto mastoid : sklerotik.
c. Tipe metaplastik (atikoantral, maligna)
1) Perforasi atik atau marginal
2) Terdapat kolesteatom
Kolesteatoma adalah kista epitalial yang berisi deskuamasi epitel (keratin)
dalam kavum timpani atau mastoid. Dekuamasi daoat berasal dari kanalis
auditirius eksternus atau membran timpani.
12
3) Desttruksi tulang pada margotimpani
4) Audiogram : tuli konduktif / campuran dengan penurunan 60 db atau
lebih.
5) X- foto mastoid : sklerotik/rongga.
d. Tipe campuran (degeneratif, metaplastik)
1) Perforasi marginal besar atau total
2) Granulasi dan kolesteatom
3) Audiogram : tuli konuktif / campuran dengan penurunan 60 db atau lebih
4) X- foto mastoid : sklerotik / rongga.
3. Pemeriksaan tambahan : pembuatan audiogram dan x- foto mastoid
a. Penyulitan
1) Abses retro airkula
2) Paresis atau paralisis syaraf fasialis
3) Komplikasi intrakranial
a) Meningitis
b) Abses ekstradural
c) Abses otak
b. Terapi
1) Tipe tubetimpanal stadium aktif:
a) Anti biotik : ampisilin / amoksilin, (3-4 x 500 mg oral) atau klidomisin (3
x 150 – 300 mg oral) per hari selama 5 –7 hari
b) pengobatan sumber infeksi di rongga hidung dan sekitarnya
c) perawatan lokal dengan perhidoral 3% dan tetes telinga (klora menikol 1-
2%)
d) pengobatan alergi bila ada latar belakang alergi
e) Pada stadium tenang (kering) di lakukan miringoplastik. Icopim
2) Tipe degeneratif :
a) Atikoantrotomi
b) Timpanoplastik
3) Tipe meta plastik / campuran
a) Mastoidektomi radikal
b) Mastoidektomi radikal dan rekonstruksi.
13
4) Omk dengan penyulit :
a) Abses retroaurikuler
b) Insisi abses
c) Antibiotik : penisilin prokain 2 x 0,6-1,2 juta iu i.m / hari dan
metronidazol x 250 – 500mg oral / sup / hari.
d) mastoid dektomi radikal urgen
(Othrock, 2000).
14
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Riwayat
a. Identitas pasien
b. Riwayat adanya kelainan nyeri
c. Riwayat infeksi saluran nafas atas yang berulang
d. Riwayat alergi.
e. Oma berkurang.
2. Pengkajian fisik
a. Nyeri telinga
b. perasaan penuh dan penurunan pendengaran
c. Suhu meningkat
d. Malaise
e. Nausea vomiting
f. Vertigo
g. Ortore
h. pemeriksaan dengan otoskop tentang stadium.
3. Pengkajian psikososial
a. Nyeri otore berpengaruh pada interaksi
b. Aktifitas terbatas
c. Takut menghadapi tindakan pembedahan.
4. Pemeriksaan laboratorium.
5. Pemeriksaan diagnostik
a. Tes audiometri : ac menurun
b. X ray : terhadap kondisi patologi
misal : cholesteatoma, kekaburan mastoid.
6. Pemeriksaan pendengaran
a. Tes suara bisikan
b. Tes garputala
ISPA/Peradangan pada Saluran Pernapasan
Bakteri Menuju Otitis Media melalui
Saluran Eustachius
Terjadi Reaksi Inflamasi
Keluarnya Mediator Inflamasi
Nyeri
Sel Darah Putih
meningkat Untuk
Melawan Bakteri
Telinga Mengeluarkan
serumen
Gangguan Body Image
Tumor / Pembengkakan
Sel darah putih semakin banyak &
Menjadi Pus
Proses Pendengaran Terganggu
Pembedahan Gangguan Persepsi
Ansietas
15
(Doengoes, 2000).
B. PATHWAY
16
C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri berhungan dengan proses inflamasi pada jaringan telinga tengah.
2. Perubahan sensori / persepsi auditorius berhungan dengan gangguan penghantaran
bunyi pada organ pendengaran.
3. Gangguan body image berhubungan dengan keluarnya sekret pada telinga.
4. Ancietas berhubungan dengan prosedur pembedahan ; miringoplasty /
mastoidektomi.
17
D. ASUHAN KEPERAWATAN
No Diagnosa Noc Nic Rasional
1. Nyeri
berhungan
dengan proses
inflamasi pada
jaringan telinga
tengah
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
selama...x24 jam, nyeri
dapat teratasi dengan
kriteria hasil :
a. Nyeri berkurang
b. Tanda-tanda vital
dalam rentang
normal.
c. Tidak ada tanda-
tanda inflamasi
(rubor, kalor,
tumor, dolor dan
fungsiolesi)
1. Kaji data nyeri
secara
komprehensif
(lokasi
karakteristik,
frekuensi,
durasi, dan
kualitas nyeri)
2. Observasi tanda
non verbal
adanya
ketidaknyamana
n (nyeri)
3. Berikan
analgetik sesuai
indikasi
4. Alihkan
perhatian klien
dengan
menggunakan
teknik-teknik
relaksasi :
distraksi,
imajinasi
terbimbing,
touching.
1. Data lokasi,
karakteristik,
frekuensi, durasi,
dan kualitas nyeri
sebagai dasar
penatalaksanaan.
2. Memberikan
informasi tentang
rasa
ketidaknyamanan
(nyeri) misalnya
keringat
berlebihan.
3. Terapi farmakologi
membantu
mengurangi nyeri
4. Teknik non
farmakologi dapat
direkomendasikan
sehingga
membantu dalam
mengurangi nyeri
6.
18
5. Terapi
penanganan
infalmasi
2. Perubahan
sensori/persepsi
auditorius
berhungan
dengan
gangguan
penghantaran
bunyi pada
organ
pendengaran.
Memperbaiki
komunikasi
1. Mengurangi
kegaduhan pada
lingkungan klien
2. Memandang klien
ketika sedang
berbicara
3. Berbicara jelas dan
tegas pada klien
tanpa perlu
berteriak
4. Memberikan
pencahayaan yang
memadai bila klien
bergantung pada
gerab bibir
5. Menggunakan
tanda–tanda
nonverbal (mis.
Ekspresi wajah,
menunjuk, atau
gerakan tubuh )
dan bentuk
komunikasi
lainnya.
1. Mengurangi
stimulus eksternal
selama tingkat
hiperaktif..
2. memantapkan
hubungan dan
meningkatkan
ekspresi perasaan
3.membantu dalam
pemahaman dalam
komunikasi. Pasien
dapat berespon
buruk terhadap
bunyi bernada
tinggi.
4.memaksimalkan
persepsi visual
5. bahasa non verbal
adalah bagian yang
besar dari
komunikasi oleh
karena itu sangt
penting.
19
6. Instruksikan
kepada keluarga
atau orang terdekat
klien tentang
bagaimana teknik
komunikasi yang
efektif sehingga
mereka dapat
saling berinteraksi
dengan klienbila
klien
Menginginkan
dapat digunakan
alat bantu
pendengaran.
6. komunikasi yang
efektif membantu
mempebaiki
komunikasi pasien
3. Gangguan body
image
berhubungan
dengan
keluarnya sekret
pada telinga.
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
selama... x 24 jam,
gangguan body image
dapat teratasi dengan
kriteria hasil :
1. Menyatakan
gambaran diri
lebih nyata
1. Kaji tingkat
kecemasan dan
mekanisme
koping klien
terlebih dahulu
beritahukan pada
klien
kemungkinan
terjadinya fasial
palsy akibat
tindak lanjut dari
penyakit tersebut
2. Berikan suport
yang sesuai
1. Kondisi ini dapat
membantu untuk
menyadari keadaan
diri.
2. Hal ini dapat
membantu
meningkatkan
upaya menerima
dirinya.
20
3. Dorong kien
untuk mandiri
.
3. Kemandirian
membantu
meningkatkan
harga diri.
4. Ancietas
berhungan
dengan prosedur
pembedahan ;
miringoplasty /
mastoidektomi
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
selama...x24 jam,
ancietas dapat teratasi
dengan kriteria hasil :
1. Ansietas menurun
sampai tingkat
yang dapat diatasi
2. Strategi koping
efektif
1. Bantu klien
mengekspresikan
perasaannya.
2. Temani klain yang
tampak cemas
3. Pertahankan
lingkungan yang
aman, batasi
pengunjung
4. Ajarkan teknik
relaksasi untuk
mengurangi nyeri
5. Kolaborasi
pemberian sedatif jika
perlu
1. Perasaan yang
diekspresikan dapat
meminimalkan
kekacauan internal
2. Cemas
mengeluarkan
katekolamin yang
meningkatkan kerja
miokar dan dapat
memanjangkan nyeri,
dengan adanya
perawat dapat
meminimalkan rasa
takut dan
ketidakberdayaan.
3. Stres dapat
meningkatkan kerja
miokard.
4. Teknik relaksasi
dapat membantu
dalam mengurangi
kecemasan
5.Membantu pasien
rileks sampai secara
fisik mampu
21
membuat strategi
koping yang adekuat
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Radang telinga atau otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa
telinga tengah, tuba eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid. Gangguan telinga
yang paling sering adalah infeksi eksterna dan media. Sering terjadi pada anak-anak dan
juga pada orang dewasa. Ada 3 ( tiga ) jenis otitis media yang paling umum ditemukan di
klinik, yaitu : Otitis media akut, Otitis media supuratif kronik dan Otitis media kronik.
Pada umumnya otitis media disebabkan oleh : Streptococcus, Stapilococcus,
Diplococcus pneumonie, Hemopilus influens, Gram positif (s. Pyogenes, s. Albus), Gram
negatif (proteus spp, psedomonas spp, e. Coli), kuman anaerob (alergi, diabetes melitus,
tbc paru).
Umumnya otitis media dari nasofaring yang kemudian mengenai telinga tengah,
kecuali pada kasus yang relatif jarang, yang mendapatkan infeksi bakteri yang
membocorkan membran timpani. Stadium awal komplikasi ini dimulai dengan hiperemi
dan edema pada mukosa tuba eusthacius bagian faring, yang kemudian lumennya
dipersempit oleh hiperplasi limfoid pada submukosa.
Diagnosa keperawatan yang dapat ditegakkan dari otitis media adalah nyeri
berhubungan dengan proses inflamasi pada jaringan telinga tengah, perubahan sensori /
persepsi auditorius berhungan dengan gangguan penghantaran bunyi pada organ
pendengaran, gangguan body image berhubungan dengan paralysis nervus fasialis,
ancietas berhubungan dengan prosedur pembedahan ; miringoplasty / mastoidektomi.
B. SARAN
Perawat yang menanganai klien dengan otitis media harus membuat prioritas
keperawatan sebagai berikut:
1. Mengatasi nyeri yang timbul karena proses inflamasi pada otitis media.
22
2. Meminimalkan atau mencegah komplikasi.
3. Mmemberikan support emosi kepada klien dan keluarga.
4. Memberikan informasi tentang proses penyakit, prognosis, dan kebutuhan
pengobatan.
DAFTAR PUSTAKA
Ballenger JJ. 1985. Chronik Ear Disease In Diseases Of The Nose, Throat, Ear, Head And
Neck 13th Edition. Lea & febinger : Philadelphia.
Carpenito,Lynda Juall. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta: EGC.
Doengoes, M.E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC.
Dunna, d.i. et al. 1995. Medical Surgical Nursing ; A Nursing Process Approach 2nd
Edition : WB sauders.
Helmi, Djaafar ZA. 2002. Penatalaksanaan Baku Otitis Media Supuratif Kronik. Dalam:
Simposium Otitis Media Dan Penatalaksanaan Baku OMSK (Guideline). Surabaya.
Hudak dan Gallo.(2001) Keperawatan Kritis. Jakarta: EGC.
Iselbacher. 2000. Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: EGC
Mahdi. 1994. Prevalensi Otitis Media Pada Murid SD Di Kota Makassar. Program Pasca
Sarjana Unhas : Makassar.
Othrock, C. J. 2000. Perencanaan asuhan keperawatan perioperatif. EGC : Jakarta.
Sjamsuhidajat & Wim De Jong. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC : Jakarta.
Smeltzer and Bare. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Volume 1. Jakarta: EGC.
Sudoyo, S. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1.Edisi 5. Jakarta Pusat: Internal
Publishing.
Suwento, R. 2001. Epidemiologi Penyakit THT Di 7 Propinsi Indonesia Dalam Kumpulan
Abstrak Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT). Bagian tht-kl : Palembang.
Tambayong, Jan. 2000. Patofisiologi untuk Keperawatan.Jakarta : EGC.
23